You are on page 1of 6

Digitalis pada Takiaritmia

September 12, 2009 Leave a Comment


Filed under: Aggregator

Apa yang Anda lihat dari gambar di atas? Orang yang tak paham bisa saja tidak terlalu tertarik dengan gambaran
mirip sandi rumput itu. Tapi bagi dokter lain lagi ceritanya. Gambaran EKG di atas adalah takiaritmia. Kata taki
menandakan bahwa jantung berdenyut di atas normal (> 100 kali per menit), sedangkan aritmia menandakan
bahwa denyut jantung yang terjadi tidak beraturan.
Keluhan utama pasien biasanya berupa perasaan berdebar-debar. Nyeri dada dan sesak nafas tidak seberat bila
gambaran EKG berupa ST-elevasi. Resiko kematian takiaritmia pun konon tidak sebesar infark miokard akut. Pun
begitu, takiaritmia adalah salah satu penyebab terjadinya gagal jantung, lebih tepatnya, gagal jantung kiri.
Gambaran EKG tersebut diambil dari seorang pasien wanita, berumur 51 tahun, yang datang dengan keluhan nyeri
perut di ulu hati dan badan panas sejak 2 hari sebelumnya. Saat diperiksa, tekanan darahnya 100/palpasi. Nadinya
lemah, cepat dan tak beraturan. Sementara capillary refill time-nya < 2 detik. Kuguyur saja dengan satu flabot RL.
Ternyata tekanan darahnya tidak berubah. Dengan kondisi ini, dan ditambah hasil rekaman EKG, dapat lah
kupastikan bahwa problem utama pasien ada pada irama jantungnya. Segera saja kuberikan terapi oksigen 1-3
liter/menit, injeksi ampicillin 1 gr/8 jam, injeksi antalgin 1 ampul/8 jam, injeksi ranitidin 1 ampul/12 jam, paracetamol 3
x 1 (bila panas) dan digoksin 2 x .
Sehari kemudian pasien membaik. Tekanan darah menjadi 130/ 70, dan oksigen sudah dilepas. Injeksi antalgin
dihentikan, sementara digoksin dosisnya dijadikan 1 x 1. Terapi tambahan berupa injeksi furosemide 1 ampul/12 jam
dan KSR 2 x 1.
Digitalis
Digoksin, sebagai salah satu digitalis, dianjurkan pemberiannya pada kasus takiaritmia seperti di atas. Digitalis
mempunyai efek inotropik positif, artinya memperkuat kontraksi otot jantung. Di samping itu juga mempunyai efek
kronotropik negatif, artinya menekan irama sinus sehingga denyut jantung menjadi lebih lambat. Oleh karena itu,
digitalis sangat berguna meningkatkan kontraksi jantung pada penderita gagal jantung dan menekan berbagai aritmia
supraventrikuler, seperti fibrilasi atrium, fluter atrium, takikardia atrium dan lain-lain.

Digitalis yang tersedia di pasaran umumnya berbentuk tablet lanatosid C 0,25 mg, digoksin 0,25 mg, betametildigoksin 0,1 mg atau sedilanid 0,4 mg/2 ml untuk pemakaian intramuskuler atau intravena.

Kamis, 2008 Juni 19


Edema Paru Akut (Kardiak)
Pengertian
Edema paru akut (kardiak) adalah akumulasi cairan di paru-paru secara tiba-tiba akibat peningkatan tekanan
intravaskular.
Diagnosis :
Riwayat sesak napas yang bertambah hebat dalam waktu singkat (jam atau hari) disertai gelisah, batuk dengan
sputum busa kemerahan.
Pemeriksaan Fisik
Sianosis sentral. Sesak napas dengan bunyi napas seperti mukus berbuih.
Ronchi basah nyaring di basal paru kemudian memenuhi hampir seluruh lapangan paru, kadang disertai ronchi
kering dan ekspirasi yang memanjang akibat bronkospasme sehingga disebut sebagai asma kardiale. Takikardia
dengan S3 gallop. Murmur bila ada kelainan katup.
Elektrokardiografi
Bisa sinus takikardia dengan hipertrofi atrium kiri atau fibrilasi atrium, tergantung penyebab gagal jantung.
Gambaran infark, hipertrofi ventrikel kiri atau aritmia bisa ditemukan.
Laboratorium
Analisa gas darah pO2 rendah, pCO2 mula-mula rendah dan kemudian hiperkapnia.
Enzim kardiospesifik meningkat jika penyebabnya infark miokard.
Foto thoraks : opasifikasi hilus dan bagian basal paru kemudian makin ke arah apeks paru kadang-kadang timbul
efusi pleura.
Ekokardiografi : gambaran penyebab gagal jantung : kelainan katup, hipertrofi ventrikel (hipertensi), Segmental wall
motion abnormally (Penyakit Jantung Koroner), dan umumnya ditemukan dilatasi ventrikel kiri dan atrium kiri.
Diagnosis Banding : Edema paru akut non kardiak, emboli paru, asma bronkiale.
Pemeriksaan Penunjang : Darah rutin, ureum, kreatinin, analisis gas darah, elektrolit, urinalisis, foto thoraks, EKG,
enzim jantung (CK-MB, Troponin T), ekokardiografi transtorakal, angiografi koroner.
Terapi
1. Posisi duduk.
2. Oksigen (40 50%) sampai 8 liter/menit bila perlu dengan masker. Jika memburuk (pasien makin sesak, takipneu,
ronchi bertambah, PaO2 tidak bisa dipertahankan 60 mmHg dengan O2 konsentrasi dan aliran tinggi, retensi CO2,

hipoventilasi, atau tidak mampu mengurangi cairan edema secara adekuat), maka dilakukan intubasi endotrakeal,
suction, dan ventilator.
3. Infus emergensi. Monitor tekanan darah, monitor EKG, oksimetri bila ada.
4. Nitrogliserin sublingual atau intravena. Nitrogliserin peroral 0,4 0,6 mg tiap 5 10 menit. Jika tekanan darah
sistolik > 95 mmHg bisa diberikan Nitrogliserin intravena mulai dosis 3 5 ug/kgBB. Jika tidak memberi hasil
memuaskan maka dapat diberikan Nitroprusid IV dimulai dosis 0,1 ug/kgBB/menit bila tidak memberi respon dengan
nitrat, dosis dinaikkan sampai didapatkan perbaikan klinis atau sampai tekanan darah sistolik 85 90 mmHg pada
pasien yang tadinya mempunyai tekanan darah normal atau selama dapat dipertahankan perfusi yang adekuat ke
organ-organ vital.
5. Morfin sulfat 3 5 mg iv, dapat diulang tiap 25 menit, total dosis 15 mg (sebaiknya dihindari).
6. Diuretik Furosemid 40 80 mg IV bolus dapat diulangi atau dosis ditingkatkan tiap 4 jam atau dilanjutkan drip
continue sampai dicapai produksi urine 1 ml/kgBB/jam.
7. Bila perlu (tekanan darah turun / tanda hipoperfusi) : Dopamin 2 5 ug/kgBB/menit atau Dobutamin 2 10
ug/kgBB/menit untuk menstabilkan hemodinamik. Dosis dapat ditingkatkan sesuai respon klinis atau keduanya.
8. Trombolitik atau revaskularisasi pada pasien infark miokard.
9. Intubasi dan ventilator pada pasien dengan hipoksia berat, asidosis/tidak berhasil dengan oksigen.
10. Atasi aritmia atau gangguan konduksi.
11. Operasi pada komplikasi akut infark miokard, seperti regurgitasi, VSD dan ruptur dinding ventrikel / corda
tendinae.
Komplikasi : gagal napas.
Prognosis : tergantung penyebab, beratnya gejala dan respon terapi.

Diagnosis dan Pengelolaan Edema Paru Kardiogenik Akut


Edema paru terjadi oleh karena adanya aliran cairan dari darah ke ruang intersisial paru yang selanjutnya
ke alveoli paru, melebihi aliran cairan kembali ke darah atau melalui saluran limfatik.
Edema paru dibedakan oleh karena sebab Kardiogenik dan NonKardiogenik. Hal ini penting
diketahui oleh karena pengobatannya sangat berbeda. Edema Paru Kardiogenik disebabkan
oleh adanya Payah Jantung Kiri apapun sebabnya. Edema Paru Kardiogenik yang akut
disebabkan oleh adanya Payah Jantung Kiri Akut. Tetapi dengan adanya faktor presipitasi, dapat terjadi
pula pada penderita Payah Jantung Kiri Khronik.

Edema Paru dapat terjadi oleh karena banyak mekanisme yaitu :


I. Ketidak-seimbangan Starling Forces :
A. Peningkatan tekanan kapiler paru :
1. Peningkatan tekanan vena paru tanpa adanya gangguan fungsi ventrikel kiri (stenosis mitral).
2. Peningkatan tekanan vena paru sekunder oleh karena gangguan fungsi ventrikel kiri.

3. Peningkatan tekanan kapiler paru sekunder oleh karena peningkatan tekanan arteria pulmonalis (over
perfusion pulmonary edema).
B. Penurunan tekanan onkotik plasma.
1. Hipoalbuminemia sekunder oleh karena penyakit ginjal, hati, protein-losing enteropaday, penyakit
dermatologi atau penyakit nutrisi.
C. Peningkatan tekanan negatif intersisial :
1. Pengambilan terlalu cepat pneumotorak atau efusi pleura
(unilateral).
2. Tekanan pleura yang sangat negatif oleh karena obstruksi saluran napas akut bersamaan dengan
peningkatan end-expira-tory volume (asma).
D. Peningkatan tekanan onkotik intersisial.
1. Sampai sekarang belum ada contoh secara percobaan mau-pun klinik.

II. Perubahan permeabilitas membran alveolar-kapiler (Adult Respiratory Distress Syndrome)


A. Pneumonia (bakteri, virus, parasit).
B. Bahan toksik inhalan (phosgene, ozone, chlorine, asap Teflon, NO2, dsb).
C. Bahan asing dalam sirkulasi (bisa ular, endotoksin bakteri, alloxan, alpha-naphthyl thiourea).
D. Aspirasi asam lambung.
E. Pneumonitis radiasi akut.
F. Bahan vasoaktif endogen (histamin, kinin).
G. Disseminated Intravascular Coagulation.
H. Imunologi : pneumonitis hipersensitif, obat nitrofurantoin, leukoagglutinin.
I. Shock Lung oleh karena trauma di luar toraks.
J. Pankreatitis Perdarahan Akut. I
II. Insufisiensi Limfatik :
A. Post Lung Transplant.
B. Lymphangitic Carcinomatosis.
C. Fibrosing Lymphangitis (silicosis).
IV. Tak diketahui/tak jelas

A. High Altitude Pulmonary Edema.


B. Neurogenic Pulmonary Edema.
C. Narcotic overdose.
D. Pulmonary embolism. E. Eclampsia.
F. Post Cardioversion.
G. Post Anesthesia.
H. Post Cardiopulmonary Bypass.
Dari klasifikasi di atas edema paru dapat disebabkan oleh banyak penyakit. Untuk pengobatan yang tepat
tentunya harus diketahui penyakit dasamya
(1). MANIFESTASI KLINIK EDEMA PARU KARDIOGENIK Manifestasi dapat dicari dari keluhan, tanda
fisik dan perubahan radiografi (foto toraks). Gambaran dapat dibagi 3 stadium, meskipun kenyataannya
secara klinik sukar dideteksi dini.
Stadium 1.
Adanya distensi dan pembuluh darah kecil paru yang prominen akan memperbaiki pertukaran gas di paru
dan sedikit meningkatkan kapasitas difusi gas CO. Keluhan pada stadium ini mungkin hanya berupa
adanya sesak napas saat bekerja. Pemeriksaan fisik juga tak jelas menemukan kelainan, kecuali
mungkin adanya ronkhi pada saat inspirasi karena terbukanya saluran napas yang tertutup pada saat
inspirasi.
Stadium 2.
Pada stadium ini terjadi edema paru intersisial. Batas pembuluh darah paru menjadi kabur, demikian pula
hilus juga menjadi kabur dan septa interlobularis menebal (garis Kerley B). Adanya penumpukan cairan di
jaringan kendor inter-sisial, akan lebih memperkecil saluran napas kecil, terutama di daerah basal oleh
karena pengaruh gravitasi. Mungkin pula terjadi refleks bronkhokonstriksi. Sering terdapat takhipnea.
Meskipun hal ini merupakan tanda gangguan fungsi ventrikel kiri, tetapi takhipnea juga membantu
memompa aliran limfe sehingga penumpukan cairan intersisial diperlambat. Pada pemeriksaan spirometri
hanya terdapat sedikit perubahan saja.
Stadium 3.
Pada stadium ini terjadi edema alveolar. Pertukaran gas sangat terganggu, terjadi hipoksemia dan
hipokapnia. Penderita nampak sesak sekali dengan batuk berbuih kemerahan. Kapasitas vital dan
volume paru yang lain turun dengan nyata. Terjadi right-to-left intrapulmonary shunt. Penderita biasanya
menderita hipokapnia, tetapi pada kasus yang berat dapat terjadi hiperkapnia dan acute respiratory
acidemia. Pada keadaan ini morphin hams digunakan dengan hati-hati (Ingram and Braunwald, 1988).
Edema Pam yang terjadi setelah Infark Miokard Akut biasanya akibat hipertensi kapiler paru. Namun
percobaan pada anjing yang dilakukan ligasi arteriakoronaria, terjadi edema paru walaupun tekanan
kapiler paru normal, yang dapat dicegah de-ngan pemberian indomethacin sebelumnya. Diperkirakan
bahwa dengan menghambat cyclooxygenase atau cyclic nucleotide phosphodiesterase akan mengurangi
edema' paru sekunder akibat peningkatan permeabilitas alveolar-kapiler; pada ma-nusia masih

memerlukan penelitian lebih lanjut. Kadang kadang penderita dengan Infark Miokard Akut dan edema
paru, tekanan kapiler pasak parunya normal; hal ini mungkin disebabkan lambatnya pembersihan cairan
edema secara radiografi meskipun tekanan kapiler paru sudah turun atau kemungkinan lain pada
beberapa penderita terjadi peningkatan permeabilitas alveolar-kapiler paru sekunder oleh karena adanya
isi sekuncup yang rendah seperti pada cardiogenic shock lung.
Sumber : Cermin Dunia Kedokteran

You might also like