You are on page 1of 105

AP

PENGEMBANGAN PEMANFAATAN DATATRMM


UNTUK MENUNJANG KETAHANAN PANGAN

LAPORAN AKHIR

PENELITI UTAMA: INA JUAENI

PROGRAM INSENTIF RISET


DIREKTORAT JENDERAL PENDIDIKAN TINGGI (DIKTI)
TAHUN 2010

KATEGORI: RISET TERAPAN

PUSAT PEMANFAATAN SAINS ATMOSFER DAN IKLIM


LEMBAGA PENERBANGAN DAN ANTARIKSA NASIONAL
JL. Dr.

DJUNDJUN~N

133, BANDUNG 40173

LEMBAR PENGESAHAN

Bandung, 22 November 2010

Dr. Ina Juaeni


NIP: 19641001 198903 2 007

Mengetahui/ Menyetujui :

Ka. Bidang Pemodelan lklim

Dr. Teguh Hardjana


NIP: 19591027 198702 1 001

NIP : 19641129 199103 1 004

.,
ii

SUSUNAN TIM PENELITIAN

1. Dr. Ina Juaeni (Peneliti Utama, lAPAN-Bandung)


2. Dr. Teguh Hardjana, M.T (Peneliti, lAPAN-Bandung)
3. Drs. Nurzaman A., MSi. (Peneliti, lAPAN-Bandung)
4. Drs. Arief Suryantoro, MSi (Peneliti, lAPAN-Bandung)
5. Drs. Martono, MSi. (Peneliti, lAPAN-Bandung)

Diusulkan

: 2010

Dimulai

: 1 Februari 2010

Diperkirakan selesai

: 31 November 201 0

PUSAT PEMANFAATAN SAINS ATMOSFER DAN IKLIM


LEMBAGA PENERBANGAN DAN ANTARIKSA NASIONAL
JL. Dr. DJUNDJUNAN 133, BANDUNG 40173

til"

iii

RINGKASAN

Curah hujan TRMM tipe 3842 adalah curah hujan/presipitasi Tropical Rainfall

Measuring Mission (TRMM) yang digabung dengan presipitasi infrared/high quality


(HQ) dalam grid yang mempunyai resolusi waktu tertinggi 3 jam-an dan resolusi
spasial 0,25 X 0,25 dalam cakupan global 50 lintang selatan sampai 50 lintang
utara.

Data TRMM dianalisis melalui tahapan berikut:


1. Menguji kesesuaian pola curah hujan TRMM dengan pola curah hujan
observasi
2. Pengelompokkan curah hujan dengan metode Ward
3. Penentuan dasarian potensial dan kalender tanam potensial
4. Penentuan curah hujan ekstrim

Data curah TRMM tipe 3642 yang digunakan dalam penelitian ini adalah data
dengan resolusi waktu 10 harian , resolusi ruang 0,25 x 0,25 dan periode data dari tahun
1998 sampai dengan 2009 yang menitikberatkan wilayah penelitian di Indonesia (daratan

dan lautan).
Data TRMM meliputi data curah hujan di lautan, maka hasil klastering juga
meliputi wilayah lautan. Banyak wilayah

yang mempunyai kemiripan karakteristik

curah hujan yang tinggi dengan karakteristik lautan disekitarnya, sehingga berada
dalam satu klaster yang sama. Hal ini menunjukkan
antara

adanya interaksi yang kuat

daratan dan lautan. lnteraksi atmosfer dan lautan merupakan salah satu

aspek penting dalam mengkaji perilaku variabel atmosfer di wilayah benua maritim
ini. Klaster di daratan pada wilayah pengamatan I, II, IV dan V terbentuk

berdasarkan perbedaan area lintang tetapi klaster di daratan Kalimantan (wilayah


~

Ill) dan klaster-klaster di lautan menunjukkan perbedaan karakteristik yang disebabkan


faktor bujur.
Dari curah hujan rata-rata Jlerdasarian perklaster kemudian ditentukan
dasarian potensial dan kalender tanam potensial. Dasarian potensial dan kalender
iv

tanam potensial di beberapa sampel lokasi diuraikan di bawah ini. Di Medan padi
bisa mulai ditanam pada dasarian ke 5 sampai dengan dasarian ke 36. Jika dibantu
l
irigasi pada dasarian ke 3, maka pad i bisa ditanam sepanjang tahun atau dalam
setahun bisa 3 x tanam. lni berdasarkan

curah hujan rata-rata klaster 8 di P.

Sumatera. Di Probolinggo dan Denpasar, padi bisa mulai ditanam pada dasarian ke
1, dengan dibantu irigasi mulai dasarian ke 12. Padi dapat ditanam lagi di akhir
tahun dengan bantuan irigasi pada dasarian ke 25 sampai dasarian 29. lni waktu
yang tepat sesuai curah hujan rata-rata klaster 6 di P. Jawa. Di Magelang, pada
dasarian 1 sampai 12 tersedia air hujan yang cukup untuk mengairi sawah. Padi
dapat ditanam lagi di akhir tahun dengan bantuan irigasi pada dasarian 25 sampai
dasarian 28. Di Manado, agak sukar menentukan kalender tanam karena diperlukan
12 dasarian berturut-turut, jika hanya berdasarkan dasarian potensial maka padi
hanya dapat ditanam pada akhir tahun mulai dasarian ke 30 sampai dasarian ke 5
tahun berikutnya. Jika ingin dua kali atau tiga kali menanam maka harus dibantu
irigasi.
Berdasarkan dasarian-dasarian potensial maka

terdapat tiga macam kalender

tanam , yaitu dua kali tanam dalam setahun, satu kali tanam setahun dan tiga kali
tanam atau

sepanjang tahun menanam. Dua kali menanam padi dalam setahun

terjadi di P. Jawa, Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi. Daerah dengan satu kali
tanam sepanjang tahun

adalah Bali dan Nusa Tenggara, karena hujan dengan

intensitas yang cukup hanya terjadi di awal tahun. Sedangkan di Sumatera Barat
dan Papua waktu tanam hampir bisa dilakukan sepanjang tahun.
Penentuan curah hujan ekstrim di wilayah Indonesia menunjukkan bahwa
curah hujan ekstrim 10 harian berkisar antara 80 sampai 180 mm/1 0 hari dengan
nilai terendah berada di Indonesia bagian selatan. Wilayah Indonesia bagian utara

mempunyai intensitas

curah hujan ekstrim yang lebih ti nggi dibandingkan di wilayah

Indonesia bagian selatan. Curah hujan ekstrim berpotensi menyeb?bJ<an gagal panen
jika air hujan turun dalam jumlah yang lebih dari 100 mm/10 hari (batas maksimum
kebutuhan air).

....
v

PRAKATA

Laporan ini merupakan laporan akhir

dari penelitian yang berlangsung

selama 10 bulan.
Tim peneliti menyadari bahwa dalam penelitian dan laporan penelitian ini
masih terdapat kekurangan, maka saran perbaikan sangat kami harapkan.
Akhirnya, semoga penelitian ini bermanfaat tidak hanya bagi tim penelitian
tetapi juga benar-benar dapat memberikan informasi penting untuk bidang pertanian
dan bidang terkait lain.

Jakarta, 22 November 2010


Peneliti

...
vi

DAFTAR lSI

Halaman
LEMBAR PENGESAHAN

II

SUSUNAN TIM PENELITI

Ill

RINGKASAN

iv

PRAKATA

vi

DAFTAR lSI

vii

DAFTAR TABEL

IX

DAFTAR GAMBAR

BAB1 PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

1.2 Tinjauan Pustaka

BAB 2 METODOLOGI

2.1 Pendeteksian outlier

2.2 Uji multikolinearitas

10

2.3 Analisis komponen utama

10

2.4 Penentuan jumlah klaster

12

2.5 Validasi klaster

12

2.6 Analisis klaster

12

.'

BAB 3 HASIL DAN PEMBAHASAN

14

3.1 Konfirmasi data curah hujan TRMM dengan


curah hujan observasi

14
til"

vii

15

3.2 Hasil klastering


3.3 Dasarian potensial dan kalender tanam
potensial

22

3.4 Curah hujan ekstrim

27

BAB 4 KESIMPULAN DAN SARAN

29

PUBLIKASI

29

DAFTAR PUSTAKA

30

PIRAN A

31

PIRAN 8

33

PIRAN C

35

LAM PIRAN D

38

LAM PIRAN E

44

LAMPIRAN F

53

..,
viii

DAFT AR T ABEL

Halaman

Tabel 3.1 Koefisien korelasi antara curah hujan rata-rata


TRMM dengan curah hujan rata-rata observasi

15

Tabel 3.2 Koefisien korelasi antara curah hujan rata-rata


TRMM dengan curah hujan rata-rata observasi lain

15

Tabel 3.3 Jumlah klaster dan pola curah hujan rata-rata setiap
wilayah

16

Tabel 3.4 Periode ketersediaan air (>50 mm/10 hari)

25

...
ix

DAFT AR GAM BAR


Halaman

Gambar 1.1 lnstrumen TRMM

Gambar 1.2 Bagan teknik analisis dalam metode lnterdepensi

Gambar 1.3 Klasifikasi analisis klaster

Gambar 2.1 Pembagian wilayah dan batas lintang bujurnya

9
13

Gambar 2.2 Bagan alur penentuan klaster dengan metode Ward


Gambar 2.3 Bagan alur penentuan dasarian dan kalender tanam

14

potensial
Gambar 3.1 Klaster-klaster di wilayah I (Sumatera)

17

Gambar 3.2 Klaster-klaster di wilayah II (Jawa, Bali dan Nusa

18

Tenggara
Gambar 3.3 Klaster-klaster di wilayah Ill (Kalimantan)

19

Gambar 3.4 Klaster-klaster di wilayah IV (Sulawesi)

20

Gambar 3.5 Klaster-klaster di wilayah V (Papua)

21

Gambar 3.6 Curah hujan rata-rata klaster 8 di P. Sumatera (Medan)

23

Gambar 3.7 Curah hujan rata-rata klaster 6 di P. Jawa (Probolinggo

24

dan Denpasar)
Gambar 3.8 Curah hujan rata-rata klaster 8 di P. Jawa (Magelang)

24

Gambar 3.9 Curah hujan rata-rata klaster 8 di P. Sulawesi (Manado)

24

Gambar 3.10 Peta curah hujan ekstrim (mm/1 0 hari)

28

Gambar 3.11 Peta frekuensi curah 8t.ljan ekstrim (kejadian/tahun)

28

PENGEMBANGAN PEMANFAATAN DATA TRMM


UNTUK MENUNJANG KETAHANAN PANGAN

Ina Juaeni, Teguh Hardjana, Nurzaman, Arief Suryantoro, Martono, Noersomadi


inajuaeni@yahoo.com , ina j@bdg.lapan.go.id

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Sejak dipublikasi tahun 1998, data TRMM semakin sering digunakan dalam
berbagai kajian masalah cuaca dan iklim di Indonesia. Hal ini disebabkan beberapa
keunggulan yang dimiliki data curah hujan TRMM, seperti keunggulan dalam
cakupan wilayah yang luas, kemampuannya dalam memetakan variasi curah hujan
spasial dan temporal yang besar serta kemampuannya dalam

memberikan data

curah hujan dengan resolusi spasial sampai 5 km. Wilayah Indonesia merupakan
bagian wilayah tropis dengan intensitas curah hujan yang tinggi. Sumber energi
panas radiasi matahari yang selalu tersedia sepanjang tahun ditambah kelembapan
dalam jumlah yang cukup tinggi, mendorong tingginya frekuensi dan intensitas
curah hujan. Curah hujan di wilayah Indonesia juga memiliki variasi spasial dan
temporal yang tinggi, hal ini

dapat dijelaskan sebagai akibat perbedaan kondisi

permukaan, yaitu perbedaan relief dan perbedaan tata guna lahan. Variasi curah
hujan yang tinggi ini belum ditunjang oleh sarana observasi yang memadai. Masih
banyak lokasi terutama yang terpencil yang miskin informasi cuaca dan iklimnya ,
padahal informasi ini cukup penting.
Dalam rangka melengkapi kesenjangan informasi bagi wilayah-wilayah
yang belum lengkap sarana pengamatannya, dalam penelitian ini dilakukan
pengembangan pemanfaatan data curah hujan TRMM dengan mengelompokkan
wilayah berdasarkan kesamaan sifat curah hujan untuk seluruh wilayah Indonesia
'
termasuk yang tidak mempunyai sarana pengamatan atmosfer permukaan . Tidak

berhenti sampai disitu, dalam penelitian ini juga ditunjukkan bahwa data TRMM
dapat digunakan untuk menentukan dasarian potensial dan kalender tanam padi
potensial

sebagai

langkah

pen~apan

hasil

penelitian .

Dengan

pengelompokkan atau klastering curah hujan TRMM dengan mengguna

kata

lain,
etode

statistis menghasilkan dua informasi penting. Pertama, penentuan wilayah yang


mempunyai karakter curah hujan yang sama. Sehingga lokasi yang tidak memiliki
l

sarana pengamatan permukaan dapat melakukan inisialisasi. Kedua, pola curah


hujan masing-masing kelompoklklaster dapat digunakan untuk membuat berbagai
kajian variabilitas curah hujan baik untuk riset murni maupun pengembangan dan
pemanfaatan hasil riset, misalnya menentukan kalender tanam padi potensial
seperti yang ditunjukkan dalam penelitian ini.

1.2 Tinjauan Pustaka


Letak geografis Indonesia yang berada dalam wilayah

tropis, dibatasi

lautan Hindia disebelah barat, lautan Pasifik disebelah timur, benua Asia disebelah
utara dan benua Australia disebelah selatan. Relief permukaannya merupakan
kombinasi antara dataran, pebukitan dan daerah bergelombang. Kombinasi dari
letak geografis dan relief permukaan seperti diuraikan di atas menciptakan kondisi
iklim yang khas yang tidak sama dengan iklim wilayah non tropis bahkan dengan
wilayah tropis lain sekalipun . Letaknya yang berdekatan dengan lautan Hindia,
mendorong arah perhatian pada fenomena atmosfer Indian Ocean Dipole disamping
El Nino/La Nina yang berada di lautan Pasifik. Meski berada dalam wilayah yang
tidak potensial menciptakan siklon, karena letaknya di ekuatorial,
kerap

terjadi

disekelilingnya,

sehingga

dampak siklon

namun siklon

terhadap

cuaca/iklim

Indonesia baik besar maupun kecil patut diperhatikan. Dilain pihak, Osilasi Madden
Julian dengan periode 30 - 60 hari, tidak dapat diabaikan keberadaanya karena
terindikasi berpengaruh pada variabel atmosfer Indonesia bagian barat. lnteraksi
proses-proses atmosfer berskala lokal, meso dan global yang aktif menghasilkan
karakter curah hujan yang khusus.
Pola dan intensitas curah hujan merupakan karakter curah hujan yang bisa
berubah , karena pemicu dan proses pembentukannya juga bisa berubah. Beberapa
penelitian di bawah ini menunjukkan indikasi terjadinya p~n.Jbahan pola dan
intensitas curah hujan. Perubahan intensitas dan distribusi peluang curah hujan
terindikasi terjadi di wilayah Indonesia bagian timur berdasarkan data GHCN (Global
Historical Climatological Network) (Juaeni et a/. , 2007). Perubahan pola dan
intensitas curah hujan juga teramati te i Bandung (Juaeni, 2006). Perubahan pad a
distribusi, baik spasial maupun temporal curah hujan merupakan salah satu indikator

perubahan iklim. Perubahan iklim juga ditandai dengan semakin seringnya terjadi
fenomena dan kejadian cuacaliklim ekstrim . Emanuel (2005) menunjukkan bapwa
terjadi peningkatan kekuatan siklon di tropis pada 50 tahun terakhir. Hasil Emanuel
didukung oleh penemuan Webster et a/. (2005) yaitu adanya peningkatan (hampir
100 %) kejadian siklon tropis dari periode 1975 sampai 2004. Meskipun siklon tropis
tidak terjadi di wilayah Indonesia, tetapi perlu diwaspadai dampaknya terhadap
wilayah Indonesia karena frekuensi dan intensitas cenderung semakin meningkat.
Sebagai negeri yang sebagian besar wilayahnya berupa wilayah agraris, Indonesia
sangat membutuhkan informasi tentang distribusi spasial, temporal dan intensitas
(sesaat dan rata-rata) curah hujan. Surmaini dan Susanti (2009) dalam penelitiannya
menyebutkan bahwa terjadi pergeseran waktu tanam di 5 sampai 11 % dari luas
wilayah sentra pangan di P. Jawa pada tahun 2008 yang disebabkan oleh
perubahan pola dan intensitas curah hujan. Jika waktu tanam berubah maka resiko
gagal panen semakin besar. Dengan demikian, klastering yang berkaitan dengan
pemetaan curah hujan rata-rata perlu dilakukan untuk diaplikasikan dalam
penentuan dasarian dan kalender tanam padi potensial.

Pemetaan curah hujan

ekstrim juga diperlukan mengingat intensitas curah hujan yang ekstrim sangat
mempengaruhi produksi pertanian. Kekurangan dan kelebihan air mempunyai
dampak negatif terhadap hasil panen .

...

Gambar 1.1 lnstrumen TRMM

Untuk memperoleh klaster-klaster curah hujan dan peta curah hujan ekstrim
tersebut digunakan data cura h hujan TRMM. Seperti telah diungkap di atas, :data
curah hujan TRMM memiliki keunggulan dibanding data curah hujan lainnya.
Pertama, cakupan wilayahnya yang luas sehingga memungkinkan diperolehnya data
curah hujan untuk lokasi terpencil sekalipun. Kedua, data TRMM

mampu

memetakan variasi curah hujan spasial dan temporal yang besar seperti pada masa
aktif osilasi Madden Julian dan ENSO di Pasifik. Ketiga, TRMM dapat memberikan
data curah hujan dengan resolusi sampai 5 km. Uji validasi curah hujan TRMM
resolusi 0,25 (atau setara dengan 28 km) cukup baik yaitu 0,62 sampai 0,80 untuk
wilayah Sumatera (Juaeni eta/., 2009). Tes sensitivitas dengan penggunaan panas
Iaten estimasi TRMM telah meningkatkan ketelitian prediksi curah hujan sebesar 30
%

untuk simulasi

curah

hujan

harian

dengan

model

NMC

dan

ECMWF

(http://climate.met.psu.edu/). Kemampuan yang tinggi dari TRMM untuk memetakan


curah hujan dan panas Iaten ditunjang oleh peralatan sebagai berikut: Radar
presipitasi (PR),

Imager gelombang mikro TRMM (TMI), Scanner visible dan

infrared (VIRS), Sensor awan dan energi radiasi bumi (CERES) serta Sensor image
petir (LIS) seperti yang diperlihatkan pada gambar 1.1.

Dalam penelitian ini data

curah hujan TRMM akan digunakan untuk membuat pengelompokkan/klastering


curah hujan 10 harian dan menentukan curah hujan ekstrim. Setiap klaster yang
dihasilkan memiliki pola curah hujan tertentu dengan karakteristik yang berbeda
dengan klaster lainnya. Pola curah hujan setiap klaster dapat diaplikasikan untuk
menentukan waktu tanam yang tepat sesuai batasan curah hujan minimal yang
diperlukan oleh tanaman. Dalam penelitian ini tanaman yang menjadi perhatian
adalah padi.
Dalam analisis multivariat, pengelompokkan termasuk pengelompokkan
curah hujan merupakan metode pengklasifikasian. Metode pengklasifikasian dibagi
ked alam dua kelompok, yaitu metode dependensi dan interdependensi. Penggunaan

metode dependensi bertujuan untuk menjelaskan variabel tak bebas berdasarkan


~

lebih dari satu variabel bebas yang mempengaruhinya (Hair et a/., 1998 dalam
Ayahbi, 2009). Sedangkan dalam metode interdependensi, variabel-variabel yang
digunakan tidak dapat diklasifikasikan baik ke dalam variabel bebas maupun tak
be bas, semua varia bel

yang

digu~kan

berstatus sam a (Hair et a/., 1998 dalam

Ayah bi, 2009). Dengan demikian , metode pengklasifikasian yang tepat untuk
pen gelompokan

karakteristik

curah

hujan
4

di

Indonesia

adalah

metode

interdependensi. Pembagian metode-metode statistik yang termasuk dalam metode


interdependensi diperlihatkan pada gambar 1.2.

Metode lnterdependensi

'

Metrik

'

Analisis Faktor

I
[

Nonmetrik

..

"'

'

Nonmetrik

Ana !isis

Multidimensional Scaling

Korespondensi
...,j

Analisis Kluster

Metrik Multidimensional
Scaling

Analisis Faktor ]

'

Analisis Faktor Utama

Gambar 1.2 Bagan teknik analisis dalam metode lnterdependensi

Data curah hujan TRMM (Tropical Rainfall Measuring Mission) termasuk


data metrik. Dengan demikian ada tiga jenis analisis yang dapat digunakan, yaitu
analisis faktor, analisis kluster dan analisis metrik multidimensional scaling. Namun,
tidak semua teknik statistik interdepensi bisa digunakan untuk data metrik. Masingmasing teknik memiliki tujuan yang berbeda. Analisis faktor dapat digunakan untuk
mengenali atau mengidentifikasi dimensi dasar (underlying dimensions) dari
sejumlah banyak variabel, menjelaskan korelasi antar kumpulan variabel, dan
mengidentifikasi suatu set variabel baru yang tidak berkorelasi yang jumlahnya lebih
'
sedikit (Hair et a/., 1998 dalam Ayahbi, 2009). Ana lis is metrik multidimensional

scaling

merupakan suatu teknik untuk mengelompokkan objek-objek dalam

kelompok-kelompok yang digambarkan (direpresentasikan) pada suatu ruang


dimensi ganda

(multidimension~

space) (Hair et a/. ,1998 dalam Ayahbi, 2009).

Sedangkan analisis klaster adalah suatu teknik mengelompokkan variabel menjadi


kelompok atau klaster-klaster berdasarkan kesamaan karakte ristik vanabel tersebut
5

(Sharma, 1996 dalam Aya hbi, 2009 dan Yuliani, 2009). Hasil dari analisis klaster
adalah ditemukannya kelompok-kelompok dengan kemiripan (homogenitas)
tinggi di dalam klasternya serta mempunyai

~yang

ketidakmiripan (heterogenitas) yang

tinggi antar klaster (Johnson dan Wichern, 1992 dalam Ayahbi, 2009 dan Yuliani,
2009). Sejalan dengan pengertian di atas, maka analisis klaster merupakan teknik
yang tepat untuk mengelompokkan karakteristik curah hujan.
Menurut Mimmack (2000 dalam dalam Ayahbi, 2009 dan Yuliani, 2009),
analisis

klaster

adalah

teknik

yang

digunakan

dalam

klimatologi

untuk

mengelompokkan objek ke dalam beberapa kelompok yang memiliki karakteristik


yang sama. Pada kasus pengelompokkan curah hujan dengan skala pengamatan
tertentu (misal harian, lima harian atau bulanan) terhadap titik lokasi/grid,
pengelompokkan dilakukan terhadap grid sehingga membentuk beberapa kelompok.
Haryoko, dalam makalahnya yang berjudul "Pewilayahan hujan untuk
menentukan pola

hujan (contoh kasus Kabupaten lndramayu)", mengutarakan

bahwa analisis klaster merupakan teknik yang digunakan untuk mengelompokkan


pos pengamatan hujan (stasiun) yang

mempunyai kesamaan pola curah hujan

dasarian (1 0 harian) ke dalam sub-sub kelompok. Berdasarkan penelitiannya, curah


hujan dasarian (10 harian) yang satu memiliki korelasi dengan curah hujan dasarian
lainnya. Untuk mengatasi adanya korelasi tersebut, maka harus dicari variabel baru
yang tidak memiliki

korelasi satu sama lain. Teknik membentuk variabel baru

tersebut adalah analisis

komponen utama. Melalui analisis komponen utama

didapat m komponen utama yang memberikan varians sebesar 80%. Selanjutnya, m


komponen ini menjadi variabel baru sebagai dasar pengelompokan curah hujan
menggunakan analisis klaster. Kombinasi analisis komponen utama dan analisis
klaster juga dilakukan oleh
memiliki

Degaetano (1996), untuk mengelompokkan grid yang

iklim yang sama. Dalam penelitiannya Degaetano menerapkan analisis

klaster Average Linkage dan metode Ward pada curah hujan dan temperatur
bulanan. Kedua metode dibandingkan berdasarkan distribusi ukuran klaster. Pola
ukuran klaster yang dihasilkan untuk average

linkage tidak mem iliki karakteristik

karena dari 47 klaster yang terbentuk, 40% klasternya (19 klaster) masing-masing
hanya memiliki dua bahkan satu grid sebagai anggotanya , sedangkan metode Ward
memberikan hasil yang seragam paSa klaster yang terbentu k. Juaeni et a/. (2009)
telah mengaplikasikan metode Ward untuk lokasi Sumatera Barat dengan data
curah hujan TRMM bulanan, sehingga diperoleh 4 klaster optimum . Aolikasi untuk
6

Kalimantan Barat menghasilkan

4 klaster (Juaeni

et a/., 2010). Kedua kasus

terakhir menunjukkan kore lasi yang cukup baik antara pola curah hujan l TRMM
bulanan dengan pola curah hujan observasi (Juaeni et a/. 2009, 201 0). Hasil-hasil
tersebut menjadi dasar untuk menggunakan metode Ward sebagai teknik klaster
dalam penelitian ini. Metode Ward termasuk dalam kelompok metode klastering
Hierarkhi. Klasifikasi analisis klaster diperlihatkan pada gambar 1.3.

Analisis
Klaster

_j

Metode
hierarkhi

Metodenon
hierarkhi

Agglomerative:
Linkage, Ward,

Divisive

K-means/
Hard

Fuzzy

Centroid

Gambar 1.3 Klasifikasi analisis klaster

2 METODOLOGI
Penelitian dengan menggunakan data TRMM dan penerapan metode
klastering ini merupakan kajian yang menggabungkan data lapangan dengan data
observasi. Data lapangan adalah data jadwal tanam dan kondisi daerah sentra
~

pangan yang diperoleh dengan kunjungan dan diskusi ke ' beberapa lokasi sentra
pangan, sebagai sampel. Data observasi adalah data curah hujan TRMM dan data
observasi curah hujan dibeberapa lokasi sampel (di Ka limantan Barat) untuk
mengkonfirmasi data curah hujan.lRMM terhadap data observasi. Data TRMM yang
digunakan adalah TRMM 3842 Versi 6 dalam periode 1998 sa mpai dengan 2009 .

Curah hujan TRMM tipe 3B42 adalah curah hujan/presipitasi Tropical


Rainfall Measuring Mission (TRMM) yang digabung dengan presipitasi infrare91high
quality (HQ) dalam grid yang mempunyai resolusi waktu 3-jam dan resolusi spasial
'

0,25 X 0,25 dalam cakupan global 50 lintang selatan sampai 50 lintang utara.
Algoritma 3842 terdiri dari 4 tahap; (1) estimasi presipitasi berbasis mikrowave, (2)
estimasi presipitasi infrared (IR), (3) estimasi gabungan mikrowave dan IR, dan (4)
penskalaan ulang (rescaling) untuk data bulanan/1 0 harian.
Data TRMM dianalisis melalui tahapan berikut:
1. Menguji kesesuaian pola curah hujan TRMM dengan pola curah hujan
observasi
2. Pengelompokkan/klastering curah hujan dengan metode Ward
3. Penentuan dasarian dan kalender tanam potensial perklaster berdasarkan
kebutuhan padi terhadap air
4. Penentuan curah hujan ekstrim dengan persamaan:

X= X-

/J(r + Jn( -Jn( F)))

(2.1)

dengan:

x = curah hujan rata-rata


j3 = 0,557 (konstanta Euler)
r =o,7a s
S = deviasi standar

x = intensitas curah hujan ekstrim


F = (n-1)/n
n

=jumlah data

Agar mendapatkan jumlah kluster yang optimum untuk setiap pulau, maka analisis
curah hujan TRMM dibagi perwilayah/pulau. Pembagian wila5'an diperlihatkan pada
gambar 2.1. Wilayah klastering tidak hanya meliputi daratan tetapi juga mencakup
lautan dengan tujuan agar dapat melihat indikasi interaksi antara curah hujan di
daratan dan di lautan melalui

klast~

uxr

3!'io

I :6 LU -6 LS, 95BT -107.5 BT


II: 6LS -12LS 95 BT -130 BT
Ill: 6LU -6 LS, 107.5BT -120BT
IV: 6LU -6 LS, 120 BT- 130 BT
V: 6 LU -12 LS, 130 BT- 142.5BT

4flo

1~
")0
'&~
300
C.n...otd b)l NASA' (;fcwonf'\i (QiOVOf'\ni qf.e.noo.QOV)

'iO

Gambar 2.1 Pembagian wilayah dan batas lintang bujurnya

Beberapa asumsi diterapkan dalam penelitian ini, yaitu:


1. Fenomena El Nino, La Nina dan Dipole mode yang terjadi dalam rentang data
yang digunakan dalam penelitian ini, tidak berpengaruh secara signifikan
terhadap pola dan intensitas curah hujan di Indonesia
2. Dasarian potensial adalah dasarian dengan curah hujan minimal 50 mm
3. Waktu tanam padi rata-rata adalah 120 hari
4. Kalender tanam ditentukan hanya berdasar ketersediaan air hujan tidak
memperhitungkan faktor teknis pertanian seperti irigasi/subak dan lain-lain

Langkah-langkah dalam analisis klaster dimulai dengan pendeteksian

outlier,

uji multi kolinearitas,

analisis komponen

utama,

penerapan analisis

klasternya itu sendiri dan terakhir validasi dan interpretasi.

2.1 Pendeteksian Outlier


Analisis klaster sensitif terhadap outlier (objek yang sangat berbeda dari
objek-objek lainnya). Adanya outlier dapat menjadikan klaster yang diperoleh tidak
merepresentasikan

struktur

populasi

yang

sebenarnya.

pendeteksian terhadap outlier selalu diperlukan.

Untuk

alasan

ini,

Pendeteksian outlier secara

multivariat dapat dilakukan dengan menggunakan jarak Mahalanobis (D2) kemudian


membaginya dengan qer~jat b~b~ (em yang qernil~! sama dengan jumlah variab~l .
Sehingga nilai (D2/df) mengikuti nilai distribusi t. Kemudian dihitung nilai peluang
(signifikansi) dari

nilai (D2/df) tersebut. Data yang signifikansinya lebih kecil dan


9

sama dengan 0,001 dianggap sebagai outlier (Hair eta/., 1998 dalam Ayahbi, 2009
dan Yuliani, 2009) . Data ya ng diidentifikasi sebagai outlier harus dianalisis apakah
merepresentasikan populasi ata u tidak merepresentasikan populasi. Jika dinilai tidak

merepresentasikan populasi, data harus dibuang. Namun, perlu diperhatikan apakah


penghapusan outlier dapat mengubah struktur data yang sebenarnya.

2.2 Uji multikolinearitas

Multikolinearitas antar variabel adalah salah satu pelanggaran asumsi


dalam analisis klaster (Hair, et a/. ,1998 dalam Ayahbi, 2009 dan Yuliani, 2009).
Multikolinearitas adalah suatu keadaan dimana terdapat hubungan linier sempurna
atau hampir sempurna antara beberapa atau semua variabel. Salah satu cara untuk
mendeteksi ada tidaknya multikolinearitas adalah dengan menggunakan bilangan
kondisi. Bilangan kondisi ditentukan dengan rumus :

k=

Arnax
Arnin

(2.2)

'A adalah nilai eigen dari matriks kovarians variabel.


Batas-batas bilangan kondisi untuk mendiagnosa multikolinearitas adalah sebagai
berikut:

bilangan kondisi < 100 ; terjadi multikolinearitas lemah

100

bilangan kondisi > 1000 ; terjadi multikolinearitas sang at kuat

~bilangan

kondisi

~1 000 ;

terjadi multikolinearitas sedang sampai kuat

Jika setelah dideteksi ternyata diketahui bahwa terdapat multikolinearitas antar


variabel , maka untuk mengatasinya adalah dengan menerapkan analisis komponen
utama terlebih dahulu pada data curah hujan bulanan TRMM yang nantinya akan
terbentuk sejumlah komponen utama yang saling orthogonal. Komponen utama ini
yang dijadikan sebagai variabel baru untuk input dalam analisis klaster.

.'

2.3 Analisis Komponen Utama

Johnson

dan

Wichern

(1992 ,

dalam

Ayah bi

dan

Yuliani,

2009)

mendefinisikan komponen utama sebagai salah satu bentuk transform asi variabel
yang merupakan kombinasi linier-dari variabel. Proses pembentukan komponen
utama adalah sebagai berikut:

10

1) Matriks X merupakan data pengamatan curah hujan bulanan yang berukuran np


dengan, n = objek (grid) ; n = 1,2,
p

0,

900

=variabel (curah hujan bulanan); p =1,2,

x 11 x 12
X 21

X 22

00000 0

000000

000,

120

x 1P
X 2p

(203)

X nxp =
X n2 ooooooo X np

X nl

2) Dari matriks X, dicari matriks kovariansnya (


Su

s12

S21

S22 8 2p

S=i

spl

Spp )

sip

(2.4)

sp2 ....... sPP

3) Tentukan nilai eigen dari matriks kovarians, misalkan At, A2,

A1;::: A2;:::

00

00

00

00

000

Ap, dengan

>oAp;:::o

4) Tentukan vektor eigen ke-j untuk nilai eigen ke-j U=1,2, oop), misalkan VJ = Vtj,
0

V2j,o ooooo, Vpj


5) Berdasarkan matriks eigen, maka komponen utama yang terbentuk adalah:
PC1 =zjvjl =z1v11 +z2v21 + ... +zpvjl

PC2 =zjv2 =z1v12 +z2v22 + ... +zpvj2

(205)
PCP =zjvjp =zlvlp +z2v2p + ... +zpvjp
6) Kriteria yang digunakan untuk menentukan berapa komponen yang dapat
dibentuk adalah kriteria persen varianso Jumlah komponen utama yang
digunakan memiliki persentasi kumulatif varians minimal 80% (Rencher, 2001 )0
7) Menghitung komponen skor (PCj) yang akan digunakan sebagai input untuk
analisis klastero Komponen skor yang diperoleh dari m komponen utama (dimana
m<p) akan digunakan dalam anal isis selanjutnya sebagai pengganti nilai data

..

variabel awal. Komponen skor dari hasil analisis komponen utama dengan data
asli (raw data) sebagai input analisis dapat dicari dengan :

11

Yil
Yi2

Yik

= elxi
= e2xi

l(2.6)

= ekxi

2.4 Penentuan jumlah klaster

Jumlah klaster awal diperlukan pada metode Ward. Jumlah klaster


ditentukan dengan dendogram. Dendogram berupa gambaran grafik (diagram
pohon), yang mana setiap objek disusun pada satu sumbu, dan sumbu lainnya
menggambarkan langkah-langkah pada prosedur hierarkhi. Pada tahap awal, setiap
objek digambarkan sebagai klaster yang masih terpisah. Dendogram menunjukkan
secara grafik bagaimana klaster-klaster bergabung pada tiap tahap prosedur hingga
semua objek terkandung dalam satu klaster.
2.5 Validasi klaster

Validasi adalah usaha untuk meyakinkan bahwa solusi atau kelompok


klaster yang ada telah mewakili populasi penelitian, dan berlaku umum untuk objek
lain serta stabil dari waktu ke waktu. Validasi pada metode Ward dilakukan dengan
membagi data secara acak menjadi dua bagian. Kemudian lakukan analisis klaster
dengan masing-masing metode pada setiap bagian data. Hasil pengklasteran
dikatakan valid apabila hasil pengklasteran pada 2 bagian tadi mirip dengan hasil
pengklasteran pad a data asli (Rencher, 2001) dengan cara menghitung selisih
antara objek anggota klaster bagian kesatu dengan bagian kedua, yang memiliki
selisih nol paling banyak maka itu adalah jumlah klaster terbaik.
2.6 Analisis klaster

Metode Ward adalah teknik untuk memperoleh klaster yang memiliki

varians internal sekecil mungkin. Ukuran yang digunakan adalah Sum Square Error
~

(SSE) variabel. Proses pengelompokan adalah melalui tahapan berikut ini:


Langkah 1. Dimulai dengan memperhatikan N kelompok subjek dengan satu subjek
per kelompok. SSE (sum square error) akan bernilai nol untuk tahap
pertama karena setia~bjek atau individu akan membentuk klaster.

12

Langkah 2. Kelompok pertama dibentuk dengan memilih dua dari N kelompok ini
yang bila digabungkan akan menghasilkan SSE dalam nilai fungsi
l
tujuannya.
Langkah3 .N -1

kumpulan kelompok kemudian diperhatikan kembali untuk

menentukan dua dari kelompok ini yang bisa meminimumkan tujuan .


Dengan demikian N kelompok secara sistematik dikurangi menjadi N 1, lalu menjadi N - 2 dan seterusnya sampai menjadi satu kelompok.
SSE dalam metode Ward ini dihitung berdasarkan persamaan berikut:
n

SSE=~. ~Xij - n ~Xij

j=l l=l

l=l

2J

(2.7)

dengan:

xij adalah nilai varia bel ke-ij


p adalah banyaknya variabel yang diukur
n adalah banyaknya objek dalam klaster yang terbentuk
Tahapan pengolahan data sampai mendapatkan klaster dirangkum dalam bagan
dibawah ini:
/Download data curah hujan 1cY
harian TRMM 3842 Versi 6
dengan resolusi 0,25 x 0,25
periode 1998 sampai 2009

'

Tahap awal

..)

-- -- ................ ........................... --------- ................................. - ----------

Deteksi
multikolinearitas

Uji outlier

Signifikansi:;; 0,001

UOU O

UUUUU

mm

I
Convert data ke
format excell

Tahap lanjut

K > 1000 ;
teriadi multikolinearitas sanaat kuat

I
u u u u u m m,

Anal isis
komponen
utama

OU

OU

O UUUUUUUU

000

UOOU

UUO

UUUUUUUOUUUu

UOUUUOUOUUUOUOUOU

UUO

Oo

UUUOUUU

Dendogram

'
~

Klastering:
Ward

Penentuan
jumlah klaster

mmmUUUUUUUUOUo

Tahap utama

11 Validasi klaster

Gambar 2.2 Bagan alur penentuan klaster dengan metode W ard


13

Setelah diperoleh klaster-klaster, kemudian ditentukan curah hujan rata-rata


l
perklaster untuk mendapat dasarian potensial (dasarian dengan curah hujan ;:: 50
mm) dan kalender tanam potensial (12 dasarian potensial) seperti diperlihatkan
dalam bagan di bawah ini:

Klaster yang telah divalidasi

Penentuan curah hujan rata-rata


per klaster
....

Dasarian potensial

;:: 50 mm/dasanan

I
12 dasarian potensial

Kalender tan am potensial

Gambar 2.3 Bagan alur penentuan dasarian dan kalender tanam potensial

3 HASIL DAN PEMBAHASAN


3.1 Konfirmasi data curah hujan TRMM dengan curah hujan observasi

Langkah awal sebelum dilakukan klastering adalah pengujian kesesuaian


data curah hujan TRMM dengan data curah hujan penakar yang diperoleh dari
Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG). Perbandingan pola curah
hujan TRMM metode Ward dengan pola curah hujan observasi di Kalimantan Barat
menunjukkan nilai korelasi lebih besar dari 0,7, seperti diperlihatkan pada tabel 3.1
(Juaeni , 201 0). Perbandingan pola curah hujannya ditunjukkan pqdi Lampi ran A.
Uji serupa dilakukan oleh Arief et a/. (2008) untuk lokasi lain, yaitu Sicincin
Padang-Sumatera Barat (0,54 LS; 100,308T), Supadio Pontianak-Kalimantan Barat
(0, 15LS; 109,408T), Kayuwatu Manado-Sulawesi Utara (1 ,55LU; 124,928T) dan
Kemayoran Jakarta (6, 15LS; 106,~ 0 8T). Hasil yang diperoleh menunjukkan
adanya korelasi yang baik, yang ditunjukkan oleh adanya koefisien korelasi yang

14

tinggi (r

= 0,8)

untuk sem ua daerah yang ditinjau di atas. Secara ringkas hasil

tersebut ditabulasikan pada tabel (3. 2) . Perbandingan pola curah huj9nnya


ditunjukkan pada Lampiran A.

Tabel 3.1 Koefisien korelasi antara curah hujan rata-rata TRMM dengan curah
hujan rata-rata observasi (Juaeni eta/., 201 0)
Lokasi

Ketapang
Sambas
Sintang
Pangsuma (Kapuas Hulu)

Koefisien korelasi antara pola curah hujan


metode Ward (TRMM) dengan curah hujan
observasi
0,90
0,77
0,86
0,73

Tabel 3.2 Koefisien korelasi (r) antara curah hujan rata-rata TRMM dengan curah
hujan rata-rata observasi lain (Arief eta/., 2008)
No.
1.
2.
3.
4.

Lokasi
Sicincin, Padang-Sumatera Barat
(0,54LS; 100,308T)
Supadio,
Pontianak-Kalimantan
Barat (0, 15LS; 109,408T)
Kayuwatu,
Manado-Sulawesi
Utara (1 ,55LU; 124,928T)
Kemayoran,
Jakarta
Pusat
(6, 15LS; 106,858T)

Perioda
2002-2007
(tanpa 2003)
1998-2007

r
0,8

1998-2007

0,8

1998-2007

0,8 '

0,8

3.2 Hasil klastering


Data curah hujan TRMM lulus uji deteksi outlier karena nilai signifikansi >
0,001. lni menunjukkan bahwa dalam data (periode 1998 sampai 2009) tidak ada
data yang sangat berbeda dengan data lainnya. Dalam kurun waktu tersebut
'
sebenarnya terjadi fenomena atmosfer El Nino (pada tahun 1997/1998, 2002/2003,

2005/2006), La Nina (pada tahun 1999/2000) dan dipole mode negatif pada tahun
1996. Uji outlier menunjukkan bahwa tidak ada perubahan curah hujan yang
signifikan pada saat fenomena-fe11emena tersebut di atas te~adi, berarti asumsi
yang digunakan sudah tepat.

15

Deteksi multikolinearitas terhadap curah hujan 10 harian menunjukkan


bilangan kondisi (k) >1 000 maka harus dilakukan anal isis komponen utama sebelum
l
analisis klastering. Hasil analisis komponen utama inilah yang kemudian menjadi
input untuk analisis klaster. Berdasarkan dendogram yang terbentuk, data curah
hujan TRMM akumulasi 10 harian menghasilkan 10 jumlah klaster untuk 3 wilayah
dan 12 klaster untuk 2 wilayah. Klaster terbanyak yaitu 12 terdapat di Kalimantan
dan Sulawesi atau wilayah tengah utara Indonesia (tabel 3.3) . Dendogram dan
jumlah klaster setiap wilayah diperlihatkan pada Lampiran B, sementara pola curah
hujan rata-rata setiap klaster diperlihatkan pada Lampiran C.

Tabel 3.3 Jumlah klaster dan pola curah hujan rata-rata setiap wilayah
Wilayah

Jumlah klaster

Pol a

I Sumatera

10

Monsunal dan ekuatorial

II Jawa

10

Monsunal

Ill Kalimantan

12

Monsunal dan Ekuatorial

IV Sulawesi

12

Monsunal, Ekuatorial dan lokal

V Papua

10

Lokal dan Ekuatorial

Rangkuman jumlah klaster dan pola curah hujan rata-rata

diperlihatkan

pada tabel 3.3. Pola curah hujan yang ditunjukkan pada Lampiran C, menunjukkan
secara umum tidak terjadi perubahan pola curah hujan di wilayah Indonesia untuk
periode 1998 sampai 2009 (monsunal, ekuatorial dan lokal). Peta klaster untuk
setiap wilayah diperlihatkan mulai gambar 3.1 sampai dengan gambar 3.5.
Gambar 3.1 menunjukkan hasil klastering di Pulau Sumatera. Pulau
Sumatera lokasinya berdekatan dengan lautan Hindia dan terletak di wilayah tropis
memanjang memotong garis khatulistiwa.

Bentuk permukaannya merupakan

campuran dataran rendah dan pegunungan. Letak geografisnya menyebabkan pola


hujan tidak hanya bergantung pada faktor-faktor dalam skala l9kal saja tetapi juga
sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan sekitar baik darat maupun laut dalam
skala meso sampai skala global.
til"

16

2
(.')

z
~ 0

::J

-2

-4

-6

96

98

100

102
BUJUR

104

106

Gambar 3.1 Klaster-klaster di wilayah I (P. Sumatera)

Penerapan metode kluster Ward pada wilayah Sumatera


jumlah klaster yang sama, baik

menghasilkan

di bagian utara khatulistiwa maupun di bagian

selatannya. Pulau Sumatera terbagi dalam 6 (enam) klaster dengan tiga klaster di
utara dan tiga klaster di selatan yang terbagi dengan luas yang tidak merata. Lautan
disekitar pulau Sumatera ter klaster dalam 8 area. Didaratan ada dua klaster besar,
satu terletak di utara sedangkan satu lagi terletak di selatan . Klaster besar sebelah
utara

memanjang sampai

diselatan

lautan sebelah timurnya, sedangkan klaster besar

mencapai lautan di sebelah baratnya . Klaster-klaster kecil di daratan

Sumatera adalah klaster-klaster lautan yang mencakup daratan. lni diidentifikasi


sebagai hasil interaksi darat dan laut. Area klaster yang terbag i dua menunjukkan
faktor geografis/posisi

lintang

sangat kuat pengaruhnya

kelompoklklaster curah hujan di Sumatera .

....

17

dalam

membentuk

b
0

z -~
~

z- .m
j
-11

% 1m

W8

1W

118

11~

118

n~

BUJUR
Gambar 3.2 Klaster-klaster di wilayah II (P. Jawa, Bali dan NT)

Pulau Jawa secara geografis berada di sebelah selatan garis khatulistiwa


yang dalam kajian meteorologis memiliki pola hujan monsunal, yang berarti bahwa
dalam satu tahun terdapat satu puncak intensitas curah hujan (umumnya terjadi
pada perioda bulan Desember, Januari dan Februari) dan satu puncak intensitas
curah hujan minimum (rata-rata terjadi pada perioda bulan Juni, Juli dan Agustus).
Wilayah Jawa berbatasan dengan laut baik di sebelah utara dan maupun di selatan
dengan

karakteristik oseanografis yang

berbeda.

Hal

ini berdampak pada

karakteristik curah hujan di daerah-daerah dekat pantai utara maupun selatan.


Penerapan metode klaster pada wilayah ini (dalam penelitian ini digunakan
dua metode klastering, yaitu metode Ward dan metode Hard (Lampiran C) akan
memberikan variasi yang penting sebagai kajian : bagaimanakah variabilitas utama
curah hujan di wilayah ini, dan apakah diakibatkan pengaruh meteorologis regional
ataukah kondisi

lokal.

Secara visual, wilayah sampel daratan pulau Jawa

memperlihatkan ada dua klaster (gambar 3.2). Pada metode Ward , diperoleh hasil
bahwa di bagian pantai utara Jawa keseluruhannya berada <?.lal'am satu klaster yang
sama (warna hijau muda), sedang sisa daratan pulau Jawa lainnya (di bagian
selatannya) berada dalam warna yang sama lainnya (kuning muda). Jumlah klaster

..

di atas lautan lebih banyak daripada di atas daratan, lni mena ndakan bahwa curah
hujan di lautan variasi spasialnya lebih kecil dibandingkan di daratan. Klaster
daratan terbesar terletak di sebelah selatan yang bersatu denga n klaster di lautan
18

sekitarnya. Di P. Jawa hanya ada dua klaster, Bali dan Nusa Tenggara masingmasing mempunyai satu klaster. Agar mendapat klaster yang lebih detil di masingl
masing pulau, wilayah pengamatan harus diperkecil menjadi P. Jawa saja, P. Bali
saja dan Nusa Tenggara saja.

2
(.9

-=t:
0
f-

::::J

-l~~llllllli!
-4

-6

108

110

112

114
BUJUR

116

118

120

Gambar 3.3 Klaster-klaster di wilayah Ill (Kalimantan)

Pulau Kalimantan secara geografis melintang melalui garis khatulistiwa


sehingga dalam kajian meteorologis dapat memiliki pola hujan yang variatif.
Wilayahnya yang relatif datar dibanding pulau lainnya dapat berdampak variasi pola
hujan yang ditentukan kondisi regional daripada lokal.

Penerapan metoda klaster Ward pada wilayah sampel Ka limantan (gambar


3.3) memperlihatkan variasi yang cukup banyak di bagian utara dibanding bagian
selatannya. Secara visual daratan pulau Kalimantan terbag i dalam 8 (delapan)
wilayah klaster dengan dua

wilayah~aitu

timur dan barat) terbagi secara dominan

(area biru muda dan area hijau). Lautan disekitar pulau Kalimantan ter klaster dalam

19

8 area. Wilayah selatan ya ng terbagi dalam 3 klaster dengan dominan area biru tua.
Wilayah utara bervariasi dalam 6 area . Pada metoda ini terlihat pulau KaliiJlantan
dipengaruhi kondisi lokal secara dominan dibanding pengaruh regional.
6

0
4

2
0

z
4:

f-

:::i

-2mma~
-4

-6

120

122

124
126
BUJUR

128

130

Gambar 3.4 Klaster-klaster di wilayah IV (Sulawesi)

Hasil klastering di Sulawesi dan sekitarnya menghasilkan 12 klaster


(gambar 3.4). Daratan Sulawesi terbagi menjadi 5 klaster sedangkan lautan
sekitarnya terbagi menjadi 12 klaster. Tidak tampak adanya klaster daratan mutlak
atau yang tidak tergabung dengan lautan. Hal ini disebabkan luas daratan lebih
sempit dibandingkan

lautan

sekitarnya,

sehingga

pola

curah

hujan

lautan

mempengaruhi pola hujan daratan. Kondisi lokal daratan dalam hal ini kalah
dominan dibandingkan pengaruh lautan sekitarnya.
~

20

4
2
0
C)

:z

-2

<(

1-

:z
___j

-4
-6

-8
-10

Gambar 3.5 Klaster-klaster di wilayah V (Papua)

Papua terletak di BBS (belahan bumi selatan) dan merupakan wilayah


Indonesia paling timur, dimana letaknya sangat berdekatan dengan lautan Pasifik.
Hasil klasternya menunjukkan klaster yang

berjajar

terhadap lintang yang

menunjukkan faktor lintang sangat besar pengaruhnya dalam membentuk pola curah
hujan di Papua (gambar 3.5). Kondisi permukaan yang didominasi

pegunungan

dapat berdampak pada pola hujan disamping pengaruh dari kondisi regional.
Metoda Ward pada wilayah sampel Papua dan sekitarnya memperlihatkan
adanya 10 klaster. Daratan terbagi menjadi 4 klaster, sedangkan lautan dan pulaupulau kecil disekitarnya terbagi menjadi 10 klaster. Jumlah klaster lautan yang sama
dengan jumlah klaster total menunjukkan bahwa ada beberapa klaster yang tidak
hanya mencakup daratan tetapi juga meliputi lautan. Hal ini menunjukkan bahwa
'
pola curah hujan di Papua sangat dipengaruhi oleh lautan sekitarnya.

Dari hasil klastering diatas dapat dirangkum sebagai berikut:


1.

Data TRMM meliputi data cu~h hujan di lautan, maka hasil klastering juga
meliputi wilayah lautan. Banyak wilayah tepi pantai yang mempunyai kemiripan

21

karakteristik curah hujan yang tinggi dengan karakteristik lautan disekitarnya,


sehingga berada dalam satu klaster yang sama. Hal ini dapat dijelaskan adanya
l
interaksi yang kuat antara atmosfer daratan dan lautan. lnteraksi atmosfer dan
lautan merupakan salah satu aspek penting dalam mengkaji perilaku variabel
atmosfer di wilayah benua maritim ini. Untuk penelitian selanjutnya yang hanya
memerlukan klaster di daratan , wilayah pengamatan harus dibatasi pada
wilayah daratan.
2.

Klaster di daratan terbentuk berdasarkan perbedaan area lintang tetapi klaster


di daratan Kalimantan dan klaster di lautan juga menunjukkan perbedaan area
bujur.

Hasil klastering sangat tergantung kepada metode yang digunakan,


metode yang berbeda akan menghasilkan hasil klastering yang berbeda pula.
Sebagai perbandingan, juga dilakukan klastering dengan metode Hard (Lampiran
C) , tetapi metode Hard tidak dibahas lebih mendalam dalam penelitian ini. Untuk
penentuan kalender tanam digunakan hasil klastering dari metode Ward .

3.3 Dasarian potensial dan kalender tanam potensial


Berdasarkan referensi berikut: Tupan dan Susanto (2002),

Juliardi dan

Ruskandar (2006), Sudjarwadi (201 0) padi memerlukan air 5 sampai 10 mm/hari/ha,


maka kebutuhan air per 10 hari adalah 50 - 100 mm/ha. Berdasarkan informasi ini
ditentukan dasarian paten sial yaitu dasarian dengan curah hujan

50 mm/1 0 hari

untuk seluruh klaster di daratan. Dasarian potensial secara lengkap untuk seluruh
klaster diperlihatkan pada Lampiran D. Kalender tanam ditentukan jika dasarian
potensial berjumlah 12 berturut-turut (120 hari). Jumlah dasarian ini ditentukan
berdasarkan rata-rata umur tanaman padi (Ciherang , IR 64 110-120 hari, Ciherang
115-125 hari, Cisokan 110-120 hari). Selanjutnya, dalam bab ini akan diuraikan
dasarian potensial dan kalender tanam di lokasi sampel . sentra pangan yaitu
Denpasar dan Tabanan, Magelang, Probolinggo, Tomohon di Manado dan Medan.
Di Medan padi bisa mulai ditanam pada dasarian ke 5 sampai dengan
dasarian ke 36. Jika dibantu irigasi pada dasarian ke 3, maka pad i bisa ditanam

..,

sepanjang tahun atau dalam setahun bisa 3 x tanam . lni berdasarkan curah hujan
rata-rata klaster 8 di P. Sumatera (gambar 3.6, tabel 3.4).

22

Di Probolinggo dan

Denpasar, padi bisa mu lai ditanam pad a dasarian ke 1, dengan dibantu irigasi mulai
dasarian ke dasarian 12. Pad i dapat ditanam lagi di akhir tahun dengan bantuan
irigasi pada dasarian ke 25 sampai dasarian 29. lni waktu yang tepat sesuai curah
hujan rata-rata

klaster 6 di P. Jawa (gambar 3.7, tabel 3.4). Di Magelang, pada

dasarian 1 sampai 12 tersed ia air hujan yang cukup untuk mengairi sawah (gambar
3.8) . Padi dapat ditanam lag i di akhir ta hun dengan bantuan irigasi pada dasarian 25
sampai dasarian 28 . Di Manado, agak sukar menentukan kalender tanam karena
diperlukan 12 dasarian berturut-turut, jika hanya berdasarkan dasarian potensial
maka padi dapat ditanam akhir tahun mulai dasarian ke 30 sampai dasarian ke 5
tahun berikutnya . Jika ingin dua ka li menanam maka harus dibantu irigasi (tabel 3.4).
Berdasarkan data di lapangan, Denpasar/Tabanan, Probolinggo dapat
menanam padi dua kali setahun. Jika dikonfirmasi dengan jumlah dasarian potensial
(gambar 3.7) maka di lokasi-lokasi tersebut hanya bisa menanam satu kali dalam
setahun, ini berarti ada tambahan suplai air dari irigasi. Di Magelang air hujan tidak
digunakan untuk mengairi sawah, karena pengairan sawah utama dari irigasi yang
diambil dari sungai Bengawan Solo. Medan belum divalidasi karena tidak ada data
lapangan. Data lapangan Manado menunjukkan bahwa padi ditanam 3 x kali dalam
setahun , sementara jumlah dasarian potensial berdasarkan TRMM (gambar 3.9,
tabel 3.4) maksimal hanya bisa dua kali tanam. lni berarti ada tambahan suplai air
dari irigasi pada dasarian-dasarian yang tidak potensial.
R.-tta-t .-n .-. C ut .-. h Huj .-.n Kl 1s t e 1 ke - 8
1 60 .------,,------,,------.-------.-------.------~------~--~

140

120

..s
<=
3-

100

.=

::;
"'

80

60

10

15
20
_. Da sarian ke -

25

30

35

Gambar 3.6 Curah hujan rata-rata klaster 8 di P. Sumatera (Medan)

23

Rata~ata Cura h Huj ...-.n Kl ...l s f e l ke -G

140
120
100

__

80

.,:r:
c

60

.c=

(_)

40
20
0

10

15

30

35

Oasarian ke-

Gam bar 3. 7 Curah hujan rata-rata klaster 6 di P. Jawa (Probolinggo dan


Denpasar)

R.ata-lat ...l C u1 . -,h


.
Huj ..1n Klaste1 ke -3

160
140
120
E'1DD
__

.,:r:

80

60

.c=
(_)

40
20
0

10

15

20

25

30

35

Oasarian ke -

Gambar 3.8 Curah hujan rata-rata klaster 8 di P. Jawa (Magelang)

R.tt.l-hlt.l Cu1.1h Huj ;m Kl.tsteo ke . 9


140

120

100

.._

.,
:r:
c

80

.c=

(_)

60

40

20

10-

15

20
Dasarian ke

25

30

35

Gambar 3.9 Curah hujan rata-rata klaster 9 di P. Sulawesi (Manado)


24

Tabel 3.4 Periode ketersediaan

air(~

50 mm/dasarian) untuk lokasi sampel sentra pangan (Medan, Magelang , Probolinggo ,

Denpasar/Tabanan dan Manado/Tomohon) ditunjukkan dengan shading warna hijau

Medan (klaster 8 wilayah I)


1

Bulan ke

Dasarian ke

2
4

3
6

10

11

12

13

5
14

6
15

16

17

7
18

19

20

8
21

22

23

10

9
24

25

26

27

28

29

12

11
31

30

32

33

34

35

36

Waktu
tan am

'

Bulan ke

Dasarian ke

-- -

~c

--

Magelang (klaster 8 wilayah II)


1

2
3

3
6

10

11

12

13

14

6
15

16

17

7
18

19

20

8
21

22

23

10

9
24

25

26

27

28

29

11
30

31

32

33

34

12

35

36

Waktu
tan am
--

- -

---

--~ -

- - -- ~ -

"-

'----

--

L~

Probolinggo (klaster 6
Bulan ko

Du"'nrlnn ke

1
1

T 3

3
6

10

11

5
12

13

14

15

16

17

18

19

Wnkhr
1111111111

'
'

25

'--~

wilayah II)
7

-~

20

8
21

22

23

10

9
24

25

26

27

28

29

12

11
30

31

32

33

34

35

36

Denpasar/Tabanan (klaster 6
1

Bulan ke
Dasarian ke

2
3

3
6

4
9

10

11

5
12

13

14

6
15

16

17

wilayah II)

18

19

20

8
21

22

23

24

25

26

10
27

28

29

12

11
30

31

32

33

34

35

36

Waktu
tan am

Manado (klaster 9 wilayah IV )


Bulan ke
Dasarlan ke

1
1 -2

2
3

3
6

4
9

10

11

5
12

13

14

6
15

16

17

7
18

19

20

8
21

22

23

24

25

26

10
27

28

29

12

11
30

31

32

33

34

35

36

Waktu

tan am

26

Pola curah huja n dan dasarian-dasarian potensial klaster daratan lain


selain klaster-klaster sampel di atas , diperlihatkan pada Lampiran D dan E. Dari
l

seluruh hasil di atas, maka kalender tanam berdasarkan TRMM menunjukkan


terdapat tiga macam kalender tanam yaitu dua kali waktu tanam dalam setahun,
satu kali tanam setahun dan tiga kali tanam atau sepanjang tahun menanam. Dua
kali menanam padi dalam setahun terjadi di P. Jawa, Sumatera, Kalimantan dan
Sulawesi. Daerah dengan satu kali tanam sepanjang tahun adalah Bali dan Nusa
Tenggara, karena hujan dengan intensitas yang cukup hanya terjadi di awal tahun.
Sedangkan di Sumatera Barat dan Papua waktu tanam hampir bisa dilakukan
sepanjang tahun.

3.4 Curah hujan ekstrim


Ketahanan pangan sangat tergantung kepada hasil panen, sementara hasil
panen sangat tergantung kepada terpenuhinya kebutuhan air dan masalah-masalah
lain seperti pengendalian hama dan sebagainya. Untuk
akan air, sawah-sawah tadah hujan

terpenuhinya kebutuhan

sangat tergantung kepada hujan. Air hujan

diperlukan dalam jumlah yang cukup, tidak terlalu banyak dan tidak kurang. Dengan
demikian peta curah hujan ekstrim sangat diperlukan untuk mengetahui lokasi yang
sering terjadi curah hujan ekstrim dan intensitas curah hujan ekstrimnya. lnformasi
ini sangat berguna untuk mendukung dikembangkannya sistem ketahanan pangan.
Dalam penelitian ini

curah hujan ekstrim di wilayah Indonesia berdasarkan data

TRMM ditentukan dengan perhitungan (persamaan 2.1 ).


Curah hujan ekstrim yang dibahas disini adalah curah hujan ekstrim tinggi
dan berpedoman pada data curah hujan rata-rata, maka lebih tepat jika dikatakan
curah hujan ekstrim potensial. Curah hujan ekstrim potensial ini sudah memenuhi
dua persyaratan sebagai curah hujan ekstrim yaitu intensitas yang besar dan jarang
terjadi (frekuensi rata-rata

1 sampai 2 kali dalam setahun , gambar 3.11 ). Pada

gam bar 3.10 tampak bahwa curah hujan ekstrim diwilayah. lndonesia berkisar antara
80 sampai 180 mm/1 0 hari. Wilayah Indonesia bag ian timur, curah hujan ekstrimnya
lebih tinggi dibandingkan wilayah Indonesia bagian barat. Jika dikaitkan dengan
resiko maka curah hujan ekstrim ini akan mengakibatkan sawah terlalu basah
(karena

kebutuhannya

hany~ 50-100

mm/10

27

hari)

apalag i jika

air

hujan

yang cukup lama, maka akan terjadi

menggenangi sawah dalam

gagal

panen.
- . .~.. ..

15 b . ( "

t "\___'f-.._ :C

=-:: ..

-2

.--! _

360
340
320
300
280
260
240
220
200
180
160
140
120
100
80
60
40

-15

95

100

~..

105

110

115

120

125

130

135

140

145

Gam bar 3.10 Peta curah hujan ekstrim (mm/1 0 hari)

15

10

...
2

15 1---' ..._I ) I
95 100 105
I

11 0

,.__..,.
. L.:_
I

115

120

125

130

135

140

145

Gambar 3.11 Peta frekuensi curah hujan ekstrim (kejad ianltahun)

28

Pembahasan ka lender tanam dan curah hujan ekstrim terkait ketahanan


pangan dalam makalah ini sengaj a dibatasi pada pembahasan umum saja,

t~dak

terlalu detil mengingat kalende r tanam sangat erat kaitannya dengan aktivitas
pertanian dengan segala aspeknya yang memang tidak dicakup dalam penelitian ini
karena penelitian ini bersifat sebagai informasi untuk mengembangkan pemanfaatan
data curah hujan TRMM. Untuk menghasilkan klaster seperti diatas diperlukan data
minimum satu tahun, namun jika hanya satu tahun maka klasternya hanya berlaku
pada tahun tersebut. Dalam penelitian ini digunakan data curah hujan rata-rata
selama 12 tahun, sehingga berlaku secara umum.

4 KESIMPULAN DAN SARAN


Curah hujan TRMM sangat berguna dalam mengkaji lebih mendalam
perilaku curah hujan dan faktor-faktor yang mempengaruhinya karena kemiripan
polanya dengan curah hujan observasi.
Dalam penelitian ini, ada beberapa hal penting yang diperoleh: Pertama,
ada keterkaitan antara pola curah hujan atau klaster curah hujan dengan geografi
dan topografi. Kedua, aspek interaksi atmosfer dan laut sangat menonjol di wilayah
Indonesia terlebih di pulau-pulau berukuran kecil. Ketiga, karakter curah hujan di
lautan lepas berbeda dengan di daratan. Keempat, pengembangan pemanfaatan
data TRMM dapat ditunjukkan dengan ditentukannya dasarian-dasarian potensial
per wilayah untuk menetapkan kalender tanam potensial.
Dari aspek manfaat, selain berisi konfirmasi terhadap hasil sebelumnya,
penelitian ini juga sangat bermanfaat untuk mendukung terciptanya sistem
ketahanan pangan baik skala lokal maupun nasional.
Teknik klastering Ward cukup baik dalam mengklaster curah hujan di
wilayah Indonesia, tetapi

perlu juga

dilakukan uji terhadap metode klastering

lainnya sebagai bahan perbandingan . Perbandingan dengan klastering yang


menggunakan data penakar curah hujan perlu dilakukan agar h~siJ yang diperoleh
memiliki

ting~at

kepercayaan yang tinggi.

PUBLIKASI:
Penelitian ini fllenghasilkan 4 makala~enelitian, satu maka lah sudah terbit dalam
Jurnal Sains Pirgantara-LAPAN terakreditasi, dua makalah sudah terbit dalam Berita

29

lnderaja-LAPAN, satu makalah diajukan dalam Seminar Sains Atmosfer dan lklim,
15 November 2010. Maka lah lengkap ditampilkan pad a Lampi ran F.

DAFTAR PUSTAKA
Arief Suryantoro, Teguh Harjana , Halimurrahman , 2008. Variasi Spasiotemporal Curah
Hujan Indonesia Berbasis Observasi Satelit TRMM, Prosiding Workshop Aplikasi
sains Atmosfer : Sains Atmosfer Oa/am Mendukung Pembangunan Berkelanjutan,
ISBN 978-979-1458-25-2, Pusat Pemanfaatan Sains Atmosfer dan lklim LAPAN,
Bandung 1 Desember 2008, hal. 175-186.
Ayahbi, R., 2009. Pengelompokkan karakteristik curah hujan di wilayah Sumatera Barat
menggunakan metode Ward , Skripsi, Jurusan Statistika Fakultas Matematika dan
1/mu Pengetahuan A/am, Universitas Padjadjaran-Jatinangor.
Tupan dan Susanto; 2002. Studi perbandingan kebutuhan air irigasi di Jawa Timur
berdasarkan metode faktor palawija relatif dan metode net field water requirement,
Tugas Akhir Jurusan Teknik Sipil, Petra Christian Uiversity.
Degaetano, A. T.; 1996. Delineation of mesoscale climate zones in the Northeastern
United States using a novel approach to cluster analysis, Journal of Climate, 9.

Haryoko, U. , 2009. Pewilayahan hujan untuk menentukan pola hujan (contoh kasus
Kabupeten Indramayu), http://www. staklimpondokbetung. neUpublikasi/ didownload
Juli 2009.
Juaeni, 1.; Halimurrahman, Risana Ayahbi, Noersomadi, Nurzaman; 2009. Karakteristik
Atmosfer dan lklim Sumatera Barat. Laporan Penelitian RIK-LAPAN 2009.
Juaeni, 1.; Dewi Yuliani, Risana Ayahbi, Noersomadi, Teguh Hardjana, Nurzaman; 2010.
Pengelompokan Wilayah Curah Hujan Kalimantan Barat Berbasis Metoda Ward dan
Fuzzy Clustering, Jurnal Sains Dirgantara, 7,2, LAPAN.
Juliardi dan Ruskandar; 2006. Teknik Mengairi Padi Kalau macak-macak cukup, mengapa
harus digenang? Balai Besar Penelitian Padi.
Rencher, A. C.; 2001 . Methods of Multivariate Analysis, Second Edition, A Wileylnterscience Publication, United States.
Sudjarwadi ; 2010. lrigasi-1. Diktat kuliah Jurusan Teknik Sipil, UGM, Yogyakarta.
Yuliani, D., 2009. Pengelompokkan karakteristik curah hujan di wilayah KaJimantan Barat
menggunakan Fuzzy Clustering, Skrips1~ Jurusan Statistikct Fakultas Matematika
dan 1/mu Pengetahuan A/am, Universitas Padjadjaran-Jatinangor.
http://trmm.gsfc.nasa.gov/ didownload Maret 2009.

30

LAMPIRAN A
Perbandingan pola curah huja observasi di beberapa lokasi
dengan pola curah hujan TRMM

600

Keta p ang

500

,,

400

e..

1 300

.....

Observa si

200

.....

, ,

.....

100

0
1

7
6
B ulanke

10

11

12

350
300
250

t 200
~
~

150

3
100
-

Observasi

- -ward

so
0
2

10

11

12

Bulan k e

500

Pangsuma

450
400

e
._

350

,
,
,

,-_

' .
'

,_---

300

250

-<=
~

200

150
100
50

0
1

10

11

12

Bulanke

600

Sambas
SOD

\
\

-400
E

..
c

j300
-<=

200

'
100

'

--

'

tiiP

....._.,

.....

...._/

Observa$

Wa-d

0
1

Bulan ke

31

10

11

12

Lanjutan Lampiran A
Korelasi Pola CH terestrial dan CH-TRMM (3843)
Sicincin, Padang 2002-2007 (tanpa 2003); r 0,8

700
600

soo

400
300
200
100

Korelasi Pola CH terestrial dan CH-TRMM (3843)


Daerah Supadio, Pontianak Tahun 1998-2007; r = 0,8

800
700
600
500

400

300
200
100

0
13

25

37

49

61

73

85

900
800

r=97

1o9

CH terestrial
-a- CHTRMM

t (bulan)

Korelasi Pola CH terestrial dan CH-TRMM (3843)


Daerah Manado Tahun 1998-2007; r = 0,8

_ __j-=.- CH-terestrial t
________j -- CH-TRMM _ _ __

700

-600

I ~

500

400

(J

300

200
10

~ l'!:,,,,,,,,, ~ ,,,,,,~ lliillllii ~llliliiii rt,llllli~ I" .E


-

900

--

, ~ ,,~,,-,,,:,,,

t (bulan)

Korelasi Pola CH terestrial dan CH-TRMM (3843)


Daerah Jakarta Tahun 1998-2007; r = 0 ,8

800

700
600
500
400
300
200
100
0
13

25

37

49

61
t (bulan)

32

73

85

97

109

LAMPIRAN 8
Dendogram (kiri) dan jumlah klaster (kanan) metode Ward
untuk setiap wilayah

8.1 Wilayah I (P. Sumatera dan sekitarnya)


4
X 10

10
2.-----.------.------.------.-----.
X

1.6
1.8
~ 161

1.6

1.4

1.2

e. 14

"'
g>
"',.,

121

;;;

f-

;;;

2"'

<(

"'t
0.6

~I

,r

04
0.8

0.2~

0
0

500

1000

1500

2000

10

,.-1-

I J_
6

,.-1-

8.2 Wilayah II (P. Jawa, Bali, Nusa Tenggara/NT dan sekitarnya)


2.5

4
X 10
X 10

2~

;;;"'

Cl

f-

g> 15

"'"'

;;;
"'

sz"'

"'
c
<(

"

.
.

1~

""!"

2.2

1.6

1.6

1.4

1.2

.'!; 0.5

o~------------~~~~~~
0
500
1000 1500 20lJ 2500 llil 3500
4000

0.8

....

33

10

8.3 Wilayah Ill (P. Kalimantan dan sekitarnya)


X 10

2 ~--~----~----~----~-----

1.8

g' 1.6

"

.c

~1.4

....

.g'1.2

10

18

16

>-

~
S2

1
12

~ 0.8

<{
-"'
~

0.6

!l 0.4
0.8

0.2

oo

1500

1000

500

2500

2000

8.4 Wilayah IV (P. Sulawesi dan sekitarnya)


X
1 6000 ,------r------~------r------.------.

10

1.6

14000

1.4

"'c

.il 12000

....~

1.2

"' 10000

~
0

8000

S2
l!

6000
0.8

~4fll)

..,

2000

0.6

0
0

500

1000

1500

2500

B. 5 Wilayah V (P. Papua dan sekitarnya)


X

10

x to

3.5 r--~-~---.--~-~---.--~--,

3.5

g'

~
~ 25

..

1-

2.5

g'
~

2
~

;;;
iii

"'

S2 1.5
l!

c"'

1.5

..,~
05

00

500

1000

1500

2000

2500

DJJ

3500

4000

34

10

LAMPIRAN C
Metode klastering Hard dan hasilnya

C.1 Metode klastering Hard

Metode

Hard

atau

K-means

mengklasifikasikan

objek

berdasarkan

kesamaan menjadi k bagian . Tujuan utamanya adalah menentukan rata-rata k dari


data berbasis distribusi gaussian dengan cara memperoleh variansi antar klaster
yang minimal atau fungsi kesalahan kuadrat (V) yang minimal.

,
...

ll

=I: I:

l:1;j - tt; l

i-lJ'JES,

Dimana k= jumlah klaster Si, i = 1,2, ...,k

!Ji = centroid atau titik rata-rata dari titik-titik dalam klaster

17J

S;.

Langkah pertama dimulai dengan pembagian data input menjadi k kumpulan data,
yang ditentukan secara acak atau berdasarkan data historik.

Langkah selanjutnya menghitung titik rata-rata atau centroid untuk setiap kumpulan
data. Maka akan terbentuk partisi data yang menghubungkan setiap titik dengan
centroid terdekat.

Selanjutnya menghitung centroid untuk klaster baru, langkah kembali berulang


(iterasi) sampai terkonvergensi, atau tidak ada lagi titik yang sesuai dengan klaster
atau centroid tidak lagi berubah.

Algoritma ini

sangat populer karena konvergensi terjadi dengan cepat, tetapi

kelemahannya

adalah asumsi jumlah klaster sangat mene!ltukan,

sehingga

perbedaan asumsi awal akan menghasilkan cluster yang berbeda. Variansi


terrendah yang diperoleh tidak menjamanin nilai variansi minimum global.

tiP

35

C.2 Hasil klaster metode Hard

I Sumatera
III Kalirnan tan

10
12
17

IV Sulawesi

11

V Papua

13

II Jawa

Visualiasi klaster-klaster dengan merode Hard perwilayah diperlihatkan pada


gambar-gambar di bawah ini.

36

122

132

126

124

134

1])

138

128

140

130

142

LAMPIRAN D
Pola curah hujan di klaster-klaster daratan yang digunakan untuk menent4kan
kalender tanam potensial

0.1 Pola curah hujan di wilayah I (Sumatera)


Rat,l-..1-Jf.'l C mah Hllj .ln

KI-.H~et

Raraoo~at.l

ke- 1

Cmah Hujan Klo1stet ke- 2

1~,---~----~----~----~----~----~-----.

140

120

I
5:I:

100

00

E'

.sc
~

5'

:I:

=l!

\5

(.)

400

10

15

20

25

3J

35

10

15

Rald-ltll~l C UI

20

25

3J

35

Dasarian ke-

Dasarian ke -

ah Hujiln Kl.nlea ke- 3

R~lta-hltd C m ~1 h Hujo1n Klas.tel ke--'


180.---~----~-----r--~~----,-----~----r-o

140.---~----~----~--~~----~----r----,-,

140

100

E
I

120

...

...

c
~
5'

5I

80

=
5
u

100

60

40

80

60

200

10

15

20

25

400

35

30

10

15

20

25

30

35

Oasarian ke -

Dasanan ke-

Rata-aata C.ut.lh Huj.'ln Kl.,stet lte - 5

R.1ta-aara Cmah Huj ,l n Klastet ke- 6

140

140r-----~----~----~------.-----~----~~--~--

120
100

E'

.sc

.,
c

5'

:I:

:a:

(.)

50

10

15

20

Oasarian ke -

25

30

40

35

..

38

10

15
20
Oa-sanan e -

25

3J

35

Rat.l -l .lt ~l C m ~l h

110

K l ~-.stel

ke - 8

140

100
90

'E
-5.

'E
-5.

00

120

5'
:I:

""'

""'

20

10

15
20
Oasarian ke-

25

:II

20
Oasarian ke-

35

25

30

35

D. 2 Pola curah hujan di wilayah II (P. Jawa, Bali dan Nusa Tenggara)

R~-.ta-t ..-.M

RaM-Io"'la Cmah Huj a n Kl.lst&l ke- J.

Cm ..l h Huj .ln Klaste1 ke . 6

140,----.-----.-----.----~-----.-----.-----.-,

'E

-5.
c

4()r

I 1

00

10

:r::

15

20

25

:II

!!

O'
0

35

1D

Oasarian ke -

15

20

25

:II

35

:II

35

Dasarian ke R.lM--fata Cmah Huj m KloJster ke. . 9

Rata:...r.n..t Cu1..1h Huj.ln Kl ..lSiel ke - 8

120

160
140
120

-5.

c
5'

:r::

HIJ

00

'E
-5.
c

s
:r::

""'

!5

60

40

40
20
20
Do

10

15

20

25

:II

Do

35

Dasarian ke -

10

15
Da~arian

Hnj m

1ro,----.r----.-----.----~----~----~----.-,

120

39

20
ke-

25

0.3 Pola curah hujan di w11ayah Ill (Kalim antan)


Rilla-oata Cuoah Hujan KJ-.o h - t

,ffi I

'

R.Jta -rata Cm.ah Huj.m Klilster ke- 2

'

II

140
120

I. f\

-~ 00~

I
.c

8 ffir

'

10

N 1

-vv

20

E'

I ~ i

V\

40

!.SO

'

15

'

20

25

3)

35

20

10

Rata~ at a

30

35

13)

1001

70

40~
5

10

15

20

25

90

5-

80

.c

!"

70

"

(.)

ffi
50

' I I \1

3)

'E

.s.c

8"' ffi

110
100

V\J\f~~ A~v

.s.

120

Ii

E' oo

I
.c

25

20

R.lta-4'at.l Ctuah Hujon Klaster ke -..t

Cuo ah Hujan Klaster ke - 3

110

"
5-

15

Oa sarian ke -

Dasarian ke-

3)

40
300

35

10

Oasanan ke-

25

15
20
Dasarian ke -

Rata-oata Cmah Hujan Klasteo ke

Rata-oata Cm ,lh Hujan Klasteo ke - 3

35

-~

130

110r
100

30

120
110

'E oo

.s.

"
5I

70

.c

~ ED

Vv\j

v I.,.

90

"

;;

(.)

(.)

ffi

50
40
3)
0

100

50

40

10

15
20
Oasarian ke-

25

30

35

30

..,
40

10

20
Dasana" ke -

15

25

30

35

Rata~ata

Cu&ah Hujan KlaSia ~. -S

Rat,l l ilt.l

1&1

C mi~h

Huj,ln Klastet ke- 6

131

.I

120
110
100

I ' \ 1\1\

'E

..

~ 001

'\/

e
.s.
c

\I\

II

S'

.c

ffi

50

4ll

3J

35

3J

15

10

R.tM-rata Cu&.th Hujan Kloster ke -7

:r.
]

50~

30

35

30

35

Rata-rata Curah Hujan Klaste& ke- 8

100

. ,j

100
14ll

I\ A

'E

..

25

20

Dasarian ke-

Oasanan ke-

A /\

I I .s.

'E120
c

~ 100

\ !\ r \1

\)\

I~~

"

.c

!"

00

"

ffi

4ll

3J

10

15

20

25

3J

20

35

10

15

Dasarian ke -

20

25

Dasarian ke -

0.4 Pola curah hujan di wilayah IV (Sulawesi)

Rata~ata

RataHta Cm.th Hujan Kl.tste& ke - 1

Cmah Hujau Klaste& ke - 2

120

100r---~----~----r----.----~----r----.-,

100

00

'E

'E

..

..

s"' 60

"'

S'

.c

.c

u"

!"

"'

"

40

20
10
oL----L____L __ __ L_ _ _ _
0
5
10
15
20

~_ __ J_ _ _ _~--~~

25

3J

35

Oasarian ke-

10

15

2!l

~,.,_

....

41

25

3J

35

R at.l-lolt ~l

Cm ah

Huj.:~n

Kl

R.1M -1.1T.1 Cm.lh Hujan

110

Kl~1ste1

ke - 5

00

1[()

70
90

E'

liD

00

.s

~g)

5'

:r:

:r:

.c

!5

:JU

3J
40

20

l1
200

10

15

10

35

20

10

15

20

25

3J

35

Oasa rian ke -

Dasarian ke -

Ra1.lAtlM Cur ..1h Huj'tln Kl,lSte-1 ke - 7

R ~lt ..l-l af,l

90.----r----r---~--~~--~--~----~

Cuaah Hujan Klaste1 k.e -6

100.-----.-----.---~-----,-----,-----,-----.~

00

E'

70

...

E'

...
c

"'
""'5

5'

.c

:r:

(.)

10

15

20

25

l1

3)0

35

10

15

20

Dasarian ke-

Oasarian ke-

R.l"t.J -Iilta CutOlh Huj,'ln Klast&t ke -9

140 ,-----.-----.---~----~------------------~

e...
c
.5'

"'

::r::

l1

35

Oasarian ke-

....

42

25

l1

35

0.5 Pola curah hujan di wilayah V (Papua)

R.at.1-1Jta Cm.ah Hujan

KIJS~e-1

ke -2

Rar.J-rata Curah Hujalt KlaSfel ke.- 3

140
120
100

E
6

00

~
~

5'

60

JI_;J~

~1

1\

(_)

40

E
6

.,
~

(_)

20

00

10

Oasanan ke-

R~"'lta-hlt.l

15

20

25

30

35

Oasarian ke -

Cm ..)I\ Huj ..ln Klaste ke

Rat.l-tata Cmah Hujan KlaSfel ke- 5

-.a.

110
100
90
00

E
6

""

:r:

!5

50

(_)

(_)

40

30
20
100

10

15

20

25

30

40

35

10

15

Rata-1.1t.:1

Cm~1h

20

25

30

35

Oasarian ke-

Dasarian ke -

Huj <mK iaSi el ke -6

R,1t.1-1.1ta Curah Hujan Klasret ke- 7


140.-----.-----.-----.-----~----~----------~-,

130

120

~
~

""

:r:

:r:

110

=i!

~
~

(_)

500

10

15

20

25

30

100

80

35

Dasarian ke -

10

15

20

Dasanan ke-

...
43

25

'

LAMPIRAN E:

E.1

Wil~y

f1

Da~

1(Sumatera dan ~ekitarnya)

3 I 4

~ 7~ I

9110

1~ I

potensial (warna hijau)

Klaster 1. '-------=----------------------~
P. Enggano
I
11
I
12
7
10
8
9

5
12,13

~--ian

I 14 I

18 I 19 I 20 I 21 I 22 I 23 I 24 I 25 I 26

~
tan am

.----

--

: 1

___./ l4'

r--sulan~
1

i<e

oasar~

r--w-aktU
tanam

Klas~

-...........
I

2
4

v~

3
6

10

12

14

13

e ~: Lampung

11

32 I 33 I 34 I 35 I 36

29 I 30 I 31

27 I 28

15

16

~
~

7
19

18

20

8
21

22

23

10

9
24

25

26

27

28

29

11
30

31

32

33

34

12

35

36

L----

~ I
2

3 I 4

Klaster .

~~~~~ I I,,,~ I al 1~1 ,,I,~~K~e~,p~.~p=:=ga~i~-------------------8

10

11

12

18 I 19 I 20 I 21 I 22 I 23 I 24 I 25 I 26 I 27 I 28 I 29 I 30 I 31 I 32 I 33 I 34 I 35 I 36

I3

Klaster 4: Sumatera Selatan, ~


~~ I 4 I I ~~gkulu, Jambi, Sumatera Barat, Riau
I 5 I 6 ' 8 9 1o 11 12 13 14 15 15 e
7
8
9
2

10

11

12

18 I 19 I 20 I 21 I 22 I 23 I 24 I 25 I 26 I 27 I 28 I 29 I 30 I 31 I 32 I 33 I 34 I 35 I 36

tan am

44

LAMPIRAN E: Dasarian potensial (warna hijau)


E.1 Wilayah I (Sumatera dan sekitarnya)

Klaster 1: P. Enggano
1

Bulan ke
Dasarian ke

2
3

11

14

10

12

13

6
15

16

17

7
18

19

20

8
21

22

23

24

25

26

10
27

28

11

29

30

31

32

12
33

34

35

36

Waktu

tan am
-

--

-- --

Klaster 2: Lampung
1

Bulan ke
Dasarian ke

2
3

3
6

4
9

10

11

5
12

13

14

6
15

16

17

18

19

20

8
21

22

10

23

24

25

26

27

28

29

30

31

11

32

33

12

34

35

36

Waktu
tan am
--

L_ _ _ _
--~---

------ - -

Klaster 3: Kep. Pagai


1

Bulan ke
Dasarian ke

'--

--

2
3

3
6

10

11

5
12

13

14

6
15

16

17

18

19

20

21

22

10

8
23

24

25

26

27

28

29

11
30

31

32

12
33

34

35

36

Waktu
ton am

----

~L-.-.

--

-~

- -

'

-- - - ~

I lnHulnn ke

2
3

3
6

10

11

12

13

14

5
15

16

17

18

19

20

8
21

22

23

9
24

25

26

11

10
27

--

- - - --

----

Klaster 4: Sumatera Selatan, Bengkulu, Jambi, Sumatera Barat, Riau


111111111 kB

-- - -

28

29

30

31

12

32

33

34'

35

36

Woktu
tan am
'-

____ ,

--- ----

44

--

....

-- -

Klaster 5: Jambi
1

Bulan ke
Dasarian ke

2
3

3
6

4
9

10

11

12

13

14

15

16

17

19

18

20

8
21

22

23

24

25

-----

11

10

9
27

26

28

29

31

30

32

12
33

34

35

Waktu
tan am

'

~~

c ~

'

---

---

36

Klaster 6: Kep. Nias, Kep. Siberut, Pantai timur Sumatera Utara


1

Bulan ke
Dasarian ke

Waktu

2
3

3
6

4
9

10

11

12

13

14

15

16

17

18

19

20

21

22

23

24

'

tan am

10

--

25

26

~~~

-~

27

28

29

12

11
30

31

32

33

34

35

Klaster 7: Banda Aceh, Riau


1

Bulan ke
Dasarian ke

2
3

3
6

10

11

5
12

13

14

6
15

16

17

18

19

20

22

23

24

25

26

11

10

8
21

36

27

28

29

30

31

32

12
33

34

35

-
36

Waktu
tanam

.
1

Dasarlan ke
Woktu
tnnum

2
3

3
6

----- ~

----- ---- - L -

Klaster 8: Sumatera Utara, NAD

Bulan ke

- --- --

4
9

10

11

5
12

13

14

15

16

17

19

18

20

21

22

23

24

25

26

11

10

27

28

29

30

31

32

12
33

-~

-'

--

45

'

34

35

36

E.2 Wilayah II (Jawa, NT, Bali dan sekitarnya)

Klaster 4: Nusa tenggara sebelah timur


1

Bulan ke

Dasarian ke

3
6

10

11

5
12

13

14

15

16

17

7
18

19

20

8
21

22

23

10

9
24

25

26

27

28

29

11
30

31

32

12
33

34

35

36

Waktu
tanam

'-

Klaster 6: Jawa

Bulan ke
Dasarian ke

2
4

3
6

10

11

12

13

timur, Bali, NT sebelah barat


6

5
14

15

16

-- -

17

7
18

19

20

8
21

22

23

24

25

26

11

10

9
27

28

29

30

31

32

12

34

33

35

38

Waktu
tan am

'---

Klaster 8: Jawa Barat, Jawa Tengah sebelah selatan


2

Bulan ke
Dasarian ke

4
9

10

11

5
12

13

14

15

16

17

7
18

19

20

8
21

22

23

10

9
24

25

26

27

28

29

11
30

31

32

12
33

34

35

36

12
34 v35

36

Waktu
tan am

111111111 ku

3
7

6
I

I)" ~'" I"" ke 1

Klaster 9: Sebagian kecil NT


1
2

2
3

3
6

10

11

5
12

13

14

15

16

17

18

19

20

8
21

22

23

10

9
24

25

26

27

28

29

11
30

31

32

33

Wnktu

ton om

46

E.3 Wilayah Ill (P. Kalimantan dan sekitarnya)

Klaster 1: Sebagian Sulawesi selatan


1

Bulan ke

Dasarian ke

3
6

10

11

5
12

13

14

6
15

16

17

7
18

19

20

8
21

22

23

24

25

26

11

10

9
27

28

29

30

31

32

12
34

33

35

36

Waktu
I

tan am

Bulan ke
Dasarian ke

Klaster 2: Kalimantan Selatan, sebagian Kalimantan Tengah dan Sulawesi Barat

..

1
..
2
1

2
3

3
6

10

11

5
12

13

14

15

16

6
17

7
18

19

20

21

22

23

24

25

26

11

10

27

28

29

30

31

32

12
33

34

35

30 j

Waktu

tan am

Klaster 3: Samarinda, Balikpapan


1

Bulan ke
Dasarian ke

3
6

10

11

5
12

13

14

15

16

6
17

7
18

19

20

21

22

8
23

9
24

25

26

27

28

10
29

11
30

31

32

12
33

34

35

36

Waktu
tan am

-- -- -

~ -

- .___

----

---

--

- ~ ~

Klaster 4: Selat Karimata


1

Bulan ke
Dasarian ke

2
3

3
6

10

11

12

13

5
14

6
15

16

17

7
18

19

20

8
21

22

23

10

9
24

25

26

27

28

29

11
30

31

32

12
3~

34

35

36

Waktu
tan am

--"-

47

~--

.,-~

Klaster 5: Kalimantan Barat


1

Bulan ke
Dasarian ke

2
3

3
6

10

11

5
12

13

14

6
15

16

17

7
18

19

20

8
21

22

23

10

9
24

25

26

27

28

29

11
30

31

32

12
33

34

35

36

12

30

Waktu
tan am

Klaster 6: Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur


1

Bulan ke
Dasarian ke

~ 2

2
3

3
6

4
9

10

11

5
12

13

14

15

16

17

7
18

19

20

21

22

23

24

25

26

25

26

11

10

9
27

28

29

27

28

29

30

31

32

30

31

32

33

34

35

33

34

35

Waktu
tan em

Klaster 7: Tanjung Redeb, Teluk Singkawang


1

Bulan ke
Dasarian ke

2
3

3
6

10

11

12

13

5
14

15

16

6
17

7
18

19

20

8
21

22

23

10

9
24

12

11

36

Waktu
tan am
I

Klaster 8: Sambas dan Singkawang


1

Bulan ke
Dasarian ke

2
3

3
6

10

11

5
12

13

14

6
15

16

17

7
18

19

Waktu
tan am

20

22

23

24

25

26

11

10

8
21

27

28

29

30

31

32

12
33

34

48

35

36

E. 4 Wilayah IV (P. Sulawesi dan sekitarnya)

Klaster 1: P. Buton
1

Bulan ke

Dasarian ke

2
3

-~~.

---

10

11

5
12

13

14

6
15

16

17

18

19

20

8
21

22

23

10

9
24

25

26

27

28

29

11
30

31

32

12
33

34

35

36

Waktu
tanam
..

-~.-

--- - - - - -

--

-----

------

Klaster 2: Sulawesi Selatan, Teluk Bone


t

Bulan ke
Dasarlan ke

3
6

10

11

12

13

14

5
15

16

17

18

19

20

8
21

22

23

10

9
24

25

26

27

28

29

11
30

31

32

12
33 . 34 35 3o

Waktu

tan am

Klaster 3: Kendari, P. Buru , Ambon


1

Bulan ke
Dasarian ke

Waktu
tan am

10

11

5
12

13

- -- - -

14

6
15

16

17

18

19

20

8
21

22

23

10

9
24

25

26

27

28

29

11
30

31

32

12
33

34

35

36

--- ----

-~

Klaster 5: Luwuk, Kep. Banggai


1

Bulan ke
Dasarian ke

2
3

3
6

10

11

13

14

5
12

15

16

17

19

18

Waktu
tan am
O<O

49

20

8
21

22

23

10

9
24

25

26

27

28

29

30

31

11

32

33

12
34

35

36

Klaster 6: Sulawesi Tenggara dan sebagian Sulawesi Selatan

2
Dasa

415161718

10 I 11

12 I 13 I 14 I 15 I 16 I 17 I 18 I 19

W aktu

tonam

Klaster 8: Sulawesi Utara


Dasarian ke I 1 I 2 I 3 I 4 I 5 I 6 I 7 I 8 I 9 I 1o I 11 I 12 I 13 I 14 I 15 I 16 I 17 I 18 I 19 I 20 I 21
Waktu

tan am
~

tan am

50

Klaster 6: Sulawesi Tenggara dan sebagian Sulawesi Selatan


1

1 12 13

4 1516

7 18 19

10111112

13114115

16 1 17 1 18

l _I

I l

Bulan ke
Dasarian ke

J _J - L I

Waktu tanam

L L_ _I J

7
19

I 20 21
I I
1

22 1 23 1 24

10

25

26

I 27
I

28

27

28

29

11

I 3o

I_

12

31 1 32 1 33

~- L_ I

34 1 35 1 36 ,

__ _ _l_j,_

_l

Klaster 7: Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, Sulawesi Utara


Bulan ke
Dasarian ke

2
3

3
6

10

4
11

5
12

13

14

15

--

16

17

19

18

20

8
21

22

23

24

25

9
26

10
29

11
30

31

32

12
33

34

3536

W aktu
tan am

""

~ - -~

....__ ' -

- - --

- --

~~

Klaster 8: Sulawesi Utara


Bulan ke
Dasarian ke

3
6

10

11

12

13

5
14

15

16

6
17

7
18

19

20

8
21

22

23

10

24

25

26

27

28

29

11
30

31

32

12
33

34

35

36

Waktu
tan am

.
~

Klaster 9: Menado
1

Bulan ke
Dasarian ke

2
3

3
6

4
9

10

11

5
12

13

14

15

16

17

7
18

19

20

8
21

22

23

10

9
24

25

26

27

28

11

29

30

- ---

----

31

32

12
33

34

35

36

Waktu
tan am
----

!""-~

I ~ -''~ _ c

---

L-" . -~

- - -- -

50

----

- -

-- ----- -

---

L~-

~!~

--

l~ " c

L ; c,,

- - - -- -

u
E. 5 Wilayah V {Papua dan sekitarnya)

Klaster 2: Kep. Tanimbar, P. Komoro


1

Bulan ke
Dasarian ke

2
3

3
6

4
9

10

11

5
12

13

14

6
15

16

18

17

19

20

8
21

22

23

24

25

26

10
27

28

12

11

29

30

31

32

33

34

35

36

Waktu

tan am

Bulan ke
DosorTan ke

Klaster 3: Merauke

.. 1
2

2
3

3
6

10

11

5
12

13

14

15

16

7
18

17

20

19

21

22

8
23

10

9
24

25

26

27

28

12

11

29

30

31

32

33

34

35

-
36;

Waktu
to nom
-

- --

---

,__

--

--

- - - - --

laster 4: Kep. Aru, sebagian Fak-fak


1

Bulan ke
Dasarian ke

2
3

Waktu

3
6

10

11

12

13

5
14

6
15

16

17

18

20

19

8
21

22

23

9
24

25

26

10
27

28

12

11

29

30

31

32

33

34

35

36

tanam

----

- ---

- -- -

Klaster 5: Papua Timur


1

Bulan ke
Dasarian ke

2
3

4
9

10

11

5
12

13

14

6
15

16

17

18

19

20

8
21

22

23

10

9
24

25

26

27

28

11

29

30

31

32

12
33

Waktu

34

35
~

tan am

--

..

--

~~

-- -

--

~~~

~-

51

'

---

-~~-

~ -~

~-- --

'----

--- -

- - - --

- - ----- --

- - - .______:_! _ _

--'---~- - --

--'----

- ----

36

Klaster 6: Jayapura, Fak-Fak, Biak


1

Bulan ke
Dasarian ke

2
3

3
6

10

11

5
12

13

14

6
15

16

17

7
18

19

20

8
21

22

23

22

23

10

9
24

25

26

24

25

26

27

28

29

27

28

29

11
30

31

32

30

31

32

12
33

34

35

33

311

3"!1

36

Waktu
tan am
~

Klaster 7: Papua Tengah


Bulan ke
Dasarlan ke

1
2

2
3

3
6

4
9

10

11

5
12

13

14

6
15

16

17

7
18

19

20

8
21

11

10

12
30

W aktu

tan om

52

!Slni!IQDd!p q e(;,l ~UR. qE{lnf'CJ~

il ~Idl 1)-J:

PENGELOMPOKAN WILAYAH CURAH HUJAN KALIMANTAN BARAT


BERBASIS METODE WARD DAN FUZZY CLUSTERING
Ina Juaeni, Dewi Yuliani, Risana Ayahbi,
Noersomadi, Teguh Hardjana, dan Nurzaman
ANALISIS KORELASI PEARSON UNTUK UNSUR-UNSUR KIMIA
AIR HUJAN Dl BANDUNG
Tuti Budiwati, Afjf Budiyono, Wiwiek Setyawati, dan Asri lndrawati
ANALISIS SEMBURAN RADIO MATAHARI TIPE II SEBAGAI PREKURSOR
KEMUNGKINAN TERJADINY A BADAl MAGNET BUMI
Suratno dan Santi Sulistidni
ANALISIS ALTERNATIF PENEMPATAN SATELIT LAPAN A2 Dl ORBIT
Nizam Ahmad
FLUKS DAN DISTRIBUSI PARTIKEL ENERGETIK Dl ORBIT LEO
PENYEBAB TERJADINYA ANOMALI SATELIT
Nizam Ahmad dan Rasdewita K.
DINAMIKA ORBIT ASTEROID YANG ANALOG DENGAN ORBIT BUMI
B. Dermawan, T. Hidayat, M. Putra, A Fermita,
D. T. Wahyuningtyas, D. Mandey, Z. Hudaya, dan D. Utomo

~t~

..

Diterbitkan oleh Lembaga Penerbangari dan Antariksa Nasional (LAPAN)


Jakarta .. Indonesia

LAPAN

I J. Si. Dirgant I

VOL. 7

NO.2

IHAL. 82-1771

JAKARTA, Juni 2010

I ISSN 1412- S08X I.

iiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii_.

I urna/ Sa ins Dirga ntara Vol. 7 N a. 2 I uni 2010 :82-99


I

PENGELO POKA\J WILAYAH CURAH HUJAN


KALIMANTA BARAT BERBASIS METODE WARD
D FUzzr CLUSTERING
l

Ina Juaeni, Dewi Yul iani, Risana Ayahbi, Noersomadi,


Teguh Hardjana, dan Nurzaman
Peneliti Pusat Pemanfaatan Sains Atmosfer dan lklim, LAPAN
E-ma il : inajuaeni@yahoo.com

ABSTRACT

In order to decrease the climate information gap, the rainfall


clustering based on the TRMM data is presented. Then, the rainfall
pattern could be determined for all region. Using the principal
component analysis as the interface, clustering analysis, namely the
Ward and the Fuzzy Clustering methods, the rainfall in West
Kalimantan could be grouped in to four clusters according to its
homogenity. The first cluster consists of grids that gather in the
Karimata strait, Java Sea, and some area in West Kalimantan Lands.
The second group was built by grids in the land with homogeneous
topography. The third group in the middle of West Kalimantan was a
cluster in the land which has different elevation. The fourth group was a
cluster in the northern Kalimantan and close to the South China Sea.
The West Kalimantan rainfall derived from the TRMM data has the
equatorial and monsoonal patterns. The monsoonal pattern was
exhibited by the cluster in the ocean (first cluster), and the equatorial
pattern was showed by clusters in the land (second, third, and fourth
clusters). The equatorial rainfall pattern revealed that the first wet
month occuring in April, whereas the second wet month occured in
December or January. The month with lowest rainfall is August.
Key word: Rainfall pattern, Rainfall cluster, Ward and Fuzzy Clustering
methods
ABSTRAK

Dalam rangka mengurangi kesenjangan informasi iklim,


disajikan pengelompokkan wilayah curah hujan berdasarkan data
TRMM, sehingga pola curah hujan dapat ditentukan untuk seluruh
wilayah. Dengan menggunakan analisis komponen utama sebagai
analisis antara dan analisis klaster, yaitu metode Ward dan Fuzzy
Clustering, curah hujan di Kalimantan Barat' dapat dibagi menjadi
empat kelompok sesuai homogenitasnya. Kelompok pertama terdiri dari
grid-grid yang berkumpul di Selat Karimata, Laut Jawa dan sebagian
daratan Kalimantan Barat. Kelompok kedua dibangun oleh grid-grid

82

iiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii

Pengelompokan Wilayah Curah Hujan .... . (Ina Juaeni et al.)

yang berkumpul di v.ilaya.."-1 da:-at dengan topografi homogen. Kelompok


ketiga merupakan klaster yang berada di wilayah bagian tengah
Kalimantan Barat dengan ele\asi yang berbeda. Kelompok k-eempat
merupakan klaster yang berada di daratan Kalimantan Utara dan
berdekatan dengan Laut China Selatan. Curah hujan Kalimantan Barat
berbasis data TRMM memilik:i pola ekuatorial dan monsunal. Pola curah
hujan monsunal ditunjukkan oleh klaster di lautan (klaster pertama),
dan pola ekuatorial ditunjukkan oleh klaster di daratan (klaster 2, 3
dan 4). Untuk pola curah hujan ekuatorial, bulan terbasah pertama
terjadi pacta bulan April, sedangkan bulan basah kedua terjadi pada
bulan Desember atau Januari. Bulan dengan curah hujan terrendah
adalah bulan Agustus .
Kata kunci: Pola curah hujan,

Klaster curah hujan, Metode Ward and

Fuzzy Clustering

PENDAHULUAN

Wilayah Indonesia merupakan bagian wilayah tropis dengan


intensitas curah hujan yang tinggi. Sumber energi panas radiasi
Matahari yang selalu ada sepanjang tahun ditambah kelembaban dalam
jumlah yang cukup tinggi, mendorong aktivitas konveksi dan proses
pembentukan awan serta hujan menjadi sangat tinggi. Tidak hanya
intensitasnya yang tinggi, curah hujan di wilaya? Indonesia juga
memiliki variasi spasial dan temporal yang tinggi, hal. ini dapat
dijelaskan sebagai akibat perbedaan kondisi permukaan, yaitu
perbedaan relief dan perbedaan tata guna lahan; Variasi curah hujan
yang tinggi ini belum ditunjang oleh sarana observasi yang memadai.
Masih banyak lokasi terpencil yang miskin informasi cuaca dan
iklimnya, padahal informasi ini penting. Data mentah iklim adalah
sarana penunjang penelitian yang hasilnya dimanfaatkan oleh sektor
yang terkait kegiatannya dengan kondisi cuacaj iklim.
Penggunaan data satelit merupakan solusi yang banyak
digunakan dalam rangka mengurangi kesenjangan informasi cuaca dan
iklim tersebut. Berbagai metode dikembangkan untuk mengolah data
satelit agar sesuai dengan rencana aplikasinya. Dalam penelitian ini,
pengolahan data satelit dilakukan berbasis metode statistik dengan
tujuan untuk memperoleh klaster-klaster curah hujan dengan
karakteristik yang sama. Data yang digunakan adalah data curah hujan
bulanan dari satelit TRMM (Tropical Rainfall Measuring Mission). Ada
dua informasi penting yang akan diperoleh dari metode pengelompokkan
ini. Pertama, wilayah yang mempunyai karakter ' curah hujan yang
sama, sehingga lokasi yang tidak memiliki sarana pengamatan dapat
melakukan inisialisasi. Kedua, karena pengelompokkan berdasarkan
~

83

iiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii

ju17Ull Sains Dirgantara Vol . 7 No. 2 juni 2010 :82-99

karakterjpola curah huja.:J. maka pola yang diperoleh dapat diguna.J<:an


untuk membuat suatu kajian perilaku curah hujan atau bahkan untuk
prediksi curah hujan di suatu lokasi/ wilayah. Sebagai kasus lokasi
penelitian dipilih wilayah Kalimantan Barat.
Metode pengklasifi.kasian yang tepat untuk pengelompokan
curah hujan adalah m etode interdependensi. Pembagian metode-metode
statistik yang termasuk d alam metode interdependensi diperlihatkan
pada Gambar 1-1 . Dalam metode interdependensi, variabel-variabel
yang digunakan tidak dapat d iklasifikasikan baik ke dalam variabel
bebas maupun tak bebas , semu a variabel yang digunakan berstatus
sama (Hair et al., 1998).
Data curah hujan bulanan TRMM termasuk data metrik. Dengan
demikian ada tiga jenis analisis yang dapat digunakan, yaitu analisis
faktor, analisis klaster dan analisis metrik multidimensional scaling.
Tidak semua teknik statistik interdependensi bisa digunakan untuk
data metrik. Masing-masing teknik ni.emiliki tujuan yang berbeda.
Analisis klaster merupakan teknik yang tepat untuk mengelompokkan
karakteristik curah htijan bulanan TRMM.

Nonmetrik
Multidimensional
Scaling

Analisis
Korespondensi

Metrik
Multidimensional
Scaling

Anal isis
Faktor

Gambar 1-1: Bagan teknik analisis dalam metode Interdependensi


Analisis klaster adalah suatu teknik mengel'ompokkan variabel
menjadi kelompok atau klaster-klaster berdasarkan kesamaan
karakteristik variabel ter-seb:.:.:: Sharma , 1996). Hasil dari analisis
klaster adalah ditemuka;-ya ~e:o:npok-kelompok dengan kemiripan
84

iiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii

Pengelompokan Wilayah Curah Hujan ..... (Ina Juaeni et al.)

(homogenitas) yang tingg! cE dalam klastemya dan mempupyai


ketidakmiripan (heteroge:li~s :a..'lg tinggi antar klaster. Analisis klaster
digunakan untuk mengelo::::!J.:;>oL'..can obj ek ke dalam beberapa kelompok
yang memiliki karakteris~ ::ang sama dalam lingkup klimatologi
(Mimmack, 2000). Analisis klaster juga digunakan oleh Haryoko (2009)
untuk mengelompokkan pos pengamatan hujan (stasiun) yang
mempunyai kesamaan pola curah huj an dasarian (10 harian) ke dalam
sub-sub kelompok. Analisis komponen utama dan analisis kluster juga
digunakan oleh Degaetano (1996), untuk mengelompokkan grid yang
memiliki iklim yang sama. Dalam penelitiannya, Degaetano
menggunakan curah h ujan dan temperatur bulanan beberapa tahun
serta menerapkan analisis klaster Average Linkage dan metode Ward.
Pola ukuran klaster yang dihasilkan untuk Average Linkage tidak
memiliki karakteristik karena d a ri 4 7 klaster yang terbentuk, 40%
klasternya (19 klaster) masing-masing hanya memiliki dua bahkan satu
grid sebagai anggotanya, sedangkan metode Ward memberikan hasil
yang seragam pada klaster yang terbentuk. Hasil tersebut menjadi latar
belakang penelitian ini untuk menggunakan metode Ward sebagai
teknik klasternya. Sebagai pembanding, pengelompokkan curah hujan
bulanan di Kalimantan Barat juga menggunakan metode klastering
yang lain selain Ward. Metode Ward adalah salah satu metode
klastering Hierarkhi, maka metode pembandingnya dipilih metode
klastering non Hierarkhi. Metode non Hierarkhi yang dipilih adalah
Fuzzy Clustering. Metode ini dipilih didasarkan pada hasil penelitian
Klawonn dan Hoppner (2001) yang mengindikasikan bahwa metode
Fuzzy Clustering merupakan metode yang bagus, karena pusat klaster
dan hasil pengelompokan tidak berubah jika ada data baru yang
ekstrim. Metode ini juga memberikan hasil yang smooth (halus) karena
pembobotan yang digunakan berdasarkan himpunan fuzzy (Pravitasari,
2008). Kehalusan di sini berarti objek pengamatan tidak mutlak
menjadi anggota satu kelompok saja, tapi mungkin menjadi anggota
kelompok yang lain dengan ukuran tingkat keanggotaan yang berbedabeda. Objek akan cenderung menjadi anggota kelompok tertentu
dimana tingkat keanggotaan objek dalam kelompok itu paling besar
dibandingkan dengan kelompok lainnya.
2

DATA DAN METODE

2.1 Data
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik curah
hujan di wilayah Kalimantan Barat berdasarkarl. data curah hujan
bulanan TRMM 3843 (http://trmm .gsfc.nasa.gov) dalam periode
Januari 1998 sampai Desember 2 007.
85
~

iiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii

Jurnal Sa ins Dirgan tara Vol. 7 No. 2 Juni 2 010 :82-99

2.2 Metode
Analisis klaster adalab. suatu teknik multivariat yang memiliki
tujuan untuk men gelompoi<kan obj ek-objek yang mempunyai'kesamaan
karakteristik tertentu ke dalam klaster-klaster sehingga objek-objek
memiliki homogenitas yang tinggi d i dalam klasternya dan mempunyai
heterogenitas yang tinggi antar klas ter (Johnson dan Wichern, 1992).
Langkah-langkah dalam analisis klaster dimulai dengan
pendeteksian outlier, uji multi k olinearitas, analisis komporien utama,
penerapan analisis klasternya itu sendiri dan terakhir validasi dan
in terpretasi.

2.2.1 Pendeteksian outlier


Analisis klaster sensitif terhadap outlier (objek yang sangat
berbeda dari objek-objek lainnya). Adanya outlier dapat menjadikan
klaster yang diperoleh tidak merepresentasikan struktur populasi yang
sebenarnya. Untuk alasan ini, pendeteksian terhadap outlier selalu
diperlukan. Pendeteksian outlier secara multivariat dapat dilakukan
dengan menggunakan jarak Mahalanobis (D2) kemudian membaginya
dengan derajat bebas (df) yang bernilai sama dengan jumlah variabel.
Sehingga nilai (D2/df) mengikuti nilai distribusi t. Kemudian dihitung
nilai peluang (signifikansi) dari nilai (D2/df) tersebut. Data yang
signiflkansinya lebih kecil dan sama dengan 0,001 dianggap sebagai
outlier (Hair et al., 1998). Data yang diidentifikasi sebagai outlier jika
dinilai tidak merepresentasikan populasi, harus dibuang. Namun, perlu
diperhatikan apakah penghapusan outlier dapat mengubah struktur
data yang sebenarnya.

2.2.2 Uji Multikolinearitas


Multikolinearitas antar variabel adalah salah satu pelanggaran
asumsi dalam analisis klaster (Hair, et al.,1998). Multikolinearitas
adalah suatu keadaan dimana terdapat hubungan linier sempurna
atau hampir sempurna antara beberapa atau semua variabel. Salah
satu cara untuk mendeteksi ada tidaknya multikolinearitas adalah
dengan menggunakan bilangan kondisi. Bilangan kondisi ditentukan
dengan rumus:

k=

Arnax
Amin

(2- 1)

A. adalah nilai eigen dari matriks kovarians variabei.


Batas-batas bilangan kondisi untuk mendiagnosa multikolinearitas
adalah sebagai berikut:

86

..,

iiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii

Pengelumpokan Wilayah Curah Hujan ..... (Ina Juaeni et al.)

bilangan kondisi < 100; terjadi :::mltikolinearitas lemah


100 ::o;bilangan kondisi:::; 1000; terjadi multikolinearitas sedang sampal
kuat
bilangan kondisi > 1000; terjadi multikolinearitas sangat kuat
Jika
setelah
dideteksi
ternyata
diketahui
bahwa
terdapat
multikolinearitas antar variabel, maka diatasi dengan menerapkan
analisis komponen utama terlebih dahulu pada data curah hujan
bulanan TRMM, sehingga terbentuk sejumlah komponen utama yang
saling orthogonal. Komponen utama ini yang dijadikan sebagai variabel
baru untuk input dalam analisis klaster.

2.2.3 Analisis Komponen Utama


Johnson dan Wichern (1992) mendefinisikan komponen utama
sebagai salah satu bentuk transformasi variabel yang merupakan
kombinasi linier dari variabel. Proses pembentukan komponen utama
adalah sebagai berikut:
Matriks X merupakan data pengamatan curah hujan bulanan yang
berukuran np
dengan, n = objek (grid); n = 1,2, ... , n
p = variabel (curah hujan bulanan); p = 1,2, ... , p

xnxp =

......

Xu

X12

X21

X22 ......

xlp
x2p

(2-2)

I:
xnl

xn2

.......

xnp

Dari matriks X, dicari matriks kovariansnya (Spp)

s, 2 . . ... . s,p
s2, s22 ...... s2p
S11

(2-3)

S==

sp, sp 2 ....... spp


Tentukan nilai eigen dari matriks kovarians, misalkan A1, A2, ......... .
Ap, dengan A1 ~ A2 ~ ....... ~.Ap~O
Tentukan vektor eigen ke-j untuk nilai eigen ke-j (j=l,2, ....p), misalkan
Vj

VJj, V2j, ...... , Vpj

Berdasarkan matriks eigen, maka komponen utama yang terbentuk


adalah:
87
til'

iiiiiii;;;iiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii;;iiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii

Jurnal Sains Dirgantara Vol. 7 No. 2 ]uni 2010 :82-99

PC 1 =zivi 1 =z 1v 11 -Z: \:: 1 7 ... +z.,Y 1


tJ"5t', ~f~~~

9(L.~i

r\..., 2 =Z]Viz = z 1v 12 ,z 2'::

..

... ~z .,vj _

(2-4)

"

~CP::;, ~JviP

= z 1v 1P + z 2v 2P + ... .,.. zP viP

Kiiteria yang digunakan untuk menentukan berapa komponen yang


1
dapat ' dibentuk adalah kriteria persen varian. Jumlah komponen
utama yang digunakan memiliki persentasi kumulatif varian minimal
80% (Rencher, 2001) .
Menghitung komponen skor (PCj} yang akan digunakan sebagai input
urituk analisis klaster.
Komponen skor yang diperoleh dari m komponen utama (dimana
m<p) akan digunakan dalam analisis selanjutnya sebagai pengganti
nilai data variabel awal. Komponen skor dari hasil analisis komponen
utama dengan data asli (raw data) sebagai input analisis dapat dicari
dengan:
Yil = elxi
Yi2 = e2xi
it.""'

Yik

(2-5)

= ekxi

2.2.4 Validasi klaster


Validasi dilakukan baik untuk metode Fuzzy Clustering maupun
untuk metode Ward. Validasi bertujuan untuk meyakinkan bahwa
sph.isi atau kelompok klaster yang diperoleh telah mewakili populasi
penelitian, dan berlaku umum untuk objek lain serta stabil dari waktu
ke waktu. Validasi pada metode Ward dilakukan dengan membagi data
secara acak menjadi dua bagian. Kemudian lakukan analisis klaster
dengan metode Ward pada setiap bagian. Hasil pengklasteran dikatakan
valid apabila hasil pengklasteran pada 2 bagian tadi mirip dengan hasil
pengklasteran pada data asli (Rencher, 2001). Validasi pada metode
FYl.iz!/Clustering menggunakan persamaan 2-6. Semakin kecil S, klaster
semakin valid.
'
11.iJ1_a ~h.J t ~J

iiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii

s=

?c:gelompokan Wilayah Curah Hujan ..... (Ina Juaeni eta!.)

.I .I (uij )d(X i,8 j)


1=1 J=1 .

(2-6)

nirmd(Xi, 8j)

2.2.5 Analisis klaster


Metode Ward a dalah teknik u ntuk memperoleh klaster yang
memiliki varian internal sekecil mungkin . Untuk metode klaster Ward,
jumlah klaster ditentukan terlebih dahulu berdasarkan dendrogram.
Ukuran yang digunakan adalah Sum Square Error (SSE) variabel. Proses
pengelompokan adalah melalu i tahapan berikut ini:
Langkah 1. Dimulai dengan m emperhatikan N kelompok subjek dengan

satu subjek per k elompok. SSE akan bernilai nol untuk


tahap pertama k arena setiap objek atau individu akan
membentuk klaster.
Langkah 2. Kelompok pertama dibentuk dengan memilih dua dari N
kelompok ini yang bila digabungkan akan menghasilkan
SSE dalam nilai fungsi tujuannya.
Langkah 3. N -1 kumpulan kelompok kemudian diperhatikan kembali
untuk menentukan
dua dari kelompok ini yang bisa
meminimumkan tujuan. Dengan demikian N kelompok
secara sistematik dikurangi menjadi N - 1, lalu menjadi
N - 2 dan seterusnya sampai menjadi satu kelompok. SSE
dalam metode Ward ini dihitung berdasarkan persamaan
berikut:
SSE= .Ip

( IX
n
.
1J
J=1 1=1

1 ( .IX
n
)
-1J

(2-7)

n 1=1

Dengan:
Xij = adalah nilai variabel ke-ij

p
n

=
=

adalah banyaknya variabel yang diukur


adalah banyaknya objek dalam klaster yang terbentuk

Analisis Klaster dengan menggunakan Fuzzy Clustering pada


dasarnya adaiah proses penghitungan secara iteratif dimana
penghitungan klasternya direvisi secara iterasi. Adap1;1n algoritma dari
Fuzzy Clustering adalah sebagai berikut:
Langkah 1. Tentukan jurnlah klaster, nilai centroid utama (prototype) 8jOJ
secara random, nilai faktor koreksi t: > 0.

89

iiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii

Langkah 2. Hitung deraja:

Jurnal Sains Dirgantara Vol. 7 No. 2 Juni 2010 :82-99

~eanggotaan Ui}kJ

berdasarkan persamaan 2l"8:

1/m-1

U"

lJ

-. ,

(2-8)

[lx;-~l 1
c

~lxi- Bii

d / m- 1

1=1

dengan
n

"u'!l
. . . x l
L.Jl]

(}. = .!c.l=. .,.!l_ __

(2-9)

"u .. m
L.Jlj

i=l

Langkah 3. Hitung fungsi objektif


n

J =

J(kJ

herdasarkan persamaan

:L:~:>ij miX; -Bjl


i=l j=l

Langkah 4. Hitung centroid baru8/k+l)


Langkah 5. Perbarui keanggotaan
J(kJ rnenjadi J(k+l}
Langkah 6. Jika max

ij

Uy{kJ

iJ(k+ l) -J(k)

dengan persamaan 2-9

rnenjadi Uy{k+l} dan fungsi bbjektif

I}< &

proses akan berhenti, jika

tidak rnaka kernbali ke langkah 4.


Dari algoritrna di atas terlihat bahwa jurnlah klaster dan nilai
centroid-nya ditentukan terlebih dahulu dan ditentukan secara apriori
(pendapat para ahli) atau ditentukan jurnlah klaster awal beserta nilai
centroid-nya dengan rnenggunakan teknik klaster hierarkikal. Nilai-nilai

centroid inilah yang akan rnenjadi prototype (centroid awal)

ej (

) .

Kernudian, dihitung derajat keanggotaan UiJ, lalu penghitungan kernbali


nilai-nilai centroid baru. Nilai centroid dari rnasing-masing klaster akan
bergerak rnenernukan posisi yang sesungguhny9; seiring dengan
penambahan langkah iterasi.
. ~

90

....

Pengelompokan Wilayah Curah Hujan ..... (Ina Juaeni et al.)

iiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii

HASIL DAN PEMBA.HASAN

3.1 Hasil Pendeteksian Outlier

Hasil pendeteksian owlier secara multivariat untuk data 900 grid


di Kalimantan Barat, menunjukkan tidak terdapat objek (grid) yang
memiliki nilai signiftkansi lebih kecil dari 0, 00 1, sehingga dapat
disimpulkan tidak terdapat outlier pacta data curah hujan 900 grid di
Kalimantan Barat. Dengan demikian, seluruh objek dapat digunakan
untuk tahap analisis selanjutnya.

3.2 Hasil Pendeteksian Multikolinearitas


Dari matriks X yang merupakan matriks pengamatan curah
hujan TRMM bulanan di Kalimantan Barat, didapat matriks
kovariansnya ( SPP ) dan nilai eigen (A) dari SPP
Untuk mendeteksi ada tidaknya multikolinearitas digunakan
bilangan kondisi (k) seperti pacta persamaaan 2-1. Diperoleh:

k = Amax = 3468Q5 = 2568 926


'
Amin
135
Karena k (=2568,926) > 1000 maka dapat disimpulkan terdapat
gejala multikolinieritas yang sangat kuat, sehingga digunakan analisis
komponen utama untuk mendapatkan komponen-komponen utama
dari variabel (curah hujan bulanan selama 10 tahun) yang ortogonal
dan tidak berkorelasi, yang selanjutnya dapat dijadikan variabel baru
untuk dasar pengelompokan pacta analisis klaster dengan metode Ward
dan metode Fuzzy Clustering.
3.3 Hasil Analisis Komponen Utama

Jumlah komponen utama yang harus dibentuk ditentukan


melalui kriteria persen varian, hasilnya adalah sebagai berikut:
Tabel 3-1: OUTPUT ANALI SIS KOMPONEN UTAMA
-.,

--

r--

PC1

Eigenvalue

346805

152895

103447

62295

30123

29352

Proportion
Cumulative

0,337
0,337
PC7
22920
0,022
0,726

0,148
0,485
PCs
19622
0,019
0,745

0,100
0,586

0,060
0,646
PC10
15638
0,015
0,778

0,029
0,675

0,029
0,704

PCu
.14046
0,014
0,792

I PC12

Eigenvalue
Proportion
Cumulative

p~

18365
0,018
0,763

l1411
0,011
0,803
91

iiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;iiiiii

Ju rnal Sains Dirgantara Vol. 7 No.2 Juni 2010 :82-99

Pacta Tabel 3- :. ~e:rli..'la: bahwa nilai kumulatif persen varian


untuk komponen u tama !)er ..a.-na :PC !) , kedua (PC2), ketiga (PC3) s~pai
dengan ke dua belas (PC:~ be:nilai 0 ,8 03. Persentase kumulatif varian
untuk 12 komponen ini s udah memenuhi batas minimal persentase
kumulatif varian yaitu 80'o tR encher , 2001). Hal ini berarti apabila
seluruh variabel (X1, X2, ~, ... ,X 120) direduksi menjadi 12 variabel, maka
variabel yang baru dapat m enj elaskan 80,3 % karakteristik seluruh
variabel.

3.4 Hasil Analisis Klaster dengan Metode Ward


Skor komponen dari 12 komponen utama yang terbentuk
dijadikan sebagai input data dalam pengelompokan karakteristik curah
hujan di wilayah Kalimantan Bara t dengan menggunakan metode Ward.
Berdasarkan hasil pengelompokan dengan metode Ward menggunakan
software Statistica 8, maka diperoleh output plot Squared Euclidean
Distance pacta setiap langkah pengelompokannya. Output plot langkah
880 hingga 900 diperlihatkan pacta Gambar 3-1 (kiri), sedangkan
output dendrogram diperlihatkan pacta Gambar 3-1 (kanan).
Tree~ lc.-IDJCIMI

..,.,

- ~ ~-

- ~-- - -

- -----

Wrnf1method
E~ cist.._

~ r---------------------------~--~-,

Sq.lnd

4.5Ea , - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - . _ ,

....

....,..

<&e:a 3.5E8 !

'

e ,..

~:z.:u

l .....,..

671

......

l ,..

UE8

--~

-5E781!1011818SZ~864885~t!III1881S89981l011$11182893~8951l961!1i111198&UJ - li'boe

.,.,

""~

1 ...L
..........,
L
~ eJ
r &
.+,
1 er-= 1 dz r::;J
0
c_eee C_S25 C_&Jiil C_5e0 C_<t!S2 C.JSEI c_253 C_6XI c_m C_198 C_120 C_Ei91 C_383 C_189 CJ3

Gambar 3-1: Plot jarak Squared Euclidean pacta tiap langkah


pengelompokan (langkah
880-900) (kiri), Dendrogram
(kanan)
Terlihat pacta Gam bar 3-1 (kiri) bahwa pacta jarak 1x1 os a tau
langkah ke 898 terdapat garis yang cukup tetjal. Pacta posisi garis tajam
ini dendrogram dipotong untuk menentukan berapa klaster yang harus
dibentuk, maka didapat 4 klaster optimum pacta jarak 1x10B dan step
898. Klaster yang terbentuk diperlihatkan pacta Gambar 3-2. Validasi
dalam metode Ward dilakukan dengan cara membagi data menjadi dua
bagian kemudian dilakukan analisis klaster Ward pacta masing-masing
bagian dan hasilnya menunjukkan kesesuaian l.ebih dari 80 %, maka
proses klastering ini valid.

92
~

iiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii

... _, W..- ......

PMgelompokan Wilayah Curah Hujan ..... (Ina fuaeni et al. )

... _,

BoiPior~l SII.~Cmlllllli- . . .

lol ~ ~lSILDtlillitnilltii..._W. . l*I(Wal)

~~~ ~
.lillft6 11r~lllt'M .\1 .\G ~O:i

...

blllr

.-.-..:

ll

;
~

..,_,

.Cvlll...._ ......... y._fM.al?)

~~~~

~~: a.
d ~ ~ . 1~
~ ~
-

...

~ -,- -.lii"C8JO:tbDI:

-~

.. .

...

._. .. lri.Ac ilp ll:lllii'Dic'

~=

Gambar 3-2: Klaster yang terb entuk dengan metode Ward dan pola
curah hujan masin g-masing Klaster
3.5 Hasil Analisis Klaster dengan Metode Fuzzy Clustering
Untuk merientukan jumlah klaster optimum dalam metode
Fuzzy, hasil pengelompokkan divalidasi dengan rumus Xie dan Benni
(1991) dan hasilnya diperlihatkan . pada Tabel 3-2 . Tampak bahwa 4
klaster memberikan nilai validasi terkecil, maka jumlah klaster yang
optimum adalah empat. Klaster yang terbentuk diperlihatkan pada
Gambar 3-3.
Tabel3-2: JUMLAH KLASTER DAN NILAI VALIDASI
Jumlah Klaster Yang dibentuk

Fungsi Objektif

2 Klaster

357.533.759.561

. 42.826

3 Klaster

234.566.463 .704

35.859

4 Klaster

175.287.750.841

22 .559

5 Klaster

. 139.514.948.165

35.313

6 Klaster

115.663 . 133.613

48.574

7 Klaster

99 .015.618.448

56.300

Nibii Validasi

'-

93
~

iiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii/umal

.[S;2
..
...
.

INM'-Sl.,_~,...w..~ w T

.. f~t-a.:

'

Sains Dirgantara Vol . 7 No. 2 funi 2010 :82-99

--.

~-W.nt.aaa. ... .._ktlllll ll la.( l~!Wilj tloi;li.u J

-:

--

.-"' ............ .,.,.ar.,.

...

...

..,_b.W.JIIN9Sit01tlbi'CII

~-~c.:i: . . JIIii::..:~II U {N-:ta'i) POQI&c:'

~-&i!lbClalil!ip:kNI:Mi l4 1 .. ! ~rliC.. I

lil~l
..

'1=-~ ... ,

. . . . . . . QI ...

r.

~-

...

Fte""'-...,.ws.,oc""'~

I~

Gambar 3-3: Klaster yang terbentuk dengan metode Fuzzy Clustering


dan pola curah hujan masing-masing klaster
3.6 Pembahasan

Berdasarkan hasil pengelompokan karakteristik curah hujan di


Kalimantan Barat baik menggunakan metode Ward maupun metode
Fuzzy Clustering terbentuk empat klaster yang optimal.
Klaster 1 pada Ward dan Fuzzy, berada di lautan Jawa dan Selat
Karimata dan sebagian kecil daratan dekat pantai barat Kalimantan
(Ketapang, Kualapetangan dan Kendawangan). Curah hujan di klaster
1, relatif lebih rendah dibandingkan klaster lainnya. Adanya sebagian
daratan yang masuk dalam klaster yang sebagian besar wilayahnya
adalah lautan disebabkan adanya proses interaksi antara daratan dan
lautan yang cukup kuat, sehingga curah hujan di lautan sama dengan
di daratan.
Klaster 2 pada Fuzzy atau klaster 4 pada Ward, berada di bagian
utara Kalimantan Barat, merupakan wilayah dengan topografi
gabungan antara dataran rendah dan dataran tinggi. Letaknya dekat
dengan ekuator, sehingga merupakan wilayah yang surplus energi
radiasi Matahari. Energi radiasi Matahari ditambah kelembaban dalam
jumlah cukup membangkitkan proses pembentukan awan dan hujan di
wilayah ini sepanjang tahun . Intensitas rata-rata di klaster 2 atau 4 ini
merupakan intensitas tertinggi dibandingkan klaste_r lainnya.
Klaster 3 pada Ward dan Fuzzy terletak eli bagian tengah wilayah
Kalimantan Barat, dengan topografi yang cenderung seragam (dengan
ketinggian 0 sampai 200 m). Hujan terjadi sepanjang tahun dengan
94

gelompokan Wilayah Curah Hujan ..... (Ina Juaeni et al.)

intensitas minimum sebesa:- 150 rnm terjadi pada bulan Agust\ls.


Klaster 4 pada Fuzzy atau klaser 2 pada Ward berada paling selatan di
Kalimantan Barat. Kisaran :n~ensitas curah hujan hampir sama tlengan
klaster 3. Di klaster ini terdapat pegunungan yang lebih banyak
dibandingkan klaster lainnya.
Perbedaan pola dan intensitas curah hujan antar klaster
disebabkan perbedaan geografi dan relief. Meskipun seluruh wilayah
Kalimantan Barat terletak eli wilayah ekuatorial dengan jumlah panas
radiasi yang relatif sama, namun perbedaan relief permukaan (daratan,
lautan, dataran tinggi, dataran rendah pedalaman atau tepi pantai)
menghasilkan proses atmosferis yang berbeda yang selanjutnya
menghasilkan intensitas curah hujan yang berbeda. lntensitas curah
hujan yang relatif tinggi di klaster 2 atau 4 (Fuzzy/Ward) dipengaruhi
oleh suplai kelembaban dari laut China Selatan karena klaster 2 atau 4
berada dekat depgan laut tersebut.
Pada Gambar 3-2 dan 3-3, nampak bahwa curah hujan di
Kalimantan Barat berdasarkan TRMM mengikuti pola ekuatorial untuk
klaster 1, 2 dan 3 dengan metode Ward a tau klaster 1, 3 dan 4 dengan
metode Fuzzy serta pola monsunal untuk klaster 2 (metode Fuzzy) atau
klaster 4 (metode Ward) dengan puncak bulan basah terjadi pada
bulan JanuariiDesember dan bulan April sedangkan bulan dengan
curah hujan terkecil adalah bulari Agustus. Pola ini sama untuk semua
klaster, kecuali intensitasnya. Untuk klaster di daratan, pola curah
hujan mempunyai kesesuaian dengan observasi. Untuk klaster di
lautan (klaster 1 atau 1) pola curah hujan tidak sesuai dengan
observasi. Berdasarkan observasi pola curah hi.ljan di lautan
seharusnya monsunal. Ini menunjukkan bahwa di klaster 1 I 1 sebagai
wilayah perbatasan darat dan laut, pengaruh monsun lebih kuat
dibandingkan pengaruh posisi matahari di atas ekuator I ekinoks.
Perbedaan lain antara metode Ward dan metode Fuzzy
diperlihatkan pada luas daerahljumlah grid untuk setiap klaster.
Jumlah grid pada masing-masing klaster 1, 2, 3 dan 4 berturut-turut
adalah 288, 272, 150 dan 190 untuk metode Fuzzy Clustering. Klaster 1
metode Ward terdiri dari 260 grid, klaster 2 berisi 256 grid, klaster 3
mengandung 207 grid dan klaster 4 terdiri dari 177 grid. Perbedaan ini
bersumber dari overlapping pada metode Fuzzy, sebagai contoh gridgrid yang berada di sebelah utara pada klaster 2 me.tode Ward temyata
dapat juga dikelompokkan kedalam klaster 3 pada metode Fuzzy. Inilah
keunikan dari metode Fuzzy yang menganut sistem overlapping. Hal ini
dibenarkan karena pola dan intensitas klaster 2 dan 3 tidak terlalu
95

..,

iiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii~

1urnnl Sa ins Dirgantara Vol.

7 No. 2 1uni 2010 :82-99

berbeda, jika kemudiar.. g:-:C.-grid itu dimasukkan dalam klaster


3
l
semata-mata karena deraja: keanggotaan grid-grid tersebut di klaster 3
lebih tinggi dibandingkan di klaster 2.
Tabel 3-3 : KOEFISIEN KOREL<\SI POLA CURAH HUJAN ANTARA DATA
TRMM DAN CURAH HUJAN OBSERVASI

korelasi
Koefisien
pola
curah
an tara
hujan metode Fuzzy
clustering
(TRMM)
dengan curah hujan
observasi
0 ,99

Koefisien
korelasi
an tara pola curah
hujan metode Ward
(TRMM)
dengan
curah hujan observasi

Sambas

0,91

0,77

Sintang
Pangsuma (Kapuas
Hulu)

0,85

0,86

0,83

0,73

Lokasi

Ketapang

0,90

Konfrrmasi pola dan intensitas curah hujan TRMM dengan curah


hujan observasi di beberapa lokasi sampel menunjukkan bahwa metode
Fuzzy Clustering dan metode Ward dapat menggambarkan pola dan
intensitas curah hujan dengan baik. Ini diperlihatkan dengan korelasi
pola curah hujan yang berada dalam kisaran di atas 0,73 sampai 0,99
(Tabel 3-3). Pembandingan korelasi tersebut juga menunjukkan metode
Fuzzy sedikit lebih baik dibandingkan dengan metode Ward.
Konfirmasi visual curah hujan TRMM dengan curah hujan observasi
salah satu lokasi (Ketapang) . diperlihatkan pada Gambar 3-4.
Perbandingan spasial klaster yang terbentuk menunjukkan bahwa
metode Ward lebih mendekati observasi untuk klaster 2/4, 3/3 dan 4/2
sementara untuk klaster 1 baik untuk metode Fuzzy maupun Ward
berbeda dengan observasi. Berdasarkan observasi (Bayong, 2004) pola
curah hujan di daratan Kalimantan Barat adalah ekuatorial dan di
lautan sekitarnya adalah monsunal. Dengan demikian, data TRMM
menunjukkan bahwa di wilayah lautan sekitar Kalimantan Barat
pengaruh posisi Matahari di atas ekuator j ekinoks lebih kuat
dibandingkan pengaruh monsun.

96

iiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii Pmgelompokan Wilayah

Curah Hujan ..... (Ina Juaeni et al.)

600
Ketap.ang

500

400

/-- - - -

..

300

-1---"'-

2oo

/-' - - - - - --

--

....

~ c : - - - - - ---/' - - - - - - - - - -

100

0
1

10

11

12

Bulan

Boxplclt dan StdDcviasi CUrah Hujan Bulanan Selama 10 Tahun (1998-2007) Pada Klaster 3

ill :: :: :: :: :: :: :: : : : : : ; : I
Jan

Feb

Mar

Apr

Mel

Jun

Jul

Ags

Sep

Okt

Nov

0
I

Des

MeanSD
Mean:!"SD

Bulan

Box Plor Rata-Rata & Std. Devlasl Curah Hujan Bulanan Selama 10 Tahun (1998-2007) Pada
Klaster 3
~

WJ[mm ,__ .m . u

550

~ 500

~:58

'
:

'
.

I
I

'

--- 1:5 --;:---1----~ ----

i~~ :--~-:~

II

-'= 200

~ 150

----: -- .- - r- - ---

(.) 1ggt
----r----~----:
Q

,.' ---

Jan

Feb

Mar

Apr

May

Jun

Jul

Aug

Sep

Oct

Nov

Dec

D MeanSD
I Mean2"SD

Waktu

Gambar 3-4: Perbandingan pola dan intensitas di Ketapang antara


curah hujan observasi (atas) dengan curah hujan TRMM
metode Fuzzy Clustering (tengah) dan curah hujan metode
Ward (bawah)
4

KESIMPULAN

Dengan data curah hujan bulanan TRMM dari tahun 1998


sampai 2007, penggunaan analisis komponen utama sebagai analisis
awal dan analisis klaster dengan metode Ward/ Fuzzy Clustering untuk
mengelompokkan karakteristik curah
hujan di Kalimantan Barat
menghasilkan empat kelompok grid yang memiliki karakteristik curah
hujan yang homogen. Jumlah klaster bisa berubah jika ditambahkan
data baru yang membentuk klaster dengan karakteristik yang sangat
berbeda dengan data yang sudah ada, jika deraja~ keanggotaannya
lebih tinggi untuk klaster yang sudah ada maka jumlah klaster tetap.
Perbedaan jumlah grid antar klaster antara metode Ward dan
metode Fuzzy Clustering disebabkan oleh adanya penerapan overlapping

97
II

iiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii

Jumal Sains Dirgantara Vol. 7

No.~ - [u.ni

291Q_:B2-99

pada metode Fuzzy. se::::.L"lgga gr..d tertentu bisa menjadi anggota ldi dua
klaster atau lebih denga."'1 de:-ajat keanggotaan yang berbeda.
Perbandingan po:a dan intensitas curah hujan antara data
TRMM dan data obserYasi menunjukkan hasil yang baik dengan
koefisien korelasi > 0, 7. Pembandingan intensitas curah hujan
berdasarkan dua metode menunjukkan bahwa metode Fuzzy Clustering
lebih baik dibandingkan metode Ward, namun pembandingan spasial
klaster di daratan menunjukkan bahwa metode Ward lebih mendekati
observasi.
Pola curah hujan monsunal ditunjukkan oleh klaster 2/4
(gabungan daratan dan lautan) dan pola ekuatorial ditunjukkan oleh
klaster 1/1, 3/3 dan 4/2 (daratan dan gabungan daratan dan lautan).
Pola ekuatorial di daratan Kalimantan Barat sesuai dengan observasi,
namun pola curah hujan di klaster 1/ 1 yang seharusnya monsunal
ternyata ekuatorial. Dengan demikian, data TRMM menunjukkan
bahwa di wilayah lautan sekitar Kalimantan Barat pengaruh posisi
matahari di atas ekuator / ekinoks lebih kuat dibandingkan pengaruh
monsun.
DAFTAR RUJUK.AN

http:/ jtrmm.gsfc.nasa.govjdidownload Maret 2009.


Bayong, T. H. K., 2004. Klimatologi, Edisi kedua, Penerbit ITB.
Degaetano, A. T., 1996. Delineation of Mesoscale Climate Zones in The
Northeastern United States using a Novel Approach to Cluster
.
Ana,_lysis, . Journal of Climate, 9.
Hair, J,: F.; ; Anderson, R. E.; Tatham, R. L.; and Black, W. C., 1998.
,~; .)!'11 ly.[~;gtivariate Data Analysis, Fifth edition, Prentice Hall
1
International, Inc., Upper Saddle River, New Jersey.
Haryoko, U., 2009. Pewilayahan Hujan untuk Menentukan Pola Hujan
(contoh
kasus
Kabupaten
Indramayu},
http:/ jwww.
staklimpondokbetung.net/ publikasi/ didownload Juli 2009.
Johnson, R. A., and Wichem, D. W., 1992. Applied Multivariate
Statistical Analysis, Fifth edition, Prentice Hall, Englewood Cliffis,

New Jersey.
Klawonn, F. and Hoppner, F.,
2001. A New Approach to Fuzzy
Partitioning, Proc. of the Joint 9th IFSA World Congress and 20th
NAF!PS International Conference, Vancouver, Canada.
Mimmack, G. M.; Mason, S. J . and Galphin, J . S ., 2000. Choice of
Distance Matrices in Cluster Analysis: Defil\ing Regions, Journal
ofClimate, 14.
'
Pravitasari, A. A., 2008. Analisis Pengelompokkan dengan Fuzzy ZMeans Cluster (Kasus Pengelompokkan Kecamatan di Kabupaten
98

iiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii

Pu.gelompokan Wilayah Curah Hujan ..... (Ina Juaeni eta!.) .

Tuban berdasarkan Tir.gka~ Partisipasi Pendidikan), Tesis Master,


ITS.
Rencher, A. C., 200 1. Methods of Multivariate Analysis, Second -Edition,
A Wiley-Interscience Publication, United States.
Sharma, S., 1996. Applied Multivariate Techniques, A Wiley-Interscience
Publication, United States.
Xie, X. L. and Benni, G ., 199 1. A Valid ity Measure for Fuzzy Clustering,
IEEE Transactions on Pattern Analysis and Machine Intelligence, 13.

99

lnformasi Data INDERAJA

Siklus Hid up Silklon Tropis Freddy


dan Dampaknya Terhadap
Atmosfer Indonesia
Ina Junaeni
Pusat Pemanfaatan Sa ins Atmosfer dan Iklim, LAPAN

nomena iklim seperti El Nino, La Nina di lautan


Pasifik serta Dipole Mode di lautan Hindia merupakan fenomena iklim yang berkaitan dengan
fluktuasi cuaca/ iklim di wilayah Indonesia. Fenomena
ersebut mengganggu sistem sirkulasi dalam arah meridional sehingga proses konveksi, proses pembentukan
awan dan hujan di wilayah Indonesia menjadi aktif pada
kejadian La Nifia dan Dipole Mode lautan Hindia negatif
ehingga mendorong terjadi banjir dan menjadi kurang
aktif pada kejadian El Nino dan Dipole Mode lautan Hindia positif sehingga mendorong terjadinya kekeringan.
Kondisi ekstrim seperti diatas dapat juga ditimbulkan
oleh adanya siklon tropis. Siklon tropis yang kuat akan
menarik massa udara disekelilingnya sehingga aktivitas
konveksi menjadi berkurang yang dampaknya adalah
curah hujan menjadi rendah, tetapi ditempat lain tepatnya diwilayah dinding siklon terjadi hujan dengan intensitas tinggi.
Siklon tropis adalah pusaran arus berbentuk spiral yang terjadi di wilayah lautan tropis. Meskipun
jumlahnya lebih kecil dibandingkan siklon subtropis
namun mempunyai kemampuan merusak yang lebih
tinggi (Bowditch, 1995). Pada mas a sekarang siklon
tropis mengalami peningkatan frekuensi dan kekuatan
(Emanuel, 2005; Webster et at., 2005). Seiring peningkatan frekuensi siklon tropis, penelitian yang mengkaji
mekanisme, variabilitas dan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap siklon juga meningkat. Peningkatan
freh.ruensi siklon yang terjadi pada masa se~ahg kemudian dikaitkan dengan masalah perubahan iklim.
sehingga banyak penelitian yang meghubungkan siklon
<="op:s dengan kenaikan suhu muka laut dan ken~

F!

konsentrasi gas rumah kaca (IPCC, 2001; IADAG 2005;


Santer et at., 2006; Knutson et at., 2006b; Karoly dan Wu,
2005). Penelitian di lautan Atlantik Utara (Shapiro, 1982;
Raper 1992; Shapiro dan Goldenberg, 1998; Landsea et
at., 1998) menunjukkan bahwa kenaikan suhu muka
laut mempunyai kaitan yang erat dengan meningkatnya
frekuensi kejadian siklon, sementara penelitian di temp at
lain tidak menunjukkan korelasi yang signifikan antara
kenaikan suhu muka laut dengan meningkatnya frekuensi kejadian siklon (Nicholls, 1984; Raper, 1992; Ch.an
dan Liu, 2004). Faktor lain yang diduga mempengaruhi
frekuensi dan lintasan siklon adalah fenomena ENSO
(El Nino Southern Oscillation), seperti yang diteliti oleh
Nicholls, 1979, 1984; Chan, 1985, 2000; Gray dan Sheaffer, 1991; Landsea et at., 1999; Irwin dan Davis, 1999;
Chia dan Ropelewski, 2002; Wang dan Chan 2002; Chu,
2005; Ho et al., 2006. Hasil penelitian-penelitian tersebut
secara umum telah banyak menambah pengetahuan dan
pengertian terhadap struktur siklon itu sendiri, sementara hubungan kejadian siklon dengan variabel fisis dan
kimia atmosfer serta dengan fenomena ENSO masih
terus didiskusikan. Meskipun penyebab terjadinya peningkatan frekuensi.siklon belumjelas namun peningkatan frekuensi siklontropis sudah dapat dibuktikan. Beberapa siklon tersebut berada di wilayah yang berdekatan
dengan wilayah Indonesia. Dengan demikian, penelitian
siklon tropis di Indonesia perlu ditingkatkan kuantitas
dan kualitasnya untuk melihat sejauh mana dampaknya
terhadap kondisi atmosfer Indonesia.
Siklon tropis terbentuk di perairan tropis yang hangat, dengan kecepatan angin dekat pusat siklon mencapai 63 km/jam bahkan ada yang mencapai 90 km/ jam.
3ERIIA INDERAJA, Volum e VIII, No. 15, Desember 2009

lnformasi Data IN DE RAJA

-- atau pusat siklon dan dinding siKlo


~t kencang berada di dalam dindin2" s=-
siklon bisa mencapai ratusan km. o
merupakan wilayah paling berbahaya d
-ena angin sangat kuat dan disertai hujan yang sanga
~ Di dalam mata siklon kondisi sangatjauh berbeda,
cuaca cerah dengan angin yang bertiup lemah.
bar mata atau pusat siklon bervariasi mulai 10 sam- ratusan km. Struktur vertikal siklon diperlihatkan
Gambar 1. Siklon tropis mendapatkan energi dari
as lautan tropis dan tidak akan terbentuk jika suhu
oe..-mukaan laut kurang dari 26,5C. Umur siklon tropis
sanya hanya beberapa hari. Siklon akan melemah dan
- .nudian lenyap jika bergerak ke arah daratan atau ke
co...<L.'llautan yang lebih dingin.
~ .... :~g

Mata siklon

Dinding siklon

Gambar 1. Struktur vertikal siklon tropis


(http://www.bom.gov.au/).
~iklon

tropis dinamai sesuai dengan lokasi terben. .;ya. Siklon digunakan di lautan Hindia dan Pasifik
:an. Istilah Hurricane digunakan untuk siklon yang
di lautan Atlantik utara dan lautan Pasifik. Ty atau topan digunakan untuk siklon yang terjadi di
Pasifik utara. J enis siklon dibedakan berdasarkan
~UG..dilllya

- terkaitan siklon tropis Freddy dengan kondisi


~usfer Indonesia akan dikaji dengan metode anali'ptif kualitatif. Data yang digunakan dalam
r:-..- -."1ah ini adalah lintasan siklon yang diper:eh dari
'/~.bom.gov. au) dan melalui pengamatan tercitra satelit MTSAT, data curah hujan dari 'IE
ERAJA; Volume VIII. No. ::5, Desember 2009

'http:/ / trmm.gsfc.nasa.gov/trmm- rain, 2009) dan data


arah dan kecepatan angin dari NCEP/NCAR Reanalysis
(http:/ / www.cdc.noaa.gov/, 2009). Citra satelit MTSAT
kanal infra merah yang digunakan dalam penelitian ini
diperoleh dari http:/ /www.jma.go.jp/dan dari Data
base Bidang Pemodelan Iklim- Pusfatsatklim, LAPAN.
Wilayah pengamatan meliputi wilayah Indonesia dan
lautan Hindia selatan pada periode 31 Januari 2009 sampai 12 Februari 2009.
Siklus Hidup dan Kekuatan Siklon Freddy
Spot tekanan rendah mulai terlihat pada 3 Februari 2009 di barat laut Kimberley (Australia Utara) dan
bergerak ke barat. Pada 6 Februari 2009 arah gerakan
siklon berbelok ke barat daya. Spot tekanan rendah
berkembang menjadi siklon dengan kategori 2 pada 7
Februari 2009 dan bergerak ke arah barat lagi. Pada
9 Februari 2009 arah gerakan siklon kembali ke barat
daya. Selama 4 hari (7 sampai 10 Februari 2009) perjalanan hidup siklon Freddy, mata/pusat siklon tidak pernah
lebih dekat darijarak 222 km dengan P. Jawa atau berada
dalam wilayah 15 LS sampai 18 LS. Kenapa siklon tidak
pernah sampai di wilayah Indonesia? Karena gaya Co riolis akan membelokkan gerakan di belahan bumi selatan
ke sebelah kiri. Ilustrasinya adalah sebagai berikut: jika
massa udara bergerak dari 15 ke 14 LS di belahan bumi
selatan. Jika tidak ada gaya Coriolis massa udara dapat
bergerak lurus, tetapi karena ada gaya Coriolis maka
massa udara akan dibelokkan ke sebelah kiri. Sehingga
lintasan siklon berupa garis lengkung (Gambar 2).
Gaya coriolis yang sangat kecil (-) di wilayah Indonesia
dan lintasan siklon yang lengkung menyebabkan siklon
Freddy tidak akan sampai di wilayah Indonesia. Siklon
dapat berkembang di wilayah dengan gaya Coriolis yang
mencapai nilai tertentu atau di atas wilayah soLU /LS.
Melemahnya siklon tropis Freddy seiring dengan
gerakannya menuju !autan yang lebih dingin di lautan
Hindia sehingga kembali menjadi spot tekanan rendah
pada 10 Februari 2009. Pengurangan intensitas siklon
berhuburtgan dengan ketidakstabilan konvektif (Camp
dan Montgomery, 2000). Pada saat suhu muka laut
berkurang, maka lapse rate ketidakstabilan semakin
tinggi dan mendorong terjadinya penurunan intensitas
iklon.
Pemantauan terhadap ukuran dinding dan jarak
din ding siklon Freddy dari P. J awa diperlihatkan dalam
67

lnformasi Data IN DE RAJA


!c.o

~.bcZS~;.~.,.q~ :

sk.-

I!

linlasan siOOn Fredd1

~-~''\_..--,
40,

_/'

'\

L:

1'>

'l%1s

~~

~
""

\.

\\

~\

_.

I .

;51

L"";l':.., e,;;.'
'

'

"\_..

'\-.;_

Jt

..

IIOOme

~~

r--:Portl~--l---:;.:;_

'/~

.~

""

-"2S

1-!

J
I

-!(1

Australia

-'<!>

Gambar 2. Lintasa n dan siklus hidup siklon Freddy


http://www.bom.gov.au/
lkuraldindfrg sikJon
Jr.KdrD1QcmP. .awa

12
10

8
1ii

'!'
c!

6
4

2
0

. -2

'

waktu

10

11

12

( ~ 00 U1C 8 febnai 2009 ~ JUU 20.00 U1C9 Fellruari 2009 atau


Pl.W 07.00 WIB 8 Fe:bnm 2009 Sln1l'i JUU 03.00 WIB 10 Fellruari 2009)
Gam bar 3. Grafik ukuran dinding siklon Freddy dan jaraknya dari P. Jawa

bar 3 , yang diamati dari citra satelit MTSAT. Ukur~ _.;~rl; .. g siklon paling besar hampir mencapai 2 dera---u sekitar 222 km terjadi pada tanggal 8 Februari
illl 04.00 UTC atau pukulll.OO WIB sampai pu"'\\lB dan pukul 00.00 UTC atau pukul 07.00
--ggal 9 Februari 2009. Ukuran siklon di luar
tersebut berada dalam kisaran 1 derajat
km)
=;>ei beherapa km dalam bentuk spot-spot tekanan.
--tara jarak din ding siklon dari P. J awa mencapai

t'in

titik terdekat pada tanggal 8 Februari pukulll.OO WIB


yaitu dengan jarak 5~derajat atau sekitar 555 km. Setelah
itu dinding siklon Freddy semakin menjauhi P. Jawa.

Dampaknya Terhadap Kondisi Cuaca/lklim (Atmosfer) di Indonesia


Sebelum siklon Freddy dinyatakan sebagai siklon
tropis, berdasarkan citra satelit MTSAT IR, liputan awan
di atas wilayah Indonesia pada tanggal 2 Februari 2009
BERITA INDERAJA, Vol ume VIII , No. 15, Desember 2009

lnformasi Data IN DE RAJA

c..-or. Hoj-1n
5

25

(rrm)
J~

4!i

Gam bar 4. Kiri: Citra satelit MTSAT Infra merah :Data base Bidan g Pemodelan lklim- Pusfatsatklim, LAPAN) dan kanan :
estimasi curah hujan TRMM tangga l 2 Februari 2009 pukul1 3.3 0 WIB (http://www.lapanrs.com/ SMBA/ smba .php).

Gambar 4) menunjukkan indikasi adanya awan tebal


' atas Kalimantan barat dan Kalimantan selatan, lautan
Hindia sebelah timur, laut Jawa dan Jawa bagian barat,
apua dan perairan sebelah utara Papua. Berdasarkan
'rra satelit yang sama, estimasi curah hujan menunjukkejadian curah hujan di lokasi dengan liputan awan
-ebal tersebut. Selanjutnya, sampai tanggal 3 Februari
tengah malam, liputan awan dan hujan di atas wilayah
Indonesia berfluktuasi dengan suhu kecerahan awan
200<T <260 K atau curah hujan 0 sampai 25 mm/ 3jam di
aratan dan 0 sampai 45 mm/jam di lautan. Selanjutnya
pada tanggal4, 5, 6 dan 7 Februari dinding siklon Fred:: sampai di perairan Jawa bagian selatan dan bersinggungan dengan awan di atas perairan dan daratan pulau
_awa, semen tara itu liputan awan dan curah hujan tidak
enunjukkan kejadian yang ekstrim atau berfluktuasi
engan kisaran nilai seperti tersebut diatas.
Berdasarkan data NNR (NCEP/ NCAR Reanalysis , pada tanggal2 Februari 2009, angin permukaan di
"'ilayah Indonesia didominasi oleh angin utara, barat laut
an an gin barat daya. Di P. J awa khususnya, angin ber'up dari barat sampai tang-gal 7 Februari 2009. Peruba. an arah angin nampak pada tanggal 8 Februari 2009.
_;..-"!gin disebelah selatan P. Jawa, Bali dan NTI berbalik
l-e ;:enggara ke tempat dimana di mana siklon Freddy se~g ah.1if (Gambar 5) . Ini mengakibatkan liputan awan
~-~ P. Jawa sedikit berkurang (Gambar 6) sehingga
ujannya juga sedikit berkurang (Gam bar 7).
i.2;1ggal 8 Februari kekuatan siklon menc~ai punenyebabkan massa udara sekitar termasuk di
.. dan sekitarnya terbawa dalam dinding sik~'--=nipu::. siklon Freddy sudah lenyap pada tang~;";";e

. :!.5. Desember 2009

gallO Februari 2009, namun sampai tanggal12 Februari


2009 angin masih menuju ke tenggara. Hal ini dipahami
sebagai akibat masih tersisanya spot tekanan rendah di
lautan Hindia.
Pada kemunculannya bulan Februari 2009 ini,
kekuatan siklon Freddy tidak membawa seluruh massa
konveksi di atas P. Jawa yaitu wilayah terdekat dengan
siklon sehingga hujan masih turun di wilayah ini. Masa
hidupnya yang singkat menyebabkan curah hujan pada
bulan Februari 2009 relatif tetap sehingga tidak ada
dampak yang berarti untuk aktivitas pertanian.
Siklon tropis Freddy mempunyai siklus hid up (mulai
terbentuknya spot tekanan rendah sampai hilang) selama 8 hari. Dalam masa aktifnya, terutama pada tanggal8
Februari 2009, siklon Freddy membawa massa yang ada
di atas P. Jawa bagian barat yang ditunjukkan dengan
pembelokan arah angin dari barat menjadi selatan.
Salah satu syarat tumbuhnya siklon adalah gaya coriolis, sehingga wilayah Indonesia tidak akan pernah
dilalui oleh dinding siklon bagian dalam terlebih mata
siklon, sehingga cuaca/ iklim ekstrim yang ditimbulkan
siklon untuk wilayah Indonesia tidak separah di \\ilayah
tropis lain dengan lintang yang lebih tinggi, namun
demikian kondisi. ikJim ekstrim dapat terjadi pada kejadian siklon. Siklon dengan kategori kuat, yang berada
dekat dengan wilayah Indonesia, dapat menarik massa
udara di atas wilayah Indonesia sehingga aktivitas konveksi berkurang. Dengan demikian pembentukan awan
dan hujan juga berkurang di wilayah Indonesia. Kebalikannya, jika dinding siklon paling luar (ekor siklon)
melalui wilayah Indonesia akan menurunkan curah hujan dengan intensitas tinggi.
69

lnfonnasi Data INDERAJA

""'iO

""'iO

Gambar 5. Arah dan kecepatan angin di atas permukaan wilaya h Indonesia pada tanggal 8 dan 12 Februari 2009
(NCEP/NCAR Reanalysis)

Gambar 6. Citra satelit MTSAT infra merah tanggal 6, 7 dan 8 2009 pukul13.30 WIB (Data base Bidang Pemode lan
lklim- Pusfatsatklim, LAPAN)

n
~

:j 4.
,.,.
~
~

r'iilloc

. . ... ,.

C..... h;fz ff!' ~

)~

'"

(!It~~~"'

4$

Gam bar 7. Estimasi curah hujan dari Tl


(http

{mr!'l)

tanggal 6, 7 dan 8 Februari pukul13.00 WIB


Si..13A/ smba.php)
INDERAJA. Volume VIII, No. 15, Desember 2009

( UIDJB:l~::>U d detfe!

OIOZ I
VfV~I3: ~ -

fB

I I<I3:
Yl.rn3JI

Aktivitas Siklon Tropis di Lautan Pasifik Barat dan Lautan Ch ina Selatan dan
Dampaknya Terhadap Curah Hujan di Indonesia
Ina Juaeni
inajuaeni@yahoo. com
Pusat Pemanfaatan Sains Atmosfer dan lkli
Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional

Siklon bermula dari gelombang atmosfer yang kemudian berubah menjadi spot
ekanan rendah dan kemudian berkembang menjadi badai. Jika terjadi peningkatan
ecepatan angin, maka badai berubah menjadi siklon. Di wilayah tropis, 85 % kejadian
siklon dipicu oleh gelombang tropis. Ada beberapa kondisi yang harus dipenuhi untuk
berkembangnya siklon, yaitu : suhu muka laut harus lebih besar dari 26.5 C, gaya
Coriolis tidak nol dan harus mencapai nilai tertentu. Gaya Coriolis diperlukan untuk
tetap mempertahankan spot tekanan rendah dari siklon. Jika siklon bergerak ke arah
ekuator dimana gaya Coriolisnya rendah, spin/putaran siklon akan melemah akibat
tidak ada keseimbangan antara gaya Coriolis dengan gaya gradien tekanan (Gambar
1, Sumber: http://web.mit.edu/). Syarat lain terjadinya siklon adalah shear angin vertikal
rendah agar terjadi gerakan spiral vertikal.

..
Gambar 1 Skema aliran uda~ di sekitar spot tekanan rendah (di Belahan Bumi Utara).
Graden tekanan di gambarkan o!eh panah berwarna biru

(Sumber: http://web.mit.edu/)

0-a ~

oersyaratan tersebut maka wilayah yang potensial untuk terjadinY.a siklon adalah
ah tropis dan subtropis, atau pada zona konvergensi tropis/ zona fronU palung
sun,lokasi dimana sering te~ad i tekanan rendah, seperti diperlihatkan pada

Gambar

(Sumber:http://www.windows.ucar.edu/earth/images/).

Setiap

wilayah

..... en amai badai besar dengan nama yang berbeda. Nama siklon (cyclone) digunakan
uk wilayah lautan Hindia, laut China selatan dan Pasifik barat. Di Pasifik barat
agian utara, badai dinamai typhoon. Di lautan Atlantik dan Pasifik timur dinamai

urricane. Siklon di wilayah tropis biasanya berada pad a wilayah 10 sampai 30 derajat
rintang utara (LU) atau lintang selatan (LS). Karena Coriolis yang lemah yang terkait
dengan

rotasi bumi, jarang sekali terjadi siklon di wilayah 5 derajat LU/ LS apalagi

sampai di wilayah 0 derajat, tetapi kenyataannya ada juga siklon yang sampai wilayah 5
derajat LU/ LS seperti kejadian siklon Vamei tahun 2001 dan siklon Agni tahun 2004. Di
Atlantik utara dan Pasifik timur laut, angin pasat atau angin yang bergerak ke arah barat
membawa gelombang tropis ke arah barat, dari Afrika ke laut Karibia, lalu ke Amerika
utara terakhir sampai di laut Pasifik tengah. Gelombang tropis ini merupakan prekursor
bagi siklon tropis. Di lautan Hindia dan Pasifik barat, perkembangan siklon lebih
ditentukan oleh gerakan musiman dari palung monsun atau zona tekanan rendah atau
ITCZ (Inter Tropical Convergence Zone) dibandingkan oleh gelombang. Siklon tropis
juga dapat dibangkitkan oleh sistem lain seperti sistem tekanan rendah, sistem tekanan
tinggi, front panas dan front dingin (Velasco and Fritsch, 1987; Chen and Frank, 1993;
Emanuel, 1993; Zehr, 1992).
Tempat terjadi yang berdekatan dengan wilayah Indonesia ditambah dengan
sistem pemicunya yang sangat berhubungan dengan kondisi cuaca dan iklim Indonesia,
maka siklon tropis merupakan unsur atmosfer yang perlu dikaji. Selain meneliti
variabilitasnya dan perilakunya dipandang perlu untuk meneliti dampak siklon tropis
terhadap atmosfer Indonesia, khususnya curah hujan. Terlebih akhir-akhir ini siklon
tropis mengalami peningkatan frekuensi dan kekuatan (Emanuel, 2005; Webster eta/.,
2005).
Untuk mempelajari perilaku dan dampak siklon tropis terhadap kondisi atmosfer
Indonesia digunakan data radar presipitasi (PR), TRMM (Tropical Rainfall Measuring

Mission), Microwave Imager ("tt11) dan VIRS (Visible and Infrared Scanner] yang
2

iunduh dari http://trmm.gsfc.nasa.gov1 untuk periode tahun 2008 dan 2009 serta data
angin

NNR

(NCEPI NCAR Reanalysis) dari

http://www.esrl.noaa.gov/psd/.

PR

empunyai resolusi horisontal - 5 km dan dapat memberikan informasi struktur vertikal


ujan dan salju mulai permukaan sampai ketinggian 20 km. TMI adalah sensor
gelombang mikro yang dirancang untuk memberikan informasi kuantitas curah hujan
melalui pengukuran jumlah uap air, jumlah air dalam awan dan intensitas curah hujan.
VI RS adalah pemantau radiasi yang datang dari bumi dalam 5 wilayah spektral, dari
visibel sampai infrared, atau dari 0,63 sampai 12 mikrometer. Wilayah penelitian
dibatasi di teluk Benggala dan lautan Pasifik Barat (di tunjukkan dengan anak panah
pada Gambar 2), sebagai lokasi terjadinya siklon yang berdekatan dengan wilayah
Indonesia.

Gambar 2. Peta lokasi badai dan lokasi penelitian


(Sumber:http://www.windows.ucar.edu/earth/images/)

Siklon di Pasifik Barat


Pada

tahun

2008,

data

gabungan

dari

PR,

TMI

dan

VIRS

(http://trmm.gsfc.nasa.gov) menunjukkan terjadi 74 kejadian siklon dari 47 siklon yang


berbeda di lautan Pasifik barat. Berarti, ada siklon yang terjadi lebih dari satu kali yaitu

siklon-siklon 96W, INVEST. 9

97W, 96W, 24W, 21W, 16W, 98W dan

VONGFONG (Gambar 3).


6 -

2008

~5
4

..c

1!3
"'

..c

~2
;;;

"'

':: 1

~ ~ :;:[~z!-~;j :; j !;

:::J

..!!!o

:0

..:a:oa::tal.!)ao

z~

::;;;;

;;;

.,.,
c

:::J
"'

~
......

l 371381391

41~ 4 ~43J 441 4S ! 46I 47I

Gambar 3. Frekuensi kejadian siklon di lautan Pasifik barat tahun 2008


Frekuensi kejadian siklon 96W dan 24W tertinggi selama tahun 2008 yaitu 5
kejadian. Dari 47 siklon baru 21 yang sudah diberi nama sisanya hanya diberi kode.
Siklon terjadi hampir sepanjang tahun dengan waktu hidup satu sampai 11 hari. Siklon
SINLAKU adalah siklon dengan waktu hidup terlama tahun 2008, yaitu 11 hari.
Kekuatan siklon yang diidentifikasi dengan estimasi kecepatan angin permukaan
maksimum sangat bervariasi (Cooper et a/., 2008). Kecepatan angin pada siklon tahun
2008 bervariasi mulai 33 knot sampai 145 knot. Siklon JANGMI mempunyai kecepatan
angin terbesar yaitu 145 knot, yang terjadi mulai 23 September sampai 1 Oktober 2008
(Tabel 1). Bentuk visual siklon JANGMI pad a tanggal 26 September 2008 yang terekam
oleh PR, TMI dan VIRS

diperlihatkan pada (Gambar 4). Gambar tersebut juga

menunjukkan distribusi spasial curah hujan pada dinding siklon. Garis penampang yang
dibuat melalui siklon tersebut menunjukkan aktivitas hujaQ yang aktif pada dinding
siklon, sedangkan pada mata siklon cuaca tampak cerah. Semakin jauh dari mata
siklon curah hujan semakin kecil. Curah hujan tertinggi berada pada wilayah dengan
jarak kurang dari 1 derajat (-111 km) dari mata siklon. Salah satu siklon dengan
kecepatan angin rendah yaitu -40 knot adalah siklon HIGOS, bentuk visualnya
4

diperlihatkan pada (Gambar 5). Siklon HI GOS adalah salah satu siklon yang bentuknya
tidak simetris dan mata siklon juga kurang jelas terlihat. lni merupakan salah satu tanda
siklon yang lemah.

Tabel 1. Siklon tropis di Pasifik barat tahun 2008 (Sumber: Cooper eta/. , 2008)

Nama
TS01W
TY 02W-Neoguri
STY 03W-Rammasum
TS 04W-Matmo
TY 05W- Halong
TY 06W- Nakri
TY 07W- Fengshen
TY 08W-Kalmaegi
TY 09W- Fung-Wong
TS 1OW-Kammuri
TS 11W
TS 12W-Vongfong
TY 13W-Nuri
TS 14W
TY 15W- Sinlaku
TS 16W
TS 17W
TY 18W-Hagupit
STY 19W-Jangmi
TS 20W-Mekkhala
TS 21W-Higos

TS22W
TS 23W-Bavi
TS 24W- Maysak
TS 25W-Haishen
TS 26W-Noul
T_y_ 27\f,/- Dolp]lin

Peri ode

Peringatan

P (mb)

13
23
23
9
19
29
29
19
18
12
7
9
24
7
47
8
1
24
29

(knot)
40
100
135
40
75
125
110
90
95
50
35
55
100
35
125
35
40
125
145

992
948
921
992
966
929
940
955
951
985
996
981
948
996
929
996
992
929
914

7
21

55
45

981
988

6
6
14
4
7
33

35
50
55
40
40
90

996
985
981
992
992
955

13-16 Januari
14-20 April
7-12 Mei
14-16 Mei
15-20 Mei
27 Mei-3 Juni
18-25 Juni
14-18Juli
24-28 Juli
4-6 Agustus
13-14 Agustus
14-16 Agustus
17-22 Agustus
26-28 Agustus
8-20 September
10-11 September
14 September
18-24 September
23
September-1
Oktober
28-30 September
29
September-4
Oktober
14-15 Oktober
18-20 Oktober
7-10 November
15-16 November
16-17 November
10-18 Desember

I
I

I
I

e:erangan:

- :-:gi<a dalam kolom Peringatan menunjukkan jumlah peringatan yang dikeluarkan


-SA terkait meningkatnya kekuatan angin pada siklon

.,
5

Gambar 4. Kiri: Gambar visual dan curah hujan siklon JANGMI, Kanan: Penampang
curah hujan di tengah siklon dari titik A sampai titik B
(http://trmm.gsfc.nasa .gov)

Gambar 5. Kiri: Gambar visual dan curah hujan siklon HIGOS, Kanan : Penampang
curah hujan di tengah siklon dari titik A sampai titik B
(http://trmm.gsfc.nasa.gov)

Pada tahun 2009, terjadi 76 kejadian dari 50 jenis siklon di lautan Pasifik Barat.
Siklon-siklon yang terjadi lebih dari satu kali pada tahun 20D9 adalah 99W, 98W, 97W,
96W, 95W, 94W, 93W, 92W, 91W, 90W dan AL (Gambar 6). Siklon terjadi hampir
sepanjang tahun, dengan waktu hidup (life time) satu sampai empat belas hari. Siklon
PARMA adalah siklon dengan waktu hidup terlama tahun 2009, yaitu 18 hari.

.,

f!
a

::1

Kecepatan angin dalam siklon bervariasi dari 25 knot (siklon 24 W) sampai 150 knot
(Tabel 2).

=
....=
c:
0\

::::J

..c:

~
..,.
"'

"'
c:

I 2009

.!!!

~
;;;

Q.

.!!!
::::J
..!!!

'0
c:

::;;;;

;;;
;;;

c:

"'
::::J

-"'
~

....

Gambar 6. Frekuensi kejadian siklon di lautan Pasifik barat tahun 2009

Dari uraian di atas nampak bahwa frekuensi kejadian siklon tahun 2008 dan
2009 tidak menunjukkan perbedaan yang berarti. Dari perbandingan antar tahun
tersebut juga teridentifikasi bahwa tidak semua siklon mempunyai periode satu tahun
atau dengan kata lain siklon tidak selalu berulang setiap tahun, bahkan siklon yang
muncul tahun 2008 berbeda dengan yang terjadi pada tahun 2009.

Tabel 2. Siklon tropis di Pasifik barat tahun 2009 (Sumber: Cooper eta/. , 2008)

Nama
TY 01W- Kujira
TY 02W- Chan-Hom
TY 03W- Linfa
TS 04W- Nangka
TS 05W- Soulder
TD06W
TY 07W- Molave
TS 08W- Goni

Peri ode
2-7 Mei
3-11 Mei
17-22 Juni
22-26 Juni
9-12Juli
13-14 Juli
15-19 Juli
2 !8 Agustus

Peringatan
20
29
21
18
11
5
16
15

v
(knot)
. 115
90
75
45
35
30
105
45

P (mb)
936
955
966
988
996
1000
944
988

TY 09W- Morakot
TS 10W- Etau
TY 11W- Vamco
TY 12W- Krovanh
TS 13W- Dujuan
TO 14W- Mujigae
STY 15W- Choi-Wan
TY 16W- Koppu
TY 17W - Ketsana
TD18W
STY 19W-Parma
STY 20W-Melor
TS 21W-Nepartak
STY 22W- Lupit
TY 23W- Mirinae
TD24W
TS25W
STY 26W-Nida
TD27W
TD28W
TS 01C-Maka
TD02C

3-9 Agustus
8 - 12 Agustus
17 - 25 Agustus
28 - 31 Agustus
3 - 8 September
9 - 12 September
12 - 20 September
13 - 15 September
25 - 29 September
27 - 30 September
27 September- 14
Oktober
29 September - 9
Oktober
8 - 13 Oktober
14 - 26 Oktober
26 Oktober - 2
November
2 - 3 November
7- 9 November
22 November - 03
Desember
23 - 24 November
5 Desember
14-18 Agustus
30 Agustus

25
18
34
16
25
12
33
9
19
13
68

80
40
120
65
55
30
140
75
90
30
135

38

150

910

20
49
31

55
140

981
918
955

2
10
45

90
25
150

1003
988
910

5
1
15
2

30
30
45
30

1000
1000
988
1000

963
. 992
933
974
981
1000
918
966
955
1000
921

Siklon di Teluk Benggala


Di teluk Benggala, pada tahun 2008 terjadi 14 kejadian dari 13 jenis siklon , atau
ada siklon yang terjadi dua kali yaitu

siklon 928, siklon lain hanya te~adi satu kali

(Gambar 7). Siklon NARGIS adalah siklon dengan kekuatan angin tertingg i pada tanun
2008, yaitu 115 knot (Tabel 3). Meskipun cukup kuat, tetapi siklon ini tidak memben
mata siklon atau mata siklon tidak jelas. Distribusi spasial curah hujan nampak
berkumpul ditengah

siklon

(Gambar 8. Kiri).

Siklon

NISHA (Gambar 8. Kanan)

dengan intensitas yang lebih kecil menunjukkan distribusi ~pasial curah hujan yang
hampir sama dengan siklon NARGIS, namun siklon NARGIS menunjukkan bentuk yang
lebih simetris dibandingkan siklon NISHA .

.,
8

3
00
0
0
N

tQ

m,ao

2008

c:

::I

.s::

c:
QJ

a:l
~

::I

-r---r
d)
d)

'0
c:
0

::;;;

;;:;

;;:;
c:
QJ

::I

.......

QJ

r-0

lD

en

I 2

<{

co
lD
0

co
1.1")
0

I~U
...
I
CO l d)~

en

d)0 T r--d)

I 3

en

en

d)
N

en

10

I: I

12

113

Namasiklon

Gambar 7. Frekuensi kejadian siklon di teluk Benggala tahun 2008

Gambar 8. Siklon NARGIS (kiri), Siklon NISHA (kanan)

Keterangan gambar: Kiri: Gambar visual dan curah hujan siklon NARGIS/NISHA,
Kanan:

Curah

hujan

di

tengah

siklon

dari

titik

sampai

titik

(http://trmm.gsfc.nasa.gov)
Pada tahun 2009 terjadi 12 kejadian dari 11 jenis siklon di teluk Benggala . Siklon

948 terjadi dua kali pada tahun tersebut, sedangkan siklon lain hanya terjadi satu kali
(Gambar 9). Di teluk Benggala frekuensi kejadian siklon lebih rendah dibandingkan di

Pasifik barat, siklus hidupnyapul1"1ebih pendek dibandingkan siklon di Pasifik barat yaitu
9

satu sampai enam hari. Siklon NARGIS adalah siklon yang mempunyai life time terlama
(6 hari) pada tahun 2008, dan siklon WARD (4 hari)

pada tahun 2009 (Tabel 4).

Gambar 9 juga menunjukkan ba hwa tidak terjadi peningkatan frekuensi siklon pada
tahun 2009 dibandingkan tahun 2008.

2009
0'1
0
0

"'

c
~
.c:
~

"'

n;
~1
c:

Ql

CD

:c

c
0
::;;:
Vi

u;

Ql
~

""" 0 -1

cr:::

oa:>

3:
1

1-=-T-=- -r -=- ~, --=- T-=-, -:- -~-

~ 1 7 . 8

~ T !l l

00

m
a:>

10

11

Nama siklon

Gambar 9. Frekuensi kejadian siklon di teluk Benggala tahun 2009


Tabel 3. Siklon tropis di Hindia Utara tahun 2008 (Sumber: Cooper eta/. , 2008)
Nama

Periode

Peringatan

V (knot)

1B-Nargis

27 April-3 Mei

25

115

28

16 September

45

3A

20-23 Oktober

11

30

48-Rashmi

26-27 Oktober

45

58- Khai-Muk

14-16 November

45

68-Nisha

25-27 November

50

78

4-7 Desember

13

35

L_____

Karena lokasi siklon


Indonesia, putaran/spin siklon

- --

di Pasifik Barat dan Bengala dekat dengan wilayah


a~n

menarik massa atmosfer (udara dan atau awan)

10

dari atas wilayah Indonesia akibatnya di atas wilayah Indonesia menjadi cerah. Kasus
seperti ini terjadi pada saat te~ad i siklon NARGIS tanggal28 April 2008 dan siklon 06 8
pada tahun 2009. Ditunjukkan oleh angin dari NNR, terjadi pengalihan massa
udara/awan dari laut Hindia yang seharu snya masuk ke wilayah Indonesia tertarik ke
arah Teluk Benggala (Gam bar 10 dan Gam bar 11).
Tabel4. Siklon tropis di Hindia Utara ffeluk Benggala tahun 2009 (Sumber: Cooper eta/. 2008)
Nama

Periode

Peringatan

V (knot)

Bijli

15-17 April

12

50

Ail a

24-25 Mei

65

05 September

40

Phyan

09-11 November

40

Ward

11-14 Desember

12

45

110E

12<1E

Surtace Winds (m/s) Composite Mean


4/28/06 6z it~ 4/26/00 16z
NCEP /NC6.R Racnolysia

..c::::I

~~.w!J .

4-

10

I-

12.

Gambar 10. Vektor angin NNR pada 28 April2008 (Sumber: http://www.esrl.noaa.gov/psd/)

11

NaP/ NCAR R u~

'"n/-'), 1
8

I
10

fiii\li\
12

Gambar 11. Kiri: Image radar TRMM untuk siklon 068 (Sumber: htttp://trmm.gsfc.nasa.gov),
Kanan: Vektor angin dari NNR (Sumber: http://www.esrl.noaa.gov/psdl) pada 12
November 2009)

Curah hujan bulanan dari Precipitation Radar TRMM di wilayah Indonesia pada
tahun 2008 lebih tinggi daripada tahun 2009 terutama setelah bulan Mei (Gambar 12).
Perbedaan curah hujan kumulatif bulanan juga dipengaruhi oleh suplai massa dari
lautan Hindia dan lautan Pasifik. Pada tahun 2008 suplai massa dari lautan Hindia
selatan ke wilayah Indonesia berlangsung sampai bulan April sedangkan pada tahun
2009 hanya sampai bulan Maret. Dari lautan Pasifik, suplai massa pada tahun 2008
berlangsung dari bulan Januari sampai Juli dan November sampai Desember. Pada
tahun 2009, suplai terjadi dari bulan Januari sampai Juni dan bulan Desember. lni
berarti, suplai massa dari kedua lautan tersebut pada tahun 2009 lebih kecil
dibandingkan tahun 2008. Kondisi seperti merupakan salah satu penyebab jumlah
hujan tahun 2009 lebih rendah daripada jumlah curah hujan tahun 2008, karena massa
udara dari lautan Pasifik dan lautan Hindia adalah massa udara dengan kadar uap air
dan salinitas yang tinggi sehingga dapat meningkatkan aktivitas konveksi basah atau
konveksi dengan peluang terjadinya hujan yang tinggi.

.,
12

300 '

250

Rata-rata untuk : 10" LU-15 LS, 95BT-145BT

co j

! i
150

I!

-2009

:s

-2008

'

100

so
0

"i

I
I
J________ -1

10

11

12

Bulan

Gambar 12. Curah hujan kumulatif bulanan tahun 2008 dan 2009 berdasarkan TRMM untuk
wilayah Indonesia (10 LU s/d 15 LS, 95 BT s/d 145 8T)

13

PEMANFAATAN CURAH HUJAN TRMM DASARIAN UNTUK PENGELOMPOKKAN DAN PENENTUAN KALENDER TANAM
POTENSIAL
Ina Juaer

Hardjana

nr

n
LAPA

Bidang Pemodelan lklim, Pusat Pemanfaatan Sa ins Atmosfer dan lkllm - LAPAN
Jl. Dr. Junjunan 133 Phone (022)6037445 Fax. (022)6037443 Bandung, 40173
ABS

Curah hujan TRMM tipe 3842 adalah curah hujan/presipitasi Tropical Rainfall
Measuring Mission (TRMM) yang digabung dengan presipitasi infrared/high quality
(HQ) dalam grid yang mempunyai resolusi waktu 3-jam dan resolusi spasial 0,25 X
0,25 dalam cakupan global 50 lintang selatan sampai 50 lintang utara. Data curah
hujan dapat digunakan sejak tahun 1998 sampai saat ini, namun dalam penelitian ini
digunakan periode pengamatan tahun 1998 sampai dengan 2009. Curah hujan 3 jaman diakumulasi setiap 10 hari (
). Pengelompokkan curah hujan dengan
metoae klaster
menghasilkan 10 klaster untuk P. Sumatera, P. Jawa dan Papua
serta 12 klaster untuk Kalimantan dan Sulawesi. Jumlah klaster tersebut meliputi
klaster yang ada di lautan. Kalender tanam untuk setiap klaster ditentukan
berdasarkan kebutuhan padi terhadap air (50 mm/dasarian), sehingga diperoleh 3 jenis
kalender tanam yaitu s~tu kali tanam dalam setahun, dua kali tanam dalam setahun
dan tiga kali tanam (se~anjang tahun). Dua kali menanam padi dalam setahun terjadi
di P. Jawa dan Bali. Daerah dengan satu kali tanam sepanjang tahun adalah Nusa
Tenggara, karena hujan dengan lntensltas yang cukup hanya terjadi di awal tahun .
Sedangkan di Sumatera Barat, menanam padi bisa dilakukan hampir sepanjang tahun .

Data curah hujan TRMM lulus uji deteksi outlier karena nilai signifikansi > 0.001 dan
multikolinearitas menunjukkan bilangan kondisi (k) >1000 maka dapat dilakukan analisis komponen utan
Hasil analisis komponen ~rna Jnilah yang kemudian menjadi input untuk analisis klaster. Pengaplikasi
metode klaster Ward pada data curah hujan TRMM akumulasi 10 harian menghasilkan 10 jumlah klas
untuk 3 wilayah dan 12 klaster untuk 2 wilayah (gambar 2, tabel 1). Klaster terbanyak yaitu 12 terdapat
Kalimantan dan Sulawesi atau wilayah tengah utara Indonesia. Berdasarkan peneglompokkan inL kemudi
ditentukan dasarian potensial untuk menentukan kalehder tanam . Beberapa contoh dasarian dan kalen<
tanam potensial diperlihatkan berturut-turut pada tabel 2, tabel 3, tabel 4 dan tabel 5.

-6

Sejak dipublikasi tahun 1998, data TRMM semakin sering digunakan dalam
berbagai kajian masalah cuaca dan iklim di Indonesia. Hal ini disebabkan beberapa
keunggulan yang dimiliki data curah hujan TRMM, seperti keunggulan dalam
cakupan wilayah yang luas, kemampuannya dalam memetakan variasi curah hujan
spasial dan temporal yang besar serta kemampuannya dalam memberikan data
curah hujan dengan resolusi sampai 5 km.
Sebelumnya data curah hujan TRMM hanya digunakan untuk tujuan
penelitian murni, tetapi dalam penelitian ini ditunjukkan bahwa data TRMM dapat
digunakan untuk pengelompokkan atau klastering curah hujan dan penentuan
kalender tanam potensial sebagai bentul(' pengembangan pemanfaatan data curah
hujanTRMM.

(!)

tz:::J

.a
-10

-12
95

100

105

110

120

115

Gamn

yan

Hasu klar:;ter

Magelang (wllayah II)

,.

Bulnke
DINrllln Ice
Waklvtln.m

Probolinggo (wilayah II)

Penelitian dengan menggunakan data TRMM dan penerapan metode


klastering ini merupakan kajian yang menggabungkan data lapangan dengan data
observasi. Data lapangan adalah data jadwal tan am dan I k & W ..C. m - ..
kondisi daerah sentra pangan yang diperoleh dengan
kunjungan dan diskusi ke beberapa lokasi sentra
pangan , sebagai sampel. Data observasi adalah data
curah hujan TRMM dan data observasi curah hujan
dibeberapa lokasi sampel (di Kalimantan Barat) untuk
mengkonfirmasi data curah hujan TRMM terhadap data
observasi. Data TRMM yang digunakan adalah TRMM
3842 Versi 6 dengan resolusi 0.25 x 0.25 dalam peri ode
1998 sampai dengan 2009.

1ll

125

BUJUR

10

Denpasar/Tabanan (wilayah II)


9

1Q

,,

12

12 l 13 l 14 l 15 l t6 l 17 l 18 l 19 ] ~121 l 22 l ~ l ~ l ~l~ l 27 l ~ l ~ l ~l~l~ l " l ~ l ~ l ~

Manado (klaster 9 wilayah IV )

"""'"'

O..n1nke

WlkiUlnem

I2

ll

I4

I1

I9

I 10 I 11 112 I 13 I 14 I 15 1 115 I 11 I 18 I ts I 20 I 21 I 22 I 23

You might also like