Farras Amany Husna, Farmasi, Universitas Syiah Kuala.
Semua bahan adalah racun, tidak ada bahan apapun yang bukan racun, hanya dosis yang benar membedakan apakah bahan tersebut menjadi racun atau obat -Paracelsus (1493-1541)
Tampaknya apa yang disampaikan
Paracelsus 4 abad lalu masih kalah populer dibandingkan dengan tren penggunaan obat herbal sekarang ini di kalangan masyarakat. Obat herbal atau herbal medicine didefinisikan sebagai bahan baku atau sediaan yang berasal dari tumbuhan yang memiliki efek terapi atau efek lain yang bermanfaat bagi kesehatan manusia. Komposisinya dapat berupa bahan mentah atau bahan yang telah mengalami proses lebih lanjut yang berasal dari satu jenis tumbuhan atau lebih. Saat ini, obat herbal cukup banyak digunakan oleh masyarakat dalam usaha pengobatan sendiri (self-medication). Jenis obat herbal yang beredar dan digunakan di Indonesia yaitu jamu, obat herbal terstandar, dan fitofarmaka. Berdasarkan sejarah, penggunaan obat herbal di Indonesia memang sudah berlangsung sejak ribuan tahun yang lalu, sebelum obat modern ditemukan dan dipasarkan. Hal itu tercermin antara lain pada lukisan di relief Candi Borobudur dan resep tanaman obat yang ditulis dari tahun 991 sampai 1016 pada daun lontar di Bali. Namun, apa yang kini menjadi tren bukan lagi pemakaian tumbuhan yang secara empiris berkhasiat menyembuhkan seperti yang dilakukan nenek moyang kita ribuan tahun dahulu, melainkan obat herbal yang menurut persepsi umum dari masyarakat adalah obat alami yang katanya tidak begitu berbahaya dibandingkan jika kita mengkonsumsi obat-obat sintetik. Apa yang rancu adalah pemberian label alami pada obat herbal, mungkin ini hanya
sekedar kata tapi justru bisa sangat
berbahaya apalagi jika dimanfaatkan dan disalahgunakan oleh oknum-oknum tidak bertanggung jawab untuk memperoleh penjualan tinggi dari produk yang dia pasarkan. Konsumen dibuat percaya dan merasakan bahwa khasiat dari obat alami yang mereka konsumsi itu murni karena bahan alami di dalamnya, padahal apa yang membuat khasiatnya lebih poten sebenarnya terletak pada penambahan bahan kimia obat yang juga terkandung di dalamnya. Satu hal yang tidak boleh terlupakan bahwa regulasi obat herbal Indonesia melarang adanya penambahan Bahan Kimia Obat (BKO) pada segala jenis obat herbal. BKO merupakan senyawa obat yang telah digunakan dalam pengobatan formal. Berdasarkan hasil operasi pengawasan dan pengujian laboratorium Badan POM tahun 2001-2003 ditemukan 78 item obat tradisional yang dicampuri/dicemari BKO. Sebagai contoh misalnya : penambahan furosemid (obat diuretika, antihipertensi) ke dalam jamu darah tinggi; penambahan diazepam (sedatif-hipnotik) ke dalam jamu penenang; penambahan deksametason (kortikosteroid), fenilbutazon (analgesikantiinlamasi) dan antalgin (analgesik, antipiretik, antiinflamasi) ke dalam jamu pegal linu atau rematik; penambahan teofilin (bronkodilator) dan kofein (stimulansia) ke dalam jamu sesak nafas; dan lain sebagainya. Temuan Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) hingga November 2015, terdapat 54 merk obat tradisional yang mengandung bahan kimia obat (BKO), 47 di antaranya merupakan obat ilegal (mencantumkan nomor izin fiktif) dan tujuh lainnya terdaftar tapi nomor izinnya telah dibatalkan. Obat-obat tradisional tersebut rata-rata mengandung parasetamol dan fenilbutazon. Ada pula yang mengandung indometasin, kofein,
natrium diklofenak, siproheptadin HCl,
deksametason, CTM, sildenafil sitrat, dan sibutramin HCl. Temuan oleh BPOM tersebut seharusnya lebih membuka mata kita bahwa jika produsen obat tersebut setidaknya sudah mengambil keuntungan dari persepsi kita yang salah selama ini, bahwa ketika obat herbal kita anggap obat alami, maka yang sebenarnya akan sangat dirugikan adalah diri kita sendiri. Tidak ada yang salah dengan jenis dan pemakaian obat manapun, apakah dia obat herbal, obat sintetik, maupun obat-obatan lainnya, selama pemakaiannya mengikuti aturan dosis atau kadar yang telah ditetapkan. Karena dosis suatu obat ditetapkan bukan tidak ada dasar melainkan telah melewati penelitian panjang mulai dari tahap uji preklinik yang dilakukan secara in vitro dan in vivo pada hewan coba untuk melihat toksisitas dan efek farmakodinamiknya, setelah benarbenar aman dilakukan uji klinik pada manusia hanya dapat dilakukan jika obat tersebut telah terbukti aman dan berkhasiat pada uji preklinik. Ketika tanpa sepengetahuan kita ada penambahan bahan kimia obat di dalam obat herbal yang seharusnya tidak dibenarkan, maka akan sangat berbahaya bagi diri kita sendiri orang yang mengkonsumsinya. Maka saat seseorang menggunakan obat herbal sebagai pengobatan bagi dirinya sendiri baik untuk mencegah atau sekedar mengurangi atau mengatasi keluhan yang dialaminya, tanpa disadari justru dia tengah meracuni dirinya sendiri secara perlahan-lahan, mungkin tubuh belum terpengaruh dengan bahan kimia obat yang masuk ke tubuh tidak sesuai aturan tersebut, namun lambat laun tubuh akan meresponnya dengan efek samping yang ditimbulkan, hal tersebut tidak bisa dipungkiri pasti akan tetap dirasakan. Jika dikonsumsi dengan takaran yang tidak tepat dalam jangka waktu lama maka akan membahayakan kesehatan. Berikut ini adalah beberapa risiko yang
bisa ditumbulkan karena pemakaian obat
tidak sesuai dosis: 1. Hepatotoksik: kerusakan hati akibat bahan kimia yang terkandung dalam obat-obatan. 2. Iritasi sistem pencernaan sehingga bisa sakit perut, mual, muntah-muntah atau diare. 3. Perubahan suhu tubuh, tekanan darah, denyut nadi, dan detak jantung. 4. Nyeri pada dada dan sesak napas akibat gangguan pada paru dan jantung. 5. Kulit menjadi panas dan kering, atau sebaliknya, dingin dan lembap. 6. Muntah darah. 7. Muncul darah pada tinja saat buang air besar. 8. Koma. 9. Meninggal dunia. Akhirnya siapa yang harus dipersalahkan? Diri kita sendiri yang tidak tahu atau justru tidak mau tahu, produsen obat ilegal yang semata-mata hanya ingin mengeruk keuntungan tanpa memikirkan efek berbahaya dari obat yang mereka produksi bagi kesehatan konsumennya, atau regulasi pemerintah terhadap peredaran obat herbal di Indonsia yang masih tebang pilih. Tidak ada yang harus dipersalahkan, yang perlu dilakukan adalah langkah-langkah pembenahan bagaimana obat herbal tidak dijadikan sebagai alat kepentingan untuk keuntungan yang sebesar-besarnya, di sisi lain butuh pengawasan yang ketat dan sanksi tegas dari pemerintah bagi pelanggaran atas peraturan yang telah ditetapkan, selanjutnya peran serta praktisi kesehatan terutama apoteker untuk dapat memberikan sosialisasi tentang penggunaan obat yang tepat dan informasi terkait obat-obatan.
Resep tersebut sesuai secara farmasetis. Semua bentuk sediaan yang diresepkan stabil dan tidak berpotensi inkompatibel. Cara pemberian juga sesuai untuk masing-masing obat