You are on page 1of 17

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1

Definisi

Bronkhiolitis adalah penyakit infeksi saluran pernafasan bawah akut yang ditandai
dengan adanya inflamasi pada bronkiolus. Umumnya, infeksi tersebut disebabkan
oleh virus. Secara klinis ditandai dengan episode pertama wheezing pada bayi
yang didahului dengan gejala infeksi saluran pernafasan akut(5).
2.2

Etiologi
Sekitar 95% dari kasus2 tersebut secara serologis terbukti disebabkan oleh invasi RSV.

Orenstein menyebutkan pula beberapa penyebab lain, seperti Adenovirus, virus Influenza, virus
Parainvirus,Rhinovirus, dan mikroplasma, tetapi belum terbukti kuat bahwa bronkolitis disebabkan
oleh bakteri.
2.3

Epidemiologi

Bronkhiolitis merupakan infeksi saluran pernafasan tersering yang terjadi pada bayi.
Kasus tersering yang terjadi adalah usia 2 bulan - 24 bulan, puncaknya pada usia 2-8
bulan. Sembilan puluh lima persen kasus terjadi pada anak yang berusia di bawah 2
tahun, dan 75% terjadi pada anak usia di bawah satu tahun. Berdasarkan penelitian
yang dilakukan bronkhiolitis paling sering terjadi pada bayi laki-laki usia 3-6 bulan
yang tidak mendapatkan ASI dan hidup di lingkungan yang padat penduduk. Kasus
yang terjadi adalah 1,25 kali lebih banyak pada anak laki-laki daripada anak
perempuan. Frekuensi rawatan adalah 1,6 kali lebih banyak laki-laki daripada
perempuan(5).
2.4

Patofisiologi

Bronkhiolus merupakan saluran udara kecil (diameter <2mm), yang kurang


memiliki tulang rawan dan kelenjar submukosa. Bronkhiolus terminal merupakan
tempat rerakhir untuk pertukaran udara di bronkhiolus respiratory. Asinus (tempat
pertukaran gas) yang terdiri dari bronkhiolus pernafasan, saluran alveolar, dan
alveoli.
Kerusakan pada bronkhiolus akan menyebabkan interaksi antara inflamasi dan sel

messenkimal dan menimbulkan patologi dan gejala klinis yang berbeda. (10)
Bronkhiolitis banyak disebabkan oleh virus, infeksi virus terjadi melalui saluran
pernafasan atas dan menyebar ke bawah dalam beberapa hari. Hal ini
menimbulkan inflamasi pada epitel bronchiolar, dengan infiltrasi leukosit
(kebanyakan mononuclear sel) di peribronchial dan edema pada submukosa dan
adventia(9). Kerusakan bronchiolar menimbulkan hal-hal seperti:
-

peningkatan sekresi mucus


obstruksi dan konstriksi bronchial
kematian sel alveolar, debris mucus, invasi virus
udara yang terperangkap
Ateletaksis
Ventilasi berkurang dan menyebabkan ketidakcocokan dengan ventilasi

dan perfusi
Bernafas yang tidak wajar

Mekanisme imunologi yang kompleks berperan dalam patogenesis


bronchiolitis. reaksi alergi tipe 1 yang dimediasi oleh imunoglobulin E (IgE)
dapat menjelaskan beberapa gejala klinis bronchiolitis. Bayi yang mendapat ASI
dengan kolostrum yang kaya dengan immunoglobulin A (IgA) tampaknya relatif
terlindungi dari bronchiolitis.
Nekrosis epitel pernapasan adalah salah satu lesi awal pada bronchiolitis
dan terjadi dalam waktu 24 jam dari infeksi. Proliferasi sel goblet mengakibatkan
diproduksi mucus yang berlebihan, sedangkan regenerasi epitel dengan sel
nonciliated mengganggu sekresi. Infiltrasi limfosit dapat menyebabkan edema
submukosa.
Sitokin dan kemokin , yang dikeluarkan oleh sel-sel epitel pernapasan
yang terinfeksi , memperkuat respon kekebalan tubuh dengan meningkatkan
perekrutan seluler ke dalam saluran udara terinfeksi . Interferon dan interleukin
( IL ) -4 , IL - 8 , dan IL - 9 ditemukan dalam konsentrasi tinggi pada sekret
pernapasan pasien yang terinfeksi(9,10) .
2.5

Faktor resiko

Resiko dari bronchioltis yang berat


2.6

Prematur
BBLR
Umur < 6-12 minggu
Penyakit paru kronik
Penyakit jantung kongenital
Perokok pasif
Lingkungan rumah yang padat
Saturasi oksigen <95% ketika bernafas normal
Retraksi yang sedang atau berat
Frekuensi nafas 70x/menit
Gambaran ateletaksis pada radiologi (9)
Manifestasi kinis
Sebagian besar bayi yang terkena mempunyai riwayat terpajan pada anak

yang lebih tua atau orang dewasa yang menderita penakit pernafasan ringan pada
minggu sebel mulainya penyakit. Bayi mula-mula menderita infeksi ringan pada
saluran pernafasan atas, disertain ingus yang serous dan bersin. Gejala- gejala ini
biasanya berakhir dalam beberapa hari dan dapat disertai dengan penurunan nafsu
makan dan demam (38,5-390 C). Perkembangan kegawatan pernafasan secara
bertahap ditandai dengan batuk, mengi proksimal, dyspnea, dan iritabilitas.
Menyusu ibu atau botol dapat sangat sulit karena frekuensi pernafasan yang cepat
tersebut tidak memberikan kesempatan untuk menghisap dan menelan. Pada kasus
ringan gejala menghilang dalam 1-3 hari. Dan pada penderita yang lebih berat
gejala dapat berkembang dalam beberapa jam dan perjalanan penyakit larut-larut
(Nelson, 2000)
1.Umur
Bronchiolitis terutama mempengaruhi bayi di bawah usia dua tahun. 90%
kasus yang memerlukan rawat inap terjadi pada bayi di bawah dua belas bulan.
Puncak kejadian pada usia tiga sampai enam bulan.
2.Demam
Bayi dengan bronchiolitis mungkin mengalami demam atau riwayat
demam. Demam tinggi jarang pada bronchiolitis. Dalam sebuah penelitian

prospektif dari 90 bayi yang dirawat di rumah sakit dengan bronkiolitis akut (usia
rata-rata 4,4 bulan), hanya dua (2,2%) memiliki suhu 40 C. Dua puluh delapan
bayi (31%) mengalami demam seperti yang didefinisikan oleh rekaman suhu
aksila tunggal> 38 C atau dua rekaman berturut-turut> 37,8 C diambil empat
jam terpisah selama 24 jam pertama masuk. Sebagian besar dari bayi demam
(71%) memiliki perjalanan penyakit berat yang membutuhkan suplementasi
oksigen.
3.Rhinorea
Cairan hidung sering mendahului timbulnya gejala lain seperti batuk,
takipnea, gangguan pernapasan dan kesulitan makan.
4.Batuk
Pendapat ahli menunjukkan bahwa batuk kering, serak adalah karakteristik
dari bronchiolitis. Batuk, bersama dengan gejala rhinorea, adalah salah satu gejala
paling awal terjadi pada bronchiolitis.
5.Frekuensi pernafasan
Peningkatan frekuensi napas merupakan gejala penting dalam infeksi saluran
pernapasan bawah dan khususnya di bronchiolitis dan pneumonia
6.Kesulitan makan
Banyak bayi dengan bronkiolitis telah kesulitan makan karena sesak tapi
kesulitan makan tidak penting untuk diagnosis bronchiolitis. Masalah susah
makan merupakan alasan yang sering untuk masuk rumah sakit
7.Peningkatan kerja pernafasan
Sesak dan subkostal, interkostal dan resesi supraklavikula biasanya terlihat
pada bayi dengan bronkiolitis akut. Dada mungkin terlihat hyperinflated di
bronchiolitis.

dada

hyperinflated

bronchiolitis dari pneumonia.


8.Krepitasi

dapat

membantu

untuk

membedakan

Terdapat ronki saat inspirasi di segala bidang paru-paru yang umum (tapi
tidak universal) pada bronchiolitis akut. Krepitasi pada auskultasi dada dianggap
sebagai ciri khas bronchiolitis. Bayi tanpa krepitasi dan mengi awal hanya
sementara biasanya diklasifikasikan sebagai memiliki mengi virus-diinduksi
daripada bronchiolitis
9.Wheezing
Definisi bronchiolitis menggambarkan mengi bernada tinggi saat ekspirasi
tetapi tidak universal temuan pada pemeriksaan.
10.Apnea
Apnea dapat menjadi fitur menyajikan bronchiolitis, terutama pada bayi
prematur atau bayi berat lahir rendah. (Scottish Intercollegiate Guidelines
Network, 2006)
Suatu pemeriksaan mengungkapkan bahwa bayi takipneu sering dalam
keadaan sangat distress. Pernafasan berkisar dari 60-80/ menit; haus, sesak dan
sinosis dapat terjadi. Cuping hidung melebar, dan penggunaan otot-otot acesoris
pernafasan menimbulkan retraksi intercostal dan subcostal yang dangkal karena,
paru yang terus menerus terdistensi oleh udara yang terperangkap. Depresi hati
dan limfa akibat overinflasi paru dapat mengakibatkan teraba di bawah tepi kosta.
Krepitasi halus yang tersebar dapat di dengar pada akhir inspirasi dan pada awal
ekspirasi. Fase ekspirasi pernfasan dapat diperpanjang dan mengi biasanya dapat
di dengar. Pada sebagian besar kasus yang berat suara pernafasan hamper tidak
dapat didengar bila obstruksi bronkiolus hampir total. ( nelson 2000)
2.7

Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisis pada anak yang mengarah ke diagnosis bronkiolitis

adalah adanya takipnea, takikardia, dan peningkatan suhu diatas 38,5 0C dan bisa
mencapai suhu 41 0C. Selain itu dapat juga ditemukan konjungtivitis ringan
faringitis, dan otitis media.

Obstruksi saluran respiratori bawah akibat respon inflamasi akut akan


menimbulkan gejala ekspirasi memanjang hingga wheezing. Usaha-usaha
pernafasan yang dilakukan anak untuk mengatasi obstruksi akan menimbulkan
nafas cuping hidung dan retraksi interkostal. Selain itu dapat juga ditemukan ronki
dari pemeriksaan auskultasi paru. Sianosis dapat terjadi dan bila gejala menghebat
dapat terjadi apnea, terutama pada bayi berusia < 6 minggu. (buku ajar respiro)
Tingkat Keparahan Penialaian Awal yang dilihat dalam gejala dari
bronkiolitis (NWS government)
Gejala

Ringan

Sedang

Berat

yang

mengancam
Saat dating
Pernafasan

Baik
Sedikit sesak

kehidupan
Tampak agak sakit
sakit
Agak lebih sesak, Ganggun pernafasan
Mungkin
episode

memiliki berat dengan frekuensi


apnoe

yang kurang dari 70 dan

singkat.

lebih dari 30x /menit.


Mungkin

terdapat

peningkatan frekuensi
atau
Kemampuan

kerja normal

pernafasan

episode

apnoe

yang panjang.
Dari ringan ke sedang, Dari sedag ke berat,
Gangguan

pernafasan Gangguan pernafasan

sedang
beberapa

dengan berat, dengan retraksi


kontraksi dinding

dinding dada dan nafas jelas,

dada
nafas

cuping hidung

hidung

Tidak ada sianosis

dengkuran.
Kadang

yang
cuping
dan

sianosis

Tidak ada sianosis

terdapat

Saturasi oksigen

sianosis
Diatas 95% saturasi Antara 90-95% saturasi <92% saturasi udara

Hate rate

udara
Normal

udara
< 90% saturasi O2
Takikardi antara 100- >180x per menit
180 x/ menit

Pemberian makanan

Normal

Kesulitan makan tapi Kesulitan

makan

mampu menghabiskan higga makan <50%


makanan >50% makan makan normal.
biasa

2.8

Pemeriksan labortorium dan pemeriksaan Penunjang (buku ajar

respirologi)
Pemeriksaan darah rutin kurang bermakna karena jumlah leukosit biasanya
normal, demikian pula dengan elektrolit. Analisis gas darah (AGD) diperlukan
untuk anak dengan sakit berat,

Khususnya yang membutuhkan ventilator

mekanik.
Pada foto rongen toraks di dapatkan gambaran hiperinflasi dan infiltrate
(patchy infiltrates), tetapi gambaran ini tidak spesifik dan dapat ditemukan pada
asma, pneumonia virat atau atipikal, dan aspirasi. Dapat pula ditemukan gambaran
atelectasis, terutama pada saat konvalesens akibat secret pekat bercampur sel-sel
mati yang menyumbat, airtrapping, diafragma datar, dan penigkatan diameter
antero-posterior. Untuk menemukan RSV dilakukan kultur virus, rapid antigen
detection

tests

(direct

immunofluorescence

assay

dan

enzyme-linked

immunosorbent assays, ELISA) atau polymerase chain teaction (PRC) dan


pengukuran titer antibody pada fase akut dan konvalesent.
Beratnya penyakit ditentukan berdasarkan skala klinis. Digunakan
berbagai skala klinis, misalnya Respiratory Distress Assessment Instrument
(RDAI) atau modifikasi yang mengukur laju pernafasan/ respiratory rate (RR),
usaha nafas, beratnya wheezing, dan oksigenasi.
Skala klinis yang digunakan Abul Ainine dan Luyt adalah :
1.

Respiratory Rate (RR) : dihitung manual, baik dengan palpasi dan

melihat gerakan dada, dilakukan selama 1 menit penuh, dua kali


perhitungan diambil rata-ratanya.

2.

Heart Rate (HR) diambil dari pulse oxymetri yang dibaca lima kali

selama pengamatan 1 menit, diambil rata-ratanya.


3.

Saturasi O2 : dari pulse oxymetri yang dibaca lima kali selama

pengamatan 1 menit, diambil rata-ratanya.


4.

Respiratory clinical status yang dinilai menggunakan RDAI menurut

Lowell dkk.
5.

Status aktivitas bayi (empat tingkat : tidur, tenang, rewel dan

menangis).
Sedangkan Suhu, yang diadaptasi oleh Dobson, menilai skor klinis sebagai berikut
:
1.
2.

Keadaan umum : diberi skor 0 (tidur) hingga 4 (sangat rewel)


Penggunaan otot bantu nafas : Skor 0 (tidak ada retraksi) hingga 3

(retraksi berat)
3.

Wheezing : skor 0 (tidak ada) hingga 3 (wheezing hebat inspiratorik

dan ekspiratorik).
2.9

Penatalaksanaan Bronkiolitis
Bronkiolitis umunya disebabkan oleh virus RSV dan bersifat sembuh

sendiri sehingga pengobatan bronkiolitis sebagian besar bersifat terapi suportif,


yaitu pemberian oksigen, cairan intravena dan kecukupan cairan, penyesuaian
suhu lingkungan agar konsumsi oksigen minimal, tunjangan respirasi bila perlu,
dan nutrisi. Setelah itu barulah digunakan bronkodilator, antiinflamasi seperti
kortikosteroid, antiviral seperti ribavirin, dan pencegahan dengan vaksin RSV,
RSV immunoglobuline (polyclnal)

atau

humanized

RSV monoclonal

antibody (palvizumad)(2,3).
Terapi supportif,

pemberian Oksigen dan cairan merupakan dasar

penatalaksanaan saat ini . Jenis terapi lainnya dari hasil kajian sistemik
menunjukkan sedikit bukti tentang

efektivitas penggunaannya seperti

obat

bronkodilator, ribavirin begitu juga kortikosteroid baik oral maupun intravena.


Penggunaan kortikosteroid bersamaan dengan beta 2 agonis juga masih menjadi
kontroversi. Antibiotik dapat diberikan jika dicurigai adanya infeksi lain.
Fisioterapi dada pun belum dianjurkan dalam penatalaksanaan bronkiolitis(7).
Pasien bronkiolitis dengan klinis yang ringan dapat rawat jalan dengan
tetap memperhatikan makanan dan pernafasan pasien . Jika klinisnya berat harus
di lakukan rawat inap. Secara umum keputusan untuk melakukan rawat inap
didasarkan pada usia pasien, faktor resiko tinggi, drajat gangguan pernafasan dan
toleransi menerima cairan oral. Faktor resiko meliputi, usia kurang dari 3 bulan,
prematur, kelainan jantung, kelainan neurologi, penyakit paru kronis, defisiensi
imun, distres nafas. Tujuan dari perawatan di rumah sakit adalah untuk terapi
suportif, mencegah dan mengatasi komplikasi, atau bila perlu diberikan tindakan
antivirus.
Bayi dengan bronkiolitis dapat juga di rawat di ruang perawatan intensif
jika :Gagal mempertahankan saturasi O2 > 92 % dengan terapi oksigen,
Perburukan status pernafasan yang ditandai dengan peningkatan distres nafas atau
kelelahan, dan Apneu berulang(11).
1. Pengobatan Suportif
a. Pengawasan
Untuk pasien yang dirawat perlu pengawasan sistem jantung paru dan
jika ada indikasi dilakukan pemasangan pukseOxymetri.
b. Pemberian Oksigen
Pemberian oksigen bertujuan untuk memepertahnakan saturasi
heamoglobin >92 %. Oksigenasi ini penting untuk mencegah hipoksia
sehingga nantinya akan memperberat penyakit. Hipoksia ini bisa terjadi
karena gangguan perfusi ventilasi paru. Walaupun efek pemberian oksigen
terhadap pemulihan bronkiolitis belum diketahui tetapi hal ini sangat
menjadi pertimbangan dalam lama perawaatan bayi yang menderita
bronkiolitis.

Pemberian

oksigen

dapat

dihentikan

jika

saturasi

heamoglobin terus menerus di atas 90%, bayi sudah mau untuk menyusui
dengan baik dan gangguan pernafasan minimal(12).

Jika hipoksemia menetap dengan atau tanpa distres berat,


meskipun sudah diberikan oksigen dengan kecepatan tinggi, maka segera
lakukan permintaan untuk penanganan di ICU untuk penggunaan
ventilator(13,14).
c. Pengaturan Cairan
Pemberian cairan sangat penting untuk mencegah dehidrasi akiba
keluarnya cairan lewat evaporasi, karena pernafasan yang cepat dan
kesulitan minum.Jika tidak terjadi dehidrasi diberikan cairan rumatan.
Berikan tambahan cairan 20 % dari kebutuhan rumatan jika didapatkan
demam yang naik turun atau menetap (suhu >38,5 0C). Cara
pemberian cairan ini bisa secara intravena atau pemasangan selang
nasogastrik.Akan tetapi harus hati-hati pemberian cairan lewat
lambung karena dapat terjadi aspirasi dan menambah sesak nafas,
akibat lambung yang terisi cairan dan menekan diafragma ke paruparu. Selain itu harus dicegah terjadinya overload cairan. Lakukan
pemeriksaan serum elektrolit dan jika mendapatkan nilai yang tidak
normal lakukan penggantian dengan cairan elektrolit (2,13).
2. Pengobatan Medikamentosa
a. Bronkodilator (Beta 2 Agonis, Efinefrin)
Penyempitan saluran pernafasan sampai terjadinya obstruksi dari
jalan nafas pada banyak kasus disebabkan oleh penumpukkan lendir,
debris, dan edema mukosa. Berdasarkan hal inilah disimpulkan
pengobatan dengan menngunakan beta 2 agonis memberikan hasil yang
tidak terlalu berarti. Sampai saat ini penggunaan bronkodilator masih
kontroversial(12).
Penggunaan epinefrin didsarkan pada kerjanya yang merangsang
adrenoreseptor alfa yang dapat menyebabkan vasokonstriksi dari mukosa
saluran pernafasan sehingga bisa mengurangi edema mukosa. Dalam
sebuah penelitian yang membandingkan pemberian bronkodilator (selain
epinefrin) dengan plasebo didapatkan kesimpulan bahwa pemberian
bronkodilator memberikan perbaikan jangka pendek dalam gejala klinis
tetapi tidak memberikan hasil yang signifikan dalam oksigenasi secara
keseluruhan dan angka rawatan di rumah sakit. Disamping itu salah satu

alsan dari penggunaan beta 2 agonis adalah karena 15-25% pasien


bronkiolitis bisa menjadi asma. Inhalasi beta 2 agonis diberikan satu kali
sebagai trial dosis. Karena effek akan terlihat dalam satu jam, maka dosis
ulangan akan diberikan pada pasien yang menunjukkan perbaikan klinis
fungsi paru yang jelas dan menetap(5,12).
b. Kortikosteroid
Dari hasil penelitian yang dilakukan tidak ditemukan pengaruh
berarti dari penggunaan kortikosteroid inhalasi bayi yang memnderita
infeksi saluran nafas bawah karena RSV. Jadi penggunaan kortikosteroid
inhalasi tidak dianjurkan. Penelitian lain tentang pemberian suntikan intra
muskular tunggal dexametason menjukkan mamfaat sederhana dan juga
berkaitan dengan lamanya rawatan di rumah sakit. Dalam penelitian lain
juga menunjukkan bahwa pemberian dexametason oral dosis tunggal tidak
memberikan efek pada bayi yang menderita bronkiolitis. Begitu juga
pemberian prednison oral selama fase akut bronkiolitis tidak efektis
mencegah mengi pasca bronkiolitis. Rekomendasi saat ini adalah
penggunaan kortikosteroid sistemik tidak boleh digunakan secara rutin
dalam pengobatan bronkiolitis virus akut. Penelitian lain yang memberian
kombinasi epinefrin dan dexametason inhalasi cukup bermamfaat tapi hal
inipun belum menjadi rekomendasi dalam pengobatan. Pemberian
kortikosteroid sistemik dapat dipertimbangkan pemberiaanya pada
penanganan pasien di ICU dengan bronkiolitis berat.
c. Antagonis reseptor leukotrien
Leukotrien cystenil secara signifikan meningkatkan sekresi dari
saluran pernafasan. Penelitian yang dilakukan dengan
montelukast (antagonis reseptor

pemberian

leukotrien) untuk bronkiolitis tidak

menurunkan gejala saluran pernafasan selama masa pengobatan. Dari hal


ini pemberian montelukast belum di rekomendasikan pada bronkiolitis(12).
d. Antibiotik
Pemberian antibiotik biasanya tidak diperlukan pada penderita
bronkiolitis, karena sebagian besar disebabkan oleh virus, kecuali jika ada
tanda-tanda

infeksi

sekunder

dan

diberikan

antibiotik

spektrum

luas. Pemberian antibiotik justru akan meningkatkan infeksi sekunder oleh


kuman yang resisten terhadap antibiotik tersebut. Antibiotik bila dicurigai

adanya infeksi bakteri dapat digunakan ampisilin 100-200 mg/kgBB/hr


secara intravena dibagi 4 dosis.Bila ada konjungtivitis dan bayi berusia 1
4 bulan kemungkinan sekunder oleh Chlamidia trachomatis.(2,7).
e. Antibody Immunoglobulin dan Monoklonal
suatu antibody monoclonal IgG1 humanis spesifik terhadap penyatuan
protein RSV menunjukkan efikasi dalam mencegah penyakit RSV serius
pada pasien dengan resiko tinggi. Dari hasil penelitian terakhir
penggunaan immunoglobulin ataupun antibody monoclonal RSV bisa
digunakan untuk bronkiolitis viral akut.
f. Antivirus
Ribavirin adalah agen antiviral spectrum luas yang disetujui untuk
pengobatan infeksi RSV dan satu-satunya obat anti viral yang telah diteliti
pada anak-anak dengan bronkiolitis viral akut. Tetapi penggunaannya
masih menjadi kontroversi karena keamanan dan juga harganya yang
mahal. Ribavirin dapat mengurangi durasi ventilasi mekanik dan lama
perawatan serta dapat menurunkan

insidens wheezing berulang saat

bronkiolitis. Sampai saat ini penggunaan Ribavirin secara rutin pada


bronkiolitis belum direkomendasikan(12).
The American of Pediatric merekomendasikan penggunaan ribavirin
pada keadaan yang diperkirakan penyakitnya menjadi tambah lebih berat
seperti pada penderita bronkiolitis dengan kelainan jantung, fibrosis kistik,
penyakit paru kronik, immunodefisiensi dan pada bayi prematur.
Penggunaan ribavirin biasanya dengan menggunakan nebulizer aerosol 1218 jam perhari atau dosis kecil dengan 2 jam 3x/hari(5).
g. Hipertonik Saline
Dalam sebuah studi menunjukkan bahwa inhalasi 3 % HS
adalahpengobatan yang efektif untuk bayi hingga usia 18 bulan dirawat di
rumah sakitdengan bronchiolitis virus. Penggunaan rutin dari 3 % HS
dalam pengobatan bayidirawat di rumah sakit dengan bronkiolitis
memiliki potensi besar karena sangant mengurangi lama rawatan di rumah
sakit dan juga mengurangi tingakt keparahan.
Edema saluran nafas dan sumbatan mukus adalah karakteristik
patologis pada bronkiolitis virus akut. Hipertonik saline menurunkan

edema saluran nafas, meningkatkan banyaknya rheologic mucus dan


bersihan mukosiliar, dan akhirnya, penurunan obstruksi saluran nafas.
h. Sufaktan
Bukti klinis dan laboratorium menunjukkan bahwa bronkitis virus
berat dapat menyebabkan insufisiensi surfaktan sekunder. Dengan
demikian pemberian surfaktan eksogen merupakan potensi terapi yang
menjanjikan.penggunaan surfaktan ini dikaitkan dengan penurunan
penggunaan ventilasi mekanik dan penurunan lama perawatan di ICU.
i. Fisioterapi dada
Tujuan dari fisoterapi dada adalah untuk mengurangi resistensi jalan
nafas dan kerja pernafasan serta untuk membantu meningkatkan
pertukaran gas dengan pembersihan sekresi

jalan pernafasan. Dari

penelitian terakhir fisioterapi tidak mengurangi kebutuhan oksigen, lama


rawatan dan penurunan gejala klinis sehingga saat ini juga belum di
rekomendasikan(12).
3. Pemulangan Pasien
Pasien direkomendasikan pulang dengan kriteria :
a.

Status pernafasan

o Laju pernafasan kurang dari 70 kali dalam 1 menit dan tidak didapatkan
tanda klinis usaha pernafasan lebih.
o Orang tua dapat membersihkan saluran pernafasan anak dengan
menggunakan alat sedot gelembung.
o Pasien dapat berada dalam ruang dengan udara bebas dengan oksigen
terapi yang stabil.
o Saturasi oksigen harus lebih dari 90% tanpa pemberian oksigen
tambahan kecuali anak dengan penyakit paru kronis, penyakit jantung atau
mempunyai faktor resiko lain harus dilakukan diskusi terlebih dahulu
dengan konsultan.
b.

Status nutrisi

Pasien dapat makan melalui mulut pada tingkatan dapat mencegah dehidrasi
c.

Sosial

o Peralatan dirumah mampu untuk digunakan dalam perawatan dirumah


o Orang tua atau penjaga anak mampu untuk melakukan perawatan
dirumah
o Dilakukan edukasi keluarga yang lengkap (13).

ILUSTRASI KASUS
Identisas Pasien

DAFTAR PUSTAKA

1. dr. R. Dasmanto Djojodiborto, Sp.P, FCCP., Respirologi Medicine, ECG,


2007. Hal :132
2. Edi Hartoyo dan Roni Naning, Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas
Kedokteran Universitas Gajah Mada/ Instalasi Kesehatan Anak RSUP dr.
Sardjito Yogyakarta. Mengi Berulang Setelah Bronkhiolitis Akut Akibat
Infeksi Virus.
3. Staff Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI, Bronkiolitis Akut dalam Buku
Kuliah 3 Ilmu Kesehatan Anak, Bagian Ilmu Kesehatan FKUI, 1985, hal :
1233-1235
4. Alferd P. Fishmans, Jack A. Elias, Jay A. Fishmans, McGraw Hills, Pulmonary
Disease and Disorder, Fourth edition, Volume 1, 2008. Hal : 967
5. Magdalena Sidharta Zain, Bronkhiolitis dalam Buku Ajar Respirology Anak,
Edisi Pertama, Ikatan Dokter Anak Indonesia, Badan Penerbit IDAI, 2008
6. Terrs Des Jardins dan George G. Burton, Clinical Manifestation and
Assesment of Respiratory Disease, Fifth edition, Mosby, 2002. Hal : 468
7. Herry Garna, Prof, dr. Sp.A(K), Ph.D, Heda Melinda D. Nataprawira, dr.
Sp.A(K), Bronkhiolitis dalam Pedoman Diagnosis dan Terapi, Ilmu Kesehatan
Anak, Edisi Ke -3, Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran
Universitas Padjajaran, Rs. Dr. Hasan Sadikin Bandung, 2005. Hal : 400-402
8. BambangSupriyatno, infeksi resipiratorik bawah akut pada anak, Sari Pediatri
vol 8, 2006 hal 104-105.
9. Verma nishant, rakesh lodha, s k kabra, Recent Advances in Management of
Bronchiolitis, indian pediatrics vol 50, India, 2013. Hal 940
10. Lucian Kenneth DeNicola, et all, Bronchiolitis,

diakses

dari

http://emedicine.medscape.com/article/961963-overview#aw2aab6b2b2aa
pada tanggal 15 februari 2014
11. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Pedoman Pelayanan Klinis. Edisi 1, Badan
IDAI, , 2008. Hal. 31-32.
12. Eber Ernst. Treatment of Acute Viral Bronchiolitis. Open Mikrobiol J. 2011;
Hal : 159-164
13. NSW HEALTH, Acut Management of Infant and Children with Acute
Bronchiolitis. Revision December 2006 diakses www.health.nsw.gov.au pada
tanggal 16 februari 2014
14. Mary Ellen B, Wohl, MD. Bronchiolitis in Kendigs Disorder of The

Respiratory Tract in Children. Seventh Edition, Elsevier Inc, 2006 page : 423
431.

You might also like