Professional Documents
Culture Documents
Pengetahuan Manusia
Yang pasti, bersandar pada komposisi dan kodefikasi numerik yang melibatkan
penomoran surat, ayat , jumlah huruf atau nilai numerik susunan kata dan
hurufnya (al-Jumal bahasa Arab). Pengetahuan yang pasti mengandung suatu
kaidah bagaimana logika manusia harus disusun dengan suatu konsep yang
generik dengan algoritma yang kalau ditinjau kembali dari sejarah sains telah
dikonsepkan secara aritmatis oleh Phyttagoras (600-500 SM) dan akan merujuk
pada algoritma Euclids seorang filsuf dan ilmuwan era Yunani Kuno (sekitar 350
SM).
Yang tidak pasti menjadi suatu syair yang sangat indah dengan corak yang khas
dimana faktor pengajaran bagi manusia sangat dominan baik melalui kisah,
ungkapan ruhaniah yang berkaitan langsung dengan kondisi kejiwaan manusia,
sejarah umat, maupun konsep recursive atau syair yang berulang dengan corak
dan konteks yang berbeda yang mampu menembus struktur psikis dan mengsuik
kondisi jiwa manusia yang terdalam untuk sejenak merenung dan pada tingkat
pengaruh yang tinggi akan mengubah akhlak dan perilaku menuju kemuliaan
manusia sebagai makhluk berakal pikiran dan mempunyai instrumen ruhaniah
atau hati yang dapat menjadi halus dan lembut sebagai radar Pesan-pesan Ilahi.
Bagaimana sebenarnya sistem ilmu pengetahuan manusia saat ini dan kaitannya
dengan komposisi atau kodefikasi al-Qur’an? Sistem pengetahuan yang
dipahami oleh manusia sebagai makhluk berakal pikiran adalah sistem yang
menjelaskan sistem kehidupan yang berubah dan tertutup yang sebenarnya
menyatakan dimensi dan konfigurasi aktual dari semua makhluk yang ada
didalamnya. Selain itu, sistem pengetahuan manusia dalam basis geometri,
abjad/alfabet, desimal sebenarnya adalah wahyu-wahyu elementer sebagai
fondasi wahyu yang diaktualkan atau Wahyu Yang Diwahyukan melalui suatu
mediator antara dengan maupun tanpa suatu proses. Ciri khas yang muncul
kemudian dinyatakan sebagai suatu prinsip dasar penciptaan makhluk, baik yang
langsung melalui tangan-tangan Ilahi maupun kita sebutkan sebagai makhluk
buatan manusia, sehingga dalam konsep dasar ilmu pengetahuan di bidang
geometri maupun bilangan muncul batasan-batasan (kendala), sistem
berpasangan, misalnya pasangan bilangan prima dan genap dengan Prima
Utama atau Angka Satu sebagai Sebab Tunggal dan Unik.
Bilangan Satu adalah aksioma mutlak benar yang menjadi dasar geometri,
bilangan dan susunan huruf. Aksioma ini memang wajib mejadi mutlak benar
sebab kalau tidak sistem ilmu pengetahuan manusia bisa dikatakan runtuh sama
sekali dan tidak mewakili realitas yang sebenarnya (artinya sains atau semua
ungkapan simboliknya menjadi sekedar permainan atau anagram bilangan dan
huruf mirip permainan scramble saja).
Kalau kita berbicara dengan pemahaman matematis, maka bilangan Satu secara
numerik menjadi asumsi yang wajib dianut semua manusia yang akal pikirannya
menyepakati sistem bilangan dan logikanya, abjad, alfabet, atau jenis huruf
lainnya. Bilangan satu dikatakan sebagai representasi sumber asal dari semua
pengetahuan yang tercerap dan mendeskripsikan semua makhluk yang ada
didalamnya. Jadi, semua makhluk asalnya dari penguraian yang satu yang
kemudian didiferensiasikan menjadi potongan-potogan kecil atau diskrit sebagai
entitas yang mungkin baru sama sekali setelah disusun ulang dan akhirnya
menjadi makhluk yang disebut dengan “penamaan” baru. Jadi, apa yang kita
sebut sebagai benda-benda aslinya memang suatu entitas makhluk yang
kemudian disepakati oleh manusia dengan “bilangan , abjad, maupun alfabet”
untuk diidentifikasikan. Bentuk aslinya mungkin akan sama sekali lain jika ada
misalnya makhluk asing yang bukan berasal dari sistem alam semesta kita.
Dalam arti yang spesifik makhluk itu berada di luar spektrum akal pikiran kita
karena kita pun tak mengenali wujud dan bentuknya. Sebagai contoh yang
gamblang, apa yang akan Anda lihat kalau retina mata kita mampu menerima
frekuensi di luar spektrum cahaya tampak? Saya yakin, Anda tak akan melihat
bentuk kebendaan namun bentuk-bentuk yang energetis karena retiona mata
kita tidak melihat batas-batas yang jelas. Jadi, ekspresi lahir dan batin manusia
di alam fisikal dalam spektrum cahaya nampak menjadi sangat terbatas dan
sama sekali tidak bebas. Kebebasan adalah ilusi dan delusi mental kita yang
mirip dengan ilusi dan delusi tokoh antagonis yang dikenal sebagai Iblis yang
mengira dapat menjadi kekal.
Realitas dimensi ke-4 sebagai waktu akan mempunyai makna yang nyata jika 23
sebagai 46 (kromosom menjadi manusia) menyadari bahwa eksistensinya nyata
karena ia berkesadaran dan berakal pikiran yang mampu menyerap sistem
pengetahuan yang diperkenalkan oleh Penciptanya yang sejatinya muncul di
alam inderawi sebagai bentuk jasad dan ruhaniah dirinya (lahir dan batin).
Karena itu manusia yang tidak menyadari eksistensinya tidak akan mampu
menyingkap dimensi waktu yang sebenarnya, yang sejatinya hanya sekedar
denyutan dari Kehendak Penciptanya.
Artinya, dirinya sebagai makhluk yang berjasad dan berjiwa sejatinya akan
menyingkap eksistensi dirinya yang maya jika ia menggunakan dimensi waktu
dengan benar yaitu waktu sebagai al-Ashr bukan sekedar dimensi waktu yang
materialistik semata. Ketika kesadaran atas al-Ashr muncul, maka ia akan
memahami esensi ruhaniahnya selalu berkaitan dengan munculnya kesadaran
atas waktu. Ketika ia bangun dari tidurnya, dan ia mencerap dimensi ruang
waktunya, maka ia merasakan kehidupannya. Oleh karena itu, kesadarannya
sejatinya dimensi ke-5 yang menghubungkan dirinya dengan Tuhannya. Tanpa
pemahaman demikian maka ia akan terpenjara dalam lingkaran setan
materialistik dirinya sebagai makhlukd engan kodefikasi 2x23=46 dalam alam 4
dimensi yang materialiastik. Padahal alam 4 dimensi tidak bersifat kekal namun
maujud karena adanya ukuran yang tertentu yaitu al-Ashr sebagai kesadarannya
yang memiliki kepastian bahwa suatu saat ia tak lagi dapat mencerap alam 4
dimensinya. Dalam hal ini 3 dimensi ruang dan 1 dimesi waktu adalah ukuran-
ukuran yang membatasi eksistensinya di alam 4 dimensi. Jadi ia akan mati,
musnah dan binasa.
Oleh karena itu kebebasan dan kekekalan bagi makhluk berkode 46 adalah ilusi
semata, karena kekekalan adalah milik angka 1 sebagai Prima kausa. Makhluk
dengan kodefikasi 23 (al-Mukminun) yang menjadi 46 (kode kromosom manusia
dalam keadaan berpasangan), dan akhirnya menjadi 76 (al-Insaan) ketika
dimensi fisikalnya terasakan, dan menjadi 114 (an-Naas) ketika sistem
desimalnya dibantu dengan 28 sistem alfabet yang menyebabkan dirinya
memahami makna-makna, akan terjebak dalam lingkaran kedunguan Ablasa jika
tidak menyadari kefanaan dirinya. Ia akan terjebak dalam penjara, akan tersiksa,
termusnahkan, dan dalam keadaan kebingungan jika ia sebagai 114 (an-naas)
tidak menyingkap realitas dirinya dan alam 4 dimensi dimana ia tinggal
didalamnya, maka ia akan menjdi sehina-hinanya makhluk yang gagal untuk
menyatakan kesempurnaan dirinya.
Angka 24 bagi 114 sejatinya adalah ukuran sebagai satuan dimana ia mencerap
citarasa dirinya sebagai makhluk yang dihidupkan dan dimatikan. 24 kemudian
menjadi ketentuan dari tempat dimana 114 tinggal didalamnya yaitu periode
sehari semalam selama 24 jam. Jadi 1 siklus selama 24 jam itu kemudian
menjadi 1 dan 8 sebagai 18 yaitu konstruksi yang mulai eksis dan tegak berdiri
sebagai makhluk hidup dan 1+8 sebagai 9 atau sebagai batas akhir dimana
dirinya harus tertunduk berserah diri di hadapan Penciptanya dengan ampunan
dan taubat. Pengertian 9 kemudian menjadi nomor pertobatan sebagai
aktualisasi dari 234 maghfirah sebelum dirinya menyingkap bahwa setelah
sembilan sejatinya ia kembali ke angka 1.
Secara lahiriah, proses kembali kepada Yang Esa atau Yang Satu dipahami
sebagai 9+1=10 atau 9 dan 1 sebagai 91 yaitu wujudnya cahaya hakiki dimana
semua eksistensi kemakhlukan hanya tegak karena adanya Celupan Ilahiyah
(Shibghtalaahi) dari Prima Kausa sebagai Allah. Itulah yang wujud ketika dirinya
berserah diri sebagai makhluk yang lemah yang sejatinya sekedar cermin,
sekedar media untuk menyatakan Kebesaran, Keagunngan, dan
Kamahaindahan Sang Pencipta, Dialah Allah sebagai Prima Kausa.
Dari uraian demikian, maka realitas yang tampil dengan dukungan sistem
desimal dan alfabet/abjad, yaitu bilangan 23 sebagai al-Mukminun maupun
jumlah kromosom manusia (2x23=46) dalam keadaan awalnya adalah realitas
yang muncul dengan kesempurnaan angka 10 dan dengan kesadarannya yang
muncul sebagai makhluk yang tidak mampu tegak berdiri atau lemah, yaitu
mandirinya pengakuan dan keyakinan yang menjadi keimanan dengan tauhid
“Tiada tuhan selain Allah”, Dan Dia Maha Esa, sebagai penyaksian awal dan
akhir eksistensi yang melingkar, menutup ke dirinya sendiri sebagai suatu
“tanda” untuk melihat kepada realitas dari “keajaiban” dirinya sebagai manusia
yang beriman, yaitu sebagik-baiknya makhluk karena berakal pikiran dan berjiwa
yang murni dan lembut. Formulasinya pun menjadi gambaran yang nyata bahwa
selain angka 1 sejatinya adalah maya, dan cerapan dari semua pengetahuan
yang tampil bagi al-Mukminun, baik sebagai ladang amal, pembelajaran, maupun
ladang peribadahan adalah.
1x(1001x2x3+10x23)=6236
Dengan komposisi yang kaku namun liat, tertutup namun terbuka, maka al-
Qur’an adalah Kitab Tentang Segala Sesuatu yang berbicara dalam banyak hal
tentang pengetahuan yang terpahami manusia sejak zaman dahulu, masa kini,
maupun masa depan. Ia menjadi kitab rujukan semua manusia dengan berbagai
potensi kecerdasan, kekayaan, kemiskinan, kesempurnaaan, kecacatan, atau
apapun kondisi manusia saat itu. Keajaiban kodefikasi al-Qur’an adalah
keajaiban “manusia” yang pengetahuannya saat ini bersandar pada sistem
pengetahuan tertutup yang merujuk kepada dirinya sendiri sebagai cermin yaitu
sistem pengetahuan berbasis bilangan desimal, biner, dan 28 huruf alfabet yang
sejatinya semua itu berasal dari Allah, sebagai Ar-Rahmaan, sebagai Rabbul
Aalamin, dan Nama-nama Agung lainnya. Menjadi mustahil untuk mengubah
koefikasi al-Qur’an baik nomor maupun hurufnya, karena kemustahilan itu
muncul dari bukti yang nyata bahwa selama ini kita beraktivitas dengan sistem
pengetahuan desimal, biner, dan alfabet. Mengubah kodefikasi al-Qur’an sama
saja dengan menyatakan bahwa sistem desimal, biner, abjad/alfabet, kata-kata
kita, mimpi-mimpi kita, angan-angan kita, dan apa yang tercerap oleh inderawi
lahiriah maupun batiniah manusia “harus diubah”.
Al Qur’an dengan kodefikasi dan komposisinya saat ini adalah kitab suci yang
menghimpun Wahyu Ilahi yang pernah sampai kepada manusia sebagai Bani
Adam. Oleh karena itu al-Qur’an sejatinya merupakan suatu bukti bahwa
semuanya akan kembali kepada Prima Kausa. 6236 ayat sebagai jumlah ayat al-
Qur’an adalah bilangan optimum yang aktual bagi 23 untuk mencerap dirinya
sebagai makhluk yang diciptakan dari keinginan dan kehendak Yang Esa, maka
semua yang tercitra di alam 4 dimensi plus kesadaran atau dalam kontinuum
Kesadaran-Ruang-Waktu sebagai sistem pengetahuan 23 sebagai manusia
sejatinya hanya sekedar tampilnya Pengetahuan Yang Esa, dan sifat
pengetahuan itu menjadi semu atau maya.
Masyarakat Quraisy bisa dikatakan sebagai Global Village baik secara historis,
maupun kenyataan yang ada saat itu. Maka saat itu juga lahirlah Muhammad
SAW sebagai pembeda yang akan memurnikan kembali Tauhid sebagai ajaran
yang meng-Esakan Tuhan. Tauhid dimulai di Mekkah dan dimurnikan kembali
ditempat asalnya dimana ajaran itu muncul yaitu Ibrahim a.s. Jadi konteks
budaya ketika kita menyimpulkan al-Qur'an sebagai produk budaya Arab sama
sekali kurang tepat.
Karena itu tidak ada relevansinya menyatakan al-Qur'an produk budaya Arab
walaupun pentas dimana al-Qur'an diturunkan berada di tanah Arab karena segi
historis dan pemodelan manusia yang ada saat itu memenuhi kriteria manusia
maupun masyarakat yang berlaku sepanjang masa, yaitu manusia yang memiliki
kesombongan seperti gunung batu al-Hijr, yang hatinya bolak balik tidak
menentu, namun juga manusia yang dapat memiliki kesempurnaan sebagai
“insaana fii ahsaani takwiim”.
Huwa.
Bismillahirrahmanirrahiim,
Alhamdulillahi rabbil aalamin
Ar Rahmanir rahiim
Maliki yaumid diin
Iyyaaka naqbudu wa iyya kanastaain
ihdinash shirathaal mustaqiim,
shiratala ladzina anamta alaihim
ghairil maghdubi alaihim walad dzolin
Amiin