You are on page 1of 45

BAB I

PENDAHULUAN
1.1.

Latar Belakang
Jaundice dapat diartikan sebagai diskolorasi kuning pada kulit, membran mukosa,
dan sklera akibat peningkatan kadar bilirubin dalam darah. Pada orang dewasa,
akan tampak kuning bila kadar bilirubin serum >2 mg/dL, sedangkan pada
neonatus bila kadar bilirubin >5 mg/dL.
Jaundice merupakan kondisi yang paling sering yang ditemukan pada
neonatus. Diskolorasi kuning pada kulit dan sklera pada ikterus neonatorum
merupakan

hasil

dari

akumulasi

unconjugated

bilirubin.

Unconjugated

hyperbilirubinemia merefleksikan fenomena transisional yang normal pada


sebagian besar neonatus. Namun, pada beberapa neonatus, konsentrasi total
bilirubin serum dapat sangat tinggi, dimana dapat menimbulkan kekhawatiran
karena unconjugated bilirubin adalah neurotoksik dan dapat menyebabkan
kematian pada neonatus maupun sequele neurologis pada bayi yang bertahan
hidup (kernikterus atau acute bilirubin encephalopathy). Karena itu, adanya
ikterus neonatorum perlu dilakukan evaluasi.
Data paling terakhir menunjukan 60% bayi cukup bulan dan 80% bayi
prematur akan mengalami jaundice yang dapat dideteksi secara klinis dalam
minggu pertama kehidupannya, dan 5,1% dari neonatus tersebut memiliki
konsentrasi total bilirubin serum (TBS) >12,9 mg/dl. Sebagian besar ikterus yang
terjadi tidak memiliki penyebab dasar atau disebut ikterus fisiologis yang akan
menghilang pada akhir minggu pertama kehidupan pada bayi cukup bulan.
Sebagian kecil memiliki penyebab yang mendasar yang disebut juga ikterus
patologis.
1.2 Tujuan

Tujuan dari penulisan referat ini adalah untuk mempelajari mengenai ikterus
neonatorum, baik dari definisi, etiologi, epidemiologi, patofisiologi, gejala klinis,
anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, terapi, komplikasi,
prognosis, serta pencegahannya.

BAB II

ANATOMI dan FISIOLOGI HEPAR


2.1 Anatomi Hepar
Hepar adalah organ metabolik terbesar dan terpenting di tubuh yang terletak
di kuadaran kanan atas abdomen (sebagian besar), epigastrium, dan memanjang
sampai ke hipokondrium kiri, dimana dilindungi oleh diafragma dan thoracic cage.
Beratnya kira-kira 1500 gram dan merupakan 2,5% dari total berat tubuh orang
dewasa. Pada bayi (ketika masih berperan sebagai organ hematopoetic), beratnya
sekitar 5% dari total berat tubuh.1
Secara anatomi, hepar dibagi mejadi 4 lobus yaitu, lobus kanan, lobus kiri,
lobus kaudatus, dan lobus quadratus.1
Hati tersusun menjadi unit-unit fungsional yang dikenal sebagai lobulus, yaitu
susunan heksagonal jaringan yang mengelilingi sebuah vena sentral. Di tepi luar
setiap lobulus, terdapat tiga pembuluh yaitu cabang arteri hepatika, cabang vena
porta, dan duktus biliaris. Darah dari cabang-cabang arteri hepatika dan vena porta
tersebut mengalir dari perifer lobulus ke dalam ruang kapiler yang melebar yang
disebut sinusoid. Sel sel Kupffer melapisi bagian dalam sinusoid dan mengancurkan
sel darah merah yang lama serta bakteri yang lewat bersama darah. 2
Vena sentral dari semua lobulus hati menyatu untuk membentuk vena hepatika, yag
menyalurkan darah keluar dari hati. Terdapat sebuah saluran tipis penyalur empedu,
kanalikulus biliaris, yang berjalan diantara sel-sel di dalam lempeng hati. Hepatosit
secara terus menerus mengeluarkan empedu ke dalam saluran tipis tersebut, yang
mengangkutnya ke duktus biliaris di perifer lobulus. Duktus biliaris dari berbagai
lobulus menyatu untuk akhirnya membentuk duktus biliaris komunis, yang
menyalurkan empedu dari hati ke duodenum.2

Gambar 1. Lobulus hati


2.1 Fisiologi Hepar
Hepar penting bagi sistem pencernaan untuk sekresi garam empedu, tetapi hepar juga
meakukan berbagai fungsi lain, yaitu :2,3
a. Pengolahan metabolik kategori nutrien utama (karbohidrat, lemak, protein)
setelah penyerapan dari saluran cerna.
b. Detoksifikasi atau degradasi zat-zat sisa dan hormon serta obat dan senyawa
asing lainnya.
c. Sintesis berbagai protein plasma, mencakup protein-protein penting untuk
pembekuan darah serta untuk mengangkut hormon tiroid, steroid, dan
kolesterol dalam darah.
d. Penyimpanan glikogen, lemak, besi, tembga, dan banyak vitamin.
e. Pengaktifan vitamin D yang dilaksanakan oleh hati bersama ginjal.
f. Pengeluaran bakteri dan sel darah merah yang telah rusak berkat adanya sel
Kupffer.
g. Ekskresi bilirubin (produk penguraian yang berasal dari dekstruksi sel darah
merah yang telah rusak) dan kolesterol.
BAB III
METABOLISME BILIRUBIN

Bilirubin merupakan produk akhir katabolisme heme, yang sebanyak 75% berasal
dari hemoglobin dan 25% dari heme di hepar (enzim sitokrom, katalase, dan heme
bebas), mioglobin otot, serta eritropoesis yang tidak efektif di sumsum tulang.4
Tempat konversi dari heme ke dalam bentuk bilirubin adalah di dalam
retikulo-endotelial

sistem

(RES),

dan

bersama

dengan

bilirubin,

molekul

karbonmonoksida (CO) dan besi (Fe) dihasilka sebagai produk dari katabolisme.
Adanya CO pada ekspirasi dan pengukuran CO-hemoglobin dapat menunjukan
kuantitas dari pembentukan bilirubin di bayi yang baru lahir. Pembentukan ini
menunjukan rata-rata produksi bilirubin pada bayi matur sehat adalah 6-8
mg/kgBB/hari, dan pada orang dewasa sehat ialah sebesar 3-4 mg/kgBB/hari.4,5

Tabel 1. Produk katabolisme heme


Eritrosit secara fisiologis dapat bertahan/berumur sekitar 120 hari pada orang
dewasa dan 90 hari pada bayi, eritrosit mengalami lisis 1-2 x 10 8 setiap jamnya pada
seorang dewasa dengan berat badan 70 kg, dimana diperhitungkan hemoglobin yang
turut lisis sekitar 6 gr per hari.4,6
Katabolisme heme dari semua hemeprotein terjadi dalam fraksi mikrosom sel
retikuloendotel oleh sistem enzym yang kompeks yaitu heme oksigenase yang
merupakan enzym dari keluarga besar sitokrom P450. Langkah awal pemecahan
gugus heme ialah pemutusan jembatan metena membentuk biliverdin, suatu

tetrapirol linier. Besi mengalami beberapa kali reaksi reduksi dan oksidasi, reaksi ini
memerlukan oksigen dan NADPH. Pada akhir reaksi dibebaskan Fe3+ yang dapat
digunakan kembali, karbon monoksida yang berasal dati atom karbon jembatan
metena dan biliverdin. Biliverdin, suatu pigmen bewarna hijau dan larut air akan
direduksi oleh biliverdin reduktasi yang menggunakan NADPH sehingga rantai
metenil menjadi rantai metilen antara cincin pirol III IV dan membentuk pigmen
bewarna kuning yaitu bilirubin. Perubahan warna pada memar dari warna keunguan
akan secara perlahan berubah warna menjadi kekuningan merupakan petunjuk reaksi
degadrasi ini.6

Gambar 2. Mikrosomal sistem heme oksigenase 6


Dalam setiap 1 gr hemoglobin yang lisis akan membentuk 35 mg bilirubin.
Pada orang dewasa dibentuk sekitar 250 350 mg bilirubin per hari, yang dapat
berasal dari pemecahan hemoglobin, proses eritropoetik yang tidak efektif dan
pemecahan hemeprotein lainnya. Bayi menghasilkan lebih banyak bilirubin

perkilogram berat badannya, karena jumlah eritrosit mereka lebih banyak, dan umur
hidup eritrositnya lebih pendek.6
Bilirubin dari jaringan retikuloendotel adalah sukar larut dalam air, sehingga
memerlukan molekul karier, yaitu albumin, untuk transport bilirubin dari tempatnya
diproduksi dalan sistem retikuloendotelial ke dalam hati untuk dieksresi. Rata rata
konsentrasi albumin serum pada bayi baru lahir cukup bulan adah 3 sampai 3,5 g/dl,
albumin dapat mengikat bilirubin pada konsentrasi maksimum sekitar 25-30 mg/dl.
Bayi baru lahir mempunyai kapasitan ikatan plasma yang rendah terhadap bilirubin
karena konsentrasi albumin yang rendah dan kapasitas ikatan molar yang kurang.
Dalam 100 ml plasma hanya lebih kurang 25 mg bilirubin yang dapat diikat kuat pad
albumin, bilirubin yang melebihi jumlah ini hanya terikat longgar hingga mudah
lepas dan berdifusi ke jaringan. Bilirubin yang bebas dapat masuk ke dalam otak dan
merusak jaringan saraf.6
Bilirubin dalam serum terdapat 4 bentuk yang berbeda, yaitu :7
1. Bilirubin tak terkonjugasi yang terikat dengan albumin dan membentuk
sebagian besar bilirubin tak terkonjugasi dalam serum.
2. Bilirubin beba.s
3. Bilirubin terkonjugasi yaitu bilirubin yang siap diekskresikan melalui
ginjal / sistem bilier
4. Bilirubin terkonjugasi yang terikat dengan albumin serum (-bilirubin).

Selanjutnya, metabolisme bilirubin terjadi dalam hati, yang dapat dibagi


menjadi 3 proses, yaitu :6,7
1. Pengambilan (uptake) bilirubin oleh sel hati
2. Konjugasi bilirubin dengan glukoronat dalam retikulum endoplasma

3. Sekresi dari bilirubin konjugasi ke dalam empedu


Pengambilan (uptake) Bilirubin oleh Hati
Sifat bilirubin adalah sulit larut dalam air, namun kelarutannya dalam plasma akan
meningkat menjadi nonkovalen dengan berikatan dengan albumin. Beberapa senyawa
seperti antibiotika dan obat-oabatan bersaing dengan bilirubin untuk mengadakan
ikatan dengan albumin. Sehingga, dapat mempunyai pengaruh klinis. Obat-obatan
yang dapat melepaskan ikatan bilirubin dengan albumin adalah seperti analgetik,
antipiretik, antibiotik dengan kandungan sulfa (sulfamethizole, sulfadiazin),
penicilin.6
Di dalam hati, bilirubin dilepaskan dari albumin dan diambil pada permukaan
sinusoid dari hepatosit melalui suatu sistem transport berfasilitas (carrier-mediated
saturable system) yang saturasinya sangat besar. Sehingga membantu meningkatkan
gradien konsentrasi uptake bilirubin dan untuk mengatasi perbedaan afinitas antara
albumin dan glutation S-transferase. Setelah bilirubin memasuki hepatosit, bilirubin
berikatan dengan protein sitosol tertentu, yang dapat menjaga kelarutan bilirubin
sebelum dikonjugasi, yaitu ligandin (glutation S-transferase) dan protein Y. Protein
ini juga dapat mencegah terjadinya reflux dari bilirubin ke dalam aliran darah.6,4
Konjugasi Bilirubin
Bilirubin merupakan bentuk nonpolar. Di dalam hepatosit, bilirubin akan mengalami
konjugasi menjadi bentuk yang lebih polar sehingga lebih mudah diekskresi ke dalam
empedu dengan penambahan 2 molekul asam glukoronat. Proses ini dikatalisis oleh
enzim

diglukoronida

transferase

dan

merubah

formasi

menjadi

bilirubin

monoglukoronida yang selanjutnya menghasilkan bilirubin diglukoronida. Enzim


tersebut terutama terletak dalam retikulum endoplasma halus dan menggunakan
UDP-asam glukoronat sebagai donor glukoronil (yang disebut juga dengan enzim

bilirubin uridine diphospate gluconasyltransferase). Aktifitas UDP-glukoronil


transferase ini dpat diinduksi oleh sejumlah obat misalnya fenobarbital.6

Gambar 3. Metabolisme Bilirubin


Sekresi Bilirubin
Bilirubin yang sudah terkonjugasi akan disekresi ke dalam empedu melalui membran
kanalikuli lewat mekanisme pengangkutan yang aktif dan mungkin bertidak sebagai
rate limiting enzyme metabolisme bilirubin. Protein yang terlibat adalah MRP-2
(multidrug-resistance-like protein 2) yang disebut juga dengan multispecific organic
anion transporter (MOAT). Protein ini terletak di dalam membran plasma dari
membran kanalikuli empedu. Sekresi bilirubin juga dapat diinduksi dengan obatobatan yang dapat menginduksi konjugasi bilirubin, dimana eksresi bilirubin
terkonjugasi dapat meningkat. Karenanya, sistem konjugasi dan sekresi bilirubin
berlaku sebagain unit fungsional yang terkoordinasi.6

Metabolisme Bilirubin di Usus


Proses minum akan merangsang pengeluaran empedu ke dalam duodenum. Setelah
mencapai ileum terminalis dan usus besar, sebagian kecil bilirubin terkonjugasi akan
dilepaskan glukoronidanya oleh enzim yang spesifik (-glukoronidase) menjadi
bilirubin indirek, dan dengan bantuan flora usus bilirubin terkonjugasi selanjutnya
dirubah menjadi urobilinogen.6
Urobilinogen tidak bewarna, dan sebagian kecil akan diabsorpsi dan
diekskresikan kembali lewat hati yang disebut dengan siklus urobilinogen
enterohepatik dan dibawa ke ginjal yang kemudian dioksidasi menjadi urobilin yang
memberi warna kuning pada urine. Sebagian besar urobilinogen dirubah oleh flora
kolon menjadi urobilin atau sterkobilin yang bewarna kuning dan diekskresikan
melalui feses. Warna feses yang berubah menjadi gelap ketika dibiarkan terkena
udara disebabkan oksidasi urobilinogen yang tersisa menjadi urobilin.6
Berdasarkan keempat tahapan tersebut, ikterus dapat terjadi karena :4
a. Pembentukan bilirubin yang berlebihan
b. Defek pengambilan bilirubin oleh sel hati
c. Defek konjugasi bilirubin
d. Penurunan eksresi bilirubin
e. Campuran : peningkatan kadar bilirubin terjadi karena produksi yang
berlebihan dan sekresi yang menurun.
Gangguan berupa pembentukan yang berlebihan, defek pengambilan, dan
konjugasi bilirubin menghasilkan peningkatan bilirubin indirek. Penurunan ekskresi
bilirubin akan menyebabkan peningkatan kadar bilirubin direk (kolestasis).4
BAB IV
IKTERUS NEONATORUM
4.1 Definisi
Ikterus atau jaudice adalah keadaan diskolorasi kuning pada jaringan (kulit,
sklera, dan lain-lain), yang disebabkan oleh deposisi bilirubin.4

10

Ikterus neonatorum adalah keadaan klinis pada bayi yang ditandai oleh
pewarnaan ikteus pada kulit dan sklera skibat akumulasi bilirubin tak
terkonjugasi yang berlebih. Ikterus terlihat secara klinis pada anak dan orang
dewasa bila konsentrasi serum bilirubin >2 mg/dl. Pada neonatus, ikterus baru
terlihat secara klinis bila kadar bilirubin serum 5-7 mg/dl.7,8
Kadar bilirubin serum total (BST) > 5 mg/dl (86 mol/L) disebut dengan
hiperbilirubinemia. Hiperbilirubinemia umumnya normal, hanya 10% yang
berpotensi menjadi patologis (ensefalopati bilirubin).9
4.2 Epidemiologi
Ikterus neonatorum merupakan hal yang paling sering terjadi karena hampir
semua bayi baru lahir mengasilkan bilirubin tak terkonjugasi serum lebih dari 1,8
mg/dl pada minggu pertama kehidupan.10
Insidensi terjadinya ikterus neonatorum adalah 25% 60% dari semua
neonatus cukup bulan dan 80% dari semua neonatus kurang bulan.11
Di Indonesia, didapatkan data ikterus neonatorum dari beberapa rumah sakit
pendidikan. Sebuah studi cross-sectional yang dilakukan di Rumah Sakit Umum
Pusat Rujukan Nasional Cipto Mangunkusomo selama tahun 2003, menemukan
prevalensi ikterus pada bayi baru lahir sebesar 58% untuk kadar di atas 5 mg/dL
dan 29,3% dengan kadar bilirubin di atas 12 mg/dL pada miggu pertama
kehidupan. Insidens ikterus neonatorum di RS Dr. Soetomo Surabaya sebesar
30% pada tahun 2000 dan 13% pada tahun 2002.1
4.3 Etiologi
Hiperbilirubinemia dapat disebabkan karena proses fisiologis ataupun patologis.
Risiko hiperbilirubinemia meningkat pada bayi yang mendapat ASI, bayi kurang
bulan, dan bayi mendekati cukup bulan. Bayi yang diberi ASI memiliki kadar
bilirubin serum yang lebih tinggi dibandingkan yangg mendapat susu formula,

11

yang mungkin disebabkan oleh karena frekuensi menyusui yang tidak adekuat,
kehilangan berat badan/dehidrasi.7
Secara umum, peningkatan kadar bilirubin umum terjadi pada setiap bayi baru
lahir terjadi karena : 12
-

Hemolisis yang disebabkan oleh jumlah sel darah merah lebih banyak
dan berumur lebih pendek.

Fungsi hati yang belum sempurna (jumlah dan fungsi enzim


glukuronil transferase, UDPG/T dan ligand dalam protein belum
adekuat) sehingga penurunan ambilan bilirubin oleh hepatosit dan
konjugasi.

Sirkulasi enterohepatik yang meningkat karena masih berfungsinya


enzim glukuronidase di usus dan belum ada nutrien.

Peningkatan kadar bilirubin yang berlebihan (ikterus non fisiologis) dapat


disebabkan oleh keadaan:12
-

Hemolisis akibat inkompatibilitas ABO atau isoimunisasi Rhesus,


defisiensi G6PD, sferositosis herediter, dan pengaruh obat.

Infeksi, septikemia, sepsis, meningitis, infeksi saluran kemih

Ibu diabetes

Asidosis

Hipoksia/asfiksia

Sumbatan traktus digestif yang mengakibatkan peningkatan sirkuasi


enterohepatik.

Penyebab ikterus dapat disebabkan oleh :


a. Ikterus prehepatik
Terjadi karena produksi bilirubin yang meningkat yang terjadi pada
hemolisis sel darah merah. Peningkatan pembentukan bilirubin dapat
disebabkan oleh :

12

Kelaianan sel darah merah (pada hemolisis yang meningkat pada


inkompatibilitas darah Rh, ABO, defisiensi G6PD)

Infeksi seperti malaria, sepsis

Toksin yang berasal dari luar tubuh seperti : obat-obatan, maupun


yang berasal dari dalam tubuh seperti yang terjadi pada reaksi
transfusi dan eritroblastosis fetalis.7

b. Ikterus pascahepatik
Bendungan pada saluran emepedu akan mengakibatkan peninggian
bilirubin konjugasi yang larut dalam air. Akibatnya bilirubin akan
mengalami regurgitasi kembali ke dalam sel hati dan terus memasuki
peredaran darah, masuk ke ginjal dan diekskresikan oleh ginjal sehingga
ditemukan bilirubin dalam urin. Sebaliknya karena ada bendungan,
bilirubin ke dalam saluran cerna berkurang sehingga tinja akan bewarna
dempul karena tidak mengandung sterkobilin.7
c. Ikterus hepatoseluler
Terjadi kerusakan hepatosit yang menyebabkan konjugasi bilirubin
terganggu

sehingga

bilirubin

direk

akan

meningkat

dan

juga

menyebabkan bendungan di dalam hati sehingga bilirubin darah akan


regurgitasi ke dalam sel hati yang kemudian menyebabkan peninggian
kadar bilirubin konjugasi di dalam aliran darah. Dapat terjadi pada
gangguan fungsi hepat, akibat asidosis, hipoksia, infeksi, atau tidak
terdapatnya enzim glukoronil transferase (sindrom Criggler
Najjar). Penyebab lain dapat berupa defisiensi protein Y yang
penting

dalam

uptake

bilirubin,

dan

obat-obatan

yang

dikonsumsi seperti salisilat. 7


4.4 Faktor Risiko
Faktor resiko untuk timbulnya ikterus neonatorum dapat dibagi menjadi :12
Faktor Maternl

Faktor Perinatal

Faktor Neonatus

13

Ras atau kelompok


etnik tertententu
(Asia, Yunani,
Native American)

Trauma lahir
(selfahematom)
nfeksi (bakteri, virus,
protozoa)

Komplikasi

laki laki
Prematuritas
BBLR
Obat (steptomisin,
kloramfenikol,

kehamilian (DM,
ketuban pecah dini,
inkompatibilitas
ABO dan Rh)

Pemberian ASI

sulfisoxazol)
Rendahnya asupan
ASI
Hipoalbuminemia
pada bayi kurang
bulan

Tabel 2. Faktor Resiko Ikterus Neonatorum


4. 5 Patofisiologi
Jaundice merupakan hasil dari akumulasi dari bilirubin yang terjadi di kulit
dan mukosa. Hemoglobin didegradasi oleh heme oksigenasi menjadi biliverdin, dan
oleh biliverdin reduktasi diubah menjadi bilirubin. Pada bayi baru lahir, terjadi
perubahan (transisi) dari pengeluaran bilirubin yang dilakukan oleh placenta in utero
menjadi konjugasi bilirubin oleh hepatosit secara independen, ekskresi ke sistem
bilier, dan eliminasi melalui sistem gastrointestinal. Bilirubin dibagi menjadi bilirubin
konjugasi (direk) dan bilirubin tak terkonjugasi (indirek). Hiperbilirubinemia fisiologi
atau patologi dapat disebabkan karena peningkatan hemolisis atau menurunnya
metabolisme di hati karena konjugasi hepatik yang terganggu. Hiperbilirubinemia
direk didefinisikan bila bilirubin direk lebih besar dari 1,0 mg/dL, atau 15% dari total
bilirubin, dan selalu mengindikasi proses patologi. Selain itu jaundice yang terjadi
pada hari pertama kehidupan biasanya patologis.13
a.

Ikterus Fisiologis

14

Pada hampir setiap bayi, meningkatnya bilirubin indirek terjadi selama


minggu pertama kehidupan. Bentuk ini disebut ikterus fisiologis. Umumnya
kadar bilirubin tak terkonjugasi pada minggu pertama >2 mg/dL. 7
Pada bayi sehat dan cukup bulan, akan terlihat pada hari ke 2 dan ke 3
dan biasanya hilang pada hari ke 6-8 tapi mungkin tetap ada sampai hari ke
14 dengan maksimal total kadar bilirubin serum <12 mg/dl. Pada bayi kurang
bulan sehat, ikterus akan terlihat pada hari ke 3-4 dan hilang pada hari ke 1020 dengan kadar serum maksimal <15 mg/dl.11
Pada bayi cukup bulan yang mendapat susu formula, kadar bilirubin
akan mencapai pincaknya sekitar 6 - 8 mg/dL pada hari ke-3 kehidupan dan
kemudian akan menurun cepat selama 2 - 3 hari diikuti dengan penurunan
yang lambat sebesar 1 mg/dL selama 1 2 minggu. Pada bayi cukup bulan
yang mendapat ASI, kadar bilirubin puncak akan mencapai kadar yang lebih
tinggi (7 14 mg/dL) dan penurunan terjadi lebih lambat. Bisa terjadi dalam
waktu 2 - 4 minggu, bahkan dapat mencapai waktu 6 minggu.7
Ikterus fisiologi terjadi dari 2 fenomena berikut :10

Produksi bilirubin yang meningkat karena pemecahan eritosit


yang meningkat pada neonatus. Hal ini disebabkan karena
pendeknya masa hidup dari eritrosit dan massa eritosit
neonatus lebih besar.10

Kapasitas ekskretori hepatik yang rendah karena rendahnya


ikatan protein ligandin di hepatosit dan karena rendahnya
aktivitas dari enzim glukoronil transferase. Enzim ini
bertanggung jawab dalam pengikatan bilirubin dan asam
glukoronat sehingga membentuk bilirubin direk.10

b.

Ikterus Patologis7
Keadaan ini harus dicurigai jika kriteria ikterus fisiologis tidak terpenuhi.
Kriteria ikterus non fisiologis :

15

1.

Ikterus mulai sebelum berusia 36 jam

1.

Penungkatan kadar bilirubin serum >0,5 mg/dl

2.

Total bilirubin serum >15 mg/dl pada bayi cukup bulan dan diberi susu
formula

3.

Total bilirubin serum >17 mg/dl pada bayi cukup bulan dan diberi ASI

4.

Ikterus klinis >8 hari pada bayi cukup bulan dan >14 pada bayi kurang
bulan.

5.

Adanya tanda-tanda penyakit yang mendasari pada setiap bayi (muntah


letargis, malas menetek, peurunan berat badan yang cepat, apnea,
takipnea, atau suhu yang tidak stabil).

c.

Ikterus pada bayi yang mendapat ASI (breastmilk jaundice dan breast feeding
jaundice)7,9
Pada sebagian bayi yang mendapat ASI eksklusif, dapat terjadi ikterus
yang berkepanjangan yang terjadi pada akhir minggu pertama kehidupan dan
puncaknya terjadi pada minggu ke-2 dan ke-3 kehidupan. Hal ini dapat terjadi
karena adanya faktor tertentu dalam ASI yang diduga meningkatkan absorpsi
bilirubin dalam usus halus. Mekanisme yang terjadi pada ikterus ini temasuk
intake ASI yang kurang sehingga mengakibatkan dehidrasi, penurunan
ekskresi bilirubin fekal akibat terlambatnya pembentukan flora usus pada bayi
yang mendapat ASI, terhambatnya uridine diphosphoglucoronic acid
glucoronl trasnferase (UDPGA) oleh hasil metabolisme progesteron yaitu
pregnane-3-alpha 20 beta-diol yang ada dalam ASI ibu, dan inherent
kandungan ASI seperti asam lemak bebas yang tidak di esterifikasi yang
secara kompetitif menginhibisi konjugasi dari bilirubin.9,13

16

Bila tidak ditemukan faktor resiko lain, ASI tidak perlu dihentikan dan
frekuensi ditambah. Bila keadaan umum bayi baik, aktif, minum kuat, tidak
ada tatalaksana khusus meskipun ada peningkatan kadar bilirubin.12
Breastfeeding jaundice

Breastmilk jaundice

Awitan (hari)

usia 2-5

5-10

Lama (hari)

10

>30

Volume ASI

kurang

sering

diberi tidak bergantung volume

ASI/ASI masih sedikit.

ASI

lebih sering terjadi pada terjadi pada semua anak


anak pertama

dari seorang ibu

BAB

tertunda dan jarang

normal

Kadar bilirubin

paling tinggi 15 mg/dL

bisa mencapai >20 mg/sl

Pengobatan

tidak ada, sangat jarag fototerapi, sangat jarang


terapi sinar

Berhubungan dengan

transfusi tukar

nilai Apgar yang rendah, tidak diketahi


penambahan air gula atau
air, prematuritas

Tabel 3. Perbandingan Breastmilk jaundice & Breastfeeding jaundice9

4.6

Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis pada pasien ikterus neonatorum dapat dilihat dari
perubahan warna kulit menjadi kuning yang dimulai dari wajah dan dahi secara
visual. Kemudian secara gradual akan menyebar ke badan dan ekstrimitas (sefalokaudal), dan jaundice akan hilang secara berkebalikan.10

17

Selain adanya kuning, adanya perubahan neurologi seperti perubahan tonus


otot, kejang atau perubahan menangis menunjukkan bahwa ikterus yang
berbahaya dan membutuhkan atensi untuk menghindati kernikterus. Selain itu
perlu juga dilihat perubahan warna dari bab dan bak bayi.10
Adanya hepatosplenomegali, petekie, dan mikrosefali dapat diasosiakan
dengan anemia hemolitik, sepsis, dan kelainan kongenital.10
4.7

Diagnosis
Untuk menegakkan diagnosis ikterus neonatorum, perlu dilakukan anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan dibantu dengan pemeriksaan penunjang.
Anamnesis 11,14
-

Onset mulainya ikterus. Waktu mulainya ikterus mempunyai arti penting


dalam diagnosis dan penatalaksanaan penderita karena saat munculnya ikterus
mempunyai kaitan erat dengan etiologi.

Riwayat Keluarga. Ditanyakan apakah ada anggota keluarga (kakak/adik)


yang pernah mengalami kuning, terutama bila dilakukan penanganan khusus.
Ditanyakan adakah yang memiliki riwayat anemia, splenektomi atau penyakit
hati dalam keluarga.

Riwayat kehamilan dan kelahiran. Ditanyakan apakah pernah mengalami sakit


selama kehamilan dan obat-obatan apa saja yang dikonsumsi selama hamil.
Apakah ada riwayat trauma saat kelahiran. Juga ditanyakan golongan darah
ibu dn Rhesus.

Riwayat postnatal. Perlu ditanyakan warna BAB, bagaimana asupan ASI nya.

18

Gambar 4. Normogram penentuan risiko hiperbilirubinemia pada bayi sehat


usia 36 minggu atau lebih dengan BBL 2000 gram atau lebih atau usia
kehamilan 35 minggu atau lebih dan BBl 2500 gram atau leebih berdasarkan
Jam Observasi Kadar Bilirubin Serum
Pemeriksaan Fisik
Pada bayi, perlu dilihat bagaimana keadaan umumnya, penentuan usia gestasi
neonatus, apakah ada trauma jalan lahir seperti selfahematom. Kemudian dilihat apakah
ada tanda-tanda infeksi atau sepsis seperti pucat, peteki, hepatosplenomegali,
mikrosefali, kehilangan berat badan, bukti adanya dehidrasi dan juga apakah ada tanda
tanda mengarah ke kernikterus seperti perubahan tonus otot, kejang, atau high pitch cry.

Tanda hipotiroidisme dan warna dari ikterus (kuning oranye : indirek dan hijau
zaitun : direk) juga perlu diperhatikan.11
WHO dalam panduannya menerangkan cara menenjukkan cara menentukan
ikterus secara visual sebagai berikut : 12
-

Pemeriksaan dilakukan dengan pencahayaan yang cukup (di siang hari


dengan cahaya matahari) karena ikterus bisa terlihat lebih parah bila
dilihat dengan pencahayaan buatan dan bisa tidak terlihat pada
pencahayaan yang kurang.

19

Tekan kulit bayi dengan lembut dengan jari untuk mengetahui warna
di bawah kulit dan jaringan subkutan.

Tentukan keparahan ikterus berdasarkan bagian tubuh yang tampak


kuning melalui cara Kramer yaitu :7

a. Derajat I : daerah kepala dan leher, perkiraan kadar bilirubin 4-8


mg/dL
b. Derajat II : tubuh sebelah atau (sebatas umbilikus), perkiraan kadar
bilirubin 5-12 mg/dL
c. Derajat III : tubuh sebelah bawah dan paha sampai lutut, perkiraan
kadar bilirubin 8-16 g/dL
d. Derajat IV : sampai pergelangan lengan dan tungkal, perkiraan kadar
bilirubin 11-18 mg/dL
e. Derajat V : hingga ke telapak tangan dan telapak kaki, perkiraan kadar
bilirubin >15 mg/dL

Gambar 5. Penilaian Jaundice menurut Kramer


Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan bilirubin serum merupakan baku emas penegakan diagnosis
ikterus neonatorum serta untuk menentukan perlunya intervensi lebih lanjut.
Umumnya yang diperiksa adalah bilirubin total. Beberapa centre menyarankan
permeriksaan bilirubin direk, bila kadar bilirubin total >20 mg/dL atau usia bayi
> 2 minggu.12

20

Selain itu perlu juga dilakukan pemeriksaan sebagai berikut :

Hiperbilirubinemia Indirek
Golongan darah dan rhesus bayi dan ibu

Pemeriksaan Coombs

Pemeriksaan hitung darah lengkap (Hb, Ht,


hitung jenis sel darah putih, morfologi sel
darah merah)

Hitung retikulosit

Jika ada hemolisis dan tidak ada


ketidaksesuaian Rhesus atau ABO, mungkin
diperlukan
pemeriksaan
hemoglobin
elektroforesis,
penapisan
G6PD
untuk
mendiagnosis defek sel darah merah

Hiperbilirubinemia Direk
Pemeriksaan fungsi
hati

Penapisan TORCH

USG abdomen

Biopsi hati

Sepsis berlanjut

Tabel 4. Pemeriksaan Penunjang Ikterus Neonatorum11

Berikut adalah bagan pendekatan klinik ikterus neonatorum :

21

Gambar 6. Pendekatan Klinis Ikterus Neonatorum4


4.8 Diagnosis Banding
a. Inkompabilitas ABO
Pada penyakit ini terjadi imunisasi ibu yang terjadi jika eritrosit bocor dari
fetus ke sirkulasi maternal. Eritrosit fetus membawa antigen yang berbeda
yang dikenal sebagai benda asing oleh ibu yang akan membentuk antibodi
untuk melawannya. Antibodi ini (Ig G) melewati barier plasenta ke dalam
sirkulasi fetal dan terikat pada eritrosit fetal. Pada inkompabilitas ABO,
hemolisis terjadi intravaskular, complement-mediated dan biasanya tidak
seberat Rh disease.4,16

22

Gambar 7. Diagnosis Banding Ikterus Neonatorum15


Biasanya timbul pada kehamilan pertama. ABO hemolytic disease
terbatas pada bayi dengan golongan darah A atau B yang lahir dari ibu dengan
golongan darah O. 4
Jaundice yang timbul tidak secepat pada Rh disease, dan kadar
bilirubin >12 mg/dL pada usia 3 hari adalah tipikal. Pada pemeriksaan
laboratorium didapatkan retikulositosis dan Coombs test positif (+) lemah,
walau kadang kadang negatif. Sferositosis merupakan gambaran tersering
yang ditemukan pada sediaan apus darah tepi dari inkompabilitas ABO.4
b. Inkompabilitas Rhesus
Pada penyakit ini, sekuestrasi dan penghancuran eritrosit yang berlapis
antibodi mengambil tempat dalam sistem RES fetus.4

23

Biasanya baru muncul pada kehamilan kedua. Pemeriksaan golongan


darah sebelum kelahiran untuk pemeriksaan antibodi Rh memberikan
infomasi penting sebagai penanganan intrauterin. Jika antibodi Rh ibu muncul
selama kehamilan, pengukuran yang dapat membantu termasuk amniosintesis
serial (dengan pengukuran bilirubin), USG fetus, transfusi intrauterin, dan
partus prematurus. 4
Terapi

profilaksis

adalah

dengan

pemberian

anti-D

globulin

merupakan yang paling membantu untuk mencegah sensitisasi Rh.4


Bayi yang baru lahir biasanya tampak pucat, hepatosplenomegali, dan
cepat menjadi jaundice dalam beberapa jam. Jika berat, bayi dapat lahir
dengan

hidrops

fetalis.

Hasil

pemeriksaan

laboratorium

didapatkan

retikulositosis, anemia, Coombs test positif, dan peningkatan kadar bilirubin


yang cepat. Transfusi tukar merupakan terapi yang penting untuk kasus berat.4
c. Sindrom Crigler Najjar
Disebut juga dengan

jaundice non hemolitik kongenital, yang ditandai

dengan defisiensi bilirubin glukoronil transferase hepatik herediter. Tanpa


kemampuan menkonjugasi dan mengikat bilirubin, bayi dengan sindrom ini
akan ikterus dalam waktu beberapa hari walau tes fungsi hati normal, dan jika
tidak diterapi kadar bilirubin serum dapat mencapai 25-35 mg/dL, juga
berisiko untuk menjadi kernikterus. Terdapat 3 tipe dari sindrom Crigler
Najjar. Bayi dengan sindrom Crigler Najjar tipe 1 membutuhkan terapi
seumur hidup dengan fototerapi nokturnal, dan dengan pemberian fenobarbital
tidak memberikan respon, namun insidensinya jarang. Berbeda dengan tipe II
dimana respon terhadap pemberian terapi fenobarbital dimana menyebabkan
ekskresi bilirubin mono dan diglukoronida.15
d. Gilbert disease

24

Merupakan kelaianan bawaan dengan autosom resesif dengan karakteristik


interminttent jaundice dengan tidak terjadinya hemolisis dan penyakit hati
lainnya. Penyakit ini terjadi karena adanya mutasi pada gen UGT1A1,
sehingga menurunnya produksi dari UGT. Gejala klinis biasanya tidak
spesifik seperti kram perut, lelah, malaise, dan 30% dari pasien asimtomatik.
Pada

pemeriksaan

laboratorium

didapatkan

hiperbilirubinemia

tak

terkonjugasi, pemeriksaan darah lengkap dalam batas normal, pemeriksaan


fungsi hati yang normal, Coombs test negatif. 15
4.9

Kernikterus dan Bilirubin Ensefalopati


Bilirubin indirek (unconjugated) merupakan larut dalam lemak sehingga
toksik dalam sistem saraf pusat, terlebih bila konsentrasi bilirubin indirek
sangat tinggi dan melebihi kapasitas albumin untuk mengikatnya. Bilirubin
ensefalopati lebih menunjukkan kepada manifestasi klinis yang timbul akibat
efek toksis bilirubin pada sistem saraf pusat yaitu basal ganglia, dimana
keadaan ini tampak pada minggu pertama sesudah bayi lahir. Kernikterus
terjadi ketika bilirubin indirek terdeposit dalam sel otak dan mengganggu
metabolisme dan fungsi neuronal, khususnya di basal ganglia. Istilah ini
digunakan untuk keadaan klinis yang kronik dengan sekuele yang permanen.7
Angka kejadian dari kernikterus meningkat bila kadar bilirubin serum
>25 mg/dL. Kernikterus dapat ditemukan pada kadar bilirubin <20 mg/dL
dengan

adanya

sepsis,

meningitis,

hemolisis,

hipoksia,

hipotermi,

hipoglikemi, premoaturitas, dan bilirubin-displacing drug (golongan sulfa).


Faktor risiko lain dari kernikterus pada bayi cukup bulan adalah hemolisis,
jaundice pada 24 jam pertama kehidupan, dan keterlambatan diagnosis
hiperbilirubinemia.7,15
Manifestasi klinis pada kernikterus :

25

Fase awal , bayi dengan ikterus berat akan tampak letargis, hipotonik,
dan refleks hisap buruk. High picth cry dan muntah dapat terjadi.
Biasanya gejala ini terdeteksi pada hari ke-4 kehidupan.
Fase intermediet, diatandai dengan moderate stupor, iritabilitas, dan
hipertoni (opistotonus dan retrocollis).
Selanjutnya bayi akan demam, high pitch cry, kemudian menjadi
hipotoni
Manifestasi klinis pada kernikterus akan berkembang menjadi bentuk
athetoid cerebral palsy yang berat, retardasi mental, gangguan pendengaran,
displasia dental enamel, diskolorasi gigi, paralisis upward gaze.7
Kernikterus dapat dicegah dengan mencegah tingginya kadar bilirubin
indirek dan dengan mencegah kondisi atau obat obatan yang dapat
menggantikan albumin berikatan bilirubin. Tanda dini kernikterus dapat
diterapi dengan transfusi tukar.15
4.10

Manajemen
Manajemen untuk ikterus neonatorum dapat dilakukan dengan cara strategi
pencegahan, penggunaan farmakologi, fototerapi, dan transfusi tukar.14
1. Strategi Pencegahan
American Academy of Pediatric pada tahun 2004 telah mengeluarkan
strategi praktis dalam pencegahan dan penanganan hiperbilirubinemia bayi
baru lahir.14
a.

Pencegahan primer14
Menganjurkan ibu untuk menyusui bayinya paling sedikit 8-12
kali pehari untuk beberapa hari pertama.
Tidak memberikan cairan tambahan rutin seperti dekstrose atau air
pada bayi yag mendapat ASI dan tidak mengalami dehidrasi.

b.

Pencegahan sekunder14

26

Semua wanita hamil harus diperiksa golongan darah ABO dan


rhesus serta penyaringan serum untuk antibodi isoimun yang tidak
biasa.
o

Bila golongan darah ibu tidak diketahui atau Rh


negatif,

diakukan

pemeriksaan

antibodi

direk

(Coombs test), golongan darah, dan tipe Rh darah tali


pusat bayi.
o Bila golongan darah ibu O, Rh positif, trdapat pilihan
untuk dilakukan tes golongan darah dan Coombs test
pada darah tali pusat bayi.

Harus memastikan bahwa semua bayi bayi secara rutin di monitor


terhadap timbulnya ikterus yang harus dinilai saat memeriksa
tanda - tanda vital bayi, tetapi tidak kurang dari setiap 8 - 12 jam.

Pengukuran bilirubin transkutaneus dan atau bilirubin serum total


harus dilakukan pada setiap bayi yang mengalami ikterus dalam
24 jam pertama setelah lahir.14

Bayi yang mengalami peningkatan bilirubin direk harus dilakukan


analisis

dan

kultur

urin.

Pemeriksaan

tambahan

untuk

mengevaluasi sepsis harus dilakukan bila terdapat indikasi


berdasarkan anamesis dan pemeriksaan fisik.14

Bayi sakit dan ikterus pada atau umur lebih dari 3 minggu harus
dilakukan

pemeriksaan

bilirubin

total

dan

direk

untuk

mengindentifikasi adanya kolestasis.14

Pemeriksaan terhadap kadar glucose-6-phospate dehidrogenase


(G6PD) direkomendasikan untuk bayi ikterus yang mendapat
fototerapi dan dengan riwayat keluarga atau etnis/asal geografis
yang menunjukkan kecenderungan defisiensi G6PD atau pada
bayi yang dengan respon terhadap fototerapi yang buruk.14

27

Gambar 8. Evaluasi laboratorium pada ikterus neonatorum14


2. Penggunaan Farmakoterapi
Digunakan untuk penatalaksanaan hiperbilirubin dengan merangsang
induksi enzim-enzim hati dan protein pembawa, guna mempengaruhi
penghancuran heme, atau untuk mengikat bilirubin dalam usus halus
sehingga reabsorpsi enterohepatik menurun.7

a. Imunoglobulin intravena ;
Saat ini, obat yang merupakan standar dari pengobatan
hiperbilirubinemia adalah imunoglobulin intravena (IVIG). IVIG akan
menurunkan kebutuhan tranfusi tukar pada neonatus dengan penyakit
isoimmune hemolytic (76-78%) Dosisnya 500 mg/kg diberikan 2-3 jam,
dan bila perlu diulang dalam 12 jam. IVIG direkomendasikan pada
neonatus yang serum bilirubin totalnya tetap meningkat walaupun sudah
mendapat fototerapi intensif, dan digunakan pada bayi dengan Rh

28

disease berat dan inkompabilitas ABO untuk menekan hemolisis


isoimun dan menurunkan tindakan transfusi tukar.5,7
b. Fenobarbital
Sejak tahun 1960 - an, phenobarbital telah digunakan dalam terapi
ikterus neonatorum. Agen antiepileptik ini dapat meningkatkan enzim
mikrosomal, meningkatkan eksresi dan konjugasi dari bilirubin. Beberapa
uji klinis menunjukkan bahwa penggunaan phenobarbital pada wanita
hamil saat antenatal atau pada bayi lahir dapat mengurangi angka
kejadian ikterus neonatorum atau penggunaan transfusi tukar. Namun,
saat ini phenobarbital sudah tidak dipakai sebagai terapi yang rutin dalam
menangani ikterus neonatorum. Hal ini disebabkan karena fototerapi lebih
efektif, penurunan serum bilirubin total pada neonatus yang diterapi
dengan phenobarbital dan fototerapi tidak lebih cepat dibandingkan yang
diterapi dengan fototerapi. Efek terapeutik tidak begitu jelas. 5,8
Loading dose 10 mg/kg pada bayi preterm dan bblsr sebagai terapi
awal dapat meningkatkan efek terapi phenbarbotal tanpa menyebabkan
depresi pernapasan. Beberapa penulis mengatakan 100 mg phenobarbital
yang dikonsumsi saat malam hari beberapa minggu sebelum kelahiran
tidak memiliki efek pada ibu atau bayi, tapi dapat menurunkan insiden
hiperbilirubinemia diatas 16 mg/dl pada bayi aterm. 18,19
Namun, phenobarbital masih diterapkan pada sindrom CriglerNajjar tipe II. Phenobarbital dapat meningkatkan aktivitas, dan
konsentrasi UDPGT dan ligandin serta meningkatkan jumlah tempat
ikatan bilirubin.5,7
c. Metalloprotoporphyrin adalah analog sintesis heme.
d. Tin-Protoporphyrin (Sn-Pp) dan Tin-Mesoporphyrin (Sn-Mp) dapat
menurunkan kadar bilirubin serum.7

29

e. Pemberian inhibitor b-glukuronidasi seperti asam L-aspartik dan kasein


hidrolisat dalam jumlah kecil (5 ml/dosis 6 kali/hari) pada bayi sehat
cukup bulan yang mendapat ASI dan meningkatkan pengeluaran
bilirubin feses dan ikterus menjadi berkurang dibandingkan dengan bayi
kontrol.7
3. Fototerapi
Merupakan metode yang efektif dan aman untuk mengurangi kadar
bilirubin indirek, terutama bila dimulai sebelum bilirubin serum meningkat
ke kadar yang dapat mengakibatkan kernikterus.15
Pada bayi cukup bulan, fototerapi dimulai ketika kadar bilirubin
indirek serum diantara 16 dan 18 mg/dL. Fototerapi pada bayi yang
prematur dimulai ketika bilirubin berada pada kadar yang rendah.15
Mekanisme Kerja
Bilirubin tidak larut dalam air. Cara kerja terapi sinar adalah dengan
mengubah bilirubin menjadi bentuk yang larut dalam air untuk
diekskresikan melalui empedu atau urin. Ketika bilirubin mengabsorbsi
cahaya, terjadi reaksi fotokimia yaitu isomerisasi. Juga terdapat konversi
ireversibel menjadi isomer kimia lainnya bernama lumirubin yang dengan
cepat dibersihkan dari plasma melalui empedu. 14

30

Gambar 9. Mekanisme Fototerapi


Lumirubin adalah produk terbanyak degadrasi bilirubin akibat terapi
sinar pada manusia. Sejumlah kecil bilirubin plasma tak terkonjugasi
diubah oleh cahaya menjadi dipyrole yang diekskresikan lewat urine. Foto
isomer bilirubin lebih polar dibandingan asalnya dan secara langsung bisa
diekskresikan melalui empedu. Hanya produk foto oksidan saja yang bisa
diekskresikan lewat urin.14
Terapi Sinar Konvensional
Menggunakan panjang gelombang 425-475 nm. Iternsitas cahaya yang
bisa digunakan adalah 6-12 watt.cm 2/nm. Cahaya diberikan 35-50 cm
diatas bayi. Jumlah bola lampu yang digunakan berkisar 6 8 buah, terdiri
dari biru (F2T01), cahaya biru khusus (F20T12/BB) atau daylight
fluoroscent tubes. Digunakan 4 tabung cahaya biru pada bagian tengah unit
terapi sinar dan dua tabung daylight fluorescent pada setiap bagian samping
unit. Ada juga istilah fototerapi intensif yaitu fototerapi dengan
menggunakan sinar blue green spectrum (panjang gelombang 430-490
nm) dengan kekuatan paling kurang 30 uW/cm2 (diukur pada kulit bayi

31

secara langsung dibawah pertegahan unit fototerapi) dan diarahkan ke


permukaan kulit bayi seluas-luasnya.4,14

Gambar viii. Faktor yang mempengaruhi Fototerapi


Dari gambar ix, sebaiknya dipakai kadar bilirubin total sebagai patokan
fototerapi. Faktor risiko yang dimaksud adalah penyakit hemolitik isoimun,
defisiensi G6PD, asfiksia, letargi, instabilitas suhu, sepsis, asidosis, atau
albumin <3,0 g/dL (jika diperiksa).14
Pada bayi sehat UG 35-37 6/7 minggu dapat menggunakan kadar
bilirubin serum total (BST) untuk intervensi pada garis risiko menengah.
Dapat dipilih untuk intervensi pada kadar BST lebih rendah untuk bayi UG
sekitar 35 minggu dan kadar BST yang lebih tinggi pada UG sekitar 37 6/7
minggu.14
Dapat dipertimbangkan untuk menggunakan fototerapi konvensional
di rumah sakit atau di rumah bila kadar BST 2-3 mg/dL (35-50 mmol/L) di
bawah grafik tersebut tetapi fototerapi di rumah tidak dapat dilakukan pada
bayi dengan faktor risiko.14

32

Gambar ix. Panduan Fototerapi pada bayi usia kehamilan >35 minggu
Dalam perawatan bayi dengan fototerapi, yang perlu diperhatikan
adalah : 11
a. Yang terbaik adalah lampu biru dengan panjang gelombang 425
-475 nm.
b. Bayi tidak perlu diberi pakaian kecuali popok dan penutup mata.
Penutup mata harus pas tapi tidak boleh terlalu kencang atau
menutupi cuping hidung.
c. Lampu harus berada 5-8 cm di atas inkubator dan 50 cm diatas
bayi.
d. Pertahankan lingkungan suhu netral, pantau suhu dan ukur setiap
hari.

33

e. Keseimbangan cairan bayi harus dipantau dengan hati-hati dan


dehidrasi dicegah dengan cara menentukan kebutuhan cairan bayi
dan menggantikan IWL sesuai perhitungan.
f. Frekuensi pengambilan bilirubin serum adalah setia 6-12 jam, tpi
mungkin setiap 4 jam.
g. Kadar bilirubin harus dipantai sedikitnya 24 jam setelah terapi
sinar dihentikan.
h. Balikkan bayi setiap 3 jam.
Efek samping dari terapi sinar adalah :7,11
1. Hipertermia. Hal ini dipengaruhi oleh kematangan, asupan kalori
adekuat atau tidaknya penyesuaian terhadap suhi pada unit fototerapi,
jarak dari unit ke bayi dan inkubator.
2. Dehidrasi karena meningkatya insesible water loss. Hal ini terjadi
melalui evaporasi, metaboli, dan respirasi. Karena itu pemberian
cairan harus diperhatikan dengan sebaik-baiknya. Bila bayi bisa
minum ASI, sesering mungkin berikan ASI.
3. Diare berair, feses cair bewarna hijau kecokelatam, penurunan waktu
transit usus. Hal ini terjadi berkaitan dengan peningkatan aliran
empedu yang dapat menstimulasi aktivitas saluran cerna.
4. Kerusakan retina
5. Eritema, yang disebabkan oleh cedera sel mast kulit dengan pelepasan
histamin, eritema dari ultraviolet.
6. Sindrom bayi tembaga (bronze baby syndrome). Hal ini deisebabkan
oleh interaksi fototerapi dengan ikterus kolestasis, menghasillkan
pigmen coklat (bilifuscin) yang mewarnai kulit. Dapat pulih kembali
dalam hitungan bulan.
Sampai saat ini, belum ada standar pasti untuk menghentikan terapi
sinar, akan tetapi terapi sinar dapat dihentikan bila kadar bilirubin serum
total sudah berada dibawah nilai cut off point dari setiap kategori. Untuk
bayi yang baru dirawat di rumah sakit untuk pertama kali setelah lahir,

34

maka terapi sinar dapat dihentikan bila bilirubin serum total turun sampai
dibawah 13-14 mg/dl. Unutuk bayi dengan penyakit hemolitik atau dengan
keadaan lain yang diterapi sinar di usia dini dan dipulangkan sebelum bayi
berusia 3-4 hari, direkomendasikan untuk pemeriksaan ulang bilirubin 24
jam setelah bayi dipulangkan.9
Pada bayi dengan breastmilk jaundice dapat ditatalaksana dengan :9
Pemantauan jumlah ASI yang diberikan apakah sudah mencukupi atau

belum
Pemberian ASI sejak lahir dan secara teratur minimal 8 kali sehari
Pemberian air putih, air gula dan formula pengganti tidak diperlukan
Pemantauan kenaikan berat badan serta frekuensi BAB dan BAK
Jika kadar bilirubin mencapai 15 mg/dL, perlu dilakukan penambahan
volume cairan dan stimulasi produksi ASI

dengan melakukan

peremasan payudara.
Jika kadar bilirubin mencapai 20 mg/dL, perlu dilakukan terapi sinar
jika terapi lain tidak berhasil
Pemeriksaan komponen ASI dilakukan jika hiperbilirubinemia
menetap lebih dari 6 hari, kadar bilirubin meningkat melebihi 20
mg/dL, atau terjadi riwayat breastmilk jaundice pada anak yang
sebelumnya.
4. Transfusi Tukar
Transfusi tukar adalah suatu tindakan pengambilan sejumlah kecil
darah yang dilanjutkan dengan pengembalian darah dari donor dalam
jumah yang sama yang dilakukan berulang-ulang sampai sebagian besar
darah penderita tertukar (Friel,1982). Prosdur ini untuk menceegah
terjadiny kernikterus, perubahan neurologi (spastic athetosis) akibabat
deposit bilirubin indirek di dalam basal gangliat dan nukeli batang otak.
Pada bayi dengan isoimunisasi, transfusi tukar memiliki manfaat
tambahan, karena membantu mengeluarkan antibodi maternal dari

35

sirkulasi bayi sehingga mencegah hemolisis lebih lanjut dan memperbaiki


anemia.12
Transfusi tukar ini biasanya dilakukan melalui kateter vena umbilikal
yang dipasang di vena cafa inferior. Kadar bilirubin serum biasanya akan
langsung turun setelah transfusi tukar sekita setengah dari kadar sebelum
dilakukannya transfusi tukar. Kadar bilirubin serum akan kembali naik 6
sampai 8 jam kemudian sebagai hasil dari proses hemolisis yang terus
berlanjut.15
Prosedur ini mengatasi bilirubin dan antibodi hemolitik dan
mengoreksi anemia. Biasanya diperlukan pada kasus ketidaksesuaian
Rhesus, ABO, atau defisiensi G6PD. Transfusi tukar dengan volume darah
dua kali lipat dilakukan (2 x 85 x bb) dan harus digunakan darah sitrat
segar.11

Gambar x. Panduan terapi tukar


Menurut AAFP, transfusi tukar direkomendasikan segera bila bayi
menunjukkan gejala ensefalopati akut (hipertoni, arching, reetrocollis,
opistotonus, high pitch cry, demam) atau bila kadar blirubin total > 5 mg/d
diatas garis patokan (dalam gambar vii). Sebagai patokan digunakan kadar
bilirubin total, jangan dikurangi dengan bilirubin direk atau indirek.14

36

Faktor risiko yang dimaksud adalah peyakit hemolitik autoimun,


defisiensi G6PD, asfiiksia, letargis, suhu tidak stabil, sepsis, asidosis.14
Usia (jam)

Pertimbangkan
terapi sinar

Terapi
sinar

Transfusi
tukar

Transfusi
tukar dan
terapi sinar

25- 48

>12 mg/dl

>15 mg/dl

>20mg/dl

>25mg/dl

49 72

>15 mg/dl

>18 mg/dl

>25mg/dl

>30 mg/dl

>72

> 17 mg/dl

>20 mg/dl

>25 mg/dl

>30 mg/dl

1 mg/dl = 17 mol/L (Kadar lebih rendah digunkaan untuk neonatus


sakit dan kurang bulan)

Tabel iii. Tatalaksana Hiperbilirubinemia pada neonatus Cukup Bulan Sehat

Neonatus Kurang Bulan Sakit:


Kadar total bilirubin serum (mg/dl)

Neonatus Kurang Bulan


Sakit:
Kadar total bilirubin serum
(mg/dl)

Berat

Terapi sinar

Transfusi
Tukar

Terapi sinar

Transfusi
tukar

Hingga 1000
gram

5-7

10

4-6

8-10

1001-1500
gram

7-10

10-15

6-8

10-12

1500 2000
gram

10

17

8-10

15

>2000 gram

10-12

18

10

17

Tabel iv. Tatalaksana hiperbilirubinemia pada neonatus kurang bulan sehat dan sakit16
Golongan darah untuk transfusi tukar11

37

Pada ketidaksesuaian rhesus, gunakan rhesus negatif yang telah


dicocokan dengan darah ibu

Pada neonatus dengan ketidaksesuaian ABO, gunakan darah O positif


atau golongan darah O negatif yang telah dicocokan dengan darah ibu.

Darah Donor Untuk Tranfusi Tukar: 12


1. Darah yang digunakan golongan O. Di Indonesia, untuk kedaruratan,
2.

transfusi tukar pertama menggunakan golongan darah O rhesus positif


Gunakan darah baru. Kerjasama dengan dokter kandungan dan Bank
Darah

3.

adalah

penting

untuk

persiapan

kelahiran

bayi

yang

membutuhkan tranfusi tukar.


Pada penyakit hemolitik rhesus, jika darah disiapkan sebelum
persalinan, harus golongan O dengan rhesus (-), crossmatched terhadap
ibu.

4.

Bila

darah

disiapkan

setelah

kelahiran,

dilakukan

juga

crossmatched terhadap bayi.


Pada inkompatibilitas ABO, darah donor harus golongan O, rhesus (-)
atau rhesus yang sama dengan ibu dan bayinya. Crossmatched terhadap
ibu dan bayi yang mempunyai titer rendah antibodi anti A dan anti B.
Biasanya menggunakan eritrosit golongan O dengan plasma AB, untuk

5.

memastikan bahwa tidak ada antibodi anti A dan anti B yang muncul.
Pada penyakit hemolitik isoimun yang lain, darah donor tidak boleh

6.

berisi antigen tersensitisasi dan harus di-crossmatched terhadap ibu.


Pada hiperbilirubinemia yang nonimun, darah donor ditiping dan

7.

crossmatched terhadap plasma dan eritrosit pasien/bayi.


Tranfusi tukar biasanya memakai 2 kali volume darah (2 volume
exchange) - 160 mL/kgBB, sehingga diperoleh darah baru sekitar 87%.
Teknik transfusi tukar yang paling umum adalah metode pull-push

dan continous. Metode pull-push adalah teknik mengambil sejumlah darah


bayi dan menggantinya dengan darah donor dalam jumlah yang sama. Hal
ini dapat dilakukan menggunakan katup 4 arah.11

38

Metode continous adalah memasukan darah donor dalam jumlah


konstan melalui vena umbilikus dan pengambilan darah bayi secara
konstan melalui arteri. Metoni ini memeberikan tekanan darah arteri yang
lebih konsisten. Jjika penggunaan jalur arteri perifer, darah dapat
dikeluarkan tapi darah donor harus dimasukkan melalui jalurr vena pusat
atau perifer untuk mencegah spasme pada arteri atau penggumpalan.11
Persiapan Tindakan Transfusi Tukar11,12
a. Berikan penjelasan tentang tujuan dan risiko tindakan, mintakan
b.
c.

persetujuan tertulis dari orang tua penderita.


Kirim darah bayi dan ibu ke laboratorium untuk dicocokkan.
Jangan berikan apapun secara oral selama 3-4 jam sebelum tindakan.
Bila transfusi harus segera dilakukan, isi lambung dikosongkan dengan

d.

sonde dan menghisapnya.


Perhitungkan volume darah yag akan ditukar. Biasanya dilakukan
transfusi tukar dengan jumlah darah dua kali lipat, memerlukan 80 ml
darah donor untuk setiap kilogram berat bayi. Saat darah sudah
tersedia, keadaannya harus baik. Hal ini dapat dicapai dengan cara
menggantungnya secara terbalik selama 20-30 menit, diikuti
pemeriksaan untuk mengetahui bahwa hematokrit berada antara 45-

e.

55%.
Pastikan bayi tetap hangat, tersedia cukup oksigen, penghisap lendir,
alat resusitasi, dan peralatan tertentu. Koreksi gangguan asam basa,

f.

hipoksia, dan hipotermi sebelum memulai tindakan.


Hangatkan darah hingga suhu 37 C, dengan cara menempatkan selang
dalam alat penghangat darah dan pengendali thermostat yang tepat

g.

atau merendam selang dalam air hangat 37 C 38 C.


Jika menggunakan metode pull push, makan harus dipasang kateter

h.

vena umbilikal
Jika menggunakan metode continous, dapat digunakan kateter arteri da

i.

vena umbilikal dan/atau infus perifer menggunakan jarum ukuran 23.


Pasang infus dengan tetesan rumatan dan bila tali pusat telah
mengering kompres dengan NaCl fisiologis.

39

Pelaksanaan Transfusi Tukar12


Mula mula darah bayi dihisap sebanyak 10-20 ml atau tergantung berat

badan bayi, jangan melebiki 10% dari perkiraan volume darah bayi.
Darah dibuang melalui pipa pembuangan dengan mengatur klep pada
three way stepcock. Jika ada pemeriksaan yang belum lengkap dapat

memakai darh ini karena belum bercampur dengan darah donor.


Memasukkan darah donor dengan jumlah yang sama secara perlahanlahan. Kecepatan menghisap dan mengeluarkan darah sekitar 2

mL/kgBB/menit.
Setalah darah masuk ke tubuh ditunggu selama 20 detik, agar beredar

dalam sirkulasi.
Hisap dan masukkan darah berulang kali dengan cara yang sama

sampai target transfusi tukar selesai.


Catat setiap kali darah yang dikeluarkan dan yang masuk pada

lembaran observasi transfusi tukar


jika memakai darah dengan pengawet asam sitrat, setiap transfusi 100
mL diberika 1 mL kalsium glukonas 10% intravena perlahan-lahan.
Pemberian tersebut terutama bila kadar kalsium sebelum transfusi <7,5
mg/dL. Bila kadarnya diatas normal maka kalsium glukonas tidak
perlu diberikan. Pemberian larutan kalsium glukonas harus dilakukan
secara perlahan lahan karena bila terlalu cepat dapat mengakibatkan
timbulnya bradikardi / cardiac arrest. Beberapa peneliti menganjurkan
untuk tidak memberikan kalsium kecuali pada pemeriksaan fisik dan

elektrokardiogradi menunjukkan adanya tanda-tanda hipokalsemia.


Selama tindakan semua tanda-tanda vital harus diawasi dengan

neonatal monitoring
Setelah transfusi tukar selesai, darah bayi diambil untuk pemeriksaan
pasca transfusi tukar.

40

Jika tidak diperlukan transfusi tukar ulang, dilakukan jahitan silk


purese string atau ikatan kantung melingkari vena umbilikus. Ketika

kateter dicabut jahitan yang mengelilingi tali pusat dikencangkan.


Tranfusi tukar harus dihentikan apabila terjadi :12
Emboli, trombosis
Hiperkalemia, hipernatremia, hipokalsemia, asidosis, hipoglikemi
Gangguan pembekuan karena pemakaian heparin
Perforasi pembuluh darah
Komplikasi yang mungkin terjadi pada transfusi tukar termasuk
masalah yang berkaitan dengan darah itu sendiri (reaksi transfusi, infeksi),
prosedur (hipotensi), Emboli, trombosis, aritmia, gagal jantung, gangguan
elektrolit. Komplikasi yang jarang termasuk trombositopenia, graft-versushost disease.15
4.11

Prognosis
Dengan menggunakan kriteria patologis, sepertiga bayi (semua umur
kehamilan) yang penyakit hemolitiknya tidak diobati dan kadang
bilirubinnya lebih dari 20 mg/dl, akan mengalami kernikterus. Kernikterus
didapatkan pada 8% bayi dengan hemolisis Rh yang memiliki konsentrasi
bilirubin serum 19-24 mg/dl., 33 pada bayi dengan konsentrai biliruin 25-29
mg/dl, dan 73% pada bayi dengan konsentrasi bilirubin 30-40 mg/dl.17
Tanda-tanda neurologis yang jelas mempunyai prognosis jelek, ada
75% atau lebih bayi-bayi yang dengan demikian meninggal, dan 8% yang
bertahan hidup menderita koreoatetosis bilateran dengan spasme otot
involunter. Bayi yang berisiko harus menjalani skrining pendengaran.17

41

BAB V
KESIMPULAN
Ikterus adalah gambaran klinis berupa pewarnaan kuning pada kulit dan
mukosan karena adanya deposisi produk akhir katabilisme heme yaitu bilirubin. Pada
kebanyakan kasus ikterus neonatoum, kadar bilirubin tidak berbahaya dan tidak
memerlukan pengobatan. Sebagian besar tidak memiliki penyebab dasar atau yang
disebut ikterus fisiologi yang akan menghilang pada akhir minggu pertama kehidupan
pada bayi cukup bulan. Sebagian kecil memiliki penyebab seperti hemolisi, yang
disebut juga ikterus patologis.
Tujuan

utama

dalam

penatalaksanaan

ikterun

neonatorum

adalah

mengendalikan agar kadar bilirubin serum tidak mencapai nilai yang dapat
menimbulkan kernikterus atau ensefalopati bilirubin, sertta megobati penyebab
langsung ikterus. Dianjurkan agar dilakukan fototerapi, dan jika tidak berhasil
transfusi tukar dapat dilakukan untuk mempertahan kadar maksimum blilirubin total
dalam serum dibawah kadar maksimum pada bayi preterm dn bayi cukup bulan yang
sehat.

42

DAFTAR PUSTAKA
1. Moore Keith, Dalley Arthur, Agur Anne. Clinically Oriented Anatomy.6th ed.
Lippincott Williams & Wilkins : Philadelpia.2010.hal 263-65
2. Sherwoon Lauralee. Sistem Pencernaan. Dalam Fisiologi Manusia dari Sel ke
Sistem. Ed 2. EGC : Jakarta. 1996. Hal 565-8
3. Brunicardi FC, Andersen DK, Biliar TR et al. Schwartz Principles of Surgery 9 th
edition. New york : McGraw-Hill.2010. hal 135-1150.
4. Martiz Iesje. Iketerus. Dalam : Buku Ajar Gastroenterolgi Hepatologi. Juffrie M,
Supar Yati S S, Oswart H, Arief S, Rosalina I, Sri M N, editor. Edisi 1. Jakarta:
IDAI. 2010. Hal 263-84

5. Bertini G, Dani C. Bilirubin Metabolism, Unconjugated Hyperbilirubinemia,


Physiological Neonatal Naundice. Dalam : Neonatology A Practical Approach to
Neonatal Diseases. Buonocore G, Weindling M, Bracci R, editor. Springer : Italia.
2012. Hal 608-10

6. Murray KR, Granner DK, Rodwell VW. Harpers Illustrated Biochemestry 27th
edition. New york : McGraw-Hill. 2006 :126-35
7. Kosim MS, Yunanto A, Dewi R, Sarosa GI, Usman A. Buku Ajar Neonatologi edisi
pertama. Jakarta: IDAI, 2012. hal.147-69

8. Camilia R.M, Cloherty J.P. Neoanatal Hyperbilirubinemia. Dalam : Cloherty J.P et al.
Manual of Neonatal Care. 7th ed. Lippincott Williams & Wilkins. 2010. Hal 185-221.

Pada

Laman

http://books.google.co.id/books?

id=gvGMSd8agLkC&printsec=frontcover&hl=id#v=onepage&q&f=false
. Diakses pada 14 Mei 2013

43

9. Rohsiswatmo Rinawati. Indikasi Terapi Sinar pada Bayi Menyusui yang Kuning.
Dalam : Indonesia Menyusui. Suradi R, Hegar B, Sacharin MAN, Ananta Y,
Nyoman Pratiwi IGA, ed. Jakarta : Balai Penerbit IDAi. 2010. hal 67-75
10.

Hansen

Thor.

Nonatal

Jaundice.

2012.

Pada

laman

http://emedicine.medscape.com/article/974786-overview#showall.

Diakses pada tanggal 14 Mei 2013.


11. Indrasanto E, Dharmasetiawani Nani, Rohsiswatmo Rinawati, Kerina K R.
Hperbilirubinemia pada Neonatus. Dalam : Paket Pelatihan Pelayanan Obstetri dan
Neonata Emergensi Komprehensif (PONEK) Asuhan Neonatal Esensial. Jakarta :
USAID. 2008. Hal 181-90
12. Moeslichan, Surjono A, Suradi Rulina, et all. Tatalaksana Ikterus Neonatorum.
HTA Indonesia. 2004. Hal 1-23
13. Sundaram Sikha. Jaundice. Dalam : Green Thomas, Franklin Wayne, Tanz
Robert. Pediatrics Just The Fact. Mc Graw Hill: USA. 2005. Hal 327-30
14. American Academy of Pediatrics, Subcommittee on Hyperbilirubinemia.2004.
Management Of Hyperbilirubinemia In The Newborn Infant 35 OrMore Weeks Of
Gestation.Pediatrics. hal 297-316
15. Marcdante A,Kliegman R, Jenson H, Behrman R. Hyperbilirubinemia. Chapter
62. Nelson Essentials of Pediatrics.2010. Ed 6.Saunders :Philadelpia.
16. Halamek, L.P. and D.K. Stevenson. 1977. Neonatal jaundice and Liver
Diseases. In Neonatal Perinatal Medicine : Diseases of the Fetus and Infant.
Fanaroff.A.A and R.J.Martin. eds 6th ed. St Louis : Mosby-year Book. P 1345-89
17. Kliegman, Robert M. 2004.Neonatal Jaundice And Hyperbilirubinemia Dalam :
Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB Editors. Nelson Textbook Of Pediatrics.
17ThEdition. Philadelphia, Pennsylvania : Saunders

44

18.

Parmar Veena, Chawla Deepak. Phenobarbitone for Prevention and


Treatment of Unconjugated Hyperbilirubinemia in Preterm Neonates:A
Systematic Review and Meta-analysis. Dalam Junal Indian Pediatric vol 47.
2010.

Hal

401-7.

Dapat

diakses

di

http://medind.nic.in/ibv/t10/i5/ibvt10i5p401.pdf

19. Kelinberc Fredric, Plioplys Andrius. Hyperbilirubinemia and the Low-Birth.


Dalam : Melinger J F, G B Stickler. CRITICAL PROBLEMS IN
PEDIATRICS. Lippincott : Philapdelpia. 1983. Dapat diakses di :
http://www.plioplys.com/06_hyperbili.pdf

45

You might also like