You are on page 1of 9

1.

Biografi HOS Cokroaminoto


Awalnya kehidupan Haji Oemar
Said Tjokroaminoto terbilang biasa-biasa
saja. Semasa kecil ia dikenal sebagai
anak yang nakal dan suka berkelahi.
Setelah beberapa kali berpindah sekolah,
akhirnya

ia

berhasil

menyelesaikan

sekolahnya di OSVIA (sekolah calon


pegawai pemerintah atau pamong praja)
di

Magelang

menamatkan

pada

1902.

sekolahnya,

ia

Setelah
bekerja

sebagai seorang juru tulis di Ngawi. Tiga


tahun kemudian ia bekerja di perusahaan
dagang di Surabaya.
Kepindahannya ke Surabaya membawanya terjun ke dunia politik. Di kota
pahlawan itu ia kemudian bergabung dalam Sarekat Dagang Islam (SDI). Ia
menyarankan agar SDI diubah menjadi partai politik. SDI kemudian resmi diubah
menjadi SI (Sarekat Islam) pada 10 September 1912.
Tjokroaminoto dipercaya untuk memangku jabatan ketua setelah sebelumnya
menjabat sebagai komisaris SI. Di bawah kepemimpinannya, SI mengalami kemajuan
pesat dan berkembang menjadi partai massa sehingga menimbulkan kekhawatiran
pemerintah Belanda.
Pemerintah Hindia Belanda berupaya menghalangi SI yang termasuk
organisasi Islam terbesar pada saat itu. Pemerintah kolonial sangat membatasi
kekuasaan pengurus pusat (Centraal Sarekat Islam) dan organisasi SI (afdeling SI)
mudah diawasi dan dipengaruhi pangreh praja setempat. Situasi itu menjadikan SI
menghadapi kesenjangan antara pusat dan daerah yang menyebabkan kesulitan dalam
mobilisasi para anggotanya.
Pada periode tahun 1912-1916, Tjokroaminoto dan para pemimpin SI lainnya
sedikit bersikap moderat terhadap pemerintah Belanda. Yang mereka perjuangkan
adalah penegakan hak-hak manusia serta meningkatkan taraf hidup masyarakat. Tapi
sejak tahun 1916, menghadapi pembentukan Dewan Rakyat, suasana menjadi hangat.
Dalam kongres-kongres SI, Tjokroaminoto mulai melancarkan ide pembentukan

nation (bangsa) dan pemerintahan sendiri.


Sebagai reaksi terhadap "Janji November" (November Beloftem), Gubernur
Jenderal van Limburgh Stirum, Cokroaminoto selaku wakil SI dalam Volksraad
bersama Abdul Muis, Cipto Mangukusumo, atas nama kelompok radicale concentratie
mengajukan mosi yang kemudian dikenal dengan Mosi Tjokroaminoto pada tanggal
25 November 1918. Mereka menuntut: Pertama, pembentukan Dewan Negara di
mana penduduk semua wakil dari kerajaan. Kedua, pertangggungjawaban
departemen/pemerintah

Hindia

Belanda

terhadap

perwakilan

rakyat.

Tiga,

pertangggungjawaban terhadap perwakilan rakyat. Keempat, reformasi pemerintahan


dan desentralisasi. Intinya, mereka menuntut pemerintah Belanda membentuk
parlemen yang anggotanya dipilih dari rakyat dan oleh rakyat. Pemerintah sendiri
dituntut bertanggung jawab pada parlemen.
Namun, oleh Ketua Parlemen Belanda, tuntutan tersebut dianggap hanya
fantasi belaka. Sehingga, Centraal Sarekat Islam pada kongres nasionalnya di
Yogyakarta tanggal 2-6 Maret 1921, memberikan reaksi atas sikap pemerintah
Belanda tersebut dengan merumuskan tujuan perjuangan politik SI sebagai, "Untuk
merebut kemerdekaan Indonesia dari tangan Belanda".
Selama hidupnya, Tjokroaminoto merupakan sosok yang berpengaruh besar
terhadap tokoh-tokoh muda pergerakan nasional saat itu. Keahliannya berpidato ia
gunakan untuk mengecam kesewenang-wenangan pemerintah Belanda. Semasa
perjuangannya, dia misalnya mengecam perampasan tanah oleh Belanda untuk
dijadikan perkebunan milik Belanda.
Ia juga mendesak Sumatera Landsyndicaat supaya mengembalikan tanah
rakyat di Gunung Seminung (tepi Danau Ranau, Sumatera Selatan). Nasib para dokter
pribumi juga turut diperjuangkannya dengan menuntut kesetaraan kedudukan antara
dokter Indonesia dengan dokter Belanda.
Pada tahun 1920, ia dijebloskan ke penjara dengan tuduhan menghasut dan
mempersiapkan pemberontakan untuk menggulingkan pemerintah Belanda. Pada
April 1922, setelah tujuh bulan meringkuk di penjara, ia kemudian dibebaskan.
Tjokroaminoto kemudian diminta kembali untuk duduk dalam Volksraad, namun
permintaan itu ditolaknya karena ia sudah tak mau lagi bekerjasama dengan
pemerintah Belanda.
Sebagai tokoh masyarakat, pemerintah kolonial menjulukinya sebagai de
Ongekroonde Koning van Java (Raja Jawa yang tidak "bermahkota" atau tidak

"dinobatkan").
Pengaruhnya yang luas menjadikannya sebagai tokoh panutan masyarakat.
Karena alasan itu pula maka R.M. Soekemi Sasrodihardjo mengirimkan anaknya
Soekarno (kemudian menjadi presiden pertama RI) untuk pendidikan dengan in de
kost di rumahnya.
Selain menjadi politikus, TjCokroaminoto aktif menulis karangan di majalah
dan surat kabar. Salah satu karyanya ialah buku yang berjudul Islam dan
Nasionalisme. Tjokroaminoto menghembuskan nafasnya yang terakhir pada 17
Desember 1934 di Surabaya pada usia 51 tahun.
Atas jasa-jasanya kepada negara, Haji Oemar Said Cokroaminoto dianugerahkan gelar
pahlawan Kemerdekaan Nasional berdasarkan SK Presiden Republik Indonesia
No.590 Tahun 1961, tanggal 9 Nopember 1961

2. Pemikiran Politik Cokroaminoto


Dalam kehidupan Tjokro sudah menyiratkan sejauh mana Tjorkro memikirkan
nasionalisme dan Islam. Namun, terlihat perbedaan dalam diri Tjokro dalam
menafsirkan dan memahami Nasionalisme dan Islam. Dan perubahan hal ini terjadi
ketika Tjokro berumur 40 tahun, yaitu pada 1922. Penulis memberi istilah bagi masa
sebelum dan sesudah Tjokro berumur 40 tahun dengan dikotomis Tjokro Muda dan
Tjokro Tua. Tjokro Muda adalah Tjokro yang bersemangat, dan melihat Islam
sebagai alat untuk memperjuangkan nasionalisme, memperjuangkan persatuan
nasional. Sementara Tjokro Tua adalah Tjokro yang mulai berfikir secara dikotomis
yaitu membedakan Islam dan komunisme sebagai bagian terpisah dalam menafsirkan
nasionalisme. Dalam paruh Tjokro Muda, kita dapat menemui klaim kecenderungan
Islam sebagai alat. Dalam sebuah pidatonya disebuah vargedering di Semarang,
Tjokro bercerita mengenai maksud pendirian SI sebagai sebuah perkumpulan yang
dipertalikan agama. Lebih jauh ia mengungkapkan: Dengan alasan agama itu, kita
akan berdaya upaya menjunjung martabat kita kaum bumi putera dengan jalan yang
syah. Menurut dalil dari sebuah kitab, orang pun mesti menurut pada pemerintahan
rajanya. Siapakah sekarang yang memerintahkan pada kita, bumi putra? Ya, itulah
kerajaan Belanda, oleh sebab itu menurut syara agama islam juga, kita harus menurut

kerajaan Belanda. Kita mesti menepi dengan baik-baik dan setia dengan pengaturan
belanda yang diadakan buat kerajaan belanda. Setelah itu ia berkata dengan nada
lantang lantaran diantara bangsa kita banyaklah kaum yang memperhatikan
kepentingannya sendiri dengan menindas pada kaum yang bodoh. Maka kesatriaan
kaum yang begitu sudah jadi hilang dan kesatriaannya sudah berbalik jadi penjilat
pantat
Untuk mengejar ketertinggalan kaum bumi putera, Tjokro juga tidak lupa
menuturkan cerita Subali dan Sugriwa yang mencari Cupu Manik Astragino. Dalam
cerita tersebut, digambarkan mengenai Subali dan Sugriwa yang siap mati untuk
mendapatkan senjata itu. Tentu, penceritaan ini adalah sebuah ajakan simbolik,
dengan menggunakan pendekatan world view masyarakat Jawa. Cupu diartikan
sebagai adalah lambang kemajuan, sedang Subali dan Sugriwa adalah merujuk kepada
kaum bumi putera yang sedang mengejar kemajuan, yang bersedia mengorbankan diri
demi sebuah cita-cita. Arti penting dari pemaparan ini menunjukkan beberapa hal.
Pertama, kadar pemahaman Tjokro mengenai Islam tidaklah mendalam, cenderung
biasa-biasa saja. Ia menjadikan Islam hanya sebatas klaim legitimasi, tetapi ia lupa
mendasarkan klaimnya dari kitab apa, ayat apa. Kedua, terlihat watak sinkretis dalam
pemahaman ke-Islaman Tjokro. Pada satu sisi ia mengambil pembenaran secara
agama, tetapi pada sisi lain ia juga menyandarkan pada cerita wayang yang
notabenenya bekas peninggalan budaya hinduisme-jawa yang membekas pada
pemahaman golongan Islam abangan.
Pada perkembangan pemikiran Tjokro selanjutnya, tidak banyak berubah. Saat
ia berpidato mengenai Islam, hal ini banyak ditujukan bagi symbol persatuan
nasional. Tjokro misalnya berpendapat bahwa solidaritas bumi putra dibangun atas
nama Islam. Dan orang-orang diberitahu bahwa semua anggota SI bersaudara,
terlepas dari umur, pangkat dan status. Pada Kongres CSI 1917 di Batavia, melihat
tantangan radikalisme dari Semaun. Tjokro bahkan dengan berani mengatakan: Yang
kita inginkan adalah: sama rasa, terlepas dari perbedaan agama. CSI ingin
mengangkat persamaan semua ras di Hindia sedemikian rupa sehingga mencapai
(tahap) pemerintahan sendiri. CSI menentang kapitalisme. CSI tidak akan mentolerir
dominasi manusia terhadap manusia lainnya. CSI akan bekerjasama dengan saja yang
mau bekerja untuk kepentingan ini. Dengan demikian, apabila kita melihat pidato
diatas, maka istilah sama-rasa secara awam merujuk kepada konsepsi pembentukan
kelas khas Marxis. Entah, apakah disini kosa-kata ini muncul sebagai sesuatu konsep

yang sadar, atau hanya bersifat reaktif terhadap Semaun yang saat itu semakin radikal.
Memang, terdapat juga kecenderungan bahwa pada beberapa kesempatan, Tjokro
mulai berfikir serius mengenai Islam. Misalnya, adalah kasus artikel Djojodikoro
dalam Djawi Hiswara yang ditulis pada awal Januari 1918. Dalam artikel itu
Martodharsono menulis bahwa Gusti Kandjeng Nabi Rasul minum A.V.H gin,
minum opium dan kadang suka menghisap opium. Artikel ini mendapat perhatian
Tjokro untuk menunjukkan simpatinya terhadap Islam. Tjokro membalas artikel itu
dengan tulisan tandingan, bahkan juga ia membentuk dan memimpin Tentara Kanjeng
Nabi Muhammad (TKNM) di Surabaya untuk mempertahankan kehormatan Islam,
Nabi dan kaum Muslim. Namun terbukti kemudian, bahwa kerja-kerja Tjokro ini
bukan hanya bertujuan membela Islam, tetapi juga sebagai alat atau upaya untuk
memperluas jaringan politiknya. Hal ini terbukti dengan banyaknya berdiri cabangcabang SI yang berjalan seiring dengan pendirian TKNM. Hal yang menandai
perubahan dalam diri Tjokro, yang membuatnya lebih memikirkan Islam, adalah pada
1922.
Ada dua hal yang kiranya dinilai penting atau bahkan memicu terjadinya
perubahan dalam diri Tjokro. Pertama, sejak Agustus 1921 hingga April 1922, Tjokro
berada dalam penjara. Keadaan ini, tentu saja dilihat Tjokro sebagai suatu proses
simbolik untuk melakukan refleksi. Sangat mungkin juga, ada pemaknaan lain bahwa
umur 40 tahun dalam penjara, adalah daulat akan keberadaannya sebagai pemimpin
pergerakan, sama dengan umur Nabi Muhammad ketika diangkat menjadi utusan
Allah. Kedua, Setelah keluar dari penjara, ia berusaha untuk kembali ke CSI dan
menarik pengikut dari kaum buruh. Usahanya ini gagal. Tentunya, hal ini semakin
menguatkan perspektif Tjokro bahwa untuk membangun nasionalisme dalam arti
yang luas, tidak dapat dibangun dari sesuatu yang general. Nasionalisme harus
dibangun atas dasar kesamaan, dan untuk itu diperlukan unsur pembeda guna
membersihkannya dari unsur lain. Tjokro percaya hal itu adalah Islam.
Pemahaman baru Tjokro mengenai Islam, secara substansial tampak dalam
brosur Sosialisme didalam Islam. Brosur ini, selain sebagai hasil kerja pikiran
Tjokro, juga sebuah pembentukan opini dan upaya untuk menarik mereka yang sudah
teracuni komunis untuk kembali kepada SI. Brosur tersebut berisikan beberapa hal
pokok, yaitu perikemanusiaan sebagai dasar bangunan Islam, perdamaian, sosialisme
dan persaudaraan. Islam sama dengan sosialisme karena tiga hal, yaitu unsur
kemerdekaan, persamaan dan persaudaraan. Dari segi isi, kelihatannya Tjokroaminoto

sudah ingin memberi batasan antara Sosialisme Islam dan komunisme. Karena
sosialisme Islam, menyandarkan kekuatannya kepada Allah.
Selanjutnya sebagai bukti kecenderungan pemahaman Islam sebagai sebuah
ideology, juga diarahkan secara politik. Sejak 1922 hingga 1924, Tjokro bahkan aktif
menjadi pemimpin dari kongres Al-Islam yang disponsori kaum modernis
(diantaranya Agus Salim dan tokoh-tokoh Muhammadiyah dan Al-Irsyad).
Selanjutnya Tjokro juga amat bersemangat dalam menanggapi isu kekhalifahahan
yang digulirkan Ibnu Saud. Hal yang mengakibatkan ia di curigai berpaham
Wahabiah, yang kelak menyingkirkan keberadaan empat mazhab yang berkembang di
Indonesia (khususnya di Jawa). Jelas, dalam konteks ini ide-ide pan-Islamisme sudah
membayang dalam pemikiran Tjokro.
Pada akhirnya kecenderungan pan-Islamis semakin menguat dalam pemikiran
Tjokro. Ketika muncul federasi PPPKI, PSI yang diketuai Tjokro sangat ingin muncul
sebagai kekuatan yang menguasainya. Bahkan ia juga semakin keras berpidato
mengenai dikotomi nasionalisme Islam dan sekuler. Kaum beragama, harus memilih
organisasi yang didasarkan agama, tutur Tjokro. Arti dari gerakan Pan-Islamis Tjokro
ini, menyiratkan bahwa setidaknya yang dibayangkan Tjokro adalah sebuah
nasionalisme, sebuah kebangsaan yang didasarkan semangat persatuan nasib. Islam
maupun sekuler, dalam dikotomi ini, diakui sebagai unsur yang sedang berjuang demi
nasionalisme.
3. Relevansi Pemikiran Coktroaminoto dengan Sistem Ketatanegaraan
Indonesia
Setelah melalui masa penjajahan oleh negara asing, khususnya Belanda,
beberapa sistem pemerintahan yang digunakan oleh Belanda pada rakyat Indonesia
mempengaruhi sistem pemerintahan Indonesia pada masa kini, seperti sistem
perwakilan daerah. Meskipun bersifat diskriminatif, tidak sesuai dengan tujuan, dan
tidak menguntungkan rakyat Indonesia, pemerintahan Belanda menggunakan sistem
perwakilan daerah yang sesungguhnya bertujuan sebagai orang-orang yang bekerja
untuk kepentingan rakyatnya. Apabila sistem perwakilan daerah ini berjalan sesuai
dengan bagaimana semestinya, maka Indonesia telah menggunakan sistem
pemerintahan yang menurut O. S. Tjokroaminoto disebut sebagai pemerintahan
sendiri. Sistem perwakilan darerah dari Belanda ini dapat kita lihat pada pemerintahan

kita hari ini, bahwa kita menggunakan DPRD sebagai perwakilan daerah guna
mendengar aspirasi dari rakyat. Berangkat dari aspirasi rakyat, penulis setuju dengan
O. S. Tjokoroaminoto bahwa sistem perwakilan daerah sesungguhnya dapat
membangun negara dengan pemerintahannya sendiri. Kata sendiri disini
dimaksudkan sebagai rakyat Indonesia.
Namun, yang terjadi pada masa kolonialisme Belanda, perwakilan-perwakilan
daerah yang disebut Dewan Kota hanya dipilih oleh golongan orang tertentu.
Pengguna hak pilih juga hanya diberikan kepada mereka yang dapat berbahasa
Belanda dan berpendapatan paling tidak lima puluh gulden setiap bulannya. Selain
itu, kaum pribumi yang dapat duduk di Dewan Kota hanyalah sembilan dari total 24
kursi di setiap daerahnya. Hal ini tentu saja dianggap tidak adil oleh kaum pribumi.
Adapula camat yang ditugaskan oleh pemerintahan Belanda sebagai alat penarik pajak
dan bertindak sebagai polisi kepada rakyat Indonesia. Tulisan O. S. Tjokroaminoto
(1981) tentang sistem perwakilan daerah yang mengarah kepada pemerintahan sendiri
oleh rakyat diperjelas oleh tulisan dari Mohammad Hatta dalam bukunya yang
berjudul Kedaulatan Rakyat, Demokrasi, dan Otonomi.
4. Hikmah/Pelajaran yang Dapat Diambil dari Cokroaminoto
HOS Tjokroaminoto merupakan sosok guru bangsa yang kisah hidupnya
sangat inspiratif. Karir politik Tjokroaminoto sudah terlihat sejak ia berpindah ke
Surabaya. Di kota pahlawan tersebut, ia kemudian bergabung dalam Sarekat Dagang
Islam (SDI). Ia menyarankan agar SDI diubah menjadi partai politik. Tjokroaminoto
banyak menghasilkan sosok politik yang berpengaruh dalam perjalanan Bangsa
Indonesia dalam meraih kemerdekaannya, seperti Soekarno, Semaun, H. Agus Salim,
Tan Malaka, dan Muso . Tjokroaminoto juga merupakan sosok yang berani dan
pantang menyerah. Saat ia remaja, ada seorang guru yang mengatakan tentang hijrah
terhadap dirinya, dan ia terus memikirkan hal tersebut. Tjokroaminoto akhirnya pergi
meninggalkan kampung halamannya untuk mencari makna berhijrah bagi
kehidupannya. Di tempat-tempat baru seperti di Jogjakarta, Semarang, Surabaya, dll
ia menemukan banyak sekali pelajaran dan pengalaman baru yang belum pernah ia
dapatkan sebelumnya. Tjokro tidak pernah takut terhadap siapapun, ia berani
menentang pemerintahan Belanda yang salah. Pada satu hari, ia pernah menumpahkan
teh milik seorang kolonial Belanda yang telah menyiksa rakyat Indonesia yang

dianggapnya

telah

melakukan

kesalahan.

Selama

hidupnya,

Tjokroaminoto

merupakan sosok yang berpengaruh besar terhadap tokoh-tokoh muda pergerakan


nasional saat itu. Keahliannya berpidato ia gunakan untuk mengecam kesewenangwenangan pemerintah Belanda. Ia juga memperjuangkan hak hak milik pribumi dan
nasib nasib dokter pribumi pun ia perjuangkan nasibnya. Tjokroaminoto tidak hanya
memikirkan tentang hidupnya sendiri, tetapi ia juga memikirkan tentang nasib rakyat
dan Bangsa Indonesia.

SUMBER INTERNET

http://www.tokohindonesia.com/biografi/article/295-pahlawan/667-raja-jawa-tanpamahkota
http://sevira-marsanti-u-fisip14.web.unair.ac.id/artikel_detail-135679-Studi
%20Strategis%20Indonesia%20I%20(SOH%20216)-Kesatuan,%20Republik,%20dan
%20Rakyat.html
https://tjokroaminoto.wordpress.com/2008/03/21/hos-tjokroaminoto-potretpemikiran-nasionalisme-dan-agama-di-indonesia-1/

You might also like