You are on page 1of 17

Nabi Muhammad SAW, Al Qur’an Dan Sistem

Pengetahuan Manusia

Kodefikasi Al Qur’an dan Sistem Ilmu Pengetahuan

Selama berabad-abad, para peneliti sejarah al-Qur’an selalu menemui


ketakjuban dengan komposisi dan kodefikasinya. Meskipun al-Qur’an
diwahyukan dan dikitabkan sejak berabad-abad yang lalu, jauh sebelum sains
modern diperbarui setelah tidur panjangnya, siapapun yang mengkaji al-Qur’an
dengan teliti dan jujur akan menemui suatu fakta yang menarik bahwa komposisi
dan kodefikasinya adalah suatu komposisi dan kodefikasi yang meliputi berbagai
ilmu pengetahuan baik yang pasti maupun yang abstrak.

Yang pasti, bersandar pada komposisi dan kodefikasi numerik yang melibatkan
penomoran surat, ayat , jumlah huruf atau nilai numerik susunan kata dan
hurufnya (al-Jumal bahasa Arab). Pengetahuan yang pasti mengandung suatu
kaidah bagaimana logika manusia harus disusun dengan suatu konsep yang
generik dengan algoritma yang kalau ditinjau kembali dari sejarah sains telah
dikonsepkan secara aritmatis oleh Phyttagoras (600-500 SM) dan akan merujuk
pada algoritma Euclids seorang filsuf dan ilmuwan era Yunani Kuno (sekitar 350
SM).

Yang tidak pasti menjadi suatu syair yang sangat indah dengan corak yang khas
dimana faktor pengajaran bagi manusia sangat dominan baik melalui kisah,
ungkapan ruhaniah yang berkaitan langsung dengan kondisi kejiwaan manusia,
sejarah umat, maupun konsep recursive atau syair yang berulang dengan corak
dan konteks yang berbeda yang mampu menembus struktur psikis dan mengsuik
kondisi jiwa manusia yang terdalam untuk sejenak merenung dan pada tingkat
pengaruh yang tinggi akan mengubah akhlak dan perilaku menuju kemuliaan
manusia sebagai makhluk berakal pikiran dan mempunyai instrumen ruhaniah
atau hati yang dapat menjadi halus dan lembut sebagai radar Pesan-pesan Ilahi.

Sintesa rasional dan ruhaniah ini menunjukkan intelektualitas dan kualitas


ruhaniah dari sang penerima wahyu itu sendiri yang mampu memaknai semua
cerapan fonemenologis Pesan-pesan Ilahi menjadi Wahyu Yang Diwahyukan
dari Tuhannya. Wahyu yang Diwahyukan adalah pengetahuan teringgi sebagai
firman Tuhan yang muncul dari kemandirian yang tampil dari kondisi psikogis-
ruhaniah Nabi Muhammad SAW sendiri yang berserah diri di hadapan Tuhannya
bahwa apa yang diterimanya semata-mata atas idzin dan kehendak Tuhannya,
dan bukan pengetahuanh miliknya. Pesan itu akhirnya aktual dan menjadi
Wahyu sebagai penjelasan bahwa apa yang diungkapkan oleh akal pikiran dan
hati Nabi Muhammad SAW sebagai penerima wahyu adalah suatu pengetahuan
azali dari sumber yang sama dengan Kitab-kitab Agama lainnya yang benar dan
ilmu rasional yang benar yang telah mulai direnungkan bangsa Ionia sejak era
Thales (700-600 SM) yang sebelumnya telah berserakan di dunia dengan
ungkapan buah Tiin dan Buah Zaitun yang diberkahi, yang menjadi masak di
suatu tempat yang nyaris terkucil yaitu Mekkah, dan pada akhirnya menjadi
pedoman serta wacana fundamental umat manusia ketika semua ilmu
pengetahuan itu dimurnikan kembali menjadi Pengetahuan Tauhid dan kemudian
terdiferensasikan lebih terperinci menjadi berbagai ilmu pengetahuan dengan
landasan aksioma mutlak benar yaitu Bilangan 1 sebagai simbolisme Allah, al-
Haqq, Tuhan Yang Esa; atau landasan masa kini sebagai sains dan teknologi
dijital.

Yang Satu Adalah Aksioma Mutlak Benar

Bagaimana sebenarnya sistem ilmu pengetahuan manusia saat ini dan kaitannya
dengan komposisi atau kodefikasi al-Qur’an? Sistem pengetahuan yang
dipahami oleh manusia sebagai makhluk berakal pikiran adalah sistem yang
menjelaskan sistem kehidupan yang berubah dan tertutup yang sebenarnya
menyatakan dimensi dan konfigurasi aktual dari semua makhluk yang ada
didalamnya. Selain itu, sistem pengetahuan manusia dalam basis geometri,
abjad/alfabet, desimal sebenarnya adalah wahyu-wahyu elementer sebagai
fondasi wahyu yang diaktualkan atau Wahyu Yang Diwahyukan melalui suatu
mediator antara dengan maupun tanpa suatu proses. Ciri khas yang muncul
kemudian dinyatakan sebagai suatu prinsip dasar penciptaan makhluk, baik yang
langsung melalui tangan-tangan Ilahi maupun kita sebutkan sebagai makhluk
buatan manusia, sehingga dalam konsep dasar ilmu pengetahuan di bidang
geometri maupun bilangan muncul batasan-batasan (kendala), sistem
berpasangan, misalnya pasangan bilangan prima dan genap dengan Prima
Utama atau Angka Satu sebagai Sebab Tunggal dan Unik.

Bilangan Satu adalah aksioma mutlak benar yang menjadi dasar geometri,
bilangan dan susunan huruf. Aksioma ini memang wajib mejadi mutlak benar
sebab kalau tidak sistem ilmu pengetahuan manusia bisa dikatakan runtuh sama
sekali dan tidak mewakili realitas yang sebenarnya (artinya sains atau semua
ungkapan simboliknya menjadi sekedar permainan atau anagram bilangan dan
huruf mirip permainan scramble saja).

Kalau kita berbicara dengan pemahaman matematis, maka bilangan Satu secara
numerik menjadi asumsi yang wajib dianut semua manusia yang akal pikirannya
menyepakati sistem bilangan dan logikanya, abjad, alfabet, atau jenis huruf
lainnya. Bilangan satu dikatakan sebagai representasi sumber asal dari semua
pengetahuan yang tercerap dan mendeskripsikan semua makhluk yang ada
didalamnya. Jadi, semua makhluk asalnya dari penguraian yang satu yang
kemudian didiferensiasikan menjadi potongan-potogan kecil atau diskrit sebagai
entitas yang mungkin baru sama sekali setelah disusun ulang dan akhirnya
menjadi makhluk yang disebut dengan “penamaan” baru. Jadi, apa yang kita
sebut sebagai benda-benda aslinya memang suatu entitas makhluk yang
kemudian disepakati oleh manusia dengan “bilangan , abjad, maupun alfabet”
untuk diidentifikasikan. Bentuk aslinya mungkin akan sama sekali lain jika ada
misalnya makhluk asing yang bukan berasal dari sistem alam semesta kita.
Dalam arti yang spesifik makhluk itu berada di luar spektrum akal pikiran kita
karena kita pun tak mengenali wujud dan bentuknya. Sebagai contoh yang
gamblang, apa yang akan Anda lihat kalau retina mata kita mampu menerima
frekuensi di luar spektrum cahaya tampak? Saya yakin, Anda tak akan melihat
bentuk kebendaan namun bentuk-bentuk yang energetis karena retiona mata
kita tidak melihat batas-batas yang jelas. Jadi, ekspresi lahir dan batin manusia
di alam fisikal dalam spektrum cahaya nampak menjadi sangat terbatas dan
sama sekali tidak bebas. Kebebasan adalah ilusi dan delusi mental kita yang
mirip dengan ilusi dan delusi tokoh antagonis yang dikenal sebagai Iblis yang
mengira dapat menjadi kekal.

Orang-orang di Timur Tengah dan sekitarnya kemudian menyepakati simbolisme


angka satu itu sebagai Sebab Utama dan kemudian dikonversikan menjadi lafaz
yang diungkapkan dengan kata-kata, namanya menjadi “Allah”, “YHVH”, ataupun
sebutan lainnya yang menunjukkan suatu ungkapan dengan kualitas ruhani dan
intelektual tertinggi untuk menyatakan suatu ungkapan simbolis bahwa angka
satu adalah simbolisme dari “Allah”, sebagai Tuhan Yang Maha Esa. Ketika saya
gunakan susuan kalimat “Tuhan Yang Maha Esa” sebenarnya kalimat tersebut
adalah penegasan dimana bahasa Sanksekerta telah diserap dan digunakan
oleh lidah orang melayu Indonesia untuk menegaskan ungkapan simbolis “Allah”
sebagai Tuhan Yang Satu, Tunggal, dan Unik yang penampilannya nama-nama,
sifat-sifat dan perbuatannya telah terurai dengan berbagai penyebutan.

Selain ungapan bilangan 1 sebagai Prima Kausa atau sebagai simbolisme


tentang Tuhan Yang Esa, bilangan-bilangan juga mengungkapkan aspek-aspek
penting manusia ketika menjelaskan cerapan fenomenologis yang diterima
inderawi fisikal dan ruhaninya karena adanya cahaya matahari sebagai pusat
dari sistem kehidupannya yang terbatas di tatasurya. Sebagai contoh bilangan
prima 2,3,5, dan 7 adalah 4 bilangan yang menyatakan banyaknya dimensi yang
dikenali di alam tersebut yaitu 3 dimensi menyatakan ruang dan 1 dimensi waktu.
Angka Satu adalah dimensi ke-5 yang sejatinya muncul ketika makhluk yang
tinggal didalamnya menggunakan instrumen kesadaran yang lebih bersifat
psikologis-ruhaniah untuk memahami eksistensi-Nya yaitu citarasa
berkesadarannya sebagai makhluk yang serba terbatas dan tidak bisa mandiri. 4
bilangan prima tersebut menjadi sebab munculnya pasangan yang menutup
keunikan bilangan prima tersebut sehingga bilangan prima merupakan pasangan
bilangan lainnya yang muncul dari penambahan satu persatu atau dengan
bantuan Angka Satu. Jadi, bilangan genap 4,6,8,9 sejatinya adalah pasangan
yang melengkapi bilangan prima. Bilangan 2 dan 3 dalam keadaan unifikasi
adalah 23, bilangan tersebut menjadi esensi makhluk yang diciptakan dan hidup
didalam sistem berpasangan dengan kesempurnaan yang dimaujudkan oleh
peniadaan eksistensi dirinya dengan bantuan Prima Kausa yaitu “1 dan 0”
sebagai 10 dan 10 sebagai biner yaitu angka 2.

Akar 2 Menjadi 2 Sebagai Pasangan kromosom

Sehingga sejatinya semua realitas yang dicerap inderawi manusia di tatasurya


(saja) dibangkitkan oleh ungkitan angka 2 yang berasal dari akar 2 dengan
penguraian atau konsep saling berpasangan yang sebenarnya menunjukkan
keadaan yang real dari semua eksistensi yang ada di alam tersebut. Peniadaan
dirinya menyebabkan 10 menjadi “01” sebagai keyakinan yang tumbuh mandiri
setelah angka 10 dijelajahi menjadi suatu bayangan kesempurnaan yang wujud
dari Angka 1 dengan “peniadaan”. Dalam arti khusus maka 01 menjadi totalitas
kepasrahan dan pengakuan bahwa esensi bilangan selain 1 sebenarnya tidak
ada jika akar 2 tidak menyingkapkan dirinya sebagai 2, sebagai suatu sistem
berpasangan. Selain itu makna 10 juga dimaksudkan sebagai 23 dalam keadaan
berpasangan yaitu 2x23=46 dengan pemisahan dimana 4+6 akhirnya menjadi
10.

Angka 23 dalam keadaan berpasangan menjadi 46 adalah kode kromosom


manusia dalam keadaan berpasangan yaitu 23 kromosom Bapak dan 23
kromosom Ibu. Dalam keadaan berpasangan maka eksistensi lainnya muncul
dan berkembang biak. Dalam banyak segi bilangan prima dan genap yaitu 23
dan 46 membangun suatu sistem penciptaan sebagai 69 dan akhirnya sistem
pengetahuan yaitu dari bilangan dasar 1,2,3, 7 dan 10 yang dapat diringkas
hanya menjadi 2 yaitu 1 dan 0 atau 0 dan 1 sebagai suatu realitas bahwa dunia
fisikal yang tercerap oleh 23 adalah maya dan sekedar mimpi 1001 malam bagi
semua makhluk yang ada di dalamnya.

Bilangan yang muncul sejatinya hanya mencakup 2,3,5,dan 7 sebagai bilangan


prima utama dimana angka 1 menjadi sebab absolut yang mesti ada. Jika tidak
semua eksistensi di dalam alam yang diciptakan dengan kekuatan 69 oleh
Angka 1 sebagai Prima Kausa dikatakan sama sekali tidak ada atau maya
adanya. Dari jumlahan 2,3,5,7 menjadi 2+3+5+7=17, maka 17 adalah sebuah
ketentuan untuk memunculkan eksistensi yang berpasangan. Dengan demikian
makhluk yang wujud diantara bilangan prima utama yaitu 4 dan 6 sebenarnya
adalah 46 sebagai hasil dari 23 dalam keadaan berpasangan, atau dengan suatu
ketentuan yang pasti terjadi. Jika tidak, atau jika ketentuan dilanggar maka
semuanya akan runtuh dan ambruk.

Dari wujudnya 46 sebagai makhluk yang berbentuk 3 dimensi, 1 dimensi yang


muncul adalah bagian dari kesadaran dari sistem kealaman yang diciptakan
dengan 7 tatanan dalam konfigurasi 1 dan 6 atau 16. Konfigurasi itu dapat
dimaknai sebagai 6 alam yang ditopang oleh Yang Satu, atau 1 alam yang nyata
mampu mencerap dengan kesadaran ditopang oleh 6 lainnya dimana 1
diantaranya adalah Prima Kausa. Yang tampil dan dapat dicitrakan oleh
kodefikasi 23 adalah 4 alam dimensi sebagai realitas yang tercitarasakan
dengan pengetahuan desimal 1,2,3,4,5,6,7,8,9 dan 10. Maka 234 adalah
limpahan maghfirah dari angka 1 dan jumlah akumulatif dari bilangan desimal
adalah 55 sebagai aktualnya pasangan yang melimpahkan rahmat dan kasih
sayang dari kekuasaan yang wujud dari sistem berpasangan sebagai sistem Ba
yaitu kekuasaan Ar-Rahmaan. Oleh karena itu angka 4 dikatakan sebagai angka
kesempurnaan yang menampilkan sifat-sifat dari angka 1; sedangkan angka 6
adalah nama-nama dan sifat-sifat yang sejatinya muncul dari angka 1 dikali 2
dikali 3 (1x2x3) atau 3 atribut dalam keadaan berpasangan yang muncul untuk
mengenali angka 1 sebagai sebab utama yaitu Ar-Rahmaaan, ar-Rahiim, al-
Hayyu-al-Qayyum, al-Iradah-al-Qudrah dan angka 1 adalah Allah sebagai
Realitas Absolut Yang Maha Esa sebagai Prima Kausa atau Sebab Utama.

Kesadaran Atas Waktu

Realitas dimensi ke-4 sebagai waktu akan mempunyai makna yang nyata jika 23
sebagai 46 (kromosom menjadi manusia) menyadari bahwa eksistensinya nyata
karena ia berkesadaran dan berakal pikiran yang mampu menyerap sistem
pengetahuan yang diperkenalkan oleh Penciptanya yang sejatinya muncul di
alam inderawi sebagai bentuk jasad dan ruhaniah dirinya (lahir dan batin).
Karena itu manusia yang tidak menyadari eksistensinya tidak akan mampu
menyingkap dimensi waktu yang sebenarnya, yang sejatinya hanya sekedar
denyutan dari Kehendak Penciptanya.

Artinya, dirinya sebagai makhluk yang berjasad dan berjiwa sejatinya akan
menyingkap eksistensi dirinya yang maya jika ia menggunakan dimensi waktu
dengan benar yaitu waktu sebagai al-Ashr bukan sekedar dimensi waktu yang
materialistik semata. Ketika kesadaran atas al-Ashr muncul, maka ia akan
memahami esensi ruhaniahnya selalu berkaitan dengan munculnya kesadaran
atas waktu. Ketika ia bangun dari tidurnya, dan ia mencerap dimensi ruang
waktunya, maka ia merasakan kehidupannya. Oleh karena itu, kesadarannya
sejatinya dimensi ke-5 yang menghubungkan dirinya dengan Tuhannya. Tanpa
pemahaman demikian maka ia akan terpenjara dalam lingkaran setan
materialistik dirinya sebagai makhlukd engan kodefikasi 2x23=46 dalam alam 4
dimensi yang materialiastik. Padahal alam 4 dimensi tidak bersifat kekal namun
maujud karena adanya ukuran yang tertentu yaitu al-Ashr sebagai kesadarannya
yang memiliki kepastian bahwa suatu saat ia tak lagi dapat mencerap alam 4
dimensinya. Dalam hal ini 3 dimensi ruang dan 1 dimesi waktu adalah ukuran-
ukuran yang membatasi eksistensinya di alam 4 dimensi. Jadi ia akan mati,
musnah dan binasa.

Oleh karena itu kebebasan dan kekekalan bagi makhluk berkode 46 adalah ilusi
semata, karena kekekalan adalah milik angka 1 sebagai Prima kausa. Makhluk
dengan kodefikasi 23 (al-Mukminun) yang menjadi 46 (kode kromosom manusia
dalam keadaan berpasangan), dan akhirnya menjadi 76 (al-Insaan) ketika
dimensi fisikalnya terasakan, dan menjadi 114 (an-Naas) ketika sistem
desimalnya dibantu dengan 28 sistem alfabet yang menyebabkan dirinya
memahami makna-makna, akan terjebak dalam lingkaran kedunguan Ablasa jika
tidak menyadari kefanaan dirinya. Ia akan terjebak dalam penjara, akan tersiksa,
termusnahkan, dan dalam keadaan kebingungan jika ia sebagai 114 (an-naas)
tidak menyingkap realitas dirinya dan alam 4 dimensi dimana ia tinggal
didalamnya, maka ia akan menjdi sehina-hinanya makhluk yang gagal untuk
menyatakan kesempurnaan dirinya.

Komposisi dan Kodefikasi Al Qur’an

Ketika ia berhasil menerobos pengertian 4 dimensinya, sejatinya ia akan


membuka tabir dirinya sebagai kesempurnaan angka 4 dengan huruf Ba (dari
Basmalah) yang menyingkapkannya yaitu menjadi 2x4 sebagai 8 dan sebagai
unifikasi 2 dan 4 atau 24 yaitu bagaimana alam 4 dimensinya berputar secara
periodik dan bagaimana eksistensinya tak lebih dari medium penampilan yaitu
sebagai cermin dari atribut yang ditampilkan oleh angka 1 yaitu Asma dan Sifat-
Nya. Ketika cermin itu tampil, yang tampil sejatinya adalah 8 sebagai cermin dan
24 sebagai satu siklus yang mendefinisikan dirinya sebagai makhluk yang
eksistensinya ditentukan oleh probabilitas kehendak Angka satu sebagai suatu
kondisi "hidup dan mati".

Angka 24 bagi 114 sejatinya adalah ukuran sebagai satuan dimana ia mencerap
citarasa dirinya sebagai makhluk yang dihidupkan dan dimatikan. 24 kemudian
menjadi ketentuan dari tempat dimana 114 tinggal didalamnya yaitu periode
sehari semalam selama 24 jam. Jadi 1 siklus selama 24 jam itu kemudian
menjadi 1 dan 8 sebagai 18 yaitu konstruksi yang mulai eksis dan tegak berdiri
sebagai makhluk hidup dan 1+8 sebagai 9 atau sebagai batas akhir dimana
dirinya harus tertunduk berserah diri di hadapan Penciptanya dengan ampunan
dan taubat. Pengertian 9 kemudian menjadi nomor pertobatan sebagai
aktualisasi dari 234 maghfirah sebelum dirinya menyingkap bahwa setelah
sembilan sejatinya ia kembali ke angka 1.

Secara lahiriah, proses kembali kepada Yang Esa atau Yang Satu dipahami
sebagai 9+1=10 atau 9 dan 1 sebagai 91 yaitu wujudnya cahaya hakiki dimana
semua eksistensi kemakhlukan hanya tegak karena adanya Celupan Ilahiyah
(Shibghtalaahi) dari Prima Kausa sebagai Allah. Itulah yang wujud ketika dirinya
berserah diri sebagai makhluk yang lemah yang sejatinya sekedar cermin,
sekedar media untuk menyatakan Kebesaran, Keagunngan, dan
Kamahaindahan Sang Pencipta, Dialah Allah sebagai Prima Kausa.

Dari uraian demikian, maka realitas yang tampil dengan dukungan sistem
desimal dan alfabet/abjad, yaitu bilangan 23 sebagai al-Mukminun maupun
jumlah kromosom manusia (2x23=46) dalam keadaan awalnya adalah realitas
yang muncul dengan kesempurnaan angka 10 dan dengan kesadarannya yang
muncul sebagai makhluk yang tidak mampu tegak berdiri atau lemah, yaitu
mandirinya pengakuan dan keyakinan yang menjadi keimanan dengan tauhid
“Tiada tuhan selain Allah”, Dan Dia Maha Esa, sebagai penyaksian awal dan
akhir eksistensi yang melingkar, menutup ke dirinya sendiri sebagai suatu
“tanda” untuk melihat kepada realitas dari “keajaiban” dirinya sebagai manusia
yang beriman, yaitu sebagik-baiknya makhluk karena berakal pikiran dan berjiwa
yang murni dan lembut. Formulasinya pun menjadi gambaran yang nyata bahwa
selain angka 1 sejatinya adalah maya, dan cerapan dari semua pengetahuan
yang tampil bagi al-Mukminun, baik sebagai ladang amal, pembelajaran, maupun
ladang peribadahan adalah.

1x(1001x2x3+10x23)=6236

Yang Esa = 6236/(1001x2x3+10x23)

Yaitu sebagai al-Qur’an yang disusun dan dikodefikasikan dengan basis


Pengetahuan Tuhan yang tampil dan dipahami oleh al-Mukminun yaitu sistem
desimal, biner dan 28 huruf abjad. Oleh karena itu susunan nomor surat, nomor
ayat, nama surat, dan setiap huruf maupun kata yang mengawali setiap
komposisi surat dan ayat tidak akan dapat berubah. Karena sifat ketertutupan
dan keterbatasan pengetahuan manusia itu sendiri yang sejatinya merujuk
kepada “keajaiban” wujudnya yang fisikal maupun yang non fisikal, yang lahiriah
maupun yang batiniah. Merubah satu huruf dalam suatu komposisi nomor surat
dan ayat tertentu, akan menyebabkan keruntuhan sistem pengetahuan manusia
yang disepakati saat ini berupa bilangan desimal yang sejatinya merujuk kepada
sepasang 5 jari tangan manusia dan meruntuhkan sistem abjad/alfabet dari Alif
sampai Ya, dari A sampai Z, dari Alfa sampai Omega.

Dengan komposisi yang kaku namun liat, tertutup namun terbuka, maka al-
Qur’an adalah Kitab Tentang Segala Sesuatu yang berbicara dalam banyak hal
tentang pengetahuan yang terpahami manusia sejak zaman dahulu, masa kini,
maupun masa depan. Ia menjadi kitab rujukan semua manusia dengan berbagai
potensi kecerdasan, kekayaan, kemiskinan, kesempurnaaan, kecacatan, atau
apapun kondisi manusia saat itu. Keajaiban kodefikasi al-Qur’an adalah
keajaiban “manusia” yang pengetahuannya saat ini bersandar pada sistem
pengetahuan tertutup yang merujuk kepada dirinya sendiri sebagai cermin yaitu
sistem pengetahuan berbasis bilangan desimal, biner, dan 28 huruf alfabet yang
sejatinya semua itu berasal dari Allah, sebagai Ar-Rahmaan, sebagai Rabbul
Aalamin, dan Nama-nama Agung lainnya. Menjadi mustahil untuk mengubah
koefikasi al-Qur’an baik nomor maupun hurufnya, karena kemustahilan itu
muncul dari bukti yang nyata bahwa selama ini kita beraktivitas dengan sistem
pengetahuan desimal, biner, dan alfabet. Mengubah kodefikasi al-Qur’an sama
saja dengan menyatakan bahwa sistem desimal, biner, abjad/alfabet, kata-kata
kita, mimpi-mimpi kita, angan-angan kita, dan apa yang tercerap oleh inderawi
lahiriah maupun batiniah manusia “harus diubah”.

Al Qur’an dengan kodefikasi dan komposisinya saat ini adalah kitab suci yang
menghimpun Wahyu Ilahi yang pernah sampai kepada manusia sebagai Bani
Adam. Oleh karena itu al-Qur’an sejatinya merupakan suatu bukti bahwa
semuanya akan kembali kepada Prima Kausa. 6236 ayat sebagai jumlah ayat al-
Qur’an adalah bilangan optimum yang aktual bagi 23 untuk mencerap dirinya
sebagai makhluk yang diciptakan dari keinginan dan kehendak Yang Esa, maka
semua yang tercitra di alam 4 dimensi plus kesadaran atau dalam kontinuum
Kesadaran-Ruang-Waktu sebagai sistem pengetahuan 23 sebagai manusia
sejatinya hanya sekedar tampilnya Pengetahuan Yang Esa, dan sifat
pengetahuan itu menjadi semu atau maya.

Muhammad Dan Pengungkapan Pengetahuan Tuhan Bagi Manusia

Al Qur'an bukanlah produk budaya lokal Arab meskipun ia diturunkan di tanah


Arab. Ketika manusia yang meyakini Tuhan Yang Esa mengira al-Qur'an adalah
produk budaya, maka ia menjadi syirik karena secara langsung menyatakan
keterbatasan Tuhan, dengan kata lain ia tidak memahami sifat-sifat Tuhannya
yang Maha Berpengetahuan sebagai Sumber Semua Pengetahuan. Tulisan
diatas memang akhirnya harus disadari karena saya secara pribadi meyakini dan
mengimani agama Islam sebagai agama Tauhid dimana sumber asal
pengetahuan adalah Tuhan sebagai Prima Kausa sebagai suatu aksioma mutlak
benar yang harus diyakini kebenarannya karena saya masih hidup di tatasurya
dengan cerapan inderawi pada spektrum cahaya tampak dengan panjang
gelombang 0,55 mikron. Penulis atau pembaca lain boleh saja tidak sepakat dan
hal itu dan mencerminkan logika dan apa yang diyakininya.
Budaya adalah produk aktivitas manusia, namun budaya adalah implementasi
praktis manusia yang terbatas atas anugerah yang sampai padanya karna
pemahamannya tentang Pengetahuan Tuhan yang diberikan kepadanya untuk
mengolah dan mencitarasakan dunianya, lengkap dengan konsekuensi dan
akibat yang ditimbulkannya dengan aturan main yang tetap. Turunnya al-Qur'an
di Mekkah adalah skenario yang sudah direncanakan sebelum manusia eksis.
Kondisi demikian sebenarnya merujuk kepada pengertian yang tidak dipengaruhi
ruang-waktu. Ketika Nabi Ibrahim a.s menemukan Tuhan, ia akhirnya
membangun Kabah sebagai rumah ibadah, masjid, kuil, atau apapun
penyebutan saat itu sebagai tempat untuk beribadah kepada Tuhan, sebagai
simbolisme untuk memuja dan memuji Tuhan, tempat munajat dan doa
dilantunkan. Bagi Umat islam, Ka’bah adalah kiblat sebagai simbolisme
ketundukkan diri dalam kesatuan wujud yang mutlak karena keterbatasan
inderawi fisikal maupun ruhaniahnya. Sehingga, arah shalat sebagai manifestasi
ubudiyyahnya harus diarahkan kepada titik temu yang sama yaitu menghadap
kiblat bukan mencla mencel tidak karuan. Kiblat yang sejati ada dalam diri
semua manusia yang beriman dengan benar yaitu Qalb al-Mukminun sebagai
tempat rendezvous antara “hamba dan Tuhannya”(‘Abd Allah). Ketika sejarah
berkembang seperti apa yang telah menjadi ketentuan Tuhan, maka Mekkah
kemudian menjadi tempat sakral manusia saat itu yang telah melupakan ajaran
Ibrahim dan Ismail a.s dengan menjadi pemuja berhala. Persis seperti kondisi
awal Nabi Ibrahim a.s ketika melihat realitas masyarakatnya yang pagan.

Model masyarakat Arab dengan kekhususan kaum Quraisy dimana Nabi


Muhammad SAW lahir adalah model masyarakat sebagai individu dan kelompok
yang menjadi ciri manusia umumnya. Artinya masyarakat saat itu, baik yang
berada di Mekkah maupun di seluruh dunia mempunyai penampilan lahiriah
maupun ruhaniah yang nyaris serupa, menjadi pagan total, tidak menauhidkan
Tuhan, dan sebagian kecil lainnya tetap berada di jalan lurus mengikuti ajaran
para Nabi dan Rasul. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa saat itu sebagai
ambang batas dimana Pengetahuan Tuhan telah berubah menjadi berbagai
bentuk.

Masyarakat Quraisy bisa dikatakan sebagai Global Village baik secara historis,
maupun kenyataan yang ada saat itu. Maka saat itu juga lahirlah Muhammad
SAW sebagai pembeda yang akan memurnikan kembali Tauhid sebagai ajaran
yang meng-Esakan Tuhan. Tauhid dimulai di Mekkah dan dimurnikan kembali
ditempat asalnya dimana ajaran itu muncul yaitu Ibrahim a.s. Jadi konteks
budaya ketika kita menyimpulkan al-Qur'an sebagai produk budaya Arab sama
sekali kurang tepat.

Meskipun dalam al-Qur'an tersirat lokalitas, namun globalitas pengetahuan


masyarakat Arab dengan sistem bilangan dan abjadnyanya, yang akhirnya
diterima Muhammad SAW sebagai wahyu lebih dominan. Karena itu al-Qur'an
menjadi cermin Pengetahuan Tuhan yang tampak nyata dimana Nabi
Muhammad SAW sebagai penerimanya karena sunnatullah yang pasti. Nabi
Muhammad SAW pun menjadi cermin kesempurnaan Asma dan Sifat Tuhan (QS
9:128-129) yang menampilkan akhlak dan perilaku manusia yang mulia. Ia pun
menjadi gambaran tentang sejarah hidup seorang manusia yang menerima
Pengetahuan Tertinggi Tentang Segala Sesuatu. Nabi Muhammad SAW adalah
maujud nyata dari “Knowledge Of Everything” dan ia sebagai Nabi dan Rasul
adalah Utusan Allah sebagai Adimanusia atau Manusia Sempurna yang
sesungguhnya menjadi gagasan awal dan akhir penciptaan makhluk. Oleh
karena itu, kendati ia seorang Nabi dan Rasul , ia juga seorang manusia
umumnya yang lahir, hidup, makan dan minum, beranak pinak, dan akhirnya
mati, ia pun menjadi rujukan dan model bagi semua manusia khususnya rujukan
akhlak dan perilakunya di semua zaman. Dengan demikian, setting budaya lokal
sejatinya cuma sekedar cermin yang buram yang kemudian dibersihkan, akhlak
yang tercela yang kemudian dimuliakan kembali, dengan kata lain perubahan
dalam diri manusia di semua zaman sebenarnya terwakili oleh kondisi
masyarakat Arab saat itu.
Al Qur’an sebagai Kitab Wahyu adalah al-Qur’an yang menjadi Dzikrul Lil
Aalamin dan menjadi The Book Of Everything yang akan menjadi sumber
pengetahuan yang optimum dimana pengetahuan masa lalu, masa kini, dan
masa depan manusia tercermin didalamnya sebagai Wahyu Ilahi yang diterima
oleh Nabi Muhammad SAW. Oleh karena itu, al-Qur'an pun akhirnya
bersinggungan dengan “square root of two” Phyagoras, golden ratio, bilangan,
huruf, geometri, simbol, sejarah manusia, silsilah kenabian, baik dan buruk,
perang dan damai, cinta dan benci, keakuan dan kepasrahan, Dzulkarnain dan
Yakjuj-Makjuj, akal pikiran dan penyucian jiwa, surga dan neraka, teori kuantum,
teori relativitas, dan akhirnya teori kuantum qolbu yang menuju kepada
pengertian tentang Knowledge of Everything dalam perspektif fundamental dan
luas, bukan dalam perpsektif yang sempit atau terinci meskipun isyarat
perinciannya sesekali tampil dan diulas dengan ungkapan yang terselubung
(simak makna surat al-Falaq dan teori nuklir atau pembelahan inti sel). Dan
semua itu, sebenarnya mencakup kapasitas akal pikiran manusia yang
mempunyai kemampuan tri-lateral, filosofis, logis, dan kreatif, yang sejatinya
merupakan model penalaran otimum manusia ketika manusia menyatakan
ketundukkan dirinya dihadapan Allah sebagai Tuhan Yang Esa. Artinya, wahyu
yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW yang menjadi al-Qur’an
memang sesuai dengan kapasitas yang dapat dilaksanakan oleh manusia
lainnya, dengan berbagai potensinya, dan akhirnya perbedaan akan muncul
karena berbagai sebab yang menunjukkan kemajemukan sifat dan asma Tuhan
Yang Maha Berpengetahuan.

Manusia secara umum didalam al-Qur'an dinyatakan sebagai bayangan


kesempurnaan Pengetahuan Tuhan. Dan manusia yang menjadi abidin dan
muslimun menjadi lokus penciptaan yang menjadi Nabi, Rasul, Wali , orang
beriman dan akhirnya menjadi muslimin yang mengikuti sunnatulrasul untuk
menunjukkan peran sentral peribadahan dan aktivitas muslimun sebagai cermin
Tuhan. Dan satu mukmin adalah cermin dari mukmin lainnya. Ketika Muhammad
menjadi cermin penampilan Pengetahuan Tuhan yang sempurna, maka ia
adalah manusia paripurna yang menjadi cermin dimana Tuhan yang memegang
cermin diri-Nya memantulkan cahaya ke cermin-cermin-Nya yang lain (yang
sudah menjadi buram, setengah bersih, atau sudah jernih) menimbulkan cermin
dalam cermin, maka dikatakannya mukmin adalah cermin bagi mukmin lainnya
dalam berbagai bentuk dan ukuran yang tertentu (potensi tertentu dan nyaris
tidak sama seperti keunikan sidik jari manusia), namun dengan kesempurnaan
yang serupa karena kepatuhannya untuk menjernihkan cermin yang ada
padanya yaitu qolbu yang jernih yang menjadi qolbu mukminin, yang mampu
menampung Arasy Allah. Kesamaan itu menjadi tampil ketika Umat Islam shalat,
baik sendiri-sendrii maupun berjamaah, untuk kemudian kesempurnaan yang
sama itu tampil secara lahiriah dengan ibadah Haji bagi yang memang mampu
sebagai suatu keringannan universal karena potensi manusia yang berbeda-
beda dalam aspek fisik dan lahiriah semata.

Karena itu tidak ada relevansinya menyatakan al-Qur'an produk budaya Arab
walaupun pentas dimana al-Qur'an diturunkan berada di tanah Arab karena segi
historis dan pemodelan manusia yang ada saat itu memenuhi kriteria manusia
maupun masyarakat yang berlaku sepanjang masa, yaitu manusia yang memiliki
kesombongan seperti gunung batu al-Hijr, yang hatinya bolak balik tidak
menentu, namun juga manusia yang dapat memiliki kesempurnaan sebagai
“insaana fii ahsaani takwiim”.

al-Qur'an adalah produk Pengetahuan Tuhan yang disampaikan kepada manusia


melalui esensi makhluk pertama yang diciptakan-Nya yang lahiriahnya menjadi
Nabi Muhammad SAW. Sehingga pengetahuan yang tersirat didalamnya
mencakup segala pengetahuan yang dipahami manusia sepanjang masa,
khususnya pengetahuan yang berlandaskan kepada kontinuum kesadaran-
ruang-waktu yang tak lain merupaan model hubungan Pencipta-Makhluk, Tuhan-
manusia karena sejak awal dan akhir penampilan Pengetahuan Tuhan adalah
pengenalan dari rahasia-Nya yang menjadi harta terpendam semua manusia
yaitu dirinya sendiri yang menjadi cermin dimana Pengetahuan Tuhan dapat
menetap dan manusia mampu kembali kepada-Nya dengan selamat. Karena itu
manusia mengenal-Nya karena-Nya, bukan karena kemampuannya yang
sejatinya sangat lemah.

Apapun pengetahuan Tuhan yang telah disampaikan sebagai al-Qur’an pada


akhirnya akan berguna bila ia menetap dalam qolbu manusia yang
menjadikannya sebagai pedoman dalam semua aktivitasnya. Sehingga al-Qur’an
yang suci dan bukan makhluk sejatinya al-Qur’an yang nilai-nilainya
teraktivasikan dari akal pikiran dan jiwa yang paling jernih, menetap dalam hati
dan menjadi bagian dari aktivitas manusia di ladang maghfirah-nya yang
terbentang sebagai dunia dan alam semesta. Tanpa penetapan al-Qur’an
dengan al-Yaqin, maka al-Qur’an sekedar makhluk yang menjadi pajangan di
masjid-masjid, rumah-rumah, perpustakaan, atau sekedar menjadi hiasan
lahiriah saja yang mengundang datangnya syirik dan kedengkian.

Huwa.

Qul huwallahu Ahad,


Allaahu Shamad,
Lam yalid walam yulad
wa laam yaqulla hu quffuwan ahad.

Allahu Laailaha illa huwal hayyul qayyum

Bismillahirrahmanirrahiim,
Alhamdulillahi rabbil aalamin
Ar Rahmanir rahiim
Maliki yaumid diin
Iyyaaka naqbudu wa iyya kanastaain
ihdinash shirathaal mustaqiim,
shiratala ladzina anamta alaihim
ghairil maghdubi alaihim walad dzolin

Laa Haula wala quwwata illaa billah

Laa ilaaha illaa Allah,Muhammadurrasululah.

Huwal Awwaalu wal aakhiruu


wazh zhaahiru wal baathinu
wa huwa bi kulli syaiin 'aliim

Amiin

Jakarta (623), Q, Lebak Bulus(132), 9-2-2006


Atmonadi,
Pengamat sosial dan budaya, agama, sains dan teknologi dan praktisi teknologi
informasi. Founder myquran.com.

You might also like