Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
Di setiap Negara tidak dapat lepas dari tindakan-tindakan melanggar hukum baik secara
pidana maupun perdata. Namun yang menjadi keresahan masyarakat adalah maraknya tindakan
pidana.Tindakan yang dapat mengganggu kepentingan orang lain ini dapat terjadi kapan saja dan
dimana saja. Bahkan tindakan ini dapat menghilangkan nyawa orang lain dan mengancam
stabilitas Negara.
Beberapa tahun terakhir, Indonesia dikejutkan dengan maraknya kasus bom yang terjadi
di restoran, hotel, bahkan kedutaan besar pun tak luput dari serangan bom. Hal ini dikategorikan
sebagai kasus pidana terorisme dan mulai menjadi trademark bagi Indonesia sebagai Negara
teroris. Dengan dalih menjalankan syariat Islam, terror demi terror dilakukan.
Tragedi bom Bali I yang terjadi pada 12 Oktober 2002 di kecamatan Kuta, Bali. Telah
menewaskan 220 orang dan mencederakan 209 orang lainnya yang kebanyakan merupakan
orang asing. Peristiwa ini dianggap sebagai kasus pidana terorisme terbesar yang pernah terjadi
di Indonesia. Beberapa warganegara asing yang tengah berlibur di Bali menjadi korban dari aksi
ini, antara lain Australia,Britania Raya, Amerika Serikat, Jerman, Swedia, Belanda, Perancis,
Denmark, Selandia Baru,Swiss, Brasil, Kanada, serta beberapa Negara lainnya.
Tindakan cepat segera diambil oleh kepolisian guna mengungkap sindikat yang ada di
balik tragedi berdarah ini. Ditetapkan 3 pelaku utama, yakni Imam Samudra, Amrozi, dan Ali
Gufron diikuti oleh anak buah mereka.
Dengan adanya kejadian ini, Indonesia dirundung masalah yang berat terkait dengan
masalah keamanan. Sebagai dampaknya kecaman terus berdatangan dari negara- negara lainnya
dengan mengeluarkan travel warning dan secara tegas melarang warganya untuk datang ke
Indonesia.
1
Oleh sebab itu, dalam makalah ini akan dianalisa mengenai Tragedi Bom Bali secara
menyeluruh, dengan menitikberatkan pada pelaku bom Bali yakni Trio Bom Bali, dengan
keputusan-keputusan akhir yang membawa mereka pada hukuman mati. Namun setelah divonis
hukuman mati masih terdapat permintaan terdakwa trio bom Bali untuk peninjauan kembali
terhadap eksekusi hukuman mati yang akan dijalankan terpidana.
Mengapa MK menerima PK (Peninjauan Kembali) yang diajukan tim kuasa hukum Trio
Bom Bali sehingga berpengaruh pada jangka waktu eksekusi mati yang harus dilaksanakan dan
bagaimana pula keputusan akhirnya?
Seperti yang telah dibahas pada latar belakang , bahwa tindakan pemboman yang terjadi
di Indonesia khususnya di Bali pada tanggal 12 Oktober 2002 yang telah menewaskan
masyarakat pribumi maupun wisatawan asing merupakan salah satu tindakan pidana , yang para
terpidana terdiri dari : Imam Samudera , Amrozi , dan Ali Gufron yang telah dijatuhkan
hukuman mati. Kemudian timbul fenomena baru mengenai PK (Peninjauan Kembali ) yang
diajukan tim kuasa hukum terpidana Trio Bom Bali karena dianggap eksekusi mati yang berlaku
di Indonesia bertentangan dengan UU pasal 28 I ayat 1 UUD 1945.
- Untuk meninjau lebih lanjut apa alasan MK menerima peninjauan kembali (PK) yang
diajukan oleh tim kuasa hukum trio Bom Bali sehingga berpengaruh pada jangka waktu
eksekusi yang harus dilaksanakan?
- Untuk mengetahui keputusan akhir dari MK mengenai PK yang diajukan oleh tim kuasa
trio Bom Bali.
2
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Akademik
Untuk memperkaya pengetahuan mengenai kasus hukum dalam hal ini mengenai
kasus pidana Bom Bali I dimana menitikberatkan pada peninjauan kembali (PK)
oleh MK mengenai tata cara eksekusi mati terpidana.
1.4.2 Praktis
BAB I PENDAHULUAN
Dalam bab pendahuluan ini, tim penulis akan membahas latar belakang
dari kasus pidana Bom Bali I dengan sudut pandang “Peninjauan Kembali
Mahkamah Konstitusi terhadap Eksekusi Mati Bom Bali I ”. Selain itu dijelaskan
pula alasan dari tim penulis memilih topik ini dan manfaat serta sistematika
penulisan dari makalah ini,
Dalam Bab II ini akan dijabarkan teori hukum pidana beserta UU yang
berkaitan dengan kasus pidana Bom Bali ini dengan teori-teori terkait lainnya.
Dalam Bab III ini akan dianalisa dan dibahas secara mendalam mengenai
hal-hal berkaitan yang dapat menjawab daripada rumusan masalah yang telah
dibentuk oleh tim penulis berdasarkan teori hukum pidana dan teori terkait
lainnya.
3
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN
Pada Bab ke- IV ini akan diulas kesimpulan dan saran di mana diharapkan
dapat memberikan informasi dan manfaat bagi masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
4
BAB II
KERANGKA TEORITIS
- Pelanggaran adalah mengenai hal-hal kecil atau ringan yang diancam hukuman
denda
a. Pidana mati
b. Pidana penjara
d. Pidana denda
e. Pidana tutupan
2. Pidana tambahan
Adalah hak Negara atau alat-alat untuk menghukum berdasarkan Hukum Pidana Obyektif
Adalah Hukum Pidana yang berlaku terhadap setiap penduduk(berlaku terhadap siapa
pun juga di seluruh Indonesia) kecuali anggota ketentaraan.
7
Setelah reformasi, Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki satu lembaga
tinggi Negara, yaitu Mahkamah Konstitusi, tetapi disisi lain menghapuskan Dewan
pertimbangan Agung yang dianggap tidak efektif.
8
2.3.1 PROSEDUR
Langkah langkah yang harus dilakukan Pemohon Peninjauan Kembali (PK):
1. Mengajukan permohonan PK kepada Mahkamah Agung secara tertulis atau lisan
melalui Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah.
2. Pengajuan PK dalam tenggang waktu 180 hari sesudah penetapan atau putusan
pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap atau sejak di ketemukan bukti adanya
kebohongan atau bukti baru, dan bila alasan pemohon PK berdasarkan bukti baru
(Novum) maka bukti baru tersebut di nyatakan di bawah sumpah dan di sahkan oleh
pejabat yang berwenang (Pasal 69 UU No. 14 tahun 1985, yang telah di ubah
dengan UU No. 5 tahun 2004).
3. Membayar biaya perkara PK (Pasal 70 UU No. 14 tahun 1985, yang telah di ubah
dengan UU No. 45 tahun 2004, pasal 89 dan 90 UU No. 7 tahun 1989).
4. Panitera Pengadilan tinggi tingkat pertama memberitahukan dan menyampaikan
salinan memori PK kepada pihak lawan dalam tenggang waktu selambat-lambatnya
14 (Empat Belas) hari.
5. Pihak lawan berhak mengajukan surat jawaban terhadap memori PK dalam
tenggang waktu 30 (Tiga Puluh) hari setelah tanggal di terima salinan permohonan
PK.
6. Panitera Pengadilan tingkat pertama mengirimkan berkas PK ke Mahkamah Agung
selambat-lambatnya dalam tenggang waktu 30 (Tiga Puluh) hari.
7. Panitera Mahkamah Agung menyampaikan salinan putusan PK kepada pengadilan
Agama/Mahkamah Syar’iyah.
8. Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah menyampaikan salinan putusan PK
kepada para pihak selambat-lambatnya dalam tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari.
9. Setelah putusan di sampaikan kepada para pihak maka panitera :
a. Untuk perkara cerai talak :
1. Memberitahukan tentang penetapan hari sidang penyaksian ikrar talak
dengan memanggil Pemohon dan Termohon
2. Memberikan akta cerai sebagai surat bukti cerai selambat-lambatnya dalam
waktu 7 (Tujuh) hari
b. untuk perkara cerai gugat :
9
1. Memberikan akta cerai sebagai surat bukti cerai selambat-lambatnya dalam
waktu 7 (Tujuh) hari.
10
BAB III
3.1 PEMBAHASAN
Tragedi Bom Bali terjadi tanggal 12 Oktober 2002 di jalan Legian, Kuta, Bali
telah menewaskan 202 orang dan mencederai 209 jiwa lainnya yang kebanyakan adalah
turis asing yang tengah berlibur di Bali. Aksi ini dikecam oleh banyak pihak sebagai aksi
teroris terparah dalam sejarah Indonesia.
Ditetapkan 3 tersangka utama dalam kasus ini, yaitu Imam Samudra, Amrozi, dan Ali
Gufron beserta sekelompok anak buah yang mengatasnamakan Syariat Islam dalam aksi
Bom ini.
11
3.1.1 Amrozi bin Nurhasyim
Amrozi bin Nurhasyim ditangkap kepolisian pada tanggal 7 November 2002 karena
diduga terlibat dalam merencanakan aksi pemboman Bali dan berperan sebagai
pengangkut bom. Sidang perdana Amrozi berlangsung pada 12 Mei 2003 di Gedung
Nari Graha, Denpasar yang dipimpin oleh ketua majelis hakim PN Denpasar, I Made
Karna. Jaksa penuntut umum dalam dakwaan dibacakan Urip Tri Gunawan
mendakwa Amrozi melanggar pasal 14 jo pasal 6 Perpu No 1 Tahun 2002 jo pasal
1 UU No 15 Tahun 2003 jo pasal 1 Perpu No 2 Tahun 2002 jo pasal 1 UU No 16
Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Ia juga
dipersalahkan melanggar pasal 55 ayat 1 ke (1) KUHP, karena dengan sengaja
menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan sehingga menimbulkan suasana
teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas, atau menimbulkan korban secara
massal dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda
orang lain.
Dalam sidang yang dihadiri Menkeh dan HAM Yusril Ihza Menhendra ini, Amrozi
didampingi enam penasihat hukumnya, yakni Mahendradata, Made Rahman
Marasabessi, Qadar Faisal, Ahmad Mihdan, Fahmi, dan Wirawan Adnan.
Jaksa Urip Tri Gunawan, dalam dakwaannya merinci secara detail bagaimana peran
Amrozi dalam kasus bom Bali. Pada Februari 2002, telah mengikuti pertemuan di
Bangkok Thailand bersama Ali Gufron, Sulkifli, Marzuki, Wan Min Muhamad, dan
Dr Ashari.
Dalam dakwaannya, JPU juga menyebutkan bahwa Amrozi ikut pertemuan di Masjid
Agung Surakarta, yang membahas rencana mengeboman Konsulat AS di Denpasar
12
dan pembagian tugas. Amrozi, lanjut Urip mendapat tugas menyiapkan bahan
peledak, sedangkan Idris mempersiapkan transportasi dan Imam Samudra
menyiapkan dana dan menentukan sasaran.
Pada tanggal 7 Agustus 2003, hakim menyatakan Amrozi terbukti bersalah karena
turut merencanakan dan berperan sebagai pengangkut bom dalam aksi bom Bali I
dan ia dijatuhi hukuman mati.
Abdul Aziz alias Imam Samudra ditangkap pada tanggal 21 November 2002 ketika
hendak menyebrang ke Sumatera melalui kapal feri. Polisi meyakini Imam Samudra
berperan sebagai “komandan lapangan” bom Bali I. Dalam persidangan pada tanggal
2 Juni 2003, Imam Samudra juga dijerat pasal berlapis. Pasal-pasal tersebut yakni
primer pasal 14 jo pasal 6 Perpu No 1 Tahun 2002 jo pasal 1 UU No 15 Tahun
2003 jo pasal 1 Perpu No 2 Tahun 2002 jo pasal 1 UU No 16 Tahun 2003 yo
pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.
Selain itu, Imam Samudra juga dijerat pasal 1 ayat (1) UU Darurat No 12 tahun
1951 jo pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP dan pasal 187 ke 1 dan 2 jo pasal 55 ayat (1)
ke 1 jo pasal 63 KUHP.
13
Pada tanggal 10 September 2003, Imam Samudra dinyatakan bersalah mengatur
pemboman dan dijatuhi hukuman mati.
3 Desember 2002 Ali Gufron alias Muklas alias Huda bin Abdul Haq alias Sofwan
ditangkap di Klaten, Jawa Tengah. Muklas mulai diperiksa tim penyidik di Polda
Bali, bersama-sama Abdul Azis alias Imam Samudra dan Amrozi.Tim penyidik
melimpahkan dua berkas atas tersangka Muklas ke Kejaksaan Tinggi Bali. Muklas
diduga sebagai perencana dan pelaku, termasuk koordinator pelaksana di lapangan.
Dia dituntut pasal 6, 11, 13 huruf a, 14 dan 15 Perpu Nomor 1 Tahun 2002 tentang
Pemberantasan Tindak, juncto Pasal 1 Perpu No 2/2002 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Terorisme pada Peristiwa Peledakan Bom di Bali dengan ancaman
hukuman mati
Pada 16 Juni 2003, Persidangan kasus Muklas mulai digelar di Aula Gedung Wanita
Nari Graha Renon, Denpasar. Jaksa Penuntut Umum Putu Indriati menuntut dengan
dakwaan berlapis dalam Perpu Nomor 1 Tahun 2002 tentang pemberantasan tindak
pidana terorisme, yaitu sebagai perencana peledakan bom dan dengan sengaja
menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror
dan korban jiwa serta kerusakan fasilitas umum. Terdakwa juga terlibat pemufakatan
jahat dan menyediakan dana untuk tindak pidana terorisme. Muklas juga didakwa
melanggar Pasal 1 Ayat 1 UU Darurat No 12/1951 tentang senjata api dan bahan
peledak karena terdakwa memiliki dan menyimpan senjata api tanpa izin, yaitu pistol
jenis FN US Army dan delapan butir peluru.
3.2 ANALISA
Habis sudah upaya hukum yang dilakukan ketiga terpidana mati Bom Bali untuk
dieksekusi secara pancung. Pada akhirnya Mahkamah Konstitusi (MK) menolak PK yang
diajukan oleh tim kuasa hukum terpidana. Atas putusan tersebut, terpidana mati bom
Bali itu tetap akan dieksekusi dengan cara ditembak. Dalam sidang putusan yang
dipimpin Mahfud M.D. tersebut, MK menilai hal-hal yang diajukan pemohon mengenai
15
pengujian tidak beralasan, sehingga harus ditolak. Rasa sakit yang dialami terpidana mati
merupakan konsekuensi logis yang melekat dalam pidana mati sebagai akibat
pelaksanaan pidana mati terhadap terpidana sesuai tata cara yang berlaku.
Karena itu, eksekusi dengan ditembak tidak termasuk kategori penyiksaan terhadap diri
terpidana mati,dengan dasar tersebut, seluruh permohonan pemohon, ditolak. Selain itu,
penggunaan hak untuk tidak disiksa dalam pasal 28 I UUD 1945 dinilai tidak tepat.
Tidak ada satu pun cara yang menjamin tiadanya rasa sakit dalam eksekusi,
bahkan semua mengandung risiko terjadinya ketidaktepatan dalam pelaksanaan yang
menimbulkan rasa sakit. Namun, hal itu bukan penyiksaan sebagaimana dimaksud pasal
28 I UUD 1945, sehingga UU Nomor 2/Pnps/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana
Mati yang dijatuhkan pengadilan di lingkungan peradilan umum dan militer tidak
bertentangan dengan UUD 1945.
Oleh karena itu, PK yang diajukan ditolak karena dianggap tidak mempunyai
dasar hukum yang jelas serta dianggap tidak melanggar pasal 28 ayat 1 UUD 1945.
Selain itu, Eksekusi dengan tembak tetap dijalankan sesuai Undang-undang No. 2/
PNPS/1964 tentang Tata Cara Pidana Mati.
16
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 KESIMPULAN
17
Berdasarkan analisis dari kasus ini kami dapat mengambil kesimpulan bahwa :
1. Hukum yang berlaku di Indonesia bersifat Universal yakni berlaku bagi semua
kalangan tanpa memandang SARA
2. Hukum yang berlaku luas di Indonesia adalah Hukum Negara Indonesia dan
bukan Hukum Syariat Islam.
3. Kedudukan Mahkamah Konstitusi di lembaga hukum Indonesia memiliki
pengaruh yang kuat terhadap segala keputusan Hukum sehingga apapun yang
menjadi keputusan MK tidak dapat diganggu gugat. Hal tersebut dialami oleh
Amrozi Cs beserta kuasa Hukumnya. Mereka menghormati semua keputusan MK
walaupun tidak sepaham.
4. Tindakan pengajuan PK dianggap sebagai usaha TPM untuk mengulur waktu
eksekusi walaupun mereka menyatakan tidak demikian.
5. Faktor yang melatarbelakangi penundaan eksekusi pidana mati terhadap kasus
bom Bali Imam Samudra dipicu dari proses upaya-upaya hukum Terpidana.
Penundaan eksekusi pidana mati terhadap Terpidana Imam Samudra alias Abdul
Aziz tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku di Indonesia karena seorang
Terpidana mati yang akan melaksanakan eksekusi, melalui proses upaya-upaya
hukum sebagai penundaan pelaksanaan putusan pengadilan yang merupakan hak
terpidana pada kasus yang mengakibatkan banyak korban ataupun kejahatan
terhadap kemanusiaan,
6. Eksekusi mati tetap berjalan sesuai dengan Undang-Undang No. 2/PNPS/1964
yakni dengan tembak.
7. Pada waktu itu, pengajuan PK masih diterima dan diproses oleh MK karena TPM
mengajukan sesuai prosedur tata cara pengajuan PK yang disusun oleh MK.
4.2 SARAN
1. Mengingat kasus Bom Bali ini telah menewaskan ratusan orang, terlebih banyak orang asing
yang menjadi sasaran utama dari peristiwa naas ini. Tak luput kita sebagai makhluk sosial yang
saling membutuhkan dan bisa merasakan kehilangan anggota keluarga yang dicintai untuk
memberikan simpati terhadap keluarga korban dari peristiwa itu. Salah satu bentuk simpati
18
terhadap keluarga yang ditinggal akibat tragedi 12 Oktober 2002 tersebut, tidak lain dalam wujud
konkret dengan perlu dibuatnya peraturan tentang penetapan waktu yang tegas dalam hal waktu
menanti saatnya eksekusi mati terhadap terpidana. Walaupun tidak ada jaminan bahwa dengan
tereksekusinya para terpidana kasus bom bali ini dapat mengembalikan korban, setidaknya
dengan ketepatan waktu dalam melaksanakan eksekusi mati ini dapat meringankan beban atau
mengurangi perih dan duka bagi keluarga korban.
2. Perlu adanya transparansi dan konsistensi penegak hukum di kalangan Hukum Indonesia.
LAMPIRAN
19
UU yang terkait dengan kasus terorisme
20
244, Pasal 245, dan Pasal 246.
Pasal 28 Ayat 1 huruf I berbunyi “Hak untuk hidup,hak untuk tidak disiksa, hak
kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui
sebagai pribadi di hadapan hukum dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang
berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan
apapun”
DAFTAR PUSTAKA
21
Kansil, dan Christin Kansil, 1971 cetakan 22. Pancasila dan Udang-Undang Dasar
1945. Jakarta : Pradnya Paramita
http://batampos.co.id/Utama/Utama/MK_Tolak_Pancung_Amrozi_Cs.html
hukum.unsrat.ac.id/uu/uu_2pnps_1964.pdf
22