Professional Documents
Culture Documents
Pembimbing :
Di susun Oleh :
STATUS PASIEN
Identitas Pasien
Nama
: An. M
Usia
: 8 Tahun
Jenis Kelamin
: Perempuan
Nama Orangtua
: Ny. Hamsatun
Alamat
Tanggal masuk RS
: 24 November 2015
No.RMK
: 20115032079
Alloanamnesis pada Ibu Pasien, Tanggal 4 November 2015, Jam: 18.00 WIB
Keluhan Utama
Panas
tersebut. Nafsu makan menurun, minum cukup. Anak terlihat lemas, tidak menangis
ataupun rewel.
Penyakit Dahulu
Pasien belum pernah mengalami penyakit serupa. Riwayat asma ,
alergi, operasi, TBC disangkal.
Riwayat Keluarga
Tidak ada anggota yang memiliki keluhan serupa. Riwayat alergi, asma dan TBC
disangkal.
Riwayat Kehamilan
Selama hamil ibu pasien memeriksakan kehamilan ke bidan 1 bulan sekali. Ibu hamil
An. M pada usia 35 tahun. Ini adalah kehamilan pertama kaliya. Selama hamil ibu
tidak menderita hipertensi, diabetes melitus, eklampsia atau penyakit berat lainnya.
Ibu makan dan minum sesuai anjuran bidan.
Riwayat Persalinan
An. M lahir cukup bulan (9 bulan) di klinik bersalin ditolong oleh bidan. Pasien
merupakan anak pertama dari ibu G1P1A0. Pasien lahir spontan dan langsung
menangis. Berat lahir 2900 gr, panjang badan 50 cm dan lingkar kepala ibu mengaku
lupa. Warna air ketuban ibu jernih. Ibu mengaku An. M mendapatkan suntikan setelah
melahirkan.
Riwayat Nutrisi
0-6 Bulan
6-9 Bulan
> 1 tahun
: ASI Eksklusif
: ASI, Susu Formula dan MPA (Bubur Sun)
: Makanan keluarga.
Riwayat imunisasi :
Riwayat perkembangan
PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum
Kesadaran
: Compos Mentis
Tanda Vital
Suhu
: 36,4 oC
Nadi
Pernapasan
: 24 x/menit
Status Antropometri
Berat Badan
: 26,3 kg
Status Generalis
Kepala
Bentuk
Mata
Hidung
Telinga
Mulut
Leher
Thorax
Pulmo
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
Cor
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
:-
Auskultasi
Inspeksi
: Distensi
Auskultasi
Palpasi
Abdomen
hingga
dua
jari
dibawah
Perkusi
Ekstremitas :
processus
Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium
24-11-2015
Darah Rutin
Hemoglobin
: 16,4 gr/dl
Leukosit
: 5,8 K/uL
Hematokrit
: 49 %
LED/BSE
:-
Trombosit
: 40 K/uL
Eritrosit
: 6,46 M/uL
:0%
Eosinofil
:0%
Batang/Stat
:0%
Limfosit
: 68 %
Monosit
: 10 %
Segmen
: 22 %
24-11-2015
Serial DHF
Hemoglobin : 15,0 g/dL
Hematokrit : 44 %
Trombosit
25-11-2015
: 30 K/uL
Serial DHF
Hemoglobin : 13,9 g/dL
Hematokrit : 42 %
Trombosit
: 30 K/uL
26-11-2015
Serial DHF
Hemoglobin : 12,4 g/dL
Hematokrit : 36 %
Trombosit
: 45 K/uL
27-11-2015
Serial DHF
Hemoglobin : 11,7 g/dL
Hematokrit : 34 %
Trombosit
: 57 K/uL
RESUME:
Pasien datang dengan keluhan panas sejak 6 hari sebelum masuk rumah sakit.
Panas dirasakan naik tiba-tiba dan bertahan hingga hari ini. Pasien pusing, nyeri
pada tulang dan sendi, dan juga merasa pegal-pegal di kaki. Pasien merasa mual,
dan mengalami muntah sebanyak 1 kali semenjak tadi pagi, muntah kira-kira
sebanyak setengah gelas aqua, berisi makanan dan cairan. Terdapat nyeri perut, dan
bertambah sakit apabila di tekan di ulu hati. Pasien batuk dan juga pilek, batuk
berdahak berwarna putih. Pasien belum BAB semenjak 2 hari lalu. Trombosit dan
leukosit turun dari batas normal setelah memeriksakan darah anaknya di klinik. Nafsu
makan menurun. Anak terlihat lemas, tidak menangis ataupun rewel.
DIAGNOSIS KERJA :
Demam berdarah dengue, derajat I
DIAGNOSIS DIFERENSIAL :
1. Demam tifoid
2. Malaria
3. Leptospirosis
Penatalaksanaan
Terfacef 2 x 650 mg
Ondancentron 3 x 2,6 mg
Paracetamol 4 x 260 mg
Pseudoephedrine 2 x 1 cth
Prognosis
Ad vitam
: Bonam
Ad Functionam : Bonam
Ad Sanationam : Bonam
TINJAUAN PUSTAKA
DEFINISI
Infeksi virus dengue pada manusia merupakan suatu spektrum manifestasi klinis yang
bervariasi antara penyakit yang paling ringan (mild undifferentiated febrile illness),
demam dengue, demam berdarah dengue (DBD) sampai demam berdarah dengue
disertai syok (dengue shock syndrome/DSS). Gambaran manifestasi klinis yang
bervariasi ini memperlihatkan sebuah fenomena gunung es, dengan kasus DBD dan
DSS yang dirawat di RS sebagai puncak gunung
EPIDEMIOLOGI
Infeksi virus dengue telah ada di Indonesia sejak abad ke -18, seperti yang dilaporkan
oleh David Bylon seorang dokter berkebangsaan Belanda. Saat itu infeksi virus
dengue menimbulkan penyakit yang dikenal sebagai penyakit demam lima hari
(vijfdaagse koorts) kadang-kadang disebut juga sebagai demam sendi (knokkel
koorts). Disebut demikian karena demam yang terjadi menghilang dalam lima hari,
disertai dengan nyeri pada sendi, nyeri otot, dan nyeri kepala. Pada masa itu infeksi
virus dengue di Asia Tenggara hanya merupakan penyakit ringan yang tidak pernah
menimbulkan kematian. Tetapi sejak tahun 1952 infeksi virus dengue menimbulkan
penyakit dengan manifestasi klinis berat, yaitu DBD yang ditemukan di Manila,
Filipina. Kemudian ini menyebar ke negara lain seperti Thailand, Vietnam, Malaysia,
dan Indonesia. Pada tahun 1968 penyakit DBD dilaporkan di Surabaya dan Jakarta
dengan jumlah kematian yang sangat tinggi. Faktor-faktor yang mempengaruhi
peningkatan dan penyebaran kasus DBD sangat kompleks, yaitu (1) Pertumbuhan
penduduk yang tinggi, (2) Urbanisasi yang tidak terencana & tidak terkendali, (3)
Tidak adanya kontrol vektor nyamuk yang efektif di daerah endemis, dan (4)
Peningkatan sarana transportasi. Morbiditas dan mortalitas infeksi virus dengue
dipengaruhi berbagai faktor antara lain status imunitas pejamu, kepadatan vektor
nyamuk, transmisi virus dengue, keganasan (virulensi) virus dengue, dan kondisi
geografis setempat. Dalam kurun waktu 30 tahun sejak ditemukan virus dengue di
Surabaya dan Jakarta, baik dalam jumlah penderita maupun daerah penyebaran
penyakit terjadi peningkatan yang pesat. Sampai saat ini DBD telah ditemukan di
seluruh propinsi di Indonesia, dan 200 kota telah melaporkan adanya kejadian luar
biasa. Incidence rate meningkat dari 0,005 per 100,000 penduduk pada tahun 1968
menjadi berkisar antara 6-27 per 100,000 penduduk. Pola berjangkit infeksi virus
dengue dipengaruhi oleh iklim dan kelembaban udara. Pada suhu yang panas (2832C) dengan kelembaban yang tinggi, nyamuk Aedes akan tetap bertahan hidup
untuk jangka waktu lama. Di Indonesia, karena suhu udara dan kelembaban tidak
sama di setiap tempat, maka pola waktu terjadinya penyakit agak berbeda untuk setiap
tempat. Di Jawa pada umumnya infeksi virus dengue terjadi mulai awal Januari,
meningkat terus sehingga kasus terbanyak terdapat pada sekitar bulan April-Mei
setiap tahun.
ETIOLOGI
Virus dengue termasuk genus Flavivirus dari keluarga flaviviridae dengan ukuran 50
nm dan mengandung RNA rantai tunggal. Hingga saat ini dikenal empat serotipe yaitu
DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4. Virus dengue ditularkan oleh nyamuk Aedes
dari subgenus Stegomya. Aedes aegypty merupakan vektor epidemik yang paling
penting disamping spesies lainnya seperti Aedes albopictus, Aedes polynesiensis yang
merupakan vektor sekunder dan epidemi yang ditimbulkannya tidak seberat yang
diakibatkan Aedes aegypty.
PATOGENESIS
Patofisiologi yang terpenting dan menentukan derajat penyakit ialah adanya
perembesan plasma dan
kelainan
5. Teori mediator
6. Teori endotoksi
7. Teori limfosit
8. Teori trombosit endotel
9. Trombosit apoptosis
Diantara teori-teori dan hipotesis patofisiologi infeksi dengue, teori enhancing
antibody dan teori virulensi virus merupakan teori yang paling penting untuk
dipahami.
Teori secondary heterologous infection, dimana infeksi kedua dari serotipe berbeda
dapat memicu DBD berat, berdasarkan data epidemiologi dan hasil laboratorium
hanya berlaku pada anak berumur diatas 1 tahun. Pada pemeriksaan uji HI, DBD berat
pada anak dibawah 1 tahun ternyata merupakan infeksi primer. Gejala klinis terjadi
akibat adanya Ig G anti dengue dari ibu. Dari observasi ini, diduga kuat adanya
antibodi virus dengue dan sel T memori berperan penting dalam patofisiologi DBD.
Mekanisme aferen dimana virus DEN melekat pada monosit melalui reseptor
Antibodi non netralisasi yang dibentuk pada infeksi primer akan menyebabkan
kompleks imun infeksi sekunder yang menghambat replikasi virus. Teori ini pula
yang mendasari bahwa infeksi virus dengue oleh serotipe berlainan akan cenderung
lebih berat. Penelitian in vitro menunjukkan jika kompleks antibodi non netralisasi
dan dengue ditambahkan dalam monosit akan terjadi opsonisasi, internalisasi dan
akhirnya sel terinfeksi sedangkan virus tetap hidup dan berkembang. Artinya antibodi
non netralisasi mempermudah monosit terinfeksi sehingga penyakit cenderung lebih
berat.
dan sangat berguna dalam penyelamatan hidup, selama intervensi yang dilakukan
cepat dan tepat. Kunci menuju prognosis yang baik ialah pemahaman dan waspada
akan masalah klinis yang muncul selama fase yang berbeda. Manajemen yang baik
pada lini pertama pelayanan kesehatan diharapkan dapat menurunkan angka lama
rawat inap di rumah sakit rujukan, serta dapat menyelamatkan hidup pasien dengan
infeksi virus dengue. Berikut merupakan fase infeksi virus dengue:
1. Fase febris
Secara khas, individu akan mengalami demam tinggi yang mendadak selama 2
7 hari dan sering disertai dengan kemerahan pada wajah, eritema kulit, nyeri
pada badan yang sifatnya umum, mialgia, artralgia, nyeri retro-orbita,
fotofobia, eksantem yang mirip dengan rubella, serta nyeri kepala. Beberapa
pasien menunjukkan manifestasi berupa nyeri tenggorok, kemerahan pada
faring, injeksi konjungtiva. Anoreksia, mual, dan muntah lazim dijumpai. Sulit
untuk membedakan secara klinis penyakit dengue dengan non-dengue saatsaat
awal
demam,
namun
hasil
tes
torniquet
yang
positif
lebih
Fase febris
Dehidrasi;
demam
tiggi
dapat
menyebabkan
Fase kritis
Fase penyembuhan
4. Severe Dengue
Didefinisikan sebagai satu atau lebih dari yang berikut ini: 1) kebocoran
plasma yang mengakibatkan syok (syok dengue) dan atau akumulasi cairan,
dengan atau tanpa distres respirasi, dan atau 2) perdarahan berat, dan atau 3)
gangguan organ berat.
Selama tahap awal dari syok, mekanisme kompensasi yang mempertahankan
tekanan darah sistolik normal juga menyebabkan takikardia dan vasokonstriksi
perifer disertai perfusi kulit yang menurun, yang ditandai sebagai akral dingin
dan CRT yang menurun. Uniknya, tekanan diastolik meningkat terhadap
tekanan sistolik dan tekanan nadi menyempit oleh karena adanya peningkatan
resistensi perifer. Syok hipotensif yang berkepanjangan (prolonged) dan
hipoksia dapat megakibatkan kegagalan multi-organ.
Seorang pasien dianggap memiliki syok jika tekanan nadi (selisih antara
tekanan sistolik dengan diastolik) 20 mmHg pada anak-anak atau memiliki
tanda dari perfusi kapiler yang parah (akral dingin, CRT yang menurun, atau
MANIFESTASI KLINIS
Pada dasarnya ada empat sindrom klinis dengue yang dianut Depkes, yaitu:
1. Silent dengue atau undifferentiated fever
2. Demam dengue, mencerminkan fase febris, dimana terjadi demam akut selama
2 7 hari dengan dua atau lebih manifestasi: nyeri kepala, nyeri retro-orbita,
mialgia, ruam kulit, manifestasi perdarahan dan leukopenia. Trias demam
dengue meliputi demam tinggi, nyeri anggota badan, dan ruam kulit. Demam
biasanya mencapai 39 40 C, dan demam bersifat bifasik yang berlangsung 5
7 hari, tetapi pada penelitian selanjutnya bentuk kurva ini tidak ditemukan
pada semua pasien sehingga tidak dijadikan tanda patognomonik. Ruam kulit
ditandai dengan kemerahan dan ercak merah yang menyebar pada wajah,
leher, dan dada selama separuh pertama periode demam dan kemungkinan
makulopapular atau menyerupai demam skarlatina yang muncul pada hari ke3 atau ke-4. Ruam timbul pada 6-12 jam sebelum suhu naik pertama kali (hari
sakit ke -3 5) dan berlangsung selama 3 4 hari. Anoreksia dan obstipasi
sering dilaporkan. Gejala klinis lainnya yaitu fotofobia, berkeringat, batuk,
epistaksis, dan disuria. Kelenjar limfe servikal dilaporkan membesar pada 67
77% kasus atau dikenal sebagai Castelanis sign yang bersifat
patognomonik. Beberapa bentuk perdarahan lain dapat menyertai. Pada
pemeriksaan laboratorium didapatkan hitung leukosit biasanya normal saat
awal demam kemudian leukopenia hingga akhir periode demam; hitung
trombosit masih normal, demikian komponen faktor pembekuan. Ada
beberapa kejadian biasanya sudah terjadi trombositopenia; serum biokimia
(enzim) biasanya normal.
3. Demam Berdarah Dengue (Dengue Hemorrhagic Fever) ditandai oleh 4
manifestasi berikut; 1) demam tinggi, 2) perdarahan terutama pada kulit, 3)
hepatomegali 4) kegagalan sirkulasi. Pada DBD terdapat perdarahan kulit, uji
torniket positif, memar dan perdarahan pada tempat injeksi vena. Petekie halus
tersebar di anggota gerak, muka, aksila pada masa-masa awal demam.
Epistaksis dan perdarahan membran mukosa, misalnya gusi, jarang terjadi,
sedangkan perdarahan saluran pencernaan hebat lebih jarang lagi kecuali jika
renjatan tidak dapat diatasi. Hati biasanya teraba pada awal fase demam,
bervariasi mulai dari teraba 2 4 cm dibawa arkus costae kanan. Pembesaran
hepar tidak berhubungan dengan parahnya penyakit tapi sering ditemukan
pada kasus-kasus syok. Nyeri tekan pada daerah hepar terasa tetapi biasanya
tidak memunculkan ikterik. Pada pemeriksaan laboratorium dapat ditemukan
adanya trombositopenia sedang hingga berat disertai hemokonsentrasi.
Perubahan patofisiologis utama yang menentukan tingkat keparahan DBD
dengan
DD
ialah
gangguan
hemostasis
dan
kebocoran
plasma
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Diagnosis yang akurat dan efisien adalah kepentingan utama dalam pelayanan klinis.
Metode diagnosis laboratoris untuk menentukan infeksi virus dengue meliputi deteksi
adanya virus, asam nukleat virus, antigen dan antibodi, atau kombinasi dari ketiga
teknik ini. Setelah onset penyakit, virus dapat dideteksi di dalam serum, plasma, dan
sel-sel darah yang berirkulasi, serta pada jaringan lain, selama 4 5 hari. Selama
tahap pertama dari penyakit, isolasi virus, asam nukleat atau deteksi antigen dapat
digunakan untuk mendiagnosis infeksi. Di akhir fase akut infeksi, serologi adaah
metode pilihan untuk diagnosis.
Respon antibodi terhadap infeksi berbeda-beda tergantung dari status imun pejamu.
Ketika infeksi dengue terjadi pada individu yang belum pernah terinfeksi sebelumnya
dengan flavivirus atau terimunisasi dengan vaksin flavivirus, tubuh pasien akan
mengalami respon antibodi primer yang ditandai dengan peningkatan lambat dari
antibodi spesifik. IgM merupakan isotipe imunogloulin pertama yang muncul.
Antibodi ini terdteksi 50% pada hari 3 -5 setelah onset, meningkat 80% pada hari ke-5
dan 99% pada hari ke-10 (Gambar 3). Kadar IgM memuncak kira-kira 2 minggu
setelah onset gejala dan umumnya menurun hingga tak terdeteksi pada 2 -3 bulan. IgG
umunya dapat dideteksi pada kadar rendah di akhir minggu pertama sakit, kemudian
meningkat perlahan, dapat tetap berada di serum beberapa bulan, bahkan mungkin
seumur hidup.
Selama infeksi dengue sekunder (infeksi dengue pada pejamu yang telah terinfeksi
sebelumnya oleh virus dengue, atau kadang setelah vaksinasi atau infeksi flavivirus
non-dengue), titer antibodi meningkat dengan cepat dan bereaksi secara luas terhadap
berbagai macam flavivirus. Isotipe imunogloulin yang dominan ialah IgG yang
terdeteksi pada kadar yang tinggi, bahkan pada fase akut, dan bertahan hingga 10
bulan bahkan seumur hidup. Pada tahap penyembuhan dini, kadar IgM secara
signifikan lebih rendah pada infeksi sekunder dan mungkin tak terdeteksi di beberapa
kasus. Untuk membedakan infeksi primer atau sekunder dengue, rasio IgM/IgG
sekarang digunakan secara umum daripada uji hemoaglutinin-inhibisi (uji HI).
Gambar 7. Garis waktu infeksi virus dengue primer dan sekunder dan metode
diagnostik yang digunakan untuk mendeteksi adanya infeksi
Secara umum, pemeriksaan dengan sensitivitas dan spesifisitas membutuhkan
teknologi kompleks dan ahli pada bidannya, sementara uji cepat (rapid test) dapat
kurang senstif mauun spesifik demi kecepatan. Isolasi virus dan deteksi asam nukleat
lebih rumit dan mahal , namun lebih spesifik daripada deteksi antibodi menggunakan
metode serologi.
Infeksi dengue menghasilkan spekrum gejala yang luas, banyak diantaranya adalah
tidak spesifik. Maka dari itu, diagnosis berdasarkan gejala klinis tak dapat dipercaya.
Sebelum hari-5 sakitm selama periode demam, infeksi dengue dapat didiagnosis oleh
isolasi virus pada kultur sel, oleh deteksi RNA virus, oleh nucleic acid amplification
test (NAAT), atau oleh deteksi antigen virus menggunakan ELISA atau rapid test.
Isolasi virus dengan kultur sel membutuhkan infrastruktur lengkap dan waktu yang
lama. NAAT selalu dapat mendeteksi RNA virus dalam 24 48 jam, namun uji ini
tetap membutuhkan peralatan dan reagen yang mahal, prosedur yang berkualitas, dan
pekerja yang ahli. Peralatan untuk mendeteksi antigen NS-1 kini tersedia dan dapat
digunakan di laboratorium dengan peralatan yang terbatas dan mengeluarkan hasil
laboratoris dalam beberapa jam. Deteksi antigen dengue cepat (rapid) dapat juga
dilakukan di lapangan dengan hasil kurang dari satu jam. Saat ini, metode ini kurang
spesifik, mahal dan sedang dalam tahap evaluasi mengenai biaya dan keakuratannya.
Tabel berikut ini memperlihatkan kesimpulan sifat dari metode diagnostik untuk
infeksi dengue.
Tabel 3 Kesimpulan Sifat dan Perbandingan Biaya Metode diagnostik
Setelah hari-5 sakit, virus dengue dan antigen hilang dari darah, bersamaan dengan
munculnya antibodi-antibodi spesifik. Antigen NS1 dapat dideteksi pada beberapa
pasien selama beberapa hari setelah demam reda. Uji serologi dengue lebih banyak
tersedia di negara-negara endemis, daripada uji virologi. Transportasi spesimen
bukanlah masalah karena imunoglobulin stabil pada suhu tropis.
Untuk serologi, waktu pengumpulan spesimen lebih fleksibel daripada isolasi virus
atau deteksi RNA karena suatu respon antibodi dapat diukur dengan membandingkan
sampel yang dikumpul selama keadaan akut dengan sampel yang dikumpul saat
1. Isolasi virus. Spesimen dikumpulkan hanya pada saat sedang terjadi infeksi,
selaa periode viremia (sebelum hari-5). Virus dapat dijumpai di serum, plasma,
dan sel-sel mononuklear perifer, atau jaringan (hepar, paru, kelenjar getah
bening, timus, dan sumsum tulang). Karena dengue merupakan heat-labile,
pengiriman sampel harus dengan referigerator atau di dalam es. Kultur sel
merupakan metode yang luas dipakai untuk mengisolasi virus.
2. Deteksi Asam Nukleat. RNAbersifat heat-labile, maka
untuk
penyimpanannya harus di dalam freezer. RT-PCR (Reverse Transcriptasepolymerase Chain Reaction) lebih sensitif daripada isolasi virus, yaitu 80
100%. Positif palsu dapat terjadi jika kontaminasi saat proses amplifikasi.
3. Deteksi antigen. Sampai sekarang, deteksi antigen dengue pada serum fase
akut jarang pada pasien dengan infeksi sekunder karena sudah memiliki
antibodi IgG-virus sebelumnya. Perkembangan baru dari ELISA dan dot blot
assays yang fokus pada antigen bagian membran atau envelop (E/M) dan
protein non-struktural -1 (NS-1) menunjukkan bahwa konsentrasi yang tinggi
antigen-antigen ini dalam pembentukan kompleks imun dapat terdeteksi pada
pasien dengan infeksi primer maupun sekunder dengue hingga sembilan hari
setelah onset sakit. Glikoprotein NS-1 dihasilkan oleh flavivirus dan
disekresikan dari sel-sel mamalia. NS1 menghasilkan respon imun humoral
yang kuat. Banyak penelitian yang telah fokus menggunakan deteksi NS1
untuk diagnosis dini infeksi virus dengue.
4. Tes serologi. MAC-ELISA (IgM antibody-capture
enzyme-linked
immunosorbent assay. IgM total pada serum pasien ditangkap oleh antibodi
spesifik anti rantai-u yang dilapisi diatas mikroplate. Antigen spesifik dengue
(DEN-1 hingga 4) terikat dengan IgM anti-dengue yang terperangkap tadi.
Kemudian, terdeteksi oleh antibodi dengue monoklonal atau poliklonal yang
terkonjugasi dengan suatu enzim yang akan mengubah substat tak berwarna
menjadi produk berwarna, yang diukur melalui spektrometer. Serum, darah,
dan saliva dapat dijadikan sampel yang diambil 5 hari atau lebih setelah onset
demam. MAC-ELISA memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang baik namun
hanya jika digunakan saat lebih atau sama dengan 5 hari setelah onset demam.
Banyak penelitian yang menerangkan bahwa ELISA pada umumnya lebih baik
performanya daripada rapid test. Positif palsu dapat terjadi di serum pada
pasien dengan malaria, leptospirosis, dan pasca infeksi dengue.
IgG ELISA digunaka untuk mendeteksi infeksi dengue masa lampau atau
sekarang. Metode ini dapat digunakan untuk mendeteksi IgG di serum atau
plasma dan sampel darah filter dan bisa mengidentifikasi kasus infeksi primer
atau sekunder.
KRITERIA DIAGNOSIS
Kriteria diagnosis WHO hanya berlaku untuk DBD, tidak untuk spektrum infeksi
dengue yang lain. WHO membuat panduan diagnosis DBD karena DBD adalah
masalah kesehatan masyarakat dengan angka kematian yang tinggi. Kriteria diagnosis
DBD ialah dua atau lebih tanda klinis ditambah tanda laboratoris, yaitu
trombositopenia dan hemokonsentrasi (kedua hasil laboratorium tersebut harus ada)
dan dikonfirmasi lagi dengan pemeriksaan serologi. Kriteria diagnosis DBD
berdasarkan WHO tahun 1997 ialah:
Kriteria Klinis : demam tinggi mendadak tanpa sebab yang jelas terus menerus selama
2 7 hari, terdapat manifestasi perdarahan termasuk tes torniket positif, petekie,
ekimosis, epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis, serta melena; pembesaran hati,
dan nadi cepat dan lemah serta penurunan tekanan nadi. Kriteria laboratoris:
trombositopenia (100.000/ul atau kurang), hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit
>20%).
Pembagian derajat DBD menurut WHO ialah:
-
PENATALAKSANAAN
Pada dasarnya pengobatan DBD bersifat suportif, yaitu mengatasi kehilangan cairan
plasma sebagai akibat peningkatan permeabilitas kapiler dan sebagai akibat
perdarahan. Pasien DD dapat berobat jalan sedangkan pasien DBD dirawat di ruang
perawatan biasa. Tetapi pada kasus DBD dengan komplikasi diperlukan perawatan
intensif. Untuk dapat merawat pasien DBD dengan baik, diperlukan dokter dan
perawat yang terampil, sarana laboratorium yang memadai, cairan kristaloid dan
koloid, serta bank darah yang senantiasa siap bila diperlukan. Diagnosis dini dan
memberikan nasehat untuk segera dirawat bila terdapat tanda syok, merupakan hal
yang penting untuk mengurangi angka kematian. Di pihak lain, perjalanan penyakit
DBD sulit diramalkan. Pasien yang pada waktu masuk keadaan umumnya tampak
baik, dalam waktu singkat dapat memburuk dan tidak tertolong. Kunci keberhasilan
tatalaksana DBD/SSD terletak pada ketrampilan para dokter untuk dapat mengatasi
masa peralihan dari fase demam ke fase penurunan suhu (fase kritis, fase syok)
dengan baik.
Demam dengue
Pasien DD dapat berobat jalan, tidak perlu dirawat. Pada fase demam pasien
dianjurkan Tirah baring, selama masih demam.
Pada pasien DD, saat suhu turun pada umumnya merupakan tanda penyembuhan.
Meskipun demikian semua pasien harus diobservasi terhadap komplikasi yang dapat
terjadi selama 2 hari setelah suhu turun. Hal ini disebabkan oleh karena kemungkinan
kita sulit membedakan antara DD dan DBD pada fase demam. Perbedaan akan
tampak jelas saat suhu turun, yaitu pada DD akan terjadi penyembuhan sedangkan
pada DBD terdapat tanda awal kegagalan sirkulasi (syok). Komplikasi perdarahan
dapat terjadi pada DD tanpa disertai gejala syok. Oleh karena itu, orang tua atau
pasien dinasehati bila terasa nyeri perut hebat, buang air besar hitam, atau terdapat
perdarahan kulit serta mukosa seperti mimisan, perdarahan gusi, apalagi bila
disertai berkeringat dingin, hal tersebut merupakan tanda kegawatan, sehingga harus
segera dibawa segera ke rumah sakit. Penerangan untuk orang tua tertera pada
Lampiran 1. Pada pasien yang tidak mengalami komplikasi setelah suhu turun 2-3
hari, tidak perlu lagi diobservasi. Tatalaksana DD tertera pada Bagan 2 (Tatalaksana
tersangka DBD).
Ketentuan Umum
Perbedaan patofisilogik utama antara DD/DBD/SSD dan penyakit lain adalah adanya
peningkatan permeabilitas kapiler yang menyebabkan perembesan plasma dan
gangguan hemostasis. Gambaran klinis DBD/SSD sangat khas yaitu demam tinggi
mendadak, diastesis hemoragik, hepatomegali, dan kegagalan sirkulasi. Maka
keberhasilan tatalaksana DBD terletak pada bagian mendeteksi secara dini fase kritis
yaitu saat suhu turun (the time of defervescence) yang merupakan fase awal terjadinya
kegagalan sirkulasi, dengan melakukan observasi klinis disertai pemantauan
perembesan plasma dan gangguan hemostasis. Prognosis DBD terletak pada
pengenalan awal terjadinya perembesan plasma, yang dapat diketahui dari
peningkatan kadar hematokrit. Fase kritis pada umumnya mulai terjadi pada hari
ketiga sakit. Penurunanjumlah trombosit sampai <100.000/pl atau kurang dari 1-2
trombosit/ Ipb (rata-rata dihitung pada 10 Ipb) terjadi sebelum peningkatan hematokrit
dansebelum terjadi penurunan suhu. Peningkatan hematokrit 20% atau lebih
mencermikan perembesan plasma danmerupakan indikasi untuk pemberian caiaran.
Larutan garam isotonik atau ringer laktat sebagai cairan awal pengganti volume
plasma dapat diberikan sesuai dengan berat ringan penyakit. Perhatian khusus pada
asus dengan peningkatan hematokrit yang terus menerus danpenurunan jumlah
trombosit < 50.000/41. Secara umum pasien DBD derajat I danII dapat dirawat di
Puskesmas, rumah sakit kelas D, C dan pada ruang rawat sehari di rumah sakit kelas
B dan A.
Fase Demam
Tatalaksana DBD fase demam tidak berbeda dengan tatalaksana DD, bersifat
simtomatik dansuportif yaitu pemberian cairan oral untuk mencegah dehidrasi.
Apabila cairan oral tidak dapat diberikan oleh karena tidak mau minum, muntah atau
nyeri perut yang berlebihan, maka cairan intravena rumatan perlu diberikan.
Antipiretik kadang-kadang diperlukan, tetapi perlu diperhatikan bahwa antipiretik
tidak dapat mengurangi lama demam pada 7BD. Parasetamoi direkomendasikan untuk
pemberian atau dapat di sederhanakan seperti tertera pada Tabel 5.
Rasa haus dankeadaan dehidrasi dapat timbul sebagai akibat demam tinggi, anoreksia
dan muntah. Jenis minuman yang dianjurkan adalah jus buah, air teh manis, sirup,
susu, serta larutan oralit. Pasien perlu diberikan minum 50 ml/kg BB dalam 4-6 jam
pertama. Setelah keadaan dehidrasi dapat diatasi anak diberikan cairan rumatan 80100 ml/kg BB dalam 24 jam berikutnya. Bayi yang masih minum asi, tetap harus
diberikan disamping larutan oiarit. Bila terjadi kejang demam, disamping antipiretik
diberikan antikonvulsif selama demam.
Pasien harus diawasi ketat terhadap kejadian syok yang mungkin terjadi. Periode
kritis adalah waktu transisi, yaitu saat suhu turun pada umumnya hari ke 3-5 fase
demam. Pemeriksaan kadar hematokrit berkala merupakan pemeriksaan laboratorium
yang terbaik untuk pengawasan hasil pemberian cairan yaitu menggambarkan derajat
kebocoran plasma dan pedoman kebutuhan cairan intravena. Hemokonsentrasi pada
umumnya terjadi sebelum dijumpai perubahan tekanan darah dan tekanan nadi.
Hematokrit harus diperiksa minimal satu kali sejak hari sakit ketiga sampai suhu
normal kembali. Bila sarana pemeriksaan hematokrit tidak tersedia, pemeriksaan
hemoglobin dapat dipergunakan sebagai alternatif walaupun tidak terlalu sensitif.
Untuk Puskesmas yang tidak ada alat pemeriksaan Ht, dapat dipertimbangkan dengan
menggunakan Hb. Sahli dengan estimasi nilai Ht = 3 x kadar Hb Penggantian Volume
Plasma
Dasar patogenesis DBD adalah perembesan plasma, yang terjadi pada fase penurunan
suhu (fase a-febris, fase krisis, fase syok) maka dasar pengobatannya adalah
penggantian volume plasma yang hilang. Walaupun demikian, penggantian cairan
harus diberikan dengan bijaksana dan berhati-hati. Kebutuhan cairan awal dihitung
untuk 2-3 jam pertama, sedangkan pada kasus syok mungkin lebih sering (setiap 3060 menit).
Tetesan dalam 24-28 jam berikutnya harus selalu disesuaikan dengan tanda vital,
kadar hematokrit, danjumlah volume urin. Penggantian volume cairan harus adekuat,
seminimal mungkin mencukupi kebocoran plasma. Secara umum volume yang
Pemilihan jenis dan volume cairan yang diperlukan tergantung dari umur danberat
badan pasien serta derajat kehilangan plasma, yang sesuai dengan derajat
hemokonsentrasi. Pada anak gemuk, kebutuhan cairan disesuaikan dengan berat
badan ideal untuk anak umur yang sama. Kebutuhan cairan rumatan dapat
diperhitungan dari tabel berikut.
Tabel 7 Kebutuhan Cairan Rumatan
Misalnya untuk anak berat badan 40 kg, maka cairan rumatan adalah 1500+(20x20)
=1900 ml. Jumlah cairan rumatan diperhitungkan 24 jam. Oleh karena perembesan
plasma tidak konstan (perembesam plasma terjadi lebih cepat pada saat suhu turun),
maka volume cairan pengganti harus disesuaikan dengan kecepatan dankehilangan
plasma, yang dapat diketahui dari pemantauan kadar hematokrit. Penggantian volume
yang bedebihan danterus menerus setelah plasma terhenti perlu mendapat perhatian.
Perembesan plasma berhenti ketika memasuki fase penyembuhan, saat terjadi
reabsorbsi cairan ekstravaskular kembali kedalam intravaskuler. Apabila pada saat
itucairan tidak dikurangi, akan menyebabkan edema paru dandistres pernafasan.
Pasien harus dirawat dansegera diobati bila dijumpai tanda-tanda syok yaitu gelisah,
letargi/lemah, ekstrimitas dingin, bibir sianosis, oliguri, dannadi lemah, tekanan nadi
menyempit (20mmHg atau kurang) atau hipotensi, danpeningkatan mendadak dari
kadar hematokrit atau kadar hematokrit meningkat terus menerus walaupun telah
diberi cairan intravena. Jenis Cairan (rekomendasi WHO) adalah sebagai berikut:
Kristaloid.
Dkstran 40
Plasma
Albumin
mm/kg BB/jam, bila tidak ada perbaikan pemberian cairan kristoloid ditambah cairan
koloid. Apabila syok belum dapat teratasi setelah 60 menit beri cairan kristaloid
dengan tetesan 10 ml/kg BB/jam bila tidak ada perbaikan stop pemberian kristaloid
danberi cairan koloid (dekstran 40 atau plasma) 10 ml/kg BB/jam. Pada umumnya
pemberian koloid tidak melebihi 30 ml/kg BB. Maksimal pemberian koloid 1500
ml/hari, sebaiknya tidak diberikan pada saat perdarahan. Setelah pemberian cairan
resusitasi kristaloid dankoloid syok masih menetap sedangkan kadar hematokrit turun,
diduga sudah terjadi perdarahan; maka dianjurkan pemberian transfusi darah segar.
Apabila kadar hematokrit tetap > tinggi, maka berikan darah dalam volume kecil (10
ml/kg BB/jam) dapat diulang sampai 30 ml/kgBB/ 24 jam. Setelah keadaan klinis
membaik, tetesan infus dikurangi bertahap sesuai keadaan klinis dankadar hematokrit.
Pemberian cairan harus tetap diberikan walaupun tanda vital telah membaik dan kadar
hematokrit turun. Tetesan cairan segera diturunkan menjadi 10 ml/kg BB/jam
dankemudian disesuaikan tergantung dari kehilangan plasma yang terjadi selama 2448 jam. Pemasangan CVP yang ada kadangkala pada pasien SSD berat, saat ini tidak
dianjurkan lagi. Cairan intravena dapat dihentikan apabila hematokrit telah turun,
dibandingkan nilai Ht sebelumnya. Jumlah urin/ml/kg BB/jam atau lebih merupakan
indikasi bahwa keadaaan sirkulasi membaik. Pada umumnya, cairan tidak perlu
diberikan lagi setelah 48 jam syok teratasi. Apabila cairan tetap diberikan dengan
jumlah yang berlebih pada saat terjadi reabsorpsi plasma dari ekstravaskular (ditandai
dengan penurunan kadar hematokrit setelah pemberian cairan rumatan), maka akan
menyebabkan hipervolemia dengan akibat edema paru dangagal jantung. Penurunan
hematokrit pada saat reabsorbsi plasma ini jangan dianggap sebagai tanda perdarahan,
tetapi disebabkan oleh hemodilusi. Nadi yang kuat, tekanan darah normal, diuresis
cukup, tanda vital baik, merupakan tanda terjadinya fase reabsorbsi.
Koreksi Gangguan Metabolik dan Elektrolit. Hiponatremia danasidosis metabolik
sering menyertai pasien DBD/SSD, maka analisis gas darah dankadar elektrolit harus
selalu diperiksa pada DBD berat. Apabila asidosis tidak dikoreksi, akan memacu
terjadinya KID, sehingga tatalaksana pasien menjadi lebih kompleks.
Pada umumnya, apabila penggantian cairan plasma diberikan secepatnya dan
dilakukan koreksi asidosis dengan natrium bikarbonat, maka perdarahan sebagai
akibat KID, tidak akan tejadi sehingga heparin tidak diperlukan.
Pemberian Oksigen. Terapi oksigen 2 liter per menit harus selalu diberikan pada
semua pasien syok. Dianjurkan pemberian oksigen dengan mempergunakan masker,
tetapi harus diingat pula pada anak seringkali menjadi makin gelisah apabila dipasang
masker oksigen.
Transfusi Darah. Pemeriksaan golongan darah cross-matching harus dilakukan pada
setiap pasien syok, terutama pada syok yang berkepanjangan (prolonged shock).
Pemberian transfusi darah diberikan pada keadaan manifestasi perdarahan yang nyata.
Kadangkala sulit untuk mengetahui perdarahan interna (internal haemorrhage) apabila
disertai hemokonsentrasi. Penurunan hematokrit (misalnya dari 50% me.njadi 40%)
tanpa perbaikan klinis walaupun telah diberikan cairan yang mencukupi, merupakan
tanda adanya perdarahan. Pemberian darah segar dimaksudkan untuk mengatasi
pendarahan karena cukup mengandung plasma, sel darah merah dan faktor pembesar
trombosit. Plasma segar dan atau suspensi trombosit berguna untuk pasien dengan
KID dan perdarahan masif. KID biasanya terjadi pada syok berat dan menyebabkan
perdarahan masif sehingga dapat menimbulkan kematian.
Pemeriksaan hematologi seperti waktu tromboplastin parsial, waktu protombin, dan
fibrinogen degradation products harus diperiksa pada pasien syok untuk mendeteksi
terjadinya dan berat ringannya KID. Pemeriksaan hematologis tersebut juga
menentukan prognosis.
Monitoring. Tanda vital dan kadar hematokrit harus dimonitor dan dievaluasi secara
teratur untuk menilai hasil pengobatan. Hal-hal yang harus diperhatikan pada
monitoring adalah
Nadi, tekanan darah, respirasi, dan temperatur harus dicatat setiap 15-30 menit
pasien stabil.
setiap pasien harus mempunyai formulir pemantauan, mengenai jenis cairan,
jumlah, dan tetesan, untuk menentukan apakah cairan yang diberikan sudah
mencukupi.
Jumlah dan frekuensi diuresis.
Pada pengobatan syok, kita harus yakin benar bahwa penggantian volume
intravaskuler telah benar-benar terpenuhi dengan baik. Apabila diuresis belum cukup
1 ml/kg/BB, sedang jumlah cairan sudah melebihi kebutuhan diperkuat dengan tanda
cerna sebaiknya kortikosteroid tidak diberikan. Bila terdapat disfungsi hati, maka
diberikan vitamin K intravena 3-10 mg selama 3 hari, kadar gula darah diusahakan >
80 mg. Mencegah terjadinya peningkatan tekanan intrakranial dengan mengurangi
jumlah cairan (bila perlu diberikan diuretik), koreksi asidosis dan elektrolit.
Perawatan jalan nafas dengan pemberian oksigen yang adekuat. Untuk mengurangi
produksi amoniak dapat diberikan neomisin dan laktulosa. Usahakan tidak
memberikan obat-obat yang tidak diperlukan (misalnya antasid, anti muntah) untuk
mengurangi beban detoksifikasi obat dalam hati. Transfusi darah segar atau
komponen dapat diberikan atas indikasi yang tepat. Bila perlu dilakukan tranfusi
tukar. Pada masa penyembuhan dapat diberikan asam amino rantai pendek.
Mengingat pada saat awal pasien datang, kita belum selalu dapat menentukan
diagnosis DD/DBD dengan tepat, maka sebagai pedoman tatalakasana awal dapat
dibagi dalam 3 bagan yaitu
Tatalaksana kasus tersangka DBD, termasuk kasus DD, DBD derajat I dan
Keterangan Bagan 2
Tatalaksana Kasus Tersangka DBD
Pada awal perjalanan penyakit DBD tanda/gejalanya tidak spesifik, oleh karena itu
orang tua/anggota keluarga diharapkan untuk waspada jika meiihat tanda/gejala yang
mungkin merupakan gejala awal penyakit DBD. Tanda/gejala awal penyakit DBD
ialah demam tinggi 2-7 hari mendadak tanpa sebab yang jelas, terus menerus, badan
terasa lemah/anak tampak lesu.Pertama-tama ditentukan terlebih dahulu (1) Adakah
tanda kedaruratan yaitu tanda syok (gelisah, nafas cepat, bibir biru, tangan dan kaki
dingin, kulit lembab), muntah terus menerus, kejang, kesadaran menurun, muntah
darah, berak darah, maka pasien perlu dirawat (tatalaksana disesuaikan dengan bagan
3,4,5) (2) Apabila tidak dijumpai tanda kedaruratan, periksa uji tourniquet/uji Rumple
Leede/uji bendung dan hitung trombosit;
a. Bila uji tourniquet positif dan/ atau trombosit <_ 100.000/pl, pasien di observasi
(tatalaksana kasus tersangka DBD ) Bagan 3
b. Bila uji tourniquet negatif dengan trombosit >_ 100.000/pl atau normal , pasien
boleh pulang dengan pesan untuk datang kembali setiap hari sampai suhu turun.
Pasien dianjurkan minum banyak seperti air teh, susu, sirup, oralit, jus buah dll serta
diberikan obat antipiretik golongan parasetamol jangan golongan salisilat. Apabila
selama di rumah demam tidak turun pada hari sakit ketiga, evaluasi tanda klinis
adakah tanda-tanda syok yaitu anak menjadi gelisah, ujung kaki/tangan dingin, sakit
perut, berak hitam, kencing berkurang; bila perlu periksa Hb, Ht, dantrombosit.
Apabila terdapat tanda syok atau terdapat peningkatan Hb/Ht danatau penurunan
trombosit, segera kembali ke rumah sakit (lihat Lampiran 1 formulir untuk orang tua)
Keterangan Bagan 3
Tatalaksana Kasus tersangka DBD (Lanjutan Bagan 2)
Pasien dengan keluhan demam 2-7 hari, disertai uji tourniquet positif (DBD derajat I)
atau disertai perdarahan spontan tanpa peningkatan hematokrit (DBD derajat II) dapat
dikelola seperti tertera pada Bagan 2
Apabila pasien masih dapat minum, berikan minum sebanyak 1-2 liter/hari atau 1
sendok makan setiap 5 menit. Jenis minuman yang dapat diberikan adalah air putih,
teh manis, sirop, jus buah, susu atau oralit. Obat antipiretik (parasetamol) diberikan
bila suhu > 38.5C. Pada anak dengan riwayat kejang dapat diberikan obat anti
konvulsif. Apabila pasien tidak dapat minum atau muntah terus menerus, sebaiknya
diberikan infus NaCL 0,45% : dekstrosa 5% dipasang dengan tetesan rumatan sesuai
berat badan. Disamping itu perlu dilakukan pemeriksaaan Ht, Hb 6 jam dan trombosit
setiap 2 jam. Apabila pada tindak lanjut telah terjadi perbaikan klinis dan
laboratorium anak dapat dipulangkan; tetapi bila kadar Ht cenderung naik dan
trombosit menurun, maka infus cairan diganti dengan ringer laktat dan tetesan
disesuaikan seperti pada Bagan 3.
Keterangan Bagan 4
Tatalaksana Kasus DBD
Pasien DBD apabila dijumpai demam tinggi mendadak terus menerus selama <_ 7
hari tanpa sebab yang jelas, disertai tanda perdarahan spontan (tersering perdarahan
kulit danmukosa yaitu petekie atau *mimisan) disertai penurunan jumlah trombosit !
_100.000/pl, danpeningkatan kadar hematokrit.
Pada saat pasien datang, berikan cairan kristaloid ringer laktat/NaCI 0,9 % atau
dekstrosa 5% dalam ringer laktat/NaCl 0,9 % 6-7 ml/kg BB/jam. Monitor tanda vital
dankadar hematokrit serta trombosit tiap 6 jam. Selanjutnya evaluasi 12-24 jam
1. Apabila selama observasi keadaan umum membaik yaitu anak nampak tenang,
tekanan nadi kuat, tekanan darah stabil, diuresis cukup, dankadar Ht cenderung turun
minimal dalam 2 kali pemeriksaan berturut-turut, maka tetesan dikurangi menjadi 5
ml/kgBB/jam. Apabila dalam observasi selanjutnya tanda vital tetap stabil, tetesan
dikurangi menjadi 3ml/kgBB/jam danakhirnya cairan dihentikan setelah 24-48 jam.
2. Perlu diingat bahwa sepertiga kasus akan jatuh ke dalam syok. Maka apabila
keadaan klinis pasien tidak ada perbaikan, anak tampak gelisah, nafas cepat (distres
pernafasan), frekuensi, nadi meningkat, diuresis kurang, tekanan nadi < 20 mmHg
memburuk, disertai peningkatan Ht, maka tetesan dinaikkan menjadi 10
ml/kgBB/jam, setelah 1 jam tidak ada perbaikan tetesan dinaikkan menjadi 15
ml/kgBB/jam. Apabila terjadi distres pernafasan dan Ht naik maka berikan cairan
koloid 20-30 ml/kgBB/jam; tetapi apabila Ht turun berarti terdapat perdarahan,
berikan tranfusi darah segar 10 ml/kgBB/jam. Bila keadaan klinis membaik, maka
cairan disesuaikan seperti ad 1.
Diagnosis Banding
Demam tifoid
Klinis
- Demam lebih dari tujuh hari
- Terlihat jelas sakit dan kondisi serius tanpa sebab yang jelas
- Nyeri perut, kembung, mual, muntah, diare, konstipasi
- Delirium
Malaria
-Demam terus-menerus
- Menggigil, nyeri kepala, berkeringat dan nyeri otot
- Anemia
- Hepatomegali, splenomegali
- Hasil apus darah positif (plasmodium)
TB (milier)
Campak
Pneumoni
- Demam
- Batuk dengan napas cepat
- Crackles (ronki) pada auskultasi
- Kepala terangguk-angguk
- Pernapasan cuping hidung
- Tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam
- Merintih (grunting)- Sianosis
DAFTAR PUSTAKA
dalam
tatalaksana
Kasus
DBD.
Jakarta
Balai
Penerbit
FKUI.2004.h.32-43
10. Hadinegoro SRS. Imunopatogenesis Demam Berdarah Dengue. Dalam : Akib
Aap, Tumbelaka AR, Matondang CS, penyunting. Naskah Lengkap
Pendidikan
Kedokteran
Berkelanjutan
Ilmu
Kesehatan Anak
XLIV.