You are on page 1of 27

BAB I

PENDAHULUAN

Penglihatan merupakan salah satu dari panca indera kita selain pendengaran,
penciuman, sentuhan, dan pengecapan. Penglihatan sangat penting dalam kehidupan manusia,
tanpa penglihatan manusia akan mengalami kesulitan dan tidak dapat menikmati
kehidupannya dengan sempurna.
WHO 1972, mendefinisikan kebutaan sebagai tajam penglihatan dibawah 3/60.
Kebutaan adalah masalah kesehatan masyarakat yang serius bagi setiap negara. Berdasarkan
WHO (1979), prevalensi kebutaan lebih besar pada negara berkembang. Kebutaan ini sendiri
akan berdampak secara sosial dan ekonomi bagi orang yang menderitanya. Ironisnya, 75%
dari kebutaan yang terjadi dapat dicegah atau diobati.9
Indonesia sebagai negara berkembang, tidak luput dari masalah kebutaan. Disebutkan,
saat ini terdapat 45 juta penderita kebutaan di dunia 60% diantaranya berada di negara miskin
atau berkembang. Indonesia, dalam catatan WHO berada diurutan ketiga dengan terdapat
angka kebutaan sebesar 1,47%.4
Ophthalmoplegia adalah kelumpuhan atau kelemahan dari satu atau
lebih dari otot-otot yang mengontrol pergerakan bola mata. Kondisi ini
dapat

disebabkan

oleh

gangguan

langsung

pada

otot-otot

yang

mengendalikan pergerakan bola mata atau terjadi gagguan pada jalur


saraf yang mengendalikan pergerakan otot-otot mata.4
Pada ophtalmoplegia, mata tidak bergerak bersamaan sehingga
pasien mengeluh penglihatan ganda (diplopia). Selain itu juga terdapat
keluhan berupa mata buram. Beberapa penderita juga mengeluh kesulitan
menggerakkan bola matanya ke arah tertentu atau terdapat kelumpuhan
pada palpebra superior.
Katarak adalah perubahan lensa mata yang semula jernih dan tembus cahaya menjadi
keruh, sehingga cahaya sulit mencapai retina akibatnya penglihatan menjadi kabur. Katarak
terjadi secara perlahan-lahan sehingga penglihatan penderita terganggu secara berangsur.
Perubahan ini dapat terjadi karena proses degenerasi atau ketuaan trauma mata, komplikasi
penyakit tertentu, maupun bawaan lahir.1

Di dunia ini 48% kebutaan yang terjadi disebabkan oleh katarak. Untuk Indonesia,
survei pada 1995/1996 menunjukkan prevalensi kebutaan mencapai 1,5% dengan 0,78% di
antaranya disebabkan oleh katarak dan yang terbesar karena katarak senilis.4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 ANATOMI DAN FISIOLOGI LENSA
2.1.1 ANATOMI LENSA
Pada manusia, lensa mata bikonveks, tidak mengandung pembuluh darah (avaskular),
tembus pandang, dengan diameter 9 mm dan tebal 5 mm yang memiliki fungsi untuk
mempertahankan kejernihan, refraksi cahaya, dan memberikan akomodasi.. Ke depan
berhubungan dengan cairan bilik mata, ke belakang berhubungan dengan badan kaca.5
Disebelah depan terdapat selapis epitel subkapsular. Nukleus lensa lebih keras daripada
korteksnya. Sesuai dengan bertambahnya usia, serat-serat lamelar subepitel terus diproduksi,
sehingga lensa lama-kelamaan menjadi lebih besar dan kurang elastik. Lensa ditahan
ditempatnya oleh ligamen yang dikenal zonula zinii, yang tersusun dari banyak fibril dari
permukaan korpus siliaris dan menyisip ke dalam ekuator lensa.4
Lensa terdiri atas 65% air dan 35% protein (kandungan tertinggi diantara jaringanjaringan tubuh), dan sedikit sekali mineral yang biasa berada di dalam jaringan tubuh lainnya.
Kandungan kalium lebih tinggi di lensa daripada dikebanyakan jaringan lain. Asam askorbat
dan glutation terdapat dalam bentuk teroksidasi maupun tereduksi. Tidak ada serat nyeri,
pembuluh darah atau saraf di lensa.4

Gambar 2.1 Anatomi dan struktur pembentuk lensa

2.1.2 FISIOLOGI LENSA


Fungsi utama lensa adalah memfokuskan berkas cahaya ke retina. Untuk memfokuskan
cahaya datang dari jauh, otot-otot siliaris relaksasi, menegangkan serat zonula zinii dan
memperkecil diameter antero posterior lensa sampai ukurannya yang terkecil, dalam posisi
ini daya refraksi lensa diperkecil sehingga berkas cahaya paralel akan terfokus ke retina.
Untuk memfokuskan cahaya dari benda dekat, otot siliaris berkontraksi sehingga tegangan
zonula berkurang. Kapsul lensa yang elastik kemudian mempengaruhi lensa menjadi lebih
sferis diiringi oleh peningkatan daya biasnya. Kerjasama fisiologis antar zonula, korpus
siliaris, dan lensa untuk memfokuskan benda dekat ke retina dikenal sebagai akomodasi.
Seiring dengan bertambahnya usia, kemampuan refraksi lensa perlahan-lahan berkurang.6
2.2. KATARAK
2.2.1 DEFINISI
Katarak berasal dari yunani katarrhakies, inggris cataract, dan latin
cataractayang berarti air terjun. Dalam bahasa indonesia disebut bular
dimana penglihatan seperti tertututp air terjun akibat lensa yang keruh.
Katarak adalah setiap keadaan kekekruhan pada lensa yang dapat terjadi
akibat hidrasi (penambahan cairan) lensa, denaturasi protein lensa atau
dapat terjadi akibat kedua-duanya.1
Biasanya kekeruhan mengenai kedua mata dan berjalan progresif
ataupun dapat tidak mengalamiperubahan dalam waktu yang lama.
Katarak memiliki derajat kepadatan yang sangat bervariasi dan dapat
disebabkan oleh berbagai hal, tetapi biasanya berkaitan dengan penuaan.
Katarak senile adalah semua kekeruhan lensa yang terdapat pada usia
lanjut, yaitu diatas 40 tahun.1

2.2.2 EPIDEMIOLOGI
Lebih dari 90% kejadian katarak merupakan katarak senilis. 20-40% orang usia 60
tahun ke atas mengalami penurunan ketajaman penglihatan akibat kekeruhan lensa.
Sedangkan pada usia 80 tahun ketas insidensinya mencapai 60-80%. Prevalensi katarak
kongenital pada negara maju berkisar 2-4 setiap 10000 kelahiran. Frekuensi katarak laki-laki
dan perempuan sama besar. Di seluruh dunia, 20 juta orang mengalami kebutaan akibat
katarak.
2.2.3 ETIOLOGI
Katarak umumnya merupakan penyakit pada usia lanjut, akan tetapi dapat juga akibat
kelainan kongenitalatau penyulit penyakit mata lokal menahun. Bermacam-macam penyakit
mata dapat mengakibatkan katarak seperti glaukoma, ablasi, uveitis, dan retinitis pigmentosa.
Katarak dapat berhubungan dengan proses penyakit intraokuler lainnya.1
Penyebab tersering dari katarak adalah proses degenerasi, yang menyebabkan lensa mata
menjadi keras dan keruh. Pengeruhan lensa dapat dipercepat oleh faktor risiko seperti
merokok, paparan sinar UV yang tinggi, alkohol, defisiensi vit E, radang menahun dalam
bola mata, dan polusi asap motor/pabrik yang mengandung timbal.1
Cedera pada mata seperti pukulan keras, tusukan benda, panas yang tinggi, dan trauma
kimia dapat merusak lensa sehingga menimbulkan gejala seperti katarak.
Katarak juga dapat terjadi pada bayi dan anak-anak, disebut sebagai katarak kongenital.
Katarak kongenital terjadi akibat adanya peradangan/infeksi ketika hamil, atau penyebab
lainnya. Katarak juga dapat terjadi sebagai komplikasi penyakit infeksi dan metabolik lainnya
seperti diabetes mellitus.1

2.2.4 KLASIFIKASI
Katarak dapat diklasifikasikan dalam golongan berikut:

Katarak
Katarak
Katarak
Katarak

perkembangan dan degeneratif


kongenital, juvenil, senil
komplikata
traumatik

Berdasarkan usia pasien katarak dapat dibagi dalam:

Katarak kongenital, yaitu katarak yang terlihat dibawah 1 tahun


Katarak juvenil, yaitu katarak yang terlihat diats 1 tahun dan

dibawah 40 tahun
Katarak presenil, yaitu katarak yang terjadi sesudah 30-40 tahun
Katarak senil, yaitu katarak yang mulai terjadi diats 40 tahun

Katarak senil secara klinis dikenal dalam beberapa stadium yaitu:1


1. Katarak insipient
Merupakan tahap dimana kekeruhan lensa dapat terdeteksi dengan adanya area
yang jernih diantaranya. Kekeruhan dapat dimulai dari ekuator ke arah sentral
(kuneiform) atau dapat dimulai dari sentral (kupuliform).
Gambar : Katarak stadium insipien Spokes of a wheel
2. Katarak imatur
Kekeruhan pada katarak imatur belum mengenai seluruh bagian lensa. Volume
lensa dapat bertambah akibat meningkatnya tekanan osmotik, bahan lensa yang
degeneratif, dan dapat terjadi glaukoma sekunder.
3. Katarak matur
Kekeruhan pada katarak matur sudah mengenai seluruh bagian lensa. Deposisi ion
Ca dapat menyebabkan kekeruhan menyeluruh pada derajat maturasi ini. Bila
terus berlanjut, dapat menyebabkan kalsifikasi lensa
4. Katarak hipermatur
Pada stadium ini protein-protein di bagian korteks lensa sudah mencair. Cairan
keluar dari kapsul dan menyebabkan lensa menjadi mengerut.
5

Perbedaan stadium katarak1


Insipien

Imatur

Matur

Hipermatu
r

Kekeruhan

Ringan

Sebagian

Seluruh

Masif

Cairan lensa

Normal

Bertambah

Normal

Berkurang

(air masuk)

(air keluar)

Iris

Normal

Terdorong

Normal

Tremulans

Bilik mata depan

Normal

Dangkal

Normal

Dalam

Sudut bilik mata

Normal

Sempit

Normal

Terbuka

Shadow test

Pseudops

Penyulit

Glaukoma

Uveitis +
Glaukoma

2.2.5 MANIFESTASI KLINIK


Manifestasi dari gejala yang dirasakan oleh pasien penderita katarak terjadi secara
progresif dan merupakan proses yang kronis. Gangguan penglihatan bervariasi, tergantung
pada jenis dari katarak yang diderita pasien.7
Gejala pada penderita katarak adalah sebagai berikut:
1. penglihatan tidak jelas, seperti terdapat kabut
2. peka terhadap sinar
3. seperti ada titik gelap
4. memerlukan pencahayaan yang terang untuk dapat membaca
5. lensa berubah menjadi kabur
6. melihat lingkaran disekitar cahaya
7. penurunan tajam penglihatan
8. visus mundur yang derajatnya tergantung lokasi dan tebal tipisnya kekeruhan
9. sering berganti kaca mata
10. sukar mengerjakan pekerjaan sehari-hari
6

11. penglihatan menguning


12. untuk sementara jelas melihat dekat
13. pada stadium permulaan penderita mengeluh miopi

2.2.6 DIAGNOSA
Diagnosa katarak senilis dapat dibuat dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Pemeriksaan laboratorium preoperasi dilakukan untuk mendeteksi adanya penyakit-penyakit
yang menyertai, seperti DM, hipertensi, dan kelainan jantung.1
Pada pasien katarak sebaiknya dilakukan pemeriksaan visus untuk mengetahui
kemampuan melihat pasien. Visus pasien dengan katarak subcapsuler posterior dapat
membaik dengan dilatasi pupil. Pemeriksaan adneksa okuler dan struktur intraokuler dapat
memberikan petunjuk terhadap penyakit pasien dan prognosis penglihatannya.1
Pemeriksaan slit lamp tidak hanya difokuskan untuk evaluasi opasitas lensa tetapi dapat
juga struktur okuler lain, misalnya konjungtiva, kornea, iris, bilik mata depan. Ketebalan
kornea harus diperiksa dengan hati-hati, gambaran lensa harus dicatat dengan teliti sebelum
dan sesudah pemberian dilator pupil, posisi lensa dan intergritas dari serat zonular juga dapat
diperiksa sebab subluksasi lensa dapat mengidentifikasi adanya trauma mata sebelumnya,
kelainan metabolik, atau katarak hipermatur. Pemeriksaan shadow test dilakukan untuk
menentukan stadium pada katarak senilis. Selain itu, pemeriksaan ofthalmoskopi direk dan
indirek dalam evaluasi dari intergritas bagian belakang harus dinilai.1

2.2.7 PENATALAKSANAAN
Tindakan non-bedah:3
1

Pengobatan dari penyebab katarak: Penyebab katarak harus dicari, karena apabila
penyakit tersebut dapat ditemui dan diobati seringkali memberhentikan progresi dari
penyakit tersebut, contohnya adalah:
- Kontrol gula darah pada pasien DM
- Menghentikan penggunaan obat-obatan seperti kortikosteroid
- Pengobatan uveitis untuk mencegah komplikasi

Memperlambat progresi: penggunaan yodium, kalsium, kalium, vitamin E dan aspirin

dihubungkan dengan perlambatan dari kataraktogenesis.


3 Meningkatkan penglihatan pada katarak insipien dan imatur dengan:
- Refraksi
- Pencahayaan: Pada opasitas sentral menggunakan penerangan yang terang. Pada
4

opasitas perifer menggunakan penerangan yang sedikit redup.


Pengunaan kacamata hitam ketika beraktifitas diluar ruangan pada pasien dengan

opasitas sentral
Midriatikum pada pasien dengan katarak aksial yang kecil.

Indikasi operasi katarak ialah:3


1

Fungsi penglihatan: Ini merupakan indikasi yang paling sering. Operasi katarak
dilakukan ketika cacat visus menjadi menyebabkan gangguan signifikan pada
kehidupan sehari-hari pasien.
Indikasi medis: meskipun pasien merasa nyaman dari aspek penglihatan, operasi

2
3

dapat dianjurkan apabila pasien menderita:


Glaukoma lens-induced
Endoftalmitis fakoanafilaktik
Penyakit retina seperti retinopati diabetikum dan ablasio retina yang terapinya
terganggu karena adanya kekeruhan lensa.
Indikasi kosmetik: Terkadang pasien dengan katarak matur meminta ekstraksi katarak
agar pupil kembali menjadi hitam.

Evaluasi Preoperatif
1

Pemeriksaan umum: untuk melihat apakah pasien memiliki penyakit diabetes


mellitus, hipertensi dan masalah jantung, PPOK dan daerah potensi infeksi seperti
periodontitis dan infeksi saluran kemih. Gula darah harus terkontrol dan hipertensi

tidak boleh diatas 160/100 mmHg


Pemeriksaan fungsi retina:
a Persepsi sinar: apakah operasi tersebut akan menguntungkan dengan melihat
apakah fungsi retina masih baik atau tidak.
b RAPD: apabila positif maka kemungkinan ada lesi nervus optikus
c Persepsi warna
d Pemeriksaan diskriminasi dua sinar
e Pemeriksaan objektif seperti elektroretinogram, EOG dan VOR.
Mencari sumber infeksi lokalis: infeksi konjungktiva, meibomitis,blefaritis dan
infeksi sakus lakrimalis harus disingkirkan. Dilakukan uji anel untuk melihat patensi
sakus lakrimalis apabila pasien memiliki riwayat mata berair. Apabila terdapat

penyakit

dakriosistitis,

maka

harus

dilakukan

dakriosistektomi

ato

dakriosistorinostomi.
Evaluasi segmen anterior: apakah ada tanda-tanda uveitis seperti keratic precipitate,

efek Tyndall dan harus diobati sebelum operasi katarak


Pengukuran TIO: tekanan intraokuler yang tinggi merupakan prioritas pengobatan
sebelum ekstraksi katarak
PEMBEDAHAN KATARAK SENILIS.3
1

Ekstraksi katarak intrakapsular (ICCE)


Pada teknik ini, keseluruhan lensa katarak dan kapsulnya diangkat. Zonula yang
lemah dan terdegenerasi merupakan syarat dari operasi ini. Karena hal ini, teknik ini
tidak bisa dilakukan pada pasien yang muda karena zonula yang kuat. Pada usia 40-50

tahun, digunakan enzim alphachymotrypsin yang melemahkan zonula.


Indikasi: Subluksasi dan dislokasi lensa.
Ekstraksi katarak ekstrakapsular (ECCE)
Pada teknik ini, bagian besar dari kapsula anterior dan epitel, nukleus dan korteks
diangkat; kapsula posterior ditinggalkan sebagai penyangga lensa implant.
Indikasi: Operasi katarak pada anak-anak dan dewasa.
Kontraindikasi: Subluksasi dan dislokasi lensa.
Fakoemulsifikasi
Pembedahan menggunakan vibrator ultrasonik untuk menghancurkan nukleus yang
kemudian diaspirasi melalui insisi 2.5-3 mm, dan kemudian dimasukan lensa
intraokular yang dapat dilipat. Keuntungan yang didapat ialah pemulihan visus lebih
cepat, induksi astigmatis akibat operasi minimal, komplikasi dan inflamasi pasca
bedah minimal.

LENSA TANAM INTRAOKULER


Gambar : Teknik Fakoemulsifikasi pada operasi katarak

Implantasi lensa intraokular merupakan metode pilihan untuk koreksi afakia. Biasanya bahan
lensa intraokuler terbuat dari polymethylmethacrylate (PMMA).
Pembagian besar dari lensa intraokular berdasarkan metodi fiksasi pada mata ialah:
1
2

IOL COA: Lensa di depan iris dan disangga oleh sudut dari COA.
Lensa yang disangga iris: lensa dijahit kepada iris, memiliki tingkat komplikasi yang

tinggi.
Lensa Bilik Mata Belakang: Lensa diletakan di belakang iris, disangga oleh sulkus
siliaris atau kapsula posterior lensa.

2.2.7 PROGNOSIS
Katarak senilis biasanya berkembang lambat selama beberapa tahun dan pasien
mungkin meninggal sebelum timbul indikasi pembedahan. Namun jika katarak dapat dengan
cepat terdeteksi serta mendapat pengobatan dan pembedahan katarak yang tepat maka 95 %
penderita dapat melihat dengan normal.
2.2 OPTHALMOPLEGIA
2.2.1 ANATOMI OTOT MATA
Otot ekstraokuler terdiri atas empat otot rektus, dua otot oblikus, dan
otot levator palpebral superior (Gambar 2.1). Nervus kranialis VI
(abdusen)

menginervasi

otot

rektus

lateralis,

nervus

kranialis

IV

(trokhlearis) menginervasi otot oblikus superior, sedangkan nervus


kranialis III (okulomotorius) memberikan persarafan pada otot levator
palpebra superior, rektus superior, rektus medialis, rektus inferior, dan
otot oblikus inferior.2

Gambar 2.2 Otot ekstraokuler (Sumber: Putz & Pabst, 2006)


10

Otot rektus horisontalis terdiri atas otot rektus medialis dan rektus
lateralis, Aksi otot rektus medialis pada posisi primer adalah adduksi,
yaitu gerakan bola mata ke arah nasal atau rotasi ke dalam. Sedangkan
Aksi otot rektus lateralis pada posisi primer adalah abduksi, yaitu gerakan
bola mata ke arah temporal atau rotasi ke luar.5
Otot rektus vertikalis terdiri dari otot rektus superior dan rektus
inferior. Pada posisi primer, otot rektus superior membentuk sudut 23 ke
arah lateral sumbu penglihatan serta memiliki aksi primer elevasi, aksi
sekunder intorsi atau insikloduksi, dan aksi tersier adduksi. Sedangkan, .
Pada posisi primer, otot rektus inferior membentuk sudut 23 ke arah
lateral dari sumbu penglihatan, serta memiliki aksi primer depresi, aksi
sekunder ekstorsi atau eksikloduksi dan aksi tersier adduksi.5
Otot oblikus terdiri dari otot ototoblikus superior dan inferior. Pada
posisi primer, otot oblikus superior membentuk sudut 51-54 dari sumbu
penglihatan, serta memiliki aksi primer intorsi atau insikloduksi, aksi
sekunder depresi, dan aksi tersier abduksi. Sedangkan, Pada posisi primer,
otot oblikus inferior membentuk sudut 51 dari sumbu penglihatan, serta
memiliki aksi primer ekstorsi atau eksikloduksi, aksi sekunder elevasi, dan
aksi tersier abduksi.5

Gambar 2.3 Otot ekstraokuler dilihat dari anterior dan posterior

2.2.2 DEFENISIS OPTHALMOPLEGIA


Ophthalmoplegia adalah kelumpuhan atau kelemahan dari satu atau
lebih dari otot-otot yang mengontrol pergerakan bola mata. Kondisi ini
dapat

disebabkan

oleh

gangguan

langsung

pada

otot-otot

yang

mengendalikan pergerakan bola mata atau terjadi gangguan pada jalur


saraf yang mengendalikan pergerakan otot-otot mata. Penyakit ini
11

biasanya berkaitan dengan saraf kranial ketiga (oculomotorius), keempat


(trochlear), dan keenam (abducens).4

2.2.2 PATOGENESIS OFTHALMOPLEGIA


Ophthalmoplegia dapat disebabkan oleh gangguan langsung pada
otot-otot yang mengendalikan pergerakan bola mata atau terjadi gagguan
pada jalur saraf yang mengendalikan pergerakan otot-otot mata.
Ophthalmoplegia

internuklear

merupakan

gangguan

pergerakan

pandangan atau gaze horizontal yaitu berupa kelemahan adduksi pada


mata yang terkena dan nistagmus abduksi pada mata kontralateral.
Penyakit ini biasanya merupakan kelainan yang terdapat pada brainstem
atau batang otak, terutama lesi pada fasikulus longitudinalis medialis
pada dorsomedial tegmentum batang otak yaitu pada pons dan/atau
midbrain.
Ophthalmoplegia internuklear mungkin disebabkan oleh sclerosis
multipel (terutama dewasa muda), infark batang otak (terutama pada
pasien tua), tumor, malformasi arteriovena, ensefalopati Wernicke, dan
ensefalitis. Oftalmoplegia internuklear bilateral paling sering disebabkan
oleh sclerosis multipel.4
Fasikulus longitudinalis medialis adalah suatu traktus serat saraf
penting yang berjalan dari otak tengah bagian rostral ke korda spinalis.
Traktus ini mengandung banyak jaras yang menghubungkan nukleusnukleus di dalam batang otak, terutama yang berperan dalam gerak
ekstraokular.

Manifestasi

paling

sering

dari

kerusakan

fasikulus

lingitudinalis medialis adalah oftalmoplegia internuklear, dengan gerakangerakan mata horizontal konjugat terganggu akibat kegagalan koordinasi
antara nucleus nervus abducens di pons dan nucleus nervus oculomotoris
di otak tengah. Pada bentuk yang paling parah, kemampuan aduksi dalam
pandangan horizontal hilang sama sekali, menimbulkan diploplia terusmenrus dalam pandangan lateral. Konvergensi biasanya tidak terganggu
pada oftalmoplegia internuklear, kecuali bila lesinya terletak di otak
tengah mekanisme konvergensi juga dapat terkena. Gambaran lain
12

oftalmoplegia internuklear adalah nistagmus pada mata yang aduksi


sewaktu berusaha memandang horizontal, yang sedikitnya merupakan
bagian dari hasil kompensasi terhadap kegagalan aduksi mata yang
satunya.4
2.2.3 MANIFESTASI KLINIS OFTHALMOPLEGIA
Pada ophtalmoplegia, mata tidak bergerak bersamaan sehingga
pasien mengeluh penglihatan ganda (diplopia). Selain itu juga terdapat
keluhan berupa mata buram. Beberapa penderita juga mengeluh kesulitan
menggerakkan bola matanya ke arah tertentu atau terdapat kelumpuhan
pada palpebra superior. Gejala lainnya dapat berupa kesulitan menelan
dan kelemahan pada otot-otot tubuh secara general.
Pada sklerosis multipel neuritis optik mungkin merupakan manifestasi
yang pertama. Dapat timbul serangan berulang, dan mata sebelahnya
biasanya juga terkena. Secara keseluruhan insiden neuritis optik pada
sklerosis multipel adalah 90% dan adanya keterlibatan nervus optikus
yang simptomatik atau sub klinis merupakan petunjuk diagnostik yang
penting. Diplopia adalah gejala awal yang umum ditemukan, paling sering
terjadi akibat ophthalmoplegia internuklear yang sering mengenai kedua
mata. Penyebab yang kurang umum, yaitu lesi pada nervus kranialis
ketiga atau keenam dalam batang otak. Nistagmus adalah tanda awal
yang umum terjadi, dan tidak seperti kebanyakan manifestasi penyakit ini
(yang cenderung mengalami remisi) nistagmus sering menetap.
Sklerosis multipel menimbulkan peradangan intraokular, terutama
pembentukan selubung (sheating) vena retina perifer, yang dapat
diperjelas dengan angiografi fluoresein. Selain ganggun pada mata,
mungkin ditemukan kelemahan motorik disertai tanda-tanda piramidal,
ataksia, inkoordinasi tungkai dengan tremor intensif, disartria, gangguan
berkemih dan atau buang air besar dan gangguan sensorik khususnya
parastesia.
Miastenia gravis sering ditemukan pertama kali sebagai kelemahan
otot-otot ekstraokuler. Ptosis unilateral karena kelelahan otot sering
merupakan

tanda

awal

yang

diikuti

oleh

keterlibatan

otot-otot
13

ekstraokular bilateral sehingga gejala awalnya sering berupa diplopia.


Pada kasus yang tidak diobati, dapat segara timbul kelemahan umum
lengan dan tungkai, kesulitan menelan, kelemahan otot-otot rahang, dan
kesulitan bernapas. Kelemahan ini memperlihatkan variasi diurnal dan
sering memburuk seiring dengan berlalunya hari tetapi dapat membaik
setelah tidur siang. Pada penyakit ini tidak didapatkan gangguan sensorik
2.2.4 DIAGNOSIS OFTHALMOPLEGIA
Diagnosis multipel skelrosis didasarkan pada adanya kelainan pada
substansi alba pada sistem saraf sentral yang bersifat diseminata
(Schumacher criteria), yang didukung dengan hasil pemeriksaan MRI dan
adanya keabnormalan pada cairan serebrospinalis (kriteria posner).
Penemuan Oligoclonal bands pada cairan serebrospinal menandakan
adanya produksi imunoglobuin intratekal merupakan karakteristik dari
multipel sclerosis, namun penemuan ini bukan merupakan diagnosis pasti.
Dapat juga ditemukan limfositosis pada cairan serebrospinal atau
peningkatan ringan dari protein serebrospinal pada saat fase akut. Pada
multipel sclerosis juga didapatkan adanya neuritis optik hampir pada 60%
penderita.4
Defek lapisan serat saraf retina yang sesuai untuk neuritis optik sub
klinis dapat terdeteksi pada 68% pasien sklerosis multipel. VER mungkin
dapat mengkonfirmasi terkena atau tidaknya jaras penglihatan. Hasil VER
tidak normal pada 80% kasus sklerosis multipel yang jelas, 43% kasus
probable, dan 22% kasus dugaan sklerosis multipel.
Diagnosis dari miastenia gravis yaitu dengan menemukan antibodi
reseptor anti-asetilkolin. Pasien dengan antibodi positif harus menjalani
pemeriksaan

CT

scan

atau

MRI

dada

untuk

mendeteksi

adanya

pembesaran timus. Timoma terjadi pada 15% pasien. Sebagian besar


pasien dengan miastenia gravis generalisata tanpa antibodi reseptor
asetilkolin memiliki antibodi terhadap reseptor tirosin kinase yang spesifik.
Pasien-pasien ini biasanya perempuan, dengan otot-otot bulbar dan
kranial paling banyak terkena, sering terjadi krisis respiratorik, dan respon
terhadap terapi yang lebih buruk.
14

Endrofonium

intravena

atau

neostigmin

intramuskular

dapat

digunakan untuk diagnosis. Pada uji endrofonium (tensilon), atropin


intravena disarankan untuk diberikan sebagai praterapi. Endrofonium, 2
mg diberikan secara intravena dalam 15 detik. Bila tidak timbul respon
dalam 30 detik, diberikan tambahan 5-7 mg. Uji ini paling bermakna bila
ptosisnya mencolok. Perbaikan fungsi otot yang bermakna menunjukkan
suatu respon positif dan memastikan diagnosis miastenia gravis.4
2.2.5 PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan pada ophthalmoplegia, terapi didasarkan atas
penyebabnya. Pada multipel sklerosis, pengobatan dapat diberikan metil
prednisolone intravena untuk kekambuhan yang bersifat akut, namun
pemberian obat ini tidak mempengaruhi disabilitas yang ditimbulkan oleh
penyakit maupun frekuensi kekambuhan penyakit. Selain itu, dapat juga
diberikan

interferon

dan

glatiramer

asetat

(kopolimer

1)

untuk

mengurangi tingkat keparahan dan tingkat kekambuhan penyakit dan


memperlambat progresivitas gambaran abnormal pada MRI. Pengobatan
lain yang dapat diberikan yaitu berupa sitostatik, namun efektifitas dari
obat golongan ini masih dalam proses penelitian.4
Pasien miastenia gravis dapat diobati dengan piridostigmin, steroid
sistemik, imunosupresan lain seperti azatioprin, imunoglobulin, dan
plasmafaresis, bergantung pada keparahan penyakitnya. Pada eksaserbasi
yang berat, mungkin diperlukan pernapasan buatan. Timektomi mungkin
diindikasikan pada pasien dengan timoma.4

BAB III
LAPORAN KASUS
3.1 IDENTITAS PENDERITA
15

No Rekam Medik

: 12 59 65

Nama Penderita

: Ny. D. R

Umur

: 51 tahun

Jenis Kelamin

: Perempuan

Agama

: Islam

Suku/bangsa

: Sunda (Jawa Barat)

Alamat

: Cigombong, kota raja

Tanggal MRS

: 21 januari 2016

Tanggal Pemeriksaan

: 10 februari 2016

3.2 ANAMNESA
KU : Pusing berputar
RPS : Pasien merupakan rujukan dari praktek dr Sp.S dengan keluhan pusing berputar
yang hilang timbul, penglihatan kabur seperti terdapat kabut pada kedua mata, dan pada
saat melihat seperti melihat 2 bayangan yang dirasakan sejak sebulan yang lalu. Pasien
juga mengeluhkan bola mata sulit untuk digerakan sejak sebulan yang lalu, keluhan mata
gatal, merah, berair, kotoran mata yang banyak, riwayat trauma, rasa nyeri pada mata,
maupun mata sering dikucek disangkal pasien. Kemudian tiga minggu yang lalu keluhan
pusing berputar semakin hebat dirasakan sejak siang dan malamnya pasien memutuskan
berobat ke praktek dr. Sp.S. Pada saat pemeriksaan ditempat praktek tekanan darah
pasien mencapai 190/110 mmHg dan terdapat bercak darah dikedua bagian mata
sehingga malam itu juga paasien segera dirujuk oleh dr Sp.S ke IGD dok 2 untuk segera
di opname.
Pada saat diopname pasien mengeluhkan kelopak matanya sangat sakit jika diangkat.
Keluhan pada mata dan pusing berputar ini baru pertama kali dialami oleh pasien. Sejak
keluhan dirasakan sampai pada saat pasien periksa ke dr praktek tidak ada obat mata
yang pasien gunakan baik obat tetes maupun obat minum, pasien hanya mengkonsumsi
obat penurun tekanan darah yang memang sudah rutin pasien konsumsi setiap hari.
RPD : Pasien memiliki riwayat hipertensi sejak 24 tahun lalu, tetapi rutin memeriksakan
tekanan darahnya di puskesmas, pasien sempat di opname di RSMI empat tahun yang
lalu karena tekanan darah mencapai 190/100 mmHg. Diabetes dan asam urat disangkal.
RPK : Ayah pasien memiliki riwayat hipertensi.
3.3 PEMERIKSAAN UMUM
16

Status Generalis
Keadaan Umum
Kesadaran
Tekanan Darah
Suhu Badan
Thorax
- Jantung
-

: Tampak Sakit Sedang


: Compos Mentis
: 130/90 mmHg
: 36,8oC
: thrill (-), ictus cordis (-), redup (+), BJ I-II

reguler, murmur (-), gallop (-)


Paru

: simetris ikut gerak napas, retraksi (-), SN

vesikuler, wheezing (-/-), rhonki (-/-)


Abdomen
: Dalam batas normal
Status Psikiatri
Afek
: Appropriate
Sikap
: Kooperatif
Respon
: Baik
Kesan/kesimpulan
: Baik
Status Neurologi
Motoris
: Kekuatan otot dbn
Sensoris
: Baik
Refleks
: Baik

3.4 PEMERIKSAAN KHUSUS/STATUS OPHTALMOLOGI


1

Pemeriksaan Subyektif

Jenis pemeriksaaan
Form Sence Sentral DistenceVision
(Snellen Chart)
Koreksi
Near Vision
(Jaegger Test)
Colour
Sense
Light Sence
Light
Projection
Pemeriksaan obyektif
a Pemeriksaan bagian luar
Jenis Pemeriksaan
Inspeksi
umum
Edema
Hiperemi
Sekret
Lakrimasi
Fotofobia

OD

OS

6/20 ph 6/15 s +1.25


6/9
Add + 2.50
-

6/12 ph 6/20
sulit diperiksa
Add +2.50
-

Tdl

Tdl

OD

OS
-

17

Blefarospasma
posisi bola mata

Orthoforia Orthoforia
Terhambat
kesemua
arah
Baik
N
N

Gerakan mata
benjolan/tonjolan
Supersilia
Inspeksi
khusus

PALPEBRA

MARGO
PALPEBRA

KONJUNGTIVA

Posisi
Warna
Bentuk
Edema
Pergerakan
Ulkus
Tumor
Posisi
Ulkus
Krusta
Silia
Skuama
Palpebra

Bulbi

warna
sekret
edema
warna
benjolan
Pemb.darah
Injeksi

Forniks
Posisi
Gerakan
BULBUS OKULI Sklera

warna
pendarahan
benjolan
Pemb. darah
Injeksi
Kornea
kekeruhan
sikatrik
pannus
permukaan
refleks
epitelisasi
Camera occuli anterior
perlengketan

Dbn
Dbn
Dbn
Dbn
Dbn
-

Dbn
Dbn
Dbn
Dbn
Dbn
-

Dbn
Lengkap
Dbn
Dbn
Dbn
Dbn
Dbn
Terhambat
kesemua
arah
Putih
Licin
+
Normal
-

Dbn
Lengkap
Dbn
Dbn
Dbn
Dbn
Dbn
Dbn
Putih
Licin
+
Normal
18

Inspeksi
Khusus

Iris

Warna
lain-lain

Cokelat

Cokelat

Pupil

Bentuk
Refleks

Bulat
+

Bulat
+

Kekeruhan

Keruh

Keruh

Lensa
Shadow test
Palpasi

Nyeri tekan
Tumor
TIO Digital

Pemeriksaan kamar gelap


JENIS PEMERIKSAAN
Direct
Kornea
Ophtalmoscop
COA
e
Lensa
Badan Kaca
Refleks Fundus
Pembuluh Darah

Slit Lamp

Makula Lutea
Kornea
COA
Iris
Lensa

+
Normal

+
Normal

OD
OS
Bening
Bening
Normal
Normal
Keruh
Keruh
Normal
Normal
+ non uniform
+ non uniform
Perdarahan (-)
Perdarahan (-)
Eksudat (-)
Eksudat (-)
Mikroaneurisma (-) Mikroaneusrisma (-)
Normal
Normal
Jernih
Jernih
Sedang
Sedang
Normal
Normal
Keruh
Keruh

Retina perdarahan

Konjungtiva Bulbi

Normal

Normal

3.5 RESUME
Pasien wanita umur 51 tahun dikonsulkan ke bagian mata pada tanggal 10 februari 2016
dengan keluhan kedua mata kabur seperti ada kabut, bola mata sulit digerakan dan
penglihatan seperti ada dua. Telah dirasakan sejak sebulan yang lalu. Sebelum dibawah
kerumah sakit tekanan darah pasien mencapai 190/110 mmHg. Pemeriksaan umum dalam
batas normal.
Status oftalmologi
OD
6/20

Keterangan
Visus

OS
6/12
19

Terhambat kesemua arah


Keruh
+

Gerakan mata
Lensa
Shadow test

Baik
Keruh
+

3.6 DIAGNOSIS
Opthalmoplegia total OD + Katarak senilis imatur ODS
3.7 TERAPI
Medikamentosa

Cendo Xitrol e.d 3x1 ODS

Non. Medikamentosa

Edukasi tentang penyakit


Kontrol mata secara teratur sesuai saran Sp.M

3.8 PROGNOSIS
Quo ad vitam
Quo ad fungtionam
Quo ad sanationam

: dubia ad malam
: dubia ad malam
: dubia ad bonam
BAB IV
PEMBAHASAN

4.1 Penegakan Diagnosa


Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik pada pasien ini, didapatkan diagnosis
Opthalmoplegia OD dan katarak senilis imatur ODS.
Dari autoanamnesis diketahui keluhan utama pasien sehingga dikonsulkan ke poli
mata, yaitu penglihatan pasien seperti penglihatan ganda atau dua, dan bola mata tak dapat
digerakan pada mata kiri. Keluhan ini kemungkinan terjadi kerusakan pada saraf mata
ataupun otot pergerakan bola mata. Dimana keluhan ini khas pada penyakit opthalmoplegia.
Opthalmoplegia adalah kelumpuhan atau kelemahan dari satu atau lebih dari
otot-otot yang mengontrol pergerakan bola mata. Kondisi ini dapat
disebabkan oleh gangguan langsung pada otot-otot yang mengendalikan
pergerakan bola mata atau terjadi gagguan pada jalur saraf yang
mengendalikan pergerakan otot-otot mata.

20

Berdasarkan teori, gerakan bola mata diatur oleh banyak otot dan
juga saraf. Otot yang mengatur pergerakan bola mata yaitu Otot rektus
medialis

diinervasi

oleh

nervus

okulomotorius

ramus

inferior

dan

divaskularisasi oleh arteri-arteri oftalmika cabang muskularis medialis.


Aksi otot rektus medialis pada posisi primer adalah adduksi, yaitu gerakan
bola mata ke arah nasal atau rotasi ke dalam. Sedangkan otot rektus
lateralis diinervasi oleh nervus abdusen serta divaskularisasi oleh arteri
oftalmika cabang muskularis lateralis dan arteri lakrimalis. Aksi otot rektus
lateralis pada posisi primer adalah abduksi, yaitu gerakan bola mata ke
arah temporal atau rotasi ke luar. Otot rektus superior diinervasi oleh
nervus okulomotorius ramus superior dan divaskularisasi oleh arteri
oftalmika cabang muskularis lateralis. Pada posisi primer, otot rektus
superior membentuk sudut 23 ke arah lateral sumbu penglihatan serta
memiliki aksi primer elevasi, aksi sekunder intorsi atau insikloduksi, dan
aksi

tersier

adduksi.

Otot

rektus

inferior

diinervasi

oleh

nervus

okulomotorius ramus inferior dan di divaskularisasi oleh arteri oftalmika


cabang muskularis medialis dan arteri infraorbitalis. Pada posisi primer,
otot rektus inferior membentuk sudut 23 ke arah lateral dari sumbu
penglihatan, serta memiliki aksi primer depresi, aksi sekunder ekstorsi
atau eksikloduksi dan aksi tersier adduksi. Otot oblikus superior diinervasi
oleh nervus trochlearis dan divaskularisasi oleh arteri oftalmika cabang
muskularis lateralis. Pada posisi primer, otot oblikus superior membentuk
sudut 51-54 dari sumbu penglihatan, serta memiliki aksi primer intorsi
atau insikloduksi, aksi sekunder depresi, dan aksi tersier abduksi. Otot
oblikus inferior diinervasi oleh nervus okulomotorius ramus inferior serta
divaskularisasi oleh arteri oftalmika cabang muskularis medialis dan arteri
infraorbitalis. Pada posisi primer, otot oblikus inferior membentuk sudut
51 dari sumbu penglihatan, serta memiliki aksi primer ekstorsi atau
eksikloduksi, aksi sekunder elevasi, dan aksi tersier abduksi.
Ke enam otot-otot yang mengatur pergerakan bola mata dipersarafi
oleh 3 saraf penting yaitu saraf III (okulomotorius), IV (troklearis), dan VI
(abdusen). Dimana ketiga saraf ini memiliki inti atau nukleus dibatang
otak dan antar nukleus2 tersebut saling berkaitan satu dengan yang lain.
21

Kemudian dari batang otak nukleus-nukleus saraf tersebut diteruskan ke


cerebelum sebagai pusat koordinasi gerak otot. Sehingga jika dilihat dari
segi anatomi persarafannya saja penyebab dari opthalmoplegia ini sangat
beragam, bisa terjadi karena gangguan lintas supra nuklear, gangguan
pada nuklear saraf ataupun gangguan gangguan pada infra nuklear.
Pada opthalmoplegia dapat terjadi fenomena diplopia (penglihatan
ganda), hal ini dapat diakibatkan oleh kelumpuhan otot penggerak bola
mata yang berfungsi untuk menggerakan mata sehingga arah penglihatan
kedua bola mata tidak bersamaan. Kelumpuhan otot penggerak ini dapat
terjadi

karena

kerusakan

pada

saraf

yang

menggerakannya

atau

gangguan vaskularisasi. Hal ini sesuai dengan yang ditemukan pada


pasien dimana pasien mengeluhkan pada saat melihat benda seperti
melihat 2 benda, kemudian pada pemeriksaan fisik terlihat pergerakan ke
dua bola mata tidak bersamaan dimana bola mata kanan tak dapat
digerakan seperti bola mata kiri.
Keluhan lain yang dirasakan pasien yaitu pasien tidak dapat
menggerakan bola mata sebelah kanan. Hal ini sesuai dengan teori bahwa
pada opthalmoplegia terjadi kelemahan otot penggerak bola mata yang
diakibatkan oleh gangguan langsung pada otot mata ataupun gangguan
pada saraf mata. Untuk menentukan secara pasti letak/bagian mana yang
terganggu dibutuhkan pemeriksaan penunjang yang lebih spesifik.
Terdapat literatur yang menyebutkan bahwa opthalmoplegia internuklear bersifat bilateral dan disebabkan paling sering oleh proses
demielimisasi saraf dan apabila opthalmoplegianya unilateral maka
biasanya ini disebabkan oleh gangguan faskuler. Hal ini dapat dikaitkan
dengan pasien dimana opthalmoplegia pada matanya bersifat unilateral,
dan terdapat riwayat hipertensi.
Selain itu dari anamnesi juga didapatkan keluhan kedua mata kabur seperti berkabut.
Dari keluhan ini kemungkinan terjadi gangguan media refraksi, dimana keluhan ini khas pada
penyakit mata katarak. Katarak adalah keadaan kekeruhan yang terjadi pada lensa mata yang
dapat terjadi akibat hidrasi (penambahan cairan lensa), denaturasi protein lensa, atau dapat
juga akibat dari keduanya. Berdasarkan teori, pasien dengan katarak mengeluhkan
penglihatan berkabut sehingga sama dengan keluhan pasien pada kasus ini.
Selain pandangan berkabut, berdasarkan teori gejalah lain yang dapat dikeluhkan oleh
pasien katarak adalah peka terhadap sinar atau cahaya, seperti ada titik gelap di depan mata,
22

dapat melihat dobel pada satu mata, benda-benda yang dilihat penderita akan menyebabkan
silau, memerlukan pencahayaan yang terang untuk dapat membaca, lensa mata berubah
menjadi buram seperti susu, penderita mengeluh adanya bercak-bercak putih yang tak
bergerak, kesulitan melihat pada malam hari, melihat lingkaran disekeliling cahaya (halo),
penurunan ketajaman penglihatan secara progresif, visus menurun yang derajatnya tergantung
lokalisasi dan tebal tipisnya kekeruhan, sering berganti kaca mata, sukar mengerjakan
pekerjaan sehari-hari, dan penglihatan menguning. Pada kasus ini, sebagian dari keluhan
yang disebutkan diatas juga dirasakan oleh pasien yaitu pasien merasa penglihatan perlahanlahan menjadi kabur. Gangguan penglihatan bervariasi, tergantung pada jenis dari katarak
ketika pasien datang.
Katarak umumnya penyakit pada usia lanjut, akan tetapi dapat juga akibat kelainan
kongenital atau penyakit penyerta yang telah menahun. Penyakit sistemik juga berpengaruh
pada katarak yang dapat menimbulkan katarak komplikata. Pada kasus ini, penyebab katarak
dapat diketahui berhubungan dengan faktor usia yang sudah lanjut karena berdasarkan
identitas, usia pasien 51 tahun dan berdasarkan anamnesis keluhan baru dirasakan 5 minggu
sehingga dapat disingkirkan penyebab lain yaitu kelainan kongenital.
Berdasarkan usia, katarak dapat diklasifikasikan menjadi 4 jenis yaitu katarak
kongenital, yaitu katarak yang terlihat pada usia dibawah 1 tahun. Katarak juvenil, katarak
yang terjadi diatas usia 1 tahun. Katarak pre senil, katarak yang terjadi sesudah usia 30-40
tahun katarak senil, yaitu katarak yang mulai terjadi pada usia diatas 40 tahun. Pada kasus,
pasien berusia 51 tahun sehingga dapat dikelompokan termaksud dalam katarak senil.
Dari pemeriksaan fisik, katarak dapat di diagnosis berdasarkan pemeriksaan subjektif
dan pemeriksaan objektif. Pemeriksaan subjektif dilakukan pada pemeriksaan tajam
penglihatan. Hal ini dilakukan karena pada pasien katarak terjadi penurunan tajam
penglihatan secara perlahan sehingga dengan pemeriksaan visus dapat diketahui kemampuan
penglihatan pasien. Dari ketajaman visus ini berdasarkan teori dapat dibedakan pada katarak
imatur visus antara 6/9-3/60, visus katarak matur 2/60-1/300, dan katarak hipermatur 1/3001/~. Pada kasusu ini setelah pasien dilakuk an pemeriksaan tajam penglihatan didapatka
AVOD 6/20 dan AVOS 6/12. Berdasarkan visus tersebut maka katarak pada kasus ini dapat
diklasifikasikan didalam katarak matur.
Selain itu, dilakukan juga pemeriksaan objektif dan didapatkan hasil pada
pemeriksaan menggunakan slitlamp, lensa terlihat sebagian keruh dan shadow test (+)
sehingga pada ofthalmoskop reflex fundus (+) non uniform. Hal ini menandakan katarak
sinilis pada kasus berada pada stadium imatur. Berdasarkan teori yang telah dijabarkan
diatasbahwa pada katarak sinilis imatur yang terlihat pada pemeriksaan adalah sebagian
23

keruh, lensa masih memiliki bagian yang jernih. Katarak yang belum mengenai seluruh
lapisan lensa. Jika kekeruhan lensa hanya sebagian saja, maka sinar obliq mengenai bagian
yang keruh akan dipantulkan lagi, sehingga pada pemeriksaan terlihat dipupil, ada daerah
yang terang sebagai reflex pemantulan cahaya pada daera lensa yang keruh dan daerah yang
gelap, akibat bayangan iris pada bagian lensa yang keruh. Kelainan ini disebut shadow test
(+).
4.2 Penatalaksanaan
Katarak hanya dapat diatasi melalui prosedur operasi. Akan tetapi jika tidak terdapat
indikasi pembedahan seperti tidak ada gangguan penglihatan dan tidak ada indikasi medis
maka tindakan operasi tidak diperlukan. Terapi non bedah pada katarak contohnya adalah
kontrol gula darah pada pasien DM, pengobatan uveitis untuk mencegah komplikasi,
memperlambat progresi dengan menggunakan yodium, kasium, kalium, vit E, dan aspirin
dihubungkan dengan perlambatan dari kataraktogenesis., serta meningkatkan penglihatan
pada katarak insipien dan imatur dengan refraksi dan pencahayaan.
Sedangkan pada penanganan opthalmoplegia didasarkan pada penyebab, multipel
sklerosis, pengobatan dapat diberikan metil prednisolone intravena untuk
kekambuhan yang bersifat akut, namun pemberian obat ini tidak
mempengaruhi disabilitas yang ditimbulkan oleh penyakit maupun
frekuensi kekambuhan penyakit. Selain itu, dapat juga diberikan interferon
dan glatiramer asetat untuk mengurangi tingkat keparahan dan tingkat
kekambuhan penyakit dan memperlambat progresivitas.
Pada kasus terapi non medikamentosa yang diberikan adalah
edukasi tentang penyakit opthalmopligia serta katarak yang diderita
pasien, sehingga pasien dapat mengetahui kondisinya. Pasien juga
dianjurkan untuk rajin kontrol kedokter spesialis mata dan saraf sehingga
dapat terus dipantau perjalanan penyakit opthalmoplegia dan kataraknya.
Untuk terapi medikamentosa diberikan obat tetes cendo xitrol 3x1 ODS
dimana obat tetes ini mengandung anti bakteri yaitu polimiksin B sulfat
yang dikombinasikan dengan deksametason natrium fosfat sebagai
kortikosteroid.8
4.3 PROGNOSIS
Prognosis opthalmoplegia dan katarak pada pasien ini adalah dubia ad malam pada
prognosis vitam karena walaupun opthalmoplegia dan katarak sinilis imatur tidak perna
dilaporkan menjadi penyebab kematian tetapi melihat riwayat penyakit pasien yang memiliki
24

hipertensi sejak 24 tahun lalu sehingga dapat memperburuk kondisi pasien. Prognosis ad
sanationam adalah dubia ad malam karena opthalmoplegia berhubungan dengan saraf yang
mengatur gerak bola mata selain itu pada pasien ini memiliki resiko hipertensi yang telah
menahun yang dapat memperberat penyakit, begitu juga katarak yang dialami pada pasien ini
dapat terus progresif selama tidak dilakukan pembedahan. Selain ini prognosis funcionam
adalah dubia ad malam karena walaupun pada katarak sinilis imatur, fungsi penglihatan dapat
dikoreksi dengan pemakaian kacamata dan dapat dilakukan tindakan pembedahan yang
secara teori aman tetapi pada pasien ini tindakan pembedahan sangat berisiko karena
memiliki riwayat hipertensi sejak 24 tahun yang lalu, selain itu opthalmoplegia pada pasien
belum dilakukan pemeriksaan lanjutan yang lebih spesifik untuk mengetahui letak
kerusakannya sehingga fungsi mata secara umum belum dapat diperkirakan.

BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
1. Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik pada pasien, diketahui bahwa diagnosa kasus
ini adalah opthalmoplegia OD dan katarak sinilis stadium imatur ODS
2. Ophthalmoplegia adalah kelumpuhan atau kelemahan satu atau
lebih dari otot-otot yang mengontrol pergerakan bola mata. Kondisi
ini dapat disebabkan oleh gangguan langsung pada otot-otot yang
25

mengendalikan pergerakan bola mata atau terjadi gangguan pada


jalur saraf yang mengendalikan pergerakan otot-otot mata.
3. Katarak adalah keadaan kekeruhan yang terjadi pada lensa mata
yang dapat terjadi akibat hidrasi (penambahan cairan lensa),
denaturasi protein lensa atau dapat juga akibat dari kedua-duanya.
4. Gejalah klinis opthalmoplegia yang didapatkan pada kasus ini
adalah bola mata sebelah kanan susah untuk digerakan, serta
adanya penglihatan ganda (diplopia). Sedangkan gejalah klinis
katarak yang didapatkan pada kasus ini adalah penglihatan menjadi
berkurang dan seperti terdapat kabut (serabut).
5. Penatalaksanaan opthalmoplegia dan katarak pada kasus ini dinilai
telah tepat yaitu terapi non medikamentosadiberikan edukasi akan
penyakit yang diderita, pasien dianjurkan untuk rajin kontrol
kedokter mata dan saraf. Terapi medikamentosa diberikan obat
tetes cendo xitrol 3x1 ODS

26

DAFTAR PUSTAKA
1. Ilyas, S. 2008. Ilmu Penyakit Mata Edisi III. Jakarta: FK Universitas Indonesia
2. Budiono et all. 2013. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Mata. Surabaya:
Airlangga University Press
3. Ilyas, S. 2002. Ilmu Penyakit Mata Edisi II. Jakarta: Sagung Seto
4. Vaughan D G, Asbury T, Riodan-Eva P. 2010. Oftalmologi Umum Edisi 17. Jakarta:
EGC
5. Guyton and Hall. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edsi 11.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
6. American academy of Opthalmology. 2006. Lens and Cataract, Basic and Clinical
Science Course Section 11. USA: The Foundation of AAO San Fransisco.
7. Purnomo, Aris. 2010. Konsep Penyakit Katarak. Diakses tanggal 17 februari 2016.
Html: http://www.arispurnomo.com
8. Badan POM. Informatorium Obat Nasional Indonesia 2008. JAKARTA: Badan POM
RI, KOPERPOM dan CV Sagung Seto. 2009
9. Pascolini D, Mariotti SP. Global estimates of visual impairment:2010. BR J Ophthalmol. 2011.

27

You might also like