You are on page 1of 65

1

BAB I
PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
WHO memperkirakan terdapat 45 juta penderita kebutaan di dunia,
dimana sepertiganya terdapat di Asia Tenggara. Angka kebutaan di indonesia
tertinggi bila dibandingkan dengan negara-negara di Asia Tenggara. Menurut
data Survei Kesehatan Rumah Tangga-Survei Kesehatan Nasional (SKRTSUSKESNAS) tahun 2001, prevalensi katarak di Indonesia sebesar 4,99%.
Prevalensi katarak di Jawa dan Bali sebesar 5,84% lebih tinggi dibandingkan
dengan daerah Indonesia lainnya. Pada usia 55-64 tahun didapatkan hampir
40% mempunyai kekeruhan pada lensa, 5% diantaranya adalah katarak
mature, pada usia 65-74 tahun didapatkan 70% mempunyai kekeruhan pada
lensa, 18% diantaranya adalah katarak mature. Pada usia 79-84 tahun lebih
dari 90% mempunyai kekeruhan pada lensa dan hampir separuhnya katarak
mature.
Hasil Survei Kesehatan Indera Penglihatan dan Pendengaran tahun 19931996 menunjukkan angka kebutaan di Indonesia menduduki peringkat ketiga
di dunia, yaitu mencapai 1,5% dari jumlah penduduk. Penyebab utama
kebutaan adalah katarak (0,78%), glaukoma (0,20%), kelainan refraksi
(0,14%), kelainan di retina (0,13%), serta kelainan di kornea (0,10%).
Berdasarkan data di atas tampak bahwa penyakit pada kornea menempati
urutan lima besar penyebab kebutaan di Indonesia. Data WHO tahun 2004
menyebutkan bahwa ulkus kornea merupakan masalah kesehatan masyarakat
yang utama dalam pembangunann dunia yang dapat menyebabkan morbiditas
berkepanjangan, kehilangan penglihatan, dan dibanyak kasus menyebabkan
kehilangan kedua mata.
Menurut Murillo Lopez (2006), Sekitar 25.000 orang Amerika terkena
keratitis bakteri per tahun. Kejadian keratitis bakteri bervariasi, dengan lebih
sedikit pada negara-negara industri yang secara signifikan lebih sedikit
memiliki jumlah pengguna lensa kontak. Insiden keratitis jamur bervariasi
sesuai dengan lokasi geografis dan berkisar dari 2% dari kasus keratitis di

New York untuk 35% di Florida. Spesies Fusarium merupakan penyebab


paling umum infeksi jamur kornea di Amerika Serikat bagian selatan (4576% dari keratitis jamur), sedangkan spesies Candida dan Aspergillus lebih
umum di negara-negara utara. secara signifikan lebih sedikit yang berkaitan
dengan infeksi lensa kontak.
Glaukoma sudut terbuka kronis mengenai I dari 200 orang pada populasi
di atas usia 40 tahun, mengenai laki-laki dan perempuan sama banyak.
Prevalensi meningkat sesuai usia sampai hampir 10% pada populasi berusia
lebih dari 80 tahun. Mungkin terdapat riwayat keluarga meski cara penurunan
belum jelas.
Keluarga derajat pertama (terdekat) pasien dengan glaukoma sudut terbuka
kronis memiliki kemungkinan hingga 16% mengalami penyakit ini.
Pewarisan keadaan ini kompleks. Terdapat perkembangan pengetahuan
mengenai satu bentuk penyakit ini yang timbul pada pasien muda, yaitu
glaukoma sudut terbuka juvenil (timbul antara usia 3 hingga 35 tahun). Tidak
ada kelainan yang tampak pada segmen anterior yang membedakannya dari
glaukoma kongenital. Gennya (GLCIA) telah diketahui terletak pada lengan
panjang kromosom I.
Uveitis adalah peradangan pada jaringan uvea akibat infeksi, trauma,
neoplasia atau proses autoimun. Insiden uveitis di Amerika Serikat dan di
seluruh dunia diperkirakan sebesar 15 kasus/100.000 penduduk dengan
perbandingan yang sama antara laki-laki dan perempuan.
Uveitis merupakan salah satu penyebab kebutaan. Morbiditas akibat
uveitis terjadi karena terbentuknya sinekia posterior sehingga menimbulkan
peningkatan tekanan intra okuler dan gangguan pada nervus optikus. Selain
itu, dapat timbul katarak akibat penggunaan steroid.

I.2

Tujuan dan Manfaat

I.2.1 Tujuan Umum


Untuk mengetahui topik mengenai macam-macam penyakit mata yang
memiliki keluhan putih keruh, pendekatan terhadap keluhan mata terlihat
putih keruh, mekanisme patofisiologinya, etiologi penyakit, penegakkan
diagnosis, morbiditas dan mortalitas penyakit terkait, penatalaksanaan
secara komprehensif, dan mekanisme farmakologik terapi medikamentosa.
I.2.2 Tujuan Khusus
Sebagai syarat mengikuti Ujian Akhir Blok.
I.2.3 Manfaat
Manfaat yang dapat diperoleh dari disusunnya referat ini adalah
mampu memberikan pengetahuan dan wawasan mengenaipenyakit mata
dengan keluhan mata terlihat putih keruh.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Anatomi dan Fisiologi mata
Mata adalah sistem optik yang memfokuskan berkas cahaya pada
fotoreseptor, yang mengubah energi cahaya menjadi impuls saraf.

Gambar 1. Regio Orbita


(Putz, 2006)

A. Struktur aksesori mata

1. Orbita, adalah lekukan tulang yang berisi bola mata


2. Tiga pasang otot mata (dua pasang otot rektus dan satu pasang otot
oblik) memungkinkan mata untuk bergerak bebas ke arah vertikal,
horizontal, dan menyilang
3. Alis mata
4. Fisura palpebra
5. Kantus medial
6. Karunkel
7. Konjungtiva
8. Lempeng tarsal
9. Aparatus lakrimal
B. Struktur mata
Gambar 2. Bola mata

(Putz, 2006)

Gambar 3. Pembuluh darah mata dan kulit mata


(Putz, 2006)
1. Lapisan terluar yang keras pada bola mata adalah tunika fibrosa. Bagian
posterior tunika fibrosa adalah sklera opaque yang berisi jaringan ikat
fibrosa putih.
a. Sklera memberi bentuk pada bola mata dan memberikan tempat
perlektan untuk otot ekstrinsik
b. Kornea adalah perpanjangan anterior yang transparan pada sklera di
bagian depan mata. Bagian ini mentransmisi cahaya dan
memfokuskan berkas cahaya
2. Lapisan tengah bola mata disebut tunika vaskular (uvea), dan tersusun
dari koroid, badan siliaris, dan iris.
a. lapisan koroid adalah bagian yang sangat terpigmentasi untuk
mencegah refleksi internal berkas cahaya. Bagian ini juga sangat
tervaskularisasi untuk memberikan nutrisi pada mata, dan elastik
sehingga dapat menarik ligamen suspensori.
b. Badan Siliaris, suatu penebalan dibagian anterior lapisan koroid,
mengandung pembuluh darah dan otot siliaris. Otot melekat pada
ligamen suspensorik, tempat perlekatan lensa. Otot ini penting dalam
akomodasi penglihatan, atau kemampuan untuk mengubah fokus
dari objek berjarak jauh ke objek berjarak dekat di depan mata.
c. Iris, perpanjangan sisi anterior koroid, merupakan bagian mata yang
berwarna bening. Bagian ini terdiri dari jaringan ikat dan otot
radialis serta sikularis, yang berfungsi untuk mengendalikan
diameter pupil.
d. Pupil adalah ruang terbuka yang bulat pada iris yang harus dilalui
cahaya untuk dapat masuk ke interior mata.

3. Lensa adalah struktur bikonveks yang bening tepat dibelakang pupil.


Elastisitasnya sangat tinggi, suatu sifat yang akan menurun seiring
proses penuaan.
4. Rongga mata, lensa memisah interior mata menjadi dua rongga : rongga
anterior dan rongga posterior.
a. Rongga anterior terbagi menjadi dua ruang.
1) Ruang anterior terletak di belakang kornea dan di depan iris,
ruang posterior terletak di depan lensa dibelakang iris.
2) Ruang tersebut berisis aqueous humor, suatu cairan bening
yang

diproduksi

prosessus

siliaris

untuk

mencukupi

kebutuhan nutrisi lensa dan kornea. Aquous humor mengalir


ke seluruh schlemm dan masuk ke sirkulasi darah vena.
3) Tekanan intraocular pada aquous humor penting untuk
mempertahankan bentuk bola mata. Jika aliran aqueous
humor

terhambat,

tekanan

akan

meningkat

dan

mengakibatkan kerusakan penglihatan, suatu kondisi yang


disebut glaukoma.
b. Rongga posterior terletak di antara lensa dan retina dan berisi vitreus
humor, semacam gel transparan yang juga berperar. mempertahankan
bentuk bola mata dan mempertahankar. retina terhadap kornea.
3. Retina, lapisan terdalam mata, adalah lapisan yang tipis dan trans.
Lapisan ini terdiri dari lapisan terpigmentasi luar, dan lapisan jar saraf
dalam.
a. Lapisan terpigmentasi luar pada retina melekat pada lapisan koroid.
Lapisan

ini

adalah

lapisan

tunggal

sel

epitel

kuboidal

mengandung pigmen melanin dan berfungsi untuk menyerap cahaya


berlebih dan mencegah refleksi internal berkas cahaya yang melalui
bola mata. Lapisan ini juga menyimpan vitamin A.

Gambar 4. Otot mata


(Putz, 2006)

Gambar 5. Otot-otot mata tampak ventral


(Putz, 2006)
b. Lapisan jaringan saraf dalam (optikal) yang terletak bersebelahan
dengan lapisan terpigmentasi, adalah struktur kompleks yang terdiri

dari berbagai jenis neuron yang tersusun dalam sedikitnya sepuluh


lapisan terpisah.
1) Sel batang dan kerucut adalah reseptor fotosensitif yang terletak
berdekatan dengan lapisan terpigmentasi.
(1) Sel batang adalah neuron silindris bipolar yang bermodifikasi
menjadi dendrit sensitif cahaya. Setiap mata berisi sekitar 120
juta sel batang terletak terutama pada perifer retina.Sel batang
tidak sensitif terhadap warna dan bertanggung jawab untuk
penglihatan di malam hari.
(2) Sel kerucut berperan dalam persepsi warna. Sel ini berfungsi
pada

tingkat intensitas cahaya yang tinggi dan berperan

dalam penglihatan di siang hari.


2) Neuron bipolar membentuk lapisan tengah dan menghubungkan
selbatang dan sel kerucut ke sel-sel ganglion.
3) Sel ganglion mengandung akson yang bergabung pada regia
khusus dalam retina untuk membentuk saraf optik.
4) Sel horizontal dan sel amakrin merupakan sel lain yang
ditemukan dalam retina, sel ini berperan untuk menghubungkan
sinaps-sinaps lateral.
5) Cahaya masuk melalui lapisan ganglion, lapisan bipolar, dan
badan sel batang serta kerucut untuk menstimulasi prosessus
dendrit dan memicu impuls saraf. Kemudian impuls saraf
menjalar dengan arah terbalik melalui kedua lapisan sel saraf

10

Gambar 6. Persarafan saluran mata (Putz, 2006)


c. Bintik buta (diskus optik) adalah titik keluar saraf optik. Karena
tidak ada fotoreseptor pada area ini, maka tidak ada sensasi
penglihatan yang terjadi saat cahaya jatuh ke area ini.
d. Lutea makula adalah area kekuningan yang terletak agak lateral
terhadap pusat.
e. Fovea adalah pelekukan sentral makula lutea yang tidak memiliki sel
batang dan hanya mengandung sel kerucut. Bagian ini adalah pusat
visual mata, bayangan yang terfokus di sini akan diinterpretasi
dengan jelas dan tajam oleh otak.
f. Jalur visual ke otak
1) Saraf optik terbentuk dari akson sel-sel ganglion yang keluar dari
mata dan bergabung tepat di sisi superior kelenjar hipofisis
membentuk kiasma optik.
2) Pada kiasma optik, serabut neuron yang berasal dari separuh
bagian temporal (lateral) setiap retina tetap berada di sisi sama
sementara serabut neuron yang berasal dari separuh bagian nasal
(medial) setiap retina menyilang ke sisi yang berlawanan.
3) Setelah kiasma optik, serabut akson membentuk traktus optik
yang memanjang untuk bersinapsis dengan neuron dalam nuklei
genikulasi lateral talamus. Aksonnya menjalar ke korteks lobus
oksipital.
4) Sebagian

akson berhubungan

dengan

kolikuli

superior,

okulomotorik, dan nuklei pratektum untuk berpartisipasi dalam


refleks pupilaris dan siliaris.
C. Karakteristik optik mata
1. Refraksi adalah defleksi, atau pembelokan, berkas sinar saat mele salah
satu medium menuju medium lain yang memiliki densitas optik

11

berbeda. Semakin konveks suatu permukaan, maka akan seme refraktif


dayanya.
a.Korneabertanggung jawab untuk sekltar 70% daya refraktif dan
merupakan alat "penyesualan kasar" pada mata.
b. Lensaberperan dalam sebagian besar aktivitas refraksi yang tersisa
dan merupakan alat "penyesuaian halus" pada mata.
c. Cairan aquosus dan vitreus bertanggung jawab untuk refraksi
minimal.
2. Akomodasiadalah proses penyesuaian otomatis pada lensa untuk
memfokuskan objek secara jelas pada jarak yang beragam.
a. Lensa konveks(tebal di tengah dan tipis di perifer) mengumpulkan
berkas sinar lensa konkaf(tipis di tengah dan tebal di perifer)
membiaskan berkas sinar.
b. Lensa konveks (lebih bundar), fokusnya pada objek yang dekat lensa
konkaf (mendatar), fokusnya pada objek berjarak jauh.
c. Pada emetropia.atau akomodasi normal, kontraksi otot siliaris
mengurangi tarikan ligamen suspensorik pada lensa, yang kemudian
menonjol ke luar sehingga semakin konveks, atau membulat, untuk
penglihatan

dekat.

Relaksasi otot

siliarismemperkuat tarikan

ligamen suspensorik pada lensa, sehingga semakin memipihkan


lensa untuk penglihatan jauh.
d. Daya akomodasi, suatu refleks tak sadar akan menurun seiring
pertambahan usia akibat penurunan elastisitas lensa, yang tidak
dapat menonjol ke luar lagi sebanyak di usia muda. Kondisi seperti
ini disebut presbiopia dan diperbaiki dengan lensa bifocal.
e. Konvergensibola mata saat mengamati objek yang dekat membantu
proses akomodasi dengan memastikan bahwa bayangan dalam
kedua mata jatuh pada bagian koresponden retina.
f. Konstriksi pupiljuga terjadi secara refleks selama proses akomodasi
untuk menampilkan berkas sinar yang paling terbias pada layar dan
memungkinkan pembentukan bayangan yang jelas pada retina.
(Sloane, 2003)

12

II.2 Definisi
Mata adalah suatu struktur bulat berisi cairan yang dibungkus oleh tiga
lapisan. Dari bagian paling luar hingga paling dalam, lapisan-lapisan tersebut
adalah (1) sklera/kornea; (2) koroid/badan siliaris/iris; dan (3) retina.
Kornea berfungsi sebagai membran pelindung dan "jendela" yang
dilalui oleh berkas cahaya saat menuju retina. Sifat tembus cahaya kornea
disebabkan oleh strukturnya yang uniform, avaskular, dan deturgesens.
Deturgesens, atau keadaan dehidrasi relatif jaringan kornea, dipertahankan
oleh "pompa" bikarbonat aktif pada endotel dan oleh fungsi sawar epitel dan
endotel. Endotel lebih penting daripada epitel dalam mekanisme dehidrasi,
dan kerusakan pada endotel jauh lebih serius dibandingkan kerusakan pada
epitel. Kerusakan sel-sel endotel menyebabkan edema kornea dan hilangnya
sifat transparan, yang cenderung bertahan lama karena terbatasnya potensi
perbaikan

fungsi

endotel.

Kerusakan

pada

epitel

biasanya

hanya

menyebabkan edema lokal sesaat pada stroma kornea yang akan menghilang
dengan regenerasi sel-sel epitel yang cepat. Penguapan air dari film air mata
prakornea menyebabkan film air mata menjadi hipertonik proses tersebut dan
penguapan langsung adalah faktor-faktor yang menarik air dari stroma kornea
superfisial

untuk

mempertahankan

keadaan

dehidrasi.Macam-macam

penyakit mata dengan keluhan mata terlihat putih keruh diantaranya :Katarak,
ulkus kornea, keratitis kornea, glaukoma, uveitis. (Eva, 2009)
II.3 Pendekatan klinis terhadap keluhan mata terlihat putih keruh
1)Katarak
Katarak merupakan keadaan dimana terjadi kekeruhan pada serabut
atau bahan lensa didalam kapsul lensa. Kekeruhan ini akibat gangguan
metabolisme normal lensa yang dapat timbul pada saat perkembangan
serat lensa masih berlangsung atau sesudah serat lensaberhenti dalam
perkembangannya dan telah memulai proses degenerasi.
Katarak dapat diklasifikasikan dalam golongan berikut :
a.
b.
c.
d.

Katarak perkembangan (developmental) dan degeneratif


Katarak kongenital, juvenil, dans senil
Katarak komplikata
Katarak traumatik

13

Gambar 7. Katarak kongenital sutural (Ilyas, 2010)

Gambar 8. Katarak sentral kongenital (Ilyas, 2010)


Gambar 9. Katarak insipien (Ilyas, 2010)

14

Gambar 10. Katarak imatur (Ilyas, 2010)

Gambar 11. Katarak matur (Ilyas, 2010)

15

Gambar 12. Katarak hipermatur (Ilyas, 2010)


A. Pendekatan klinis :
Anamnesis :
a. Tajam penglihatan berkurang
b. Penglihatan berkabut atau seperti melihat asap
c. Pada malam hari jika melihat cahaya terang dapat terlihat adanya
halo atau warna pelangi
Pemeriksaan fisik mata :
a. Pupil terlihat gambaran kekeruhan lensa
b. Warna pupil dapat berwarna kuning atau coklat
c. Terasa silau jika melihat sinar yang sangat terang
B. Pemeriksaan penunjang :
Pemeriksaan penunjang jarang diperlukan kecuali bila terdapat
dugaan penyakit sistemik yang harus dieksklusi atau katarak telah
terjadi sejak usia muda. (James, 2006)
2) Ulkus atau Tukak kornea
Tukak kornea diakibatkan oleh infeksi kuman yang dapat menular
seperti bakteri, virus, dan jamur, selain daripada itu dapat juga
disebabkanreaksi toksis degeneratif, alergik, dan penyakit kolagen
vaskular. Tukak kornea dibagi dalam bentuk tukak kornea sentral dan
tukak kornea marginal.
A. Pendekatan klinis :
Anamnesis :

16

a. Mata merah
b. Tajam penglihatan berkurang
Pemeriksaan fisik :
Penyebab

Pseudomona

Strepetococ

Bentuk
Tergaung
Warna

s
Pneumonia
Sentral
+
Kuning

Sentral
+
Hijau/kuning

Hipopion
Bentuk
Sensibilitas
Perforasi

Virus

Sentral
Abses

Jamur

Alergi

Sentral
Satelit

Sentral
Infiltrat

infiltrat
+
+
-/+
+
Nanah
Nanah
Tenang
Abses
N
N
<<
>>
Mudah
Mudah
Jarang
Mudah
Tabel 1. Gambaran banding tukak kornea

Difus
N
Negatif

B. Pemeriksaan penunjang :
a. Tes fluoresein
Pada ulkus kornea, didapatkan hilangnya sebagian permukaan
kornea. Untuk melihat adanya daerah yang defek pada kornea.
(warna hijau menunjukkan daerah yang defek pada kornea,
sedangkan warna biru menunjukkan daerah yang intak).
b. Pewarnaan gram dan KOH
Untuk menentukan mikroorganisme penyebab ulkus, oleh jamur.
c. Kultur
Kadangkala dibutuhkan untuk mengisolasi organisme kausatif
pada beberapa kasus. (Ilyas, 2005)

17

Gambar 13. Ulkus sentral dengan hipopion (jamur). (Ilyas, 2010)


Gambar 14. Ulkus kornea dengan hipopion (virus). (Ilyas, 2010)

Gambar 15. Ulkus karena perforasi (Ilyas, 2010)

18

Gambar 16. Ulkus mooren (Ilyas, 2010)

3).

Keratitis
Keratitis merupakan kelainan akibat terjadinya infiltrasi sel radang
pada kornea yang akan mengakibatkan kornea menjadi keruh. Akibat
terjadinya kekeruhan pada media kornea ini, maka tajam penglihatan akan
menurun. Mata akan merah yang terjadi akibat injeksi pembuluh darah
perikorneal yang dalam atau injeksi siliar. Keratitis selain disebabkan oleh
infeksi dapat juga diakibatkan beberapa faktor lainnya seperti mata yang
kering, keracunan obat, alergi ataupun konjungtivitis kronis.

A. Pendekatan klinis
Anamnesis :
a) Nyeri mata
b) Gangguan penglihatan
Pemeriksaan fisik :
a) Sekret purulen
b) Injeksi siliar
c) Kadang hipopion (suatu massa sel darah putih yang terkumpul di
bilik mata anterior)
d) Opasitas kornea berwarna putih yang sering dapat dilihat dengan
mata telanjang

19

Gambar 17. Keratitis dendritik (Ilyas, 2010)

Gambar 18. Keratitis marginal (Ilyas, 2010)

B. Pemeriksaan penunjang :
a. Keratitis Bakterial
Ini merupakan keratitis akibat infeksi staphylococ. Berbentuk
seperti keratitis pungtata, terutama di bagian bawah kornea.
Pemeriksaan Laboratorium
a) Pemeriksaan kultur bakteri dilakukan dengan menggores ulkus
kornea dan bagian tepinya dengan menggunakan spatula steril
kemudian ditanam di media cokelat, darah dan agar Sabouraud,
kemudian dilakukan pengecatan dengan Gram.
b) Biopsy kornea dilakukan jika kultur negatif dan tidak ada
perbaikan secara klinis dengan menggunakan blade kornea bila
ditemukan infiltrat dalam di stroma.
Terapi
Dapat diberikan inisial antibiotik spektrum luas sambil
menunggu hasil kultur bakteri. Berikut tabel pengobatan inisial
antibiotik yang dapat diberikan:

20

Tabel 2. Terapi inisial untuk keratitis bakteri

b. Keratitis Fungi
a) Pemeriksaan yang dapat dilakukan yaitu pemeriksaan kerokan
kornea (sebaiknya dengan spatula Kimura) yaitu dari dasar dan
tepi ulkus dengan biomikroskop. Dapat dilakukan pewarnaan
KOH, Gram, Giemsa atau KOH + Tinta India.
b) Biopsi jaringan kornea dan diwamai dengan Periodic Acid Schiff
atau Methenamine Silver.
Terapi
Obat-obat anti jamur yang dapat diberikan meliputi:
a) Polyenes termasuk natamycin, nistatin, dan amfoterisin B.
b) Azoles (imidazoles dan triazoles) termasuk ketoconazole,
Miconazole,

flukonazol,

itraconazole,

econazole,

dan

clotrimazole.
c. Keratitis Virus
a) Pemeriksaan Penunjang
Usapan

epitel

dengan

Giemsa

multinuklear

noda

dapat

menunjukkan sel-sel raksasa, yang dihasilkan dari perpaduan dari


sel-sel epitel kornea yang terinfeksi dan virus intranuclear inklusi
b) Terapi
Debridement, cara efektif mengobati keratitis dendritik adalah
debridement epithelial, karena virus berlokasi didalam epithelial.
Debridement juga mengurangi beban antigenic virus pada stroma

21

kornea. Epitel sehat melekat erat pada kornea namun epitel yang
terinfeksi mudah dilepaskan. Debridement dilakukan dengan
aplikator berujung kapas khusus. Obat siklopegik seperti atropine
1% atau homatropin 5% diteteskan kedalam sakus konjungtiva,
dan ditutup dengan sedikit tekanan. Pasien harus diperiksa setiap
hari dan diganti penutupnya sampai defek korneanya sembuh
umumnya dalam 72 jam.
Terapi Obat. IDU (Idoxuridine) analog pirimidin (terdapat dalam
larutan 1% dan diberikan setiap jam, salep 0,5% diberikan setiap
4 jam). Vibrabin: sama dengan IDU tetapi hanya terdapat dalam
bentuk salep. Trifluorotimetidin (TFT): sama dengan IDU,
diberikan 1% setiap 4 jam. Asiklovir (salep 3%), diberikan setiap
4 jam.Asiklovir oral dapat bermanfaat untuk herpes mata berat,
khususnya pada orang atopi yang rentan terhadap penyakit herpes
mata dan kulit agresif.
Terapi Bedah, keratoplasti penetrans mungkin diindikasikan untuk
rehabilitasi penglihatan pasien yang mempunyai parut kornea
yang berat, namun hendaknya dilakukan beberapa bulan setelah
penyakit herpes non aktif. (Eva, 2009)
4) Glaukoma
Glaukoma merupakan sekelompok penyakit kerusakan saraf optik
(neuropati optik) yang biasanya disebabkan oleh efek peningkatan tekanan
okular pada papil saraf optik. Iskemia tersendiri pada papil saraf optik juga
penting. Hilangnya akson menyebabkan defek lapang pandang dan
hilangnya tajam penglihatan jika lapang pandang sentral terkena.
Gambar 19. Glaukoma akut kongestif (Ilyas, 2010)

22

Gambar 20 . Glaukoma kronis (Ilyas, 2010)

Gambar 21. Glaukoma absolut (Ilyas, 2010)


A. Pendekatan diagnosa
Anamnesis :
Gejala glaukoma tergantung dari kecepatan peningkatan tekanan intraokular. Glaukoma sudut terbuka kronis dikaitkan dengan peningkatan
perlahan tekanan dan ketiadaan gejala kecuali pasien kemudian menjadi
sadar akan adanya defisit penglihatan berat. Banyak pasien terdiagnosis
saat tanda glaukoma terdeteksi oleh ahli optometri.
a. Apakah keluarga ada yang menderita glaukoma ?
b. Penglihatan lama-lama menjadi kabur
Pemeriksaan

fisik

:Penilaian

dugaan

glaukoma

memerlukan

pemeriksaan slit lamp lengkap, yaitu:


a. Mengukur tekanan okular dengan tonometer. Tekanan normal
sebesar 15,5 mmHg. Batasnya ditentukan sebagai 2 standar deviasi
di atas dan di bawah rata-rata (11-21 mmHg). Pada glaukoma sudut
terbuka kronis, tekanan ini biasanya sebesar 22-40 mmHg. Pada

23

glaukoma sudut tertutup, tekanan meningkat hingga di atas 60


mmHg.
b. Memeriksa sudut iridokornea dengan lensa gonioskopi untuk meng
konfirmasi adanya sudut terbuka.
c. Menyingkirkan penyakit mata lainnya yang dapat menyebabkan
glaukomasekunder.
d. Memeriksa lempeng optik dan menentukan apakah mengalami
cupping patologis. Cupping merupakan ciri normal lempeng optik
sentral meluas dan pinggir serabut saraf (pinggir neuroretina)
menjadi lebih tipis. Papil saraf optik menjadi atrofi. Rasio mangkuk
terhadap lempeng pada bidang vertikal lebih besar dari 0,4 dan
mangkuk menjadi lebih dalam. Jika mangkuk dalam namun rasio
mangkuk terhadap lempeng lebih kecil dari 0,4 maka kemungkinan
bukan glaukoma kronis kecuali bila lempeng sangat kecil.
Takik pada pinggir lempeng yang menandakan hilangnya akson
fokal juga merupakan tanda kerusakan glaukomatosa. Banyak
penelitian dilakukan untuk memperoleh metode akurat untuk
menganalisis dan merekam tampilan lempeng. Salah satu di
antaranya menggunakan scan lempeng optik dengan oftalmoskop
konfokal untuk menghasilkan gambaran lempeng. Daerah pinggir
neuroretina dapat diperhitungkan dari gambaran tersebut. Teknik lain
adalah dengan merekam ketebalan lapisan serabut saraf di sekitar
lempeng optik. (Ilyas, 2007)
5) Uveitis
A. Pendekatan klinis
Anamnesis :
a. Nyeri okular (lebih jarang pada uveitis poterior atau koroiditis)
b. Fotofobia
c. Penglihatan kabur
d. Mata merah
Pemeriksaan fisik :
a. Tajam penglihatan akan menurun.
b. Mata akan mengalami inflamasi pada penyakit anterior akut,
kebanyakan di sekitar limbus (injeksi siliar).

24

c. Sel-sel radang dapat terlihat menyatu pada endotel kornea terutama


di inferior (presipitat keratitis atau KP)
d. Pemeriksaan slit lamp akan memperlihatkan sel akueous dan flare.
Jika inflamasi berat maka bisa terdapat sejumlah sel darah putih
e.
f.
g.
h.
i.
j.

sehingga menimbulkan suatu massa inferior (hipopion)


Pembuluh darah iris dapat megalami dilatasi
Iris dapat menempel pada lensa (sinekia posterior atau PS)
Tekanan intraokular bisa meningkat
Mungkin ditemukan sel-sel pada vitreous
Mungkin ditemukan fokus inflamasi pada retina atau koroid
Bisa didapatkan edema makular

Gambar 22. Uveitis anteriot atau iridoksiklitis (Ilyas, 2010)


B. Pemeriksaan penunjang :
a. Flouresence Angiografi
FA merupakan pencitraan yang penting dalam mengevaluasi
penyakit korioretinal dan komplikasi intraokular dari uveitis
posterior. FA sangat berguna baik untuk intraokular maupun untuk
pemantauan hasil terapi pada pasien. Pada FA, yang dapat dinilai
adalah edema intraokular, vaskulitis retina, neovaskularisasi
sekunder pada koroid atau retina, N. optikus dan radang pada koroid.
b. USG
Pemeriksaan ini dapat menunjukkan keopakan vitreus, penebalan
retina dan pelepasan retina.
c. Biopsi Korioretinal
Pemeriksaan ini dilakukan jika diagnosis belum dapat ditegakkan
dari gejala dan pemeriksaan laboratorium lainnya. Pemeriksaan
laboratorium mendalam umumnya apalagi kalau jenisnya non
granulomatosa atau jelas berespon dengan terapi non spesifik.

25

Sedangkan pada uveitis anterior yang tetap tidak responsive harus


diusahan untuk menemukan diagnosis etiologinya. (James, 2006)
II.4Mekanisme patofisiologi penyakit terkait
1. Katarak
1) Aging proses
Katarak terkait disebabkan oleh usia paling sering ditemukan
pada kelainan mata yang menyebabkan gangguan pandangan.
Pathogenesis dari katarak terkait usia multifaktor dan belum
sepenuhnya dimengerti. Berdasarkan usia lensa, terjadi peningkatan
berat dan ketebalan serta menurunnya kemampuan akomodasi. Sebagai
lapisan baru serat kortical berbentuk konsentris, akibatnya nucleus dari
lensa mengalami penekanan dan pergeseran (nucleus sclerosis).
Cristalisasi (protein lensa) adalah perubahan yang terjadi akibat
modifikasi kimia dan agregasi protein menjadi high-molecular-weightprotein. Hasil dari agregasi protein secara tiba-tiba mengalami fluktuasi
refraktif index pada lensa, cahaya yang menyebar, penurunan
pandangan. Modifiaksi kimia dari protein nucleus lensa juga
menghasilkan progressive pigmentasi.perubaha lain pada katarak terkait
usia pada lensa termasuk menggambarkan konsentrasi glutatin dan
potassium dan meningkatnya konsentrasi sodium dan calcium.
Tiga tipe katarak terkait usia adalah nuclear, kortical, dan subkapsular
posterior katarak. Pada beberapa pasien penggabungan dari beberapa
tipe juga ditemukan.
2) Nuclear katarak
Pada dekade keempat dari kehidupan, tekanan yang dihasilkan
dari fiber lensa peripheral menyebabkan pemadatan pada seluruh
lensa,terutama nucleus. Nucleus member warna coklat kekuningan
(brunescent nuclear cataract). Ini menjadi batas tepi dari coklat
kemerahan hingga mendekati perubahan warna hitam diseluruh lensa
(katarak hitam). Karena mereka meningkatkan tenaga refraksi lensa,
katarak nuclear menyebabkan myopia lentikular dan kadang-kadang

26

menimbulkan fokal point kedua di dalam lensa yang menyebabkan


diplopia monocular.
3) Kortical katarak
Pada katarak kortikal terjadi penyerapan air sehingga lensa
menjadi cembung dan terjadi miopisasi akibat perubahan indeks
refraksi lensa. Pada keadaan ini penderita seakan-akan mendapatkan
kekuatan baru untuk melihat dekat pada usia yang bertambah. Katarak
nuclear sering dihubungkan dengan perubahan pada kortek lensa. Ini
penting untuk dicatat bahwa pasien dengan katarak kortikal cenderung
untuk hyperopia dibandingkan dengan pasien dengan katarak nuclear
(nuku saku).
Beberapa

perubahan

morfologi

yang

akan

terlihat

pada

pemeriksaan slip-lamp dengan midriasis maksimum:


a. Vacuoles: akumulasi cairan akan terlihat sebagai bentuk vesicle
cortical

sempit yang kecil. Sisa vacuoles kecil dan meningkat

jumlahnya.
b. Water fissure: pola rarial dari fissure yang terisi cairan yang akan
terlihat diantara fiber.
c. Lamella yang terpisah: tidak sesering water fissureI, ini berisi suatu
zona cairan diantara lamella (biasanya antara lamella clear dan fiber
kortikal).
d. Cuneiform cataract: ini sering ditemukan dengan opaksitas radier
dari lensa peripheral seperti jari-jari roda. Posterior subcapsular
katarak (PSCs), merupakan terjadinya kekeruhan di sisi belakang
lensa.
Katarak ini menyebabkan silau, pandangan kabur pada kondisi
cahaya terang, serta pandangan baca menurun. Banyak ditemukan pada
pasein diabetes, pasca radiasi, dan trauma. (Ilyas, 2005)
2. Ulkus atau tukak kornea
Kornea merupakan bagian anterior dari mata, yang harus dilalui
cahaya, dalam perjalanan pembentukan bayangan di retina, karena jernih,
sebab susunan sel dan seratnya tertentu dan tidak ada pembuluh darah.
Biasan cahaya terutama terjadi di permukaan anterior dari kornea.

27

Perubahan dalam bentuk dan kejernihan kornea, segera mengganggu


pembentukan bayangan yang baik di retina. Oleh karenanya kelainan
sekecil apapun di kornea, dapat menimbulkan gangguan penglihatan yang
hebat terutama bila letaknya di daerah pupil.
Karena kornea avaskuler, maka pertahanan pada waktu peradangan
tidak segera datang, seperti pada jaringan lain yang mengandung banyak
vaskularisasi. Maka badan kornea, wandering cell dan sel-sel lain yang
terdapat dalam stroma kornea, segera bekerja sebagai makrofag, baru
kemudian disusul dengan dilatasi pembuluh darah yang terdapat dilimbus
dan tampak sebagai injeksi perikornea. Sesudahnya baru terjadi infiltrasi
dari sel-sel mononuclear, sel plasma, leukosit polimorfonuklear (PMN),
yang mengakibatkan timbulnya infiltrat, yang tampak sebagai bercak
berwarna kelabu, keruh dengan batas-batas tak jelas dan permukaan tidak
licin, kemudian dapat terjadi kerusakan epitel dan timbullah ulkus kornea.
Kornea mempunyai banyak serabut saraf maka kebanyakan lesi pada
kornea baik superfisial maupun profunda dapat menimbulkan rasa sakit
dan fotofobia. Rasa sakit juga diperberat dengan adanya gesekan palpebra
(terutama palbebra superior) pada kornea dan menetap sampai sembuh.
Kontraksi bersifat

progresif, regresi

iris, yang meradang dapat

menimbulkan fotofobia, sedangkan iritasi yang terjadi pada ujung saraf


kornea merupakan fenomena reflek yang berhubungan dengan timbulnya
dilatasi pada pembuluh iris.
Penyakit ini bersifat progresif, regresif atau membentuk jaringan
parut. Infiltrat sel leukosit dan limfosit dapat dilihat pada proses progresif.
Ulkus ini menyebar kedua arah yaitu melebar dan mendalam. Jika ulkus
yang timbul kecil dan superficial maka akan lebih cepat sembuh dan
daerah infiltrasi ini menjadi bersih kembali, tetapi jika lesi sampai ke
membran Bowman dan sebagian stroma maka akan terbentuk jaringan ikat
baru yang akan menyebabkan terjadinya sikatrik. (Eva, 2009)

3. Keratitis

28

Inflamasi Kornea dan Kerusakan Jaringan


Berbagai mediator dan sel radang dapat dipicu oleh invasi bakteri
dan menimbulkaninflamasi yang mengakibatkan destruksi jaringan.
Mediator inflamasi yang terlarut meliputi sistem pembentuk kinin, sistem
pembekuan dan fibrinolitik, imunoglobulin,komponen komplemen, amino
vasoaktif, eikosanoid, neuropeptida, dan sitokin. Kaskade komplemen
dapat dipicu untuk membunuh bakteri namun kemotaksin yang
complement dependent dapat mengawali inflamasi fokal.
Produksi sitokin seperti tumor necrosis factor (TNF)-alpha and
interleukin-1 akanmengakibatkan adhesi dan ekstravasasi neutrofil di
pembuluh darah limbus. Proses ini dimediasi oleh glikoprotein adhesi sel
seperti integrin dan selektin dan anggota superfamily imunoglobulin
seperti intercellular adhesion molecules (ICAMs) pada selendotel vaskular
dan leukosit.
Dilatasi vaskular konjungtival dan limbal berhubungan dengan
peningkatan permeabilitas yang akan menimbulkan eksudat radang di
dalam lapisan air mata dan kornea perifer.Neutrofil polimorfonuklir
(PMNs) dapat memasuki kornea yang cedera melalui lapisanair mata pada
defek epitel, namun umumnya PMN melewati limbus.
Perekrutansel radang akut akan terjadi beberapa jam setelah
terjadinya inokulasi bakteri. Dengan terjadinya akumulasi neutrofil pada
lokasi infeksi, semakin banyak sitokin dankomponen komplemen yang
dihasilkan untuk menarik lebih banyak leukosit. Makrofagakan berpindah
ke

kornea

untuk

memusnahkan

bakteri

dan

neutrofil

yang

telahberdegenerasi. Inflamasi stroma yang berat dapat mengakibatkan


penghancuran stromasecara proteolitik dan nekrosis jaringan.
Kerokan dari kornea yang terinfeksi akan memperlihatkan
kumpulan neutrofil diantara jaringan debris nekrotik. Organisme dapat
ditemukan pada pemeriksaanpewarnaan Gram. Pemeriksaan kultur sangat
membantu identifikasi organisme penyebabdan sensitivitas antibiotik.
(Eva, 2009)
4. Glaukoma

29

A. Glaukoma sudut terbuka primer


Lensa kontak khusus (lensa gonioskopi) yang diletakkan pada
kornea memungkinkan untuk melihat sudut irodokornea dengan slit
lamp. Pada glaukoma sudut terbuka, struktur jalinan trabekula terlihat
normal namun terjadi peningkatan resistensi aliran keluar akueous yang
menyebabkan peningkatan tekanan okular. Penyebab obstruksi aliran
keluar antara lain:
a. penebalan lamela trabekula yang mengurangi ukuran pori
b. berkurangnya jumlah sel trabekula pembatas
c. peningkatan bahan ekstraselular pada jalinan trabekula
Suatu bentuk glaukoma juga terjadi di mana terjadi kehilangan
lapang pandang glaukomatosa dan cupping lempeng optik meski
tekanan intraokular tidak meningkat (glaukoma tekanan normal atau
rendah). Diduga papil saraf optik pada pasien ini secara tidak biasa
rentan terhadap tekanan intraokular dan/atau memiliki aliran darah
intrinsik

yang berkurang.Sebaliknya,

tekanan

intraokular dapat

meningkat tanpa bukti adanya kerusakan visual atau cupping lempeng


optik patologis (hipertensi okular). Pasien-pasien ini merepresentasikan
ujung ekstrim kisaran normal tekanan intraokular namun sebagian kecil
pasien ini kemudian akan mengalami glaukoma.
B. Glaukoma sudut tertutup
Keadaan ini timbul pada mata yang kecil (sering pada
hipermetropia) dengan bilik mata anterior yang dangkal. Pada mata
normal, titik kontak antara batas pupil dan lensa memiliki resistensi
terhadap masuknya akueous ke dalam bilik mata anterior (blok pupil
relatif). Pada glaukoma sudut tertutup, kadang sebagai respons terhadap
dilatasi

pupil,

resistensi

ini

meningkat

dan

gradien

tekanan

menyebabkan iris melengkung ke depan sehingga menutup sudut


drainase. Adhesi iris perifer ini disebut sebagai sinekia anterior perifer
(peripheral anterior synechiae, PAS). Akueous tidak lagi dapat mengalir
melalui jalinan trabekula dan tekanan okular meningkat, biasanya
mendadak.
C. Glaukoma sekunder

30

Pada glaukoma sekunder tekanan intraokular biasanya meningkat


karena tersumbatnya jalinan trabekula. Jalinan trabekula dapat
tersumbat oleh:
a.
b.
c.
d.

Darah (hifema), setelah trauma tumpul


Sel-sel radang (uveitis)
Pigmen dari iris (sindrom dispersi pigmen)
Deposisi bahan yang dihasilkan oleh epitel lensa, iris, dan badan

siliarpada jalinan trabekula (glaukoma pseudoeksfoliatif)


e. Obat-obatan yang meningkatkan resistensi jaringan (glaukoma ter
induksi steroid)
Glaukoma sekunder juga dapat disebabkan oleh trauma tumpul
mata yang merusak sudut (resesi sudut).Penutupan sudut juga dapat
menjadi penyebab pada beberapa kasus glaukoma sekunder:
a. Pembuluh darah iris abnormal dapat mengobstruksi sudut dan
menyebabkan iris melekat pada kornea perifer, sehingga menutup
sudut(rubeosis iridis). Ini dapat terjadi bersama dengan retinopati
diabetik proliferatif atau oklusi vena retina sentral akibat difusi ke
depan faktor vasoproliferatif dari retina yang mengalami iskemia
b. Melanoma koroid yang besar dapat mendorong iris ke depan
mendekati kornea perifer sehingga menyebabkan serangan akut
glaukoma sudut tertutup.
c. Katarak dapat membengkak dan mendorong iris ke depan sehingga
menutup sudut drainase.
d. Uveitis dapat menyebabkan iris menempel ke jalinan trabekula.
Peningkatan tekanan vena episklera bukan merupakan penyebab
umum glaukoma namun bisa didapatkan pada fistula karotiko sinus
kavernosus di mana terdapat hubungan antara arteri karotis atau cabang
meningealnya dan sinus kavernosus, yang menyebabkan peningkatan
bermakna tekanan vena orbita. Selain itu mekanisme ini juga diduga
merupakan penyebab peningkatan tekanan intraokular pada pasien
dengan sindrom Sturge-Weber. Penyebab glaukoma kongenital masih
belum jelas. Sudut iridokornea dapat berkembang secara abnormal dan
tertutup membran.
D. Glaukoma sudut terbuka kronis

31

Pada glaukoma sudut terbuka terjadi perubahan di dalam jaringan


mata akibat tekanan yang tinggi merusak serabut penglihat halus dalam
mata yang berguna untuk penglihatan. Sering glaukoma ini tidak
memberikan gejala. Biasanya penderita tidak menyadari menderita
glaukoma sudut terbuka karena pada permulaannya tidak memberikan
keluhan. Pada akhir dari penyakitnya biasanya baru disadari pasien
yang mengeluh pada dokternya bahwa peng-lihatannya mulai kabur.
Biasanya glaukoma sudut terbuka mulai timbul keluhan pada usia 40
tahun, walaupun bisa saja terjadi pada usia berapa saja. Penglihatan
biasanya baik dan tidak terdapat rasa sakit pada mata. Akan tetapi bila
proses berjalan lanjut

maka pasien akan merasakanpenglihatannya

menurun. Benda yang terletak di bagian sentral masih terlihat jelas akan
tetapi yang terletak di perifer tidak terlihat sama sekali. Pada keadaan
ini lapang penglihatan secara perlahan-lahan menyempit. Bila keadaan
ini berlanjut penglihatan akan terus berkurang sehingga dapat menjadi
buta sama sekali.
Tekanan bola mata biasanya lebih dari 25 dan terus-menerus
merusak saraf optik sehingga disebut sebagai maling penglihatan.
Glaukoma sudut terbuka tidak memberikan keluhan dengan tekanan
bola mata yang tinggi perlahan-lahan merusak serabut saraf optik,
walaupun tekanan bola mata sudah teratasi penglihatan yang telah
hilang tidak dapat diperbaiki lagi.
Pada pemeriksaan gonioskopi pemeriksaan sudut bilik mata
dengan goniolens dapat dilihat sudut bilik mata depan tempat
mengalirnya cairan mata keluar terbuka lebar. Bila sudut ini terbuka
lebar sedangkan tekanan bola mata tinggi maka dapat diduga
pembendungan cairan mata keluar berada jauh di dalam atau di
belakang sudut pengeluaran ini. Daerah penyaringan keluar cairan mata
ini disebut anyaman trabekulum.
Pada glaukoma sudut terbuka primer tidak terlihat kelainan pada
anyaman trabekula akan tetapi mungkin terdapat kerusakan fungsi sel

32

trabekula atau jumlahnya kurang akibat bertambahnya usia. Pendapat


lain adanya gangguan dari enzim pada trabekula.
Bila telah dilakukan pemeriksaan tekanan bola mata dan papil
saraf optik maka sebaiknya dilakukan pemeriksaan gonioskopi.
Pemeriksaan ini perlu untuk mengetahui apakah glaukoma adalah
glaukoma

primer

sudut

terbuka

atau

sekunder. Gambaran

gonioskopi pada glaukoma sudut terbuka primer memberikan susunan


anatomi yang normal.
Pada glaukoma sudut terbuka primer bila telah terjadi kerusakan
sel saraf maka akan berakibat terbentuk skotoma (bercak hitam) disertai
peniirunan fungsi penglihatan dan lapang pandangan. Bila telah terjadi
gangguan penglihatan maka keadaan ini menetap. Glaukoma sudut
terbuka primer merupakan penyakit kronis yang tidak dapat diobati.
Hanya dapat diperlambat dengan pengobatan. Biasanya pengobatan
tidak dimengerti pasien karena pasien tidak merasa adanya kelainan
pada matanya, apalagi bila haras memakai bermacam obat seumur
hidup dengan efek sampingnya.
Untuk mendapatkan hasil pengobatan yang efektif maka
pengobatan harus dilakukan dini sesuai dengan yang diperlukan. Bila
glaukoma diderita pada usia 35 tahun maka ini adalah bentuk glaukoma
juvenil. (Ilyas, 2007)
5. Uveitis
Peradangan uvea biasanya unilateral, dapat disebabkan oleh efek
langsung suatu infeksi atau merupakan fenomena alergi. Infeksi piogenik
biasanya mengikuti suatu trauma tembus okuli walaupun kadang-kadang
dapat juga terjadi sebagai reaksi terhadap zat toksik yang diproduksi oleh
mikroba yang menginfeksi jaringan tubuh diluar mata. Uveitis yang
berhubungan dengan mekanisme alergi merupakan reaksi hipersensitivitas
terhadap antigen dari luar (antigen eksogen) atau antigen dari dalam badan
(antigen endogen).

33

Dalam banyak hal antigen luar berasal dari mikroba yang infeksius.
Sehubungan dengan hal ini peradangan uvea terjadi lama setelah proses
infeksinya yaitu setelah munculnya mekanisme hipersensitivitas.
Radang iris dan badan siliar menyebabkan rusaknya Blood
Aqueous Barrier sehingga terjadi peningkatan protein, fibrin, dan sel-sel
radang dalam humor akuos yang tampak pada penyinaran miring
menggunakan sentolop atau akan lebih jelas bila menggunakan slit lamp,
berkas sinar yang disebut fler (aqueous Flare).
Fibrin dimaksudkan untuk menghambat gerakan kuman akan tetapi
justru mengakibatkan perlekatan-perlekatan misalnya perlekatan iris pada
permukaan lensa (sinekia posterior).
Sel-sel radang yang terdiri atas limfosit, makrofag, sel plasma
dapat membentuk presipitat keratik yaitu sel-sel radang yang menempel
pada permukaan endotel kornea. Apabila presipitat keratik ini besar,
berminyak disebut mutton fat keratic precipitate. Akumulasi sel-sel radang
dapat pula terjadi pada tepi pupil disebutKoeppe noduies, bila di
permukaan iris disebut Busacca nodules, yang bisa ditemukan juga pada
permukaan lensa dan sudut bilik mata depan.
Pada iridosiklitis yang berat sel radang dapat sedemikian banyak
hingga menimbulkan hipopion.Otot sfingter pupil mendapat rangsangan
karena radang dan pupil akan miosis dan dengan adanya timbunan fibrin
serta sel-sel radang dapat terjadi seklusio maupun oklusio pupil.
Bila terjadi seklusio dan oklusio pupil total, cairan di dalam bilik
mata belakang tidak dapat mengalir sama sekali mengakibatkan tekanan
dalam bilik mata belakang lebih besar dari tekanan dalam bilik mata depan
sehingga iris tampak menggelembung ke depan yang disebut iris bombe
(bombans).
Gangguan produksi humor akuos terjadi akibat hipofungsi badan
siliar menyebabkan tekanan bola mata turun. Eksudat protein, fibrin, dan
sel-sel radang dapat berkumpul di sudut bilik mata depan, terjadi
penutupan kanal Schlemm sehingga terjadi glaukoma sekunder.

34

Pada fase akut terjadi glaukoma sekunder karena gumpalangumpalan pada sudut bilik depan, sedang pada fase lanjut glaukoma
sekunder terjadi karena adanya seklusio pupil. Naik turunnya tekanan bola
mata disebutkan pula sebagai akibat peran asetilkolin dan prostaglandin.
(Eva, 2009)
II.5Penegakkan diagnosis
1. Katarak
Pemeriksaan penunjang :
a. Keratometri
b. Oftalmoskop
c. A-Scan Ultrasound (Echography)
d. Hitung sel endotel (James, 2006)
2. Ulkus atau tukak kornea
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesa, pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan klinis dengan menggunakan slit lamp dan
pemeriksaan laboratorium. Anamnesis pasien penting pada penyakit
kornea, sering dapat diungkapkan adanya riwayat trauma, benda asing,
abrasi, adanya riwayat penyakit kornea yang bermanfaat, misalnya
keratitis akibat infeksi virus herpes simplek yang sering kambuh.
Hendaknya pula ditanyakan riwayat pemakaian obat topikal oleh pasien
seperti kortikosteroid yang merupakan predisposisi bagi penyakit bakteri,
fungi, virus terutama keratitis herpes simplek. Juga mungkin terjadi
imunosupresi akibat penyakit sistemik seperti diabetes, AIDS, keganasan,
selain oleh terapi imunosupresi khusus.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan gejala obyektif berupa adanya
injeksi siliar, kornea edema, terdapat infiltrat, hilangnya jaringan kornea.
Pada kasus berat

dapat terjadi iritis yang disertai dengan hipopion.

Disamping itu perlu juga dilakukan pemeriksaan diagnostik seperti :


a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.

Ketajaman penglihatan
Tes refraksi
Tes air mata
Pemeriksaan slit-lamp
Keratometri (pengukuran kornea)
Respon reflek pupil
Pewarnaan kornea dengan zat fluoresensi

35

Gambar 23. Kornea ulcer dengan fluoresensi


h. Goresan ulkus untuk analisa atau kultur (pulasan gram, giemsa atau
KOH). Pada jamur dilakukan pemeriksaan kerokan kornea dengan
spatula kimura dari dasar dan tepi ulkus dengan biomikroskop
dilakukan pewarnaan KOH, gram atau Giemsa. Lebih baik lagi dengan
biopsi jaringan kornea dan diwarnai dengan periodic acid Schiff.
Selanjutnya dilakukan kultur dengan agar sabouraud atau agar ekstrak
maltosa. (?
3. Keratitis
A. Pemeriksaan Laboratorium
a. Pemeriksaan kultur bakteri dilakukan dengan menggores ulkus
kornea dan bagian tepinya dengan menggunakan spatula steril
kemudian ditanam di media cokelat, darah dan agar Sabouraud,
kemudian dilakukan pengecatan dengan Gram.
b. Biopsy kornea dilakukan jika kultur negatif dan tidak ada perbaikan
secara klinis dengan menggunakan blade kornea bila ditemukan
infiltrat dalam di stroma.
4. Glaukoma
Pemeriksaan penunjang :
a.
b.
c.
d.
e.
f.

Tonometer Schiotz
Tonometer nonkontak
Tonometer aplanasi
Oftalmoskop
Perimetri
Pemeriksaan gonioskopi (Ilyas, 2007)

5. Uveitis
Pemeriksaan ditujukan untuk menentukan kaitan sistemik dan
sebagian diarahkan oleh jenis uveitis yang terjadi. Uveitis anterior
kemungkinan besar dikaitkan dengan spondilitis ankilosa dan penentuan

36

HLA dapat membantu mengkonfirmasi diagnosis. Adanya KP (keratitis


prespitat) yang besar dan kemungkinan nodul pada iris dapat menandakan
sarkoidis pemeriksaan rontgen toraks, kalsium serum dan kadar
angiotensin converting enzyme dalam serum tepat dilakukan. Pada
retinokoroiditis toksoplasmik, fokus inflamasi.(James, 2006)
II.6Penatalaksanaan secara komprehensif
1. Katarak
Katarak hanya dapat diatasi melalui prosedur operasi. Akan tetapi
jika gejala katarak tidak mengganggu, tindakan operasi tidak diperlukan.
Kadang kala cukup dengan mengganti kacamata. Sejauh ini tidak ada
obat-obatan yang dapat menjernihkan lensa yang keruh. Namun, aldose
reductase inhibitor, diketahui dapat menghambat konversi glukosa menjadi
sorbitol, sudah memperlihatkan hasil yang menjanjikan dalam pencegahan
katarak gula pada hewan. Obat anti katarak lainnya sedang diteliti
termasuk diantaranya agen yang menurunkan kadar sorbitol, aspirin, agen
glutathione-raising, dan antioksidan vitamin C dan E.
Penatalaksanaan definitif untuk katarak senilis adalah ekstraksi
lensa. Lebih dari bertahun tahun, tehnik bedah yang bervariasi sudah
berkembang

dari

metode

yang

kuno

hingga

tehnik

hari

ini

phacoemulsifikasi. Hampir bersamaan dengan evolusi IOL yang


digunakan, yang bervariasi dengan lokasi, material, dan bahan implantasi.
Bergantung pada integritas kapsul lensa posterior, ada 2 tipe bedah lensa
yaitu intra capsuler cataract ekstraksi (ICCE) dan ekstra capsuler cataract
ekstraksi (ECCE). Berikut ini akan dideskripsikan secara umum tentang
tiga prosedur operasi pada ekstraksi katarak yang sering digunakan yaitu
ICCE, ECCE, dan phacoemulsifikasi.
1) Intra Capsuler Cataract Ekstraksi (ICCE)
Tindakan pembedahan dengan mengeluarkan seluruh lensa
bersama kapsul. Seluruh lensa dibekukan di dalam kapsulnya dengan
cryophake dan dipindahkan dari mata melalui incisi korneal superior
yang lebar. Sekarang metode ini hanya dilakukan hanya pada keadaan
lensa subluksatio dan dislokasi. Pada ICCE tidak akan terjadi katarak

37

sekunder dan merupakan tindakan pembedahan yang sangat lama


populer. ICCE tidak boleh dilakukan atau kontraindikasi pada pasien
berusia kurang dari 40 tahun yang masih mempunyai ligamen hialoidea
kapsular.

Penyulit

yang

dapat

terjadi

pada

pembedahan

ini

astigmatisme, glukoma, uveitis, endoftalmitis, dan perdarahan


2) Extra Capsular Cataract Extraction (ECCE)
Tindakan pembedahan pada lensa katarak dimana dilakukan
pengeluaran isi lensa dengan memecah atau merobek kapsul lensa
anterior sehingga massa lensa dan kortek lensa dapat keluar melalui
robekan. Pembedahan ini dilakukan pada pasien katarak muda, pasien
dengan kelainan endotel, bersama-sama keratoplasti, implantasi lensa
intra ocular posterior, perencanaan implantasi sekunder lensa intra
ocular, kemungkinan akan dilakukan bedah glukoma, mata dengan
prediposisi untuk terjadinya prolaps badan kaca, mata sebelahnya telah
mengalami prolap badan kaca, sebelumnya mata mengalami ablasi
retina, mata dengan sitoid macular edema, pasca bedah ablasi, untuk
mencegah penyulit pada saat melakukan pembedahan katarak seperti
prolaps badan kaca.Penyulit yang dapat timbul pada pembedahan ini
yaitu dapat terjadinya katarak sekunder.
3) Phakoemulsifikasi
Phakoemulsifikasi

(phaco)

maksudnya

membongkar

dan

memindahkan kristal lensa. Pada tehnik ini diperlukan irisan yang


sangat kecil (sekitar 2-3mm) di kornea. Getaran ultrasonic akan
digunakan untuk menghancurkan katarak, selanjutnya mesin PHACO
akan menyedot massa katarak yang telah hancur sampai bersih. Sebuah
lensa Intra Okular yang dapat dilipat dimasukkan melalui irisan
tersebut. Karena incisi yang kecil maka tidak diperlukan jahitan, akan
pulih dengan sendirinya, yang memungkinkan pasien dapat dengan
cepat kembali melakukan aktivitas sehari-hari.Tehnik ini bermanfaat
pada katarak kongenital, traumatik, dan kebanyakan katarak senilis.
Tehnik ini kurang efektif pada katarak senilis padat, dan keuntungan
incisi limbus yang kecil agak kurang kalau akan dimasukkan lensa

38

intraokuler, meskipun sekarang lebih sering digunakan lensa intra


okular fleksibel yang dapat dimasukkan melalui incisi kecil seperti itu.
4) SICS
Teknik operasi Small Incision Cataract Surgery (SICS)

yang

merupakan teknik pembedahan kecil teknik ini dipandang lebih


menguntungkan karena lebih cepat sembuh dan murah . Apabila lensa
mata penderita katarak telah diangkat maka penderita memerlukan lensa
pengganti untuk memfokuskan penglihatannya dengan cara sebagai
berikut:
a. kacamata afakia yang tebal lensanya
b. lensa kontak
c. lensa intra okular, yaitu lensa permanen yang ditanamkan di dalam
mata pada saat pembedahan untuk mengganti lensa mata asli yang
telah diangka. (Eva, 2009)
2. Ulkus kornea
Ulkus kornea adalah keadan darurat yang harus segera ditangani oleh
spesialis mata agar tidak terjadi cedera yang lebih parah pada kornea.
Pengobatan pada ulkus kornea tergantung penyebabnya, diberikan obat
tetes mata yang mengandung antibiotik, anti virus, anti jamur, sikloplegik
dan mengurangi reaksi peradangan dengann steroid. Pasien dirawat bila
mengancam perforasi, pasien tidak dapat memberi obat sendiri, tidak
terdapat reaksi obat dan perlunya obat sistemik.
1) Penatalaksanaan ulkus kornea di rumah
a. Jika memakai lensa kontak, secepatnya untuk melepaskannya.
b. Jangan memegang atau menggosok-gosok mata yang meradang.
c. Mencegah penyebaran infeksi dengan mencuci tangan sesering
mungkin dan mengeringkannya dengan handuk atau kain yang
bersih.
d. Berikan analgetik jika nyeri.
2) Penatalaksanaan medis
A. Pengobatan konstitusi
Oleh karena ulkus biasannya timbul pada orang dengan keadaan
umum yang kurang dari normal, maka keadaan umumnya harus
diperbaiki dengan makanan yang bergizi, udara yang baik,

39

lingkungan yang sehat, pemberian roboransia yang mengandung


vitamin A, vitamin B kompleks dan vitamin C. Pada ulkus-ulkus
yang disebabkan kuman yang virulen, yang tidak sembuh dengan
pengobatan biasa, dapat diberikan vaksin tifoid 0,1 cc atau 10 cc
susu steril yang disuntikkan intravena dan hasilnya cukup baik.
Dengan penyuntikan ini suhu badan akan naik, tetapi jangan sampai
melebihi 39,5C. Akibat kenaikan suhu tubuh ini diharapkan
bertambahnya antibodi dalam badan dan menjadi lekas sembuh.
B. Pengobatan lokal
Benda asing dan bahan yang merangsang harus segera dihilangkan.
Lesi kornea sekecil apapun harus diperhatikan dan diobati sebaikbaiknya. Konjungtuvitis, dakriosistitis harus diobati dengan baik.
Infeksi lokal pada hidung, telinga, tenggorok, gigi atau tempat lain
harus segera dihilangkan.
Infeksi pada mata harus diberikan :
a. Sulfas atropine sebagai salap atau larutan, kebanyakan dipakai
sulfas atropine karena bekerja lama 1-2 minggu.
Efek kerja sulfas atropine : Sedatif (menghilangkan rasa sakit),
Dekongestif (menurunkan tanda-tanda radang), Menyebabkan
paralysis M. siliaris dan M. konstriktor pupil.
Dengan lumpuhnya M. siliaris mata tidak mempunyai daya
akomodsi sehingga mata dalan keadaan istirahat. Dengan
lumpuhnya M. konstriktor pupil, terjadi midriasis sehinggga
sinekia posterior yang telah ada dapat dilepas dan mencegah
pembentukan sinekia posterior yang baru.
b. Skopolamin sebagai midriatika.
c. Analgetik, untuk menghilangkan rasa sakit, dapat diberikan tetes
pantokain, atau tetrakain tetapi jangan sering-sering.
d. Antibiotik yang sesuai dengan kuman penyebabnya atau yang
berspektrum luas diberikan sebagai salap, tetes atau injeksi
subkonjungtiva. Pada pengobatan ulkus sebaiknya tidak diberikan
salap mata karena dapat memperlambat penyembuhan dan juga
dapat menimbulkan erosi kornea kembali.
e. Anti jamur

40

Terapi medika mentosa di Indonesia terhambat oleh terbatasnya


preparat komersial yang tersedia berdasarkan jenis keratomitosis
yang dihadapi bisa dibagi :
a) Jenis jamur yang belum diidentifikasi penyebabnya : topikal
amphotericin B 1, 2, 5 mg/ml, Thiomerosal 10 mg/ml,
Natamycin > 10 mg/ml, golongan Imidazole
Jamur berfilamen : topikal amphotericin B, thiomerosal,
Natamicin, Imidazol.
b) Ragi (yeast) : amphotericin B, Natamicin, Imidazol.
c) Actinomyces yang bukan jamur sejati : golongan sulfa,
berbagai jenis anti biotik
f. Anti Viral
Untuk herpes zoster pengobatan bersifat simtomatik diberikan
streroid lokal untuk mengurangi gejala, sikloplegik, anti biotik
spektrum luas untuk infeksi sekunder analgetik bila terdapat
indikasi.
Untuk herpes simplex diberikan pengobatan IDU, ARA-A, PAA,
interferon inducer. Perban tidak seharusnya dilakukan pada lesi
infeksi supuratif karena dapat menghalangi pengaliran sekret
infeksi tersebut dan memberikan media yang baik terhadap
perkembangbiakan

kuman

penyebabnya.

Perban

memang

diperlukan pada ulkus yang bersih tanpa sekret guna mengurangi


rangsangan.
Untuk menghindari penjalaran ulkus dapat dilakukan :
a) Kauterisasi : Dengan zat kimia Iodine, larutan murni asam
karbolik,

larutan

murni

trikloralasetat.

Panas

(heat

cauterisasion) : memakai elektrokauter atau termophore.


Dengan instrumen ini dengan ujung alatnya yang mengandung
panas disentuhkan pada pinggir ulkus sampai berwarna
keputih-putihan.
b) Pengerokan epitel yang sakit
Parasentesa dilakukan kalau pengobatan dengan obat-obat
tidak menunjukkan perbaikan dengan maksud mengganti
cairan coa yang lama dengan yang baru yang banyak

41

mengandung antibodi dengan harapan luka cepat sembuh.


Penutupan ulkus dengan flap konjungtiva, dengan melepaskan
konjungtiva dari sekitar limbus yang kemudian ditarik
menutupi ulkus dengan tujuan memberi perlindungan dan
nutrisi pada ulkus untuk mempercepat penyembuhan. Kalau
sudah sembuh flap konjungtiva ini dapat dilepaskan kembali.
Bila seseorang dengan ulkus kornea mengalami perforasi
spontan berikan sulfas atropine, antibiotik dan balut yang kuat.
Segera berbaring dan jangan melakukan gerakan-gerakan. Bila
perforasinya disertai prolaps iris dan terjadinya baru saja, maka
dapat dilakukan Iridektomi dari iris yang prolaps, iris reposisi,
kornea dijahit dan ditutup dengan flap konjungtiva, beri sulfas
atripin, antibiotic dan balut yang kuat.
Bila terjadi perforasi dengan prolaps iris yang telah
berlangsung lama, kita obati seperti ulkus biasa tetapi prolas
irisnya dibiarkan saja, sampai akhirnya sembuh menjadi
leukoma adherens. Antibiotik diberikan juga secara sistemik.
C. Keratoplasti
Keratoplasti adalah jalan terakhir jika urutan penatalaksanaan
diatas tidak berhasil. Indikasi keratoplasti terjadi jaringan parut yang
mengganggu penglihatan, kekeruhan kornea yang menyebabkan
kemunduran tajam penglihatan, serta memenuhi beberapa kriteria
yaitu :
a. Kemunduran visus yang cukup menggangu aktivitas penderita
b. Kelainan kornea yang mengganggu mental penderita.
c. Kelainan kornea yang tidak disertai ambliopia.
3. Keratitis kornea
Terapi keratitis HSV hendaknya bertujuan menghentikan replikasi
virus di dalam kornea, sambil mengurangi efek-merusak respons radang.
a. Debridement
Cara efektif untuk mengobati keratitis dendritik adalah dengan
debridement epitel karena virus berlokasi di dalam epitel dan
debridement juga mengurangi beban antigenik virus pada stroma

42

kornea.

Epitelsehat

melekat

erat

pada

kornea,

tetapi

epitel

terinfeksimudah dilepaskan. Debridement dilakukan dengan aplikator


berujung kapas khusus. Iodium atau eter topikal tidakbermanfaat dan
dapat

menimbulkan

keratitis

kimiawi.Obat

sikloplegik,

seperti

homatropin 5% diteteskan kedalam saccus konjunctivalis, kemudian


dibalut tekan. Pasien harus diperiksa setiap hari dan diganti
balutannyasampai defek korneanya sembuh, umumnya dalam 72
jam.Pengobatan tambahan dengan antiviral topikal mempercepat
pemulihan epitel. Terapi keratitis epitelial denganobat topikal tanpa
debridement epitel bersifat menguntungkan karena tidak perlu ditutup,
tetapi terdapat bahayakeracunan obat.
b. Terapi obat
Agen antiviral topikal yang dipakai pada keratitis herpes adalah
idoxuridine, trifluridine, vidara-bine, dan acyclovir. (Acyclovir topikal
untuk mata tidak tersedia di USA.) Untuk penyakit stromal, trifluridine
dan acyclovir jauh Iebih efektif dibandingkan yang lain. Idoxuridine
dan trifluridine sering menimbulkan reaksi toksik. Acyclovir oral
bermanfaat untuk pengobatan penyakitherpes mata berat, khususnya
pada individu atopik yangrentan terhadap penyakit herpes mata dan
herpes

kulityang

agresif

(eczema

herpeticum).

Dosis

untuk

penyakitaktif adalah 400 mg lima kali per hari pada pasien yangtidak
luluh imun (nonimmunocompromised) dan 800 mg limakali per hari
pada pasien atopik atau imun lemah. Dosisprofilaksis penyakit rekurens
adalah 400 mg dua kali perhari. Dapat juga digunakan Famciclovir atau
valacyclovir.
Replikasi virus pada pasien imunokompeten, khususnya bila
terbatas di epitel kornea, biasanya sembuh sendiri dan pembentukan
parutnya minimal. Dalam hal ini penggunaan kortikosteroid topikal
tidak diperlukan, bah-kan berpotensi sangat merusak. Sayangnya,
kekhawatiran akan terjadinya parut permanen akibat peradangan
kornea, terutama bila terdapat penyakit stromal, sering memicu
penggunaan kortikosteroid topikal ini didasarkan pada anggapan yang

43

keliru bahwa mengurangi peradangan akan mengurangi beratnya


penyakit. Sekalipun respons peradangan itu diduga timbul semata-mata
karena proses imunologis, seperti pada keratitis disiformis, penggunaan
kortikosteroid topikal sebaiknya dihindari pada kelainan yang
kemungkinan akan sembuh sendiri.
Sekali dipakai kortikosteroid topikal, umumnya pasien terpaksa
hasus memakai obat itu untuk mengendalikan episode keratitis
berikutnya, dengan kemungkinan terjadi replikasi virus yang tidak
terkendali dan efek samping lain yang berhubungan dengan steroid,
seperti superinfeksi bakteri dan jamur, glaukoma, dan katarak.
Kortikosteroid topikal dapat pula mempermudah penipisan kornea,
yang meningkatkan risiko perforasi kornea. Jika memang perlu
menggunakan

kortikosteroid

topikal

karena

hebatnya

respons

peradangan, harus diberikan terapi antiviral yang tepat untuk


mengendalikan replikasi virus. Masalah dalam penanganan keratitis
HSV sering disebabkan oleh penggunaan obat topikal multipel yang
tidak tepat, termasuk antiviral, antibiotik, dan kortikosteroid sehingga
menimbulkan efek simpang, termasuk toksisitas epitel. Sering kali,
penggunaan antiviral oral dan penurunan dosis kortikosteroid secara
perlahan akan memberikan perbaikan yang nyata.
c. Terapi bedah
Keratoplasti

penetrans

mungkin

diindikasikan

untuk

merehabilitasi penglihatan pasien dengan parut kornea berat, tindakan


ini hendaknya dilakukanbeberapa bulan setelah penyakit herpesnya
non-aktif.

Pascabedah,

infeksi

herpes

rekurens

dapat

timbul

sebagaiakibat trauma bedah dan kortikosteroid topikal yang diperlukan


untuk mencegah penolakan tandur (graft) kornea.Penolakan tandur
kornea itu sendiri juga sulit dibedakandari penyakit stroma rekurens.
Obat antiviral sistemikharus diberikan selama beberapa bulan setelah
keratoplasti untuk mengimbangi pemakaian kortikosteroid topikal.
Perforasi kornea akibat penyakit herpes stromal yang progresif
atau akibat superinfeksi bakteri atau fungi mungkin memerlukan
keratoplasti penetrans darurat. Pelekat jaringan cyanoacrylate dapat

44

dipakai secara efektif untuk menutup perforasi kecil, dan graft "pelekat"
lamelar berhasil baik pada kasus-kasus tertentu. Keratoplasti la-melar
memiliki

keuntungan

dibanding

keratoplasti

penetrans

karena

kemungkinan terjadinya penolakan tandur kornea lebih kecil. Lensa


kontak lunak untuk terapi atau tarsorafi mungkin diperlukan untuk
memulihkan defek epitel yang terdapat pada keratitis herpes simpleks,
tetapi tandur membran amnion mungkin bisa lebih efektif.
d. Pengendalian mekanisme pemicu yang mereaktivasiinfeksi HSV
Infeksi HSV rekurens pada mata banyak dijumpai kira-kira
sepertiga dari seluruh kasus, dalam 2 tahun setelah serangan pertama.
Mekanisme pemicunya sering dapat ditemukan melalui anamnesis yang
teliti. Begitu diketahui, pemicu tersebut sering dapat dihindari. Aspirin
dapat dipakai untuk mencegah demam pajanan berlebihan terhadap
sinar matahari atau sinar ultraviolet dapat dihindari, dan aspirin dapat
diminum sebelum menstruasi. Dapat digunakan antiviral profilaksis
dalam bentuk topikal dan/atau oral, misalnya, menjelang bedahrefraksi
kornea dengan laser. (Ilyas, 2005)
4. Glaukoma
A. Laser pada glaukoma
Bedah laser dilakukan pada berbagai jenis glaukoma dan dapat
dilakukan sebagai tambahan pengobatan medis. Susunan mata yang
terdiri atas kornea yang jernih mengakibatkan mudahnya sinar laser
diarahkan pada jaringan yang akan diperbaiki di dalam mata. Bedah
laser memberikan hasil cepat, sederhana, yang biasanya tidak sakit.
Beberapa pendapat terakhir pada glaukoma pengobatan dini dapat
dimulai dengan bedah laser ini.
Pada penyakit tertentu bedah laser ini tidak dipertimbangkan
karena bila penglihatan menurun dengan cepat dan pengobatan laser
gagal menurunkan tekanan bola mata maka pembedahan adalah cara
yang terbaik untuk pasien.
B. Bedah laser pada glaukoma sudut terbuka

45

Bedah laser pada glaukoma dengan argon laser trabekuloplasti


bertambah populer pada saat ini. Dahulu dilakukan untuk mendahului
semua pengobatan glaukoma. Prosedur pelaksanaan memakan waktu
kira-kira 20 menit tanpa rasa sakit dan tidak perlu dirawat. Dilakukan
50-100 pembakaran pada anyaman trabekulum 180-360 derajat.
Dengan melakukan laser di tempat ini maka akibat panas sebagian
trabekulum mengkemt yang akan menarik dan membukanya sehingga
cairan mata mudah mengalir keluar. Ada yang mengatakan sinar ini
mengakibatkan pertumbuhan kembali sel trabekulum yang mengatur
pengaliran cairan mata.
Umumnya hasil tidak jelas pada glaukoma sudut terbuka dan
tidak dapat dilakukan pada pasien glaukoma di bawah usia 40 tahun.
Tindakan laser akan menurunkan tekanan pada 80% pasien dengan
glaukoma sudut terbuka. Pada pasien yang tidak berhasil laser tidak
akan memberikan kesulitan baru.
C. Trabekuloplasti laser
Trabekuloplasti laser sering dilakukan pada glaukoma sudut
terbuka. Trabekuloplasti laser dilakukan dengan membakar daerah
anyaman trabekulum yang akan mempercepat pengaliran cairan mata
keluar. Tindakan ini dilakukan dengan berobat jalan di mana tindakan
laser memakan waktu tidak lebih dari 1 jam, tanpa memberikan rasa
sakit.
Argon laser trabekuloplasti dahulu dilakukan antara pemberian
obat dengan tindakan pembedahan. Hasil akan lebih baik bila terdapat
pandangan pada mata akibat glaukoma atau akibat penyakit lainnya.
Hasil trabekuloplasti laser akan lebih baik pada keadaan berikut:
a.
b.
c.
d.

Pasien usia lanjut.


Belum pernah mendapat pembedahan.
Glaukoma bertekanan rendah.
Tidak ada peradangan.

Hasil trabekulotomi laser hampir tidak ada sama sekali.


D. Bedah laser pada glaukoma sudut tertutup Iridotomi laser

46

Pada glaukoma sudut tertutup terdapat hambatan relatif pengaliran


keluar cairan dari bilik mata belakang melalui pupil ke bilik mata
depan. Iridotomi merupakan suatu tindakan bedah glaukoma yang
sering dilakukan pada glaukoma sudut tertutup. Iridotomi laser
merupakan bentuk lain bedah laser pada glaukoma. Tindakan laser
dilakukan untuk mendapatkan lubang pada bagian iris yang berwarna.
Pada keadaan ini dibuat sebliah lobang kecil pada selaput pelangi
perifer.
Iridektomi laser adalah prosedur yang terbaik dilakukan pada glaukoma
sudut tertutup. Bila hal ini tidak dilakukan maka dengan mudah dapat
terjadi serangan akut glaukoma sudut tertutup.
Pada glaukoma sudut tertutup secara rutin tidak dipakai tetes mata
kecuali bila tekanan tinggi. Pada keadaan akan kemungkinan terjadinya
glaukoma sudut tertutup maka dilakukan iridotomi perifer.
E. Laser atau obat
Beberapa pendapat terakhir menyatakan bahwa pengobatan
dengan laser mempakan pilihan altematif yang efektif di banding
dengan pemberian obat sebagai pengobatan dini glaukoma. Sebelumnya
obat mempakan pengobatan utama glaukoma. Tidak ada satupun dari
laser atau obat yang mempakan pengobatan ampuh untuk glaukoma.
Efek samping pengobatan laser setelah bertahun-tahun tidaklah
nyata, berlainan dengan pemakaian obat pada glaukoma akan
memberikan efek samping yang mengganggu.
F. Pembedahan pada glaukoma
Beberapa penderita glaukoma tidak dapat diatasi dengan
pengobatan tetes mata, tablet, dan laser untuk menurankan tekanan bola
mata. Hal ini tentu tidak akan menguntungkan bagi kualitas hidup.
Keadaan

ini

dapat

ditolong

dengan

tindakan

bedah

yang

mempergunakan mikroskop untuk menurankan tekanan bola mata.


Tujuan pembedahan pada glaukoma adalah membuat filtrasi
jalan keluar cairan mata. Terdapat berbagai teknik bedah glaukoma
dalam upaya agar pasien tidak memakai obat untuk glaukoma yang

47

dideritanya. Operasi glaukoma seperti operasi lainnya mempunyai


risiko bedah. Pemilihan jenis operasi yang baik untuk setiap pasien
tergantung banyak faktor seperti tipe dan beratnya glaukoma.
Seperti setiap tindakan bedah maka operasi glaukoma dapat saja
memberikan beberapa penyulit atau komplikasi, seperti:
a.
b.
c.
d.

Infeksi
Perdarahan
Perabahan tekanan bola mata yang tidak diharapkan.
Hilangnya penglihatan.

G. Bedah filtrasi
Bedah filtrasi dilakukan tanpa perlu pasien dirawat dengan
memberi anestesi lokal dan kadang-kadang sedikit obat tidur. Dengan
memakai alat sangat halus diangkat sebagian kecil sklera sehingga
terbentuk satu lubang. Melalui celah sklera yang dibentuk cairan mata
akan keluar sehingga tekanan bola mata berkurang, yang kemudian
diserap di bawah konjungtiva. Pasca bedah pasien harus memakai
penutup mata dan mata yang dibedah tidak boleh kena air. Untuk
sementara pasien pascabedah glaukoma dilarang bekerja berat.
H. Trabekulektomi
Pada glaukoma masalahnya adalah terdapatnya hambatan filtrasi
(pengeluaran) cairan mata keluar bola mata yang tertimbun dalam mata
sehingga tekanan bola mata naik.
Bedah trabekulektomi merupakan teknik bedah untuk mengalirkan cairan melalui saluran yang ada. Pada trabekulektomi ini cairan
mata tetap terbentuk normal akan tetapi pengaliran keluarnya dipercepat
atau salurannya diperluas. Bedah trabekulektomi membuat katup sklera
sehingga cairan mata keluar dan masuk di bawah konjungtiva. Untuk
mencegah jaringan parut yang terbentuk diberikan 5 fluoruracil atau
mitomisin. Dapat dibuat lubang filtrasi yang besar sehingga tekanan
bola mata sangat menurun.
Pembedahan ini memakan waktu tidak lebih dari 30 menit.
Setelah pembedahan perlu diamati pada 4-6 minggu pertama. Untuk

48

melihat keadaan tekanan mata setelah pembedahan. Biasanya


pengobatan akan dikurangi secara perlahan-lahan.
I. Bedah filtrasi dengan implan
Pada saat ini dikenal juga operasi dengan menanam bahan
penolong pengaliran (implant surgery). Pada keadaan tertentu adalah
tidak mungkin untuk membuat filtrasi secara umum sehingga perlu
dibuatkan saluran buatan (artifisial) yang ditanamkan ke dalam mata
untuk drainase cairan mata keluar.
Beberapa

ahli

berusaha

membuat

alat

yang

dapat

mempercepat keluarnya cairan dari bilik mata depan. Upaya di dalam


membuat alat ini adalah :
a. Dapat mengeluarkan cairan mata yang berlebihan.
b. Keluarnya tidak hanya dalam jumlah dan persentase.
c. Mengatur tekanan maksimum, minimum optimal,
d.
e.
f.
g.
J.

seperti

hidrostat
Tahan terhadap kemungkinan penutupan
Minimal terjadinya hipotensi
Desain yang menghindarkan migrasi dan infeksi
Bersifat atraumatik.
Bedah glaukoma disertai katarak (bedah gabungan)
Glaukoma umumnya terdapat pada usia lanjut di mana lensa mata

juga telah mulai keruh (katarak). Penglihatan yang kabur akibat katarak
pengobatannya adalah dengan pembedahan sedangkan glaukoma juga
dapat diatasi tekanan bola matanya yang tinggi dengan pembedahan.
Pada keadaan ini maka pembedahan akan memberikan hasil yang
bermanfaat untuk keduanya.
J. Siklodestruksi
Telah dibicarakan upaya mengalirkan cairan bola mata yang
berlebihan dengan melakukan tindakan bedah filtrasi. Tindakan lain
adalah mengurangkan produksi cairan mata oleh badan siliar yang
masuk ke dalam bola mata. Diketahui bahwa cairan mata ini
dikeluarkan terutama oleh pembuluh darah di badan siliar dalam bola
mata. Pada siklodestruksi dilakukan pengrusakan sebagian badan siliar
sehingga pembentukan cairan mata berkurang. Tindakan ini jarang

49

dilakukan karena biasanya tindakan bedah utama adalah bedah filtrasi.


(Ilyas, 2007)
5. Uveitis
Terapi utama uveitis adalah pemberian kortikosteroid dan agen
midriatik/sikloplegik. Selama pemberian terdapat hal-hal yang perlu
diperhatikankemungkinan defek epitel dan trauma tembus harus
disingkirkan pada riwayat trauma harus diperiksa sensibilitas kornea dan
tekanan intraokular untuk menyingkirkan kemungkinan infeksi herpes
simplex atau zoster. Terapi topikal yang agresif dengan prednisolone
acetate 1%, satu atau dua tetes pada mata yang terkena setiap 1 atau 2 jam
saat

terjaga,

biasanya

mampu

mengontrol

peradangan

anterior.

Prednisolone acetate adalah suatu suspensi dan harus dikocok selama 3040 menit sebelum tiap-tiap penggunaan. Homatropin 2-5%, dua sampai
empat kali sehari, membantu mencegah terbentuknya sinekia dan
meredakan rasa tidak nyaman akibat spasme siliaris.
Peradangan noninfeksi intermediet, posterior, dan difus berespons
baik terhadap penyuntikan triamcinolone acetonide sub-Tenon, biasanya 1
mL (40 mg), pada daerah superotemporal. Triamcinolone acetonide
intraokular, 0,1 mL (4 mg), atau prednisone oral, 0,5-1,5 mg/kg/hari juga
efektif. Corticosteroid-sparing agent seperti methotrexate, azathioprine,
mycophenolate mofetil, cylcosporine, tacrolimus, cyclophosphamide, atau
chlorambucil sering diperlukan pada peradangan noninfeksi bentuk berat
atau kronik, terutama bila ditemukan adanya keterlibatan sistemik. (James,
2006)
II.7 Farmakodinamik terapi medikamentosa
1. Katarak
Anestetik lokal untuk suntikan
Lidocaine, procaine, dan mepivacaine adalah anestetik lokal yang
umum dipakai untuk operasi mata. Obat yang bekerja lebih lama seperti
bupivacaine dan etidocaine sering dicampur dengan anestetik lokal lain
untuk memperpanjang efeknya. Anestetik lokal sangat aman bila dipakai

50

dengan hati-hati, tetapi dokter harus sadar akan potensi toksik sistemik bila
terjadi penyerapan cepat dari tempat suntikan, pada kelebihan dosis, atau
penyuntikkan intravena yang tidak disengaja.
Penambahan hialuronidase memudahkan penyebaran anestetik dan
mempercepat mulai kerjanya sampai 1 menit. Dengan alasan ini,
hialuronidase sering dipakai pada penyuntikan retrobulbar sebelum
ekstraksi katarak. Anestetik suntikan paling banyak dipakai ahli
oftalmologi untuk pasien-pasien tua, yang rentan terhadap aritmia jantung
oleh karena itu epinephrine tidak boleh digunakan pada konsentrasi lebih
dari 1:200.000.
1) Lidocaine Hydrochloride (Xylocaine)
Karena mula kerjanya yang cepat dan efeknya yang lama (1-2
jam), lidocaine menjadi anestetik lokal yang paling banyak dipakai.
Anestetik ini kira-kira dua kali lebih poten dibandingkan procaine.
Larutan 1%, tanpa epinefrin, dapat dipakai dengan aman sampai 30 mL.
Pada operasi katarak, 15-20 mL umumnya lebih dari cukup. Dosis
maksimal yang aman adalah 4,5 mg/kg tanpa epinefrin dan 7 mg/kg
dengan epinefrin. Untuk anestesi bedah katarak, dilakukan
penyuntikan intracamera (ke dalam bilik mata) larutan lidocainc
1%, tanpa pengawet.
2) Procaine Hydrochloride (Novocaine)
Sediaan: Larutan, 1%, 2%, dan 10%.
Dosis: Kira-kira 50 mL larutan 1% dapat disuntikkan tanpa
menimbulkan efek sistemik. Dosis maksimum yang aman adalah 10
mg/kg. Lama kerja: 45-60 menit.
3) Mevilepivacaine Hydrochloride (Carbocaine, dll.)
Sediaan: Larutan, 1%, 1,5%, 2%, dan 3%.
Dosis: Infiltrasi dan blok saraf, sampai 20 mL larutan 1% atau2%.
Lama kerja: Kira-kira 2 jam. Catalan: Carbocaine sama potennya
dengan lidocaine. Obat ini biasanya dipakai pada pasien yang alergi
terhadap lidocaine. Dosis maksimum yang aman adalah 7 mg/kg.
4) Bupivacaine Hydrochloride (Marcaine, Sensorcaine)

51

Sediaan: Larutan, 0,25%, 0,5%, dan 0,75%.


Dosis: Larutan 0,75% paling sering dipakai dalam oftalmologi. Dosis
aman maksimum untuk dewasa adalah 250 mg dengan epinefrin dan
200 mg tanpa epinefrin. Bupivacaine sering dicampur dengan lidocaine
dalam jumlah yang sama.
Mulai dan lama kerja: Mulainya lebih lambat dari lidocaine, tetapi
bertahan lebih lama (sampai 6-10 jam). (Eva, 2009)
2. Uveitis
1) Vidarabine (Vira-A)
Sediaan: Salep oftalmik, 3%.
Dosis: Pada keratitis epitel herpetik, pakai empat kali sehari, selama 710 hari.
Catatan: Vidarabine efektif terhadap virus herpes simplex, tetapi tidak
terhadap virus DNA atau RNA lainnya. Obat ini efektif untuk beberapa
pasien

yang

mengganggu

tidak

responsif

sintesis

DNA

terhadap
virus.

idoxuridine.

Metabolit

Vidarabine

utama

adalah

arabinosylhypoxanthine (Ara-Hx). Obat ini efektif terhadap penyakit


epitel kornea herpetik dan efikasinya terbatas pada keratitis stroma atau
uveitis.

Vidarabine

dapat

menyebabkan

toksisitas

selular

dan

memperlambat regenerasi kornea. Toksisitas selular lebih ringan dari


pada toksisitas idoxuridine. (Eva, 2009)
2) Kortikosteroid topical
Indikasi
Terapi kortikosteroid topikal diindikasikan pada kondisi peradangan di
segmen anterior bola mata. Contohnya adalah konjungtivitis alergika,
uveitis, episkleritis, skleritis, fliktenulosis, keratitis punctata superfisial,
keratitis interstisial, dan konjungtivitis vernalis.
Pemberian & Dosis
Aktivitas antiradang kortikosteroid dan turunan-turunannya bervariasi.
Kekuatan relatif prednisolon terhadap hidrokortison adalah 4 kali
deksametason dan betametason, 25 kali. Efek sampingnya tidak

52

berkurang denganobat yang lebih kuat meskipun dosis terapeutiknya


lebih kecil.
Lama pengobatan tergantung jenis lesi dan berkisar antara beberapa
hari sampai beberapa bulan.
Terapi awal pada peradangan mata berat berupa penetesan setiap 1 atau
2 jam sewaktu pasien terjaga. Bila respons tampak baik, dosisnya
diturunkan secara bertahap dan dihentikan sesegera mungkin.
Perhatian: Efek samping terapi steroid lokal adalah eksaserbasi keratitis
herpes simpleks, keratitis jamur, pembentukan katarak (tidak umum),
dan glaukoma sudut-terbuka (sering). Efek-efek ini lebih ringan pada
terapi

steroid

sistemik.

Setiap

pasien

yang

menerima

terapi

kortikosteroid okular lokal atau terapi kortikosteroid sistemik


jangkapanjang harus dalam pengawasan seorang ahli oftalmologi.
Berikut ini disajikan sebagian daftar kortikosteroid topikal untuk
dipakai dalam oftalmologi:
Salep hidrokortison 0,5%, 0,12%, 0,125%, dan 1%.
Suspensi prednisolon asetat 0,125% dan 1 %.
Larutan prednisolon natrium fosfat 0,125% dan 1 %.
Suspensi deksametason natrium fosfat 0,1%; salep 0,05%.
Suspensi medrysone 1 %.
Suspensi fluorometolon 0,1 % dan 0,25%; salep 0,1 %
Suspensi rimexalone 1 %. (Eva, 2009)
3. Glaukoma
Obat-obat yang dipakai dalam pengobatan glaukoma
Konsentrasi yang dipakai dan frekuensi penetesan hendaknya
bersifat individual berdasarkan hasil pengukuran tonometri. Gunakan dosis
terkecil yang efektif untuk mengendalikan tekanan intraokular dan
mencegah kerusakan pada nervus opticus.
Semua parasimpatomimetik menurunkan tekanan intraokular dengan
meningkatkan pengaliran keluar aqueous humor melalui anyaman
trabekula.
1) Obat Kolineigik (Parasimpatomimetik) Kerja Langsung

53

a. Pilocarpine Hydrochloride & Nitrate


Sediaan: Larutan, 0,25%, 0,5-6%, 8%, dan 10%, gel 4 %. Juga ada
dalam bentuk lepas berkala (Ocusert).
Dosis: 1 tetes sampai enam kali sehari; kira-kira sepanjang 1/2 inci
gel dimasukkan dalam cul-de-sac konjungtiva inferior sebelum tidur.
Catatan: Pilocarpine diperkenalkan tahun 1876 dan masih sering
dipakai sebagai obat antiglaukoma.
b. Carbachol, Topikal
Sediaan: Larutan, 0,75%, 1,5%, 2,25%, dan 3%.
Dosis: 1 tetes pada setiap mata, tiga atau empat kal sehari.
Catatan: Carbachol kurang diabsorpsi melalui kornea dan umumnya
dipakai jika pilocarpine tidal efektif. Lama kerjanya 4-6 jam. Jika
benzalkoniun chloride digunakan sebagai vehiculum, daya serap
carbachol sangat meningkat. Farmakodinamik carbachol juga
meliputi kerja tak langsung.
2) Obat Antikolinesterase (Kerja Tak Langsung)
a. Physostigmine Salicylate & Sulfate (Eserine)
Sediaan: Larutan, 0,25% dan salep 0,25%.
Dosis: 1 tetes tiga atau empat kali sehari atau salep sepanjang 1/4
inci satu atau dua kali sehari.
Catatan: Tingginya insidens reaksi alergi membatasi penggunaan
obat antiglaukoma yang lama dan jarang digunakan ini. Obat ini
dapat dikombinasikan dalam larutan yang sama dengan pilocarpine.
Obat-obat parasimpatomimetik berikut ini poten dan bekerja
lama, serta digunakan bila obat-obat antiglaukoma lain tidak dapat
mengendalikan tekanan intraokular. Saat ini mereka kurang dipakai
dibanding dulu. Miosis yang dihasilkan sangat kuat spasme siliaris
dan miopia sering terjadi. Iritasi lokal sering ditemukan dan
phospholine iodide diduga bersifat kataraktogenik pada beberapa
pasien.

Dapat

terjadi

blokade

pupil.

Dengan

semakin

berkembangnya obat antiglaukoma modern, obat-obat ini semakin


jarang dipakai dibandingkan dulu.
b. Echothiophate Iodide (Phospholine Iodide)

54

Sediaan: Larutan, 0,03%, 0,06%, 0,125%, dan 0,25%.


Dosis: 1 tetes satu atau dua kali sehari atau lebih jarang lagi,
tergantung responsnya.
Catatan: Echothiophate iodide adalah obat yang bekerja lama serupa
dengan isoflurophate, yang mempunyai keuntungan karena larut air
dan kurang menimbulkan iritasi lokal. Toksisitas sistemik dapat
timbul dalam bentuk stimulasi kolinergik, antara lain banyak liur,
mual, muntah, dan diare. Efek samping pada mata adalah
pembentukan katarak, spasme akomodasi, dan pembentukan kista
iris.
c. Pemecarium Bromide (Humorsol)
Sediaan: Larutan, 0,125% dan 0,25%. Dosis: 1 tetes satu atau dua
kali sehari. Catatan: Mungkin terjadi toksisitas sistemik yang serupa
dengan echothiophate iodide.
3) Obat Adrenergik (Simpatomimetik); Nonspesifik
Pada pengobatan glaukoma, epinephrine mempunyai keuntungan
berupa durasi kerja yang lama (12-72 jam) dan tidak menimbulkan
miosis. Ini terutama penting bagipasien dengan katarak insipiens (efek
pada penglihatan tidak menonjol). Sedikitnya 25% pasien menunjukkan
alergi lokal yang lain mengeluh sakit kepala dan palpitasi jantung.
Epinephrine menimbulkan efek pada tempat-tempat yang memiliki
reseptor alfa maupun beta.
Epinephrine terutama bekerja dengan meningkatkan pengeluaran
aqueous humor. Namun, obat ini juga mampu mengurangi produksi
aqueous humor pada pemakaian yang lama.
Beberapa sediaan yang dapat digunakan pada glaukoma sudut
terbuka disampaikan setelah ini. Dosis semuanya sama, yakni, 1 tetes
dua kali sehari. Dipivefrin, bentuk epinephrine yang teresterifikasi,
cepat dihidrolisis menjadi epinephrine. Farmakodinamiknya sama
dengan farmakodinamik epinephrine.
Epinephrine borate (Eppy/N) 0,5%, 1 %, dan 2%.

55

Epinephrine hydrochloride (Epifrin, Glaucon) 0,25%, 0,5%, 1%,


dan 2%. Dipivefrin hydrochloride (Propine) 0,1 %.
4) Obat Adrenergik (Simpatomimetik); Relatif Spesifik-Alfa 2
a. Apraclonidine Hydrochloride (iopidine)
Sediaan: Larutan, 0,5% dan 1%.
Dosis: 1 tetes larutan 1% sebelum terapi laser segmen anterior dan
tetesan kedua setelah tindakan hampir selesai. Satu tetes larutan
0,5% dua atau tiga kali sehari sebagai pengobatan tambahan jangkapendek pada pasien glaukoma yang menggunakan obat-obat lain.
Catatan: Apraclonidine hydrochloride adalah agonis adrenergik alfa2 yang relatif selektif; dipakai secara topikal untuk mencegah dan
mengendalikan tekanan intraokular agar tidak naik setelah prosedur
laser pada segmen anterior. Obat ini juga dipakai sebagai terapi
tambahan jangka pendek pada pasien dengan terapi medis maksimal
yang masih ditoleransi yang masih mernerlukan penurunan tekanan
intraokular. Apraclonidine menurunkan tekanan intraokular dengan
menekan pembentukan aqueous humor, yang mekanisme sebenarnya
belum jelas diketahui. Berbeda dengan clonidine, apraclonidine
ternyata tidak mudah melalui sawar jaringan darah dan menimbulkan
sedikit efek samping. Efek samping sistemik yang dilaporkan adalah
turunnya tekanan diastolik (jarang), bradikardia, dan gejala-gejala
sistem saraf pusat seperti insomnia, iritabilitas, dan penurunan libido.
Efek samping pada mata adalah memucatnya konjungtiva, elevasi
pal-pebra superior, midriasis, dan rasa terbakar.
b. Brimonidine Tartrate (Alphagan-P)
Brimonidine adalah agonis adrenergik alfa-2 yang relatif spesifik,
yang menurunkan tekanan intraokular dengan menekan produksi
aqueous dan mungkin juga dengan meningkatkan pengaliran keluar
aqueous melalui jalur uveosklera. Obat ini mempunyai efek
minimum pada frekuensi jantung dan tekanan darah.
Sediaan: Larutan, 0,15%.
Dosis: 1 tetes dua atau tiga kali sehari. Mungkin digunakan sebagai
monoterapi atau dikombinasikan dengan obat glaukoma lain. Sering

56

kali digunakan sebagai obat pengganti pada pasien yang tidak tahan
obat penyekat beta.
Toksisitas: Mulut kering, rasa menyengat, dan kemerahan merupakan
efek samping yang paling sering ditemukan.
5) Obat Penyekat Adrenergik-Beta (Simpatolitik)
a. Timolol Maleate (Timoptic; Timoptic XE, Betimol)
Sediaan: Larutan, 0,25% dan 0,5%; gel, 0,25% dan 0,5%.
Dosis: 1 tetes larutan 0,25% atau 0,5% di setiap mata, satu atau dua
kali sehari bila perlu. Satu tetes gel sekali sehari.
Catatan: Timolol maleate adalah obat penyekat adrenergik-beta nonselektif yang diberikan secara topikal untuk pengobatan glaukoma
sudut terbuka, glaukoma afakik, dan beberapa jenis glaukoma
sekunder. Satu kali pakai dapat menurunkan tekanan intraokular
selama 12-24 jam. Timolol ternyata efektif pada beberapa pasien
glaukoma berat yang tidak dapat terkontrol dengan obat-obat anti
glaukoma lain yang telah ditoleransi maksimal. Obat ini tidak
mempengaruhi ukuran pupil atau ketajaman penglihatan. Meskipun
timolol biasanya ditoleransi baik, pemberiannya harus hati-hati pada
pasien-pasien yang diketahui kontraindikasi terhadap penggunaan
sistemik obat penyekat adrenergik-beta (mis., asma, gagal jantung).
b. Betaxolol Hydrochloride (Betoptic; Betoptic S)
Sediaan: Larutan, 0,25% (Betoptic S) dan 0,5%.
Dosis: 1 tetes satu atau dua kali sehari.
Catatan: Betaxolol mempunyai efikasi sebanding dengan timolol
dalam pengobatan glaukoma. Selektivitas relatif terhadap reseptorP1 mengurangi risiko efek samping pulmoner, khususnya pada
pasien dengan penyakit jalan napas reaktif.
6) Penghambat Anhidrase Karbonat; Diberikan per Oral
Penghambatan

anhidrase

karbonat

pada

corpus

ciliare

mengurangi sekresi aqueous. Pemberian penghambat anhidrase


karbonat per oral terutama berguna dalam menurunkan tekanan
intraokular pada kasus glaukoma sudut-terbuka tertentu dan dapat
dipakai pada glaukoma sudut tertutup dengan sedikit efek.

57

Penghambat karbonat anhidrase yang digunakan adalah derivat-derivat


sulfonamide. Pemberian per oral menimbulkan efek maksimum kirakira setelah 2 jam pemberian intravena, setelah 20 menit. Lama efek
maksimal adalah 4-6 jam setelah pemberian per oral.
Penghambat anhidrase karbonat dipakai pada pasien dengan
tekanan intraokular yang tidak dapat dikendalikan dengan tetes mata.
Untuk itu obat-obat ini berguna, tetapi punya banyak efek samping
yang tidak diinginkan, seperti deplesi kalium, gangguan lambung, diare,
dermatitis eksfoliatif, pembentukan batu ginjal, napas pendek, fatigue,
asidosis, dan kesemutan pada ekstremitas. Penghambat anhidrase
karbonat sistemik jadi lebih jarang dipakai sejak ada timolol,
penghambat anhidrase karbonat topikal, dan terapi laser.
a. Acetazolamide (Diamox)
Sediaan dan dosis:
Oral: Tablet, 125 mg dan 250 mg; berikan 125-250 mg, dua sampai
empat kali sehari (jangan melebihi 1 g dalam 24 jam). Kapsul lepas
berkala, 500 mg; berikan 1 kapsul, satu atau dua kali sehari.
Parenteral: Dapat diberikan ampul 500 mg intramuskular atau
intravena untuk waktu singkat bila pasien tidak bisa menerima per
oral.
7) Penghambat Anhidrase Karbonat
Diberikan Topikal, dorzolamide dan brinzolamide adalah obatobat penghambat anhidrase karbonat topikal. Keduanya merupakan
produk sulfonamide dengan penetrasi kornea yang cukup untuk
mencapai epitel sekretorik corpus ciliare dan dapat menurunkan tekanan
intraokular dengan menekan sekresi aqueous.
a. Dorzolamide Hydrochloride (Trusopt)
Sediaan: Larutan 2%.
Dosis: 1 tetes dua sampai empat kali sehari. Dapat dipakai preparat
yang mana pun (dorzolamide atau brinzolamide). Obat ini bisa
digunakan sebagai monoterapi, tetapi lebih sering dikombinasikan
dengan obat-obat glaukoma lain.

58

Toksisitas: Reaksi-reaksi lokal, seperti rasa terbakar dan tersengat,


keratopati punctata superfisial, dan reaksi alergi pada konjungtiva.
Rasa pahit pasca pene tesan sering didapat. Efek samping sistemik,
seperti yang ditemukan pada pemberian oral, jarang ditemukan.
b. Brinzolamade Opthaimic Suspension (Azopt)
Sediaan: Suspensi 1%
Dosis: 1 tetes dua sampai empat kali sehari.
8) Analog Ptostaglandin
Obat-obat ini tampaknya menurunkan tekanan intraokular dengan cara
meningkatkan aliran keluar aqueous humor, terutama inelalui jalur
uveosklera. Dapat digunakan sendiri atau dikombinasi dengan obat-obat
glaukoma lain.
a. Latanoprost (Xalatan)
Sediaan: Larutan, 0,005%.
Dosis: 1 tetes sehari.
Toksisitas: Lihat Unoprostone Isopropyl, berikut.
9) Preparat Topikal Kombinasi
Saat ini makin dikembangkan sediaan obat yang menggabungkan
berbagai senyawa dengan farmakologi yang berbeda, yang terutama
ditujukan untuk meningkatkan kepatuhan pasien meskipun besar efek
penurunan tekanan intraokular yang didapat tidak sebesar jumlah efek
yang diperoleh pada penggunaan senyawa-senyawa tersebut secara
terpisah. Contoh sediaan obat tersebut, antara lain Xalacom (latanoprost
0,005% dan timolol 0,5%) sekali sehari di waktu pagi, Cosopt
(dorzolamide 2% dan timolol 0,5%) dua kali sehari, Combigan
(brimonidine 0,2% dan timolol 0,5%) dua kali sehari, Duotrav
(travoprost 0,004% dan timolol 0,5%) sekali sehari, dan Ganfort
(bimatoprost 0,03% dan timolol 0,5%) sekali sehari, tetapi kebanyakan
tidak tersedia di Amerika Serikat.
10) Obat Osmotik

59

Obat-obat hiperosmotik seperti urea, manitol, dan gliserin dipakai untuk


mengurangi tekanan intraokular dengan membuat plasma jadi
hipertonik terhadap aqueous humor. Obat-obat ini pada umumnya
dipakai dalam penanganan glaukoma akut (sudut-tertutup) dan kadangkadang pra atau pascabedah bila diindikasikan penurunan tekanan
intraokular. Dosis semua obat rata-rata 1,5 g/kg.
Gliserin (Osmoglyn)
Sediaan dan dosis: Gliserin umumnya diberikan per oral dalam larutan
50%, dengan air, jus jeruk, atau larutan garam beraroma dengan es (1
mL gliserin beratnya 1,25 g). Dosisnya 1-1,5 g/kg.
Mulai dan lama kerja: Efek hipotensif maksimum dicapai dalam 1 jam
dan bertahan 4-5 jam.
Toksisitas: Mual, muntah, dan sakit kepala kadang-kadang terjadi.
Catatan: Pemberian per oral dan tiadanya efek diuretik adalah
keuntungan gliserin dibanding obat-obat hiperosmotik lain. (Eva, 2009)
4. Keratitis dan Ulkus
1) Idoxuridine (Herplex)
Sediaan: Larutan oftalmik, 0,1%; salep, 0,5%.
Dosis: 1 tetes setiap jam sepanjang siang hari, dan setiap 2 jam waktu
malam. Bila ada perbaikan (ditentukan dengan pemulasan fluorescein),
frekuensi penetes-an diturunkan secara bertahap. Salep dapat dipakai
empat sampai enam kali sehari, atau larutannya untuk siang hari dan
salep untuk malam hari.
Catatan: Dipakai untuk pengobatan keratitis herpes simplex. Infeksi
epitel umumnya membaik dalam beberapa hari. Pengobatan harus
dilanjutkan sampai 3 atau 4 hari setelah tampak sembuh. Banyak ahli
oftalmologi masih lebih suka mengelupas epitel kornea yang terinfeksi
dan tidak memakai idoxuridine.
2) Vidarabine (Vira-A)
Sediaan: Salep oftalmik, 3%.

60

Dosis: Pada keratitis epitel herpetik, pakai empat kali sehari, selama 710 hari.
Catatan: Vidarabine efektif terhadap virus herpes simplex, tetapi tidak
terhadap virus DNA atau RNA lainnya. Obat ini efektif untuk beberapa
pasien

yang

mengganggu

tidak

responsif

sintesis

DNA

terhadap
virus.

idoxuridine.

Metabolit

Vidarabine

utama

adalah

arabinosylhypoxanthine (Ara-Hx). Obat ini efektif terhadap penyakit


epitel kornea herpetik dan efikasinya terbatas pada keratitis stroma atau
uveitis.

Vidarabine

dapat

menyebabkan

toksisitas

selular

dan

memperlambat regenerasi kornea. Toksisitas selular lebih ringan dari


pada toksisitas idoxuridine.
3) Trifluridine (Viroptic)
Sediaan: Larutan, 1 %.
Dosis: 1 tetes setiap 2 jam (maksimum total, 9 tetes/hari).
Catatan: Bekerja dengan menghambat sintesis DNA virus. Lebih larut
dibandingkan idoxuridine maupun vidarabine dan agaknya lebih efektif
untuk penyakit stroma.
4) Acyclovir (Zovirax)
Sediaan: 200, 400, dan 800 mg.
Catatan: Acyclovir adalah obat antivirus dengan aktivitas penghambat
terhadap herpes simplex tipe 1 dan 2, virus varicella-zoster, virus
Epstein-Barr,

dan

cytomegalovirus.

Awalnya

obat

ini

mengalamifosforilasi oleh kinase timidin spesifik-virus menjadi


asiklovir monofosfat dan kemudian oleh kinase seluler menjadi
asiklovir trifosfat, yang menghambat polimerase DNA virus. Jadi,
terdapat selektivitas yang tinggi untuk sel-sel yang terinfeksi virus.
Toksisitas asiklovir ini rendah. Tidak ada sediaan oftalmik komersial di
Amerika serikat; se-diaan topikal untuk pengobatan herpes genitalis
jangan dipakai pada mata. Tersedia preparat oral, yang bisa dipakai
untuk pengobatan infeksi herpes zoster mata tertentu. (Eva, 2009)

61

Organisme

Terapi awal

Terapi alternatif

Tak ada organisme; ulkus

Moxifloxacin,

Ciprofloxacin,

mengesankan infeksi bakteri

gatifloxacin, atau

levofloxacin, ofloxacin,

tobramycin dan

gentamicin, ceftadizime,

Kokus gram-positif:

cefazolin
Moxifloxacin,

atau vancomycin
Levofloxacin, ofloxacin,

bentuk-lancet dengan

gatifloxacin, atau

penicillin G,

kapsul = 5 pneumoniae

cefazolin

vancomycin, atau
ceftaxidime

Kokus gram-positif:

Vancomycin

methacillin-resistant S
aureus (MRSA)
Batang gram-positif:

Amikacine,

langsing dan panjangnya

moxifloxacin,

bervariasi

atau

Mycobacterium

gatifloxacin

Fluoroquinolone lain

fortuiturn, spesies
Nocardia, spesies
Actinomyces.
Organisme gram-positif

Cefazolin,

Fluoroquinolone lain,

lain: kokus atau batang

moxifloxacin,

penicillin G,

atau

vancomycin, atau

Kokus gram-negatif3

gatifloxacin
Ceftriaxone3

ceftazidime
Penicillin G, cefazolin, atau

Batang grarn-

Moxifioxacin,

vancomycin
Fluoroquinolone lain,

negatif: kurus =

gatifloxacin,

polymixin B, atau

Pseudomonas

ciprofloxacin,

carbenicillin

tobramycin, atau
Batang gram-negatif:

gentamicin
Moxifloxacin,

Tobramycin atau

diplobacilli besar, berujung

gatifloxacin, atau

gentamicin dan

persegi = Moraxella

ciprofioxacin

cefazolin, atau
penicillin G

62

Batang gram-negatif lain

Moxifloxacin,

Ceftazidime,

gatifloxacin, atau

gentamicin, atau

Tak ada organisme; ulkus

tobramycin
Natamycin atau

carbenicilSin
Amphotericin B,'nystatin,

mengesankan infeksi jamur

voriconazole

miconazole. atau

Organisme mirip-ragi =

Voriconazole atau

flucytosine
Amphotericin B, nystatin,

Candida sp"

amphotericin B

miconazole, atau

Organisme mirip-hifa =

Natamycin atau

flucytosine
Amphotericin B atau

ulkus fungi

voriconazole
nystatin
Tabel 3.Pengobatan keratitis bakterial, fungal dan ameba

BAB III
PENUTUP
III.1Kesimpulan

63

Gangguan mata dengan keluhan mata terlihat putih keruh disebut juga
dengan opasifikasi lensa mata.Penyakit pada mata dengan keluhan tersebut
diantaranya glaukoma, katarak, uveitis, keratitis, dan ulkus kornea.(James,
2006)
Katarak ialah setiap kekeruhan pada lensa. Penuaaan merupakan
penyebab katarak terbanyak, tetapi banyak juga faktor lain yang mungkin
terlibat, antara lain: trauma, toksin, penyakit sistemik (mis, diabetes),
merokok, dan herediter. (Eva, 2009)
Glaukoma adalah penyakit yang disebabkan tekanan bola mata yang
tinggi. Tekanan bola mata yang tinggi mengakibatkan kerusakan akson saraf
optik dan akan mengakibatkan kebutaan yang progresif. Dibedakan berdasar
anatomi 2 bentuk glaukoma, yaitu glaukoma sudut terbuka dan glaukoma
sudut tertutup. (Ilyas, 2007)
Uveitis ialah suatu peradangan pada iris (iritis, iridoksiklis), copus
ciliare (uveitis intermediet, siklitis, uveitis perifer, atau pars planitis), atau
koroid (koroiditis) (Eva, 2009).Penyebab uveitis bisa bermacam-macam,
bisa disebabkan karena infeksi seperti toksoplasmosis, jamur, infeksi
pascaoperasi, dll.Penyebab lainnya bisa disebabkan karena penyakit
sistemik dan penyakit ocular. (James, 2006)
Keratitis merupakan kelainan akibat terjadinya infiltrasi sel radang
pada kornea yang akan mengakibatkan kornea menjadi keruh. Keratitis
selain dapat disebabkan oleh infeksi dapat juga diakibatkan beberapa faktor
lainnya seperti mata yang kering, keracunan obat, alergi ataupun
konjungtivitis kronis.
Tukak atau ulkus kornea diakibatkan oleh infeksi kuman yang dapat
menular seperti bakteri, virus, dan jamur, selain daripada itu juga
disebabkan reaksi toksis degenerative, alergik, dan penyakit kolagen
vascular.Tukak kornea dibagi dalam bentuk tukak kornea sentral dan tukak
kornea marginal.(Ilyas, 2005)
III.2 Saran
Demikian yang dapat kami paparkan mengenai materi yang
menjadi pokok bahasan dalam referat ini, ternyata masih banyak

64

kekurangan dan kelemahannya, karena terbatasnya kemampuan dan


kurangnya referensi. Kami berharap pembaca yang budiman berkenan
memberikan kritik dan saran yang membangun kepada kami untuk
kesempurnaan referat ini dan untuk kesempatan kesempatan berikutnya.
Semoga referat ini berguna bagi kami pada khususnya juga pembaca yang
budiman pada umumnya.

DAFTAR PUSTAKA

65

Eva, Paul Riordan. Whitcher, John P. Editor : Susanto, Diana. Alih bahasa :
Pendit, U Brahm. Vaughan & Asbury : Ophtalmologi Umum. 2009. Jakarta.
EGC
Hamurwono, G Bambang. Marlianas, Marias. Marsetio, Mardiono. Dkk. Editor
Ilyas, Sidarta. Mailangkay. Dkk. 2002. Ilmu Penyakit Mata. Sagung Seto.
Jakarta
Ilyas, Sidharta. 2005. Penuntun Ilmu Penyakit Mata. Edisi 3. Jakarta. Balai
Penerbit FKUI.
Ilyas, Sidharta. 2007. Glaukoma. Jakarta. Sagung Seto.
James, Bruces. Chew, Chris. Bron, Anthony. 2006. Lecture Notes Oftalmologi.
Edisi 9. Jakarta. Erlangga
Putz, R. Pabst, R. 2006. Atlas Anatomi Manusia Sobotta . Edisi 22. Jakarta. EGC
Ilyas, Sidharta. 2010. Atlas Ilmu Penyakit Mata. Edisi 2. Jakarta. Sagung Seto

You might also like