You are on page 1of 12

Anemia Hemolitik et causa Thalasemia

Ernestin Salma Jelalu


Kelompok : C9
102011024
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jalan Arjuna Utara No. 6 Jakarta Barat 11510
email : jelalueren@yahoo.com

Pendahuluan
Anemia bisa timbul dengan bermacam-macam gejala yang tersembunyi. Diantaranya
adalah lelah, menurunnya toleransi olahraga, sesak napas, dan angina yang memburuk. Akan
tetapi anemia seringkali ditemukan secara kebetulan dengan pemeriksaan darah lengkap rutin
atau selama pemeriksaan penunjang penyakit lain. Anemia bukanlah suatu diagnosis tetapi
harus dicari penjelasannya.1
Anamnesis
Riwayat penyakit sekarang
Diantaranya:1

Gejala apa yang dirasakan oleh pasien? Lelah, malaise, sesak napas, nyeri dada, atau

tanpa gejala?
Apakah gejala tersebut muncul mendadak atau bertahap?
Adakah petunjuk mengenai penyebab anemia?
Tanyakan kecukupan makanan dengan kandungan Fe yang cukup? Adakah gejala
yang konsisten dengan malabsorbsi? Adakah tanda-tanda kehilangan darah dari

saluran cerna (tinja gelap, darah per rektal, muntah butiran kopi)?
Tanyakan riwayat bepergian dan pertimbangkan kemungkinan infeksi parasit

(misalnya cacing tambang dan parasit)?


Adakah pemakaian obat-obatan tertentu berhubungan dengan kehilangan darah
(misalnya OAINS menyebakan erosi lambung atau supresi sumsum tulang akibat obat
sitotoksik)?
1

Riwayat penyakit dahulu


Diantaranya:2
Ada dugaan penyakit ginjal kronis sebelumnya?
Adakah riwayat penyakit kronis (misalnya artritis reumatoid atau gejala yang
menunjukkan keganasan)?
Adakah tanda-tanda kegagalan sumsum tulang (memar, pendarahan dan infeksi
yang tak lazim atau rekuren)?
Adakah tanda-tanda defisiensi vitamin seperti neuropati perifer?
Adakah alasan untuk mencurigai adanya hemolisis (misalnya ikterus, katub buatan
yang diketahui bocor)?
Adakah riwayat anemia sebelumnya atau pemeriksaan penunjang seperti
endoskopi gastrointestinal?
Adakah disfagia (akibat lesi esogfagus yang menyebabkan anemia atau selaput
pada esofagus akibat anemia defisiensi Fe)?
Riwayat keluarga1
Adakah riwayat anemia dalam keluarga khususnya pertimbangkan penyakit
sel sabit, talasemia, dan anemia hemolitik yang diturunkan.
Pemeriksaan fisik
Yang perlu diperhatikan adalah:

Apakah pasien tampak sakit ringan atau berat? Apakah pasien ada sesak atau syok

akibat kehilangan darah akut?


Adakah tanda-tanda konjungtiva anemi? Lihat apakah konjungtiva anemis dan telapak

tangan pucat?
Adakah koilinikia (kuku seperti sendok) atau keilitis angularis seperti yang

ditemukan pada defisiensi Fe yang sudah berlangsung lama?


Adakah tanda-tanda ikterus (akibat anemia hemolitik)?

Gambar 1. Koilinikia2
Pemeriksaan Limpa
1. Menginstrukan kepada pasien untuk menekuk lutut membentuk sudut 45-60 derajat
2. Meminta pasien untuk memberikan respon terhadap pemeriksaan misalnya bila
terdapat rasa nyeri
3. Melakukan palpasi acak dan terstruktur dengan menggunakan sisi palmar radial jari 2,
3, dan 4 tangan kanan dan ibu jari terlipat di bawah palmar manus serta
menginstruksikan kepada pasien untuk menarik napas pada setiap kali palpasi
dilakukan
4. Melakukan palpasi lien berdasarkan garis schuffner yang menyilang mulai dari SIAS
kanan ke umbilicus sampai tepi bawah arcus kosta kiri
Pemeriksaan fisik didapatkan denyut nadi 130x/menit, Td 80/85 mmHg, sklera dan kulit
ikterik (+), konjungtiva anemis, splenomegaly (+).

Gambar 2. Pemeriksaan limpa2

Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan yang dilakukan yakni:

Darah tepi : kadar Hb rendah, retikulosit tinggi, jumlah trombosit dalam batas normal.
Hapusan darah tepi : anemia mikrositik hipokrom, aniso-poikilositosis, eritrosit

berinti
Elektroforesis Hb dengan buffer alkalis : Hb Barts
Fungsi sumsum tulang : hyperplasia normoblastik.
Kadar besi serum meningkat
Bilirubin indirect meningkat

Diagnosis
Working diagnosis
Seorang anak laki-laki berusia 6 tahun dengan keluhan pucat sejak 3 bulan, mudah
lelah dan pucat , tidak ada demam dan pendarahan serta didapatkan adanya splenomegali
didiagnosis menderita Anemia hemolitik et causa Thalasemia.
Differential diagnosis
Anemia hemolitik et causa Malaria
Malaria merupakan infeksi parasit pada sel darah merah yang disebabkan oleh suatu
protozoa spesies plasmodium yang ditularkan ke manusia melalui air liur nyamuk. Parasit
pertama kali menginfeksi sel-sel hati dan kemudian berpindah ke eritrosit. Infeksi
menyebabkan hemolisis berat sel-sel darah merah. Pada titik ini semakin banyak parasit yang
dibebaskan ke dalam sirkulasi dan timbul siklus infeksi berikutnya. Gambaran klinis yang
biasanya terjadi pada malaria adalah terdapat tanda-tanda sistemik anemia, lonjakan-lonjakan
demam yang siklik, menggigil dan berkeringat pada waktu demam, nyeri kepala,
hepatomegali dan splenomegali dapat terjadi ikterus akibar pelepasan bilirubin yang
berlebihan.4
Anemia sel sabit
Anemia sel sabit adalah gangguan resesif autosomal yang disebabkan pewarisan dua
salinan gen hemoglobin defektif, masing-masing satu dari orang tua. Hemoglobin yang cacat
tersebut yang disebut hemoglobin S (HbS), menjadi kaku dan membentuk konfigurasi seperti
sabit jika terpajan oksigen berkadar rendah. Sel darah merah pada anemia sel sabit ini
4

kehilangan kemampuan untuk bergerak dengan mudah melewati pembuluh yang sempit dan
akibatnya terperangkap di dalam mikrosirkulasi. Hal ini menyebabkan penyumbatan aliran
darah ke jaringan di bawahnya, akibatnya timbul nyeri karena iskemia jaringan. Meskipun
bentuk sel sabit ini reversibel atau dapat kembali ke bentuk semula jika saturasi hemoglobin
kembali normal, sel sabit sangat rapuh dan banyak yang sudah hancur di dalam pembuluh
yang sangat kecil, sehingga menyebabkan anemia. Sel-sel yang telah hancur disaring dan
dipindahkan dari sirkulasi ke dalam limpa; kondisi ini mengakibatkan limpa bekerja lebih
berat. Jaringan parut dan kadang-kadang infark (sel yangsudah mati) dari berbagai organ,
terutama limpa dan tulang, dapat terjadi. Disfungsi multiorgan sering terjadi setelah beberapa
tahun. Gambaran klinis yang ada yakni terdapat tanda anemia sistemik, nyeri hebat yang
intens akibat sumbatan vaskular pada serangan penyakit, infeksi bakteri serius disebabkan
kemampuan limpa untuk menyaring mikroorganisme yang tidak adekuat, dan splenomegali
karena limpa membersihkan sel-sel yang mati, kadang menyebabkan krisis akut.
Etiologi
Anemia hemolitik adalah penurunan jumlah sel darah merah akibat destruksi sel darah
merah yang berlebihan. Pembentukan sel darah merah di sumsum tulang akan meningkat
untuk mengganti sel-sel darah yang mati, lalu mengalami peningkatan sel darah merah yang
belum matur atau retikulosit yang dipercepat masuk ke dalam darah.3
Anemia hemolitik merupakan penyakit yang ditandai dengan adanya ikterus, serta
meningkatnya bilirubin serum yang belum terkonyugasi, meningkatnya urobilinogen dalam
urin dan tinja, meningkatnya haptoglobin dan retikulositosis. Derajat retikulositosis secara
tidak langsung menunjukkan laju hemolisis. Pada apus darah bisa tampak polikromasia,
sferosit, eritrosit mengkerut dan pecah menjadi fragmen-fragmen.3
Thalasemia merupakan salah satu penyakit menahun yang diturunkan dalam keluarga
dan Penyakit thalasemia memang merupakan penyakit yang diwariskan oleh gen orang tua
atau salah satu gen dari orang tua. Penyakit thalasemia juga sering dikaitkan oleh anemia
dimana penyakit anemia disebabkan oleh kadar hemoglobin (Hb) dan sel darah merah dalam
darah menurun atau jumlahnya berkurang. Hemoglobin berfungsi untuk mengikat dan
mengangkut oksigen ke seluruh tubuh. Hemoglobin sendiri terdiri atas 2 jenis rantai protein
yakni rantai protein alpha globin dan rantai protein beta globin. Apabila terjadi gangguan
dalam pembentukkannya maka dapat terjadilah penyakit yang kita sebut thalasemia.3

Klasifikasi Thalasemia
Secara molekuler thalasemia dibedakan atas :
1.

Alfa Thalasemia (melibatkan rantai alfa)


Alfa Thalasemia paling sering ditemukan pada orang kulit hitam (25% minimal
membawa 1 gen). Sindrom thalassemia- disebabkan oleh delesi pada gen globin pada
kromosom 16 (terdapat 2 gen globin pada tiap kromosom 16) dan nondelesi seperti
gangguan mRNA pada penyambungan gen yang menyebabkan rantai menjadi lebih panjang
dari kondisi normal.4

2. Beta Thalasemia (melibatkan rantai beta)


Beta Thalasemia pada orang di daerah Mediterania dan Asia Tenggara. Thalassemia disebabkan oleh mutasi pada gen globin pada sisi pendek kromosom 11.4
Secara klinis, terdapat 2 (dua) jenis thalasemia yaitu :
1. Thalasemia Mayor, karena sifat sifat gen dominan.
Thalasemia mayor merupakan penyakit yang ditandai dengan kurangnya kadar
hemoglobin dalam darah. Akibatnya, penderita kekurangan darah merah yang bisa
menyebabkan anemia. Dampak lebih lanjut, sel-sel darah merahnya jadi cepat rusak dan
umurnya pun sangat pendek, hingga yang bersangkutan memerlukan transfusi darah untuk
memperpanjang hidupnya. Penderita thalasemia mayor akan tampak normal saat lahir,namun
di usia 3-18 bulan akan mulai terlihat adanya gejala anemia. Selain itu, juga bisa muncul
gejala lain seperti jantung berdetak lebih kencang dan facies cooley.5
Facies cooley adalah ciri khas thalasemia mayor, yakni batang hidung masuk ke
dalam dan tulang pipi menonjol akibat sumsum tulang yang bekerja terlalu keras untuk
mengatasi kekurangan hemoglobin. Penderita thalasemia mayor akan tampak memerlukan
perhatian lebih khusus. Pada umumnya, penderita thalasemia mayor harus menjalani transfusi
darah dan pengobatan seumur hidup. Tanpa perawatan yang baik, hidup penderita thalasemia
mayor hanya dapat bertahan sekitar 1-8 bulan. Seberapa sering transfusi darah ini harus
dilakukan lagi-lagi tergantung dari berat ringannya penyakit. Yang pasti, semakin berat
penyakitnya, kian sering pula si penderita harus menjalani transfusi darah.5

2. Thalasemia Minor
Thalasemia minor, individu hanya membawa gen penyakit thalasemia, namun
individu hidup normal, tanda-tanda penyakit thalasemia tidak muncul. Walau thalasemia
minor tak bermasalah, namun bila ia menikah dengan thalasemia minor juga akan terjadi
masalah. Kemungkinan 25% anak mereka menderita thalasemia mayor. Pada garis keturunan
pasangan ini akan muncul penyakit thalasemia mayor dengan berbagai ragam keluhan.Seperti
anak menjadi anemia, lemas, loyo dan sering mengalami pendarahan. Thalasemia minor
sudah ada sejak lahir dan akan tetap ada di sepanjang hidup penderitanya, tapi tidak
memerlukan transfusi darah di sepanjang hidupnya.5

Epidemiologi
Angka kejadian tahunan anemia hemolitik dilaporkan mencapai 1 per 100.000 orang
pada populasi secara umum. Anemia hemolitik merupakan kondisi yang jarang dijumpai pada
masa anak-anak, kejadiannya mencapai 1 per 1.000.000 anak dan bermanifestasi primer
sebagai proses ekstravaskular. Thalasemia mengenai 3% sampai 10% orang Asia, Afrika, dan
Mediterania.3
Patofisiologi
Proses hemolisis akan menimbukan gejala penurunan kadar hemoglobin yang akan
mengakibatkan anemia. Hemolisis dapat terjadi perlahan-lahan sehingga dapat diatasi oleh
mekanisme kompensasi tubuh, tetapi dapat juga terjadi secara tiba-tiba, sehingga segera
menurunkan kadar hemoglobin.4
Peningkatan hasil pemecahan eritrosit dalam tubuh berdasarkan tempatnya dibagi atas
dua yakni yang ekstravaskular dan intravaskular. Hemolisis ekstravaskular terjadi pada sel
makrofag dari sistem sel retikuloendotelial (RES) terutama lien, hepar dan sumsum tulang
karena sel ini mengandung enzim heme oxygenase. Lisis terjadi karena kerusakan membran,
presipitasi hemoglobin dalam sitoplasma, dan menurunnya fleksibilitas eritrosit. Pemecahan
eritrosit ini akan menghasilkan globin yang akan dikembalikan ke dalam protein pool, serta
besi yang dikembalikan ke makrofag selanjutnya akan digunakan kembali, sedangkan
protoporfirin akan menghasilkan CO dan bilirubin. Bilirubin dalam darah berikatan dengan
albumin menjadi bilirubin indirek, mengalami konyugasi dalam hati menjadi bilirubin direk

kemudian dibuang melalui empedu sehingga meningkatkan sterkobilinogen dalam feses dan
urobilinogen dalam urin.4
Sedangkan pemecahan eritrosit intravaskular menyebabkan lepasnya hemoglobin
bebas ke dalam plasma. Hemoglobin bebas ini akan diikat oleh hepatoglobin, sehingga kadar
hepatoglobin dalam plasma akan menurun. Apabila kapasitas hepatoglobin dilampaui, maka
terjadilah hemoglobin bebas dalam plasma yang disebut sebagai hemoglobinemia.
Hemoglobin bebas akan mengalami oksidasi menjadi metemoglobin sehingga terjadi
metemoglobinemia. Hemogloin bebas akan keluar melalui urin sehingga terjadi
hemoglobinuria. Pemecahan eritrosit intravaskular akan melepaskan banyak LDH yang
terdapat dalam eritrosit, sehingga serum LDH akan meningkat.4
Kompensasi sumsum tulang untuk meningkatkan eritropoiesis. Destruksi eritrosit
dalam darah tepi akan merangsang mekanisme bio-feedback sehingga sumsum tulang
meningkatkan eritropoiesis. Peningkatan eritropoiesis ditandai oleh peningkatan jumlah
eritroblas dalam sumsum tulang, sehingga terjadilah hiperlasia normoblastik.5
Berkaitan dengan kasus yang ada, pada penyakit thalassemia terjadi defek genetic
mengakibatkan pengurangan atau peniadaan sintesis satu atau lebih rantai globin HbA.
Keadaan ini dapat mengakibatkan pembentukan tetramer Hb berkurang sehingga terjadi
anemia mikrositik hipokrom dan sebagian rantai globin tidak mendapat pasangan, bebas,
bersifat tidak larut (insoluble) dan tidak mengikat oksigen. Akumulasi rantai globin yang
bebas ini mengakibatkan lisis erirosit intramedular (eritropoiesis inefektif). Sementara itu,
erirosit yang lolos masuk ke sirkulasi darah akan dihancurkan di limpa, dengan akibat terjadi
splenomegaly.
Splenomegali
Limpa normal menghancurkan sel-sel darah merah yang tua dengan kecepatan 1/120
dari sel-sel darah perifer setiap hari. Sel-sel darah merah abnormal mengalami percepatan
destruksi sewaktu melewati limpa normal. Sebaliknya limpa yang sangat besar cenderung
menghancurkan lebih banyak sel darah merah, sel darah putih dan trombosit pun bisa terkena.
Keadaan-keadaan ini mencakup penyakit hati disertai hipertensi porta, gagal jantung
kongestif kronis, penyakit infiltratif seperti leukimia dan limfoma dan infeksi prtozoa seperti
oleh skistosomiasis. Semua penyakit ini meningkatkan ukuran limpa sehingga terjadi
peningkatan sekuestrasi sel darah merah.5
8

Limpa berfungsi membersihkan sel darah merah yang rusak. Pembesaran limpa pada
pnderita thalasemia terjadi karena sel darah merah yang rusak sangat berlebihan sehingga
kerja limpa sangat berat. Selain itu tugas limpa juga diperberat untuk memproduksi sel darah
merah lebih banyak.5
Gambaran klinis
Gambaran klinis anemia berat akan muncul pada usia sekitar 3-6 bulan atau kurang
lebih dalam usia 1 tahun pertama yaitu ketika terjadi penurunan sintesis rantai gamma untuk
berganti ke rantai beta. Usia terdiagnosanya talasemia tergantung dari defek molekular yang
terjadi dan kewaspadaan dokter yang merawat. Gejala diawali dengan pucat, splenomegali,
demam dan sakit berat.4
Aktivitas eritropoiesis sangat meningkat, sumsum tulang meluas 15-30 kali normal,
mengakibatkan terjadinya thalassemic facies, dengan penonjolan os zygomaticus berlebihan,
basis hidung tertekan, pneumatisasi rongga sinus terlambat, maxilla overgrowth sehingga
terjadi maloklusi dan rodent like appearance.4

Gambar 3. Facies cooley3

Penatalaksanaan
Penyakit thalassemia adalah penyakit keturunan jadi tidak dapat disembuhkan. Terapi
yang digunakan pada penderita thalassemia bersifat simptomatik (mengobati simptom yang

muncul). Pada talasemia beta minor karena hanya menunjukkan anemia ringan maka tidak
perlu transfusi darah, sedangkan pada talasemia beta mayor perlu transfusi darah.

Penanganan secara suportif yang dapat dilakukan antara lain :


Asam folat diberikan 5 mg/hari untuk memenuhi kebutuhan yang meningkat jika asupan
diet buruk.
Vitamin E 200-400 IU setiap hari sebagai antioksidan dapat memperpanjang umur sel
darah merah.
Vitamin C 100 mg diberikan untuk meningkatkan ekskresi besi
Transfusi. Transfusi pertama kali dilakukan apabila Hb <7. Transfusi ke dua dilakukan
berselang 2 minggu setelah transfusi pertama atau bila Hb <7 disertai gejala klinis.
Untuk menghindari menumpuknya besi, diberikan iron chelation therapy dengan
Desferioksimin 2g/unit darah. Besi diikat menjadi ferrioxamine untuk diekskresi bersama
urin. Ekskresi besi di urin mencapai 200mg/hari
Splenektomi, dengan indikasi limpa yang terlalu besar, sehingga membatasi gerak
penderita, menimbulkan peningkatan tekanan intraabdominal dan bahaya terjadinya
ruptur serta hipersplenisme ditandai dengan peningkatan kebutuhan transfusi darah atau
kebutuhan suspensi eritrosit (PRC) melebihi 250 ml/kg berat badan dalam satu tahun.
Splenektomi dilakukan pada anak dengan usia lebih dari 2 tahun. Pasca splenektomi,
frekuensi transfuse biasanya berkurang.

Pencegahan
Pencegahan primer
Pencegahan primer adalah mencegah seseorang untuk tidak menderita thalasemia atau
menjadi carrier thalasemia yaitu dengan konseling genetik pranikah. Konseling genetik
pranikah terutama pada populasi yang berprevalensi tinggi (prevalensi > 5%) agar
10

memeriksakan diri apakah mereka mengemban sifat genetik tersebut atau tidak. Konseling
juga ditujukan kepada mereka yang mempunyai kerabat dekat penderita thalasemia. Tujuan
utama dari konseling pranikah adalah untuk mencegah terjadinya perkawinan antara carrier.
Hal ini mengingat mereka berpeluang 50% untuk mendapatkan keturunan carrier, 25%
thalasemia mayor dan 25% menjadi anak normal yang bebas thalasemia.5

Pencegahan sekunder
Pencegahan sekunder pada penderita thalasemia dilakukan dengan cara:5
a. Diagnosis prenatal
Diagnosis prenatal selain ditujukan kepada pasangan

carrier, juga

dimaksudkan bagi pasangan beresiko lainnya yang telah mempunyai bayi thalasemia.
Tujuan dari diagnosis prenatal ini adalah untuk mengetahui sedini mungkin apakah
bayi yang dikandung menderita thalasemia mayor atau tidak. Diagnosis prenatal pada
thalasemia dapat dilakukan pada usia 8-10 minggu kehamilan dengan sampel villi
chorialis.
b. Skrining
Skrining merupakan pemantauan perjalanan penyakit dan pemantauan hasil
terapi yang lebih akurat. Pemeriksaan ini meliputi:
1. Hematologi rutin untuk mengetahui kadar Hb dan ukuran sel-sel darah.
2. Gambaran sel darah tepi untuk melihat bentuk, warna, dan kematangan sel-sel
darah.
3. Feritin, Serum Iron (SI) untuk melihat status besi.
4. Analisis hemoglobin untuk diagnosis dan menentukan jenis thalasemia.
5. Analisis DNA untuk diagnosis prenatal (pada janin) dan penelitian.
c. Transfusi darah
Pemberian transfusi darah berupa sel darah merah sampai kadar sekitar
11g/dL. Kadar hemoglobin setinggi ini akan mengurangi kegiatan hemopoesis yang
berlebihan di dalam sumsum tulang dan juga mengabsorpsi Fe dari traktus digestivus.
Pasien dengan kadar hemoglobin yang rendah untuk waktu lama, perlu ditransfusi
dengan hati-hati dan sedikit demi sedikit. Frekuensi sebaiknya sekitar 2-3 minggu.
Sebelum dan sesudah transfusi ditentukan hematokrit. Berat badan perlu dipantau,
paling sedikit dua kali setahun.

11

Komplikasi
Akibat anemia yang berat dan lama, sering terjadi gagal jantung. Transfusi darah yang
berulang-ulang dan proses hemolisis menyebabkan kadar besi dalam darah sangat tinggi,
sehingga ditimbun dalam berbagai jaringan tubuh seperti hepar, limpa, kulit, jantung, dan
lain-lain. Hal ini dapat mengakibatkan gangguan fungsi alat tersebut (hemokromatosis).
Limpa yang besar mudah ruptur akibat trauma yang ringan. Kadang-kadang thalassemia
disertai oleh tanda hipersplenisme seperti leukopenia dan trombopenia. Kematian terutama
disebabkan oleh karena infeksi dan gagal jantung.5
Prognosis
Pada thalasemia yang sifatnya homozigot jarang mencapai usia dekade ke-3.
Sedangkan pada thalasemia minor dan thalasemia beta umumnya mempunyai prognosis yang
baik dan dapat hidup seperti biasa. Sedangkan pada hidrops fetalis/ thalasemia mayor,
prognosisnya sangat buruk karena akan meninggal beberapa jam setelah kelahiran.
Kesimpulan
Thalassemia terjadi karena mutasi dari gen pembentuk protein globin yang penting
dalam pembentukan hemoglobin. Mutasi ini terjadi karena interaksi gen-gen kedua orang tua
yang kemudian diturunkan kepada anaknya. Keadaan thalassemia mengakibatkan produksi
sel darah merah menurun serta terjadi peningkatan destruksi sel darah merah yang kemudian
akan mengakibatkan terjadinya anemia.
Daftar pustaka
1. Sudiono H, Iskandar I, Edward H, Halim SL, Santoso R. Penuntun patologi klinik
Hematologi. Jakarta: Biro Publikasi Fakultas Kedokteran Ukrida; 2007. h.103-20.
2. Behrman, Kliegman, Arvin, Nelson. Kelainan hemoglobin. Nelson textbook of
pediatrics. Vol II. Edisi 15. Jakarta: EGC; 2000. h. 1708-12.
3. Hoffbrand AV, Pettit JE, Moss PAH. Kapita selekta hematologi. Edisi 4. Jakarta:
EGC;2005. h. 66-82.
4. Rudolph, Abraham M. Pediatrics vol. 2 20th edition (edisi bahasa indonesia, ahli
bahasa : a. samik wahab, sugiarto). Jakarta: EGC; 2007. h. 1290.
5. Atmakusuma, Djumhana, Setyaningsih, Iswari. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid II
edisi V : dasar-dasar talasemia. Jakarta: Internapublishing; 2009. h. 1379-86.

12

You might also like