You are on page 1of 29

http://www.asmakmalaikat.com/go/artikel/antro/index.

html

ANTROPOLOGI 1

Menafsir Makna "Ditata" dalam Tayub

TAYUBAN sebagai sebuah tradisi masyarakat Jawa Timur, Jawa Tengah, maupun Daerah
Istimewa Yogyakarta sebenarnya hanyalah sebentuk tarian. Seperti halnya cokek, yang
dikenal dalam kebudayaan masyarakat Betawi. Dalam asumsi antropologi budaya,
kebudayaan banyak dilahirkan dari suatu peristiwa sejarah yang menyakitkan.

Perasaan tertekan sebagai akibat kehidupan di era feodal dan kolonial ditransformasikan ke
dalam bentuk seni pertunjukan. Meski dari awal tayub adalah seni gambyong istana, pada
perkembangannya harus keluar dan terdegradasi menjadi seni rakyat, yang makin hari
dipandang dari sisi mesumnya, berkualitas rendah, dan bertendensi prostitusi. Prof Dr
Suripan Sadi Hutomo (alm), pakar filologi dan folklor humanis, pernah melukiskan bahwa
pada tingkatan seni rakyat yang lebih rendah lagi, tayuban mengalami perubahan.

Kesenian ini dinamakan janggrungan, di mana waranggono (ronggeng, tandak, kledek,


taledek, ledek) ngibing di antara para blandhong (penebang kayu) di pinggir hutan demi
nafkah. Cliffort Geertz menyebutnya sebagai penari jalanan-di Yogyakarta dikenal dengan
mbarang-yang seringkali juga ngamen dari rumah ke rumah atau pada suatu keramaian.
Padahal, dengan menelusuri tayub dari kajian etimologi akan ditemukan kondisi yang
bertolak belakang. Soegio Pranoto-sesepuh tayub asal Nganjuk-meng-kiratabasa-kan tayub
sebagai ditata ben guyub (diatur agar tercipta kerukunan), sebuah filosofi yang ditanamkan
pada tayub sebagai kesenian untuk pergaulan. Nilai dasarnya adalah kesamaan kepentingan
untuk mengapresiasikan kemampuan, jiwa, dan bakat seni, baik kemampuan sebagai penabuh
gamelan (pengrawit) ataupun penarinya. Kesamaan ini akan melahirkan keselaras-serasian
tayub sebagai suatu bentuk tarian; hentakan kaki yang sesuai dengan bunyi kendang,
lambaian tangan seirama gambang, atau lenggok kepala pada tiap pukulan gongnya. Meski
pada perkembangannya, "pergaulan" dimaknai-secara luas-sebagai bentuk silaturahmi.

Di daerah Malang, Pasuruan, Madiun dan Kediri, misalnya, wujud dari silaturahmi ini berupa
ikatan bowo-an-di Kediri dikenal dengan mbecek-di mana setiap orang memiliki tanggung
jawab untuk saling memberi dan mengembalikan bantuan. Tradisi ini terkait erat dengan
peristiwa hajatan, baik pernikahan, khitanan, ataupun kematian.Dan, menjadikan tayub di
daerah ini identik sebagai pertunjukan resmi dalam hajatan. "Orang yang nanggap tayub itu
orang yang blater (pergaulannya luas)," tutur Samad Heriyanto, seniman tayub asal Malang.
Semakin luas ikatan bowo-an yang dimiliki seseorang bisa dipastikan semakin ramai
pelaksanaan hajatannya.

Paradoks atas kondisi tayub saat ini tidak lepas dari lemahnya kemampuan masyarakat
memahami kebudayaan sebagai dasar dalam proses kehidupan. Kelompok seniman bisa saja
mengukuhkan dirinya sebagai komunitas yang otonom dan mandiri.

Komunitas religi

Dalam Theater in Southeast Asia, JR Brandon menuturkan pernyataan bahwa Islam tidak
membenarkan adanya figur dalam keseniannya. Pemikiran ini ditetapkan juga dalam seni
pertunjukan. Akibatnya, daerah-daerah yang mempunyai identitas Islam yang kuat biasanya
tidak memiliki seni pertunjukan yang profesional. Secara implisit hal ini berarti bahwa
daerah-daerah tersebut tidak membantu tumbuhnya seni pertunjukan tradisional tertentu,
yang ditolak oleh ajaran religi yang dianutnya. Kebenaran atas pernyataan Brandon ini
sekiranya perlu untuk dibuktikan. Sebab, masih ada ronggeng dan dombret yang tumbuh di
dalam kebudayaan dengan identitas Islam yang kuat; masyarakat Betawi, yang secara
geografis dekat juga dengan masyarakat Sunda. Tentunya, hal ini tidak terkait dengan faktor
kepemilikan atas kesenian tersebut, yang kebanyakan dipegang oleh orang Islam yang tidak
taat pada prinsip-prinsip Islam (abangan).

Namun, konteks dari pernyataan Brandon ini dapat ditemui dalam kesenian tayub. Di mana
tayub memang tumbuh berkembang pada daerah yang tidak memiliki identitas Islam yang
kuat. Di Jawa Timur, perkembangannya pesat pada wilayah Tuban, Bojonegoro, sisi selatan
dari Lamongan, Surabaya, pinggiran Kabupaten Pasuruan sampai Malang, Nganjuk,
Tulungagung, dan Madiun.

Sikap menolak ini seringkali juga diwujudkan dengan bentuk menjauhi pelaku dan seniman
yang terlibat di dalamnya. Sebagai Ketua RW, Soeripto lebih bisa merasakan sikap warganya
tersebut. Pada suatu kesempatan, Soeripto bersiap keliling RT untuk menarik sumbangan
dengan map ditenteng di tangan.

Alasan dosa merupakan dogma dan titik mati atas suatu aksi atau gerak. Hal ini didasarkan
pemahaman akan teks dan konteks ajaran agama. Akibatnya, seperti tidak ada kebenaran dan
kemaslahatan pada setiap gerak yang mengandung dosa. Bahkan, yang ada hanyalah
mudaratnya. Dalam tayub, gerak dan aksi itu, menurut Soegio Pranoto, adalah suwelan dan
meminum minuman yang memabukkan. Padahal, hakikat suwelan adalah pemberian uang
kepada waranggana oleh seseorang setelah ngibing. Ini dilakukan sebagai ucapan terima
kasih atas kesempatan untuk ngibing bersamanya. Nilai dan jumlah suwelan tidak ditentukan,
tergantung kemampuan. Namun, cara pemberiannya yang unik; suwelan biasanya diselipkan
pada belahan payudara waranggana. Bisa pada bagian luar atau juga ada yang diselipkan
lebih dalam lagi pada sisi-sisi payudara. Tentunya, pemberi suwelan berharap tidak sekadar
memberi sebagai bentuk afinitas afektifnya.

Adanya penolakan atas proses pemberian suwelan ini sedikit demi sedikit membawa
perubahan. Suwelan kini telah diatur cara pemberiannya melalui seorang pramugari-orang
yang mengatur jalannya tayub-atau bisa diselipkan di balik sampur waranggana, tepatnya di
atas bahu. Bahkan, di Malang, sejak tahun 1976, oleh Samad Heriyanto diusulkan untuk
pemakaian baju bagi para waranggana saat ngibing.

Sementara minuman keras dalam tayub, menurut Soegio Pranoto, pada awalnya difungsikan
sebagai penghormatan kepada tuan rumah, pemuka desa, dan para undangan. Bila minuman
yang ditawarkan oleh waranggana kepada tuan rumah diminum, itu tandanya pengunjung
pertunjukan tayub juga boleh meminum minumannya.

Fungsi lainnya, dengan minuman ini diharapkan bisa membantu sugesti dan kepercayaan diri
seseorang untuk ngibing. Namun, pada era 1970-an, menurut Samad Heriyanto, tayub mulai
dijajah oleh minuman keras. Minuman sekarang bukan lagi berada di dalam lingkaran area
tayub dan sudah beraneka macam merek yang disediakan.

"Inilah kesalahan agamawan di Indonesia," kata KH Ahmad Musta’in Syafi’i, MAg,


pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng Jombang, menegaskan. Dengan hanya berbasis pada
fikih, mereka cukup memandang gerak dan aksi untuk menghukumi. Dan, hukumannya
hanya ada halal dan haram.

Pada kelompok tertentu bisa sampai menghilangkannya. Musta’in-dosen pada Institut


Keislaman Hasyim Asy’ari (Ikaha)- menyayangkan dianutnya fungsi hakim ini daripada
peran sebagai pendidik. Konteks kesenian, terutama seni pedesaan, memiliki hakikat sebagai
ekspresi dan semangat untuk dekat dengan kepercayaannya. Bentuknya bisa dengan tari,
ritual seperti bersih desa atau keyakinan pada danyang (penunggu). Seharusnya, pendekatan
awal yang digunakan ada pada sisi akidah (teologi); biarkan seni tayub berkembang, ambil
positifnya lalu masuki dan arahkan.
Aparatur lokal

Tahun 1965, Partai Komunis Indonesia (PKI) melakukan gerakan yang membuat situasi
nasional berubah. Kesenian tradisional pun mengalami masa kritis. Manifestasi Lekra
-Lembaga Kebudayaan Rakyat yang berafiliasi pada PKI- pada kebudayaan menjadikan
seniman mati ekspresi. Sebab, ada ketakutan akan menjadi bentuk partisipasi dan sikap
politik Lekra. Pada masa ini, ABRI menggelar Operasi Karya, yang salah satunya dilakukan
dengan menaungi kesenian tradisional. Muncullah Ludruk Wijaya Kusuma dan Bhirawa
(AD), Ludruk Bumi Hamka (Marinir), dan Ludruk Bhayangkara (Kepolisian).

Bentuk dari penataan ini, terutama pada perizinan, terkait dengan penyelenggaraan keamanan
dan ketertiban umum. Meski besar biaya perizinan bervariasi di tiap daerah dan ditanggung
oleh tuan rumah, tetapi esensi dari izin tersebut tidak bisa dirasakan.

Di Malang, biayanya berkisar Rp 500.000 sampai Rp 1 juta. Tetapi, saat pertunjukan,


seringkali tidak ada petugas keamanan yang datang menjaga. Apalagi menertibkan
pengunjung yang mabuk, berbuat rusuh, atau menggoda waranggana. Padahal, menurut
Samad, bila mereka datang, itu merupakan kehormatan bagi tuan rumah. Dikasih makan dan
rokok, duduk berjajar di baris depan, ngibing, bahkan pulangnya sering menerima angpao.

Perizinan lainnya, seperti di Nganjuk, Tuban, dan Malang, adalah diterbitkannya advise
(nomor induk) bagi waranggana. Tanpa advise ini, seorang waranggana dilarang untuk pentas
dan minimal setahun sekali harus memperbarui advise ini. Biayanya mungkin tidak terlalu
besar, sekitar Rp 50.000, tetapi cukup menunjukkan adanya peran negara dalam mematikan
kehidupan, jiwa, dan bakat seni seseorang.

Ini bisa dilakukan mengingat di Nganjuk dan Tuban menunjukkan aktivitas yang tinggi
dalam penyelenggaraan tayub. Nganjuk memiliki agenda Wisuda Waranggana, berpusat di
Padepokan Langen Tayub, Desa Ngrajek, Tanjunganom, Nganjuk. Acara ini digelar setiap
tahun di bulan besar (Jawa). Setelah penempaan selama 6 bulan dari olah vokal hingga tari,
calon waranggana akan diwisuda di lokasi sekitar punden Ki Ageng Gribig.

Di Tuban, menurut Sutardji, Kepala Bagian Kesenian Dinas Pariwisata Tuban, setiap
tahunnya terdapat 1.500-3.000 kali pertunjukan tayub. Bahkan, sampai dengan tahun 2004
sudah ada yang booking pementasan, sedangkan tahun 2003 ada 158 izin pementasan. Dinas
Pariwisata Tuban, November 2002 lalu, menggelar Citra Resmi Waranggana, acara tahunan
untuk meresmikan (mewisuda) waranggana baru.

Bagi Endang Sugiarti, waranggana senior, acara ini semakin memberatkan calon waranggana.
Sebab, segala kebutuhan untuk wisuda menjadi tanggungan pribadi, bukan dari Dinas
Pariwisata. "Jumlahnya besar, bisa jutaan. Sewa dokar, pakaian, pendaftaran, sampai make-
up," tuturnya. Tayub dan senimannya saat ini menjadi obyek negara. Fungsi fasilitator
berubah menjadi eksekutor, atas hak hidup profesi seni seseorang. Menafsir kembali makna
tayub sebagai ditata ben guyub, adalah menata kembali kepentingan negara terhadap tayub .

Terakhir, penulis ingin menyampaikan satu pesan dari Samad Hariyanto kepada Pemerintah
Kota Malang, "Apa, sih, perhatian mereka pada tayub. Sebagai insan tayub, saya belum
pernah itu dikumpulkan, diajak ngobrol. Ketemu paling cuma waktu pengurusan izin."

Oleh: MAS BUKHI Pemerhati masalah budaya dari Malang

Sumber: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0301/14/jatim/80748.htm
Bahasa dan Dinamika Masyarakat: Sebuah Wacana tentang Identitas Kebersamaan

A. Pendahuluan
Etnik atau ethnic groups secara umum dipahami sebagai masyarakat suku, atau masyarakat
yang secara tradisi memiliki persamaan identitas. Wujud identitas itu misalnya bahasa,
tempat tinggal, pola kekerabatan, pola perkawinan, religi, arsitektur rumah, pola tempat
tinggal, dan lain-lain. Mengenai bahasa, maka makalah ini berusaha mengkaji fungsi bahasa
baik secara konseptual maupun secara praksis. Bahasa sebagai salah satu identitas, di mana
bahasa bisa menjadi identitas kolektif etnik, tetapi bahasa bisa juga menjadi identitas yang
lebih luas dari etnik yaitu bangsa. Ciri yang menonjol dari identitas bangsa Indonesia
tercermin dari adanya bahasa persatuan yaitu bahasa Indonesia. Walaupun dalam
perkembangannya secara historis bahasa Indonesia yang baru muncul pada tahun 1928 dalam
peristiwa Sumpah Pemuda kemudian mendapat beragam pengaruh kosa kata dari berbagai
bahasa, akan tetapi bahasa Indonesia memiliki akar tradisi etnik yaitu bahasa Melayu.

Fenomena ini berbeda misalnya dengan Philipina yang memiliki 2 bahasa nasional yaitu
bahasa Tagalog dan bahasa Inggris (Amerika), atau India yang bahasa nasionalnya adalah
bahasa Inggris, atau Negara Aljazair yang bahasa nasionalnya bahasa Prancis, atau Singapura
yang bahasa nasionalnya bahasa Inggris dan meninggalkan bahasa nenek moyangnya yaitu
bahasa Melayu. Akar budaya kaum kolonial yang tercermin di dalam bahasanya itulah
kemudian yang menjiwai negara-negara tersebut di muka yang telah mengadopsi bahasa
bekas negara penjajahnya untuk dijadikan bahasa persatuan sebagai perekat etnik.

Bahasa Indonesia tentu saja memiliki karakter khusus karena dia berakar dari tradisi etnik
lokal yang kemudian dimodifikasi dan diadopsi menjadi bahasa persatuan yang berfungsi
sebagai perekat keberagaman etnik. Bahasa Indonesia bersifat fleksibel dan ini tampak dalam
berbagai dialek misalnya bahasa Indonesia dialek Betawi, dialek Sulawesi Selatan, dialek
Palembang, dialek Papua dll, dan menurut Ferdinand de Saussure (1996: 80) hal ini adalah
aspek parole dari bahasa. Bahasa Indonesia baku (ejaan yang disempurnakan / EYD) dalam
konteks Saussurian disebut sebagai aspek langue. Langue-lah yang menjadi titik tekan kajian
ilmu linguistik, langue merupakan fakta sosial yang artinya dia menjadi milik kolektif sistem
dan berada di atas fakta individu. Parole adalah fakta individu. Sosialisasi Bahasa Indonesia
baku secara massal dan berkesinambungan misalnya dilakukan oleh TVRI atau TV-TV
swasta yang menggunakan bahasa baku dalam siarannya. Untuk itu maka makalah ini akan
mencoba mengkaji kasus pemanfaatan Bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar pada
siaran televisi-televisi yang siarannya berjangkauan nasional.

B. Fungsi Bahasa
Lebih dahulu marilah kita berdiskusi tentang fungsi atau peranan. Di dalam ilmu sosial-
budaya apabila mengkaji fenomena sosial dengan perspektif fungsi maka mau tidak mau akan
menyandarkan pijakan paradigma pada pendekatan fungsionalisme. "Fungsionalisme sebagai
perspektif teoritik dalam antropologi bertumpu pada analogi dengan organisme/makhluk
hidup. Artinya, sistem sosial-budaya dianalogikan sebagai sistem organisme, yang bagian-
bagiannya atau unsur-unsurnya tidak hanya saling berhubungan melainkan juga memberikan
peranan bagi pemeliharaan, stabilitas, integrasi, dan kelestarian hidup organisme itu. Dengan
analogi seperti itu maka semua sistem budaya memiliki syarat-syarat fungsional, atau sistem
budaya memiliki kebutuhan sosial yang harus dipenuhi agar sistem sosial-budaya dapat
bertahan hidup. Apabila kebutuhan itu tidak terpenuhi maka sistem sosial-budaya itu akan
mengalami disintegrasi dan mati, atau dia akan berubah menjadi sistem lain tetapi beda jenis"
(David Kaplan & Albert Manners, 2000: 77-78).

Pendekatan fungsional ini dikembangkan oleh dua orang antropolog Inggris yaitu Bronislaw
Malinowski dan Radcliffe Brown (Adam Kuper, 1996; 40). Dengan mengacu pada
pendekatan fungsional itu maka stabilitas dan integrasi sistem sosial-budaya sangat
tergantung pada fungsi dari unsur-unsur yang menjadi bagian dari sistem. Kalau suatu sistem
organisme/makhluk hidup itu unsur-unsurnya adalah kaki, mata, telinga, tangan, mulut, atau
hidung maka sistem sosial-budaya yang bernama negara (sebagai contoh) unsur-unsurnya
akan terdiri dari pemerintah, birokrasi, aparat keamanan, wilayah, bahasa, mata uang, atau
penduduk. Semua unsur tersebut tidak hanya saling berhubungan akan tetapi juga saling
menyumbangkan fungsinya masing-masing agar integrasi sistem tetap terjaga. Apabila salah
satu unsur mengalami disfungsi atau tidak mampu menyumbangkan peran sesuai
kapasitasnya, maka akibatnya akan dirasakan oleh unsur-unsur yang lain. Pada akhirnya
integrasi sistem akan goncang.

Salah satu kelemahan dari pendekatan fungsionalisme ini adalah pada asumsinya bahwa
kondisi sistem sosial-budaya itu selalu dalam keadaan stabil dan terintegrasi. Maka
pendekatan fungsional tidak mampu menjelaskan adanya perubahan sistem sosial budaya
secara menyeluruh. Hal ini wajar karena semua pendekatan teoritik selalu memiliki kelebihan
dan kekuarangan. Kita kembali pada sistem sosial-budaya yang bernama negara, yaitu negara
Indonesia, yang unsur-unsurnya akan terdiri dari pemerintah, bangsa, wilayah, bahasa, atau
penduduk. Dalam hal ini kita ambil salah satu unsur negara yaitu bahasa.

Bahasa Indonesia berfungsi sebagai bahasa resmi kenegaraan, bahasa persatuan, sekaligus
menjadi identitas bangsa Indonesia. Apabila Bahasa Indonesia sebagai unsur dari sistem
negara pada suatu saat tidak mampu memberikan fungsinya sebagai bahasa resmi
kenegaraan, bahasa persatuan, atau identitas bangsa maka akan terbayangkan adanya
kegoncangan sistem sosial-budaya. Dalam peristiwa kenegaraan pasti akan terjadi kekacauan
karena tidak ada bahasa kenegaraan. Semua orang akan membenarkan bahasa yang mereka
gunakan sesuai etnisnya walau masing-masing berbeda bahasa. Tidak akan ada bahasa
persatuan yang menjadi bahasa pengantar bagi masyarakat Indonesia yang memiliki latar
belakang etnis dan bahasa beraneka macam. Tidak akan ada bahasa yang dijadikan identitas
kebersamaan bahwa semua unsur itu menjadi bagian dari sistem yang bernama negara
Indonesia. Inilah yang disebut sebagai disintegrasi atau distabilitas sistem negara.

Sebagai identitas bangsa atau negara maka bahasa Indonesia menjadi ciri atau tanda yang
membedakan dengan bangsa lain atau negara lain. Identitas ini bisa saja menjadi salah satu
faktor kebanggaan pada sebuah bangsa, yang kadang-kadang diiringi dengan sikap
merendahkan atau menganggap aneh identitas bangsa lain. Identitas ini tidak stabil atau baku
akan tetapi selalu berproses lewat wacana untuk berkomunikasi, sehingga identitas selalu
terjaga, dinamis, berubah, atau malah musnah. Berawal dari merosotnya atau musnahnya
kebanggaan akan identitas yang berupa Bahasa Indonesia maka bisa jadi ini adalah awal dari
disintegrasi negara Indonesia. Tidak ada lagi alat komunikasi sesama warga Indonesia yang
menjadi kebanggaan bersama, masing-masing merasa bangga dengan bahasa daerahnya atau
bangga dengan bahasa manca negara sehingga bahasa Indonesia akan ditinggalkan.

C. Bahasa Indonesia dan Siaran Televisi Nasional


Apabila Bahasa Indonesia masih tetap diperlukan sebagai salah satu identitas kebersamaan
bagi warga negara Indonesia maupun bahasa persatuan yang bisa menjaga integrasi negara
Indonesia, maka tentu saja harus ada sosialisasi dan pewarisan (transmission). Beberapa cara
bisa dilakukan untuk hal itu, dan salah satu cara yang diungkapkan di sini adalah peranan
stasiun televisi bersiaran nasional baik milik pemerintah (TVRI) maupun milik swasta (RCTI,
SCTV, TPI, ANTV, Indosiar, dll). Tidak semua materi siaran televisi itu selalu menggunakan
bahasa Indonesia baku, yang oleh Ferdinand de Saussure (1996:360-361) disebut sebagai
aspek langue dari bahasa. Bahasa dalam siaran televisi ini menarik untuk dikaji karena dia
menjadi bagian dari dinamika masyarakat di Indonesia.

Teknologi canggih bernama televisi yang berbasis pada media satelit palapa ini mulai muncul
di Indonesia pada tahun 1960-an. Fenomena sosial-budaya yang begitu banyak dan begitu
luas kemudian "bisa dilipat-lipat" untuk dihadirkan di dalam ruang-ruang yang sempit
sekalipun seperti ruang keluarga di dalam rumah. Teknologi televisi-lah beserta hard ware-
nya yang bisa menjadi salah satu media transformasi dari dunia yang luas kemudian bisa
hadir di tengah-tengah ruang keluarga. "Dunia yang begitu luas dan besar kini bisa 'dilipat-
lipat' dalam bentuk televisi, surat kabar, majalah, internet, dan radio sehingga bisa hadir di
tengah-tengah keluarga dan di ruang yang sempit sekalipun" (Yasraf Amir Piliang, 1999).

TVRI selama puluhan tahun menjadi pemain tunggal stasiun penyiaran televisi di Indonesia
yang telah menjangkau berbagai pelosok Indonesia. Baru pada paruh ke-dua tahun 1980-an
mulai muncul stasiun televisi swasta di Jakarta dengan siaran lokal yaitu RCTI. Setelah itu
kemudian muncul stasiun TPI, SCTV, Indoesiar dan lain-lain yang jangkauan siarannya
berskala nasional seperti halnya TVRI. Walaupun begitu dalam hal misi, tentu saja TVRI
lebih terlihat sebagai stasiun televisi yang lebih mengedepankan aspek non-komersial dengan
meniadakan siaran iklan, yang kemudian disusul dengan membatasi siaran iklan. Sumber
operasional TVRI berasal dari dana pemerintah dan hak siar iklan dari televisi-televisi
swasta. Slogan "TVRI menjalin persatuan dan kesatuan" bukanlah sekedar jargon yang tanpa
arti. Di balik slogan ini terkandung semangat untuk menjadi agen atau media perekat bagi
berbagai etnis di Indonesia agar tetap dalam kondisi terintegrasi, tidak terpecah-belah. Slogan
TVRI itu hampir mirip dengan slogan "sekali di udara tetap di udara" milik Radio Republik
Indonesia (RRI) yang menyimpan semangat untuk terus mengudara melakukan siaran walau
segenting apa pun keadaan negara. Kalau masyarakat Indonesia dalam kondisi selalu
terpisahkan oleh ruang dan waktu dengan saudara-saudaranya sesama warga Indonesia yang
lain, maka siaran berita televisi berusaha menjadi media pemersatu ke dalam "waktu yang
sama", dan seolah-olah para pemirsa televisi berada di dalam "satu ruang yang sama".

Ada kelebihan pada siaran TV jika dibanding dengan siaran radio. Siaran radio hanya
menyuguhkan aspek audio sehingga masyarakat hanya bisa mendengar tanpa bisa melihat
wajah dan ekspresi penyiar radio. Siaran televisi selain bersifat audio juga ada aspek visual,
sehingga masyarakat bisa mendengar sekaligus bisa melihat wajah dan ekspresi sang penyiar
televisi. Dari hal ini muncul kesan seolah-olah antara penyiar televisi dengan masyarakat
pemirsa berada di dalam suatu "ruang dan waktu" yang sama. Pada hal-hal tertentu TVRI
bisa dianggap sebagai sebagai salah satu simbol pemersatu bagi masyarakat Indonesia
melalui siaran-siarannya yang ditujukan kepada seluruh masyarakat Indonesia, atau
masyarakat Indonesia di negara tetangga yang masih bisa menangkap siaran TVRI.

Mengenai apa itu simbol maka bisa kita rujuk pendapat dari William A. Folley (1997: 26);
"A simbol is a sign in which the relationship between its form and meaning is stricly
conventional, neither due to physical similarity or contextual constraints". Jadi sebuah simbol
adalah sesuatu yang akan memiliki makna apabila sesuatu itu dihubungkan dengan hal yang
lain. Pemberian makna ini tentu saja mengacu kepada konteks sosial-budaya masyarakat si
pemilik simbol. Mungkin saja sesuatu itu oleh sekelompok masyarakat dianggap sebagai
simbol yang penuh makna, akan tetapi bisa saja objek yang sama itu oleh masyarakat yang
lain dianggap tidak memiliki makna apa-apa atau hampa makna.

TVRI bisa jadi dianggap sebagai salah satu simbol pemersatu bagi masyarakat Indonesia
karena dia mampu menyebarkan informasi dengan bahasa Indonesia ke seluruh pelosok
negara. Sedangkan bahasa Indonesia adalah bahasa pengantar bagi masyarakat Indonesia
yang berbeda etnis maupun bahasa ibu, sebagai bahasa resmi kenegaraan termasuk bahasa
dokumen atau arsip maupun buku-buku pelajaran di sekolah, dan bahasa resmi bagi
penyebaran informasi di media massa. TVRI memiliki makna mendalam karena dia
dihubungkan dengan keberadaan bahasa Indonesia maupun keberadaan bangsa Indonesia.
TVRI menjadi simbol jembatan bagi masyarakat Indonesia yang secara geografis maupun
kultural adalah masyarakat majemuk.

Media televisi, terutama dalam siaran berita misalnya TVRI (siaran Dunia dalam Berita,
Berita Malam), RCTI (siaran Nuansa Pagi, Buletin Siang), Indosiar (siaran Fokus), SCTV
(siaran Liputan 6 pagi, Liputan 6 Siang) dan lain-lain, kalau diamati maka pasti para
penyiarnya menggunakan bahasa Indonesia baku. Akan tetapi dalam berbagai siaran yang
lain misalnya berbagai siaran iklan, pertunjukan musik, siaran kuis, atau siaran kesenian
maka akan terlihat bahasa pop atau "bahasa gaul" dengan berbagai varian menjadi bahasa
pengantar. Di sini bisa dilihat adanya aspek langue (pada bahasa berita) sekaligus adanya
aspek parole (pada berbagai siaran yang lain) dalam siaran televisi di Indonesia. Yang
kemudian menjadi pertanyaan adalah mengapa dalam siaran berita menggunakan bahasa
Indonesia baku, sedangkan dalam siaran yang lain menggunakan bahasa pop ? Tentu tidak
akan mudah untuk menjawabnya secara rasional, sistematis, dan jernih.

Fenomena bahasa berita di media televisi ini menarik untuk dikaji karena pada tingkatan
tertentu bahasa berita bisa meng-hegemoni sebagian masyarakat pemirsa televisi sehingga
mereka harus mengikutinya (melihat, mendengar, membenarkan dan memperbincangkan).
Hegemoni sendiri sering diartikan sebagai kekuasaan yang dicapai melalui kesepakatan dan
bukan paksaan. Daya jangkau hegemoni sangat dalam, mencakup pikiran dan perasaan
masyarakat, beroperasi di wilayah publik serta wilayah domestik.

Hegemoni sering dibedakan dengan dominasi, di mana dominasi diartikan sebagai kekuasaan
yang dicapai melalui paksaan dan kekerasan, daya jangkau kekuasaan dominasi hanya sampai
permukaan. Hegemoni secara halus menuntun orang untuk bersikap atau berperilaku sesuai
dengan pemegang kekuasaan hegemoni bahkan kadang-kadang orang tidak merasa terpaksa
atau melakukan sesuatu dengan suka rela. Sedangkan kekuasaan dominasi itu dilakukan
secara paksaan, orang sanggup bersikap atau berperilaku sesuai dengan pemegang kekuasaan
dominasi karena daya resistensi orang tersebut kalah kuat dari daya paksa pemegang
dominasi.

Bahasa siaran berita televisi beroperasi pada wilayah hegemoni, akan tetapi pada saat tertentu
juga beroperasi pada wilayah dominasi. Contoh dari dominasi ini adalah saat sang pembaca
berita memerintahkan kepada pemirsa, "Jangan kemana-mana dulu karena kami akan hadir
lagi setelah jeda iklan berikut ini" atau "Tetaplah bersama saluran kami". Kalimat-kalimat
imperatif dan "tembak langsung" ini sering kita jumpai pada siaran berita di televisi. Di
dalam membacakan berita maupun format penghadiran berita maka juga bisa dilihat adanya
aspek seni. Sentuhan seni ini juga menjadi daya tarik khalayak untuk menyaksikan siaran
berita televisi.

Dari sini terlihat, seni telah dimanfaatkan oleh para pembaca berita pada siaran televisi untuk
mengkomunikasikan berbagai hal yang berhubungan dengan informasi kepada khalayak
pemirsa televisi. Mengenai makna seni, maka dapat diperhatikan pendapat dari Taufik
Abdullah, "…pada tahap awal seni adalah suatu pilihan dari berbagai cara untuk melukiskan
dan mengkomunikasikan sesuatu. Tentu saja setiap bentuk seni sesungguhnya adalah
perkembangan dari cara-cara yang biasa dilakukan dalam hidup manusia--sajak tentu berawal
dari ucapan, dan tarian tentu berawal dari gerakan" (Analisis Kebudayaan, tahun I; No.2
1980/1981: 11). Keinginan para pembaca berita di televisi untuk mendapat perhatian dan
tawaran ketertarikan menyaksikan berita, dikomunikasikan kepada masyarakat pemirsa
melalui seni membaca berita. Seni menjadi media yang dimanfaatkan untuk menghadirkan
pesona siaran berita.

D. Integrasi Sosial
Dengan mengutip pandangan dari de Saussure, Ernst Cassirer (1987: 186) mengatakan
bahwa, "de Saussure menarik garis tajam antara la langue dengan la parole. Bahasa (la
langue) bersifat universal, sedangkan proses tuturan (la parole) sebagai proses temporal dan
bersifat individual. Setiap individu memiliki gaya bahasa sendiri. Akan tetapi dalam analisis
ilmiah tentang bahasa, kita mengabaikan perbedaan-perbedaan individual itu, kita menelaah
fakta sosial yang mengikuti kaidah-kaidah umum yaitu kaidah-kaidah yang tidak tergantung
kepada si penutur individual. Tanpa kaidah-kaidah umum seperti itu maka bahasa tidak akan
dapat menunaikan tugas utamanya; bahasa tidak dapat dipakai sebagai media komunikasi di
antara anggota-anggota masyarakatnya". Dari kutipan ini terlihat bahwa langue yang
memiliki kaidah-kaidah umum adalah fakta sosial, yang posisinya lebih tinggi dari fakta
individu.
Fakta sosial ini beroperasinya adalah lintas individu dan bersandar pada kaidah-kaidah umum
bahasa, agar bahasa bisa menjadi media komunikasi sosial. Langue yang memiliki sifat
sebagai media komunikasi sosial bahkan pada tataran tertentu mampu menjadi media
integrasi sosial lewat siaran berita televisi. Bahkan pada fenomena kehidupan bernegara
langue juga bisa bersifat politis. Seperti yang ditulis oleh Eriyanto, "Pada tahun 1974
pemerintah melalui Rencana Pembangunan Lima Tahun (REPELITA II) juga mencakup
sasaran khusus untuk pengembangan bahasa, sastra, dan kebudayaan. Pada tahun 1974
dibentuk proyek Pengembangan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah. Pada tahun 1984
proyek ini dibagi menjadi dua bagian yaitu Proyek Pengembangan Bahasa dan Sastra
Indonesia dan Proyek Pengembangan Bahasa dan Sastra Daerah. Salah satu perhatian utama
dari kebijakan bahasa oleh pemerintah adalah mengadakan pembakuan bahasa Indonesia dan
menerapkan serta menghimbau 'pemakaian bahasa yang baik dan benar'. Perundangan
kebijakan ini dituangkan di dalam Ketetapan MPR No.II/MPR/1983 yang menyatakan bahwa
bahasa harus dibina dan dikembangkan serta digunakan secara baik dan benar" (Eriyanto,
2000; 74-75).

Langkah pemerintah itu bisa jadi adalah usaha untuk menjaga integrasi bangsa Indonesia
lewat kebijakan bahasa Indonesia. Kebijakan ini tentu berdampak terhadap berbagai segi
kehidupan masyarakat karena bahasa Indonesia yang dibakukan kemudian menjadi referensi
tentang penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Penulisan dalam berbagai surat
keputusan, surat- menyurat resmi, arsip-arsip birokrasi, acara protokoler, bahasa pengantar di
lembaga-lembaga pendidikan, siaran-siaran resmi di televisi atau di radio adalah realitas
sosial yang secara langsung akan mengikuti kebijakan bahasa oleh pemerintah. Kebijakan
pemerintah ini bukannya berjalan mulus tanpa hambatan.

Sebagian kaum akademisi secara kritis dan tajam mengoreksi kebijakan bahasa dari
pemerintah ini. Contoh dari mereka ini adalah Virginia Matheson Hooker dan Ariel
Heryanto, yang mengatakan bahwa penggunaan bahasa yang baik dan benar adalah salah satu
bentuk manipulasi pemerintah untuk mengukuhkan kekuasaan terhadap rakyat. Bahasa yang
baik dan benar bisa dianggap sebagai simbol adanya pusat kebenaran yang harus memiliki
kewibawaan, di mana semua kebijakannya harus ditaati oleh masyarakat. Bahasa yang baik
dan benar adalah yang digunakan oleh pemerintah, sedangkan yang digunakan oleh
masyarakat adalah sebaliknya, sehingga masyarakat harus mengikuti pusat kebenaran yaitu
pemerintah.

Pembakuan bahasa, oleh kalangan pengritik juga dianggap sebagai pengingkaran terhadap
dinamika sosial-masyarakat sebab bahasa adalah bagian dari sebuah dinamika sosial-
masyarakat yang sifatnya natural (alamiah). Dari hal ini kita bisa melihat bahwa fenomena
bahasa Indonesia juga tidak bisa dipisahkan dari nuansa politik dalam kehidupan bernegara.
Bahasa Indonesia yang diposisikan sebagai bahasa persatuan bagi masyarakat Indonesia
secara otomatis telah menciptakan fenomena bahasa berdampingan dengan fenomena politik,
dalam hal ini adalah politik kebahasaan. Mengenai bahasa yang identik dengan dinamika
sosial-masyarakat ini juga bisa kita telah dari pandangannya de Saussure (1996; 361) bahwa
"Di antara etnis dan langue terjadi hubungan timbal balik. Hubungan sosial cenderung
menciptakan adanya masyarakat bahasa dan kemungkinan mencetak ciri-ciri tertentu pada
langue yang dipakai. Sebaliknya, masyarakat bahasalah yang dalam batas-batas tertentu juga
bisa membentuk satuan etnis. Pada umumnya satuan etnis cukup menjelaskan tentang
masyarakat bahasa". Dari kutipan tersebut, terlihat bahwa bahasa adalah ciri yang menonjol
dan mudah diamati dari suatu masyarakat.

Bahasa tertentu identik dengan masyarakat tertentu, misalnya bahasa Bali identik dengan
etnis Bali atau bahasa Bugis akan identik dengan etnis Bugis. Jadi bahasa mampu
menciptakan etnis. Begitu juga sebaliknya ternyata bahasa itu menjadi ada karena diciptakan
oleh suatu etnis. Misalnya bahasa Indonesia itu menjadi ada karena diciptakan oleh
masyarakat Indonesia, walau fondasinya adalah bahasa Melayu akan tetapi dua bahasa itu
kemudian memiliki perbedaan-perbedaan. Fenomena inilah yang biasa disebut sebagai
bahasa dan dinamika masyarakat. Bisa juga dikatakan bahwa bahasa sebenarnya adalah
dinamika masyarakat itu sendiri. Karena adanya suatu dinamika masyarakat di Indonesia,
maka bahasa Indonesia yang digunakan pada masa perjuangan tahun 1945-1949 memiliki
karakter heroik, sedangkan pada masa pemerintahan Orde Baru bahasa Indonesia karakternya
sarat dengan eufemisme atau penghalusan kata untuk menyembunyikan makna yang
sesungguhnya.

Lain lagi karakter bahasa Indonesia pada masa puncak reformasi tahun 1998 hingga 1999
yang syarat dengan hujatan, caci-maki, dan pembongkaran aib mantan penguasa. Fenomena
kebahasaan pada tahun 1998-1999 itu bisa disaksikan pada berbagai liputan berita (bukan
pembacaan siaran berita--pen) stasiun-stasiun televisi tentang peristiwa yang terjadi di
lapangan. Begitu cepatnya berita-berita tentang kerusuhan sebagai ekses proses peralihan
kekuasaan di Jakarta dan beberapa kota di Jawa kemudian menyebar ke seluruh pelosok
Indonesia.

Pada sisi kecepatan penyampaian berita sehingga menyebar kepada masyarakat Indonesia,
juga bisa dilihat bahwa siaran berita televisi bisa menjadi media pembangun integrasi sosial
karena masyarakat luas tidak tersekat atau terpisahkan oleh ruang dan waktu. E. Kesimpulan
Pada bagian ini dengan memperhatikan uraian di muka dapatlah ditarik sebuah benang merah
yang berupa kesimpulan. Dengan mengambil kasus siaran berita yang menggunakan bahasa
Indonesia baku pada stasiun televisi milik pemerintah yaitu TVRI maupun stasiun televisi
swasta seperti RCTI, SCTV, Indonesiar, TPI, ANTV, Metro TV dan lain-lain maka tulisan ini
telah berusaha mengkaji fenomena bahasa dan dinamika masyarakat di Indonesia.

Bahasa Indonesia baku yang digunakan dalam siaran berita berbagai stasiun televisi tersebut
telah menjadi salah satu media integrasi sosial bangsa Indonesia. Siaran berita dengan bahasa
Indonesia baku ini merupakan aspek langue dari kajian tentang siaran televisi. Langue
beroperasi pada wilayah sosial dan bukannya pada wilayah individual, sehingga langue bisa
disebut sebagai fakta sosial. Bahasa dan dinamika masyarakat adalah fenomena yang bersifat
natural, akan tetapi bisa juga berubah menjadi fenomena politis karena adanya campur tangan
dari penguasa. Bahasa kemudian dijadikan sebagai alat untuk mengontrol masyarakat dan
lebih jauh lagi adalah untuk mengokohkan kekuasaan atau malah untuk mewujudkan
integrasi sosial. Integrasi sosial bisa juga terjadi karena adanya identitas kebersamaan yang
bisa menjadi pembeda dengan entitas sosial yang lain, yang kadang-kadang diikuti oleh
kebanggaan terhadap entitas sendiri dan tidak jarang mengganggap remeh entitas sosial yang
lain. Bahasa adalah salah satu simbol identitas kebersamaan yang bisa berfungsi untuk
mewujudkan integrasi sosial.

Daftar Pustaka:
Abdullah, Taufik. "Analisis Kebudayaan, tahun I; No.2 1980/1981: 11".
Ahimsa-Putra, Heddy Shri (1997). "Claude Levi-Strauss: Butir-Butir Pemikiran Antropologi"
dalam Levi-Strauss Empu Antropologi Struktural. Yogyakarta: LKiS.
Cassirer, Ernst (1987). "An Essay on Man" diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh
Alois A. Nugroho. Jakarta: PT Gramedia.
de Saussure, Ferdinand (1996). "Cours de Linguistique Generale" diterjemahkan ke dalam
Bahasa Indonesia oleh Rahayu S. Hidayat dan disunting oleh Harimurti Kridalaksana.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Eriyanto (2000). "Kekuasaan Otoriter dari Gerakan Penindasan menuju Politik Hegemoni,
Studi atas Pidato-Pidato Politik Soeharto". Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Foley, William A. (1997). "Anthropological Linguistics An Introduction". Malden USA:
Balckwell Publishers Inc.
Kaplan, David & Albert A. Manners (2000). "The Theory of Culture" diterjemahkan ke
dalam Bahasa Indonesia oleh Landung Simatupang. Yogyakarta: Pustakan Pelajar.
Kuper, Adam (1996). "Anthropology and Anthropologists" diterjemahkan ke dalam Bahasa
Indonesia oleh Achmad Fedyani Saifuddin. Jakarta: Bhratara Karya Aksara.
Levi-Strauss, Claude (1997). "Mitos, Dukun & Sihir" diterjemahkan dari karya-karya penting
Claude Levi-Strauss ke dalam Bahasa Indonesia oleh Agus Cremers dan De Santo Johanes.
Yogyakarta: Kanisius.
Piliang, Yasraf Amir (1999). "Hiper-Realitas Kebudayaan". Yogyakarta: LKiS.

Oleh: Nugroho Trisnu Brata S Sos., M.Hum.

Sumber: http://antropologi.fib.ugm.ac.id/artdetail.php?id=4

Menuju Masyarakat Indonesia yang Multikultural<center></center>

Pendahuluan

Dalam tulisan saya (Suparlan 2001a, 2001b) telah saya bahas dan tunjukkan bahwa cita-cita
reformasi untuk membangun Indonesia Baru harus dilakukan dengan cara membangun dari
hasil perombakan terhadap keseluruhan tatanan kehidupan yang dibangun oleh Orde Baru.
Inti dari cita-cita tersebut adalah sebuah masyarakat sipil demokratis, adanya dan
ditegakkannya hukum untuk supremasi keadilan, pemerintahan yang bersih dari KKN,
terwujudnya keteraturan sosial dan rasa aman dalam masyarakat yang menjamin kelancaran
produktivitas warga masyarakat, dan kehidupan ekonomi yang mensejahterakan rakyat
Indonesia. Bangunan Indonesia Baru dari hasil reformasi atau perombakan tatanan
kehidupan Orde Baru adalah sebuah "masyarakat multikultural Indonesia" dari puing-puing
tatanan kehidupan Orde Baru yang bercorak "masyarakat majemuk" (plural society).
Sehingga, corak masyarakat Indonesia yang bhinneka tunggal ika bukan lagi
keanekaragaman sukubangsaa dan kebudayaannya tetapi keanekaragaman kebudayaan yang
ada dalam masyarakat Indonesia.

Acuan utama bagi terwujudnya masyarakat Indonesia yang multikultural adalah


multikulturalisme, yaitu sebuah ideologi yang mengakui dan mengagungkan perbedaan
dalam kesederajatan baik secara individual maupun secara kebudayaan (Fay 1996, Jary dan
Jary 1991, Watson 2000). Dalam model multikulturalisme ini, sebuah masyarakat (termasuk
juga masyarakat bangsa seperti Indonesia) dilihat sebagai mempunyai sebuah kebudayaan
yang berlaku umum dalam masyarakat tersebut yang coraknya seperti sebuah mosaik. Di
dalam mosaik tercakup semua kebudayaan dari masyarakat-masyarakat yang lebih kecil yang
membentuk terwujudnya masyarakat yang lebih besar, yang mempunyai kebudayaan yang
seperti sebuah mosaik tersebut (Reed, ed. 1997). Model multikulturalisme ini sebenarnya
telah digunakan sebagai acuan oleh para pendiri bangsa Indonesia dalam mendesain apa yang
dinamakan sebagai kebudayaan bangsa, sebagaimana yang terungkap dalam penjelasan Pasal
32 UUD 1945, yang berbunyi: "kebudayaan bangsa (Indonesia) adalah puncak-puncak
kebudayaan di daerah".

Tulisan ini ingin menunjukkan bahwa upaya membangun Indonesia yang multikultural hanya
mungkin dapat terwujud bila: (1) Konsep multikulturalisme menyebar luas dan dipahami
pentingnya bagi bangsa Indonesia, serta adanya keinginan bangsa Indonesia pada tingkat
nasional maupun lokal untuk mengadopsi dan menjadi pedoman hidupnya; (2) Kesamaan
pemahaman diantara para ahli mengenai makna multikulturalisme dan bagunan konsep-
konsep yang mendukungnya, dan (3) Upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk dapat
mewujudkan cita-cita ini.

Konsep Multikulturalisme dan Persebarannya

Walaupun multikulturalisme itu telah digunakan oleh pendiri bangsa Indonesia untuk
mendesain kebudayaan bangsa Indonesia tetapi bagi pada umumnya orang Indonesia masa
kini multikulturalisme adalah adalah sebuah konsep asing. Saya kira perlu adanya tulisan-
tulisan yang lebih banyak oleh para ahli yang kompeten mengenai multikulturalisme di media
massa daripada yang sudah ada selama ini. Konsep multikulturalisme tidaklah dapat
disamakan dengan konsep keanekaragaman secara sukubangsa atau kebudayaan sukubangsa
yang menjadi ciri masyarakat majemuk, karena multikulturalisme menekankan
keanekaragaman kebudayaan dalam kesederajatan. Ulasan mengenai multikulturalisme akan
harus mau tidak mau akan juga mengulas berbagai permasalahan yang mendukung ideologi
ini, yaitu politik dan demokrasi, keadilan dan penegakkan hukum, kesempatan kerja dan
berusaha, HAM, hak budaya komuniti dan golongan minoritas, prinsip-prinsip etika dan
moral, dan tingkat serta mutu produktivitas.

Kalau kita melihat apa yang terjadi di Amerika Serikat dan di negara-negara Eropah Barat
maka sampai dengan Perang Dunia ke-2 masyarakat-masyarakat tersebut hanya mengenal
adanya satu kebudayaan, yaitu kebudayaan Kulit Putih yang Kristen. Golongan-golongan
lainnya yang ada dalam masyarakat-masyarakat tersebut digolongkan sebagai minoritas
dengan segala hak-hak mereka yang dibatasi atau dikebiri. Di Amerika Serikat berbagai
gejolak untuk persamaan hak bagi golongan minoritas dan kulit hitam serta kulit berwarna
mulai muncul di akhir tahun 1950an. Puncaknya adalah pada tahun 1960an dengan
dilarangnya perlakuan diskriminasi oleh orang Kulit Putih terhadap orang Kulit Hitam dan
Berwarna di tempat-tempat umum, perjuangan Hak-Hak Sipil, dan dilanjutkannya perjuangan
Hak-Hak Sipil ini secara lebih efektif melalui berbagai kegiatan affirmative action yang
membantu mereka yang tergolong sebagai yang terpuruk dan minoritas untuk dapat mengejar
ketinggalan mereka dari golongan Kulit Putih yang dominan di berbagai posisi dan jabatan
dalam berbagai bidang pekerjaan dan usaha (lihat Suparlan 1999).

Di tahun 1970an upaya-upaya untuk mencapai kesederajatan dalam perbedaan mengalami


berbagai hambatan, karena corak kebudayaan Kulit Putih yang Protestan dan dominan itu
berbeda dari corak kebudayaan orang Kulit Hitam, orang Indian atau Pribumi Amerika, dan
dari berbagai kebudayaan bangsa dan sukubangsa yang tergolong minoritas sebagaimana
yang dikemukakan oleh Nieto (1992) dan tulisan-tulisan yang di-edit oleh Reed (1997).
Yang dilakukan oleh para cendekiawan dan pejabat pemerintah yang pro demokrasi dan
HAM, dan yang anti rasisme dan diskriminasi adalah dengan cara menyebarluaskan konsep
multikulturalisme dalam bentuk pengajaran dan pendidikan di sekolah-sekolah di tahun
1970an. Bahkan anak-anak Cina, Meksiko, dan berbagai golongan sukubangsa lainnya
dewasa ini dapat belajar dengan menggunakan bahasa ibunya di sekolah sampai dengan
tahap-tahap tertentu (Nieto 1992). Jadi kalau Glazer (1997) mengatakan bahwa 'we are all
multiculturalists now' dia menyatakan apa yang sebenarnya terjadi pada masa sekarang ini di
Amerika Serikat, dan gejala tersebut adalah produk dari serangkaian proses-proses
pendidikan multikulturalisme yang dilakukan sejak tahun 1970an.

Multikulturalisme bukan hanya sebuah wacana tetapi sebuah ideologi yang harus
diperjuangkan, karena dibutuhkan sebagai landasan bagi tegaknya demokrasi, HAM, dan
kesejahteraan hidup masyarakatnya. Multikulturalisme bukan sebuah ideologi yang berdiri
sendiri terpisah dari ideologi-ideologi lannya, dan multikulturalisme membutuhkan
seperangkat konsep-konsep yang merupakan bangunan konsep-konsep untuk dijadikan acuan
bagi memahaminya dan mengembang-luaskannya dalam kehidupan bermasyarakat. Untuk
dapat memahami multikulturalisme diperlukan landasan pengetahuan yang berupa bangunan
konsep-konsep yang relevan dengan dan mendukung keberadaan serta berfungsinya
multikulturalisme dalam kehidupan manusia. Bangunan konsep-konsep ini harus
dikomunikasikan diantara para ahli yang mempunyai perhatian ilmiah yang sama tentang
multikultutralisme sehinga terdapat kesamaan pemahaman dan saling mendukung dalam
memperjuangkan ideologi ini. Berbagai konsep yang relevan dengan multikulturalisme
antara lain adalah, demokrasi, keadilan dan hukum, nilai-nilai budaya dan etos, kebersamaan
dalam perbedaan yang sederajat, sukubangsa, kesukubangsaan, kebudayaan sukubangsa,
keyakinan keagamaan, ungkapan-ungkapan budaya, domain privat dan publik, HAM, hak
budaya komuniti, dan konsep-konsep lainnya yang relevan (Fay 1996, Rex 1985, Suparlan
2002)..
Pemahaman Tentang Multikulturalisme

Akar kata dari multikulturalisme adalah kebudayaan. Pengertian kebudayaan diantara para
ahli harus dipersamakan atau setidak-tidaknya tidak dipertentangkan antara satu konsep yang
dipunyai oleh seorang ahli dengan konsep yang dipunyai oleh ahli atau ahli-ahli lainnya.
Karena multikulturalsime itu adalah sebuah ideologi dan sebuah alat atau wahana untuk
meningkatkan derajat manusia dan kemanusiannya, maka konsep kebudayaan harus dilihat
dalam perspektif fungsinya bagi kehidupan manusia. Saya melihat kebudayaan dalam
perspektif tersebut dan karena itu melihat kebudayaan sebagai pedoman bagi kehidupan
manusia. Yang juga harus kita perhatikan bersama untuk kesamaan pendapat dan
pemahaman adalah bagaimana kebudayaan itu operasional melalui pranata-pranata sosial.

Sebagai sebuah ide atau ideologi multikulturalisme terserap dalam berbagai interaksi yang
ada dalam berbagai struktur kegiatan kehidupan manusia yang tercakup dalam kehidupan
sosial, kehidupan ekonomi dan bisnis, dan kehidupan politik, dan berbagai kegiatan lainnya
di dalam masyarakat yang bersangkutan Kajian-kajian mengenai corak kegiatan, yaitu
hubungan antar-manusia dalam berbagai manajemen pengelolaan sumber-sumber daya akan
merupakan sumbangan yang penting dalam upaya mengembangkan dan memantapkan
multikulturalisme dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara bagi Indonesia.

Salah satu isyu yang saya kira cukup penting untuk diperhatikan di dalam kajian-kajian
mengenai manajemen pengelolaan sumber-sumber daya adalah corak dari kebudayaan
manajemen yang ada setempat, atau pada corak kebudayaan korporasi bila perhatian kajian
terletak pada kegiatan pengelolaan manajemen sumber daya dalam sebuah korporasi.
Perhatian pada pengelolaan manajemen ini akan dapat menyingkap dan mengungkapkan
seperti apa corak nilai-nilai budaya dan operasionalisasi nilai-nilai budaya tersebut atau etos,
dalam pengelolaaan manajemen yang dikaji. Kajian seperti ini juga akan dapat menyingkap
dan mengungkap seperti apa corak etika (ethics) yang ada dalam struktur-struktur kegiatan
sesuatu pengelolaan manajemen yang memproses masukan (in-put) menjadi keluaran.(out-
put). Apakah memang ada pedoman etika dalam setiap struktur manajemen, ataukah tidak
ada pedoman etikanya, ataukah pedoman etika itu ada yang ideal (yang dicita-citakan dan
yang dipamerkan) dan yang aktual (yang betul-betul digunakan dalam proses-proses
manajemen dan biasanya disembunyikan dari pengamatan umum)?

Permasalahan etika ini menjadi sangat penting dalam pengelolaan manajemen sumber daya
yang dilakukan oleh berbagai organisasi, lembaga, atau pranata yang ada dalam masyarakat.
Negeri kita kaya raya akan sumber-sumber daya alam dan kaya akan sumber-sumber daya
manusia yang berkualitas. tetapi pada masa sekarang ini kita, bangsa Indonesia, tergolong
sebagai bangsa yang paling miskin di dunia dan tergolong ke dalam bangsa-bangsa yang
negaranya paling korup. Salah satu sebab utamanya adalah karena kita tidak mempunyai
pedoman etika dalam mengelola sumber-sumber daya yang kita punyai. Pedoman etika yang
menjamin proses-proses manajemen tersebut akan menjamin mutu yang dihasilkannya.
Kajian-kajian seperti ini bukan hanya menyingkap dan mengungkapkan ada tidaknya atau
bercorak seperti apa nilai-nilai budaya yang berlaku dan etika yang digunakan sebagai
pedoman dalam pengelolaan manajemen sesuatu kegiatan, organisasi, lembaga, atau pranata;
tetapi juga akan mampu memberikan pemecahan yang terbaik mengenai pedoman etika yang
seharusnya digunakan menurut dan sesuai dengan konteks-konteks macam kegiatan dan
organisasi.

Secara garis besarnya etika (ethics) dapat dilihat sebagai 'Pedoman yang berisikan aturan-
aturan baku yang mengatur tindakan-tindakan pelaku dalam sebuah profesi, yang di dalam
pedoman tersebut terserap prinsip-prinsip moral dan nilai-nilai yang mendukung dan
menjamin dilakukannya kegiatan profesi si pelaku sebagaimana seharusnya, sesuai dengan
hak dan kewajibannya. Sehingga peranannya dalam sesuatu struktur kegiatan adalah
fungsional dalam memproses masukan menjadi keluaran yang bermutu (Bertens 2001,
Magnis-Suseno 1987). Dalam ruang lingkup luas, dalam masyarakat-masyarakat maju, kita
kenal adanya etika politik, etika akademik, etika bisnis, etika administrasi dan birokrasi, dan
sebagainya. Dalam ruang lingkup yang lebih kecil kita bisa melihat berbagai pedoman etika
yang ada atau tidak ada dalam berbagai struktur kehidupan atau pengelolaan sumber-
sumberdaya yang lebih khusus, misalnya pembahasan mengenai "Akbar Tanjung dan Etika
Politik" sebagaimana yang telah dikemukakanoleh Alfian M (2002)

Masalah yang kita hadapi berkenaan dengan upaya menuju masyarakat Indonesia yang
multikultural adalah sangat kompleks. Apakah kita para ahli antropologi sudah siap untuk
itu? Apakah Jurusan-jurusan Antropologi yang ada di Indonesia ini juga sudah siap untuk
itu? Dalam kesempatan ini saya ingin menghimbau bahwa mungkin ada baiknya bila kita
semua memeriksa diri kita masing-masing mengenai kesiapan tersebut. Pertama, apakah
secara konseptual dan teoretikal kita cukup mampu untuk melakukan penelitian dan analisis
atas gejala-gejala yang menjadi ciri-ciri dari masyarakat majemuk yang telah selama lebih
dari 32 tahun kita jalani, dan apakah kita juga akan mampu untuk membuat semacam
blueprint untuk merubahnya menjadi bercorak multikultural? Kalau kita belum mampu,
sebaiknya kita persiapkanlah diri kits melalui berbagai kegiatan diskusi, seminar, atau
lokakarya untuk menambah khazanah ilmu pengetahuan kita dan mempertajam konsep-
konsep dan metodologi yang relevan dalam kajian mengenai ungkapan-ungkapan masyarakat
majemuk dan multikultural. Kalau merasa diperlukan, sebaiknya pimpinan dan dosen-dosen
dari berbagai Jurusan Antropologi dapat duduk bersama untuk membicarakan isyu-isyu
penting berkenaan dengan peranan antropologi dalam membangun Indonesia sesuai cita-cita
reformasi. Pembicaraan para pimpinan jurusan ini sebaiknya terfokus pada upaya untuk
mengembangkan kurikulum dan konsep-konsep serta metodologi yang sesuai dengan itu.

Kedua, apakah secara metodologi kita sudah siap untuk itu? Kajian-kajian etnografi yang
teradisional, yang bercorak butterfly collecting sebagaimana yang selama ini mendominasi
kegiatan-kegiatan penelitian mahasiswa untuk skripsi dan dosen, sebaiknya ditinjau kembali
untuk dirubah sesuai dengan perkembangan antropologi dewasa ini dan sesuai dengan upaya
pembangunan masyarakat Indonesia menuju masyarakat yang multikultural. Penelitian
etnografi yang bercorak penulisan jurnalisme juga sebaiknya dihindari dan diganti dengan
penelitian etnografi yang terfokus dan mendalam, yang akan mampu mengungkap apa yang
tersembunyi dibalik gejala-gejala yang dapat diamati dan didengarkan, dan yang akan mampu
menghasilkan sebuah kesimpulan atau tesis yang sahih. Begitu juga kegiatan-kegiatan
penelitian yang menggunakan kuesioner untuk mendapat respons dari respeonden atas
sejumlah pertanyaan sebaiknya ditinggalkan dalam kajian untuk dan mengenai
multikulturalisme ini. Karena, kajian seperti ini hanya akan mampu menghasilkan informasi
mengenai kecenderungan gejala-gejala yang diteliti, bersifat superfisial, dan
menyembunyikan bayak kebenaran yang seharusnya dapat diungkapan melalui dan dalam
kegiatan sesuatu penelitian. Pendekatan kualitatif dan etnografi, yang biasanya dianggap
tidak ilmiah karena tidak ada angka-angka statistiknya, sebaiknya digunakan dengan
menggunakan metode-metode yang baku sebagaimana yang ada dalam buku yang di-edit
oleh Denzin dan Lincoln (2000), karena justru pendekatan kualitatif inilah yang ilmiah dan
obyektif dalam konteks-konteks masyarakat atau gejala-gejala dan masalah yang ditelitinya.
Untuk itu perlu juga diperiksa tulisan Guba dan tulisan-tulisan dari sejumlah penulis yang di-
editnya (1990) yang menunjukkan kelemahan dari filsafat positivisme yang menjadi landasan
utama dari metodologi kualitatif.

Ketiga, ada baiknya jika berbagai upaya untuk melakukan kajian multikulturalisme dan
masyarakat mulitikultural yang telah dilakukan oleh ahli-ahli antropologi juga dapat
menstimuli dan melibatkan ahli-ahli sosiologi, ilmu politik, ilmu ekonomi dan bisnis, ilmu
pendidikan, ilmu hukum, ilmu kepolisian, dan ahli-ahli dari berbagai bidang ilmu
pengetahuan lainnya untuk secara bersama-sama melihat, mengembangkan dan
memantapkan serta menciptakan model-model penerapan multikutlralisme dalam masyarakat
Indonesia, menurut perspektif dan keahlian akademik masing-masing. Sehingga secara
bersama-sama tetapi melalui dan dengan menggunakan pendekatan masing-masing, upaya-
upaya untuk menuju masyarakat Indonesia yang multikultural itu dapat dengan secara cepat
dan efektif berhasil dilaksanakan.

Upaya-upaya tersebut diatas dapat dilakukan oleh Jurusan Antropologi, atau gabungan
Jurusan Antropologi dan satu atau sejumlah jurusan lainnya yang ada dalam sebuah
universitas atau sejumlah universitas dalam sebuah kota untuk mengorganisasi kegiatan-
kegiatan diskusi, seminar kecil, atau lokakarya. Kegiatan-kegiatan ini akan dapat dijadikan
landasan bagi dilakukannya kegiatan seminar atau lokakarya yang lebih luas ruang
lingkupnya. Dengan cara ini maka konsep-konsep dan teori-teori serta metodologi berkenaan
dengan kajian mengenai multikulturalisme, masyarakat multikultural, dan perubahan serta
proses-prosesnya dan berbagai konsep serta teori yang berkaitan dengan itu semua akan dapat
dikembangkan dan dipertajam sehingga operasional di lapangan.

Disamping bekerja sama dengan para ahli dari berbagai bidang ilmu pengetahuan yang
mempunyai perhatian terhadap masalah multikulturalisme, ahli-ahli antropologi dan terutama
pimpinan jurusan antropologi sebaiknya mulai memikirkan untuk memberikan informasi
mengenai multikulturalisme kepada berbagai lembaga, badan, dan organisasi pemerintahan
yang dalam kebijaksanaan mereka langsung atau tidak langsung berkaitan dengan masalah
multikulturalisme. Hal yang sama juga sebaiknya dilakukan terhadap sejumlah LSM dan
tokoh-tokoh masyarakat atau partai politik. Selanjutnya, berbagai badan atau organisasi
pemerintahan serta LSM diajak dalam berbagai kegiatan diskusi, seminar, dan lokakarya
sebagai peserta aktif. Mereka ini adalah kekuatan sosial yang akan mendukung dan bahkan
dapat memelopori terwujudnya cita-cita reformasi bila mereka memahami makna
multikulturalisme dan bangunan konsep-konsep yang berkaitan dengan itu, atau mereka itu
dapat juga menentang multikulturalisme dan ide tentang masyarakat multikultural Indonesia
bila mereka tidak memahaminya atau mereka merasa tidak berkepentingan untuk turut
melakukan reformasi.

Upaya-Upaya Yang Dapat Dilakukan

Cita-cita reformasi yang sekarang ini nampaknya mengalami kemacetan dalam


pelaksanaannya ada baiknya digulirkan kembali. Alat penggulir bagi proses-proses reformasi
sebaiknya secara model dapat dioperasionalkan dan dimonitor, yaitu mengaktifkan model
multikulturalisme untuk meninggalkan masyarakat majemuk dan secara bertahap memasuki
masyarakat multikultural Indoneaia. Sebagai model maka masyarakat multikultural
Indonesia adalah sebuah masyarakat yang berdasarkan pada ideologi multikulturalisme atau
bhinneka tunggal ika yang multikultural, yang melandasi corak struktur masyarakat
Indonesia pada tingkat nasional dan lokal.

Bila pengguliran proses-proses reformasi yang terpusat pada terbentuknya masyarakat


multikultural Indonesia itu berhasil maka tahap berikutnya adalah mengisi struktur-struktur
atau pranata-pranata dan organisasi-organisasi sosial yang tercakup dalam masyarakat
Indonesia. Isi dari struktur-struktur atau pranata-pranata sosial tersebut mencakup reformasi
dan pembenahan dalam kebudayaan-kebudayaan yang ada, dalam nilai-nilai budaya dan etos,
etika, serta pembenahan dalam hukum dan penegakkan hukum bagi keadilan. Dalam upaya
ini harus dipikirkan adanya ruang-ruang fisik dan budaya bagi keanekaragaman kebudayaan
yang ada setempat atau pada tingkat lokal maupun pada tingkat nasional dan berbagai corak
dinamikanya.

Upaya ini dapat dimulai dengan pembuatan pedoman etika dan pembakuannya sebagai acuan
bertindak sesuai dengan adab dan moral dalam berbagai interaksi yang terserap dalam hak
dan kewajiban dari pelakunya dalam berbagai struktur kegiatan dan manajemen. Pedoman
etika ini akan membantu upaya-upaya pemberantasan KKN secara hukum.

Upaya-upaya tersebut diatas tidak akan mungkin dapat dilaksanakan bila pemerintah nasional
maupun pemerintah-pemerintah daerah dalam berbagai tingkatnya tidak menginginkannya
atau tidak menyetujuinya. Ketidak inginan merubah tatanan yang ada biasanya berkaitan
dengan berbagai fasilitas dan keistimewaan yang diperoleh dan dipunyai oleh para pejabat
dalam hal akses dan penguasaan atas sumber-sumber daya yang ada dan pendistribusiannya.
Mungkin peraturan yang ada berkenaan dengan itu harus direvisi, termasuk revisi untuk
meningkatkan gaji dan pendapatan para pejabat, sehingga peluang untuk melakukan KKN
dapat dibatasi atau ditiadakan.

Bersamaan dengan upaya-upaya tersebut diatas, sebaiknya Depdiknas R.I. mengadopsi


pendidikan multikulturalisme untuk diberlakukan dalam pendidikan sekolah, dari tingkat SD
sampai dengan tingkat SLTA. Multikulturalisme sebaiknya termasuk dalam kurikulum
sekolah, dan pelaksanaannya dapat dilakukan sebagai pelajaran ekstra-kurikuler atau menjadi
bagian dari krurikulum sekolah (khususnya untuk daerah-daerah bekas konflik berdarah antar
sukubangsa, seperti di Poso, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah dan berbagai tempat
lainnya). Dalam sebuah diskusi dengan tokoh-tokoh Madura, Dayak, dan Melayu di
Singkawang baru-baru ini, mereka itu semuanya menyetujui dan mendukung ide tentang
diselenggarakannya pelajaran multikulturalisme di seklah-sekolah dalam upaya mencegah
terulangnya kembali di masa yang akan datang konflik berdarah antar sukubangsa yang
pernah mereka alami baru-baru ini (lihat Suparlan 2002)

Sebagai penutup mungkin dapat kita pikirkan bersama apakah multikulturalisme sebagai
ideologi yang mendukung cita-cita demokrasin akan hanya kita jadikan sebagai wacana
ataukah akan kita jadikan sebagai sebuah tema utama dalam antropologi Indonesia yang akan
merupakan sumbangan antropologi Indonesia bagi pembangunan masyarakat Indonesia.
Semuanya terpulang pada keputusan kita bersama.

Daftar Kepustakaan

Alfian M., M. Alfian, 2002, "Akbar Tanjung dan Etika Politik". Harian Media Indonesia, 19
Maret 2002.

Bertens, K., 2991, Etika. Jakarta: Gramedia.

Denzin, Norman K. dan Yvonna S. Lincolns (eds), 2000, Handbook of Qualitative Research.
Second Edition. London: Sage.

Fay, Brian, 1996, Contemporary Philosophy of Social Science: A Multicultural Approach.


Oxford: Blackwell

Glazer, Nathan, 1997, We Are All Multiculturalists Now. Cambridge, Mass.:Harvard


University Press.

Guba, Egon G.(ed.), The Paradigm Dialog. London: Sage.

Jary, David dan Julia Jary, 1991, "Multiculturalism". Hal.319. Dictionary of Sociology.
New York: Harper.

Magnis-Suseno, 1987, Etika Dasar. Yogyakarta: Kanisius.

Nieto, Sonia, 1992, Affirming Diversity: The Sociopolitical Context of Multicultural


Education. New York: Longman.

Reed, Ishmed (ed.), Multi America: Essays on Culture Wars and Peace. Pinguin.

Rex, John, 1985, "The Concept of Multicultural Society". Occassional Paper in Ethnic
Relations, No. 3. Centre for Research in Ethnic Relations (CRER).
Suparlan, Parsudi, 1999, "Kemajemukan Amerika: Dari Monokulturalisme ke
Multikulturalisme". Jurnal Studi Amerika, vol.5 Agustus, hal. 35-42.

_________ , 2001a, "Bhinneka Tunggal Ika: Keanekaragaman Sukubangsa atau


Kebudayaan? makalah disampaikan dalam Seminar

"Menuju Indonesia Baru". Perhimpunan Indonesia Baru - Asosiasi Antropologi


Indonesia. Yogyakarta, 16 Agustus 2001.

_________ , 2001b, "Indonesia Baru Dalam Perspektif Multikulturalisme". Harian


Media Indonesia, 10 Desember 2001.

_________ , 2002a, "Kesetaraan Warga dan Hak Budaya Komuniti dalam Masyarakat
Majemuk Indonesia". Jurnal Antropologi Indonesia, no. 6,

hal. 1-12.

_________ , 2002b, Konflik Antar-Sukubangsa dan Upaya Mengatasinya. Temu


Tokoh. "Dengan Keberagaman Etnis Kita Perkokoh Persatuan dan

Kesatuan Bangsa dalam Rangka Menuju Integrasi Bangsa". Badan Pengembangan


Kebudayaan dan Pariwisata Deputi Bidang Pelestarian

dan Pengembangan Budaya - Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional (BKNST)
Pontianak. Singkawang, 12-14 Juni 2002.

Watson, C.W., 2000, Multiculturalism. Buckingham-Philadelphia: Open University Press.

Oleh: Parsudi Suparlan

Simposium Internasional Bali ke-3, Jurnal Antropologi Indonesia, Denpasar Bali, 16-21 Juli
2002

Sumber: http://www.scripps.ohiou.edu/news/cmdd/artikel_ps.htm

Krisis Relevansi Antropologi di Indonesia <center></center>

Apa relevansi antropologi untuk Indonesia saat ini? Pertanyaan ini seolah smash bola voli
dari umpan tarik tak terduga. Adalah dosen senior antropologi Amri Marzali yang
melontarkannya. Tampil sebagai keynote speaker dalam ”4th International Symposium of
Jurnal Antropologi Indonesia” di Universitas Indonesia, 12-15 Juli 2005, Amri merasa
gelisah dan prihatin terhadap krisis relevansi yang sedang menerpa disiplin antropologi,
khususnya di Indonesia.

Menurutnya, krisis relevansi itu mencakup tiga hal. Pertama, berkaitan dengan konsep utilitas
dalam ilmu ekonomi atau kurang lebih asas manfaat seperti dalam ilmu ekonomi. Hal ini
berhubungan dengan keadaan bahwa saat ini antropologi berkembang dalam masyarakat yang
berorientasi pasar. Kedua, berkaitan dengan kekuatan explanatory, sampai seberapa jauh
antropologi dapat menjelaskan masalah-masalah sosial di lingkungannya secara ilmiah.
Ketiga, berhubungan dengan moral significance yang menyangkut cara dan tujuan
penggunaan antropologi. Tentu saja ini berhubungan dengan etika keilmuan, yang
menyangkut untuk apa dan siapa kegiatan keilmuan dilakukan, untuk kejahatan kemanusiaan
atau kemaslahatan.
Tulisan ini hendak memberikan beberapa catatan mengenai krisis relevansi seperti yang telah
diungkapkan. Pertama, kenyataan di lapangan menunjukkan, belakangan kajian-kajian yang
menggunakan antropologi sebagai alat analisa semakin banyak. Hal ini ditunjukkan dengan
terbitnya buku-buku kajian keislaman di Indonesia yang ditulis baik oleh sarjana Barat
ataupun Timur, termasuk Indonesia. Beberapa proyek departemen, seperti Depdiknas,
sebagian penelitiannya menggunakan pendekatan antropologi untuk memperoleh penjelasan
terhadap beberapa masalah pendidikan di Indonesia. Sebagian LSM juga menggunakan jasa
ilmu ini dalam riset-riset yang mereka lakukan.

Sayangnya, pada saat yang sama, secara institusional dan akademik, antropologi tidak
menjadi jurusan atau program studi yang marketable. Banyak perguruan tinggi negeri yang
tersebar di seluruh Indonesia tapi tidak punya jurusan antropologi. Apalagi untuk swasta,
penulis belum mendengar ada yang berani membuka jurusan antropologi. Ini memperlihatkan
adanya kekhawatiran, membuka jurusan ini tidak akan memberikan keuntungan apa-apa
karena tidak ada peminatnya. Bandingkan dengan jurusan akuntansi, manajemen, psikologi,
atau yang sedang menjadi tren sekarang ilmu komunikasi.

Alasan yang mudah diduga mengapa hanya sedikit mahasiswa yang memilih jurusan
antropologi adalah karena lulusan jurusan ini tidak mudah dalam memperoleh pekerjaan.
Faktor prospek masa depan adalah pertimbangan yang sangat wajar dan realistis. Banyak
mahasiswa antropologi yang penulis jumpai mengaku memilih jurusan antropologi sebagai
pilihan kedua atau ketiga ketika mengikuti ujian masuk perguruan tinggi. Artinya, selain
dianggap tak terlalu menjanjikan di satu sisi, juga bahwa antropologi belum bisa
mempromosikan dirinya sendiri sebagai pilihan favorit.

Kedua, selama ini antropologi masih menjadi disiplin yang lebih berorientasi pada keilmuan
an sich, dalam hal ini sebagai ilmu humaniora atau sosial, yang basis utamanya penelitian
lapangan. Sudah saatnya untuk dipikirkan, selain berorientasi keilmuan, antropologi juga
mengembangkan diri dengan berorientasi antropolog sebagai profesi. Istilah seperti
antropolog, sosiolog, bahkan juga geolog dan beberapa yang lain pengertiannya bukanlah
profesi, tetapi secara lazim berkonotasi pada kepakaran atau keahlian.

Mereka biasanya berprofesi sebagai dosen dan atau peneliti. Bandingkan dengan disiplin
psikologi yang selain berorientasi keilmuan dengan melahirkan para sarjana psikologi, juga
mencetak profesi psikolog. Oleh karena itu, bukan sesuatu yang mengada-ada bagi
antropologi untuk memperluas orientasi akademisnya.

Tentu saja ini tidak semudah membalik telapak tangan. Yang dibutuhkan adalah kerja keras,
sehingga pada saatnya masyarakat akan melihat antropologi sebagai pilihan yang
menjanjikan. Hal ini kiranya tidak jauh dari harapan Amri Marzali agar antropologi tidak
mengenyampingkan applied anthropology, yang menurutnya sebagian ahli antropologi
mengkhawatirkan akan menurunkan gengsi disiplin ini.

Catatan lain, bahwa para sarjana antropologi juga mempunyai pekerjaan rumah untuk
menggeser citra yang telanjur melekat pada benak masyarakat awam bahwa disiplin ini
adalah ilmu yang hanya mempelajari masyarakat primitif.

Kenyataan ini menunjukkan bahwa antropologi memang belum dipromosikan secara


maksimal. Bahwa cakupan kajian antropologi kini telah sedemikian luasnya sehingga
merambah pada kehidupan komunitas perkotaan yang kosmopolit, hal ini merupakan
kenyataan yang tak dapat dipungkiri. Poin ini juga mempunyai hubungan dengan antropologi
terapan yang semestinya mempunyai sensitivitas terhadap berbagai masalah yang timbul
dalam masyarakat sebagai dampak globalisasi.
Akhir kata, penulis berharap catatan ini bisa menyambung lidah kelu Amri Marzali, salah
satu mursyid antropologi di Indonesia saat ini, yang telah memperjuangkan kemajuan disiplin
antropologi agar bisa memberi kontribusi lebih besar kepada bangsa ini.

Mohammad Rozi, Alumnus Program Studi Antropologi pada Pascasarjana UGM

Sumber: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0507/30/humaniora/1937647.htm

Pengantar "Manusia Bugis": Lapis Waktu <center></center>

Setiap kali membaca buku sejarah dan kebudayaan yang ditulis dengan baik, setiap kali pula
kita merasa berhadapan dengan sebentang peta yang digambar dengan apik. Yang ditemui di
dalam karya itu memang bukan melulu lembaran peta ruang dengan bidang, jarak, koordinat,
dan nama-nama tempat. Yang dihadapi di sana lebih merupakan peta waktu yang bergerak
menjawab—sekaligus menciptakan—berbagai perubahan. Dan waktu yang dipetakan di sana
adalah waktu yang silam, waktu yang dulunya ditakdirkan terkubur hilang dari pengetahuan
manusia, atau mungkin tersisa sebagai reruntuhan yang tak lagi utuh, yang dijerat dalam
berbagai bentuk fiksi.

Tentang waktu yang hilang ini, seorang sastrawan Perancis yang mengarang novel paling
kompleks di abad ke-20 yang baru lewat menulis: ”Dan demikian pula dengan masa silam
kita. Adalah kerja yang sia-sia untuk merengkuhnya kembali: segala upaya intelek kita
niscaya akan berujung gagal. Masa silam lenyap sembunyi di luar telatah pengetahuan, di
seberang jangkauan intelek, di dalam obyek-obyek bendawi (dalam sensasi yang akan
diruahkan oleh obyek-obyek bendawi itu pada kita) yang keberadaannya tak menilaskan
pratanda apa pun. Dan bergantung pada nasib dan peluang buta belaka, dapat tidaknya kita
bersua dengan obyek-obyek itu sebelum pada akhirnya kita meninggal.” — Marcel Proust, In
Search of Lost Time.

Tanpa memperkecil peran para cendekiawan Eropa lainnya, para cendekiawan Perancis
tampaknya memang punya tempat khusus dalam gagasan tentang pemetaan waktu. Di
simpang abad ke-19 dan ke-20, Marcel Proust dan Henri Bergson menggarap waktu yang
berdenyut di dalam diri manusia, sementara Henri Poincare menggarap waktu kosmis yang
dalam beberapa hal mendahului Albert Einstein. Di antara waktu kosmis dan waktu personal
itu, ada waktu sosial—waktu sejarah. Di paruh pertama abad ke-20 sekumpulan ilmuwan
Perancis yang kelak disebut sebagai ”Mazhab Annales” membentuk pendekatan baru dan
revolusioner atas waktu sejarah. Dipelopori oleh Lucien Febvre dan Marc Bloch, dan
dikukuhkan lebih jauh antara lain oleh Fernand Braudel, berkembanglah pendekatan
interdisipliner atas sejarah yang dikenal sebagai Total History. Di Indonesia pendekatan ini
jelas terlihat pada karya-karya keilmuan Anthony Reid yang sangat berharga, dan terutama
pada tiga jilid karya raksasa Denys Lombard, Le Carrefour Javanais.

Dalam waktu yang hampir bersamaan dengan terbitnya versi bahasa Indonesia karya raksasa
Lombard itu, Nusa Jawa: Silang Budaya (Jakarta: Gramedia, 1996), terbit pula edisi bahasa
Inggris dari karya besar Christian Pelras, The Bugis (London: Blackwell, 1996). Tampaknya
betul bahwa setiap upaya intelektual yang dimatangkan oleh waktu dan tekanan adalah
sebutir intan yang amat berharga. Buku Pelras yang ditopang oleh riset lapangan yang luas
selama empat puluhan tahun ini adalah salah satu dari intan yang berharga itu. Ia akan
melengkapi rangkaian intan yang sudah ada dalam khazanah pengetahuan sejarah kita, baik
di Indonesia maupun di Asia Tenggara. Buku ini menjernihkan beberapa cahaya Manusia
Bugis yang berkilau membutakan, sekaligus memperterang sejumlah cahaya lain yang redup
oleh informasi yang tak memadai.

Meski banyak menganggap jazirah selatan Sulawesi sebagai sumber akar dan kampung
halamannya, orang-orang Bugis hidup menyebar cukup luas di Asia Tenggara. Jejaknya
terlihat di sejumlah tempat di wilayah utara dan barat laut Australia. Manusia Bugis yang
jumlahnya sekitar empat juta jiwa itu, sebagaimana dinyatakan dalam buku ini, adalah salah
satu di antara masyarakat paling menakjubkan di Asia Tenggara dan Pasifik, dan juga yang
paling sedikit diketahui. Salah satu cahaya yang coba dijernihkan buku ini adalah citra
mereka yang menyilaukan dalam legenda dan fiksi modern di mana mereka banyak
dihadirkan sebagai lalu diidentikkan dengan bajak laut yang menggetarkan dan niagawan
budak yang menggiriskan; seakan-akan perompakan di laut lepas sekaligus perdagangan
budak belian adalah mata pencarian alamiah dan satu-satunya yang mampu dikerjakan oleh
Manusia Bugis.

Tentu saja ada, dan banyak, orang Bugis yang hidup meniti buih di samudra luas. Namun,
sebagian besar di antara mereka, terutama yang hidup di kampung halamannya, dalam
kehidupan nyata memang adalah petani, pekebun, pedagang, dan nelayan pantai. Richard
Leaky, pakar ternama asal-usul manusia, tentu akan menandaskan bahwa orang Bugis adalah
bagian dari umat manusia yang nenek moyang terdekatnya adalah peramu dan pemburu; dan
yang menjadi spesies modern karena membangun kemampuan beradaptasi yang
mencengangkan, membangun bahasa, seni, sistem nilai, dan kecakapan teknologis.

Bahwa orang-orang Bugis adalah salah satu masyarakat Asia yang menjadi pemeluk teguh
ajaran Islam, sudah ditegaskan oleh cukup banyak kepustakaan. Begitu teguh mereka
memeluknya sehingga Islam dijadikan bagian dari jati diri mereka. Di Tanah Bugis orang
bahkan bisa membuka sejarah perang pembebasan budak dua setengah abad lebih sebelum
perang pembebasan budak meletup jadi perang saudara di Amerika Serikat. Namun, seperti
juga dibahas oleh buku ini, masyarakat Bugis yang sangat dalam menyerap Islam itu di
banyak wilayah tetap mempertahankan berbagai bentuk peninggalan religio-kultural pra-
Islam.

Sementara itu, trah bangsawan tradisional Bugis yang selama ratusan tahun menempati
lapisan teratas tatanan masyarakat, menandaskan diri sebagai keturunan langsung dari dewa-
dewa purba. Namun, trah ningrat penuh warna ini bukanlah despot dengan kekuasaan
absolut: mereka memperoleh kekuasaan dengan semacam konsensus sosial yang ditandaskan
oleh rakyat yang menawarkan kekuasaan itu kepada mereka.

Di Tanah Bugis, dan di tanah saudara-saudaranya di Sulawesi Selatan, rakyat memang lebih
dahulu ada ketimbang raja. Dan rakyat yang tak puas pada pemerintahan seorang raja bisa
bertindak memakzulkan raja tersebut, atau membubarkan diri sebagai rakyat lalu berpindah
menyeberangi laut untuk mendirikan komunitas baru yang lebih bermartabat, sambil
mungkin tetap membawa cerita tentang tappi’ (pendamping jiwa), tentang kawali dan badik,
yang memilih tuannya sendiri.

Pertautan antara hal-hal yang tampak bertentangan oleh Pelras dianggap sebagai salah satu
kekuatan utama masyarakat Bugis. Buku yang bukan sekadar terjemahan tetapi
penyempurnaan dari edisi bahasa Inggris ini mengangkat cukup banyak pertautan antara hal-
hal yang tampak bertentangan itu. Membaca buku ini, kita pun bisa menyimpulkan bahwa
Sulawesi memang istimewa bukan hanya secara geo-ekologis tetapi juga secara sosio-
historis. Dari Alfred Russell Wallace kita mendapat penegasan betapa geologi dan ekologi
Sulawesi berbeda dari geologi dan ekologi kawasan barat Nusantara yang menjadi bagian
Asia, sekaligus juga berbeda dari geologi dan ekosistem kawasan timur Nusantara yang
menjadi bagian Australia.

Dengan cara yang lain, Pelras mencoba menunjukkan bahwa di masa silam masyarakat di
Sulawesi, khususnya masyarakat Bugis, menempuh sejarah yang berbeda dari Masyarakat
Jawa yang begitu dalam menerima pengaruh India, proses yang oleh Lombard disebut
sebagai ”mutasi pertama” dunia Jawa. Ada sejumlah argumen yang diajukan Pelras, tetapi
yang paling menarik adalah kenyataan yang oleh Pelras dianggap istimewa, yakni
kemampuan masyarakat Bugis membangun kerajaan-kerajaan yang tak berpusat di kota-kota.
Kemampuan ini tentu merupakan kontras dari masyarakat Jawa yang kerajaan-kerajaannya
berpusat di ibu kota yang ditata menurut sebuah struktur konsentris.

Hal lain yang menarik dari masyarakat Bugis adalah bahwa sekalipun mereka telah
membangun kerajaan-kerajaan yang tidak berpusat di kota-kota, mereka juga membangun
sejumlah struktur epistemik yang bisa dikatakan berpusat. Yang paling menonjol di antara
semua struktur itu adalah epik mitologis La Galigo. Narasi besar yang berkisar pada apa yang
dianggap sebagai genesis manusia dan kerajaan tertua yang dijunjung di Tanah Bugis ini
adalah pusat yang dengannya masyarakat Bugis Lama menjangkarkan dan menata diri. Yang
tertarik ke dalam gravitasi dan kemudian mengorbit di sekitar epik mitologis La Galigo ini
bukan lagi kerajaan-kerajaan Bugis tapi juga beberapa kerajaan dan komunitas lain yang ada
di luar semenanjung selatan Sulawesi. Tentu bukan hanya karena fungsi penataan dan
pengaturan dunia yang disediakan oleh narasi raksasa La Galigo ini, yang ikut mendorong
Pelras menjadikan La Galigo sebagai bahan bagi sebuah rekonstruksi hipotetik prasejarah
Bugis.

Paling luas

Walau belum sebanyak kepustakaan tentang Jawa, kepustakaan tentang Bugis sudah banyak
juga yang terbit. Sarjana-sarjana Bumiputera sendiri, seperti HA Mattulada dan Hamid
Abdullah untuk menyebut beberapa nama, telah menghasilkan karya intelektual yang cukup
penting di bidang ini. Namun, yang menarik dari karya Pelras adalah bahwa buku inilah yang
pertama dan yang sejauh ini paling luas mengurai sejarah orang-orang Bugis. Cakupannya
terentang dari kurun fajar antropologis sekitar 40.000 tahun yang silam yang darinya kelak
memunculkan leluhur masyarakat Bugis, kurun peradaban awal yang sejumlah unsurnya
dibingkai dalam siklus La Galigo, hingga ke masa kini—masa masuknya masyarakat Bugis
menyongsong fajar alaf ketiga, setelah melebur diri ke dalam satuan sosial politik yang lebih
besar.

Telaah Pelras yang luas dan telah menyedot hampir 2/3 dari usianya itu seakan mengupas
lapis-lapis waktu yang membentuk sejarah dan kehidupan masyarakat Bugis: lapis-lapis
waktu yang tanpa kegigihan para ilmuwan seperti Pelras akan benar-benar tertimbun lenyap
di luar ranah pengetahuan, di seberang jangkauan jernih intelek.

Proust agaknya betul bahwa tergantung pada unsur nasib dan peluang saja seseorang dapat
bersua dengan obyek bendawi dan sensasi yang diruahkan oleh obyek bendawi itu, yang
memungkinkan seseorang menemukan dan menghidupkan kembali masa-masa yang sudah
silam itu.

Dalam hal masyarakat Bugis, agaknya unsur kebetulan dan nasib baik—yang bagi sebagian
cendekiawan Bugis bahkan terasa nyaris mendekati berkah—itu pula yang membuat mereka
mendapatkan seorang Christian Pelras, seorang ilmuwan yang praktis tak punya hubungan
kekerabatan apa pun dengan masyarakat Bugis, kecuali sekadar kekerabatan sebagai sesama
anggota subspesies Homo sapiens sapiens.

Sudah umum diketahui bahwa sejak beberapa dekade yang silam, upaya-upaya intelektual
para ilmuwan Barat mengaji negeri-negeri Timur telah mendapat tanggapan kritis bahkan
mungkin sinis, dan mereka pun sebagian dicap orientalis yang merupakan perpanjangan
tangan nafsu imperial untuk menundukkan Timur. Para ilmuwan Timur pun berupaya
memanggul tanggung jawab meneliti dunia mereka sendiri, dan beberapa di antaranya telah
menghasilkan karya dengan mutu intelektual yang menonjol. Apa yang dilakukan oleh
sejumlah ilmuwan asing di negeri-negeri yang dikajinya, sebagiannya memang berupa
penggambaran peta yang tak jarang sangat simplistis dan digunakan untuk membekukan
sekaligus menundukkan wilayah itu. Namun harus juga diakui bahwa sejumlah peta sejarah
yang dihasilkan oleh para ilmuwan asing itu sungguh lebih halus dan lebih realistis dari
kebanyakan peta yang digambar atau diangankan oleh para cendekiawan pribumi sendiri.
Peta masa silam Jawa yang disajikan Lombard, dan peta masa silam Bugis yang dihadirkan
Pelras, adalah contoh dari peta-peta yang dimaksud.

Di bagian akhir buku ini Pelras mengangkat pertautan masyarakat Bugis kontemporer ke
dunia global mutakhir yang berlangsung relatif tanpa guncangan dan penolakan kultural.
Pertautan ke dunia yang sedang tumbuh itu, yang bagi sejumlah besar Bugis bahkan menjadi
pilihan satu-satunya untuk tegak sebagai manusia, terdedah jelas dalam pemaparan naiknya
lapis pemimpin dan masyarakat baru Bugis yang mengandalkan bukan pendakuan silsilah
supramanusiawi. Mereka bangkit (tompo’) antara lain karena keyakinan akan nasib (toto’)
yang wajib ditawar dan dibentuk sendiri di tengah segala keperitan, dan penguasaan
pengetahuan rasional yang diserap dari berbagai tempat di luar Tanah Bugis, sampai ke
belahan bumi yang lain.

Ada memang sejumlah anasir dalam kebudayaan Bugis yang membuat perengkuhan atas
dunia global mutakhir—yang menaruh hormat pada gagasan tentang universalitas akal yang
menuntun dan manusia yang bertindak—menjadi sesuatu yang tampak organik. Pelras
misalnya menyajikan bagaimana kebudayaan Bugis menyediakan ruang bagi gender ketiga
dan keempat (calabai dan calalai), dan bagaimana perempuan menduduki tempat yang benar-
benar sejajar dengan lelaki, dengan hak setara dalam merumuskan kebijakan-kebijakan
kerajaan sekaligus bertakhta memerintah kerajaan itu. Dalam sejumlah peristiwa, bahkan di
masa ketika abad ke-20 belum menjelang tiba dan Simone de Beauvoir belum mengarang
The Second Sex, perempuan telah tampil lebih bernyali dan berotak dari para lelaki,
menandaskan keputusan-keputusan penting yang mempertaruhkan masa depan kerajaan.

Kesetaraan gender dan penyediaan ruang pada gender yang lain itu adalah sebagian dari hal-
hal yang membuat tercengang banyak penjelajah Eropa yang pernah singgah di Tanah Bugis.
Meski tak terlalu panjang lebar, Pelras menyajikan banyak hal dari tradisi Bugis yang tampak
mendahului zamannya, yang beberapa di antaranya juga terdapat di bagian lain di Asia dan
Pasifik, dan dengan itu menyangkal sekali lagi banyak gagasan usang tentang Dunia Timur,
sekaligus menandaskan adanya kesamaan dan potensi universal umat manusia yang akan
berkembang rimbun jika keadaan dibuat memungkinkan.

Mungkin kelak akan ada orang yang dengan bekal antara lain peta Bugis Pelras berhasil
mengangkat sejumlah tempat penting yang telah tertimbun waktu, namun senantiasa disebut
dalam puisi epik La Galigo. Kemungkinan lain adalah bahwa sejumlah ilmuwan dan peneliti,
dengan bantuan teknologi yang makin halus, akhirnya membuktikan betapa peta yang
disusun Pelras ternyata, pada beberapa bagian, memang tak terlalu akurat menggambarkan
keadaan yang sesungguhnya.

Namun, bahkan sejarah kartografi dunia pun dipenuhi oleh sejumlah kekeliruan yang terus-
menerus dikoreksi; kekeliruan yang selain telah membantu manusia mengubah dunia di abad-
abad yang silam, juga kini dihargai sebagai karya seni yang ikut merekam perkembangan
pandangan dunia manusia.

Peta waktu Bugis Pelras pun, termasuk peta prasejarah yang dengan tegas dan rendah hati
dikatakannya sebagai hipotetik itu jelas akan membantu banyak pihak, bukan hanya Manusia
Bugis yang terus berupaya membentuk masa depannya sekaligus masa depan tempat-tempat
di mana kaki-kaki fisiologis dan imajiner mereka berpijak.

Di tangan para sarjana seperti Lombard, Pelras, dan sederet nama lain, etnologi dan etnografi
yang punya akar pada pelukisan kehidupan bangsa-bangsa yang dianggap barbar,
berkembang menjadi persembahan yang hangat dan murah hati dari satu bangsa ke bangsa
yang lain, sesuatu yang sungguh kian dibutuhkan dalam dunia yang memang tak punya batas
yang tak tertembus, namun yang kadang masih ingin disekat dan dibuat kedap oleh batas-
batas bikinan manusia sendiri.
Nirwan Ahmad Arsuka, Esais, ewa001@gmail.com

Sumber:Kompas Cyber Media

Pentas Antropologi di Indonesia <center></center>

WAKTU istirahat saat makan siang dalam sebuah seminar, sambil minum kopi di luar ruang,
saya iseng tanya kepada seorang mahasiswa peserta, "Apa tujuan adik belajar antropologi?"
"Nanti kalau tamat, saya kepingin jadi guide," jawabnya dengan polos. "Turis-turis itu kan
bayar mahal untuk melihat kebudayaan kita dan mereka butuh penjelasan tentang obyek-
obyek yang mereka kunjungi."

Saya sangat terkesima mendengar jawaban si mahasiswa. Sebelumnya ada dugaan terlintas,
dia pasti ingin jadi pengajar, peneliti, aktivis, atau mungkin juga konsultan. Jawabannya
menggelikan, tetapi siapa tega menertawakan? Bagaimanapun, cita-citanya bisa memberi
suatu jalan keluar yang baik di tengah-tengah barisan sarjana penganggur di Indonesia.

Tujuan mahasiswa yang menggelitik itu memang tidak bisa dilecehkan begitu saja atau
dilupakan sebagai pendapat "orang yang belum mengerti" apa itu antropologi. Sebaliknya,
pendapat semacam ini, senaif apa pun, harus dilihat sebagai cermin keterkaitan ilmu,
kekuasaan, dan ketidakadilan.

Di Indonesia ilmu modern sangat terkait dengan "nilai guna". Di bawah rezim pembangunan,
ruang untuk berfilsafat sangat sempit. Kalau pengetahuan tidak punya aplikasi langsung,
dianggap tidak penting, malahan membingungkan atau membahayakan masyarakat yang
seharusnya "berpembangunan-ria". Kewarganegaraan seseorang didefinisikan dengan
penilaian sejauh mana intelektualitas, maupun subyektivitas, bisa ditujukan pada pengabdian
negara dan modal. Demikian pula status antropologi yang berfungsi sebagai abdi-dalem
pemerintah dan jarang memberi kesempatan kepada pemikir tandingan.

Namun, kecenderungan antropologi di Indonesia mendukungi status quo tidak bisa


dibebankan hanya pada dosa Orde Baru. Asal-usul antropologi, di Barat maupun di
Indonesia, terkait intim dengan sejarah kolonialisme. Para pejabat kompeni pada zaman dulu
wajib menulis laporan bukan hanya tentang daerah yang akan diambil atau sumber daya alam
yang akan dieksploitasi, tetapi tentang karakter masyarakat yang sedang dijajah.

Catatan semacam ini diberi nama etnologi, menawarkan penggambaran watak khas suatu
masyarakat. Informasi ini digunakan untuk mempermudah penguasaan kaum pribumi.
Antropologi menjadi sebuah teknologi utama guna menjalankan kontrol sosial serta
memungkinkan pola penjajahan dengan sistem indirect rule: penundukan dilaksanakan
melalui institusi lokal dan pemimpin setempat dengan kodifikasi hegemoni lokal atas nama
adat.

Penekanan pada katalog perbedaan budaya memunculkan apa yang pernah diidentifikasikan
oleh kritikus sastra, Homi Bhabha, sebagai paradoks kolonialisme: yang dijajah disuruh
menjadi white but not quite, atau diajak berpartisipasi dalam struktur penjajahan lewat
perbedaan mereka. Dari satu sisi, keaslian masyarakat dianggap, menurut "kebijakan etis"
Belanda, sebagai sesuatu yang harus dijaga untuk mencegah yang lemah dari pencemaran
gelombang "baratisasi". Tetapi, dari sisi lain, sistem ketidakadilan sosial diperkuat dengan
melestarikan kelemahan tersebut. Dengan mengklasifikasikan dan memelihara diferensiasi
budaya, antropologi Belanda bukan hanya mengizinkan kolonialisme berfungsi, tetapi
menyelimuti kekuasaan dalam bungkus yang indah, moral dan ilmiah.
Setelah Pemerintah Belanda angkat kaki dari Tanah Air, Indonesia memproklamasikan
kemerdekaan lalu menyandang status sebagai negara yang sedang berkembang. Namun,
antropologi masih terus dibayangkan sebagai ilmu yang bisa digunakan merapatkan kontrol
sosial daripada ilmu yang benar-benar untuk pembebasan.

Melalui tangan Koentjaraningrat, salah seorang pendekar ilmu kebudayaan Indonesia,


antropologi Indonesia menjadi alat penting untuk proyek nasionalisme. Praktik-praktik
kultural yang sangat variatif dilihat menurut sebuah skala implisit yang mengukur sejauh
mana kehidupan seseorang cocok dengan sebuah "kultur nasional" yang ideal.

Antropologi diberi tugas menggali "mentalitas budaya Indonesia" yang akan dijadikan modal
sosial untuk menyokong pembangunan. Mahasiswa antropologi dikirim ke daerah-daerah
"terpencil" untuk meneliti perilaku menabung, pola makan, sikap terhadap kebersihan, urusan
mengisi waktu luang, nilai anak, budaya berlalu lintas, sampai pada konsep sehat dan sakit-
informasi yang bisa dipakai untuk "memerdayakan" yang "belum berbudaya". Sedangkan di
pusat kekuasaan nasional di Jawa dan Bali, antropolog-antropolog dikerahkan
mengumpulkan informasi tentang "puncak-puncak kebudayaan" daerah yang mampu
mempromosikan keberadaban Indonesia.

Meskipun antropologi di Barat dan antropologi di Indonesia lahir dari colonial encounter
yang sama, di zaman pascakolonial mereka mengikuti jalur yang sangat berbeda. Di negara-
negara Barat, dewasa ini antropologi, di antara semua cabang ilmu sosial, mungkin
mempunyai status sosial yang paling marginal. Di antara semua ilmuwan sosial, antropolog
rata-rata digaji paling rendah, sama dengan para "ahli marginalitas" lain di jurusan kajian
perempuan, studi Afrika-Amerika, atau pusat kajian lesbian dan gay.

Antropologi sering dianggap sebagai disiplin yang "kurang ilmiah" sebab memakai metode
berbicara langsung dengan masyarakat, dan memberi perhatian terhadap orang yang "tidak
penting" di dunia ketiga atau kelompok pinggir dunia pertama. Status antropologi adalah
cermin dari dekatnya cabang ilmu ini dengan mereka yang terpinggirkan akibat ketimpangan
struktural yang terjadi pada masyarakat industri-kapitalis dengan aneka ragam masalah,
seperti diskriminasi ras, ketaksetaraan gender, dan kemiskinan. Keakraban sang antropolog
dengan kehidupan ghetto di perkotaan, pecandu minuman keras, penyalah guna narkoba,
siasat hidup buruh, korban HIV, para migran, penghuni panti jompo, dan pengemis telantar
menggeser kedudukan pengetahuan ini semakin ke "garis tepi".

Namun, di Indonesia, antropologi menempati posisi ganda. Meskipun antropologi dihargai


sebagai ilmu yang berguna untuk "pencerahan", sebagian besar antropolog Indonesia
melakoni hidup prihatin sebagai dosen atau pengajar dengan gaji yang serba pas- pasan
dibandingkan dengan para ahli kedokteran atau ilmu politik-atau tentu saja politisi. Salah
seorang teman dosen perguruan tinggi dengan tiga orang anak, ditambah tuntunan kredit
rumah dan biaya SPP, mengakui dengan jujur bahwa jangankan mengajar, membaca buku
kuliah saja tidak sempat karena sibuk mencari uang tambahan sebagai calo jual-beli mobil.

Dengan kesal dia mengeluh, "Karena masalah keuangan, beli buku anak- anak saya
prioritaskan lebih dulu daripada beli publikasi baru." Antropolog-antropolog di dunia
universitas juga menghadapi fasilitas minim dan ketiadaan perpustakaan yang memadai
sebagai denyut jantung kehidupan universitas. Di sinilah salah satu dilema antropologi di
Indonesia: punya posisi hegemonis karena memainkan peranan sentral dalam pembangunan
sebagai peracik resep modernitas, tetapi dari sisi lain dianggap marginal karena bergumal
dengan subkultur kehidupan mereka yang tak beruntung.

Dengan pendidikan dan harga diri yang begitu tinggi, banyak antropolog Indonesia sangat
gampang ditarik dari kampus untuk mengabdi pada kapital. Begitu Pemerintah Indonesia
berkeinginan menarik modal asing, antropolog menaruh minat pada jasa komersial. Mereka
mengambil proyek penelitian yang disponsori oleh sektor swasta seperti perbankan,
perusahan detergen, jaringan waralaba pramusaji, industri farmasi, maupun biro iklan yang
ingin mengerti bagaimana menjual mi instan kepada suku-suku Papua yang lebih suka ketela
dan sagu, atau bagaimana memasyarakatkan kondom, IUD, padi unggul, dan pupuk kimia.

Di Bali, antropologi juga bisa diuangkan lewat industri pariwisata. Kalau di zaman kolonial
orang asing datang ke Bali untuk transaksi rempah-rempah dan budak, di zaman modern
mereka datang membeli komoditas yang disebut kebudayaan dan para antropolog bisa
berfungsi sebagai juragannya. Di Bali, untuk menyambut kedatangan sang pembawa devisa,
berjamurlah sekolah pariwisata maupun perguruan tinggi yang menawarkan kurikulum
"kebudayaan" yang dibidani oleh insan-insan akademis. Di sinilah terletak benang kusut
diskursif antara pengetahuan, takhta, dan uang.

Penjajahan teori

Keterkaitan antropologi di Indonesia dengan ideologi nasionalisme dan perjalanan


kapitalisme global berpengaruh besar terhadap teori sosial yang berkembang di antara para
ilmuwan lokal. Di Indonesia, dunia perguruan tinggi memang kental dengan iklim
konservatisme, salah satu warisan yang terburuk dari rezim Orde Baru. Pembantaian 1965
menghapus ribuan pemikir kritis dari peta intelektual Indonesia, diikuti oleh program
normalisasi kehidupan kampus yang bertujuan mensterilkan universitas dari ingar-bingar
kehidupan politik.

Hubungan dunia akademik dan kekuasaan negara diresmikan lewat kebijakan bahwa semua
dosen harus memunyai surat "bersih lingkungan" dan membuktikan kesetiaan mereka
terhadap Pancasila dan P4. Kebanyakan posisi berkuasa di universitas-universitas di
Indonesia masih ditempati oleh generasi pemikir yang bersedia berkompromi dengan syarat
yang telah ditentukan.

Konservatisme teori juga diwarisi oleh rezim penjajahan. Sampai sekarang antropologi di
Indonesia masih dipengaruhi oleh pemikiran kuno Belanda yang berusaha mencari struktur
sosial dasar atau structural core di mana semua masyarakat Indonesia dibayangkan
mempunyai persamaan dalil regularitas. Beberapa antropolog Indonesia saat ini masih sibuk
mencari model klasifikasi dualisme, perputaran emas kawin dan persekutuan antarklan dan
sistem kekerabatan yang "selesai" dan abadi daripada melihat perubahan sosial yang terjadi di
depan mata mereka.

Orientasi teoretis yang lamban ini mempersulit antropologi melihat masalah genting yang
dihadapi masyarakat sekarang. Seorang mahasiswa yang cukup cerdas pernah bertutur,
bagaimana suatu hari dia dibentak oleh sang dosen ketika mengajukan proposal penelitian
skripsinya tentang "politik ritual kekerasan 1965". Rancangan idenya ditolak mentah-mentah
karena dianggap oleh bapak mahaguru tidak sesuai dengan bidang kajian antropologi.
"Kekerasan itu urusan ilmu politik, bukan antropologi," kata sang pembimbing dengan
singkat dan gamblang.

Sikap ini mungkin bisa dipahami sebagai internalisasi ketakutan: di negara yang begitu
opresif, ilmuwan sosial dilarang turun ke lapangan untuk meneliti dan mencari dalang
"ekonomi kekerasan." Namun, ini mungkin juga bisa dilihat sebagai operasi kekuasaan yang
jauh lebih berbahaya daripada represi: semacam productive power, meminjam kata dari
Foucault, yang bekerja lewat pemikiran orang.

Di Indonesia, kebudayaan dan kekerasan dibayangkan menempati dua ruang yang terpisah,
yang tidak berhubungan sama sekali. Kebudayaan dilihat secara hierarkis sebagai sesuatu
yang ada di "dunia atas" seperti di kerajaan, istana, dan departemen. Sedangkan kekerasan
dianggap berada "di luar" atau di "dunia bawah," biasanya dilakukan oleh orang kebanyakan
yang berkeliaran di pasar, kampong, dan jalan raya di daerah yang jauh dari pusat
kebudayaan Jawa dan Bali, seperti Aceh, Papua, Poso, Ambon, dan Sampit. Potret kekerasan
di Indonesia biasanya menggambarkan kekerasan "wong cilik" dari pembakaran pencuri,
pembunuhan dukun santet, tawuran antarkampung, kerusuhan ulah para preman,
pertengkaran etnis, sampai perselisihan agama dengan menyensasikan kekerasan sebagai
sebuah gejala deformasi kebudayaan.

Dengan kesibukan antropolog mencari rumusan suatu tatanan, serta prinsip stabilitas suatu
masyarakat, struktur sosial yang membuahkan ketidakadilan dan kekerasan sehari-hari masih
bisa dibiarkan terbungkus rapi. Kalaupun disinggung, kerusuhan yang meletup dianggap
sebagai sekadar "kelainan" yang bersifat sesaat, yang tidak berpengaruh terhadap model yang
sedang dicari.

Di satu sisi, teori semacam ini merupakan satu bentuk "pengingkaran kemanusiaan" yang
disebut oleh Fabian dengan istilah denial of coevalness. Di sisi lain, antropologi berkelit
dengan "relativitas budaya" dengan argumentasi bahwa masing-masing kebudayaan memiliki
logika internal sendiri. Inilah yang membuat kesan antropologi seolah-olah sekadar pengintip
sosial yang sia-sia, seperti provokasinya Philippe Bourgois, seorang pakar "antropologi
publik," yang menulis etnografi berjudul In Search of Respect dan menyebut antropologi
cenderung menjadi "an upper class exercise of voyeurism."

Massa rakyat yang terjebak dalam kekerasan jarang tersuarakan oleh antropolog
dibandingkan dengan suara para tokoh seperti kepala desa, ketua RT, ketua RW, kepala suku,
atau kepala kepolisian. Orang-orang "lemah" dianggap kurang mampu mengartikulasikan apa
yang menimpa mereka. Namun, seperti kebisuan seorang korban perkosaan, bukan mereka
tidak mampu membicarakan apa yang telah dialami. Sebaliknya, antropologi kekurangan
bahasa yang bisa mewakili kepedihan dan penderitaan orang. Kecenderungan ini membuat
antropologi seakan-akan pengetahuan yang berurusan dengan "kepala", tidak jauh beda
dengan praktik di kalangan suku primitif yang berburu penggalan kepala manusia. Tanpa
menciptakan praktik "mendengar" yang baru, ilmu sosial di Indonesia berisiko jadi semacam
modern-day headhunting.

Sekarang di Indonesia memang ada manuver untuk meninggalkan apa yang disebut "aliran
struktural-fungsional" menuju teori sosial yang lebih "modern" seperti pendekatan
dekontrukstif dengan pembongkaran makna melalui tafsir hermenutis, post-modernisme yang
memberi ruang pada pluralitas dan keterpecahan realitas, sampai pada apa yang disebut
cultural studies yang membedah politik representasi, media massa, konsumtivisme, dan kelas
sosial.

Sebagai praktik intelektual, cultural studies membedakan dirinya dengan arus "pemikiran
utama", seperti kritik sastra, sejarah seni, atau antropologi melalui fokus terhadap teks yang
diciptakan oleh kelompok pinggiran, seperti komik, seni rakyat, plesetan, musik alternatif,
parodi, media alternatif, dan bentuk-bentuk ekspresi tandingan yang ada di luar jalur
hegemonik. Sumber inspirasi berasal dari kritikus marxist Stuart Hall dari mazhab
Birmingham School dan mencoba memberi suara pada perlawanan sehari-hari "kaum lemah"
terhadap diskursus dominan.

Namun, usaha ini belum juga mampu keluar dari hubungan kekuasaan yang melilit
antropologi di Indonesia untuk mengangkat suara mereka yang terbungkam. Di sini
pemahaman seorang sosiolog pasca-marxis, Pierre Bourdieu, memang penting. Menurut
Bourdieu, kekuasaan bekerja bukan hanya lewat kelas dalam arti hubungan yang tidak adil
dengan means of production di dunia ekonomi, tetapi lewat produksi dan reproduksi "modal
simbolis". Di Indonesia wacana kebudayaan dipakai untuk meminggirkan penciptaan budaya
kaum lemah dan melihat perjuangan sehari-hari mereka sebagai sesuatu yang tidak punya
nilai, sebagai cermin peradaban. Cultural studies bisa mencoba menyulap sistem penilaian
tersebut dan menciptakan definisi baru "kebudayaan". Namun, menurut Bourdieu, kekuasaan
juga berfungsi lewat habitus orang, praktik-praktik yang terbadankan yang mengandung trace
of structural violence atau jejak kekerasan struktural yang melekat dalam hubungan sosial
sehari-hari.

Kalau Bourdieu benar, tidak ada subyek yang bebas dari kekuasaan dan tidak ada ruang
sosial yang steril dari power. Kalau begitu, untuk mengerti kekuasaan, tak cukup mengambil
suara mereka yang terpinggir sebagai "suara alamiah perlawanan" yang murni dan tak
terkorupsi. Teks yang diproduksi oleh mereka yang disebut massa marginal masih diciptakan
oleh segelintir "brahmana" di antara ribuan massa paria. Dunia sosial berhierarki di antara
para pengemis, pelacur, ekstapol, narapidana, pemadat, preman, dan buruh bukan hanya
membuahkan solidaritas di antara mereka, tetapi juga saling hantam, saling jegal, bahkan
saling bunuh karena struktur kehidupan yang membelenggunya.

Di sinilah penting menghidupkan antropologi sebagai ilmu pembebasan di Indonesia.


Metodologi antropologi partisipasi-observasi yang mendekati masyarakat dengan memakai
bahasa mereka, mendengar, dan melihat bagaimana mereka memaknai kehidupan sehari-hari
dan melihat lebih akrab lagi struktur kekuasaan yang beroperasi dalam keseharian di antara
mereka yang terpuruk. Daripada membaca "teks pinggiran" di kantor, dengan metode
observasi-partisipasi si antropolog bisa meretakkan tembok tebal yang memisahkan dunia
peneliti dan dunia yang diteliti untuk merasakan konflik, ketidakadilan, baku-tipu dan
"ekonomi moral" yang meracuni dunia mereka. Hanya etnografi yang bisa mendeskripsikan
"habitus" yang membelenggu kehidupan mereka yang tersisihkan.

Praktik cultural studies juga memunculkan sebuah bahaya baru: kalau di dunia Barat
antropologi sering dikritik sebagai ilmu yang terpukau berat dengan kebudayaan lain yang
eksotik, di Indonesia keterpukauan terbalik, memberi pemujaan yang berlebihan pada
teoretikus impor pascakolonial sebagai ikon. Nama-nama empu kritikus keren seperti
Baudrillard, Habermas, atau Derrida masuk dalam sebuah dunia ekonomi budaya pop,
layaknya kegandrungan remaja ABG yang ngefans berat dengan grup rok alternatif yang
menjadi idola mereka.

Untuk ilmuwan Indonesia, nama-nama teoretikus dan kutipan singkat mereka ditempelkan
dalam teks seperti tempelan stiker nama pentolan para roker yang dipajang di helm, sepeda
motor, mobil, dan pintu kamar kos. Mungkin ini sebuah taktik konpensasi dengan harapan-
siapa tahu-kesaktiannya nanti bisa menular secara magis. Setidak-tidaknya ini membuat PD
sang ilmuwan yang berasal dari negeri bekas jajahan menjadi terdongkrak, walaupun
membuat wujud baru kolonialisasi, yang mengambil pengalaman orang marginal untuk
membuat teks yang berwibawa daripada merealisasikan solidaritas yang nyata.

Mendiagnosis "patologi kekerasan"

Yang menjadi persoalan sekarang: bagaimana antropologi di Indonesia seharusnya


memosisikan diri dalam menyikapi ketidakadilan? Apakah penelitian jalan terus dengan
mengedarkan kuesioner yang terangkai indah tanpa kepekaan sosial pada perjuangan
keseharian mereka yang tersisihkan? Menurut salah seorang dokter humanis, yang juga
aktivis dan antropolog, Paul Farmer, yang dipertaruhkan oleh antropologi bukan hanya
perdebatan akademis dengan adu kecanggihan teori, tetapi sebuah sikap pemihakan terhadap
korban stuktural sebuah "patologi kekuasaan". Apakah antropologi tetap harus berpartisipasi
dalam penyebaran virus opresi? Atau, bisakah antropolog di Indonesia memakai kemampuan
mereka membangun komitmen baru serta mendiagnosis dan menyembuhkan patologi
kekerasan?

Di era reformasi akhir-akhir ini budayawan berteriak lantang ketika seni etnik dilarang
manggung, sistem kepercayaan yang dianut tak diakui, atau kurikulum tak bermuatan lokal,
tetapi mereka tak terusik ketika masyarakat yang diteliti tak makan. Antropolog bekerja asyik
mengumpulkan data untuk publikasi seru tentang ritus, kepercayaan, dan mitos lokal tanpa
menghitung beberapa anak bangsa tidak bisa membaca sama sekali.
Haruskah ilmuwan sosial Indonesia hanya mementingkan tanggung jawab atas "karya besar"
mereka sendiri, atau juga atas ekonomi moral di mana produksi intelektual terjadi?
Antropologi berutang banyak dari kaum papa. Pengalaman yang didapat dari bergumul hidup
dengan mereka yang terpinggirkan bisa menghasilkan karier, tetapi juga bisa menghasilkan
senjata untuk menyerang mereka. Namun, antropologi bukan hanya sebagai pilihan profesi,
tetapi juga "saksi" di mana tubuh korban kekerasan disiksa, disekap, dihancurkan, dibuang,
diculik, bahkan dilenyapkan.

Degung Santikarma Pengamat Budaya, Tinggal di Denpasa

sumber: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0407/07/Bentara/1126545.htm

Kegamangan Multikulturalisme di Indonesia <center></center>

Semenjak reformasi dicanangkan pada tahun 1998 di Indonesia jika kita menggunakan angka
tahun itu sebagai titik tolak isu-isu politik kebudayaan mengemuka dan berkembang cepat.
Salah satunya adalah isu multikulturalisme yang dipandang (diduga) dapat menjadi perekat
baru integrasi bangsa.

Integrasi nasional yang selama ini dibangun berdasarkan politik kebudayaan seragam
dianggap tidak lagi relevan dengan kondisi dan semangat demokrasi global yang juga
meningkat sejalan dengan reformasi tersebut. Desentralisasi kekuasaan dalam bentuk
otonomi daerah semenjak 1999 adalah jawaban bagi tuntutan demokrasi tersebut. Namun,
desentralisasi sebagai keputusan politik nasional ternyata kemudian disadari tidak begitu
produktif apabila dilihat dari kacamata integrasi nasional suatu bangsa besar yang isinya luar
biasa beraneka ragam suku bangsa, agama, kondisi geografi, kemampuan ekonomi, dan
bahkan ras.

Di masa lalu, kekuatan pengikat keanekaragaman itu adalah politik sentralisasi yang berpusat
pada kekuasaan pemerintah yang otoritarian. Pada masa kini apabila konsepsi
multikulturalisme itu digarap lebih jauh, selain dari keanekaragaman di atas, juga persoalan
mayoritas-minoritas, dominan-tidak dominan yang juga mengandung kompleksitas persoalan.

Masalah model

Mengikuti Bikhu Parekh (2001) Rethinking Multiculturalism, Harvard University Press,


bahwa istilah multikulturalisme mengandung tiga komponen, yakni terkait dengan
kebudayaan, konsep ini merujuk kepada pluralitas kebudayaan, dan cara tertentu untuk
merespons pluralitas itu. Oleh karena itu, multikulturalisme bukanlah doktrin politik
pragmatik melainkan sebagai cara pandang kehidupan manusia. Karena hampir semua negara
di dunia tersusun dari anekaragam kebudayaan—artinya perbedaan menjadi asasnya—dan
gerakan manusia dari satu tempat ke tempat lain di muka bumi semakin intensif, maka
multikulturalisme itu harus diterjemahkan ke dalam kebijakan multikultural sebagai politik
pengelolaan perbedaan kebudayaan warga negara. Namun, yang masih menjadi pertanyaan
besar, model kebijakan multikultural seperti apa yang dapat dikembangkan oleh suatu negara
seperti Indonesia?

Kita mengenal paling tidak tiga model kebijakan multikultural negara untuk menghadapi
persoalan di atas: Pertama, model yang mengedepankan nasionalitas. Nasionalitas adalah
sosok baru yang dibangun bersama tanpa memperhatikan aneka ragam suku bangsa, agama,
dan bahasa, dan nasionalitas bekerja sebagai perekat integrasi. Dalam kebijakan ini setiap
orang—bukan kolektif—berhak untuk dilindungi negara sebagai warga negara. Model ini
dipandang sebagai penghancur akar kebudayaan etnik yang menjadi dasar pembentukan
negara dan menjadikannya sebagai masa lampau saja. Model kebijakan multikultural ini
dikhawatirkan terjerumus ke dalam kekuasaan otoritarian karena kekuasaan untuk
menentukan unsur-unsur integrasi nasional berada di tangan suatu kelompok elite tertentu.

Kedua, model nasionalitas-etnik yang berdasarkan kesadaran kolektif etnik yang kuat yang
landasannya adalah hubungan darah dan kekerabatan dengan para pendiri nasional
(founders). Selain itu, kesatuan bahasa juga merupakan ciri nasional-etnik ini. Model ini
dianggap sebagai model tertutup karena orang luar yang tidak memiliki sangkut paut
hubungan darah dengan etnis pendiri nasional akan tersingkir dan diperlakukan sebagai orang
asing.

Ketiga, model multikultural- etnik yang mengakui eksistensi dan hak-hak warga etnik secara
kolektif. Dalam model ini, keanekaragaman menjadi realitas yang harus diakui dan
diakomodasi negara, dan identitas dan asal-usul warga negara diperhatikan. Isu-isu yang
muncul karena penerapan kebijakan ini tidak hanya keanekaragaman kolektif dan etnik, tetapi
juga isu mayoritas-minoritas, dominan-tidak dominan. Persoalannya menjadi lebih kompleks
lagi karena ternyata mayoritas tidak selalu berarti dominan, karena berbagai kasus
menunjukkan bahwa minoritas justru dominan dalam ekonomi. Jika kekuasaan negara lemah
karena prioritas kekuasaan dilimpahkan ke aneka ragam kolektif sebagai konsekuensi
pengakuan negara, negara mungkin diramaikan konflik- konflik internal berkepanjangan
yang pada gilirannya akan melemahkan negara itu sendiri.

Multikulturalisme

Buku yang disunting Hikmat Budiman ini perlu diapresiasi tinggi karena lima hal. Pertama,
khususnya pada Bab Editorial, Hikmat Budiman mengungkapkan secara jernih kondisi
dilematis multikulturalisme di Indonesia. Saya sepakat dengan penulis bahwa tidak satu pun
dari tiga model dan kebijakan multikulturalisme di atas yang pas untuk kondisi Indonesia.
Muncul kegamangan saat berhadapan dengan pertanyaan ”model apa yang sesuai untuk
Indonesia?” Kegamangan yang sama ketika Kamanto Sunarto, Russell Hiang-Khng Heng,
dan saya menyunting buku ”Multicultural Education in Indonesia and Southeast Asia:
Stepping into the Unfamiliar”, (2004), Jurnal Antropologi UI, sebagai hasil suatu lokakarya
tentang pendidikan multikultural di Asia Tenggara yang dihadiri pakar-pakar dari Asia
Tenggara dan Australia pada tahun itu. Dengan kata lain, perlu pemikiran lebih lanjut secara
mendalam suatu model multikulturalisme seperti apa yang seyogianya dikembangkan di
Tanah Air.

Kedua, buku ini mengangkat dan membicarakan isu baru dalam wacana multikulturalisme di
Indonesia secara komprehensif, yakni isu minoritas, khususnya hak-hak minoritas, yang
diperhadapkan dengan isu mayoritas sebagai konsekuensi kalau berbicara dalam wilayah
konsep ini. Yang menarik dan penting disimak adalah analisis historis yang merekam
peralihan dari kebijakan politik sentralistis ke desentralistis, persoalan-persoalan yang
muncul di masa lampau ketika sistem otoritarian itu bekerja, dan agenda persoalan kini yang
dihadapi sistem demokrasi yang baru dan gagasan multikulturalisme yang melekat pada
sistem demokrasi tersebut.

Ketiga, buku ini membicarakan multikulturalime dari bawah ke atas, yaitu mengangkat
realitas empiris lima masyarakat minoritas di lima daerah di Indonesia, yakni komunitas
Sedulur Sikep (orang Samin) di Jawa, oleh M Uzair Fauzan; pemeluk Wetutelu, Wet
Semokan, Nusa Tenggara Barat, oleh Heru Prasetia; masyarakat Dayak Pitap, Kalimantan
Selatan, oleh Riza Bachtiar; masyarakat di Cagar Alam Wana, Morowali, Sulawesi Tengah,
oleh Ignatius Yuli Sudaryanto; dan masyarakat Tanah Toa, Bulu Kumba, Sulawesi Selatan
oleh Samsurijal Adhan. Pendekatan dari bawah ke atas ini adalah ciri penting dari pendekatan
kualitatif yang berupaya membangun suatu model di akhir kajian. Hal ini membedakan dari
perbincangan mengenai multikulturalisme dan minoritas yang dimulai dari konsep yang
dibawa dari luar untuk menjelaskan realitas di lapangan.
Keempat, meski dengan rendah hati editor mengemukakan bahwa sebagian dari penulis
adalah masih peneliti yunior, saya justru menemukan tulisan- tulisan hasil penelitian ini
seharusnya ditampilkan para penulis-peneliti senior. Isu, tema, dan analisis setiap tulisan
menggambarkan penguasaan materi dan pendekatan yang baik sehingga secara keseluruhan
buku ini penting dan bermutu untuk memberikan pemahaman kepada kita mengenai
minoritas dan multikulturalisme itu baik dari segi konsep maupun model kebijakan politik
kebudayaan.

Kelima, karena secara khusus menyoroti hak-hak minoritas, maka sangat relevan bahwa buku
ini memasukkan dua tulisan penting, yakni tentang agama dan kebudayaan, isu minoritas dan
multikulturalisme di Indonesia (Mochammad Nurkhoirun) serta hak-hak kelompok minoritas
dalam norma dan standar hukum internasional hak asasi manusia (A Patra M.Zen). Dengan
dua tulisan ini, buku ini membebaskan dirinya dari isolasi konsepsi lokal dan nasional karena
isu multikulturalisme dan minoritas adalah juga isu global.

Saya sependapat dengan Hikmat Budiman bahwa tidak banyak karya yang terbit dengan
pembahasan yang komprehensif mengenai multikulturalisme untuk konteks Indonesia.
Apalagi kalau multikulturalisme tersebut dikaitkan dengan isu-isu lain yang melekat seperti
minoritas, khususnya hak-hak minoritas. Maka, buku ini sangat penting bagi kita yang
menaruh minat pada multikulturalisme dan minoritas khususnya, integrasi bangsa umumnya.

sumber: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0601/21/pustaka/2374717.htm

You might also like