You are on page 1of 36

KATA PENGANTAR

Oleh :
Debora Christianingtyas

08.321.0122

Dewa AA Sri Ariesti

08.321.0127

Ketut Yastrini

08.321.0143

Ni Made Elsi Mariyani

08.321.0151

Gde septian Ady Setiawan

08.321.0227

Program Studi S1 Keperawatan


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
WIRA MEDIKA PPNI BALI
2011

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Penilaian awal korban cedera kritis akibat cedera multipel merupakan
tugas yang menantang, dan tiap menit bisa berarti hidup atau mati. Sistem
Pelayanan Tanggap Darurat ditujukan untuk mencegah kematian dini (early)
karena trauma yang bisa terjadi dalam beberapa menit hingga beberapa jam sejak
cedera (kematian segera karena trauma, immediate, terjadi saat trauma. Perawatan
kritis, intensif, ditujukan untuk menghambat resiko kecacatan dan bahkan
kematian. Hal ini bisa saja terjadi karena trauma yang terjadi dalam beberapa hari
hingga beberapa minggu setelah trauma tidak mendapatkan penanganan yang
optimal. Berdasarkan kasus diatas, penilaian awal merupakan salah satu item
kegawatdaruratan yang sangat mutlak harus dilakukan untuk mengurangi resiko
kecacatan, bahkan kematian.
Pada penelitian Canadian selama 5 tahun yang diakui oleh unit trauma,
96,3% mendukung terjadinya trauma tumpul, sisanya 3,7% cedera dengan
mekanisme penetrasi. Penyebab trauma tumpul berhubungan dengan kecelakaan
lalu lintas (70%), bunuh diri (10%), jatuh (8%), pembunuhan (7%), dan lain-lain
(5%). Banyak kejadian tersebut yang akhirnya menuju kedalam kegawatdaruratan.
Berdasarkan penelitian diatas, seorang tenaga kesehatan harus mampu
melakukan tindakan medis yang tepat dan cepat untuk mengatasinya. Melalui
protocol-protokol yang berlaku, seorang tenaga kesehatan harus mampu
melakukan penilaian awal, sehingga mampu memberikan tindakan yang tepat
sesuai dengan tujuan penilaian awal. Tujuan penilaian awal adalah untuk
menstabilkan pasien, mengidentifikasi cedera / kelainan pengancam jiwa dan
untuk memulai tindakan sesuai, serta untuk mengatur kecepatan dan efisiensi
tindakan definitif atau transfer kefasilitas sesuai. Oleh karena itu tenaga medis,

khususnya dalam system pelayanan tanggap darurat harus mengenal konsep


penilaian awal untuk meningkatkan keberhasilan penanganan kasus gawat darurat.

1.2 RUMUSAN MASALAH


Berdasarkan latar belakang di atas , maka rumusan masalah yang kami
kemukakan dalam makalah ini adalah :
1. Apa yang dimaksud initial assesment?
2. Bagaimana pendiagnosaan pada pasien kegawatdaruratan?
3. Bagaimana intervensi dan evaluasi pada pasien dengan kegawatdaruratan?

1.3 TUJUAN UMUM


Adapun

tujuan

dari

penulisan

makalah

ini

adalah

untuk

menyelesaikan tugas mata kuliah Komprehensif I serta untuk menambah


pengetahuan tentang keperawatan khususnya keperawatan kegawatdaruratan
dan yang termasuk didalamnya adalah konsep initial assesment.
1.4 TUJUAN KHUSUS
Dari rumusan masalah di atas, maka tujuan dari pembahasan makalah ini
adalah :
1. Untuk mengetahui pengertian initial assesment
2. Untuk mengetahui pendiagnosaan pada pasien kegawatdaruatan
3. Untuk mengetahui intervensi dan evaluasi pada pasien dengan
kegawatdaruratan

1.5 METODE
Dalam penyusunan makalah ini, metode yang kami gunakan yaitu
metode kepustakaan dengan mencari dan mengumpulkan data-data yang
berhubungan baik melalui media internet maupun materi kuliah yang
diberikan oleh dosen pembimbing/pengajar.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian initial assessment
Initial Assessment adalah proses penilaian yang cepat dan
pengelolaan yang tepat guna menghindari kematian pada pasien gawat
darurat. Pengertian luas initial assessment adalah proses evaluasi secara
tepat pada penderita gawat darurat yang langsung diikuti dengan tindakan
resusitasi. Secara terbatas pengertian initial assessment adalah meliputi
tindakan triase sampai dengan survey sekunder. Initial assessment harus
dilakukan dengan urutan yang benar supaya diperoleh hasil yang
maksimal meski demikian dalam praktek sehari-hari dapat berlangsung
secara simultan
Initial assessment adalah untuk memprioritaskan pasien dan
menberikan penanganan segera. Informasi digunakan untuk membuat
keputusan tentang intervensi kritis dan waktu yang dicapai. Ketika
melakukan pengkajian, pasien harus aman dan dilakukan secara cepat dan
tepat dengan mengkaji tingkat kesadaran (Level Of Consciousness) dan
pengkajian ABC (Airway, Breathing, Circulation), pengkajian ini
dilakukan pada pasien memerlukan tindakan penanganan segera dan pada
pasien yang terancam nyawanya. (John Emory Campbell, 2004 : 26)
Penilaian awal ini intinya adalah :
1. Primary survey, yaitu penanganan ABCDE dan resusitasi. Disini dicari
keadaan yang mengancam nyawa, dan apabila menemukan harus
dilakukan resusitasi.
2. Secondary survey, yaitu head to toe atau pemeriksaan yang teliti dari
ujung kepala sampai kaki
3. Penanganan definitive atau menetap
Survei primer maupun sekunder harus selalu diulang-ulang untuk
menentukan adanya keadaan penurunan penderita, dan memberikan
resusitasi dimana diperlukan.
B. Komponen Initial Assessment
Proses initial assessment meliputi antara lain :
1. Persiapan penderita
2. Triage

3.
4.
5.
6.
7.

Survey primer
Resusitasi
Pemeriksaan penunjang untuk survey sekunder
Pengawasan dan evaluasi ulang
Terapi definitive

C. Langkah langkah pada Initial Assessment


1. Persiapan penderita
Koordinasi yang baik antara dokter di rumah sakut dengan petugas di
lapangan akan menguntungkan penderita. Sebaiknya rumah sakit
sudah diberitahukan sebelum pasien mulai diangkut dari tempat
kejadian sehingga rumah sakit dapat mempersiapkan peralatan dan tim
trauma pada saat penderita tiba di rumah sakit.
Penanganan penderita berlangsung dalam 2 tahap, yaitu :
a. Tahap pra rumah sakit ( Pre hospital)
Merupakan fase yang cukup menentukan untuk keselamatan
pasien, mulai dari penanganan awal hingga rujukan pasien ke
Rumah Sakit yang tepat. Di Indonesia peyanan pra rumah sakit ini
merupakan bagian yang sangat terbelakang dari pelayanan
penderita gawat darurat secara menyeluruh. Berbeda di jalan tol
hampir semua korban penderita trauma dibawa oleh ambulans ke
rumah sakit. Pelayanan korban dengan trauma pra rumah sakit
yang membawanya biasanya adalah keluarga sendiri atau orang
yang berbaik hati. Prinsip utama adalah do not further harm bahwa
tidak boleh membuat keadaan lebih parah. Keadaan yang ideal
dimana Unit Gawat Darurat yang datang ke penderita, bukan
sebaliknya, karena itu ambulan yang datang sebaiknya memiliki
peralatan yang lengkap. Petugas atau paramedik yang datang
membantu penderita juga sebaiknya mendapatkan latihan khusus,
karena pada saat menaangani penderita mereka harus menguasai
keterampilan khusus yang dapat menyelamatkan nyawa. Sebaiknya
rumah sakit sudah diberitahukan sebelum penderita diangkat dari
tempat kejadian, dan koordinasi yang baik antara dokter di Rumah
Sakit dengan petugas lapangan akan menguntungkan penderita.
Hal-hal yang perlu dipertimbangkan meliputi :

1) Koordinasi dengan rumah sakit tujuan yang disesuaikan dengan

kondisi dan jenis perlukaannya.


2) Penjagaan jalan nafas, control perdarahan dan imobilisasi
penderita
3) Koordinasi dengan petugas lapangan lainnya
Selain itu, yang harus dilakukan oleh seorang paramedik adalah :
1) Menjaga Airway dan Breathing
2) Kontrol perdarahan dan syok
3) Imobilisasi penderita
4) Pengiriman kerumah sakit terdekat yang cocok
Pada tahap intra Rumah Sakit harus dipersiapkan petugas dan
perlengkapannya. Persiapan tersebut meliputi :
1) Alat perlindungan diri
2) Kesiapan perlengkapan dan ruangan untuk resusitasi
3) Persiapan untuk tindakan resusitasi yang lebih kompleks
4) Persiapan untuk terapi definitive
b. Tahap Rumah sakit
Evakuasi Penderita yaitu dalam keadaan dimana penderita trauma di
Rumah Sakit yang dibawa tanpa persiapan pada pra rumah sakit
maka sebaiknya evakkuasi dari kendaraan ke brankar dilakukan
oleh petugas rumah sakit dengan berhati-hati. Selalu harus
diperhatikan control servikal.
2. Triage
Triage adalah cara pemilihan penderita berdasarkan kebutuhan terapi
dan sumber daya yang tersedia. Triage adalah tindakan untuk
mengelompokkan penderita berdasar pada beratnya cedera yang
diprioritaskan berdasarkan ada tidaknya gangguan pada A (Airway), B
(Breathing) dan C (Circulation).
Pada umumnya kita akan melakukan triage, tidak perduli apakah
penderita hanya 1 atau banyak. Bila satu penderita akan mencari
masalah penderita(selection of problems). Bila banyak penderita, akan
mencari penderita yang paling bermasalah. Dan yang berikutnya,
pemilahan didasarkan pada keadaan ABC.
Penderita yang mengalami gangguan jalan nafas (airway) harus
mendapatkan prioritas penanganan pertama mengingat adanya

gangguan jalan nafas adalah penyebab tercepat kematian pada


penderita.
Triage juga mencakup pengertian mengatur rujukan sedemikian rupa
sehingga penderita mendapatkan tempat perawatan yang semestinya
Pada umumnya kita akan melakukan triage, tidak peduli penderita
hanya satu atau banyak.
a. Bila satu penderita, akan mencari masalah penderita (selection of
problems)
b. Bila banyak penderita, akan mencari penderita yang paling
bermasalah.
c. Pemilihan akan didasarkan pada keadaan ABC (Airway, Breathing,
Circulation)
Dua jenis keadaan triage yang dapat terjadi, yaitu :
a.
Multiple casualities
Musibah massal dengan jumlah penderita dan beratnya perlukaan
melebihi kemampuan Rumah Sakit. Dalam keadaan ini penderita
dengan masalah gawat darurat dan multitrauma akan dilayani
b.

terlebih dahulu.
Mass Casualities
Musibah missal dengan jumlah penderita dan beratnya perlukaan
melampaui kemampuan Rumah Sakit. Dalam keadaan ini yang
akan

dilayani

terlebih

dahulu

adalah

penderita

dengan

kemungkinan survival yang terbesar, serta membutuhkan waktu,


perlengkapan dan tenaga paling sedikit.
Tindakan triase dapat dikerjakan pada sekelompok pasien, missal pada
keadaan bencana atau korban missal, atau pada penderita tunggal
untuk menentukan diagnosis
3. Primary Survay, Resusitasi dan Pemeriksaan Penunjang
Primary survey dilakukan untuk menilai keadaan penderita dan
prioritas terapi berdasarkan jenis perlukaan, tanda-tanda vital dan
mekanisme trauma. Survey primer atau primary survey adalah
pemeriksaan secara cepat fungsi vital pada penderita dengan cedera
berat dengan prioritas pada ABCD. Fase ini harus dikerjakan dalam
waktu singkat dan kegawatan pada penderita sudah harus dapat
ditegakkan pada fase ini.

Pada tahap ini harus dicari keadaan yang mengancam nyawa, tetapi
sebelum memegang penderita trauma selalu harus proteksi diri terlebih
dahulu untuk menghindari tertular penyaklit seperti hepatitis dan
AIDS. Alat proteksi diri yang diperlukan diantaranya adalah :
a. Sarung tangan
b. Kaca mata terutama apabila penderita menyemburkan darah
c. Apron ,digunakan untuk melindungi pakaian sendiri
d. Sepatu
Tindakan resusitasi untuk menyelamatkan harus segera dikerjakan
apabila dijumpai kegawatan pada survey primer meliputi penilaian :
a.
Airway
Adalah mempertahankan jalan nafas. Hal ini dapat
dikerjakan dengan teknik manual ataupun menggunakan alat bantu
(pipa orofaring, pipa endotracheal). Tindakan ini mungkin akan
banyak memanipulasi leher sehingga harus diperhatikan untuk
menjaga stabilitas tulang leher. Pada penderita yang masih sadar
dapat dipakai nasofaringeal airway. Bila penderita tidak sadar dan
tidak ada refleks batuk (gag refleks) dapat dipakai orofaringeal
airway.
b. Breathing
Adalah
berlangsung

menjaga
dengan

pernafasan

baik.

Setiap

atau

ventilasi

penderita

trauma

dapat
berat

memerlukan tambahan oksigen yang harus diberikan kepada


penderita dengan cara efektif
Kontrol jalan nafas pada penderita yang airway terganggu
karena faktor mekanik, ada gangguan ventilasi dan atau ada
gangguan kesadaran, dicapai dengan intubasi endotrakheal baik
oral maupun nasal. Surgical airway atau krikotiroidotomi dapat
dilakukan bila intubasi endotrakheal tidak memungkinkan karena
kontraindikasi atau karena masalah teknis
c. Circulation
Adalah mempertahankan sirkulasi

bersama

dengan

tindakan untuk menghentikan perdarahan. Pengenalan dini tanda


tanda syok perdarahan dan pemahaman tentang prinsip prinsip

pemberian cairan sangat penting untuk dilakukan sehingga


menghindari pasien dari keterlambatan penanganan.
Bila ada gangguan sirkulasi harus dipasang minimal dua IV
line. Kateter IV yang dipakai harus berukuran besar. Pada awalnya
sebaiknya menggunakan vena pada lengan. Selain itu bisa juga
digunakan jalur IV line yang seperti vena seksi atau vena sentralis.
Pada saat memasang kateter IV harus diambil contoh darah untuk
pemeriksaan laboratorium rutin serta pemeriksaan kehamilan pada
semua penderita wanita berusia subur.
Pada saat datang penderita diinfus cepat dengan 2-3 liter
cairan kristaloid, sebaiknya Ringer Laktat. Bila tidak ada respon,
berikan darah segulungan atau (type specific). Jangan memberikan
infus RL dan transfusi darah terus menerus untuk terapi syok
hipovolemik. Dalam keadaan harus dilakukan resusitasi operatif
d.

untuk menghentikan perdarahan.


Disability
Pemeriksaan untuk mendapatkan kemungkinan adanya

e.

gangguan neurologis
Environment atau Exposure
Adalah pemeriksaan pada se.luruh tubuh penderita untuk
melihat jejas atau tanda-tanda kegawatan yang mungkin tidak
terlihat dengan menjaga supaya tidak terjadi hipotermi. Selama
survey primer ini keadaan yang mengancam nyawa harus dikenali
dan resusitasinya dilakukan pada saat itu juga. Resusitasi yang
agresif dan pengelolaan yang cepat dari keadaan yang mengancam
nyawa merupakan hal yang mutlak bila ingin penderita tetap hidup.
Prioritas penanganan kegawatan dilakukan berdasarkan urutan
diatas, namun bila memungkinkan dapat juga dilakukan secara
simultan. Prioritas penanganan untuk pasien usia muda maupun
usia lanjut adalah sama. Salah satu perbedaanya adalah bahwa
pada usia muda ukuran organ relative lebih kecil dan fungsinya
belum berkembang secara maksimal. Pada ibu hamil, prioritas
tetap sama, hanya proses kehamilan membuat proses fisiologis

berubah karena adanya janin. Pada orang tua, karena proses


penuaan fungsi tubuh menjadi lebih rentan terhadap trauma karena
berkurangnya daya adaptasi tubuh.
Langkah pertama adalah memakai alat proteksi diri. Lakukan
Primary Survey atau mencari keadaan yang mengadapat mengancam
nyawa adalah :
a. Airway dengan kontrol servikal (gangguan airway adalah pembunuh
tercepat)
Kelancaran jalan nafas (airway) adalah menjadi prioritas
pemeriksaan. Pemeriksaan ini meliputi adanya obstruksi jalan nafas
yang dapat disebabkan karena benda asing, fraktur tulang wajah,
trauma laring, trachea dan sebab lain. Dalam hal ini penjagaan
airway bias dimulai dengan membuka jalan nafas dengan maneuver
chin lift atau jaw thrust untuk mengetahui ada atau tidaknya
sumbatan oleh benda asing atau darah atau dan lainnya. Selama
melakukan tindakan tersebut juga harus dijaga stabilisasi tulang
leher, khususnya pada multiple trauma atau trauma bagian atas
tubuh. Cedera tulang leher harus diantisipasi dengan benar sampai
terbukti tidak ada.
Pada keadaan tertentu dimana airway sukar dipertahankan
dengan tindakan biasa maka harus segera disiapkan untuk
memasang airway definitive jika diperlukan.
Yang pertama harus dinilai adalah kelancaran jalan nafas,
namun harus diingat bahwa kebanyakan usaha untuk memperbaiki
jalan nafas akan menyebabkan gerakan pada leher. Karena itu
apabila ada kemungkinan fraktur servikal harus dilakukan kontrol
servikal.
Kemungkinan patahnya tulang servikal diduga bila ada :
1) Trauma kapitis, terutama bila ada penurunan kesadaran
2) Adanya luka karena trauma tumpul kranial dari klavikula
3) Setiap multi rauma (trauma pada 2 regio tubuh atau lebih)
4) Juga harus waspada kemungkinan patah servikal bila biomekanik trauma mendukung (misalnya ditabrak dari belakang)

10

Oleh karena itu, langkah selanjutnya adalah proteksi servikal,


antara lain :
1) Pertahankan posisi kepala
2) Pasang kolar servikal, dan
3) Pasang di atas Long Spine Board
Lalu perhatian ditujukan kepada airway. Ajaklah penderita
berbicara, apabila penderita dapat berbicara dengan jelas dan
dengan kalimat panjang, maka untuk sementara dapat dianggap
bahwa airway dan breathing dalam keadaan baik. Selain itu juga
kemungkinan penderita tidak syok, dan tidak ada kelainan
neurologis, namun asumsi ini selalu lakukan dengan berhati-hati
Pennilaian air way dapat dilakukan dengan teknik berikut ini :
1) Bila dapat berbicara jelas, maka airway baik
2) Bila ada gangguan, maka airway diperbaiki
Sumbatan pada jalan nafas akan menyebabkan sesak yang
harus dibedakan dengan sesak karena gangguan breathing. Pada
obstruksi jalan nafas biasanya akan ditemukan pernafasan yang
berbunyi seperti : bunyi gargling, bunyi mengorok, ataupun stridor.
Lakukan penanganan sebagai berikut :
1) Bila ada cairan dilakukan suction
2) Bila mengorok dilakukan penjagaan jalan nafas secara manual
dengan chin lift atau Jaw thrust disusul pemasangan pemasangan pipa oro atau naso faringeal .
Pemasangan pipa orofaringeal dilakukan apabila penderita
masih sadar ataupun berusaha mengeluarkan pipa tersebut (masih
ada gag replek). Dalam keadaan ini lebih baik dipasang pipa
nasofaringeal. Harus diingat bahwa pemasangan pipa melalui
hidung merupakan kontraindikasi apabila penderita ada kecurigaan
fraktur basis crania bagian depan, karena pipa dapat masuk ke
rongga cranium.
Apabila penderita apneu, ada ancaman obstruksi ataupun ada
ancaman aspirasi lebih baik memasang jalan nafas definitive (pipa
dalam trakea). Jalan nafas definitive ini dapat melalui hidung (naso

11

trakeal), melauli mulut (oro trakea) ataupun langsung melaui suatu


krikotiroidotomi.
Menjaga jalan nafas pada penderita trauma dapat sangat sulit.
Sebagai contoh adalah penderita dengan kapitis dengan mulut yang
penuh darah karena fraktur pada basis kranii ataupun karena
fraktur tulang wajah. Contoh lain adalah penderita kesadaran
menurun yang gelisah dan gigi terkatup. Contoh lain adalah
penderita kesadaran menurun yang gelisah dan gigi terkatup.
Betapapun sulitnya, tetapi merupakan tugas dokter yang menerima
penderita itu untuk dapat menjaga jalan nafas dengan baik dan
dalam waktu yang secepat mungkin.
Selama memeriksa dan memperbaiki jalan napas, harus
diperhatikan bahwa tidak boleh dilakukan ekstensi, fleksi, ataupun
rotasi leher.
b. Breathing dan Ventilation
Breathing (pernafasan) dan ventilation (proses pertukaran gas)
yang baik memerlukan kerja dinding dada, paru dan diafragma
yang baik pula. Gangguan pada salah satu organ tersebut dapat
menyebabkab gangguan pada pernafasan dan ventilasi.
Dada penderita harus dibuka untuk melihat ekspansi dinding
dada. Lakukan tekhnik auskultasi, perkusi dn palpasi untuk melihat
adanya kelainan pada pernafasan penderita.
Setiap penderita trauma harus diberikan oksigen. Beberapa
keadaan akut akibat trauma yang dapat menyebabkan gangguan
pernafasan yang fatal adalah tension pneumothoraks, flail chest
yang disertai kontusio pulmonum, hemathotoraks yang massif dan
pneumothoraks terbuka. Hal ini harus dikenali pada fase ini dan
segera tindakan berupa pemasangan drain thoraks untuk tujuan
dekompresi.
Langkah berikutnya adalah memeriksa breathing dan atasi bila
kurang baik jalan napas yang baik tidak menjamin ventilasi yang

12

baik. Pertukaran gas yang terjadi pada saat bernafas adalah mutlak
untuk pertukaran oksigen dan karbondioksida dari tubuh.
Ada iga hal yang harus dilakukan dalam breathing, yaitu
1) Nilai apakah brathing baik (look, listen, feel)
2) Ventilasi tambahan apabila breathing kurang adekuat
3) Selalu berikan oksigen
Untuk menilai pernafasan petugas yang berpengalaman dalam
hitungan detik dapat menilai apakah pernafasan baik atau tidak.
Penderita yang dapat berbicara kalimat panjang tanpa adanya kesan
sesak, umumnya breathingnya baik.
Pernafasan yang baik adalah pernafasan yang memenuhi kriteria,
antara lain :
1) Frekuensi normal (dewasa rata-rata 20, anak 30,bayi 40)
2) Tidak ada gejala dan tanda sesak
3) Pada pemeriksaan fisik baik
Lakukan pemeriksaan fisik dengan cara sebagai berikut :
1) Lihat dada penderita dengan membuka untuk melihat
pernafasan yang baik. Lihat apakah ada jejas, luka terbuka, dan
ekspansi kedua paru.
2) Auskultasi dilakukan untuk memastikan masuknya udara ke
dalam kedua paru dengan mendengarkan bising nafas (jangan
lupa sekaligus memeriksa jantung)
3) Perkusi dilakukan untuk menilai adanya udara (hipersonor),
atau darah (dull) dalam rongga pleura.

Cedera thorak yang dapat mengakibatkan gangguan ventilasi


yang berta dan ditemukan pada saat melakukan survey primer
adalah:
1) Tension pneumothorak
2) Flail chest
3) Open pneumothorak atau pneumothorak terbuka

13

4) hematothorak massif
Kelainan-kelainan

diatas

harus

segera

ditangani

untuk

menghindari kematian.
Apabila pernafasan tidak adekuat harus dilakukan bantuan
pernafasan (assisted ventilation). Di UGD sebaiknya membantu
pernafasan adalah dengan memakai Bag Valve (Ambu Bag),
ataupun ventilator.
Berikan oksigen, apabila diperlukan konsentrasi oksigen yang
tinggi dengan memakai rebreathing atau non rebreathing mask,
atau dengan kanul (berikan 5 sampai dengan 6 liter per menit).
c. Circulation dengan kontrol perdarah atau Circulation dan
Hemorahage Control
Perdarahan merupakan sebab utama trauma kematian pasca
bedah yang mungkin dapat diatasi dengan terapi yang cepat dan
tepat dirumah sakit.
Syok pada penderita trauma harus dianggap disebabkan oleh
hipovelemia, sampai terbukti sebaliknya. Dengan demikian maka
diperlukan penilaian yang cepat dari status hemodinamik penderita.
Reaksi tubuh terhadap hilangnya cairan (perdarahan) dapat
berbeda :
1) Pada orang tua kemampauan kompensasi sudah jauh berkurang
sehingga tindakan resusitasi harus segera diberikan
2) Pada usia dini kompensasi sangat besar sehingga tanda-tanda
kegagalan sirkulasi muncul lambat.
3) Pada olah ragawan daya kompensasi lebih besar daripada orang
biasa dengan ciri khas lebih jarang terjadi takikardi meskipun
dlama kondisi hipovolemia.
Resusitasi cairan diberikan berdasarkan derajat syok yang
terjadi , dari derajat syok dan responnya terhadap resusitasi cairan,

14

dapat diprediksi apakah suatu perdarahan dalam (internal bleeding)


memerlukan tindakan operatif (surgical resusitation) atau tidak.
1) Pengenalan syok
Ada

dua

pemeriksaan

dalam

hitungan

detik

dapat

memberikan informasi mengenai keadaan hemodinamik, yaitu


keadaan kulit akral dan nadi.
a) Keadaan kulit akral
Warna kulit dapat membantu diagnosis hipovelemia.
Penderita trauma yang kulitnya kemerahan, terutama pada
wajah dan ekstremitas, jarang yang dalam keadaan
hipovelemia. Sebaliknya wajah pucat keabuan dan kulit
ekstremitas yang pucat sertta dingin, merupakan tanda.
syok.
b) Nadi
Nadi yang besar seperti arteri femoralis atau arteri
carotis harus diperiksa bilateral, untuk kekuatan nadi
kecepatan dan irama. Pada syok nadi akan kecil dan cepat.
Bila nadi kecil dan cepat, kulit pucat, dan akral dingin=
syok. Pada fase awal jangan terlalu percaya kepada tekanan
darah dalam menentukan syok karena tekanan darah
sebelumnya tidak diketahui dan diperlukan kehilangan
volume darah >30% untuk dapat terjadi penurunan tekanan
darah yang signifikan.
2) Kontrol Perdarahan.
Perdarahan dapat secara eksternal (terlihat) dan internal
(tidak terlihat).

15

a) Perdarahan Eksternal
Perdarahan eksternal dikendalikan dengan penekanan
langsung pada luka. Jarang diperlukan penjahitan untuk
mengendalikan perdarahan luar. Torniket jangan dipakai,
karena apabila dipasang secara benar (diatas tekanan
sistolik) justru akan merusak jaringan karena menyebabkan
iskemia distal dari torniket. Pemakaian hemostat (di klem)
memerlukan waktu dan dapat merusak jaringan sekitar
seperti saraf dan pembuluh darah.
b) Perdarahan internal

(1)
(2)
(3)
(4)

Perdarahan Internal berasal dari antara lain :


Rongga thorak
Rongga abdomen
Fraktur pelvis
Fraktur tulang panjang
Spalk atau bidai dapat digunakan untuk mengontrol

perdarahan dari suatu fraktur pada ekstremitas. Pneumatic


anti shock garment adalah suatu alat untuk menekan pada
keadaan fraktur pelvis, namun alat ini mahal dan sul;it
didapat. Sebagai gantinya dapat dipakai gurita sekitar pelvis.
Perdarahan intra abdominal atau intratorakal yang
massif, dan tidak dapat diatasi derngan pemberian cairan
intravena yang adekuat, menuntut diadakannya operasi
segera untuk menghentikan perdarahan (resusative laparo
atau thoracotomy).
Akan tetapi jarang terjadi perdarahan retroperitoneal
karena robekan vena cava atau aorta atau perdarahan massif
dari ginjal.
3) Perbaikan Volume
Kehilangan darah sebaiknya diganti dengan darah, namun
penyediaan darah memerlukan waktu, karena itu pada awalnya

16

akan diberikan cairan kristaloid 1-2 liter untuk mengatasi syok


hemoragik melalui dua jalur dengan jarum intravena yang
besar.
Cairan kristalod ini sebaiknya ringer laktat walaupun NaCl
fisiologis juga dapat dipakai. Cara ini diberikan dengan tetesan
cepat melalui suatu kateter intravena yang besar (minimal
ukuran 16). Cairan ini juga harus dihangatkan untuk
menghindari terjadinya hipotermia. Pemasangan kateter urin
dapat dipertimbangkan disini, guna pemantauan urin.
Alur piker pada penderita trauma yang mengalami syok
yaitu saat dikenali syok (penderita trauma), harus dianggap
sebagi syok hemoragik. Sambil dipasang infuse, dilakukan
penekanan pada perdarahan luar (bila ada). Bila tidak ada
perdarahan luar dilakukan pencarian akan adanya perdarahan
internal (5 (lima) tempat : thorax, abdomen, pelvis, tulang
panjang, retroperitoneal). Saat mencari sumber perdarahan
dilakukan juga evaluasi respon penderita terhadap pemberian
cairan. Kemungkinan yang dapat muncul adalah :
a)
Respon baik
Setelah diguyur, tetesan diperlahan, tanda-tanda perfusi
baik (kulit menjadi hangat, nadi menjadi besar dan
melambat, tensi naik). Ini pertanda perdarahan sudah
berhenti.
b) Respon sementara
Setelah tetesan dipelankan, ternyata penderita masuk syok
lagi.Ini mungkin disebabkan karena resusitasi cairan masih
kurang atau perdarahan berlanjut.
c) Respon tidak ada
Apabila sama sekali tidak ada respon terhadap pemberian
cairan maka harus dipikirkan perdarahan yang hebat atau
syok hemoragik (paling sering kardiogenik).
d. Disability (defisit neurologis)
Yaitu status neurologis dan nilai GCS. Pemeriksaan
neurologis secara cepat dapat dilakukan dengan metode AVPU

17

(Alert, Voice Respone, Pain Respone, Unresponsive). Pemeriksaan


GCS secara periodic dapat dilakukan untuk hasil yang lebih detail
pada survey sekunder. Penururnan kesadaran dapat disebabkan
penurunan oksigenasi atau penuruna perfusi ke otak atau
disebabkan trauma langsung pada otak.
Bila hipoksia dan hipovolemia pada penderita dengan
gangguan

kesadaran

adapat

disingkirkan,

pikirkan

adanya

kerusakan CNS sampai terbukti lain.


Perdarahan intra karnial dapat menyebabkan kematian
dengan

sangat

cepat

(the

patien

who

talks

and

dies),

sehinggadiperlukan evaluasi keadaan neurologis secara cepat. Yang


dinilai disini adalah tingkat kesadaran, ukuran dan reaksi pupil.
1) GCS ( Glasglow Coma Scale)
Adalah sistem skoring yang sederhana dan dapat meramal
kesudahan (outcome) penderita. Penurunan kesadaran dapat
disebabkan penurunan oksigenasi atau dan penurunan perfusi
otak, atau disebabkan perlukaan pada otak sendiri.
Perubahan kesadaran akan dapat menggangu Airway serta
Breathing yang seharusnya sudah diatasi terlebih dahulu.
Jangan lupa bahwa alcohol dan obat-obatan dapat menggangu
tingkat kesadaran penderita. Penurunan tingkat GCS yang lebih
dari 1(2 atau lebih) harus sangat diwaspadai.
2) Pupil
Nilai adakah perubahan pupil. Pupil yang tidak sama besar
(anisokori) kemungkinan menunjukkan adanya suatu lesi masa
intra-kranial (perdarahan). Perlu diingat bahwa lesi biasanya
(tidak selalu) akan terjadi pada sisi pupil yang melebar
3) Resusitasi
Terhadap kelainan primernya di otak tidak banyak yang
dapat dilakukan, namun tugas sangat penting dari dokter yang
menerima penderita trauma kapitis di UGD adalah dengan
menghindari cedera otak sekunder (secondary brain injury).
Yang harus dilakukan terapi dengan agresif adalah adanya

18

hipovoilemia, hipoksia dan hiperkarbia untuk menghindari


cedera otak sekunder tersebut.
e. Exposure atau environment,
Di rumah sakit penderita harus dibuka keseluruhan pakaiannya
untuk evaluasi kelainan atau injury secara cepat pada tubuhh
penderita. Setelah pakaian dibuka perhatikan terhadap injury/jejas
pada tubuh penderita, dan harus dipasang selimut agar penderita
tidak kedinginan. Harus dipakaikan selimut hangat, ruangan cukup
hangat dan diberikan cairan intravena yang sudah dihangatkan.
Apabila pada primary survei dicurigai ada perdarahan dari
belakang tubuh maka dilakukan log rog untuk mengetahui
sumber perdarahan.
Pemeriksaan seluruh bagian tubuh harus dilakukan disertai
tindakan untuk mencegah hipotermia. Pemasangan bidai atau
vakum matras untuk emnghentikan perdarahan juga sapat
dilakukan pada fase ini. Pemeriksaan penunjang pada umumnya
tidak dilakuan pada survey primer. Yang dilakukan pada survey
primer adalah pemeriksaan saturasi oksigen dengan pulse
oxymetri, foto servical, foto thoraks, dan foto polos abdomen.
Pemeriksaan foto rontgen harus selektif, dan jangan menghambat
proses resusitasi. Foto toraks dan pelvis dapat mengenali kelainan
yang mengancam nyawa, dan foto pelvis dapat menunjukkan
adanya fraktur pelvis. Pemeriksaan DPL (Diagnostic Peritoneal
Lavage) dan USG abdomen merupakan pemeriksaan bermanfaat
untuk menentukan adanya perdarahan intraabdomen.
Tindakan lainnya yang dapat dikerjakan pada survey primer
adalah pemasangan monitor EKG, kateter, dan NGT. Pemeriksaan
dikerjakan tanpa menghentikan/ menunda proses survey primer.
1) Folley Catheter Atau Kateter Urin

19

Pemakaian

kateter

urin

dan

lambung

harus

dipertimbangkan. Jangan lupa mengambil sampel urin untuk


pemeriksaan urin rutin. Produksi urin merupakan indikator
yang peka untuk menilai keadaan hemodinamik penderita.
Catatan : urin penderita dewasa cc/kgBB/jam, anak
1cc/kgBB/jam, bayi 2cc/kgBB/jam.
Kateter urin jangan dipakai bila ada dugaan ruptur uretra
yang ditandai oleh :
a) Adanya darah di lubang uretra bagian luar (QUE/Orifisium
Uretra External)
b) Hematom skrotum
c) Pada colok dubur prostat letak tinggi atau tidak teraba.
Dengan demikian maka pemasangan kateter urin tidak
boleh dilakukan sebelum colok dubur (khusus pada penderita
trauma).
2) Gastric Tube atau Kateter Lambung
Kateter lambung dipakai untuk mengurangi distensi
lambung dan mencegah muntah. Isi lambung yang pekat akan
mengakibatkan NGT tidak berfungsi, pemasangannya sendiri
dapat mengakibatkan muntah. Darah dalam lambung dapat
disebabkan darah tertelan, pemasangan NGT yang traumatik
atau perlukaan lambung. Bila lamin kribrosa patah (fraktur
basis kranili anterior) atau diduga patah, kateter lambung harus
dipasang melalui mulut untuk mencegah masuknya NGT dalam
rongga otak.
3) Heart Monitoring atau Monitor EKG
Monitoring hasil resusitasi didasarkan pada ABC penderita.
a) Airway : seharusnya dudah diatasi
b) Breathing : pemantauan laju nafas (sekaligus memantua
airway), dan kalau ada : pulse oximetry.

20

c) Circulation : nadi, tekanan nadi, tekanan darah, suhu tubuh


dan jumlah urin setiap jam. Bila ada sebaiknya terpasang
monitor EKG.
d) Disability : nilai tingkat kesadaran penderita dan adakah
perubahan pupil.
4. Survey Sekunder, Pemeriksaan Penunjang dan Evaluasi
Survey sekunder baru dilakukan setelah survey primer selesai dan
dipastikan airway, breathing, dan sirkulasi penderita dipastikan
membaik. Survai sekunder adalah pemeriksaan teliti yang dilakukan
dari ujung rambut sampai ujung kaki, dari depan sampai belakang dan
setiap lubang dimasukka jari (tube finger in every orifice).
Prinsip pada survey sekunder adalah memeriksa seluruh tubuh
dengan lebih teliti dari mulai ujung rambut sampai ujung jari kaki
(head to toe) baik pada tubuh bagian depan maupun belakang dan
evaluasi ulang terhadap pemeriksaan tanda vital penderita. Dimulai
dengan anamnesa singkat meliputi AMPLE (allergi, medication, past
illness, last meal, dan event of injury). Pemeriksaan penunjang yang
diperlukan dapat dilakukan pada fase ini diantaranya foto thoraks.
Survey sekunder hanya dilakukan apabila penderita stabil. Sedikit
mengenai pengertian stabil : penderita stabil berarti bahwa keadaan
penderita sudah tidak menurun. Mungkin masih ada tanda syok,
namun tidak bertambah berat. Ini berbeda dengan keadaan normal,
dimana penderita kembali ke keadaan normal.
Survey sekunder juga harus meliputi pemeriksaan yang teliti akan
setiap lubang alami (tubes and finger in every orifice).
a. Anamnesa
Anamnesa harus lengkap karena akan memberikan gambaran
mengenai cedera yang mungkin diderita. Beberapa contoh :

21

1) Tabrakan frontal seorang pengemudi mobil tanpa sabuk


pengaman : cedera wajah, maksilo-facial, sevikal, toraks,
abdomen dan tungkai bawah.
2) Jatuh dari pohon setinggi 6 meter : perdarahan intra-kranial,
fraktur servikal atau vertebra lain, fraktur ekstremitas.
3) Terbakar dalam ruangan tertutup: cedera inhalasi, keracunan
CO.
Anamnesa juga harus meliputi :
1) A : Alergi
2) M : Medikasi / obat-obatan
3) P : Penyakit sebelumnya yang diderita: hipertensi, DM
4) L : Last Meal (terakhir makan jam berapa, bukan makan apa)
5) E : Events, hal-hal yang bersangkutan dengan sebab cedera
Dapatkan riwayat AMPLE dari penderita, keluarga atau petugas
pra RS
b. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik yang dilakukan meliputi inspeksi, auskultasi,
palpasi, dan perkusi
1) Kulit kepala
Seluruh kulit kepala diperiksa. Cukup sering terjadi bahwa
penderita yang nampaknya cedera ringan, tiba-tiba ada darah di
lantai yang berasal dari tetesan luka di belakang kepala.
Lakukan inspeksi dan palpasi seluruh kepala dan wajah untuk
adanya laserasi, kontusi, fraktur, dan luka termal.
2) Wajah
Ingat prinsip : look-listen-feel. Apabila cedera sekitar mata
Jangan lalai memeriksa mata, karena pembengkakan di mata

22

akan menyebabkan pemeriksaan mata selanjutnya menjadi


sulit. Re-evaluasi tingkat kesadaran denagn skor GCS.
a) Mata : periksa kornea ada cedera atau tidak, pupil mengenai
isokor serta reflex cahaya, acies visus dan acies campus.
b) Hidung : apabila ada pembengkakan. Lakukan palpasi akan
kemungkinan krepitasi dari suatu fraktur.
Zygoma : apabila ada pembengkakan jangan lupa mencari
krepitasi akan adanya fraktur zygoma.
c) Telinga : periksa dengan senter mengenai keutuhan
membrane timpani atau adanya hemotimpanum.
d) Rahang atas : periksa stabilitas rahang atas
e) Rahang bawah : periksa akan adanya fraktur
3) Vertebra servikalis dan leher
Pada saat memeriksa leher, kolar terpaksa dilepas. Jangan lupa
untuk seorang pembantu tetap melakukan fiksasi pada kepala.
Periksa adanya cedera tumpul atau tajam, deviasi trakea, dan
pemakaian otot tambahan. Palpasi akan adanya nyeri, deformitas,
pembengkakan, emfisema subkutan, deviasi trakea, dan simetri
pulsasi. Tetap jaga imobilisasi segaris dan proteksi servikal. Jaga
airway, pernafas, dan oksigenasi. Kontrol perdarahan, cegah
4)

kerusakan otak sekunder, dan lepaskan lensa kontak.


Toraks
Pemeriksaan dilakukan dengan look-listen-feel.
Inspeksi dinding dada bagian depan, samping dan belakang untuk
adanya trauma tumpul/ tajam, pemakaian otot pernafasan tambahan
dan ekspamsi thoraks bilateral.
Auskultasi pada bagian depan untuk bising nafas (bilateral) dan
bising jantung.
Palpasi seluruh dinding dada untuk adanya trauma tajam/tumpul,
emfisema subkutan, nyeri tekan dan krepitasi.
Perkusi untuk adanya hipersonor dan keredupan.

23

Ingat bahwa setiap cedera di bawah putting susu, ada kemungkinan


5)

cedera intra-abdominal pula.


Abdomen
Cedera intra-abdomen kadang-kadang luput terdiagnosis, misalnya
pada keadaan cedera kepala dengan penurunan kesadaran, fraktur
vertebra dengan kelumpuhan (penderita tidak sadar akan nyeri
perutnya dan gejala defans otot dan nyeri tekan/lepas tidak ada).
Inspeksi abdomen bagian depan dan belakang untuk adanya trauma
tajam, tumpul, dan adanya perdarahan internal.
Auskultasi bising usus, perkusi abdomen untuk mendapatkan nyeri
lepas (ringan). Palpasi abdomen untuk nyeri tekan, defans
muskuler, nyeri lepas yang jelas, atau uterus yang hamil.
Bila ragu-ragu akan adnya perdarahan intra-abdominal dapat
dilakukan pemeriksaan DPL (diagnostic peritoneal lavage),
ataupun USG.
Ingat bahwa pada perforasi organ ber-lumen misalnya usus halus
gejala mungkin tidak akan Nampak dengan segera, karena itu

memerlukan re-evaluasi berulang kali.


Pengelolaan : transfer penderita ke ruang operasi bila diperlukan
6)
Pelvis
Cedera pada pelvis yang berat, akan nampak pada pemeriksaan
fisik (pelvis menjadi tidak stabil). Pada cedera berat ini
kemungkinan penderita akan masuk dalam keadaan syok, yang
harus segera diatasi. Bila ada indikasi pasang PASG/ gurita untuk
control perdarahan dari fraktur pelvis.
7)
Ekstermitas
Pemeriksaan dilakukan dengan look-feel-move. Pada saat
inspeksi, jangan lupa untuk memeriksa adanyaluka dekat daerah
fraktur (fraktur terbuka), pada saat palpasi jangan lupa untuk
memeriksa

denyut

nadi

distal

dari

fraktur,

pada

saat

menggerakkan, jangan dipaksakan bila jelas fraktur.


Sindroma kompartemen (tekanan intra kompartemen dalam
ekstrimitas meninggi sehingga membahayakan aliran darah)
mungkin luput terdiagnosis pada penderita dengan penurunan
kesadaran atau kelumpuhan.

24

8)

Bagian punggung
Memeriksa punggung dilakukan dengan log roll (memiringkan
penderita dengan tetap menjaga kesegarisan tubuh). Pada saat ini
dapat dilakukan pemeriksaan punggung.

5.

Re-Evaluasi Penderita
Penilaian ulang penderita dengan mencatat, melaporkan setiap
perubahan pada kondisi penderita dan respon terhadap resusitasi.
Monitoring dari tanda vital dan jumlah urin mutlak dilakukan. Jangan
lakukan pemeriksaan yang tidak perlu apabila penderita akan dirujuk
ke Rumah Sakit lainnya.

6. Terapi Definitive dan Rujukan


Terapi definitive pada umunya merupakan porsi dari dokter
spesialis bedah. Tugas dokter yang melakukan penanganan pertama
adalah untuk melakukan resusitasi dan stabilisasi serta menyiapkan
penderita untuk dilakukannya tindakan definitive atau untuk dirujuk.
Proses rujukan harus sudah mulai saat alasan untuk merujuk
ditemukan, karena menunda rujukan akan meninggikan morbiditas dan
mortalitas penderita.
Untuk keputusan merujuk penderita dapat dipakai Interhospital
Triage Criteria. Kriteria ini memakai data fisiologis penderita, cedera
anatomis, mekanisme perlukaan, penyakit penyerta serta faktor
faktor yang dapat mempengaruhi prognosis.
D. Diagnosa pada pasien kegawatdaruratan
1. Rapid trauma survey
a. Kepala dan leher
1) Adakah luka yang nyata pada kepala dan leher?
2) Apakah pembuluh darah vena pada leher distensi?
3) Inspeksi dan palpasi trakea, apakah berada dalam satu garis
atau menyimpang?
4) Adakah deformitas atau tenderness (nyeri tekan) pada leher?
b. Dada
1) Apakah dadanya bentuk simetris? Adakah perbedaan
pergerakan? Adakah trauma tumpul atau trauma tusuk?
2) Adakah luka terbuka atau perbedaan pergerakan?

25

3) Adakah TIC (nyeri tekan, instabilitasi, krepitasi), tanda-tanda

c.

d.
e.
f.

fraktur pada tulang rusuk?


4) Jika suara nafas abnormal, adakah hipersonor, atau dullness ?
5) Apakah suara jantung normal? Atau berkurang?
Abdomen
1) Adakah luka nyata pada abdomen?
2) Palpasi adanya distensi, lembek, keras pada abdomen?
3) Apakah ada nyeri tekan?
Pelvis
1) Apakah ada luka atau perubahan bentuk?
2) Adakah tanda-tanda fraktur TIC?
Ekstremitas atas
1) Apakah ada luka, bengkak, atau perubahan bentuk?
2) Apakah adanya tanda-tanda fraktur?
Pengamatan ekstremitas atas dan bawah
1) Adakah luka, bengkak, atau perubahan bentuk?
2) Apakah ada tanda-tanda fraktur?
3) Dapatkan pasien merasakan atau menggerakkan jari-jari kaki

dan
tangan?
g. Pengkajian bagian belakang (lakukan selama memindahkan pasien
ke backbroad)
Apakah ada perubahan bentuk, memar, lecet, robek, luka tusuk,
luka bakar, nyeri tekan, luka goresan, bengkak pada pasien
h.
i.

j.
k.

dibagian belakang?
Keputusan
1) Apakah situasinya dalam keadaan kritis?
2) Adakah intervensi yang dilakukan segera?
Riwayat
1) Apakah ada riwayat penyakit terdahulu ?
2) Apakah ada riwayat alergi ?
3) Ada riwayat pengobatan terdahulu ?
4) Intake terakhir ?
5) Proses mekanisme injury ?
Vital sign
Apakah vital sign abnormal ?
Disability
1) Dilakukan segera jika terjadi perubahan status mental ?
2) Apakah pupilnya seimbang dan peka terhadap rangsang ?
3) Bagaimana dengan tingkat kesadaran (GCS) ?
Apakah ada tanda tanda herniasisasicerebral (tidak sadar,
keterlambatan reflek pupil, hipertensi, bradikardi, posturing) ?
(John Emory Campbell, 2004 : 41)

26

2. Ongoing Exam
Dibawah ini informasi yang perlu dilakukan pada masing-masing
langkah
a. Subjektif Changes
Apakah anda merasakan nyaman atau tidak nyaman sekarang?
b. Status Mental
1)

Berapa level kesadaran pasien ?

2)

Berapakan ukuran pupil pasien ? Apakah keduanya seimbang ?


Apakah berespons pada cahaya ?

3)

Jika ada perubahan status mental brapa nilai GCS nya sekarang
?

c. Kaji kembali ABC


1)

Apakah jalan napas pasien terbuka dan bersih ?

2)

Jika ada luka bakar pada daerah muka pasien, apakah ada
cedera inhalasi ?

d. Pernapasan dan sikulasi


1)

Berapa frekuensi dan kualitas pernapasan ?

2)

Berapakah frekuensi dan kualitas denyut nadi ?

3)

Berapakah tekanan darah pasien ?

4)

Bagaimana warna kulit pasien, kondisi dan suhunya ?

e. Leher
1)

Adakah penyimpangan bentuk pada trakea pasien ?

2)

Apakah Vena jugularis pasien normal, datar atau distensi ?

3)

Adakah pembekakan pada leher pasien ?

f. Dada
1) Apakah suara napas pasien abnormal ?
2) Jika suara napas pasien tidak seimbang, apakah hipersonor atau
dallness ?
3) Apakah bunyi jantung pasien normal atau adanya murmur ?
g. Abdomen (jika ada kemungkinan cedera pada abdomen)
1) Adakah nyeri tekan pada abdomen ?

27

2) Apakah abdomen pasien lembek, keras atau distensi ?


h. Pengkajian dalam cedera
Sudahkah ada perubahan kondisi dari cedera yang telah
ditemukan ?
i. Periksa Intervensi
Tanyakan hal-hal dibawah ini pada pasien anda secara tepat, yaitu :
1) Apakah konsentrasi pemberian oksigen sudah tapat ?
2) Apakah Tabung oksigen terhubung dengan benar ?
3) Apakah luka terbuka pada dada pasien sudah tertutup dengan
benar ?
4) Apakah pembalutan dari perdarahan masih basah ?
5) Apakah pembidaian sudah pada posisi yang tepat ?
6) Apakah pasien yang hamil posisinya sudah miring ke kiri ?
7) Apakah monitor jaringan sudah terpasang dan bekerja dengan
baik ?
8) Apakah pulse oximeter sudah terpasang dan bekerja dengan
baik ? (John Emory Campbell, 2004 : 44)
3. Detail Exam
Riwayat SAMPLE (Symptoms, Allergies, Medicines, Past medical
history, Last meal, Event preceding the injury) harus dikaji penuh.
a. Apakah riwayat pasien ?
b. Vital sign
Berapa nilai Vital sign pasien ?
c. Pengkajian Neurologi
1) Apakah level kesadaran pasien ?
2) Apakah pupil normal ? Apakah reflek pupil pasien normal ?
3) Berapakah kadar glukosa darah pasien ? (jika adanya
perubahan status mental pasien)
4) Bisakah pasien menggerakan jari tangan dan kakinya ?

28

5) Bisakah pasien merasakan sentuhan perawat pada jari tangan


dan kaki pasien ?
6) Berapakah nilai GCS pasien ?
d. Kepala
1) Apakah ada DCAP-BTLS (Deformities, Contusio, Abrasions,
Penetrations-Burn, Tenderness, Lacerations, Swelling) pada
muka dan kepala pasien ?
2) Apakah pada mata pasien terdapat battles sign atau raccoon ?
3) Adakah darah cairan yang keluar dari telinga atau hidung?
4) Adakah muka pucat, sianosis atau keringat dingan (diahoresis)?
e. Jalan napas
1) Apakah jalan napas terbuka dan bersih ?
2) Jika ada luka pada muka pada muka pasien, adakah tanda-tanda
yang menunjukan adanya luka bakar pada mulut dan hidung ?
3) Pernapasan
4) Bagaimana frekuensi dan kualitas pernapasan pasien?
f. Leher
1) Apakah ada tanda tanda DCAP BTLS (Deformities,
Contusio,

Abrasions,

Penetrations

Burn,

Tenderness,

Lacerations, Swelling) pada leher ?


2) Apakah vena dileher normal, datar atau distensin ?
3) Adakah penyimpangan pada trakea pasien ?
g. Sirkulasi
1) Bagaimana frekuensi dan kualitas dari denyut nadi ?
2) Bagaimana keadaan, warna, dan suhu kulit pasien? (kaji
capilary refill pada pasien anak) ?
3) Apakah semua perdarahan yang terjadi pada pasien sudah
terkontrol ?
h. Dada

29

1) Apakah ada tanda DCAP BTLS (Deformities, Contusio,


Abrasions,

Penetrations

Burn,

Tenderness,

Lacerations,

Swelling) pada dada ?


2) Apakah ada luka terbuka pada dada dan adanya pergerakan
yang berlawanan arah?
3) Apakah suara napas pasien terdengar dan seimbang ? Jika suara
napas tidak seimbang adakah hipersonor dan dullness ?
4) Apakah suara jantung normal atau terdengar lemah atau
menurun?
i. Abdomen
1) Apakah ada tanda DCAP BTLS (Deformities, Contusio,
Abrasions,

Penetrations

Burn,

Tenderness,

Lacerations,

Swelling) pada abdomen


2) Apakah ada tanda DCAP-BTLS (Deformities, Contusio,
Abrasions,

Penetrations-Burn,

Tenderness,

Lacerations,

Swelling) pada abdomen?


3) Apakah abdomen pasien lembek, keras, atau kembung?
j. Pelvik
Jika sudah dilakaukan pengkajian pelvic pada intial assessment
maka tidak perlu melakukan pengkajian lebih lanjut.
k. Ekstremitas bawah
1) Adakah tanda DCAP-BTLS (Deformities, Contusio, Abrasions,
Penetrations-Burn, Tenderness, Lacerations, Swelling) pada
kaki ?
2) Apakah PMS (Pulse, Motorik, Sensori) normal ?
3) Apakah rentang gerak pasien (ROM) normal ?
l. Ektremitas Atas
1) Adakah tanda DCAP BTLS (Deformities, Contusio,
Abrasions,

Penetrations

Burn,

Tenderness,

Lacerations,

Swelling) pada tangan ?


2) Apakah PMS (Pulse, Motorik, Sensori) normal ?

30

3) Apakah rentang gerak pasien (ROM) normal?


(John Emory Campbell, 2004 : 46)
E. Intervensi dan evaluasi pada pasien dengan kegawatdaruratan
PENGKAJIAN AWAL

TINDAKAN

1. Scene size-up
a. Keamanan

1. 1. Memakai sarung tangan, memakai baju


pelindung. Mengurangi resiko infeksi

b. Jumlah pasien

silang

c. Tindakan yang dibutuhkan 2. 2. Panggil bila memerlukan bantuan


3. Panggil bila memerlukan alat alat

d. Mekanisme injury

khusus
4. Kemungkinan

injuri

yang

cocok

(contohnya, penekanan servikal)


ii.

2. Kesan umum
a. Umur,

jenis

kelamin,

berat

badan
b. Posisi

(disekitarnya,

1. Awal untuk menentukan prioritas

posisi

tubuh atau postur)


c. Aktivitas
d. Injuri

mayor

yang

nyata;

perdarahan mayor.
3. Tingkat kesadaran
a. Kewaspadaan
terhadap suara

atau

respon

1. Menangani pembatasan gerak dari


penekanan servikal

31

b. Tidak berespon terhadap suara

2. Modifikasi jaw trust

4. Jalan nafas
a. Snoring

1. Modifikasi jaw trust

b. Gurgling

2. Suction

c. Stridor

3. Periksa adanya obstruksi jalan

d. Silence

nafas
4. Coba untuk melakukan ventilasi
jika

tidak

berhasil

lakukan

reposisi, lepaskan dengan segera


5. Visualisai.
6. Suction
7. Pertimbangkan

maneuver

Heimlich
5. Pernafasan
a. Tidak ada nafas
b. <10 x per menit
c. Volume tidal rendah
d. Kesulitan bernafas
e. Normal atau cepat

1. Lakukan ventilasi sebanyak 2 kali


(cek nadi sebelum melanjutkan
ventilasi pada 10-20 + oksigen)
2. Bantuan ventilasi pada 10-20
+oksigen
3. Bantuan ventilasi
4. Oksigen non rebreathing 15 liter
per menit
5. Pertimbangkan

penggunaan

oksigen

32

6. Nadi Radialis
a. Tidak Ada

1. Cek nadi karotis

b. Ada

2. Catat kecepatan dan kualitasnya

c. Bradikardi

3. Pertimbangkan

d. Takikardi

adanya

spinal

syok, injuri kepala


4. Berikan

ketenangan

mengurangi

untuk

kecepatan

nadi,

pertimbangkan syok
7. Nadi karotis
a.Tidak ada
b. Ada
c. Bradikardi
d. Takikardi

1. CPR + BVM +oksigen


2. Catat kecepatan dan kualitas
3. Pertimbangkan

adanya

spinal

syok, injuri kepala


4. Pertimbangkan syok

8. Kulit
a. Warna dan keadaan
b. Pucat, dingin, lembab

1. Pertimbangkan syok
2. Berikan 100% oksigen

c. Cyanosis

9. Perdarahan Mayor

Penekanan

langsung,

pembalutan

dengan tekanan.

33

34

BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Initial Assesment adalah proses penilaian yang cepat dan
pengelolaan yang tepat guna menghindari kematian pada pasien gawat
darurat. Initial assessment secara luas adalah proses evaluasi secara cepat
pada penderita gawat darurat yang langsung diikuti dengan tindakan
resusitasi. Penilaian dan resusitasi dilakukan berdasarkan prioritas
kegawatan pada penderita berdasarkan adanya gangguan pada jalan napas
(Airway), pernapasan (Breathing) dan sirkulasi (circulation). Proses
penilaian awal, pada dasarnya meliputi antara lain :
1. Primary survey
Primary survey adalah penanganan yang dilakukan pertama, yang telah
di ATLS yang mencakup konteks bahasan ABCDE. ABCDE adalah
Airway, Breathing, Circulation, Disability, Exposure.
2. Secondary Survey
Meliputi penanganan pemeriksaan fisik head to toe, bila menemukan
pasien yang saat secondary survey mengalami progress yang buruk,
maka kembali lakukan primary survey.
3. Penanganan Definitif (menetap)
Adalah penanganan yang diberikan kepada klien yang telah melewati
masa yang akut, setelah primary survey dan secondary survey.

B. SARAN
Penanganan awal (initial assesment) adalah hal mutlak yang harus
dipahami oleh tenaga kesehatan kegawatdaruratan. Oleh sebab itu, para
tenaga

kesehatan,

dimanapun

berada,

harus

memahami

konsep

kegawatdaruratan ini. Karena, apabila kita telah mengerti mengenai


konsep initial assesment, maka kita tidak akan bingung apabila
mendapatkan kasus kegawatdaruratan yang seperti kita tahu bahwa kasus
kegawatdaruratan memerlukan tidak hanya tindakan yang cepat namun

35

juga tindakan tepat guna mendapatkan hasil yang maksimal, yaitu


menurunkan resiko kecacatan atau bahkan kematian.
DAFTAR PUSTAKA
.....Basic Trauma-Cardiac Life Support.Jakarta: Yayasan Ambulans Gawat Darurat
118
Smeltzer C. Suzanne, Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan
Medikal Bedah. EGC : Jakarta
Suryono, bambang dkk.2008.Materi Pelatihan Penanggulangan Penderita Gawat
Darurat ( PPGD ) dan Basic Life Support Plus ( BLS ).Yogyakarta : Tim
PUSBANKES 118.
Harahap.2010. penilaian-awal-initial-assesment(Online)
(http://aliemharahap.blogspot.com/2010/08/penilaian-awal-initial-assesment.html)
Diakses pada 09.00 tgl 15 September 2011
Saanin .2010. Neuro surgery.(Online).
(http://www.angelfire.com/nc/neurosurgery/First.html)
diakses pada 11.23 tgl 15 September 2011

36

You might also like