You are on page 1of 21

LEGISLATIF DRAFTING

By Nia Kania Winayanti


Menurut teori perundang-undangan, pembentukan peraturan perundang-undangan
meliputi dua masalah pokok, yaitu
• Aspek materiil (substansial), yang memuat asas, kaidah hukum sampai
dengan pedoman perilaku kongkrit dalam bentuk arturan-aturan hukum. Yang
berkaitan pula dengan masalah pembentukan struktur, sifat dan penentuan
jenis kaidah hukum yang akan dirumuskan dalam peraturan perundang-
undangan.
• Aspek formal (prosedural), yang berhubungan dengan kegiatan pembentukan
peraturan perundang-undangan yang berlangsung dalam suatu negara tertentu.
Pembahasannya diarahkan pada upaya pemahaman terhadap metoda, proses
dan teknik perundang-undangan.

Kedua aspek tersebut saling berkaitan secara timbal balik dan dinamis

Adapun tujuan teknik perancangan perundang-undangan adalah:

1. Agar mampu mengidentifikasi dan merumuskan pelbagai norma hukum


berdasarkan struktur, sifat dan jenis-jenis kaidah hukum;
2. Mampu mengidentifikasi berbagai jenis peraturan perundang-undangan
berdasarkan kerangka dan substansinya.
3. Trampil dalam merancang dan merumuskan, baik bagian-bagian dari suatu
peraturan perundang-undangan maupun seluruh bagian dari peraturan
perundang-undangan secara utuh.

STRUKTUR KAIDAH HUKUM

Aturan hukum merupakan konkritisasi kaidah hukum yang dinyatakan dalam bantuk
rumusan pasal-pasal yang menyebabkan kaidah hukum tersebut dapat dikenali,
dipahami, dan diterapkan secara langsung untuk mengatur perilaku tertentu
Setiap aturan hukum memiliki struktur dasar yang terdiri dari unsur-unsur sbb :
1. Subjek kaidah, menunjuk pada subjek hukum yang termasuk ke dalam sasaran
penerapan sebuah pengaturan;
2. Objek kaidah, menunjuk pada peristiwa-peristiwa atau perilaku apa saja yang
hendak diatur dalam aturan hukum tersebut.
3. operator kaidah, menunjuk pada cara bagaimana objek kaidah diatur, misalnya
menetapkan keharusan atau larangan atas perilaku tertentu, memberikan suatu
hak atau membebankan kewajiban tertentu,
4. kondisi kaidah, menunjuk pada kondisi atau keadaan apa yang harus dipenuhi
agar suatu aturan hukum dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya.

Keempat unsur kaidah ini bersifat konstitutif yang saling berkait satu sama lainnya,
dan secara bersamaan akan menentukan isi dan wilayah penerapan/ jangkauan
berlakunya suatu aturan hukum tertentu.
Dalam praktek perumusan suatu aturan, susunan keempat unsur struktur kaidah
tersebut tidak harus tersusun secara berurutan, namun keempatnya harus ada dan
dapat diidentifikasi dalam setiap rumusan.
Contoh : ”Setip orang dapat memiliki atau menguasai benda cagar budaya tertentu
dengan tetap memperhatikan fungsi sosialnya”
Subjek kaidah : setiap orang
Objek kaidah : memiliki atau menguasai benda cagar budaya
Operator kaidah : boleh memiliki atau menguasai
Kondisi kaidah : fungsi sosial

”Barangsiapa meniru, memalsukan uang kertas dan/atau dengan sengaja


menyimpan serta mengedarkan uang kertas tiruan atau uang kertas palsu
diancam dengan dengan hukuman penjara”
Subjek kaidah : barang siapa, artinya setiap orang
Objek kaidah : meniru, memalsukan uang kertas, menyimpan serta
mengedarkan uang kertas tiruan atau uang kertas palsu.
Operator kaidah : diancam dengan hukuman penjara (berarti dilarang)
Kondisi kaidah : dengan sengaja.

”Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presidan berhak


menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang”
Kondisi kaidah : dalam hal ihwal kegentingan memaksa
Subjek kaidah : Prasiden
Operator kaidah : berhak menetapkan ( artinya boleh)
Objek kaidah : melakukan pengaturan yang berkaitan dengan
keadaan kegentingan yang sedang terjadi (dirumuskan
dalam PERPU)

SIFAT KAIDAH HUKUM

Terdapat empat golongan sifat kaidah hukum dalam suatu paraturan


perundamng-undangan, yaitu :
Sifat umum-abstrak :
Sifat umum kongkrit:
Sifat individual abstrak:
Sifat individual-kongkret:
Keempatnya digunakan secara kombinatif, bergantung kepada isi/substansi dan
wilayah penerapan/jangkauan berlakunya aturan hukum yang bersangkutan.
Kombinasi ini sebagaian akan ditentukan pula oleh jenis peraturan yang
terdapat dalam hirarki peraturan perundang-undangan. Makin tinggi tingkat
atau derajat suatu peraturan perundang-undangan, maka makin abstrak dan
umum sifatnya, demikian pula sebaliknya.

Contoh :
Aturan umum abstrak :
”Setiap orang yang melalukan kegiatan usaha, wajib memelihara kelestarian,
kemampuan lingkungan hidup yang serasi dan seimbang”

Atuan Umum-Kongtret
”Semua kegiatan usaha yang diperkirakan mempunyai dampak penting
terhadap lingkungan hanya dapat dilaksanakan setelah mendapat persetujuan
RKL dan RPL oleh instansi yang berwenang.
Aturan individual-Abstrak
PT Kiani Kertas wajib mentaati baku mutu limbah cair sebagaimana yang
ditentukan di dalam izin pembuangan limbah yang ditetapkan baginya”

Aturan individual-kongkret
”PT Kiani Kertas hanya dapat membuang limbah cair sesuai baku mutu limbah
cair sebagai berikut : BOD 150 mg/L, COD 350 mg/L, Padatan Tersuspensi
Total 150 mg/L dan pH 6-9
TEKNIK PERANCANGAN PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN
(Legislative drafting)

A. KERANGKA PERATURAN PERUNDANG-


UNDANGAN.

Format perumusan peraturan perundang-


undanan memiliki beberapa unsur-unsur
penting, yaitu :
a. Penamaan judul.
b. Pembukaan
1. Frase Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha
Esa
2. Jabatan Pembentuk Peraturan Perundang-
undangan
3. Konsideran
4. Dasar Hukum
5. Diktum
1) Kata Memutuskan
2) Kata Menetapkan
3) Nama Peraturan Perundang-undangan

c. Batang Tubuh
1. Ketentuan Umum
2. Materi Pokok Yang Diatur
3. Ketentuan Pidana (Jika diperlukan)
4. Ketentuan Peralihan
5. Ketentuan Penutup
d. Penutup
e. Penjelasan (jika Diperlukan
f. Lampiran (bila diperlukan).
B.PENAMAAN/JUDUL PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN
a. Penamaan atau judul (sebagai identitas) adalah bagian awal dari
peraturan perundang-undangan yang harus :
1. Memuat keterangan mengenai jenis, nomor, tahun
pengundangan atau penetapan, dan nama peraturan
perundang-undangan.
2. Dibuat secara singkat dan mencerminkan isi Peraturan
Perundang-undangan.
3. Ditulis seluruhnya dengan huruf capital yang diletakan
di tengan margin dan tidak diakhiri tanda baca
Contoh :

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 7 TAHUN 2004
TENTANG
SUMBER DAYA AIR

b. Jika Peraturan Perundang-undangan mempunyai nama singkat


(citeertitel), maka nama singkat harus diletakkan di bawah
nama/judul lengkap, dan harus ditulis di antara tanda baca
kurung (...).

Contoh :

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA


NOMOR ... TAHUN ....
TENTANG
PAJAK PERTAMBAHAN NILAI BARANG DAN JASA
DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH
(UNDANG-UNDANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI)

c. Bila suatu peraturan perundang-undangan dibuat untuk merubah


isi peraturan perundang-undangan lain, maka pada judul
perubahan ditambahan frase PERUBAHAN ATAS di depan
nama Peraturan Perundang-undangan yang diubah
Contoh :

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 5 TAHUN 2004
TENTANG
PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG
NOMOR 14 TAHUN 1985
TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

d. Bila Perubahannya lebih dari satu kali, di antara kata perubahan


dan atas disisipkan keterangan yang menunjukkan berapa kali
perubahan tersebut telah dilakukan, tanpa merinci perubahan
selanjutnya.
Contoh :

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA


NOMOR ---- TAHUN ....
TENTANG
PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG
NOMOR ..... TAHUN .....
TENTANG
e. Bila suatu peraturan perundang-undangan untuk mencabut suatu
peraturan perundang-undangan lain, maka pada judul peraturan
perundang-undangan pencabutan ini harus diSISIPKANkan
kata PENCABUTAN di depan judul peraturan perundang-
undangan yang dicabut tersebut.

Contoh :

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 10 TAHUN 1985
TENTANG
PENCABUTAN UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN
1970
TENTANG
PEMBENTUKAN DAERAH PERDAGANGAN BEBAS DAN
PELABUHAN BEBAS SABANG
f. Bila untuk menetapkan Perpu menjadi UU, harus ditambahkan
kata PENETAPAN di depan nama perpu yang ditetapkan dan
diakhiri frase MENJADI UNDANG-UNDANG

Contoh :

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 15 TAHUN 2003
TENTANG
PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI
UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG
PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME
MENJADI UNDANG-UNDANG

g. Jika dibuat untuk mensahkan suatu perjanjian internasional,


harus dilengkapi dengan kata PENGESAHAN di depan
perjanjian atau persetujuan internasional yang disahkan.
h. Jika Bahasa Indonesia dijadikan sebagai teks resmi, maka nama
peraturan perundang-undangan pengesahan ditulis dalam bahasa
Indonesia, yang diikuti dengan teks bahasa asing yang diletakan
diantara tanda baca kurung (...) dan ditulis dengan huruf miring.

Contoh :

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 1 TAHUN 1999
TENTANG
PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK
INDONESIA DAN AUSTRALIA MENGENAI BANTUAN
TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA
(TREATY BETWEEN THE REPUBLIC OF INDONESIA AND
AUSTRALIA ON MUTUAL LEGAL ASSISTANCE IN
CRIMINAL MATTERS)

i. Jika Bahasa Indonesia TIDAK dijadikan sebagai teks resmi,


maka nama peraturan perundang-undangan pengesahan ditulis
dalam bahasa Inggris dengan huruf cetak miring, yang diikuti
terjemahannya dengan teks bahasa Indonesia yang diletakan di
antara tanda baca kurung (...)
Contoh :

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 7 TAHUN 1997
TENTANG
PENGESAHAN UNITED NATIONS CONVENTION
AGAINST ILLICIT TRAFFICT IN NARCOTIC DRUGS
AND PSYCHOTROTROPIC SUBSTANCES, 1998
(KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA
TENTANG PEMBERANTASAN PEREDARAN GELAP
NARKOTIKA DAN PSIKOTROPIKA, 1998)

C. P E M B U K A A N
Pembukaan Peraturan Perundang-undangan
terdiri atas :
a. Frase DenganRahmat Tuhan Yang Maha esa;
b. Jabatan Pembentuk Peraturan Perundang-
undangan;
c. Konsideran;
d. Dasar Hukum;
e. Diktum

1. Pembukaan pada undang-undang dan peraturan daerah berisi :


perkataan DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
ditulis seluruhnya dengan huruf capital yang diletakan di tengah
margin
2. Jabatan pembentuk peraturan perundang-undangan ditulis
seluruhnya dengan huruf capital yang diletakan di tengan margin
dan diakhiri dengan tanda baca koma (,);
3. Konsideran (menimbang),
Konsideran harus diawali dengan kata Menimbang yang memuat
uraian singkat mengenai :
1) Pokok-pokok pikiran yang menjadi latar belakang
pembuatan peraturan perundang-undangan;
2) Pokok-pokok pikiran pada UU atau Perda memuat
unsur-unsur filosofis, yuridis, dan sosiologis yang menjadi latar
belakang pembuatannya;
3) Tujuan dan asas dari peraturan perundang-
undangan.
4. Jika konsideran terdiri atas lebih satu pokok pikiran,
maka tiap-tiap pokok pikiran dirumuskan dalam rangkaian
kalimat yang merupakan satu kesatuan pengertian.
5. Tiap-tiap pikiran diawali dengan huruf abjad ( a, b, c, dst) dan
dirumuskan dalam satu kalimat yang diawali dengan kata bahwa,
dan diakhiri dengan tanda baca titik koma (;)

Contoh :

Menimbang : a. bahwa...;(titik koma)


b. bahwa...;(titik koma)
c. bahwa...;(titik koma)

6. Jika konsideran memuat lebih dari satu


pertimbangan, rumusan butir pertimbangan terakhir
berbunyi sebagai berikut ”

Contoh :

Menimbang : a. bahwa...; (titik koma)


b. bahwa...; (titik koma)
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagai
mana dimaksud dalam huruf a dan huruf b
perlu membentuk Undang-undang
(Peraturan Daerah) tentang ...;

7. Konsideran Peraturan Pemerintah pada dasarnya


cukup memuat satu pertimbangan yang isinya menunjuk
pasal dari UU yang memerintahkan pembuatannya.

D. Dasar Hukum
a. diawali dengan kata Mengingat
b. Memuat dasar kewenangan pembuatan Peraturan Perundang-
undangan yang memerintahkan pembuatan peraturan perundang-
undangan tersebut
c. Yang digunakan sebagai dasar hukum hanya Peraturan
Perundang-undangan yang derajatnya sama atau yang lebih tinggi
d. Peraturan Perundang-undangan yang akan dicabut, yang akan
dibentuk, atau yang sudah diundangkan tetapi belum resmi
berlaku, tidak dicantumkan sbg dasar hukum
e. Jika peraturan perundang-undangan yang dijadikan dasar lebih
dari satu, urutan pencantuman perlu memperhatikan tata urutan
peraturan perundang-undangan, dan jika tingkatannya sama
disusun secara kronologis berdasarkan saat pengundangan dan
penetapannya.
f. Dasar hukum dari pasal dalam UUD 1945, ditulis dengan
menyebut pasal atau bebera pasal yang berkaitan dengan frase
UUD 1945
Contoh :

Mengingat : Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 Undang-Undang


Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
g. Dasar Hukum yang bukan UUD 1945, tidak perlu
mencantumkan pasal, tetapi cukup mencantumkan nama judul
Peraturan Perundang-undangan ( Undang-Undang, PP Perpres),
dilengkapi pencantuman Lembaran Negara Republik Indonesia dan
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia diantara tanda baca
kurung.
Contoh :
Mengingat : Undang-Undang Nonor 43 tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98,
Tambahan Lembaran Negara Rebublik Indonesia
Nomor 4316)

h. Jika berasal dari pperaturan zaman Hindia Belanda sampai


tanggal 27 Desember 1949 ditulis terlebih dahulu terjemahannya
dalam bahasa Indonesia dan kemudian judul aslinya (Bhs Belanda)
dilengkapi dg tahun dan nomor Staatsblad yang dicetak miring
diantara tanda baca kurung.
Contoh :
Mengingat : 1. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (Wetboek
van Koophandels, Staatsblad 1847: 23);
2.............;

i. Jika dasar hukum memuat lebih dari satu Peraturan perundang-


undangan, tiap dasar hukum diawali dengan angka Arab 1,2,3 dst
dan diakhiri dengan tanda baca titik koma.
E. Diktum
Diktum terdiri atas : Kata memutuskan, menetapkan,
nama peraturan Perundang-undangan
a. Kata Memutuskan
1. Kata memutuskan ditulis seluruhnya dengan huruf
kapital tanpa spasi dan diletakkan di tengah margin
2. Pada Undang-Undang sebelum kata Memutuskan
dicantumkan frase Dengan Persetujuan Bersama DEWAN
PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA DAN
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA yang diletakan ditengah
margin.

Contoh :
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN :

3. Pada Peraturan Daerah, sebelum kata memutuskan


dicantumkan frase Dengan Persetujuan Bersama DEWAN
PERWAKILAN RAKYAT DAERAH....... (nama daerah)
GUBERNUR/ BUPATI/WALIKOTA.... (nama daerah), yang
ditulis seluruhnya dengan huruf kapital dan diletakan di tengah
margin.

Contoh :
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH ................
(nama daerah)
dan
GUBERNUR ...........
(nama daerah)

MEMUTUSKAN :

b. Kata Menetapkan

1. Kata Menetapkan dicantumkan sesudah kata


Memutuskan yang disejajarkan ke bawah dengan kata Menimbang
dan Mengingat. Huruf awal kata Menetapkan ditulis dengan huruf
kapital dan diakhiri dengan tanda baca titik dua.

c. Nama Peraturan Perundang-undangan


1. Nama yang tercantum dalam judul Peraturan
Perundang-undangan dicantumkan lagi setelah kata Menetapkan
dan didahului dengan pencantuman jenis Peraturan Perundang-
undangan tanpa frase Republik Indonesia, sera ditulis seluruhnya
dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda baca titik.

Contoh :

MEMUTUSKAN :
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG
PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA
PUSAT DAN DAERAH.

CATATAN : Pembukaan Peraturan Perundang-undangan tingkat


pusat yang tingkatannya lebih rendah daripada
undang-undang, seperti PP, Perpres Permen dan
Peraturan Pejabat yang setingkat , secara mutatis dan
mutandis berpedoman pada pembukaan Undang-
Undang.

d. Batang Tubuh
1. Batang tubuh peraturan Perundang-undangan memuat semua
substansi Peraturan Perundang-undangan yang dirumuskan dalam
pasal-pasal.
2. Pada umumnya substansi dalam batang tubuh dikelompokkan ke
dalam.
a. Ketentuan Umum;
b. Materi Pokok Yang Diatur;
c. Ketentuan Pidana (Jika diperlukan);
d. Ketentuan Peralihan (Jika diperlukan);
e.Ketentuan Penutup

3. Dalam pengelompokan substansi sedapat mungkin dihindari adanya


bab ketentuan lain atau sejenisnya. Materi yang bersangkutan
diupayakan masuk ke dalam bab yang ada atau dapat pula memuat
dalam bab tersendiri dengan judul yang sesuai dengan materi yang
diatur.
4. Substansi yang berupa sanksi administratif atau sanksi
keperdataan atas pelanggaran norma tersebut, dirumuskan menjadi
satu bagian (pasal dengan norma yang memberikan sanksi
administratif atau sanksi keperdataan.
5. Jika norma tersebut lebih dari satu pasal, sanksi
administratif atau snaksi keperdataan dirumuskan dalam pasal
terakhir dari bagian (pasal) tersebut. Dengan demikian hindari
rumusan ketentuan sanksi yang sekaligus memuat snaksi pidana, saksi
perdata dan sanksi administratif dalam satu bab.
6. Sanksi administratif dapat berupa antara lain,
pencabutan ijin, pembubaran, pengawasan, pemberentian sementara,
denda administratif, atau daya paksa polisional. Sanksi keperdataan
dapat berupa, antara lain, ganti kerugian.
7. Pengelompokan materi muatan Paraturan Perundang-
undangan dapat disusun secara sistematis dalam buku, bab, bagian,
dan paragraf.
8. Jika Peraturan Perundang-undangan mempunyai materi
yang ruang lingkupnya sangat luas dan mempunyai banyak pasal,
Pasal2 tersebut dapat dikelompokan menjadi : Buku (jika merupakan
kodifikasi), bab, bagian, dan paragraf. Dilakukan atas dasar kesamaan
materi.
9. Urutan pengelompokkan adalah sbb :
a. Bab dengan pasal tanpa bagian dan paragraf;
b. Bab denggan Bagian dan pasal, tanpa paragraf;
c. Bab dengan bagian dan paragraf yang berisi pasal-pasal.

10. Buku diberi nomor urut bilangan tingkat dan judul seluruhnya ditulis
dengan huruf kapital.
Contoh :
BUKU KETIGA
PERIKATAN

11. Bab diberi nomor urut dengan angka Romawi, dan judul bab yang
seluruhnya ditulis dengan huruf kapital.
Contoh :
BAB I
KETENTUAN UMUM
12. Bagian diberi nomor urut dengan bilangan tingkat yang ditulis dengan
huruf dan diberi judul
13. Huruf awal kata bagian, urutan bilangan, dan setiap kata pada judul
bagian ditulis dengan huruf kapital, kecuali huruf awal kata partikel
yang tidak terletak pada awal frase.
Contoh :
Bagian Kelima
Persyaratan Teknis Kendaraan Bermotor,
Kereta Gandengan, dan Kereta Tempelan
14. Paragraf diberi nomor urut dengan angka Arab dan diberi judul.
Huruf awal Paragraf termasuk judulnya ditulis dengan huruf kapital,
kecuali awal kata partikel yang tidak terletak pada awal frase
Contoh :
Paragraf 1
Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim

15. Pasal memuat satu norma dan dirumuskan dalam satu kalimat yang
disusun secara singkat, jelas, dan lugas. Pasal diberi nomor urut
dengan angka Arab.
16. Materi Peraturan perundang-undangan lebih baik dirumuskan dalam
banyak pasal yag singkat dan jelas daripada ke dalam beberapa pasal
yang masing-masing pasal memuat banyak ayat, kecuali jika materi
yang menjadi isi pasal itu merupakan satu rangkaian yang tidak dapat
dipisahkan.
17. Huruf awal pasal yang digunakan sebagai acuan ditulis dengan uruf
kapital.

Contoh :
Pasal 34
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 dan Pasal 26
tidak meniadakan kewajiban membayar ganti kerugian
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55

18. Pasal dapat dirinci dalam beberapa ayat.


19. Ayat diberi nomor urut dengan angka Arab di antara tanda baca
kurung tanpa diakhiri tanda baca titik.
20. Suatu ayat hendaknya hanya memuat satu norma yang dirumuskan
dalam satu kalimat utuh.
21. Huruf awal kata ayat yang digunakan sebagai acuan ditulis dengan
huruf kecil.
Contoh :
Pasal 8
(1) Satu permintaan pendaftaran merk hanya dapat diajukan untuk 1
(satu) kelas barang.
(2) Permintaan pendaftaran Merek sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) menyebutkan jenis barang atau jasa termasuk ke dalam kelas
yang bersangkutan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kelas barang atau jasa
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.

22. Jika satu pasal atau ayat memuat rincian unsur, maka di samping
dirumuskan dalam bentuk kalimat dengan rincian, dapat pula
dipertimbangkan penggunaan rumusan dalam bentuk tabulasi.
Contoh :
Pasal 17
Yang diberi hak pilih ialah warga negara Indonesia yang telah berusia
17 (tujuh belas) tahun atau telah kawin dan telah terdaftar pada daftar
pemilih.

Isi pasal tersebut dapat lebih mudah dipahami jika drumuskan sebagai
berikut :
Contoh rumusan tabulasi :
Pasal 17
Yang dapat diberi hak pilih ialah warga negara Indonesia yang :
a. Telah berusia 17 (tujuh belas) tahun atau telah kawin; dan
b. Telah terdaftar pada daftar pemilih.

23. Dalam membuat rumusan pasal atau ayat dengan bentuk tabulasi,
hendaknya diperhatikan hal-hal sebagai berikut :
a. setiap rincian harus dapat dibaca sebagai slah satu rangkaian
kesatuan dengan frase pembuka;
b. setiap rincian diawali dengan huruf (abjad) kecil dan diberi tanda
baca titik;
c. setiap frase dalam rincian diawali dengan huruf kecil;
d. setiap rincian diakhiri dengan tanda baca titik koma.
e. Jika suatu rincian dibagi lagi ke dalam unsur yang lebih kecil,
maka unsur tersebut dituliskan masuk ke dalam.
f. di belakang rincian yang masih mempunyai rincian lebih lanjut
diberi tanda baca titik dua;
g. pembagian rincian (dengan urutan makin kecil) ditulis dengan
abjad kecil yang diikuti tanda baca titik; angka arab diikuti tanda
baca titik; abjad kecil dengan tanda baca kurung tutup; angka Arab
diberi tanda baca kurung tutup;
h. pembagian rincian hendaknya tidak melebihi empat tingkat, perlu
dipertimbangkan pemecahan pasal yang bersangkutan ke dalam
pasal atau ayat lain.
24. Jika unsur atau rincian dalam tabulasi dimaksudkan sebagai rincian
kumulatif, ditambah kata dan yang diletakan di belakang rincian
kedua dri rincian terakhir.
25. Jika rincian dalam tabulasi dimaksudkan sebagai rincian alternatif
ditambahkan kata atau yang diletakkan diletakan di belakang rincian
kedua dari rincian terakhir.
26. Jika rincian dalam tabulasi dimaksudkan sebagai rincian kumilatif
dan alternatif ditambahkan kata dan/atau yang diletakkan diletakan
di belakang rincian kedua dari rincian terakhir.
27. Kata dan, atau, dan/atau tidak perlu diulangi pada akhir setiap unsur
atau rincian

Conton lebih lengkap :


Pasal 22
(1) ........
(2) ........;
a.......;
b........; dan, atau, dan/atau)
c........;
a).......;
b).......; (dan, atau, dan/atau)
c)........
1).........;
2)..........; (dan, atau, dan/atau)
3)..........

Ketentuan Umum;
2. Ketentuan umum diletakkan dalam bab kesatu. Jika Peraturan
Perundang-undangan tidak dilakukan pengelompokkan bab,
ketentuan umum diletakkan dalam pasal-pasal awal.
3. Ketentuan umum dapat memuat lebih dari satu pasal
4. Ketentuan umum berisi :
a. Batasan pengertian atau definisi;
b. Singkatan atau akronim yang digunakan dalam peraturan;
c. Hal-hal yang bersifat umum yang berlaku bagi pasal berikutnya
antara lain ketentuan yang mencerminkan asas, maksud, dan
tujuan.
5. Frase pembuka dalam ketentuan umum undang-undang berbunyi :
- Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan :
6. Frase pembuka dalam ketentuan umum Peraturan perundang-
undangan di bawah Undang-Undang disesuaikan dengan jenis
peraturannya.
7. Jika ketentuan umum memuat batasan pengertian atau definisi,
singkatan atau akronim lebih dari satu, maka masing-masing
uraiannya diberi nomor urut dengan angka Arab dan diawali dengan
huruf kapital serta diakhiri dengan tanda baca titik.
8. Kata atau istilah yang dimuat dalam ketentuan umum hanyalah kata
atau istilah yang digunakan berulang-ulang di dalam pasal
selanjutnya.
9. Jika kata atau istilah digunakan hanya satu kali, namun diperlukan
pengertiannya untuk satu bab, bagian atau paragraf terrtentu,
dianjurkan agar kata tersebut diberi definisi.
10. Jika suatu batasan pengertian atau definisi perlu dikutip kembali
dalam ketentuan umum suatu peraturan pelaksana, maka rumusan
batasan tersebut harus sama dg peraturan yang lebih tinggi.
11. Karena batasan pengertian atau definisi tersebut, singkatan atau
akronim berfungsi menjelaskan makna suatu kata atau istilah, maka
batasan tersebut tidak perlu diberi penjelasan sehingga menimbulkan
pengertian ganda.
12. Urutan penempatan kata atau istilah dalam ketentuan umum
mengikuti ketentuan sebagai berikut :
a. Pengertian yang mengatur lingkup umum ditempatkan lebih dahulu
dari yang berlingkup khusus;
b. Pengertian yang terdapat terlebih dahulu di dalam materi pokok
yang diatur, ditempatkan dalam urutan yang lebih dulu; dan
c. Pengertian yang mempunyai kaitan dengan pengertian di atasnya
diletakkan berdekatan secara berurutan.

b.Materi Pokok Yang Diatur;

1.Materi pokok ditempatkan langsung setelah bab ketentuan umum, dan


jika tidak ada pengelompokan bab, materi pokok yang datur diletakan
setelah pasal pasal ketentuan umum.
2. Pembagian materi ke daam kelompok yang lebih kecil dilakukan
menurut kriteria yang dijadikan dasar pembagian
Contoh :
a. Pembagian berdasarkan hak atau kepentingan yang dilindungi,
seperti pembagian dalam bab Undang-Undang Hukum Pidana:
1. Kejahatan tterhadap keamanan negara;
2. Kejahatan terhadap martabat presiden;
3. Kejahatan terhadap negara sahabat dan wakilnya;
4. Kejahatan terhadap kewajiban dan hak negara;
5. Kejahatan terhadap ketertiban umum dan seterusnya.
b. Pembagian berdasarkan urutan/kronologis, seperti pembagian
dalam hukum acara pidana, dimulai dari penyelidikan, penyidikan,
penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tingkat pertama,
tingkat banding , tingkat kasasi, dan peninjauan kembali.
c. Pembagian berdasarkan urutan jenjang, seperti jaksa Agung, Wakil
Jaksa Agung, dan Jaksa Agung Muda.

d. Ketentuan Pidana (Jika diperlukan);


1. Ketentuan pidana memuat ancaman atas pelanggaran
terhadapketentuan yan berisi norma larangan dan perintah.
2. Ketentuan pidana perlu dibedakan dari ketentuan-ketentuan yang
memuat Sanksi-sanksi Perdata atau Sanksiadministratif
3. Hal-hal yang terakhir ini sebaiknya diatur di dalam pasal tersendiri
dan adakalanya diberi judul pasal tentang “Penegakan Hukum”
4. Perumusan Ketetuan pidana (Jika ada) harus memperhatikan
ketentuan-ketentuan dalam KUHP (Buku II)
5. Pada dasarnya hanya undang-undang yang dapat memuat
Ketentuan Pidana.
6. Peraturan Daerah dapat memuat Ketentuan Pidana atau denda,
sepanjang memenuhi ketentuan seperti diatur Undang-undang yang
mengatur tentang Pemerintahan Daerah
7. Di samping ketentuan pidana, dikenal pula ketentuan sanksi
administratif. Misalnya memuat pencabutan izin, pemberhentian
sementara, denda administratif, paksaan pemerintahan, uang paksa.

e. Ketentuan Peralihan (Jika diperlukan);


Ketentuan peralihan dapat berwujud :
1. Peralihan Antar Waktu
2. Penundaan Masa Berlaku
3. Ketentuan untuk menghindarkan kekosongan Peraturan
(Wetsvacuum)
4. Penerapan-penerapan khusus lainnya (seperti pemberlakuan
diwilayah tertentu)
F. Ketentuan Penutup;
. Ketentuan penutup ditempatkan dalam bab terakhir
. Ketentuan Penutup memuat ketentuan mengenai :
a. Penunjukan organ atau alat perlengkapan yang diikutsertakan
dalam melaksanakan peraturan perundang-undangan.
b. nama singkat
c. pengaruh peraturan perundang-undangan yang baru terhadap
peraturan perundang-undangan yang sudah ada.
d. saat mulai berlaku peraturan
e. pencabutan ketentuan-ketentuan yang lama.
3. Ketentuan penutup kadangkala memuat pelaksanaan peraturan
perundang-undangan yang berupa:
a. menjalankan (eksekutif), misalnya menunjuk pejabat tertentu yang
diberi kewenangan untuk memberi ijin, mengangkat pegawai, dll
b. mengatur (legislatif), yaitu merupakan kewenangan pelaksanaan
pendelegasian untuk membuat peraturan pelaksanaan peraturan
perundang-undangan

Catatan :
Pada dasarnya setiap peraturan perundang-undangan mulai berlaku
pada saat peraturan yang bersangkutan diundangkan dan
diumumkan;
Penyimpangan terhadap hal itu hendaknya dinyatakan secara tegas
di dalam peraturan yang bersangkuttan, yaitu dengan menentukan
tanggal tertentu saat peraturan akan mulai berlaku.

a. Penutup
1. Penutup adalah bagian akhir suatu peraturan perundang-undangan
yang memuat :
a. Rumusan pengundangan atau pengumuman;
b. Penandatanganan
2. Rumusan perintah pengundangan bagi peraturan perundang-
undangan yang harus dimuat dalam Lembaran Negara Berbunyi :
“Agar setiap orang mengetahui, memerintahkan perundang-
undangan...(Jenis Peraturan Perundang-undangan)... ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia”
3. Untuk Peraturan perundang-undangan yang harus dimuat dalam
Berita negara Republik Indonesia rumusannya berbunyi :
“Agar setiap orang mengetahui, memerintahkan pengumuman...
(Jenis Peraturan Perundang-undangan)... ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia”
4. Penandatanganan pengesahan (untuk undang-undang) atau
penetapan (untuk PP, Keppres dsb) peraturanperundang-undangan
memuat :
a. Tempat dan tanggal pengesahan atau penetapan;
b. Nama jabatan’\;
c. Tanda tangan pejabat
d. Nama lengkappejabat yang menandatangani tanpa gelar dan/atau
pangkat
5. Akhir bagian penutup dicantumkan tahun dan nomor Lembaran
Resmi atau lembaran tempat pemuatan peraturan perundang-
undangan

b. Penjelasan (jika Diperlukan)


1. Setiap undang-undang memerlukan penjelasan, baik
Penjelasan Umum dan penjelasan Pasal demi Pasal.
2. Pada Bagian Penjelasan Umum biasanya dimuat Politik
Hukum yang melatar belakangi penerbitan peraturan ybs.
3. Dalam menyususn penjelasan pasal, harus diperhatikan
hal-hal sbb :
a. Tidak boleh bertentangan dengan apa yang diatur dalam
materi peraturan perundang-undangan
b. Tidak boleh memperluas atau enambah norma yang
sudah ada
c. Tidak boleh sekedar pengulangan semata-mata dari
materi peraturan perundang-undangan.
d. Tidak boleh memuat istiah atau pengertian yang sudah
dimuat dalam Ketentuan Umum
4. Beberapa pasal yang tidak memerlukan penjelasan,
disatukan dan diberi keterangan “Cukup jelas”

c. Lampiran (bila diperlukan)


Dalam hal Peraturan Perundang-undangan memerlukan
lampiran, hal tersebut harus dinyatakan dalam batang
tubuh dan pernyataan bahwa lampiran tersebut
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Perundang-undangan yang bersangkutan. Pada akhir
lampiran harus dicantumkan nama dan tanda tangan
pejabat yang mengesahkan/ menetapkan Peraturan
Perundang-undangan yang bersangkutan
B PENDELEGASIAN WEWENANG
1. Peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat
mendelegasikan kewenangan yang mengatur lebih lanjut kepada
peraturan perundang-undangan yang lebih rendah.
2. Pendelegasian kewenangan mengatur, harus menyebut dengan
tegas :
3. A. Jika tidak dibolehkan sub delegasi ke peraturan perundang-
undangan yag lebih rendah, gunakan kalimat : Ketentuan lebih
lanjut mengenai ... diatur dengan ...
4. Sedapat mungkin hindari delegasi blangko
Contoh :
Pasal ...
Hal-hal yang belum cukup diatur dalam Undang-undang ini, diatur
lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah
5. Hasil dari delegasi kewenangan, berupa Peraturan pelaksana
6. Kewenangan delegasi tidak diberikan, melainkan “diwakilkan” dan
sifatnya sementara.
C. RAGAM BAHASA PERATURAN PERUNDANG-
UNDANGAN
1. BAHASA PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
a. Bahasa Peraturan perundang-undangan pada dasarnya hrs tunduk
pada kaidah tata bahasa, baik pembentukan kata, penyusunan
kalimat, teknik penulisan, maupun pengejaannya. Bahasa tersebut
bercorak sendiri, berciri kejernihan atau kejelasan
penertian,kelugasan, kebakuan, keserasian, dan ketaatan asas
sesuai kebutuhan hukum.
2. untuk memberikan perluasan pengertian kata atau istilah yang sudah
diketahui umum tanpa membuat definisi baru, gunakan kata
meliputi
3. Hindari pemberian arti kepada kata atau frase yang maknanya
terlalu menyimpang dari makna yang biasa digunakan dalam
penggunaan bahasa sehari-hari

2. PILIHAN KATA/ISTILAH
3. TEKNIK PENGACUAN

You might also like