Professional Documents
Culture Documents
Disusun oleh
Aris Novianto
08100150
1010015056
Pembimbing
dr. Hj. Sukartini, Sp.A
BAB II
STATUS PASIEN
: an. F
Usia
: 12 tahun 5 bulan
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Agama
: Islam
Suku
: Bugis
Alamat
Anak ke
: 5 dari 6 bersaudara
Identitas Orangtua
Nama Ayah
: Tn. Z
Usia
: 55 tahun
Pekerjaan
: Wiraswasta
Pendidikan Terakhir : SD
Ayah perkawinan ke : 2
Nama Ibu
: Ny. R
Usia
: 51 tahun
Pekerjaan
: IRT
Pendidikan Terakhir : SD
Ibu perkawinan ke
: 2
Tanggal MRS
: 06 Desember 2015
Keluhan Utama
Batuk , sesak, demam, malam keringat dingin
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan batuk batuk. Batuk disertai dahak dan
pasien sulit untuk mengeluarkan dahak. Selain itu, ibu pasien juga
mengatakan bahwa anaknya demam disertai keringatan pada malam hari.
Keluhan ini sudah dirasakan sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit.
Untuk mengurangi gejala, ibu pasien sudah membeli obat batuk dan obat
penurun panas di warung. Ibunya menuturkan bahwa batuk dan demam
memang sudah lama terjadi dan sering kambuh kambuhan akan tetapi
sehari sebelum masuk rumah sakit, pasien merasakan sesak yang
kemudian dibawa ke rumah sakit oleh orang tuanya. Keluhan lain seperti
mual dan muntah hanya sesekali, tetapi tidak ada keluhan lain seperti
kejang, perubahan suara, dan mimisan. BAB dan BAK normal.
Riwayat Penyakit Dahulu
a. Riwayat berobat pada usia 5 tahun di Rumah Sakit karena kejang
demam. Menurut penuturan ibunya, pasien juga mengalami penurunan
kesadaran selama 1 minggu saat di rawat di rumah sakit.
Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada anggota keluarga lainnya yang memiliki keluhan serupa.
Riwayat Sosio-ekonomi
a. Pasien tinggal bersama bapak dan ibu kandung.
b. Rumah terbuat dari beton, terdapat 1 ruang tamu, 3 kamar tidur, 1
c.
d.
e.
f.
PDAM.
g. Listrik dari PLN.
: 2800 gram
: 50 cm
: 18 kg
: 130 cm
Gigi keluar
: -
Tersenyum
: -
Miring
: -
Tengkurap
: -
Duduk
: -
Merangkak
: -
Berdiri
: <3 tahun
Berjalan
: -
: -
: 2 tahun
: -
Jenis susu
: -
Takaran
: -
Bubur susu
: -
Tim saring
: -
Buah
: -
: -
Pemeliharaan Prenatal
Periksa di
Penyakit Kehamilan
: -
Riwayat Kelahiran :
Lahir di
: Rumah
: bidan
: spontan
Pemeliharaan postnatal :
Periksa di
: Puskesmas
Keadaan anak
: baik
Keluarga berencana
: Ya
Memakai Sistem
BCG
Polio
I
(+)
(+)
II
////////////
(+)
III
////////////
(+)
IV
////////////
Booster I
////////////
Booster II
////////////
Campak
DPT
(+)
(+)
(+)
////////////
(+)
////////////
////////////
////////////
////////////
Hepatitis
(+)
(+)
(+)
B
2.2 Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan dilakukan pada tanggal 11 Desember 2015
Keadaan umum : Sakit sedang
Kesadaran
: Composmentis, GCS E4V5M6
Tanda-tanda vital
Frekuensi Nadi : 97 x/menit, regular, kuat angkat
Frekuensi Nafas : 25 x/menit, regular
Suhu
: 36,8oC, aksiler
Status gizi
Berat badan
:
: 19 kg
Tinggi Badan
: 130 cm
Interpretasi :
Obesitas
: 120 %
Overweight
: 110-120 %
Gizi Baik
: 90-100 %
Gizi Kurang
: 70-90 %
Gizi Buruk
: <70 %
simetris,
raba
fremitus simetris.
c.Perkusi
: Sonor pada seluruh lapang paru
d. Auskultasi :
Suara napas vesikuler, rhonki (+/+),
wheezing (-/-).
Jantung
a.Inspeksi
b. Palpasi
:
:
line dextra
c.Perkusi
:
gallop (-)
Regio Abdomen
a.Inspeksi
: Flat
b. Auskultasi : Peristaltik (+) kesan normal
c.Perkusi
: Distribusi timpani di keempat kuadran,
shifting dulness (-)
d. Palpasi
: Soefl, defans muskular (-), hepar dan lien
dalam batas normal, nyeri tekan abdomen di empat
kuadran (-)
Regio Ekstremitas
a.Inspeksi
b. Palpasi
:
:
06 Desember 2015
10.3
Hct
Leukosit
33.4 %
16.400
Trombosit
LED
GDS
488.000
122
Tanggal
Hb
07 Desember 2015
10.5
Hct
Leukosit
33.4 %
13.860
Trombosit
LED
GDS
592.000
75
Tanggal
Sputum
BTA
11 Desember 2015
Negatif
7
Pemeriksaan Radiologis
2.4 Diagnosis
Diagnosis Kerja
Suspek TB Paru
Skor tb anak 5
Demam tanpa sebab yang jelas selama 2 minggu : 1
Batuk > 3minggu : 1
Kontak TB tidak ada : 0
Pembengkakkan KGB tidak ada : 0
Pembengkakkan sendi tidak ada : 0
Klinis Gizi buruk BB/TB <70% : 2
Foto Thorax sugestif TB : 1
Uji Mantoux Negatif : 0
2.5 PENATALAKSANAAN IGD
1. Terapi Suportif :
- IVFD RL 1500cc / 24 jam.
2. Terapi Simtomatik :
- Paracetamol syr. 3 x 1 1/2 Cth
3. Terapi Causatif :
- inj. Amoxicillin 3x500mg
- inj. Gentamicin 5 mg /kgBB/ dibagi 2 (2x 42,5mg)
2.6 FOLLOW UP
HARI/TANGGAL
06 Desember 2015
PEMERIKSAAN
PLANNING
Tx. IGD:
IVFD RL 1500cc / 24 jam.
Paracetamol syr. 3 x 1 1/2 Cth
inj. Amoxicillin 3x500mg
inj. Gentamicin 5 mg /kgBB/ dibagi
2 (2x 42,5mg)
07 Desember 2015
Gentamicin 2x42,5 mg
08 Desember 2015
baik
Ambroxol 9 mg
A: suspek tb paru
Salbutamol 1,8 mg
9 Desember 2015
A: suspek tb paru
S: Demam (-), muntah (-), batuk P. Tx. Idem
berdahak (+), sesak (-), Bab
berdarah (-)
O: CM, BB: 19 kg, Suhu: 36,5C,
Nadi: 95 x/mnt, RR: 24 x/mnt,
anemis (-), retraksi (+), vesikuler,
whezzing (-/-), ronkhi (+/+),
bising usus (+) N, turgor kulit
baik
A: suspek tb paru
10 Desember 2015
P. Tx. Idem
S: Demam (-), muntah (-), batuk Vitamin B complex 1x1
berdahak (+), sesak (-), Bab
berdarah (-)
O: CM, BB: 19 kg, Suhu: 36,7C,
Nadi: 98 x/mnt, RR: 23 x/mnt,
anemis (-), retraksi (+), vesikuler,
whezzing (-/-), ronkhi (+/+),
bising usus (+) N, turgor kulit
10
baik
11 Desember 2015
A: suspek tb paru
P. Tx Idem
11
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Definisi
Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis. Umumnya TB menyerang paru-paru, sehingga
disebut dengan TB paru. Tetapi kuman TB juga bisa menyebar ke bagian atau
organ lain dalam tubuh, dan TB jenis ini lebih berbahaya dari TB paru. Bila
kuman TB menyerang otak dan sistem saraf pusat, akan menyebabkan meningitis
TB. Bila kuman TB menginfeksi hampir seluruh organ tubuh, seperti ginjal,
jantung, saluran kencing, tulang, sendi, otot, usus, kulit, disebut TB milier atau TB
ekstrapulmoner. (Laban,2008)
Tuberkulosis pada anak didefinisikan sebagai tuberkulosis yang diderita
oleh anak <15 tahun. Seorang anak dikatakan terpapar TB jika anak memiliki
kontak yang signifikan dengan orang dewasa atau remaja yang terinfeksi TB, pada
tahap ini test tuberkulin negatif, rontgen toraks negatif. Infeksi terjadi ketika
seseorang menghirup droplet nuclei Mycobacterium tuberculosis dan kuman
tersebut menetap secara intraseluler pada jaringan paru dan jaringan limfoid
sekitarnya, pada tahap ini rontgen toraks bisa normal atau hanya terdapat
granuloma atau kalsifikasi pada parenkim paru dan jaringan limfoidnya serta
didapatkan uji tuberkulin yang positif. Sementara itu, seseorang dikatakan sakit
TB jika terdapat gejala klinis yang mendukung serta didukung oleh gambaran
kelainan rontgen toraks, pada tahap inilah seseorang dikatakan menderita
tuberkulosis.(Laban, 2008)
TB ditularkan melalui udara (melalui percikan dahak penderita TB).
Ketika penderita TB batuk, bersin, berbicara atau meludah, mereka memercikkan
kuman TB atau basil ke udara. Seseorang dapat terpapar dengan TB hanya dengan
menghirup sejumlah kecil kuman TB. Penderita TB dengan status TB BTA (Basil
Tahan Asam) positif dapat menularkan sekurang-kurangnya kepada 10-15 orang
lain setiap tahunnya. Sepertiga dari populasi dunia sudah tertular dengan TB.
(Laban, 2008)
Seseorang yang tertular dengan kuman TB belum tentu menjadi sakit TB.
Kuman TB dapat menjadi tidak aktif (dormant) selama bertahun-tahun dengan
12
membentuk suatu dinding sel berupa lapisan lilin yang tebal. Bila sistem
kekebalan tubuh seseorang menurun, kemungkinan menjadi sakit TB menjadi
lebih besar. Seseorang yang sakit TB dapat disembuhkan dengan minum obat
secara lengkap dan teratur. (WHO, 1996)
3.2 Epidemiologi
Akhir tahun 1990-an, World Health Organization memperkirakan bahwa
sepertiga penduduk dunia (2 miliar orang) telah terinfeksi oleh M. tuberculosis,
dengan angka tertinggi di Afrika, Asia dan Amerika Latin. Tuberkulosis, terutama
TB paru, merupakan masalah yang timbul tidak hanya di negara berkembang
tetapi juga di negara maju. Tuberkulosis tetap merupakan salah satu penyebab
tingginya angka kesakitan dan kematian, baik di negara berkembang maupun di
negara maju. (WHO, 1999)
Dari Alabama, Amerika, dilaporkan bahwa selama 11 tahun (1983-1993)
didapatkan 171 kasus TB anak usia <15 tahun. Diperkirakan jumlah kasus TB
anak per tahun adalah 5-6 % dari total kasus TB. Di Negara berkembang, TB pada
anak berusia <15 tahun adalah 15% dari seluruh kasus TB, sedangkan di negara
maju angkanya lebih rendah yaitu 5-7%. (WHO, 1999)
Menurut perkiraan WHO pada tahun 1999, jumlah kasus TB baru di
Indonesia adalah 583.000 orang per tahun dan menyebabkan kematian sekitar
140.000 orang per tahun. Jumlah seluruh kasus TB anak dari 7 Rumah Sakit Pusat
Pendidikan di Indonesia selama 5 tahun (1998-2002) adalah 1086 penyandang
TB. Kelompok usia terbanyak adalah 12-60 bulan (42,9%), sedangkan untuk bayi
<12 bulan didapatkan 16,5%. (Depkes RI, 2010)
Terdapat beberapa faktor risiko yang mempermudah terjadinya infeksi TB
maupun timbulnya penyakit TB pada anak. Faktor-faktor tersebut dibagi menjadi
faktor risiko infeksi dan faktor risiko progresi infeksi menjadi penyakit. Faktor
risiko terjadinya infeksi TB antara lain anak yang terpajan dengan orang dewasa
dengan TB aktif (kontak TB positif), daerah endemis, kemiskinan, lingkungan
yang tidak sehat dan tempat penampungan umum (panti asuhan, penjara atau panti
perawatan lain), yang banyak terdapat pasien TB dewasa aktif. (Depkes RI, 2010)
13
Anak yang terinfeksi TB tidak selalu akan mengalami sakit. Berikut ini
adalah faktor-faktor yang dapat menyebabkan berkembangnya infeksi TB menjadi
sakit TB. Faktor risikonya adalah usia, infeksi baru yang ditandai dengan adanya
konversi uji tuberkulin (dari negatif menjadi positif) dalam 1 tahun terakhir,
malnutrisi, keadaan imunokompromais, diabetes mellitus, gagal ginjal kronik.
(Depkes RI, 2010)
3.3 Etiologi
Terdapat 60 lebih spesies Mycobacterium, tetapi hanya separuhnya yang
merupakan patogen terhadap manusia. Hanya terdapat 5 spesies dari
Mycobacterium yang paling umum menyebabkan infeksi, yaitu: M. Tuberculosis,
M. Bovis, M. Africanum, M. Microti dan M. Canetti. Dari kelima jenis ini M.
Tuberkulosis merupakan penyebab paling penting dari penyakit tuberkulosis pada
manusia. Ada 3 varian M. Tuberkulosis yaitu varian humanus, bovinum dan
avium. Yang paling banyak ditemukan menginfeksi manusia M. Tuberkulosis
varian humanus. (Rahjoe, 2008)
M. Tuberkulosis berbentuk batang, tidak membentuk spora, tidak
berkapsul, nonmotil, pleomorfik, dan termasuk bakteri gram positif lemah, serta
memiliki ukuran panjang 1-10 mikrometer dan lebarnya 0,2-0,6 mikrometer.
M.Tuberkulosis tumbuh optimal pada suhu 37-41 0C dan merupakan bakteri aerob
obligat yang berkembang biak secara optimal pada jaringan yang mengandung
banyak udara seperti jaringan paru. Dinding sel yang kaya akan lipid menjadikan
basil ini resisten terhadap aksi bakterisid dari antibodi dan komplemen. Sebagian
besar dari dinding selnya terdiri atas lipid (80%), peptidoglikan, dan
arabinomannan. Lipid membuat kuman tahan terhadap asam sehingga disebut
BTA dan kuman ini tahan terhadap gangguan kimia dan fisika. Oleh karena
ketahanannya terhadap asam, M. Tuberkulosis dapat membentuk kompleks yang
stabil antara asam mikolat pada dinding selnya dengan berbagai zat pewarnaan
golongan aryl methan seperti carbolfuchsin, auramine dan rhodamin. Kuman ini
dapat bertahan hidup di udara yang kering atau basah karena kuman dalam
keadaan dorman. Dan dari keadaan dorman ini kuman dapat reaktivasi kembali.
(Rahjoe, 2008)
14
15
apeks paru, yang akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Gabungan antara fokus
primer, limfangitis, dan limfadenitis dinamakan kompleks primer. (Rahjoe, 2008)
Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya
kompleks primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi. Masa inkubasi
TB berlangsung selama 2-12 minggu, biasanya selama 4-8 minggu. Pada saat
terbentuknya kompleks primer, infeksi TB primer dinyatakan telah terjadi. Setelah
terjadi kompleks primer, imunitas seluler tubuh terhadap TB terbentuk, yang dapat
diketahui dengan adanya hipersensitivitas terhadap tuberkuloprotein, yaitu uji
tuberkulin positif. Selama masa inkubasi uji tuberkulin masih negatif. Pada
sebagian besar individu dengan sistem imun yang berfungsi baik, pada saat sistem
imun seluler berkembang, proliferasi kuman TB terhenti. Akan tetapi sebagian
kecil kuman TB akan dapat tetap hidup dalam granuloma. Bila imunitas seluler
telah terbentuk, kuman TB baru yang masuk kedalam alveoli akan segera
dimusnakan oleh imunitas seluler spesifik (cellular mediated immunity, CMI ).
(Rahjoe, 2008)
Setelah imunitas seluler terbentuk, fokus primer dijaringan paru
mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah
mengalami nekrosis perkijuan dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya
tidak sesempurna fokus primer dijaringan paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan
menetap selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini, tetapi tidak menimbulkan
gejala sakit TB. (Rahjoe, 2008)
Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi. Komplikasi yang
terjadi dapat disebabkan oleh fokus di paru atau di kelenjar limfe regional. Fokus
primer di paru dapat membesar dan menyebabkan pneumonitis atau pleuritis
fokal. Jika terjadi nekrosis perkijuan yang berat, bagian tengah lesi akan mencair
dan keluar melalui bronkus sehingga meninggalkan rongga di jaringan paru
(kavitas). (Rahjoe, 2008)
Kelenjar limfe parahilus atau paratrakeal yang mulanya berukuran normal
pada awal infeksi, akan membesar karena reaksi inflamasi yang berlanjut,
sehingga bronkus akan terganggu. Obstruksi parsial pada bronkus akibat tekanan
eksternal menimbulkan hiperinflasi di segmen distal paru melalui mekanisme
ventil. Obstruksi total dapat menyebabkan ateletaksis kelenjar yang mengalami
16
inflamsi dan nekrosis perkijuan dapat merusak dan menimbulkan erosi dinding
bronkus, sehingga menyebabkan TB endobronkial atau membentuk fistula. Massa
kiju dapat menimbulkan obstruksi komplit pada bronkus sehingga menyebabkan
gangguan pneumonitis dan ateletaksis, yang sering disebut sebagai lesi segmental
kolaps-konsolidasi. (Kemenkes RI, 2011)
Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas seluler, dapat
terjadi penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman
menyebar ke kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer atau berlanjut
menyebar secara limfohematogen. Dapat juga terjadi penyebaran hematogen
langsung, yaitu kuman masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh
tubuh. Adanya penyebaran hematogen inilah yang menyebabkan TB disebut
sebagai penyakit sistemik. (Kemenkes RI, 2011)
Penyebaran hematogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk
penyebaran hematogenik tersamar. Melalui cara ini, kuman TB menyebar secara
sporadik dan sedikit demi sedikit sehingga tidak menimbulkan gejala klinis.
Kuman TB kemudian mencapai berbagai organ diseluruh tubuh, bersarang di
organ yang mempunyai vaskularisasi baik, paling sering di apeks paru, limpa dan
kelenjar limfe superfisialis. Selain itu, dapat juga bersarang di organ lain seperti
otak, hati, tulang, ginjal, dan lain-lain. Pada umumnya, kuman di sarang tersebut
tetap hidup, tetapi tidak aktif, demikian pula dengan proses patologiknya. Sarang
di apeks paru disebut dengan fokus Simon, yang di kemudian hari dapat
mengalami reaktivasi dan terjadi TB apeks paru saat dewasa.
Pada anak, 5 tahun pertama setelah terjadi infeksi (terutama 1 tahun
pertama) biasanya sering terjadi komplikasi TB. Menurut Wallgren, ada tiga
bentuk dasar TB paru pada anak, yaitu penyebaran limfohematogen, TB
endobronkial, dan TB paru kronik. Tuberkulosis paru kronik adalah TB
pascaprimer sebagai akibat reaktivasi kuman di dalam fokus yang tidak
mengalami resolusi sempurna. Reaktivasi ini jarang terjadi pada anak tetapi sering
terjadi pada remaja dan dewasa muda.
Tuberkulosis ekstrapulmonal, yang biasanya juga merupakan manifestasi
TB pascaprimer, dapat terjadi pada 25-30% anak yang terinfeksi TB. Tuberkulosis
sistem skeletal terjadi pada 5-10% anak yang terinfeksi, paling banyak terjadi
17
dalam 1 tahun, tetapi dapat juga 2-3 tahun setelah infeksi primer. Tuberkulosis
ginjal biasanya terjadi 5-25 tahun setelah infeksi primer.
Perjalanan alamiah
Manifestasi klinis TB di berbagai organ muncul dengan pola yang konstan,
sehingga dari studi Wallgren dan peneliti lain dapat disusun suatu kalender
terjadinya TB di berbagai organ. (Kemenkes RI, 2011)
18
19
sedangkan faktor penjamu bergantung pada usia dan kompetensi imun serta
kerentanan penjamu pada awal terjadinya infeksi.
Anak kecil sering tidak menunjukkan gejala selama beberapa waktu.
Tanda dan gejala pada balita dan dewasa muda cenderung lebih signifikan
sedangkan pada kelompok dengan rentang umur diantaranya menunjukkan
clinically silent dissease. (Nastiti, 2005)
3.5.1 Manifestasi sistemik
Manifestasi sistemik adalah gejala yang bersifat umum dan tidak spesifik
karena dapat disebabkan oleh berbagai penyakit atau keadaan lain. Beberapa
manifestasi sistemik yang dapat dialami anak yaitu: (Nastiti, 2005)
1. Demam lama (>2 minggu) dan/atau berulang tanpa sebab yang jelas, yang
dapat disertai keringat malam. Demam pada umumnya tidak tinggi. Temuan
demam pada pasien TB berkisar antara 40-80% kasus.
2. Berat badan turun tanpa sebab yang jelas atau tidak naik dalam 1 bulan
dengan penanganan gizi atau naik tetapi tidak sesuai dengan grafik
pertumbuhan.
3. Nafsu makan tidak ada (anoreksia) dengan gagal tumbuh dan berat badan
tidak naik dengan adekuat (failure to thrive).
4. Pembesaran kelenjar limfe superfisialis yang tidak sakit dan biasanya
multipel.
5. Batuk lama lebih dari 3 minggu, dan sebab lain telah disingkirkan, tetapi
pada anak bukan merupakan gejala utama.
6. Diare persisten yang tidak sembuh dengan pengobatan diare.
7. Malaise (letih, lesu, lemah, lelah).
3.5.2 Manifestasi Spesifik Paru.
TB Asimptomatis
Infeksi asimptomatis (atau laten) didefinisikan sebagai infeksi yang
diasosiasikan dengan hipersensitivitas tuberkulis dan tes tuberkulin positif tanpa
gejala klinis dan manifestasi radiologis. Dari CT scan dapat dilihat pembesaran
nodus limfe di rongga dada, walaupun pada rontgen hasil dapat normal. Kadangkadang, demam subfebris ditemukan pada onset penyakit. Sekiranya anak
20
21
10 mm
22
15 mm sangat
Uji interferon
Prinsip yang digunakan adalah merangsang limfosit T dengan antigen
tertentu, diantaranya antigen dari kuman TB. Bila sebelumya limfosit T tersebut
telah tersensitisasi dengan antigen TB maka limfosit T akan menghasilkan
interferon gamma yang kemudian di kalkulasi. Akan tetapi, pemeriksaan ini
hingga saat ini belum dapat membedakan antara infeksi TB dan sakit TB.
(Cahyono, 2010)
3.6.3 Radiologi
Gambaran foto Rontgen toraks pada TB tidak khas, kelainan-kelainan
radiologis pada TB dapat juga dijumpai pada penyakit lain.
Secara umum, gambaran radiologis yang sugestif TB adalah: (Kemenkes RI,
2011)
3.6.4. Serologi
Beberapa pemeriksaan serologis yang ada di antaranya adalah PAP TB,
mycodot, Immuno Chromatographic Test (ICT), dan lain-lain. Akan tetapi,
hingga saat ini belum ada satupun pemeriksaan serologis yang dapat
membedakan antara infeksi TB dan sakit TB. (Kemenkes RI, 2011)
3.6.5 Mikrobiologi
23
TB
paru
pada
anak,
IDAI
Parameter
Kontak TB
Tidak jelas
Laporan
BTA(+)
keluarga (BTA
negatif
atau
tidak jelas)
Uji Tuberkulin
Negatif
Positif ( 10 mm
atau 5 mm pada
keadaan
imunosupresi)
Berat
badan
/ -
Klinis
gizi 24
Status Gizi
atau
buruk
Demam
tanpa -
2 minggu
3 minggu
Pembesaran
1 cm, jumlah
kelenjar
koli,
> 1, tidak nyeri
aksila, inguinal
Pembengkakan
tulang
sendi
panggul,
Ada
pembengkakan
lutut,
falang
Foto Thorak
Normal/kelainan Gambaran
tidak jelas
sugestif TB
Kontak dengan pasien pasien TB BTA positif diberi skor 3 bila ada
bukti tertulis hasil laboratorium BTA dari sumber penularan yang bisa
25
selama 1 bulan.
Demam (2 minggu) dan batuk (3 minggu) yang tidak membaik
3.7 Penatalaksanaan
3.7.1. Obat TB yang Digunakan
Obat TB utama (first line, lini utama) saat ini adalah rifampisin (R),
isoniazid (H), pirazinamid (Z), etambutol (E), dan Streptomisin (S). Rifampisin
dan isoniazid merupakan obat pilihan utama dan ditambah dengan pirazinamid,
etambutol, dan streptomisin. Obat lain (second line, lini kedua) adalah paraaminosalicylic acid (PAS), cycloserin terizidone, ethionamide, prothionamide,
ofloxacin, levofloxacin, mixiflokxacin, gatifloxacin, ciprofloxacin, kanamycin,
amikacin, dan capreomycin, yang digunakan jika terjadi MDR.
Isoniazid
Isoniazid (isokotinik hidrazil) adalah obat antituberkulosis (OAT) yang
sangat efektif saat ini, bersifat bakterisid dan sangat efektif terhadap kuman dalam
keadaan metabolik aktif (kuman yang sedang berkembang), bakteriostatik
terhadap kuman yang diam. Obat ini efektif pada intrasel dan ekstrasel kuman,
dapat berdifusi ke dalam seluruh jaringan dan cairan tubuh termasuk CSS, cairan
pleura, cairan asites, jaringan kaseosa, dan memiliki angka reaksi simpang
(adverse reaction) yang sangat rendah.
26
Isoniazid diberikan secara oral. Dosis harian yang biasa diberikan adalah
5-15 mg/kgBB/hari, maksimal 300mg/hari, dan diberikan dalam satu kali
pemberian. Isoniazid yang tersedia umumnya dalam bentuk tablet 100 mg dan 300
mg, dan dalam bentuk sirup 100 mg/5cc. sedian dalam bentuk sirup biasanya tidak
stabi, sehingga tidak dianjurkan penggunaannya. Konsentrasi puncak di dalam
darah, sputum, dan CSS dapat dicapai dalam 1-2 jam dan menetap selama paling
sedikit 6-8 jam. Isoniazid dimetabolisme melalui asetilasi di hati. Anak-anak
mengeliminasi isoniazid lebih cepat daripada orang dewasa, sehingga memerlukan
dosis mg/KgBB yang lebih tinggi dari pada dewasa. Isoniazid pada air susu ibu
(ASI) yang mendapat isoniazid dan dapat menembus sawar darah plasenta, tetapi
kadar obat yang mmencapai janin/bayi tidak membahayakan.
Isoniazid mempunyai dua efek toksik utama, yaitu hepatotoksik dan
neuritis perifer. Keduanya jarang terjadi pada anak, biasanya terjadi pada pasien
dewasa dengan frekuensi yang meningkat dengan bertambahnya usia. Sebagian
besar pasien anak yang menggunakan isoniazid mengalami peningkatan kadar
transaminase darah yang tidak terlalu tinggi dalam 2 bulan pertama, tetapi akan
menurun sendiri tanpa penghentian obat. Idealnya, perlu pemantauan kadar
transaminase pada 2 bulan pertama, tetapi karena jarang menimbulkan
hepatotoksisitas maka pemantauan laboratorium tidak rutin dilakukan, kecuali bila
ada gejala dan tanda klinis.
Rifampisin
Rifampisin bersifat bakterisid pada intrasel dan ekstrasel, dapat memasuki
semua jaringan dan dapat membunuh kuman semidorman yang tidak dapat
dibunuh oleh isoniazid. Rifampisin diabsorbsi dengan baik melalui sistem
gastrointestinal pada saat perut kosong (1 jam sebelum makan), dan kadar serum
puncak tercapai dalam 2 jam. Saat ini, rifampisin diberikan dalam bentuk oral
dengan dosis 10-20 mg/kgBB/hari, dosis maksimal 600 mg/hari, dengan satu kali
pemberian per hari. Jika diberikan bersamaan dengan isoniazid , dosis rifampisin
tidak melebihi 15 mg/kgBB/hari dan dosis isoniazid 10 mg/kgBB/hari.
Distribusinya sama dengan isoniazid.
27
Efek samping rifampisin lebih sering terjadi dari isoniazid. Efek yang
kurang menyenangkan bagi pasien adalah perubahan warna urin, ludah, sputum,
dan air mata, menjadi warna oranye kemerahan. Selain itu, efek samping
rifampisin
adalah
gangguan
gastrointestinal
(mual
dan
muntah),
dan
termasuk
kuinidin,
siklosporin,
digoksin,
teofiin,
kloramfenikol,
hepatotoksisitas,
anoreksia,
dan
iritasi
saluran
cerna.
Reaksi
28
Etambutol
Etambutol jarang diberikan pada anak karena potensi toksisitasnya pada
mata. Obat ini memiliki aktivitas bakteriostatik, tetapi dapat bersifat bakterisid
jika diberikan dengan dosis tinggi dengan terapi intermiten. Selain itu,
berdasarkan pengalaman, obat ini dapat mencegah timbulnya resistensi terhadap
obat-obat lain. Dosis etambutol adalah 15-20 mg/kgBB/hari, maksimal 1,25
gr/hari dengan dosis tunggal. Kadar serum puncak 5 g dalam waktu 24 jam.
Etambutol tersedia dalam bentuk tablet 250 mg dan 500 mg. etambutol ditoleransi
dengan baik oleh dewasa dan anak-anak pada pemberian oral dengan dosis satu
tau dua kali sehari , tetapi tidak berpenetrasi baik pada SSP, demikian juga pada
keadaan meningitis.
Eksresi utama melalui ginjal dan saluran cerna. Interaksi obat dengan
etambutol tidak dikenal. Kemungkinan toksisitas utam adalah neuritis optok dan
buta warna merah-hijau sehingga seringkali penggunaannya dihindari pada anak
yang belum dapat diperiksa tajam penglihatannya. Rekomendasi WHO yang
terakhir mengenai penatalaksanaan TB anak, etambutol dianjurkan penggunaanya
pada anak dengan dosis 15-25 mg/kgBB/hari. Etambutol dapat diberikan pada
anak dengan TB berat dan kecurigaan TB resisten-obat jika obat-obat lainnya
tidak tersedia atau tidak dapat digunakan.
Streptomisin
Streptomisin bersifat bakterisid dan bakteriostatik terhadap kuman
ekstraseluler pada keadaan basal atau netral, sehingga tidak efektif untuk
membunuh kuman intraseluler. Saat ini streptomisin jarang digunakan dalam
pengobatan TB tetapi penggunaannya penting penting pada pengobatan fase
intensif meningitis TB dan MDR-TB. Streptomisin diberikan secara intramuskular
dengan dosis 15-40 mg/kgBB/hari, maksimal 1 gr/hari dan kadar puncak 40-50
g/ml dalam waktu 1-2 jam.
Streptomisin sangat baik melewati selaput otak yang meradang, tetapi
tidak dapat melewati selaput otak yang tidak meradang.streptomisin berdifusi baik
pada jaringan dan cairan pleura dan di eksresikan melalui ginjal. Penggunaan
utamanya saat ini adalah jika terdapat kecurigaan resistensi awal terhadap
29
isoniazid atau jika anak menderita TB berat. Toksisitas utama streptomisin terjadi
pada nervus kranialis VIII yang mengganggu keseimbangan dan pendengaran
dengan gejala berupa telinga berdegung (tinismus) dan pusing. Toksisitas ginjal
jarang terjadi. Streptomisin dapat menembus plasenta, sehingga perlu berhati-hati
dalam menentukan dosis pada wanita hamil karena dapat merusak saraf
pendengaran janin yaitu 30% bayi akan menderita tuli berat.
Nama Obat
Dosis harian
Dosis maksimal
Efek Samping
(mg/kgBB/hari)
(mg/hari)
Isoniazid
5-15*
300
Rifampisin**
10-20
600
Pirazinamid
15-30
2000
Etambutol
15-20
1250
Streptomisin
15-40
1000
Ototoksis, nefrotoksik
**
Rifampisin tidak boleh diracik dalam satu puyer dengan OAT lain karena
dapat mengganggu bioavailabilitas rifampisin. Rifampisin diabsorpsi
dengan baik melalui sistemgastrointestinal pada saat perut kosong (satu
jam sebelum makan.
30
bukan dua atau tiga kali dalam seminggu. Hal ini bertujuan untuk mengurangi
ketidakteraturan menelan obat yang lebih sering terjadi jika obat tidak ditelan
setiap hari. Saat ini panduan obat yang baku untuk sebagian besar kasus TB pada
anak adalah panduan rifampisin, isoniazid dan pirazinamid. Pada fase intensif
diberikan rifampisin, isoniazid, dan pirazinamid sedangkan pada fase lanjutan
hanya diberikan rifampisin dan isoniazid.
Pada keadaan TB berat, baik pulmonal maupun ekstrapulmonal seperti
milier, meningitis TB, TB sistem skletal, dan lain-lain, pada fase intensif diberikan
minimal empat macam obat (rifampisin, isoniazid, pirazinamid, dan etambutol
atau streptomisin). Pada fase lanjutan diberikan rifampisin dan isoniazid selama
10 bulan. Untuk kasus TB tertentu yaitu meningitis TB, TB milier, efusi pleura
TB, perikarditis TB, TB endobronkial, dan peritonitis TB diberikan kortikosteroid
(prednison) dengan dosis 2-4 mg/kgBB/hari dibagi dalam tida dosis, maksimal
60mg dalam satu hari. Lama pemberian kortikosteroid adalah 2-4 minggu dengan
dosis penuh dilanjutkan tappering off selama 2-4 minggu.
2 Bulan
6 Bulan
9 Bulan
12 Bulan
Isoniazid
Rifampisin
Pirazinamid
Etambutol
Streptomisin
Prednison
31
anak sulit dan tidak jarang terjadi salah diagnosis. Evaluasi pengobatan dilakukan
dengan beberapa cara, yaitu evaluasi klinis, evaluasi radiologis, dan pemeriksaan
LED. Evaluasi yang terpenting adalah evaluasi klinis, yaitu menghilang atau
membaiknya kelainan klinis yang sebelumnya ada pada awal pengobatan,
misalnya penambahan berat badan, hilangnya demam, hilangnya batuk, perbaikan
nafsu makan dan lain-lain. Apabila respon pengobatan baik, maka pengobatan
dilanjutkan.
Evaluasi radiologis dalam 2-3 bulan pengobatan tidak perlu dilakukan
secara rutin, kecuali pada TB dengan kelainan radiologis yang nyata/luas seperti
TB milier, efusi pleura atau bronkopneumonia TB. Pada pasien TB milier, foto
rontgen toraks perlu diulang setelah 1 bulan untuk evaluasi hasil pengobatan,
sedangkan pada efusi pleura TB pengulangan foto rontgen toraks dilakukan
setelah 2 minggu. Laju endap darah dapat digunakan sebagai sarana evaluasi bila
pada awal pengobatan nilainya tinggi. (Burhan, 2010)
Apabila respon setelah 2 bulan kurang baik, yaitu gejala masih ada dan
tidak terjadi penambahan BB, maka OAT tetap diberikan sambil dilakukan
evaluasi lebih lanjut mengapa tidak terjadi perbaikan. Kemungkinan yang terjadi
adalah misdiagnosis, mistreatment, atau resistensi terhadap OAT. Bila awalnya
pasien ditangani di sarana kesehatan terbatas, maka pasien dirujuk ke sarana yang
lebih tinggi atau ke konsultan paru anak. Evaluasi yang dilakukan meliputi
evaluasi kembali diagnosis, ketepatan dosis OAT, keteraturan minum obat,
kemungkinan adanya penyakit penyulit/penyerta, serta evaluasi asupan gizi.
Setelah pengobatan 6-12 bulan dan terdapat perbaikan klinis, pengobatan dapat
dihentikan. Foto rontgen toraks ulang pada akhir pengobatan tidak perlu
dilakukan secara rutin.
Pengobatan selama 6 bulan bertujuan untuk meminimalisasi residu
subpopulasi persisten M. tuberculosis (tidak mati dengan obat-obatan) bertahan
dalam tubuh, dan mengurangi secara bermakna kemungkinan terjadinya
kekambuhan. Pengobatan lebih dari 6 bulan pada TB anak tanpa komplikasi
menunjukkan angka kekambuhan yang tidak berbeda bermakna dengan
pengobatan 6 bulan. (Burhan, 2010)
3.7.4 Evaluasi efek samping pengobatan
32
33
dengan
pengobatan.
Manajemen
TB
semakin
sulit
dengan
34
35
yang cukup lama, maka biaya yang diperlukan cukup besar. Selain itu, diperlukan
juga penanganan gizi yang baik, meliputi kecukupan asupan makanan, vitamin,
dan mikronutrien. Tanpa penanganan gizi yang baik, pengobatan dengan
medikamentosa saja tidak akan tercapai hasil yang optimal. Edukasi ditujukan
kepada pasien dan keluarganya agar mengetahui mengenai TB. Pasien TB anak
tidak perlu diisolasi karena sebagian besar TB padak anak tidak menular kepada
orang disekitarnya. Aktivitas fisik pasien TB anak tidak perlu dibatasi, kecuali
pada TB berat. (Burhan, 2010)
3.9 Pencegahan
3.9.1 Imunisasi BCG
Imunisasi BCG (Bacille Calmette-Gurin) diberikan pada usia sebelum 2
bulan. Dosis untuk bayi sebesar 0,05 ml dan untuk anak 0,10 ml, diberikan secara
intrakutan di daerah insersi otot deltoid kanan (penyuntikan lebih mudah dan
lemak subkutis lebuh tebal, ulkus tidak menggangu struktur otot dan sebagai tanda
baku). Bila BCG diberikan pada usia lebih dari 3 bulan, sebaiknya dilakukan uji
tuberkulin terlebih dahulu. Insidens TB anak yang mendapat BCG berhubungan
dengan kualitas vaksin yang digunakan, pemberian vaksin, jarak pemberian
vaksin dan intensitas pemaparan infeksi.
Manfaat BCG telah dilaporkan oleh beberapa peneliti, yaitu antara 0-80%.
Imunisasi BCG efektif terutama untuk mencegah TB milier, meningitis TB dan
spondilitis TB pada anak. Imunisasi ini memberikan perlindungan terhadap
terjadinya TB milier, meningitis TB, TB sistem skletal, dan kavitas. Fakta di
klinik sekitar 70% TB berat dengan biakan positif telah mempunyai parut BCG.
Imunisasi BCG ulangan dianjurkan di beberapa negara, tetapi umumnya tidak
dianjurkan di banyak negara lain, temasuk Indonesia. Imunisasi BCG relatif
aman, jarang timbul efek samping yang serius. Efek samping yang sering
ditemukan adalah ulserasi lokal dan limfadenitis (adenitis supuratif) dengan
insidens
0,1-1%.
Kontraindikasi
imunisasi
BCG
adalah
kondisi
imunokompromais, misalnya defisiensi imun, infeksi berat, gizi buruk, dan gagal
36
tumbuh. Pada bayi prematur, BCG ditunda hingga bayi mencapai berat badan
optimal. (Cahyono, 2010)
3.9.2 Kemoprofilaksis
Terdapat dua jenis kemoprofilaksis, yaitu kemoprofilaksis primer dan
kemoprofilaksis sekunder. Kemoprofilaksis primer bertujuan untuk mencegah
terjadinya
infeksi
TB,
sedangkan
kemoprofilaksis
sekunder
mencegah
37
38
BAB IV
PEMBAHASAN
Pasien datang dengan keluhan batuk batuk. Batuk disertai dahak dan
pasien sulit untuk mengeluarkan dahak. Selain itu, ibu pasien juga mengatakan
bahwa anaknya demam disertai keringatan pada malam hari. Keluhan ini sudah
dirasakan sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit. Untuk mengurangi gejala, ibu
pasien sudah membeli obat batuk dan obat penurun panas di warung. Ibunya
menuturkan bahwa batuk dan demam memang sudah lama terjadi dan sering
kambuh kambuhan akan tetapi sehari sebelum masuk rumah sakit, pasien
merasakan sesak yang kemudian dibawa ke rumah sakit oleh orang tuanya.
Keluhan lain seperti mual dan muntah hanya sesekali, tetapi tidak ada keluhan lain
seperti kejang, perubahan suara, dan mimisan. BAB dan BAK normal.
Anamnesis
Fakta
Teori
- Demam tanpa sebab yang jelas
-
selama 2 minggu
Batuk lama hilang timbul selama
malam hari
Pasien merasakan sesak pada
pernafasannya
Pemeriksaan Fisik
Fakta
- Bentuk dada pigeon chest, costa
Teori
39
Pemeriksaan Penunjang
DAFTAR PUSTAKA
Burhan, E. 2010. Tuberkulosis Multidrug Resistance (TB-MDR). Majalah
Kedokteran Indonesia. Jakarta.
Cahyono, dkk. 2010. Vaksinasi, Cara Ampuh Cegah Penyakit Infeksi. Yogyakarta:
Kanisius..
Depkes RI. 2010. Situasi Epidemiologi TB Indonesia. Jakarta
40
41