Professional Documents
Culture Documents
C. E3M6V5
Glasgow Coma Scale (GCS) adalah skala yang dipakai untuk menentukan/menilai tingkat
kesadaran. Terdiri dari penilaian terhadap tiga komponen respon yang ditunjukkan oleh
pasien setelah diberi stimulus tertentu, yakni:
- Respon buka mata
- Respon motorik
- Respon verbal
Setiap penilaian mencakup poin-poin, dengan nilai total 3-15
Jenis Pemeriksaan
Nilai
Respon buka mata (Eye Opening, E)
Respon spontan (tanpa stimulus)
4
Respon terhadap suara/perintah
3
Respon terhadap nyeri
2
Tidak ada respon
1
Respon verbal (V)
Orientasi baik
5
Berbicara mengacau (bingung/disoriented)
4
Kata terucap jelas dengan substansi tidak jelas, tidak
3
membentuk kalimat (misalnya, aduh bapak..)
Suara tidak jelas (tanpa arti, mengerang)
2
Tidak ada suara
1
Respon motorik (M)
Mengikuti perintah
6
Melokalisir nyeri (menjangkau & menjauhkan stimulus
5
saat diberi rangsang nyeri)
4
Fleksi normal (menarik anggota yang dirangsang)
3
Fleksi abnormal (dekortikasi: tangan satu atau
keduanya posisi kaku diatas dada & kaki extensi saat
2
diberi rangsang nyeri)
Ekstensi abnormal (deserebrasi: tangan satu atau
1
keduanya extensi di sisi tubuh, dengan jari mengepal &
kaki extensi saat diberi rangsang nyeri)
Tidak ada respon
Interpretasi hasil pemeriksaan tingkat kesadaran berdasarkan GCS disajikan dalam simbol:
EVM
Berdasar Advanced Trauma Life Support, GCS digunakan untuk menentukan derajat cedera
kepala
Skor GCS
14 15
9 13
38
Referensi:
Committee on Trauma, American College of Surgeons.2008. ATLS: Advanced Trauma Life
Support Program for Doctors (8th ed.). Chicago: American College of Surgeons.
2.
3. B. Miopi simplek
Pandangan kabur pada anak usia 12 tahun, tanpa adanya keluhan lain, dan membaik dengan
penggunaan lensa sferis negatif, merupakan kondisi dari diagnosis Miopia Simplek.
Hipermetrop: sinar yang berjalan sejajar dengan sumbu mata tanpa akomodasi dibiaskan di
belakang retina. Penyebab hipermetrop adalah sumbu mata terlalu pendek (hipermetropia
sumbu) atau daya bias kornea/lensa/akuos humor yang terlalu lemah (hipermetrop pembiasan).
Gejalanya timbul keluhan lelah, pusing, dan nyeri kepala.
Miopia: sinar yang berjalan sejajar dengan sumbu mata tanpa akomodasi dibias di depan retina,
tajam penglihatan selalu kurang dari pada 5/5. Penyebab miopia adalah sumbu mata terlalu
panjang (miopia sumbu) atau daya bias kornea/lensa/akuos humor yang terlalu kuat (miopis
pembiasan). Gejala yang timbul: penglihatan untuk jauh kabur, jika miopia terlalu tinggi
memungkinkan timbul keluhan astenovergen sampai dengan strabismus konvergen. Jika terdapat
perbedaan yang terlalu tinggi derajat miopia satu mata dengan lainnya, dapat terjadi ambliopia.
Pengobatan miopia dengan lensa sferis negatif yang terkecil.
Presbiop: umumnya timbul mulai umur kira-kira 40 tahun. Di mana pungtum proksimum
letaknya jauh dari jarak baca seseorang (lebih dari 35 cm). Agar pungtum proksimum letaknya
lebih dekat daripada jarak baca, maka perlu ditambah adisi sferis positif.
Astigmat: sinar sejajar dengan sumbu penglihatan tidak dibiaskan pada satu titik, melainkan ke
banyak titik. Jika tajam penglihatan tidak tercapai 5/5 dengan lensa sferis saja, harus dipikirkan
adanya suatu astigmat.
Referensi:
Ilyas, Sidarta. 2002. Ilmu Penyakit Mata untuk Dokter Umum dan Mahasiswa Kedokteran.
Jakarta: CV Agung Seto.
4. A. Mematikan dengan gliserin dan dikeluarkan
Pada kasus anak di atas terdapat benda asing di telinga bagian luar yang berupa benda hidup.
Liang telinga luar terdiri dari cartilago dan tulang yang dilapisi oleh periosteum dan kulit. Bagian
tulang merupakan bagian yang sangat sensitive. Karena itulah percobaan mengeluarkan benda
asing di telinga terasa sangat sakit. Liang telinga luar menyempit pada bagian persambungan
antara cartilago dan tulang. Benda asing dapat terjepit disini sehingga membuat semakin sulit
pada pengangkatan benda asing. Percobaan mengambil benda asing dapat membuat benda
tersebut semakin masuk kedalam dan tersangkut pada tempat penyempitan tersebut.
Benda asing yang sering terdapat pada telinga adalah manik-manik, mainan plastik, kelereng, biji
jagung. Serangga lebih sering pada pasien berumur lebih dari 10 tahun. Bila benda asing
tersebut adalah serangga yang hidup, maka pergerakan serangga dapat menyebabkan nyeri
hebat dan bila tidak segera diatasi dapat terjadi infeksi. Pada beberapa kasus pasien dengan
benda asing di telinga adalah tanpa gejala, dan pada anak-anak ditemukan secara kebetulan.
Pasien yang lain mungkin merasa sakit dengan gejala seperti otitis media, pendengaran
berkurang, atau rasa penuh ditelinga. Beberapa kasus sering ditemukan pada anak-anak berumur
kurang dari 8 tahun.
Bila benda asing tersebut masih hidup maka harus dimatikan terlebih dahulu dengan
memasukkan tampon basah ke liang telinga lalu meneteskan cairan anestesi local seperti
lidokain atau desinfektan lebih kurang 10 menit. Setelah binatang mati, dikeluarkan dengan
pinset atau diirigasi dengan air bersih yang hangat.
Sumber:
Sosialisman et all. 2009. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan
Leher, 6th edn. Jakarta: Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hlm 58.
5. B. Pubertas prekoks dependen gonadotropin
Sebagian besar anak akan mengawali pubertas pada umur 8-13 tahun untuk anak perempuan, dan
9-14 tahun untuk anak laki-laki.
Pubertas prekoks didefinisikan sebagai suatu keadaan saat terjadi perkembangan seksual
sekunder yang terjadi sebelum umur 8 tahun pada anak perempuan dan sebelum umur 9 tahun
pada anak laki-laki.
Etiologi dan klasifikasi:
1. Pubertas prekok lengkap/sejati/dependent/sentral/tergantung gonadotropin
(Gonadotropin-dependent precocious puberty)
Adalah pubertas prekok yang disebabkan oleh aktivitas prematur dari poros hipotalamushipofisis, GnRH yang menstimulasi pelepasan Gonadotropin sebelum waktunya.
2. Pubertas prekok tidak lengkap/semu/independent/perifer/tidak tergantung
gonadotropin (Gonadotropin-independent precocious puberty)
Adalah pubertas prekok yang disebabkan oleh sekresi gonadotropin ektopik atau sekresi
steroid seks otonom tidak dipengaruhi oleh poros hipotalamus-hipofisis-gonad atau aktivitas
GnRH, dan hal ini memicu terjadinya pubertas sebelum waktunya.
3. Varian
Perbedaan etiologi dan manifestasi klinis Gonadotropin-dependent precocious puberty dan
Gonadotropin-independent precocious puberty
Klasifikasi dan Etiologi
Manifestasi Klinis
Idiopatik
- Isoseksual
Gonadotropin- Melibatkan aktivasi
dependent precocious Kelainan SSP (tumor atau
nontumor):
hipotalamuspuberty
- Hypothalamic Hemartoma,
hipofisis-gonad
- Gliomas
- Perkembangan
Hipotiroidisme berkepanjangan
seksual mengikuti
dan tidak diobati
urutan yang terjadi
pada pubertas
normal
- Peningkatan GnRH
dan LH/FSH
Gonadotropinindependent
precocious puberty
Pria
Tumor pensekresi gonadotropin:
Gangguan adrenal:
- Isoseksual atau
heteroseksual
- Peningkatan kadar
Variasi perkembangan
pubertas
Congenital Adrenal
hyperplasia:
menyebabkan produksi
hormon androgen berlebih
akibat terjadinya
hyperplasia kelenjar
adrenal.
- Adrenal tumors: hal ini
juga memacu terjadinya
pubertas prekoks akibat
sekresi berlebih hormon
androgen
Produksi androgen berlebihan
Pematangan dini sel leydig dan
sel benih
Wanita
- Kista ovarium
- Noplasma pensekresi
estrogen
- Pria dan wanita
- Hipotiroidisme berat
- Sindroma McCune
Albright
Telarke prematur
Menarke prematur
Adrenarke prematur
Ginekomastia adolesen
Delayed Puberty
Seorang anak dinyatakan mengalami delayed puberty atau pubertas yang terlambat jika
dirinya belum menunjukkan perkembangan payudara menjelang usia 13 atau belum
mengalami menarche menjelang usia 16 tahun, untuk anak perempuan dan belum
mengalami pembesaran pada alat kelamin menjelang usia 14 tahun, untuk anak laki-laki.
Jika melihat pilihan jawaban pada kasus ini: Pubertas prekoks independen gonadotropin,
Pubertas prekoks parsial, Hipertrofi adrenal kongenital (yang dimaksud adalah hiperplasi
adrenal kongenital), merupakan satu istilah yang sama sehingga bukan merupakan jawaban
yang tepat.
Referensi:
1. Pulungan AB. 2010. Pubertas dan gangguannya. Dalam : Jose RL Batubara dkk, penyunting. Buku
Ajar Endokrinologi Anak Edisi I. Jakarta: Balai Penerbit IDAI.
2. Styne DM. 1998. Pubertas.Dalam: Greenspan FS, Baxter JD, penyunting.Endokrinologi Dasar dan
Klinik Edisi ke-4. Jakarta: EGC.
3. Setiyohadi B. 2007. Kesehatan Remaja. Dalam: Sudoyo, A.W., dkk, penyunting. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta: Universitas Indonesia.
6.
B. Pirazinamid
Pirazinamid merupakan obat TB yang bersifat bakterisidal. Efek samping pirazinamid
adalah hepatotoksisitas dengan peningkatan serum SGOT dan SGPT. Pada pasien
dengan dengan hepatitis akut atau klinis ikterik maka pemberian OAT ditunda sampai
hepatitis akut mengalami penyembuhan.
Pada keadaan di mana obat TB sangat diperlukan, maka diberikan streptomisin dan
etambutol selama 3 bulan sampai hepatitis menyembuh dan dilanjutkan dengan
pemberian rifampisin dan isoniazid. Tidak diberikan pirazinamid.
Bila ada kecurigaan gangguan faal hati, SGOT dan SGPT meningkat 3 kali lipat, maka
OAT tidak diberikan, dan apabila dalam pengobatan maka harus dihentikan.
Jika peningkatan kurang dari 3 kali, pengobatan dapat dilaksanakan atau diteruskan
dengan pengawasan. Pasien dengan kelainan hati tidak boleh menggunakan
pirazinamid.
Paduan OAT yang dapat dianjurkan adalah 2RHES/6RH atau 2HES/10HE.
Jika pasien mengeluh gatal-gatal, maka diberikan antihistamin terlebih dahulu sambil
meneruskan OAT dengan pengawasan ketat. Jika timbul kemerahan maka hentikan OAT
terlebih dahulu.
Sumber:
Kemenkes RI. 2011. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta.
7. C. Massage glans penis
1. Fimosis
Fimosis adalah keadaan di mana prepusium tidak dapat ditarik ke belakang
(proksimal)/membuka. Kadang-kadang lubang pada prepusium hanya sebesar ujung jarum,
sehingga sulit untuk keluar (Purnomo, tahun 2003). Pada 95% bayi, kulub masih melekat pada
glans penis sehingga tidak dapat ditarik ke belakang dan hal ini tidak dikatakan fimosis. Pada
umur 3 tahun anak yang fimosis sebanyak 10% (Ikatan dokter Anak Indoneisa, tahun 2008).
Keadaan yang dapat menimbulkan fimosis adalah:
1) Bawaan (kongenital), paling banyak
2) Peradangan (Purnomo, tahun 2003)
2. Parafimosis
Parafimosis adalah keadaan di mana prepusium tidak dapat ditarik ke depan (distal)/menutup.
Pada keadaan ini, glans penis atau batang penis dapat terjepit oleh prepusium yang bengkak.
Keadaan ini paling sering oleh peradangan. Pada parafimosis sebaiknya kita melakukan reduksi
sebelum disirkumsisi (Bachsinar, tahun 1993).
Pengobatan:
Preputium dikembalikan secara manual dengan memijat glans penis selama 3-5 menit
Gagal insisi dorsum
Setelah edema dan proses inflamasi menghilang sirkumsisi
8. B. Ventrikel kiri dan atrium kiri
Ukuran jantung dalam proyeksi radiologi foto polos tidak dihitung menggunakan pengukuran
absolut namun menggunakan rasio diameter transvesal jantung terhadap diameter transversal
rongga thoraks yang disebut sebagai Cardio-Thoracic Ratio (CTR). Pengukuran CTR dilakukan
menggunakan foto polos proyeksi Postero-Anterior (PA) dalam posisi erect, karena bila
dilakukan dengan proyeksi Anteroposterior atau dalam posisi supine akan mengubah dimensi
dada dan organ visera di dalamnya.
CTR dinilai normal apabila nilainya kurang dari
50% kecuali pada orang lanjut usia lebih dari 60
tahun, toleransi rasio ukuran jantung tersebut bisa
bisa sedikit membesar tanpa adanya keadaan
patologis.
o Jarak batas kanan terluar jantung dengan linea
mediana
=
CTR 60% pada wanita usia 30 tahun menandakan terjadinya pembesaran jantung
(cardiomegali), sesuai dengan anatomi jantung yang terproyeksi pada foto polos thoraks,
pinggang jantung yang terbentuk oleh sudut antara atrium kiri dan ventrikel kiri, dan apeks
jantung yang merupakan bagian dari ventrikel kiri tenggelam dalam diafragma
menunjukkan adanya pembesaran jantung sebelah kiri (atrium dan ventrikel kiri).
Referensi:
Browne, RFJ; O'Reilly G, McInerney D (June 2004). "Extraction of the Two-Dimensional
Cardiothoracic Ratio from Digital PA Chest Radiographs: Correlation with Cardiac
Function and the Traditional Cardiothoracic Ratio" (PDF). Journal of Digital
Imaging 17 (2): 1203
Gambar diperoleh dari http://www.crkirk.com/thumbnail/investigations/cxr.htm
9. E. Scurvy
Defisiensi vitamin:
Beri-beri
Defisiensi vitamin B1 (thiamine)
Manifestasi Klinis:
berat badan turun drastis, gangguan
syaraf, lemah dan lesu,
pembengkakan tungkai bawah,
sesak napas, gangguan denyut
jantung dan tak jarang
menimbulkan kematian karena
gagal jantung
Pellagra
Scurvy
Defisiensi vitamin C
Manifestasi Klinis:
Khas: terjadinya perdarahan di
bawah jaringan pelindung tulang
dan di sekitar gigi.
letih dan lesu (malaise and
lethargy), sesak napas, nyeri
tulang, kulit menjadi kasar dan
mudah memar (bruising) dan gusi
bengkak serta gigi goyang
Daftar Pustaka:
1. Almatsier, Sunita. 2009. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
2. http://www.pennmedicine.org/encyclopedia/em_PrintArticle.aspx?gcid=000342
3. http://img.wikinut.com/img/3dp3.ai3ty0adjde/jpeg/0/Scurvy.jpeg
4. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/438830
5. http://www.redorbit.com/news/health/110093/gastrointestinal_beriberi_a_previously_unreco
gnized_syndrome/
10. C. Miliaria rubra
Pembahasan:
Miliaria adalah kelainan kulit akibat retensi keringat yang ditandai dengan vesikel miliar,
tersebar di tempat predileksi. Klasifikasi berdasarkan gambaran klinis dan histopatologi
- Miliaria Kristalina (sudamina)
Terdiri atasvesikel miliar (1-2 mm) subkorneal,
tanpa tanda inflamasi, mudah pecah dengan
garukan dan deskuamasi dalam beberapa hari.
Gambaran histopatologi menunjukkan obstruksi
kelenjar keringat di stratum korneum.
Miliaria pustolosa
Berasal dari miliaria rubra
vesikelnya berubah menjadi
dimana
pustule.
Nyeri
(-)
Portio
Tertutup
Insipiens
(+)
Terbuka
Incomplete
Complete
(-)
(-)
Terbuka
Terbuka
Jaringan
Masih dalam cavum
uteri
Masih dalam cavum
uteri
Teraba jaringan
(-)
Referensi:
Ilmu Kebidanan. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Jakarta. Hanifa Wiknjosatro,
Abdul Bari Saifuddin, dan Trijatmo Rachimhadhi. 2006.
Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid 1. Arif Mansjoer dkk. Media Aesculapius FKUI
Jakarta 2008.
13. E. Terdapat kumpulan cairan di alveoli pada kanan dan kiri lapang paru
Pada pasien di atas menunjukkan gejala-gejala pneumonia.
Diagnosis Pneumonia Berat
Batuk dan atau kesulitan bernapas ditambah minimal salah satu hal berikut ini:
Kepala terangguk-angguk
Pernapasan cuping hidung
Tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam
Foto dada menunjukkan gambaran pneumonia (infiltrat luas, konsolidasi, dll)
Selain itu bisa didapatkan pula tanda berikut ini:
Napas cepat:
Anak umur < 2 bulan : 60 kali/menit
Anak umur 2 11 bulan : 50 kali/menit
Anak umur 1 5 tahun : 40 kali/menit
Anak umur 5 tahun : 30 kali/menit
Suara merintih (grunting) pada bayi muda
Pada auskultasi terdengar:
Crackles (ronki)
Suara pernapasan menurun
Suara pernapasan bronkial
Dalam keadaan yang sangat berat dapat dijumpai:
Tidak dapat menyusu atau minum/makan, atau memuntahkan semuanya
Kejang, letargis atau tidak sadar
Sianosis
Distres pernapasan berat.
Dalam kasus di atas pasien berhak menolak saran dokter untuk tidak dilakukan rawat inap.
Sehingga dokter harus menghormati dasar etika autonomi dalam menanggapi keputusan
pasien.
Sumber:
Hanafiah, MJ. 2009. Etika kedokteran dan Hukum Kesehatan. Edisi ke-4. Jakarta: EGC.
16. B. Kuning
Pembagian Triage:
Segera-Immediate (merah): pasien mengalami cedera mengancam jiwa yang
kemungkinan besar dapat hidup bila ditolong segera. Misalnya: Tension pneumothorax,
distress pernapasan (RR < 30x/mnt), perdarahan internal, dsb.
Tunda-Delayed (kuning): pasien memerlukan tindakan defintif tetapi tidak ada ancaman
jiwa segera. Misalnya: pendarahan laserasi terkontrol, fraktur tertutup pada ekstrimitas
dengan pendarahan terkontrol, luka bakar < 25% luas permukaan tubuh, dsb.
Minimal (hijau): pasien mendapat cedera minimal, dapat berjalan dan menolong diri
sendiri atau mencari pertolongan. Misalnya: Laserasi minor, memar dan lecet, luka bakar
superfisial.
Expextant (hitam): pasien mengalami cedera mematikan dan akan meninggal meski
mendapat pertolongan. Misalnya: luka bakar derajat 3 hampir di seluruh tubuh, kerusakan
organ vital, dsb.
Penderita/korban mendapatkan prioritas pelayanan dengan urutan warna: merah, kuning,
hijau, hitam.
17. B. Astigmatisme miopius simpleks
Astigmat: sinar sejajar dengan sumbu penglihatan tidak dibiaskan pada satu titik, melainkan ke
banyak titik. Jika tajam penglihatan tidak tercapai 5/5 dengan lensa sferis saja, harus dipikirkan
adanya suatu astigmat.
Jenis astigmatisme ada 5, yaitu:
1. Astigmatisme Myopia Simplek, atau simple atau sederhana, yaitu kondisi astigmatisme di
mana sinar yang jatuh ke mata satu meredian jatuh di retina dan satu lagi jatuh di depan
retina. Misal resepnya C-1.0090
2. Astigmatisme Hypermetropia Simplek, di mana sinar yang jatuh ke mata satu meredian
jatuh di retina dan satunya jatuh di belakang retina. Misal resepnya C+1.0090
3. Astigmatisme myopia kompositus, di mana kedua meredian sinar itu jatuh di depan retina.
Misal resepnya S-1.00-1.0090
4. Astigmatisme hypermetropia kompositus, di mana kedua meredian sinar itu jatuh di
belakang retina. Misal resepnya S+1.00+1.0090
5. Astigmatisme Mixtus, di mana sinar jatuh dengan satu meredian di depan retina dan satu
lagi di belakang retina. Misal resepnya S +1.00-1.0090
Referensi:
Ilyas, Sidarta. dkk. 2002. Ilmu Penyakit Mata untuk Dokter Umum dan Mahasiswa Kedokteran.
Jakarta.
18. E. Intermediate insulin
Para ahli sepakat bahwa insulin kerja panjang kurang sesuai untuk anak, kecuali pada regimen
basal bolus. Jenis insulin yang digunakan harus disesuaikan dengan usia anak (proses tumbuh
kembang anak), aspek sosioekonomi (pendidikan dan kemampuan fi nansial),sosiokultural (sikap
Muslim terhadap insulin babi), dan faktor distribusi obat.
Jenis sediaan insulin dan profil kerjanya:
Profil farmakokinetik insulin kerja pendek (short acting). Terlihat lama kerja relatif 5-8
jam, dengan awitan kerja 30 60 menit, dan puncak kerja 2-4 jam.
-
.
Profil farmakokinetik insulin kerja campuran
-
Sesuai dengan penjelasan di atas dan informasi yang ada pada soal, maka insulin
yang tepat untuk anak ini adalah insulin intermediete.
Referensi:
Konsensus Nasional Pengelolaan Diabetes Mellitus Tipe 1. Ukk Endokrinologi Anak Dan Remaja,
Ikatan Dokter Anak Indonesia World Diabetes Foundation 2009.
Transmisi penularan kolera menularkan kolera adalah air atau makanan yang terkontaminasi
oleh bakteri Vibrio cholera. Vibrio cholera berkoloni pada mukosa usus halus. Setelah
mencapai usus halus, maka bakteri tersebut akan mengeluarkan toksin. Toksin yang
dilepaskan berupa enterotoksin. Toksin kolera dapat memengaruhi transpor cairan pada usus
halus dengan meningkatkan cAMP, sekresi, dan menghambat absorbs cairan.
Manifestasi klinis yang muncul adalah:
Diare cair dan muntah setelah masa inkubasi 6-72 jam
Diare cair dalam jumlah banyak
Konsistensi seperti air cucian beras
Berbau amis
Tenesmus (-)
Demam tidak tinggi
Tanda-tanda dehidrasi berat segera muncul: kesadaran menurun, takikardi, takipneu,
mata cekung, turgor kulit kembali lambat, oliguria. Kehilangan cairan dapat berlangsung
selama 7 hari.
Diagnosis pasti kolera ditegakkan dengan kultur tinja ditemukan adanya V.cholerae O1 atau
O139.
Rotavirus
Virus merupakan penyebab infeksi pada anak-anak. Rotavirus menyebabkan infeksi pada
epitel mukosa usus, infeksi sel-sel radang di lamina propia, pemendekan jonjot usus,
pembengkakan mitokondria, dan bentuk mikrovili tidak teratur, sehingga hal tersebut
mengakibatkan terjadinya gangguan absorbs cairan/elektrolit pada usus halus dan terjadinya
gangguan pencernaan makanan akibat kerusakan epitel mukosa.
Eschericia coli
Eschericia coli memiliki 5 golongan yang dapat meyebabkan diare, yaitu:
Enterotoxic E.coli (ETEC)
Memiliki 2 faktor virulensi yang penting, yaitu faktor kolonisasi yang menyebabkan
bakteri ini melekat pada eritrosit usus halus dan enterotoksin, yaitu heat labile (HL) dan
heat stabile (ST) yang menyebabkan sekresi cairan dan elektrolit yang menghasilkan
watery diarrhea. ETEC tidak menginvasi mukosa usus atau merusak mikrovili.
Enteropathogenic E.coli (EPEC)
Bakteri membentuk koloni di usus dan tidak mampu menembus dinding usus. Bakteri ini
sering menimbulkan manifestasi diare berair, disertai muntah, dan demam pada bayi dan
anak di bawah usia 2 tahun terutama bagi yang tidak minum ASI (proong diarrhea).
Enteroinvasive E.coli (EIEC)
Sering menyebabkan KLB karena keracunan makanan (food borne). Bakteri dapat
menembus mukos usus halus, berkoloni dan menyebabkan disentri basiler. Dalam
pemeriksaan feses sering ditemukan eritrosit dan leukosit.
Sumber:
1. Sudoyo, A.W et al. 2006. Ilmu Penyakit Dalam Ed.IV. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
2. Goldfinger SE: Constipation, Diarrhea, and Disturbance of Anorectal Function, In:
Barunwald, E, Isselbacher, K. J., Petersdorf, R. G., Wilson, J.D., Martin, J.B., Fauci AS
(Eds) : Harrisons Principle of Internal Medicine, 11th Ed. McGrawHill book Company.
20. D. Gangguan mental organik
Pembahasan:
Gangguan otak organik didefinisikan sebagai gangguan di mana terdapat suatu patologi
yang dapat diidentifikasi (contohnya tumor otak, penyakit cerebrovaskuler, intoksifikasi
obat). Sedangkan gangguan fungsional adalah gangguan otak di mana tidak ada dasar
organik yang dapat diterima secara umum (contohnya Skizofrenia, Depresi).
Gangguan mental organik meliputi berbagai gangguan jiwa yang dikelompokkan atas
dasar penyebab yang lama dan dapat dibuktikan adanya penyakit, cedera atau ruda paksa
otak, yang berakibat disfungsi otak. Disfungsi ini dapat primer seperti pada penyakit, cedera,
dan ruda paksa yang langsung atau diduga mengenai otak, atau sekunder, seperti pada
gangguan dan penyakit sistemik yang menyerang otak sebagai salah satu dari beberapa
organ atau sistem tubuh.
Pada kasus d iatas, terdiagnosis Gangguan Mental Organik. Gangguan mental organik
adalah diagnosis gangguan jiwa yang dapat dibuktikan adanya penyakit, cedera, atau
rudapaksa otak yang akibatnya disfungsi otak. Pada kasus di atas, pasien sebelumnya
mengalami kejang-kejang.
Sumber:
- Kaplan.H.I, Sadock. B.J, Sinopsis Psikiatri : Ilmu Pengetahuan Perilaku Psikiatri Klinis,
edisi ketujuh, jilid satu. Binarupa Aksara, Jakarta 1997. hal 502-540.
- Ingram.I.M, Timbury.G.C, Mowbray.R.M, Catatan Kuliah Psikiatri, Edisi keenam,
cetakan ke dua, Penerbit Buku kedokteran, Jakarta 1995. hal 28-42.
- Diagnosis Gangguan Jiwa, rujukan ringkas dari PPDGJ-III, editor Dr, Rusdi
Maslim.1993. hal 3
21. B. Tension type headache
Nyeri kepala tipe tegang (Tension type headache-TTH ) didefinisikan sebagai serangan
nyeri kepala berulang yang berlangsung dalam beberapa menit sampai beberapa hari, dengan
sifat nyeri biasanya berupa rasa tertekan atau diikat, bilateral, tidak dipicu oleh aktifitas fisik
dan gejala penyertanya tidak menonjol.
Tension type headche adalah penyebab tersering nyeri kepala primer kronik/berulang,
berhubungan dengan kontraksi otot-otot wajah dan leher. Episode TTH biasanya dikaitkan
dengan peristiwa yang stessfull secara fisik dan mental.
Referensi:
Headache Classification Subcommittee of the International Headache Society (2004). "The
International Classification of Headache Disorders: 2nd edition". Cephalalgia 24 (Suppl 1):
9160.
Martin V, Elkind A. (2004) Diagnosis and classification of primary headache disorders. In:
Standards of care for headache diagnosis and treatment. Chicago (IL): National Headache
Foundation.
Gambar diperoleh dari https://uvahealth.com/services/neurosciences/conditions-andtreatments/11515
22. A. Ascaris lumbricoides
Ascaris lumbricoides
Seekor cacing betina dapat bertelur sebanyak 100.000-200.000 butir sehari, terdiri dari telur yang
dibuahi dan tidak dibuahi. Telur yang dibuahi, besarnya 60x45 mikron, berbentuk oval,
berdinding tebal dengan tiga lapisan dan berisi embrio sedangkan yang tidak dibuahi lebih besar
yaitu berukuran 90x40 mikron, berbentuk bulat lonjong atau tidak teratur, dindingnya terdapat
dua lapisan dan dalamnya bergranula. Selain itu terdapat pula telur decorticated, yaitu telur yang
tanpa lapisan albumin atau albuminnya terlepas karena proses mekanik. Dalam lingkungan yang
sesuai (tanah liat, kelembapan tinggi, dan suhu yang berkisar antara 25o-30 oC), telur yang
dibuahi berkembang menjadi bentuk infeksius dalam waktu 3 minggu.
Reinforcement Audiometry (VRA). Pada tes VRA stimulus bunyi diberikan bersama
stimulus visual, maka bayi akan memberi respons berupa orientasi atau melokalisir
bunyi dengan cara menoleh ke arah sumber bunyi. Pemeriksaan VRA dapat
digunakan untuk memnentukan ambang pendengaran, namun karena stimulus
diberikan melalui pengeras suara, maka respons yang terjadi merupakan tajam
pendengaran pada telinga yang lebih baik.
Otoacoustic Emission (OAE)
Pemeriksaan untuk menilai fungsi koklea yang obyektif, tidak invasive, tidak
membutuhkan waktu lama.
Efisien untuk pemeriksaan skrinning pendengaran bayi baru lahir.
Pemeriksaan juga digunakan untuk: memonitor efek ototoksik obat, diagnois euroati
auditorik, membantu proses pemilihan alat bantu dnegar, skrining noise induced
hearing loss, pemeriksaan penunjang gangguan koklea.
Terdapat 2 jenis OAE, yaitu Spontaneous OAE (SPOAE) dan Evoked OAE.
Auditory Brainstem Respons/Brainstem Evoked Response Audiometry (BERA)
Merupakan pemeriksaan menilai integritas sistem auditorik, obyektif, tidak invasive.
Dapat memeriksa bayi, anak, dewasa, penderita koma.
Bermanfaat pada kondisi pasien bayi, anak dengan gangguan sifat dan tingkah laku,
intelegensia rendah, dan cacat ganda.
Pemeriksaan yang dialakukan untuk menilai fungsi pendengaran dan fungsi N. VIII.
Sumber:
Swento, R. et all. 2009. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan
Leher, 6th edn. Jakarta: Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hlm 31- 42.
24. D. Glomerulonefritis akut
Glomerulonefritis adalah suatu istilah umum yang dipakai untuk menjelaskan berbagai macam
penyakit ginjal yang mengalami proliferasi dan inflamasi di glomerulus akibat suatu proses
imunologis. Istilah glomerulonefritis akut pasca infeksi termasuk grup yang besar dari dari
glomerulonefritis akut sebagai akibat dari bermacam-macam agen infeksi. Pada
glomerulonefritis pasca infeksi, proses inflamasi terjadi dalam glomerulus yang dipicu oleh
adanya reaksi antigen antibodi, selanjutnya menyebabkan aktifasi lokal dari sistem komplemen
dan kaskade koagulasi.
Kompleks imun dapat terjadi dalam sirkulasi atau in situ pada membran basalis glomerulus.
Glomerulonefritis akut yang paling sering terjadi pada anak di negara berkembang adalah setelah
infeksi bakteri Streptococcus beta hemolitikus grup A, yaitu Glomerulonefritis Akut Pasca
infeksi Streptococcus (GNAPS). Manifestasi klinis yang paling sering dari GNAPS berupa
sindrom nefritik akut, manifestasi klinis lainnya dapat berupa sindrom nefrotik, atau
glomerulonefritis progresif cepat.
Sindrom nefritis akut merupakan kumpulan gejala klinis akibat penurunan secara tiba-tiba dari
laju filtrasi glomerulus dengan disertai retensi air dan garam, pada analisis urine ditemukan
eritrosit, cast eritrosit dan albumin. Meskipun penyebab umum (80%) dari sindrom nefris akut
adalah GNAPS, tetapi karena penyebabnya beragam, maka perlu dipikirkan diagnosa diferensial
yang lain. Pada penderita sindrom nefritik akut yang mempunyai gambaran klinis klasik GNAPS
harus dibedakan dengan penderita yang mempunyai gambaran klinis unusual GNAPS.
Gambaran klinis unusual tersebut adalah: riwayat keluarga dengan glomerulonefritis, umur < 4
tahun dan > 15 tahun, mempunyai riwayat gejala yang sama sebelumnya, ditemukan penyakit
ekstrarenal (seperti arthritis, rash, kelainan hematologi), ditemukan bukti bukan infeksi kuman
Streptococcus dan adanya gejala klinis yang mengarah ke penyakit ginjal kronis/CKD (anemia,
perawakan pendek, osteodistrofi, ginjal yang mengecil, atau hipertrofi ventrikel kiri).
Diagnosis glomerulonefritis akut pascastreptokok perlu dicurigai pada pasien dengan gejala
klinis berupa hematuri makroskopis (gros) yang timbul mendadak, sembab dan gagal ginjal akut,
yang timbul setelah infeksi Streptococcus. Tanda glomerulonefritis yang khas pada urinalisis,
bukti adanya infeksi Streptococcus secara laboratoris dan rendahnya kadar komplemen C3
mendukung bukti untuk menegakkan diagnosis.
Glomerulonefritis kronik lain juga menunjukkan gambaran klinis berupa hematuria makroskopis
akut, sembab, hipertensi dan gagal ginjal. Beberapa glomerulonefritis kronik yang menunjukkan
gejala tersebut adalah glomerulonefritis membranoproliferatif, nefritis lupus, dan
glomerulonefritis proliferatif kresentik.
Referensi:
Madaio MP, Harrington JT. The diagnosis of glomerular diseases: acute glomerulonephritis and
the nephrotic syndrome. Arch Intern Med. 2001;161(1):25-34.
Rodriguez B, Mezzano S. Acute postinfectious glomerulonephritis. Dalam: Avner ED, Harmon
WE, Niaudet P, Yashikawa N, penyunting. Pediatric nephrology. edisi ke-6. Berlin: Springer;
2009. h. 743-55.
Smith JM, Faizan MK, Eddy AA. The child with acute nephritis syndrome. Dalam: Webb N,
Postlethwaite R, penyunting. Clinical paediatric nephrology. edisi ke-3. New York: Oxford;
2003. h. 367-80.
Hricik DE, Chung-Park M, Sedor JR. Glomerulonephritis. N Engl J Med. 1998;339(13):888-99.
25. C. STEMI
Infark myokard akut dengan elevasi segmen ST (ST-Elevation Myocardial Infarction)
merupakan bagian dari spektrum sindrom koroner akut (SKA) yang terdiri dari STEMI, Non
STEMI, dan Unstable angina. Diagnosis infark myokard akut ditegakkan berdasar
anamnesis nyeri dada yang khas dan gambaran EKG adanya elevasi segmen ST 2 mm,
minimal pada 2 sadapan prekordial yang berdampingan, atau 1mm pada 2 sadapan
ekstremitas. Pemeriksaan enzim jantung, terutama troponin T yang meningkat, memperkuat
diagnosis meskipun tanpa pemeriksaan cardiac enzym sekalipun diagnosis STEMI dapat
ditegakkan, mengingat terapi harus diberikan pada penderita sesegera mungkin. Prinsip
penatalaksanaan infark miokard adalah time is muscle.
Sebagian besar penderita STEMI akan mengalami evolusi pada pemeriksaan EKG dengan
munculnya gelombang Q, dan disebut sebagai Q-wave Myocardial Infarction, dan sebagian
kecil menetap menjadi Non Q-wave MI.
Normal
ST Elevasi
ST Elevasi; T
inversi
T Inversi
Q Patologis
STEMI umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara mendadak oleh oklusi
trombus pada plak aterosklerosis yang telah ada sebelumnya. Stenosis arteri yang
berkembang lambat biasanya tidak memicu STEMI, karena tumbuhnya pembuluh darah
kolateral yang mengompensasi. Jika obstruksi trombus bersifat parsial, sementara, atau
sirkulasi kolateral telah terbentuk maka pasien akan mengalami Non ST-Elevatin Acute
Coronary Syndrome (Non STEMI, Unstabla angina)
Referensi:
Alwi. I. 2006. Infark Miokard Akut dengan Elevasi ST. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Edisi Keempat Jilid III. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
26. B. Rehidrasi 30 cc/kgBB/1 jam pertama di puskesmas, lalu dirujuk ke rumah sakit
Anak usia < 1 tahun keluhan buang air besar cair, frekuensi 5x/hari, muntah (+), malas minum.
Pemeriksan fisik: mata cekung, turgor kembali lambat, nadi lambat. Sesuai dengan definisinya,
anak ini mengalami diare cair akut, yaitu buang air besar lembek atau cair bahkan dapat berupa
air saja dengan frekuensi lebih dari 3 kali atau lebih sering dari biasanya dalam 24 jam dan
berlangsung kurang dari 14 hari.
Terdapat lima lintas tatalaksana diare yang direkomendasikan IDAI:
1. Rehidrasi
2. Dukung nutrisi
3. Suplemen zinc
4. Antibiotik selektif
5. Edukasi orang tua
Salah satu komplikasi diare yang paling sering adalah dehidrasi sehingga dalam pemberian
cairan yang tepat perlu disesuaikan dengan derajat diare:
KATEGORI
TANDA DAN GEJALA
2 atau lebih tanda berikut:
Dehidrasi berat
Letargi atau penurunan kesadaran
Mata cowong
Tidak bisa minum atau malas
minum
Cubitan kulit kembali dengan sangat
lambat (> 2 detik)
Dehidrasi tak berat
2 atau lebih tanda berikut:
Tanpa dehidrasi
Gelisah
Mata cowong
Kehausan
Cubitan kulit kembali dengan sangat
lambat (> 2 detik)
Tidak ada tanda gejala yang cukup untuk
mengelompokkan dalam dehidrasi berat
atau tak berat
Urtikaria kolinergik, timbul setelah berkeringat, gatal, ukurannya kecil kemudian meluas
dan melebar.
- Gejala sistemik yang menyertai: pusing, sakit kepala, mual dan muntah, nyeri perut dan
diare, serta dapat kesulitan bernapas.
Pemeriksaan penunjang:
- Pemeriksaan laboratorium darah rutin, urine, feses untuk mencari infeksi lokal
- Pemeriksaan jumlah eosinofil dalam darah tepi, kadar IgE dalam darah
- Pada dugaan urtikaria dingin: cyroglobulin, cold hemolysin
- Uji kulit dilakukan secara bertahap setelah tidak ada erupsi kulit (minimal 6 minggu
setelah lesi kulit hilang) dan memenuhi syarat uji kulit. Dilakukan ditahap lanjut: uji
dermografism, uji ice cube, uji temple tertutup, uji tusuk bila uji temple negative, uji
provokasi peroral bila uji tusuk negative, uji serum autolog. Tes foto temple dilakukan
pada urtikaria akibat fotosensitivitas.
- Tes mecholyl intradermal bila diduga urtikaria kolinergik.
- Uji eliminasi makanan bila diduga alergi terhadap makanan.
Sehingga pemeriksaan yang dapat dilakukan pada skenario tersebut adalah dengan
dermatografisme.
28. C. Mengatakan bahwa tidak terjadi apa-apa dengan pasien, hal ini wajar pada setiap wanita
dan berlangsung fisiologis
Klimakterium merupakan masa peralihan antara masa reproduksi dan masa senium.
Menopause adalah haid terakhir atau saat terjadinya haid terakhir. Bagian klimakterium sebelum
menopause disebut premenopause dan sesudah menopause adalah pascamenopause.
Senium adalah masa sesudah pascamenopause, ketika telah tercapai keseimbangan baru dalam
kehidupan wanita, sehingga tidak ada lagi gangguan vegetatif maupun psikis.
Klimakterium bukan suatu keadaan patologik, melainkan suatu masa peralihan yang normal,
yang berlangsung beberapa tahun sebelum dan beberapa tahun sesudah menopause. Pada wanita
dalam klimakterium terjadi perubahan-perubahan tertentu yang dapat menimbulkan gangguangangguan ringan atau kadang-kadang berat. Perubahan dan gangguan itu sifatnya berbeda-beda
menurut waktunya klimakterium. Pada permulaan klimakterium kesuburan menurun, pada masa
pramenopause terjadi kelainan pendarahan, sedangkan terutama pada masa pascamenopause
terdapat gangguan vegetatif, psikis, dan organis. Gangguan vegetatif biasanya berupa rasa panas
dengan keluarnya keringat malam, dan perasaan jantung berdebar-debar. Dalam masa
pascamenopause, dan seterusnya dalam senium, terjadi atrofi alat-alat genital.
Referensi: Hanifa Wiknjosatro, Abdul Bari Saifuddin, dan Trijatmo Rachimhadhi. 2005. Ilmu
Kandungan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
29. B. Respiratory Disstress Syndrome
Berdasarkan hasil pemeriksaan di atas didapatkan bahwa bayi tersebut mengalami sindrom
gawat napas yang dapat disebabkan karena bayi lahir saat umur kehamilan ibu 34 minggu
sehingga paru-paru belum matur sehingga menyebabkan bayi mengalami gawat napas.
Sindrom gawat napas (juga dikenal sebagai idiopathic respiratory distress syndrome)
Respiratory Distress Syndrome adalah penyakit yang disebabkan oleh ketidakmaturan dari sel
tipe II dan ketidakmampuan sel tersebut untuk menghasilkan surfaktan yang memadai.
Gangguan pernapasan ini sering terjadi pada bayi premature dengan tanda-tanda takipnoe (> 60
x/mnt), retraksi dada, sianosis pada udara kamar, yang menetap atau memburuk pada 48-96 jam
kehidupan dengan x-ray thorak yang spesifik. Tanda-tanda klinik sesuai dengan besarnya bayi,
berat penyakit, adanya infeksi dan ada tidaknya shunting darah melalui PDA.
Menurut Petty dan Asbaugh (1971), definisi dan kriteria RDS bila didapatkan sesak napas berat
(dyspnea), frekuensi napas meningkat (tachypnea), sianosis yang menetap dengan terapi oksigen,
penurunan daya pengembangan paru,adanya gambaran infiltrat alveolar yang merata pada foto
thorak dan adanya atelektasis, kongesti vascular, pendarahan, edema paru, dan adanya hyaline
membran pada saat otopsi.
Sindrom gawat napas (RDS) (juga dikenal sebagai idiopathic respiratory distress syndrome)
adalah sekumpulan temuan klinis, radiologis, dan histologis yang terjadi terutama akibat
ketidakmaturan paru dengan unit pernapasan yang kecil dan sulit mengembang dan tidak
menyisakan udara di antara usaha napas. Istilah-istilah Hyaline Membrane Disease (HMD)
sering kali digunakan saling bertukar dengan RDS.
Etiologi
RDS terjadi pada bayi prematur atau kurang bulan, karena kurangnya produksi surfaktan.
Produksi surfaktan ini dimulai sejak kehamilan minggu ke-22, makin muda usia kehamilan,
makin besar pula kemungkinan terjadi RDS. Ada 4 faktor penting penyebab defisiensi surfaktan
pada RDS, yaitu prematur, asfiksia perinatal, maternal diabetes, seksio sesarea. Surfaktan
biasanya didapatkan pada paru yang matur. Fungsi surfaktan untuk menjaga agar kantong alveoli
tetap berkembang dan berisi udara, sehingga pada bayi prematur di mana surfaktan masih belum
berkembang menyebabkan daya berkembang paru kurang dan bayi akan mengalami sesak napas.
Gejala tersebut biasanya muncul segera setelah bayi lahir dan akan bertambah berat.
RDS merupakan penyebab utama kematian bayi prematur. Sindrom ini dapat terjadi karena ada
kelainan di dalam atau diluar paru, sehingga tindakan disesuaikan dengan penyebab sindrom ini.
1
60-80 x/menit
2
> 80x/menit
Retraksi ringan
Retraksi berat
Sianosis menetap
walaupun diberi
O2
Indication
May indicate bacteremia Not helpful initially because results may
take 48 hours
Blood gas
Used to assess degree of hypoxemia if arterial sampling, or
acid/base status if capillary sampling (capillary sample usually
used unless high oxygen requirement)
Blood glucose
Hypoglycemia can cause or aggravate tachypnea
Chest radiography Used to differentiate various types of respiratory distress
Complete
blood Leukocytosis or bandemia indicates stress or infection
count
with
differential
Lumbar puncture
Pulse oximetry
Komplikasi Penyakit
Komplikasi jangka pendek dapat terjadi:
1. Kebocoran alveoli: apabila dicurigai terjadi kebocoran udara (pneumothorak,
pneumomediastinum, pneumopericardium, emfisema interstisial), pada bayi dengan RDS yang
tiba-tiba memburuk dengan gejala klinikal hipotensi, apnea, atau bradikardi atau adanya asidosis
yang menetap.
2. Jangkitan penyakit karena keadaan penderita yang memburuk dan adanya perubahan jumlah
leukosit dan thrombositopeni. Infeksi dapat timbul kerana tindakan invasiv seperti pemasangan
jarum vena, kateter, dan alat-alat respirasi.
3. Perdarahan intrakranial dan leukomalacia periventrikular: pendarahan intraventrikuler terjadi
pada 20-40% bayi prematur dengan frekuensi terbanyak pada bayi RDS dengan ventilasi
mekanik.
Komplikasi jangka panjang dapat disebabkan oleh keracunan oksigen, tekanan yang tinggi dalam
paru, memberatkan penyakit dan kekurangan oksigen yang menuju ke otak dan organ lain.
Komplikasi jangka panjang yang sering terjadi:
1. Bronchopulmonary Dysplasia (BPD): merupakan penyakit paru kronik yang disebabkan
pemakaian oksigen pada bayi dengan masa gestasi 36 minggu. BPD berhubungan dengan
tingginya volume dan tekanan yang digunakan pada waktu menggunakan ventilasi mekanik,
adanya infeksi, inflamasi, dan defisiensi vitamin A. Insiden BPD meningkat dengan menurunnya
masa gestasi.
2. Retinopathy of Premature (ROP)
3. Kegagalan fungsi neurologi, terjadi sekitar 10-70% bayi yang berhubungan dengan masa
gestasi, adanya hipoxia, komplikasi intrakranial, dan adanya infeksi.
Referensi:
HanifaWiknjosatro, Abdul Bari Saifuddin, dan Trijatmo Rachimhadhi. 2006. Ilmu Kebidanan.
Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Jakarta
Arief Mansjoer. 2008. Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid 1. Jakarta: Media
Aesculapius FKUI.
30. B. 5/10
Pembahasan:
- Case Fatality Rate
adalah persentase angka kematian oleh sebab penyakit tertentu, untuk menentukan
kegawatan/keganasan penyakit tersebut.
CFR
Kontraksi otot normalnya terjadi setelah aktivasi reseptor acetylcholin post sinap
menyebabkan influx ion Na+ ke dalam sel sehingga terjadi depolarisasi sel otot diikuti
terbukanya kanal natrium, diikuti keluarnya kalsium dari retikulum sarkoplasma. Ketika
jumlah kalsium dalam otot telah mencapai threshold, maka terjadi kontraksi otot. Penurunan
jumlah reseptor acetylcholin karena antibodi yang terbentuk pada MG mengakibatkan
gangguan kontraksi karena depolarisasi tidak terjadi.
Otot-otot kecil seperti otot ocular dan bulbar merupakan bagian yang paling umum terimbas
dan paling berat gejalanya, meskipun kebanyakan penderitanya mengalami kelemahan
umum dengan berbagai tingkat keparahan. Myasthenia gravis dapat berevolusi menjadi
kegawatan yang mengancam jiwa apabila terjadi perburukan akut menyebabkan kelemahan
generalisata terutama otot-otot pernapasan.
Myasthenia Gravis kini merupakan keadaan yang dapat diobati bahkan disembuhkan, terapi
farmakologi seperti anticholinesterase yang mencegah degradasi acetylcholin, obat-obat
antisupresan untuk mencegah terbentuknya antibodi, dan terapi plasmapharesis serta
imunoglobulin intravena (IVIG) telah tersedia pada masa sekarang.
Referensi:
Grob D, Brunner N, Namba T, Pagala M. 2008. Lifetime course of myasthenia
gravis. Muscle Nerve;37(2):141-9.
McGrogan A, Sneddon S, de Vries CS. 2010. "The incidence of myasthenia gravis: a
systematic literature review".Neuroepidemiology 34 (3): 171183
Gambar diperoleh dari http://jama.jamanetwork.com/article.aspx?articleid=200734
32. A. Gangguan konversi
Pembahasan:
Pada kasus di atas terdiagnosis Gangguan Konversi di mana untuk diagnosis pasti harus
memiliki kriteria di bawah ini, yaitu:
a) Ciri-ciri klinis yang ditentukan untuk masing-masing gangguan tertera dalam F44
(adanya kehilangan sebagian atau seluruh dari integrasi normal antara ingatan masa lalu,
kesadaran akan identitas dan penghayatan serta kendali terhadap gerak tubuh).
b) Tidak ada bukti adanya gangguan fisik yang dapat menjelaskan gejala-gejala tersebut.
c) Bukti adanya penyebab psikologis, dalam bentuk hubungan waktu yang jelas dengan
problem dan peristiwa yang stressfull atau hubungan interpersonal yang terganggu.
Hipokondriasis: kriteria diagnostik pasti hipokondriasis di antaranya sebagai berikut.
a) Keyakinan yang menetap perihal adanya sekurang-kurangnya satu penyakit fisik yang
serius yang melandasi keluhan-keluhannya, meskipun pemeriksaan yang berulang tidak
menunjang adanya alasan fisik yang memadai ataupun adanya preokupasi yang menetap
terhadap adanya deformitas atau perubahan bentuk/penampakan.
b) Penolakan yang menetap dan tidak mau menerima nasihat atau dukungan penjelasan
dari beberapa dokter bahwa tidak ditemukan penyakit atau abnormalitas fisik yang
melandasi keluhan-keluhannya.
Gangguan Somatisasi: diagnosis pasti memerlukan semua hal berikut di antaranya:
a) Ada banyak dan berbagai gejala fisik yang tidak dapat dijelaskan adanya dasar kelainan
fisik yang memadai, yang sudah berlangsung sekurangnya 2 tahun.
b) Selalu tidak mau menerima nasihat atau penjelasan dari beberapa dokter bahwa tidak
ada kelainan fisik yang dapat menjelaskan keluhan-keluhannya.
c) Terdapat hendaya dalam taraf tertentu dalam berfungsinya di masyarakat dan keluarga
yang berkaitan dengan sifat keluhannya dan dampak pada perilakunya.
Malingering merupakan suatu perilaku berpura-pura terkena penyakit (bahkan dengan
mencederai diri) yang dengan sengaja ditimbulkan karena alasan tertentu, yang umumnya
timbul untuk maksud tertentu seperti menghindari hukuman, ingin mendapatkan kompensasi,
mencari sensasi, dan sebagainya.
Sindroma malingering terdiri dari gejala fisik berupa:
(1) Dibuat sesuai keinginan dan kesadaran pasien (di bawah kendali volunter) dengan tujuan
yang jelas yang dapat dikenali dari situasi lingkungannya (dalam rangka menghindari
kewajibab tertentu yang ingin dihindari).
(2) Penyajian bentuk gejala dapat berupa:
a. seluruhnya dibuat-buat, misalnya mengeluh nyeri perut yang hebat seperti kolik
ginjal
b. dengan sengaja menimbulkan penyakit, misalnya menyuntikkan air liur ke dalam
kulit
c. melebih-lebihkan kondisi fisik yang sudah ada sebelumnya, misalnya membiarkan
dirinya disuntik penisilin padahal mengetahui bahwa dirinya alergi terhadap obat
tersebut.
Gejala fisiknya berupa:
a. dibuat sesuai kehendak pasien dengan tujuan yang jelas
b. gejala-gejala yang muncul tidak sesuai dengan ciri-ciri gangguan seperti biasanya.
Factitious disorders atau gangguan buatan adalah suatu kondisi di mana orang
memperlihatkan bahwa ia mempunyai penyakit fisik atau mental, yang mana sebenarnya dia
tidak benar sakit. Para penderita FD ini memperlihatkan sakitnya kepada orang-orang di
sekitar mereka yang tidak memperhatikan mereka. Pada dasarnya FD ini berkaitan dengan
kondisi psikiatrik di mana individu berpura-pura dalam memerankan sakitnya yang
maksudnya hanya untuk memperlihatkan saja. Pada gangguan buatan ini pasien secara
sengaja menghasilkan tanda gangguan medis atau mental dan salah menggambarkan
(misrepresent) riwayat penyakit dan gejalanya. Tujuan satu-satunya yang tampak dari
perilaku adalah mendapatkan peranan dari seorang pasien.
Kriteria diagnostik untuk gangguan buatan adalah sebagai berikut:
a. Menimbulkan secara sengaja atau dibuat-buat tanda atau gejala fisik atau psikologis.
b. Motivasi untuk perilaku adalah untuk mendapatkan peranan sakit (sick role).
c. Tidak terdapat keuntungan eksternal untuk perilaku (seperti tujuan ekonomi,
menghindari tanggung jawab hukum, atau memperbaiki kesejahteraan fisik seperti pada
malingering).
Sumber:
- Anonima, Mental Health: Factitious Disorder, August 08th, 2006, available at
http://www.webmd.com/content/article/60/67132.htm
April
13th,
2006,
available
at
33. A. Keratitis
Bakteri gram negatif
Disebut bakteri gram negatif karena bakteri ini mempunyai sifat kebalikan dari bakteri gram
positif, yaitu apabila bakteri tersebut diberi pewarna gram dan diamati dengan menggunakan
mikroskop maka warnanya akan berubah menjadi merah. Hal ini terjadi karena bakteri gram
negatif memiliki struktur lapisan peptidoglikan yang sangat tipis serta kandungan lemak
penyusun dindingnya sangat tinggi. Beberapa contoh bakteri yang termasuk bakteri gram negatif
adalah Salmonella typhi, Eschericia coli, Pseudomonas aeruginosa, dan Klebsiella pneumonia.
Kelompok
Obat
Aminoglycosides
Keratitis merupakan kelainan akibat terjadinya infiltrasi sel radang pada kornea yang akan
mengakibatkan kornea menjadi keruh. Akibat terjadinya kekeruhan pada media kornea ini, maka
tajam penglihatan akan menurun. Mata merah pada keratitis terjadi akibat injeksi pembuluh
darah perikorneal yang dalam atau injeksi siliar.
Keratitis biasanya diklasifikasikan dalam lapis yang terkena seperti keratitis superfisial dan
profunda atau interstisial (Ilyas, 2004)
Menurut Biswell (2010), keratitis dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa hal.
1. Berdasarkan lapisan yang terkena.
Keratitis dibagi menjadi:
a. Keratitis Pungtata (Keratitis Pungtata Superfisial dan Keratitis Pungtata Subepitel)
Keratitis pungtata adalah keratitis dengan infiltrat halus pada kornea yang dapat terletak
superfisial dan subepitel (Ilyas, 2004).
b. Keratitis Marginal
Merupakan infiltrat yang tertimbun pada tepi kornea sejajar dengan limbus. Penyakit infeksi
lokal konjungtiva dapat menyebabkan keratitis kataral atau keratitis marginal ini. Keratitis
marginal kataral biasanya terdapat pada pasien setengah umur dengan adanya
blefarokonjungtivitis (Ilyas, 2004).
c. Keratitis Interstisial
Keratitis interstitial adalah kondisi serius di mana masuknya pembuluh darah ke dalam
kornea dan dapat menyebabkan hilangnya transparansi kornea. Keratitis interstitial dapat
berlanjut menjadi kebutaan. Sifilis adalah penyebab paling sering dari keratitis interstitial
(Hollwich, 1993).
2. Berdasarkan penyebabnya
Keratitis diklasifikasikan menjadi:
a. Keratitis Bakteri
Etiologi
Menurut American Academy of Ophthalmology (2009).
Gejala klinis
Pasien keratitis biasanya mengeluh mata merah, berair, nyeri pada mata yang terinfeksi,
penglihatan silau, adanya sekret dan penglihatan menjadi kabur (Kanski, 2005). Pada
pemeriksaan bola mata eksternal ditemukan hiperemis perikornea, blefarospasme, edema kornea,
infiltrasi kornea.
Pemeriksaan laboratorium
Menurut Kanski (2005) pemeriksaan kultur bakteri dilakukan dengan menggores ulkus kornea
dan bagian tepinya dengan menggunakan spatula steril kemudian ditanam di media cokelat
(untuk Neisseria, Haemophillus dan Moraxella sp), agar darah (untuk kebanyakan jamur, dan
bakteri kecuali Neisseria) dan agar Sabouraud (untuk jamur, media ini diinkubasi pada suhu
kamar). Kemudian dilakukan pewarnaan Gram (Biswell, 2010).
b. Keratitis Jamur
Infeksi jamur pada kornea yang dapat disebut juga mycotic keratitis (Dorland, 2000).
Etiologi
Menurut Susetio (1993), secara ringkas dapat dibedakan:
1) Jamur berfilamen (filamentous fungi): bersifat multiseluler dengan cabang-cabang hifa.
2) Jamur bersepta: Furasium sp., Acremonium sp., Aspergillus sp., Cladosporium sp.,
Penicillium sp., Paecilomyces sp., Phialophora sp., Curvularia sp., Altenaria sp..
3) Jamur tidak bersepta: Mucor sp., Rhizopus sp., Absidia sp.
4) Jamur ragi (yeast), yaitu jamur uniseluler dengan pseudohifa dan tunas: Candida albicans,
Cryptococcus sp., Rodotolura sp.
5) Jamur difasik. Pada jaringan hidup membentuk ragi sedang media pembiakan membentuk
miselium : Blastomices sp., Coccidiodidies sp., Histoplastoma sp., Sporothrix sp.
Gejala klinis
Menurut Susetio (1993) untuk menegakkan diagnosis klinik dapat dipakai pedoman berikut:
1) Riwayat trauma terutama tumbuhan, pemakaian steroid topikal lama.
2) Lesi satelit.
3) Tepi ulkus sedikit menonjol dan kering, tepi yang ireguler dan tonjolan seperti hifa di bawah
endotel utuh.
4) Plak endotel.
5) Hipopion, kadang-kadang rekuren.
6) Formasi cincin sekeliling ulkus.
7) Lesi kornea yang indolen.
34. A. Karsinoma nasofaring
Gejala klinis khas pada kasus ini adalah adanya benjolan dalam cavum nasi sejak 3 bulan
yang lalu. Hal ini mengarah pada kronisitas dan keganasan. Manifestasi klinis karsinoma
nasofaring dibagi menjadi 4 kelompok, yaitu:
Gejala nasofaring sendiri
Gejala nasofaring dapat berupa epistaksis ringan atau sumbatan hidung. Tumor tidak
tampak karena masih terdapat di bawag mukos (creeping tumor).
Gejala telinga
Gangguan pada teinga yang timbul karena tempat asal tumor dekat muara tuba
Eustachius (fossa Rosenmuller). Gangguan berupa tinnitus dan rasa tidak nyaman di
telinga sampai nyeri (otalgia).
Gejala mata dan saraf
Gangguan pada saraf dapat mengenai N.III N.XII. Gejala yang muncul adalah
diplopia, neuralgia trigeminal, sindrom Jackson, dan destruksi tulang tengkorak.
Metastase atau gejala di leher
Metastase ke kelenjar leher dalam bentuk benjolan di leher.
Sumber:
1. Roezin, et all. 2009. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan
Leher, 6th edn. Jakarta: Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hlm 183
2. Kelompok Studi Perhati KL. 2007. Guideline Penyakit THT-KL.
35. D. Volume meningkat, osmolaritas menurun
Pada keadaan dehidrasi menimbulkan penurunan volume cairan ekstra seluler (CES) terutama
jika kehilangan Na+ melalui keringat. Hal ini akan menyebabkan tekanan osmotik efektif plasma
meningat dan akan terjadi peningkatan sekresi vasopresin serta perangsangan mekanisme haus.
Air akan diretensi oleh tubuh, dan terjadi pengenceran plasma yang hipertonik ini serta terjadi
pemasukan air yang meningkat.
Peningkatan osmolalitas CES
Rasa Haus
retensi air
Pengenceran CES
Distensi lambung
Referensi:
Ganong, W.F. 2003. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 20. EGC.
Guyton, Arthur C. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 9. Jakarta: EGC.
36. D. Hernia ireponibel
Hernia merupakan protrusi atau penonjolan isi suatu rongga melalui defek atau bagian lemah
dari dinding rongga bersangkutan. Penyebab dari hernia adalah adanya peningkatan tekanan
intraabdominal akibat adanya tindakan valsava maneuver seperti batuk, mengejan, mengangkat
benda berat atau menangis. Terjadinya hernia disebabkan oleh dua faktor yang pertama adalah
faktor congenital, yaitu kegagalan penutupan prosesus vaginalis pada waktu kehamilan yang
dapat menyebabkan masuknya isi rongga perut melalui kanalis inguinalis, faktor yang kedua
adalah faktor yang didapat seperti hamil, batuk kronis, pekerjaan mengangkat benda berat dan
faktor usia, masuknya isi rongga perut melalui kanal ingunalis, jika cukup panjang maka akan
menonjol keluar dari anulus ingunalis eksternus. Apabila hernia ini berlanjut tonjolan akan
sampai ke skrotum karena kanal inguinalis berisi tali sperma pada lakilaki, sehingga menyebakan
hernia.
Klasifikasi hernia berdasarkan sifatnya adalah:
Hernia reponibel
Bila isi hernia dapat keluar masuk, tetapi kantungnya menetap. Isinya tidak serta merta
muncul secara spontan, namun terjadi bila disokong gaya gravitasi atau tekanan
intraabdominal yang meningkat. Usus keluar jika berdiri atau mengedan dan masuk lagi
jika berbaring atau didorong masuk perut, tidak ada keluhan nyeri atau gejala obstruksi
usus.
Hernia ireponibel
Bila isi kantong tidak dapat direposisi kembali kedalam rongga perut. Tidak ada keluhan
rasa nyeri ataupun sumbatan usus. Hernia ireponibel mempunyai resiko yang lebih besar
untuk terjadi obstruksi dan strangulasi daripada hernia reponibel.
Hernia akreta
Yaitu perlengketan isi kantong pada peritonium kantong hernia.
Hernia inkarserata
Yaitu bila isi hernia terjepit oleh cincin hernia. Hernia ireponibel yang mengalami
obstruksi dapat juga disebut dengan inkarserata. Nyeri dan muntah muncul saat erjadi
inkarserasi karena ileus.
Hernia strangulata
Suplai darah untuk isi hernia terputus. Kejadian patologis selanjutnya adalah oklusi vena
dan limfe; akumulasi cairan jaringan (edema) menyebabkan pembengkakan lebih lanjut;
dan sebagai konsekuensinya peningkatan tekanan vena. Terjadi perdarahan vena, dan
berkembang menjadi lingkaran setan, dengan pembengkakan akhirnya mengganggu
aliran arteri. Jaringannya mengalami iskemi dan nekrosis. Jika isi hernia
abdominal bukan usus, misalnya omentum, nekrosis yang terjadi bersifat steril, tetapi
strangulasi usus yang paling sering terjadi dan menyebabkan nekrosis yang terinfeksi
(gangren). Mukosa usus terlibat dan dinding usus menjadi permeabel terhadap bakteri,
yang bertranslokasi dan masuk ke dalam kantong dan dari sana menuju pembuluh darah.
Usus yang infark dan rentan, mengalami perforasi (biasanya pada leher pada kantong
hernia) dan cairan lumen yang mengandung bakteri keluar menuju rongga peritonial
menyebabkan peritonitis. Terjadi syok sepsis dengan gagal sirkulasi dan kematian.
Hernia didiagnosis berdasarkan gejala klinis. Pemeriksaan penunjang jarang dilakukan dan
jarang memiliki nilai.
Info tambaha : Seringkali muncul pertanyaan mengenai hernia inguinalis dan membedakan
antara hernia inguinalis direk dan indirek. Berikut dilampirkan pembahasan singkat.
Usia
Penyebab
Bilateral
Penonjolan saat batuk
Muncul saat berdiri
Reduksi saat berbaring
Penurunan ke skrotum
Oklusi cincin internus
Leher kantong
Strangulasi
Hubungan dengan pembuluh
darah epigastrik inferior
Kongenital
20%
Oblik
Tidak segera mencapai
ukuran terbesarnya
Tidak tereduksi dengan
segera
Sering
Terkontrol
Sempit
Tidak jarang
Lateral
Didapat
50%
Lurus
Mencapai ukuran
terbesar dengan segera
Tereduksi segera
Jarang
Tidak terkontrol
Lebar
Tidak biasa
Medial
Sumber:
1. Sjamsuhidayat R, Wim de Jong. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi 2, Jakarta, EGC,
Hal: 523-537
2. Sabiston. 1995. Buku Ajar Ilmu Bedah, bagian I, cetakan ke-dua. Jakarta : EGC. Hal :
228, 243.
3. Henry MM, Thompson JN. 2005. Principles of Surgery, 2nd edition, Elsevier Saunders,
page 431-445.
37. A. Paraphimosis
Parafimosis adalah keadaan di mana preputium tidak dapat ditarik ke depan (distal)/menutup.
Pada keadaan ini, glans penis atau batang penis dapat terjepit oleh prepusium yang bengkak.
Keadaan ini paling sering oleh peradangan. Pada parafimosis sebaiknya kita melakukan reduksi
sebelum disirkumsisi (Bachsinar, tahun 1993).
Balanitis adalah infeksi pada glans penis (kepala penis) yang dapat terjadi pada mereka yang
tidak bersunat karena masalah higiene yang buruk. Gejalanya berupa bengkak pada kepala penis
dan bisa disertai nyeri. Umum dialami pada pria, khususnya pria yang tidak disunat. Biasanya
infeksi ini disebabkan oleh preputium atau kulup yang menutupi glans penis dan jarang
dibersihkan dan menjadi tempat berkumpulnya smegma, suatu lapisan pelumas bersifat lemak
yang karena bercampur dengan tetesan urine dapat menimbulkan bau tak sedap. Akumulasi
smegma yang berlebihan dapat menciptakan suatu kondisi bernama balanitis, suatu peradangan
akibat keikutsertaan bakteri dalam tumpukan smegma menginfeksi glans penis.
Hidrokel adalah penumpukan cairan yang berlebihan di antara lapisan parietalis dan viseralis
tunika vaginalis. Dalam keadaan normal, cairan yang berada di dalam rongga itu memang ada
dan berada dalam keseimbangan antara produksi dan reabsorbsi oleh sistem limfatik di
sekitarnya.
Pasien mengeluh adanya benjolan di kantong skrotum yang tidak nyeri. Pada pemeriksaan fisis
didapatkan adanya benjolan di kantong skrotum dengan konsistensi kistus dan pada pemeriksaan
penerawangan menunjukkan adanya transiluminasi.
Orchitis (orkitis) adalah infeksi pada salah satu atau kedua testis.
Penyebab Orchitis, antara lain:
Sebagian orchitis berhubungan dengan penyakit Gondongan (Mumps, Parotitis).
Disebutkan bahwa 30 % penderita Gondongan dapat mengalami Orchitis pada hari ke 4
hingga hari ke 7. Ini terjadi karena penjalaran infeksi melalui aliran getah bening.
Virus-virus lain yang berbungan dengan Orchitis di antaranya Coxsackievirus, Varicella,
dan Echovirus.
Bakteri: Orchitis oleh bakteri pada umumnya merupakan penyebaran epididymitis, yakni
infeksi epididimis (saluran sperma yang menempel di bagian atas testis).
38. E. Nekrosis Koagulatif
Nekrosis Koagulatif ditandai dengan pembentukan substansi gelatinous pada jaringan
yang mati, dengan bentuk sel tetap. Koagulasi terjadi karena proses denaturasi protein,
menyebabkan albumin menjadi zat putih padat. Nekrosis tipe ini terjadi pada keadaan
hipoksik seperti infark jaringan, dapat terjadi terutama pada ginjal, jantung, dan
kelenjar adrenal. Iskemia berat merupakan penyebab tersering nekrosis koagulatif.
(terkadang fungal), yang menyebabkan respons inflamasi. Massa cair yang terbentuk
sering berwujud kekuningan karena adanya leukosit yang mati, dikenal dengan pus.
Infark pada otak sering menghasilkan nekrosis tipe ini, karena otak mengandung sedikit
jaringan ikat, dan banyak terdapat enzim cerna; sehingga sel yang ada segera
terdegradasi oleh enzim tersebut.
Nekrosis Enzimatik spesifik terjadi pada jaringan lemak disebut juga nekrosis lemak,
terjadi karena kerja enzim lipase teraktivasi pada jaringan berlemak seperti pankreas.
Sebagai contoh, apabila terjadi pankreatitis akut yang menyebabkan enzim-enzim
pankreas akan keluar ke rongga peritonium menyebabkan reaksi saponifikasi lemak
melibatkan ion kalsium, magnesium, dan natrium membentuk substansi putih
menyerupai kapur. Deposit kalsium yang terbentuk biasanya cukup besar dan dapat
tampak pada pemeriksaan radiografis.
Referensi:
Kumar, V., Abbas, A. K., Fausto, N. & Aster, J. C. 2010. Robbins and Cotran Pathological
Basis of Disease. 8 edn, (Saunders Elseveir).
McConnell, T. H. 2007. The Nature of Disease: Pathology for the Health Professional.
(Lippincott Williams & Wilkins).
39. D. 5 cc/KgBB/jam
Pendekatan diagnosis demam:
Algoritma Kasus (Susyanto,2011)
Demam 1-7 hari
Tidak
Tentukan apakah penderita
malaria/bukan
Bukan malaria
Ya
Tidak ada
Ya
Tidak ada
DHF
DF
Tentukan derajat
DHF
Tentukan tatalaksana
DHF = Dengue Haemmorragic Fever; DF = Dengue Fever
Ya
Diagnosis sesuai fokal
Tetap pertimbangkan kemungkinan
infeksi sistemik
DIAGNOSIS DEMAM
Daftar Pustaka:
1. Susyanto, M.B.E.S. 2011. Anak dengan Demam 1-7 Hari dalam Study Guide Panduan
Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak. Program Pendidikan Profesi Dokter FKIK UMY
2. World Health Organization.2013.Pocket book of hospital care for children: guidelines for the
management of common childhood illnesses 2nd ed.
3. Comprehensive Guidelines for Prevention and Control of Dengue and Dengue Haemorrhagic Fever
Revised and expanded edition. World Health Organization 2011.
Kadar Hb pada anak ini < 12,5 g/dL sehingga dapat dikatakan anemia. Pendekatan etiologi
dan jenis anemia pada anak dapat diklasifikasikan berdasarkan ukuran eritrosit (mean
corpuscular volume/MCV), pada klasifikasi jenis ini, anemia dalam kasus ini termasuk
anemia mikrositik (MCV kurang dari 80 fL) dan nilai MCH (mean concentration
hemoglobin) = 24 pg termasuk rendah (normal 26-32 pg) sehingga dalam kasus ini
didapatkan gambaran mikrositik hipokrom pada apusan darah tepi. Nilai RDW meningkat
(RDW normal 11,5-14,5%) peningkatan RDW menunjukkan adanya variasi ukuran sel.
Klasifikasi anemia berdasarkan MCV dan RDW:
Berdasarkan analisis di atas, anak dalam kasus ini mengalami Anemia Defisiensi Besi,
(thalasemia disingkirkan karena tidak ada hepatosplemomegali) sesuai teori pada anamnesa
ditemukan gejala dan tanda sebagai berikut:
a.
Keluhan anemia pada umumnya: iritabel, lesu, cepat lelah, kurang perhatian,
perkembangan kepandaian lambat, Hb rendah.
b.
Kardiomegali, bising sistolik, gangguan pertumbuhan epitel.
c.
Glositis, stomatitis, atropi papil lidah, sudut bibir pecah-pecah.
Penatalaksanaan anemia:
Berdasarkan WHO (2013), Anak (umur < 6 tahun) menderita anemia jika kadar Hb < 9,3 g/dl
(kira-kira sama dengan nilai Ht < 27%) tanpa gizi buruk, maka anemia diterapi dirumah
dengan zat besi (tablet besi/folat atau sirup setiap hari) selama 14 hari.
Indikasi transfusi:
Beri transfusi darah sesegera mungkin untuk:
Semua anak dengan kadar Ht 12% atau Hb 4 g/dl
anak dengan anemi tidak berat (haematokrit 1318%; Hb 46 g/dl) dengan beberapa
tampilan klinis berikut:
o Dehidrasi yang terlihat secara klinis
o Syok
o Gangguan kesadaran
Gagal jantung
o Pernapasan yang dalam dan berat
o Parasitemia malaria yang sangat tinggi (>10% sel merah berparasit).
o
41. C. Pemberian cairan intravena 250 cc dalam 1 jam pertama, dilanjutkan 600 cc dalam 5 jam
pertama
Pada kasus di atas anak mengalami diare dengan dehidrasi berat. Hal tersebut ditunjukkan
dengan adanya anak tampak lemas, tidak mau menyusu, dan turgor elastisitas kulit kembali
sangat lambat 2 detik.
Sumber:
World Health Organization. 2013. Pedoman Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit
Rujukan Tingkat Pertama di Kabupaten. Jakarta: WHO Indonesia.
42. C. Karbunkel
Pembahasan:
Folikulitis adalah suatu infeksi epidermis
pada folikel rambut yang disebabkan oleh
Staphylococus aureus gram positif.
Terdapat dua tipe, yaitu folikulitis
superfisialis dan folikulitis profunda. Lesi
berupa pustul dengan dasar eritematosa dan
predileksi paling sering pada kulit kepala
dan
ekstremitas.
Faktor
yang
mempengaruhi
timbulnya
folikulitis
diantaranya adalah paparan senyawa kimia
ditempat kerja, penggunaan steroid topikal
yang berdosis tinggi, higiene yang buruk,
DM, kelelahan dan kurang gizi.
Furunkel adalah peradangan
folikel rambut dan jaringan
subkutan sekitarnya. Lesi
mula-mula berupa infiltrate
kecil, dalam waktu singkat
membesar membentuk nodula
eritematosa.
Penyebabnya
adalah staphylococcus aureus.
Predileksi pada bagian tubuh
yang berambut dan mudah terkena iritasi, gesekan atau tekanan atau daerah yang lembap
seperti ketiak, bokong, punggung, leher, dan wajah. Faktor yang mempengaruhi timbulnya
penyakit diantaranya adalah higiene yang kurang, musim psanas karena sering berkeringat,
obesitas, DM, hiperhidrosis, anemia, stress emosional.
Karbunkel adalah gabungan beberapa
furunkel yang dibatasi oleh trabekula
fibrosa yang berasal dari jaringan subkutan
yang padat. Biasanya terasa nyeri pada lesi
dan malaise. Lesi berupa makula
eritematosa yang kemudian menjadi nodula
lentikuler hingga numuler, regional, bentuk
teratur dan tampak fistula mengeluarkan
pus. Predileksi pada daerah tengkuk,
punggung dan bokong. Faktor yang
mempengaruhi timbuknya karbunkel adalah
higiene yang kurang, DM, hiperhidrosis, obesitas, lingkungan yang kotor.
43. B. Kondom
Pada umumnya klien pascapersalinan ingin menunda kehamilan berikutnya paling sedikit 2
tahun lagi, atau tidak ingin tambahan anak lagi. Konseling tentang keluarga berencana atau
metode kontrasepsi sebaiknya diberikan sewaktu asuhan antenatal maupun pascapersalinan.
Klien pascapersalinan dianjurkan:
Memberi ASI eksklusif (hanya memberi ASI saja) kepada bayi sejak lahir sampai berusia
6 bulan. Sesudah bayi berusia 6 bulan diberikan makanan pendamping ASI, dengan
pemberian ASI diteruskan sampai anak berusia 2 tahun.
Pertusis yang berat terjadi pada bayi muda yang belum pernah diberi imunisasi. Setelah masa
inkubasi 7-10 hari, anak timbul demam, biasanya disertai batuk dan keluar cairan hidung yang
secara klinik sulit dibedakan dari batuk dan pilek biasa. Pada minggu ke-2, timbul batuk
paroksismal yang dapat dikenali sebagai pertusis. Batuk dapat berlanjut sampai 3 bulan atau
lebih. Anak infeksius selama 2 minggu sampai 3 bulan setelah terjadinya penyakit.
Diagnosis
Curiga pertusis jika anak batuk berat lebih dari 2 minggu, terutama jika penyakit diketahui
terjadi lokal. Tanda diagnostik yang paling berguna:
Batuk paroksismal diikuti suara whoop saat inspirasi, sering disertai muntah
Perdarahan subkonjungtiva
Anak tidak atau belum lengkap diimunisasi terhadap pertusis
Bayi muda mungkin tidak disertai whoop, akan tetapi batuk yang diikuti oleh berhentinya
napas atau sianosis, atau napas berhenti tanpa batuk. Periksa anak untuk tanda pneumonia
dan tanyakan tentang kejang.
1.
2.
3.
1. Lesi
- Bentuk
-
Jumlah
Distribusi
Permukaan
Batas
Jelas
Jelas
Anestesi
Jelas
Jelas
2. BTA
- Lesi Kulit
3. Tes Lepromin
Infiltrat saja
Satu
atau
beberapa
Variasi
Halus,
agak
berkilat
Dapat jelas, atau
tidak
Tidak ada sampai
tidak jelas
Biasanya negatif
Positif
lemah,
atau negatif
Penatalaksanaan:
Diberikan berdasarkan regimen Multi Drug Therapy (MDT)
1. Pausibasiler
- Rifampisin 600 mg/bulan, diminum di depan petugas
- DDS 100 mg/bulan
A. Pengobatan diberikan teratur selama 6 bulan dan diselesaikan dalam waktu
maksimal 9 bulan.
2. Multibasiler
- Rifampisin 600 mg/bulan, dosis tunggal
- Lamprene 300 mg/hari, dosis tunggal
Ditambahkan
- Lamprene 50 mg/hari
- DDS 100/hari
A. Pengobatan dilakukan secara teratur sebanyak 12 dosis (bulan) dan
diselesaikan dalam waktu maksimal 18 bulan. Setelah selesai 12 dosis
dinyatakan Release From Treatment (RTF), meskipun secara klinis lesinya
masih aktif dan BTA (+).
Sumber:
- Kokasih, A et all. 2009. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 5th edn. Jakrta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Hal 73-88
- Barakbah, Jusuf et all. 2008. Atlas Penyakit Kulit dan Kelamin. Surabaya: Airlangga
University Press. Hal 41-54
- WHO, diambil dari: http://www.who.int/lep/resources/Guide_Int_E.pdf
46. D. Hookworm
Hookworm
Telur cacing tambang sulit dibedakan, karena itu apabila ditemukan dalam tinja disebut sebagai
telur hookworm atau telur cacing tambang. Telur cacing tambang besarnya 60 x 40 mikron,
berbentuk oval, dinding tipis dan rata, warna putih. Di dalam telur terdapat 4-8 sel. Dalam waktu
1-1,5 hari setelah dikeluarkan melalui tinja maka keluarlah larva rhabditiform. Larva pada
stadium rhabditiform dari cacing tambang sulit dibedakan. Panjangnya 250 mikron, ekor runcing
dan mulut terbuka. Larva pada stadium filariform (Infective larvae) panjangnya 600-700
mikron, mulut tertutup ekor runcing dan panjang oesophagus 1/3 dari panjang badan.
(Gandahusada 2006; Prasetyo, 2003)
Trichuris trichiura
Seekor cacing betina diperkirakan menghasilkan telur setiap hari antara 3.000-10.000 butir.
Telur berukuran 50-54 mikron x 32 mikron, berbentuk seperti tempayan dengan semacam
penonjolan pada kedua kutub dan dilengkapi dengan tutup (operkulum) dari bahan mucus yang
jernih. Kulit telur bagian luar berwarna kekuningan dan bagian dalamnya jernih. Telur yang
dibuahi dikeluarkan dari hospes bersama tinja. Telur tersebut matang dalam waktu 3-6 minggu
dalam lingkungan yang sesuai, yaitu tanah yang lembap dan tempat yang teduh. (Gandahusada,
2006 dan Prasetyo, 2003)
47. A. Ergotamin
Migrain merupakan sebuah gangguan kompleks yang ditandai oleh perulangan episode nyeri
kepala, unilateral, dan dalam beberapa keadaan berhubungan dengan gejala visual dan sensoridikenal dengan aura, yang sering muncul mendahului nyeri kepala namun dapat pula terjadi
setelah serangan. Secara epidemiologi, migraine lebih banyak terjadi pada perempuan dan
diduga kuat berhubungan dengan faktor genetik.
Pengobatan migraine terdiri dari terapi pada keadaan akut (abortive) dan preventif
(profilaktik). Pasien dengan serangan berulang seringnya memerlukan keduanya.
Penelusuran faktor pencetus migrain juga harus diidentifikasi untuk meminimalkan serangan
ulang.
Pengobatan dalam keadaan akut, bertujuan untuk membalikkan atau setidaknya
menghentikan progresivitas nyeri kepala yang berlangsung. Pengobatan preventif tidak
diberikan pada saat serangan, bertujuan untuk mengurangi frekuensi dan keparahan serangan
migraine, dan apabila terjadi episode serangan maka penderita akan lebih responsive
terhadap pengobatan abortive.
Prioritas pengobatan pada keadaan serangan seperti pada kasus selain terapi farmakologi
juga meliputi menyediakan lingkungan yang mendukung seperti ruang istirahat yang gelap
dan sunyi, karena penderita migrain dalam serangan serin mengalami photophobia dan
phonophobia. Sejumlah pengobatan abortive dapat digunakan dalam keadaan serangan baik
berupa analgesik tunggal ataupun dalam kombinasi dengan senyawa lain, selain itu terdapat
pula golongan obat migraine-specific seperti triptan dan ergot alkaloid.
Ergot dan dihydroergotamine merupakan pengobatan yang telah lama ada untuk migraine,
dan terbukti memiliki efektivitas yang setara, dan harga yang lebih murah dibandingkam
golongan triptan yang lebih baru.
Referensi:
American Academy of Neurology. 1995. Practice parameter: appropriate use of
ergotamine tartrate and dihydroergotamine in the treatment of migraine and status
migrainosus (summary statement). Report of the Quality Standards Subcommittee of the
American Academy of Neurology. Neurology;45(3 Pt 1):585-7.
Bartleson JD, Cutrer FM. 2010. "Migraine update. Diagnosis and treatment". Minn
Med 93 (5): 3641.
48. E. 2 tahun bebas dengan penurunan dosis sebelumnya
Syarat penghentian obat anti epilepsi:
Penghentian penggunaan OAE dimulai 2 sampai 5 tahun bebas bangkitan kejang.
1. Penghentian OAE dapat didiskusikan dengan pasien atau keluarganya setelah minimal
2 tahun bebas bangkitan
2. Harus dilakukan secara bertahap, pada umumnya 25% dari dosis semula, setiap bulan
dalam jangka waktu 3-6 bulan
3. Bila digunakan lebih dari satu OAE, maka penghentian dimulai dari satu OAE yang
bukan utama
Kemungkinkan kekambuhan setelah penghentian OAE:
Usia semakin tua, semakin tinggi kemungkinan kekambuhannya.
Epilepsi simtomatik.
Gambaran EEG abnormal.
Semakin lamanya bangkitan belum dapat dikendalikan.
tidak biasa. Suatu ADR lazimnya mengganggu sekali bagi pasien. Dapat nyeri atau
bahkan dapat mengancam kehidupan dengan gejala-gejala seperti distonia laring atau
diafragmatik. Reaksi distonia akut sering sekali terjadi dalam satu atau dua hari setelah
pengobatan dimulai, tetapi dapat terjadi kapan saja. Keadaan ini terjadi pada kira-kira
10% pasien, lebih lazim pada pria muda, dan lebih sering dengan neuroleptik dosis
tinggi yang berpotensi lebih tinggi, seperti haloperidol dan flufenazine.
b) Akatisia
EPS ini merupakan yang paling sering terjadi. Kemungkinan terjadi pada sebagian
besar pasien yang diobati dengan medikasi neuroleptik, terutama pada populasi pasien
lebih muda. Terdiri dari perasaan dalam yang gelisah, gugup atau suatu keinginan untuk
tetap bergerak. Juga telah dilaporkan sebagai rasa gatal pada otot. Pasien dapat
mengeluh karena anxietas atau kesukaran tidur yang dapat disalah tafsirkan sebagai
gejala psikotik yang memburuk. Sebaliknya, akatisia dapat menyebabkan eksaserbasi
gejala psikotik akibat perasaan tidak nyaman yang ekstrim.
c) Sindrom Parkinson
Merupakan EPS lain yang agak lazim yang dapat dimulai berjam-jam setelah dosis
pertama neuroleptik atau dimulai secara berangsur-angsur setelah pengobatan bertahuntahun. Manifestasinya meliputi:
Akinesia: yang meliputi wajah topeng, kejedaan dari gerakan spontan, penurunan
ayunan lengan pada saat berjalan, penurunan kedipan, dan penurunan mengunyahyang
dapat menimbulkan pengeluaran air liur. Pada bentuk yang yang lebih ringan, akinesia
hanya terbukti sebagai suatu status perilaku dengan jeda bicara, penurunan spontanitas,
apati dan kesukaran untuk memulai aktifitas normal, kesemuanya dapat dikelirukan
dengan gejala negative skizofrenia.
Tremor: khususnya saat istirahat, secara klasik dari tipe penggulung pil. Tremor dapat
mengenai rahang yang kadang-kadang disebut sebagai sindrom kelinci. Keadaan ini
dapat dikelirukan dengan diskenisia tardiv, tapi dapat dibedakan melalui karakter lebih
ritmik, kecerendungan untuk mengenai rahang daripada lidah dan responya terhadap
medikasi antikolinergik.
Gaya berjalan membungkuk: menyeret kaki dengan putaran huruf en cetak dan
hilangnya ayunan lengan.
Kekakuan otot: terutama dari tipe cogwheeling.
d) Tardive Diskinesia
Merupakan sindrom yang terjadi lambat dalam bentuk gerakan koreoatetoid
abnormal, gerakan otot abnormal, involunter, menghentak, balistik, atau seperti tik. Hal
ini disebabkan defisiensi kolinergik yang relatif akibat supersensitif reseptor dopamine
di puntamen kaudatus. Wanita tua yang diobati jangka panjang mudah mendapatkan
gangguan tersebut walaupun dapat terjadi di perbagai tingkat umur pria ataupun wanita.
Prevalensi bervariasi tetapi tardive diskinesia diperkirakan terjadi 20-40% pasien yang
berobat lama. Tetapi sebagian kasus sangat ringan dan hanya sekitar 5% pasien
memperlihatkan gerakan berat nyata. Namun, kasus-kasus berat sangat melemahkan
sekali, yaitu memengaruhi berjalan, berbicara, bernapas, dan makan. Faktor predisposisi
dapat meliputi umur lanjut, jenis kelamin wanita, dan pengobatan berdosis tinggi atau
jangka panjang. Pasien dengan gangguan afektif atau organik juga lebih
berkemungkinan untuk mengalami diskinesia tardive. Gejala hilang dengan tidur, dapat
hilang timbul dengan berjalannya waktu dan umumnya memburuk dengan penarikan
neuroleptik. Diagnosis banding jika mempertimbangkan diskinesia tardive meliputi
penyakit Hutington, Khorea Sindenham, diskinesia spontan, tik dan diskinesia yang
ditimbulkan obat (contohnya levodopa, stimulant dan lain-lain). Perlu dicatat bahwa
diskinesia tardive yang diduga disebabkan oleh kesupersensitivitasan reseptor dopamine
pasca sinaptik akibat blockade kronik dapat ditemukan bersama dengan sindrom
Parkinson yang diduga disebabkan karena aktivitas dopaminergik yang tidak
mencukupi.
Penatalaksanaan:
a) Reaksi Distonia Akut (ADR)
Medikasi antikolinergik merupakan terapi ADR bentuk primer dan praterapi
dengan salah satu obat-obat ini biasanya mencegah terjadinya penyakit. Paduan obat
yang umum meliputi benztropin (Congentin) 0,5-2 mg dua kali sehari (BID) sampai tiga
kali sehari (TID) atau triheksiphenidil (Artane) 2-5 mg TID. Seorang pasien yang
ditemukan dengan ADR berat, akut harus diobati dengan cepat dan secara agresif. Bila
dilakukan jalur intravena (IV) dapat diberikan benztropin 1 mg dengan dorongan IV.
Umumnya lebih praktis untuk memberikan difenhidramin (Benadryl) 50 mg
intramuskuler (IM) atau bila obat ini tidak tersedia gunakan benztropin 2 mg IM.
Remisi ADR dramatis terjadi dalam waktu 5 menit.
b) Akatisia
Agen yang paling umum dipakai adalah antikolinergik dan amantadin (Symmetrel);
obat ini dapat juga dipakai bersama. Penelitian terakhir bahwa propanolol (Inderal)
sangat efektif dan benzodiazepine, khususnya klonazepam (klonopin) dan lorazepam
(Ativan) mungkin sangat membantu.
c) Sindrom Parkinson
Aliran utama pengobatan sindrom Parkinson terinduksi neuroleptik terdiri atas agen
antikolinergik. Amantadin juga sering digunakan. Levodopa yang dipakai pada
pengobatan penyakit Parkinson idiopatik umumnya tidak efektif akibat efek
sampingnya yang berat.
d) Tardive Diskinesia
Pencegahan melalui pemakaian medikasi neuroleptik yang bijaksana merupakan
pengobatan sindrom ini yang lebih disukai. Ketika ditemukan pergerakan involunter
dapat berkurang dengan peningkatan dosis medikasi antipsikotik tetapi ini hanya
mengeksaserbasi masalah yang mendasarinya. Setelah permulaan memburuk,
pergerakan paling involunter akan menghilang atau sangat berkurang, tetapi keadaan ini
memerlukan waktu sampai dua tahun. Benzodiazepine dapat mengurangi pergerakan
involunter pada banyak pasien, kemungkinan melalui mekanisme asam gammaaminobutirat-ergik. Baclofen (lioresal) dan propanolol dapat juga membantu pada
beberapa kasus. Reserpin (serpasil) dapat juga digambarkan sebagai efektif tetapi
depresi dan hipotensi merupakan efek samping yang umum. Pengurangan dosis
umumnya merupakan perjalanan kerja terbaik bagi pasien yang tampaknya mengalami
diskinesia tardive tetapi masih memerlukan pengobatan. Penghentian pengobatan dapat
memacu timbulnya dekompensasi yang berat, sementara pengobatan pada dosis efektif
terendah dapat mempertahankan pasien sementara meminimumkan risiko, tetapi kita
harus pasti terhadap dokumen yang diperlukan untuk penghentian pengobatan.
51. B. Oftalmoskopi
Perimeter dan kampimeter: alat pengukur atau pemetaan lapang pandangan terutama daerah
sentral atau parasentral.
Oftalmoskop: merupakan alat yang mempunyai sumber cahaya untuk melihat fundus okuli.
Terdapat 2 kegunaan, yaitu memeriksa adanya kekeruhan pada media penglihatan yang keruh
seperti pada kornea, lensa dan badan kaca, serta memeriksa fundus okuli terutama retina dan
papil saraf optik.
Gonioskopi: dapat melihat keadaan sudut bilik mata yang dapat menimbulkan glaukoma.
Penentuan gambaran sudut bilik mata dilakukan pada setiap kasus yang dicurigai adanya
glaukoma. Pemeriksaan ini dilakukan dengan meletakkan lensa sudut.
Tonometri: suatu tindakan untuk melakukan pemeriksaan tekanan intraokular dengan alat yang
disebut tonometer. Dikenal beberapa alat tonometer seperti alat tonometer Schiotz dan tonometer
aplanasi Goldman.
Referensi:
Ilyas, Sidarta. 2009. Kedaruratan dalam Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: Balai penerbit FK UI.
52. D. BPPV
BPPV adalah gangguan keseimbangan perifer yag sering dijumpai. Gejala yang dikeluhkan
adalah vertigo yang datang tiba-tiba pada perubahan posisi kepala, beberapa pasien dapat
mengatakan dengan tepat posisi tertentu yang menimbulkan keluhan vertigonya. Diagnosis
BPPV dapat dilakukan dengan melakukan tindakan provokasi dan menilai timbulnya nistagmus
pada posisi tersebut. Pemeriksaan untuk memprovokasi timbulnya nistagmus adalah perasat Dix
Hallpike, perasat side lying, dan perasat roll. Pemeriksa dapat mengidentifikasi jenis kanal yang
terlibat arah fase cepat nistagmus yang abnormal:
Fase cepat ke atas, berptar ke kanan
: BPPV kanalis posterior kanan
Fase cepat ke atas, berputar ke kiri
: BPPV kanalis posterior kiri
Fase cepat ke bawah, berputar ke kanan
: BPPV kanalis anterior kanan
Fase cepat ke bawah, berputar ke kiri
: BPPV kanalis anterior kiri
Pada umumnya BPPV timbul pada kanalis posterior sebanyak 49% dan kanalis anterior
sebanyak 12%.
PERBEDAAN VERTIGO CENTRAL DAN PERIFER
Gejala dan Tanda
Perifer
Sentral
Onset
Mendadak/bertahap
Mendadak/bertahap
Tingkat keparahan
Berat
Sedang
Paroksismal/Terus
menerus
Berkaitan dengan perbahan
gerakan
Mual, muntah
Tipe nistagmus
Intensitas nistagmus
Penurunan pendengaran
Gejala berkaitan CNS
Paroksismal
Konstan
Ya
Tidak
Sumber:
Bashiruddin, J. (2009). Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan
Leher, 6th edn. Jakarta : Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hlm 104-113.
53. A. Sindroma metabolic
Berdasarkan the National Cholesterol Education Program Third Adult Treatment Panel (NCEPATP III), Sindrom Metabolik ditegakkan setidaknya memenuhi 3 kriteria berikut:
1. Obesitas abdominal (lingkar pinggang > 88 cm untuk wanita dan untuk pria > 102 cm);
2. Peningkatan kadar trigliserida darah ( 150 mg/dL, atau 1,69 mmol/ L);
3. Penurunan kadar kolesterol HDL (< 40 mg/dL atau < 1,03 mmol/ L pada pria dan pada
wanita < 50 mg/dL atau <1,29 mmol/ L);
4. Peningkatan tekanan darah (tekanan darah sistolik 130 mmHg, tekanan darah
diastolik 85 mmHg atau sedang memakai obat anti hipertensi);
5. Peningkatan glukosa darah puasa (kadar glukosa puasa 110 mg/dL, atau 6,10
mmol/ L atau sedang memakai obat anti diabetes)
Info:
Perbandingan kriteria Sindroma Metabolik menurut beberapa konsensus dirangkum dalam tabel
berikut:
Unsur
NCEP ATP
WHO
AHA
IDF
Sindrom
III
Metabolik
Dalam
Dalam
Dalam
Dalam pengobatan
Hipertensi
pengobatan
pengobatan
pengobatan
antihipertensi atau
antihipertensi antihipertensi
antihipertensi
TD 130/85 mmHg
atau
TD atau
atau
TD
130/85
TD 140/90
130/85
mmHg
mmHg
mmHg
Plasma TG 150 Plasma
TG Plasma TG150
Dislipidemia Plasma TG
150 mg/dL, mg/dL dan atau
150 mg/dL,
mg/dL
HDL-C:
L < 40 g/dL
P< 50 mg/dL
HDL-C:
L < 35 mg/dL
P< 40 mg/dL
HDL-C:
L < 40 mg/dL
P< 50 mg/dL
HDL-C:
L < 40 mg/dL
P< 50 mg/dL atau dalam
Obesitas
Gangguan
Metabolisme
Glukosa
Lain-lain
pengobatan
dislipidemia
Lingkar
IMT > 30kg/m2 Lingkar
Obesitas sentral
pinggang:
dan atau
pinggang
(lingkar perut)
L >102 cm,
rasio
perut- L >102 cm,
Asia:
P>88cm
pinggul:
P>88cm
L>90 cm
L >0,90
P>80 cm
P>0,85
(nilai tergantung
etnis)
GD puasa DM tipe 2 atau
GD
puasa GD puasa 100
110 mg/dL
TGT
100
mg/dL atau diagnosis
mg/dL
DM tipe 2
Mikroalbuminuri
20 g/menit
(rasio albumin:
kreatinin 30)
3 DM tipe 2 atau
Minimal
3 Obesitas sentral + 2
TGT dan 2
kriteria
kriteria di atas
kriteria di atas.
Jika toleransi
glukosa normal,
diperlukan 3
kriteria
Keterangan: TD = Tekanan Darah; L = Laki-laki; P = Perempuan; TG = Trigliserida;
HDL-C = Kolesterol HDL; IMT = Indeks Massa Tubuh; DM = Diabetes
Melitus; TGT = Toleransi Glukosa Terganggu; GD = Gula Darah
Kriteria
Diagnosa
Minimal
kriteria
Referensi:
1. Alberti, KGMM; Zimmet .1999. "Definition, Diagnosis, and Classification of Diabetes Mellitus
and its Complications". World Health Organization. pp. 3233.
2. Expert Panel on Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Cholesterol in Adults (May
2001). "Executive Summary of the Third Report of the National Cholesterol Education Program
(NCEP) Expert Panel on Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Cholesterol in
Adults (Adult Treatment Panel III)". JAMA: the Journal of the American Medical
Association 285 (19): 248697. doi:10.1001/jama.285.19.2486.PMID 11368702
3. Grundy SM, Brewer HB, Cleeman JI, Smith SC, Lenfant D, for the Conference Participants.
2004. Definition of metabolic syndrome: report of the National, Heart, Lung, and Blood
Institute/American Heart Association conference on scientific issues related to
definition. Circulation.
AV blok derajat III: blok jantung komplit di mana terjadi blok total di nodus AV
sehingga impuls dari atrium tidak mencapai ventrikel, sehingga masing-masing berjalan
sendiri sesuai impuls intrinsiknya.
Referensi:
Trisnohadi H. R. 2006. Gangguan Irama Jantung yang Spesifik. Dalam: Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Edisi Keempat Jilid III. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.
59. B. Paracetamol 120-180 mg/kali beri
Kasus pada soal ini mengarah pada infeksi virus dengue. Langkah diagnosis bedasarkan Ikatan
Dokter Anak Indonesis (IDAI):
Anamnesis
- Demam merupakan tanda utama (suhu 38,5 0C), terjadi mendadak tinggi, selama 27 hari
- Disertai lesu tidak mau makan, dan muntah
- Pada anak besar dapat mengeluh nyeri kepala, nyeri otot, dan nyeri perut.
- Diare kadang-kadang dapat ditemukan
- Perdarahan paling sering dijumpai adalah perdarahan kulit dan mimisan
Pemeriksaan fisik
- Gejala klinis DBD diawali demam mendadak tinggi, facial flush, muntah, nyeri kepala,
nyeri otot dan sendi, nyeri tenggorok dengan faring hiperemis, nyeri d ibawah lengkung
iga kanan. Gejala penyerta tersebut lebih mencolok pada DD daripada DBD.
- Perbedaan antara DD dan DBD adalah pada DBD terjadi peningkatan permeabilitas
kapiler sehingga menyebabkan perembesan plasma, hipovolemia, dn syok.
- Perembesan plasma mengakibatkan ekstravasasi cairan kedalam rongga pleura dan
peritoneal selama 24-48 jam.
- Perdarahan dapat berupa petekie (terprovokaasi uji RL (+), hematemessis,dan
melena, ataupun hematuria.
Kasus ini tidak menunjukkan tanda-tanda syok di mana denyut nadi dan frekuensi
pernapasannya masih baik, sehingga anak ini dapat didiagnosis sebagai suspek demam dengue
berdasarkan klinisnya. Hal ini juga sesuai dengan kriteria klinis demam dengue berdasarkan
WHO (2013), yaitu : Demam tinggi mendadak, ditambah gejala penyerta 2 atau lebih:
- Nyeri kepala
- Nyeri retro orbita
- Nyeri otot dan tulang
- Ruam kulit
- Meski jarang dapat disertai manifestasi perdarahan
- Leukopenia
- Uji HI >1280 atau IgM/IgG positif.
- Tidak ditemukan tanda kebocoran plasma (hemokonsentrasi, efusi pleura, asites,
hipoproteinemia).
Terapi medikamentosa yang dianjurkan:
Pembahasan:
Etiologi
Usia
Keluhan
Kelainan kulit
Nikolsky Sign
Predileksi
Kelainan Mukosa Mulut
Histopatologi
Imunoflouresensi langsung
Terapi
Pemfigus Vulgaris
Pemfigoid Bulosa
autoimun
Disangka autoimun
30-60th
Biasanya usia tua
Tidak gatal
Tidak gatal
Bula, dinding kendur, krusta Bula berdinding tegang
bertahan lama
+
generalisata
Perut, lengan bagian fleksor,
lipat paha, tungkai medial
60%
10-40%
Bula
intraepidermal, Celah
diantara
dermalakantolisis
epidermal,
bula
subepidermal,
sebukan
terutama eosinofil
Ig G dan komplemen di Ig G seperti pita di membran
epidermis
basal
Kortikosteroid
(prednison Kortikosteroid
(prednison
60-150 mg/hr, sitostatika)
40-60 mg/hr)
63. A. Indomethacin
Sasaran pengelolaan Arthritis Gout terdapat 3 hal, yaitu:
Mengobati serangan akut.
Mencegah episode serangan akut (profilaksis).
Menurunkan kelebihan kadar urat untuk mencegah arthritis, dan deposisi kristal urat
dalam organ.
Pengobatan Gout serangan akut seperti pada kasus, ditujukan untuk mengurangi nyeri dan
inflamasi yang berlangsung. American College of Rheumatology (ACR) merekomendasikan
pemberian terapi farmakologi dalam kasus akut segera dalam 24 jam sejak onset serangan,
pilihan terapi yang direkomendasikan oleh adalah Nonsteroidal anti-inflammatory drugsNSAIDs, corticosteroids, dan colchicine. Ketiganya memiliki Level of Evidence: A
sehingga pemilihan modalitas terapi disesuaikan dengan pertimbangan dokter dan pilihan
pasien bagi masing-masing kasus. Pengobatan monoterapi ditujukan bagi serangan akut
derajat ringan-sedang yang melibatkan 1-2 sendi besar, atau beberapa sendi kecil;
sedangkan terapi kombinasi ditujukan bagi serangan akut berat yang melibatkan 1-2 sendi
besar atau poliartikular.
NSAIDs merupakan obat pilihan pada pasien gout serangan akut yang tidak memiliki
penyakit komorbid sistemik lain, karena NSAIDs selain memiliki efek anti inflamasi
juga analgetik, terutama agen dengan onset cepat. Jenis obat yang banyak dipilih untuk
gout serangan akut adalah Indometasin (Level of Evidence : A) 150-200mg selama 2-3
hari, dilanjutkan 75-100mg/hari sampai dengan 7 hari atau peradangan dan nyeri
membaik.
Kolkisin oral merupakan modalitas pilihan dalam tatalaksana gout arthritis akut
terutama dalam 36 jam sejak onset serangan. Dosis yang direkomendasikan adalah
loading dose 1.2 mg dilanjutkan 0.6 mg 1 jam kemudian, kemudian 0.6 mg tiap 12 jam
sampai dengan keluhan membaik.
Kortikosteroid yang direkomendasikan untuk serangan akut diberikan melalui rute oral.
Pada gout serangan berat atau melibatkan poliartikular yang membutuhkan injeksi
kortikosteroid, atau kombinasi kortikosteroid dan NSAIDs.
Obat penurun asam urat seperti Allopurinol atau obat urikosurid (ex. Probenesid) tidak
boleh diberikan dalam stadium akut, kecuali pada pasien yang telah rutin mendapat obat
penurun asam urat dan mengalami serangan akut.
Referensi:
Khanna et. al., 2012. 2012 American College of Rheumatology Guidelines for Management
of Gout. Part 2: Therapy and Antiinflammatory Prophylaxis of Acute Gouty Arthritis.
Arthritis Care & Research Vol. 64, No. 10, pp 14471461
Tehupeiroy. E. S. 2006. Artritis Pirai (Gout). Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi
Keempat Jilid II. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
64. D. Atonia uteri
Pada pasien di atas terdapat dua kemungkinan penyebab perdarahan pasca salin, yaitu atonia
uteri dan laserasi jalan lahir akibat penggunaan forsep. Tetapi pada kasus di atas memiliki faktor
resiko paling banyak terjadinya atonia uteri, yaitu multiparitas, kala 1 lama, dan bayi yang cukup
besar.
Perdarahan pasca salin (PPS) adalah perdarahan yang mencapai 500-1000 cc setelah anak lahir
yang bisa diakibatkan oleh atonia uteri, perlukaan jalan lahir, sisa jaringan plasenta, dan kelainan
faktor pembekuan. Secara klasik WHO mengklasifikasikan PPS sebagai:
Perdarahan pasca salin primer/dini yaitu perdarahan 500 cc dalam 24 jam pertama
setelah bayi lahir.
Syok neurogenik
Pucat dan limbung
Inversio uteri
Anemia
Demam
Perdarahan terlambat
Endometritis
atau
plasenta (terinfeksi
tidak)
Syok
Nyeri tekan perut
Denyut nadi ibu cepat
Robekan dinding
(ruptura uteri)
sisa
atau
uterus
Referensi:
Abdul Bari Saifuddin dkk. 2002. Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal.
Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
Made Kornia Karkata dkk. 2012. Panduan Penatalaksanaan Kasus Obstetri. Himpunan
Kedokteran Fetomaternal POGI.
65. C. Oligoasthenozoospermia
Analisis Sperma adalah suatu pemeriksaan yang penting untuk menilai fungsi organ reproduksi
pria (untuk mengetahui apakah seorang pria fertil atau infertil). Semen harus diperiksa dari
seluruh ejakulat. Karena itu mengambilnya dari tubuh harus dengan masturbasi atau coitus
interuptus (bersetubuh dan waktu ejakulasi, persetubuhan dihentikan dan mani ditampung
semua). Ada juga bersetubuh dengan menggunakan kondom khusus. Sebelum melakukan
pemeriksaan disarankan untuk berpuasa bersetubuh (abstinensi) terbaik sekitar 3-5 hari.
Pemeriksaan semen terbaik selambatnya sejam sesudah ejakulasi.
Semen adalah cairan putih atau abu-abu, terkadang kekuningan, yang dikeluarkan dari uretra
(pipa di dalam penis) pada saat ejakulasi. Fungsi semen adalah membawa jutaan sperma ke
dalam saluran reproduksi wanita.
Karakteristik Semen
Menurut WHO, berikut adalah empat kriteria yang dilihat dalam pengujian semen:
1. Volume
Pria subur rata-rata mengeluarkan 2 hingga 5 cc semen dalam satu kali ejakulasi. Secara
konsisten mengeluarkan kurang dari 1,5 cc (hypospermia) atau lebih dari 5,5 cc (hyperspermia)
dikatakan abnormal. Volume lebih sedikit biasanya terjadi bila sangat sering berejakulasi,
volume yang lebih banyak terjadi setelah lama berpuasa.
2. Konsentrasi sperma
Pria subur memiliki konsentrasi sperma di atas 20 juta per cc atau 40 juta secara keseluruhan.
Jumlah di bawah 20 juta/cc dikatakan konsentrasi sperma rendah dan di bawah 10 juta/cc
digolongkan sangat rendah. Istilah kedokteran untuk konsentrasi sperma rendah adalah
oligospermia. Bila sama sekali tidak ada sperma disebut azoospermia. Semen pria yang tidak
memiliki sperma secara kasat mata terlihat sama dengan semen pria lainnya, hanya pengamatan
melalui mikroskoplah yang dapat membedakannya.
3. Morfologi sperma
Sperma normal memiliki bentuk kepala oval beraturan dengan ekor lurus panjang di tengahnya.
Sperma yang bentuknya tidak normal (disebut teratozoospermia) seperti kepala bulat, kepala
pipih, kepala terlalu besar, kepala ganda, tidak berekor, dll, adalah sperma abnormal dan tidak
dapat membuahi telur. Hanya sperma yang bentuknya sempurna yang disebut normal. Pria
normal memproduksi paling tidak 30% sperma berbentuk normal.
4. Motilitas (pergerakan) sperma
Sperma terdiri dari dua jenis, yaitu yang dapat berenang maju dan yang tidak. Hanya sperma
yang dapat berenang maju dengan cepatlah yang dapat mencapai sel telur. Sperma yang tidak
bergerak tidak ada gunanya. Menurut WHO, motilitas sperma digolongkan dalam empat
tingkatan:
Kelas a : sperma yang berenang maju dengan cepat dalam garis lurus seperti peluru
kendali.
Kelas b: sperma yang berenang maju tetapi dalam garis melengkung atau bergelombang,
atau dalam garis lurus tetapi lambat.
Kelas c : sperma yang menggerakkan ekornya tetapi tidak melaju.
Kelas d: sperma yang tidak bergerak sama sekali.
Sperma kelas c dan d adalah sperma yang buruk. Pria yang subur memproduksi paling tidak 50%
sperma kelas a dan b. Bila proporsinya kurang dari itu, kemungkinan akan sulit memiliki anak.
Motilitas sperma juga dapat terkendala bila sperma saling berhimpitan secara kelompok sehinga
menyulitkan gerakan mereka menuju ke sel telur.
Penghitungan Sperma (Sperm Count)
Kesuburan pria ditentukan oleh kombinasi keempat kriteria di atas, yaitu jumlah sperma
berbentuk sempurna dalam semennya yang dapat bergerak agresif. Misalnya, seorang pria yang
memproduksi 20 juta sperma per ml, 50% -nya bermotilitas bagus dan 60% -nya berbentuk
sempurna, maka dia dikatakan memiliki hitungan sperma 20 x 0,5 x 0,6 = 6 juta sperma bagus
per ml. Bila volume ejakulasinya adalah 2 ml, maka total sperma bagus dalam sampelnya adalah
12 juta.
Standar yang telah ditetapkan WHO adalah:
Volume: 2 ml atau lebih
pH: 7,2 sampai dengan 8,0
Konsentrasi spermatozoa: 20 juta spermatozoa / ml atau lebih
Jumlah total spermatozoa: 40 juta spermatozoa per ejakulasi atau lebih
Motilitas spermatozoa: Dalam waktu 1 jam setelah ejakulasi, sebanyak 50% dari jumlah
total spermatozoa yang hidup, masih bergerak secara aktif.
Morfologi permatozoa: 30% atau lebih memiliki bentuk yang normal
Vitalitas spermatozoa: 75% atau lebih dalam keadaan hidup
Jumlah sel darah putih: lebih sedikit dari 1 juta sel/ml
Macam dan definisi dari kesimpulan tersebut adalah:
1. Normozoospermia: karakteristik normal.
2. Oligozoospermia: konsentrasi spermatozoa kurang dari 20 juta per ml.
3. Asthenozoospermia: jumlah sperma yang masih hidup dan bergerak secara aktif, dalam waktu
1 jam setelah ejakulasi, lebih dari 50%.
4. Teratozoospermia: jumlah sperma dengan morfologi normal kurang dari 30%.
5. Oligoasthenoteratozoospermia: kelainan campuran dari 3 variabel yang telah disebutkan
sebelumnya.
6. Azoospermia: tidak adanya spermatozoa dalam sperma.
7. Aspermia: sama sekali tidak terjadi ejakulasi sperma.
Dari interpretasi inilah, awal masalah ketidaksuburan sebuah pasangan dapat terungkap. Apabila
hasil analisis sperma menyatakan nilai normal, kemungkinan besar penyebab ketidaksuburan
terdapat pada sang wanita. Oleh karena itu, analisis kesuburan wanita dapat dijalankan sebagai
langkah lanjut.
Berikut ini beberapa hal yang akan diperiksa saat analisis sperma dilakukan:
Hitungan sperma (sperm count). Angka yang normal untuk ini adalah 200 juta per
centimeter kubik.
Kelincahan gerak (motilitas). Uji ini, yang diberi nilai dari buruk sampai istimewa,
menyatakan tingkat aktivitas sperma. Jika sperma tidak bergerak, mereka tidak dapat
sampai ke telur.
Morfologi: memberi informasi tentang bentuk sperma. Bisa mikro (dalam hal ini berarti
terlalu kecil), bisa makro (dalam hal ini berarti terlalu besar). Ukuran yang diharapkan
adalah sedang.
pH: semen harus bersifat agak basa -7,0 hingga 8,5.
Viskositas: semen harus mudah dituang.
Volume: yang normal dalam hai ini adalah dua hingga lima sentimeter kubik (kira-kira
1/2 hingga 1 sendok teh).
Celah muskulus levator ani di bagian anterior disebut sebagai hiatus levator ani.
Ke arah inferior, hiatus levator ani tertutup dengan diafragma urogenitalis.
Saat masuk kedalam panggul, urethra vagina dan rektum melintas hiatus levator ani dan
diafragma urogenitalis. Fascia endopelvikum adalah fascia organ visera panggul yang
membentuk kondensasi bilateral dalam bentuk ligamentum (yaitu ligamentum pubourethralis
kardinalis dan uterosakralis). Ligamentum tersebut menempelkan organ dengan fascia dinding
lateral pelvis dan tulang panggul.
Corpus Perineal adalah titik pusat seluruh otot panggul. Meskipun saat meneran isi cavum
abdomen mendesak organ panggul, organ panggul akan tetap berada pada tempatnya dan berada
diatas levator sling dan corpus perinealis.
Normalnya uterus tertahan pada tempatnya oleh ikatan sendi dan otot yang membentuk dasar
panggul. Prolapsus uteri terjadi ketika ikatan sendi atau otot-otot dasar panggul meregang atau
melemah, membuat sokongan pada uterus tidak adekuat. Faktor penyabab lain yang sering
adalah melahirkan dan menopause. Persalinan lama dan sulit, meneran sebelum pembukaan
lengkap, laserasi dinding vagina bawah pada kala II, penatalaksanaan pengeluaran plasenta,
reparasi otot-otot dasar panggul menjadi atrofi dan melemah
Etiologi
Etiologi dari prolapsus uteri terdiri dari: kelemahan jaringan ikat pada daerah rongga panggul,
terutama jaringan ikat tranversal. Pertolongan persalinan yang tak terampil sehingga meneran
terjadi pada saat pembukaan belum lengkap. Terjadi perlukaan jalan lahir yang dapat
menyebabkan lemahnya jaringan ikat penyangga vagina. Serta ibu yang banyak anak
sehingga jaringan ikat di bawah panggul kendor. Menopause juga dapat menyebabkan turunnya
rahim karena produksi hormon estrogen berkurang sehingga elastisitas dari jaringan ikat
berkurang dan otot-otot panggul mengecil yang menyebabkan melemahnya sokongan pada
rahim
Dasar panggul yang lemah oleh kerusakan dasar panggul pada partus (rupture perinea atau
regangan) atau karena usia lanjut. Menopause, hormon estrogen telah berkurang sehingga otot
dasar panggul menjadi atrofi dan melemah. Tekanan abdominal yang meninggi karena ascites,
tumor, batuk yang kronis atau mengejan (obstipasi atau strictur dari tractus urinalis). Partus yang
berulang dan terjadi terlampau sering. Partus dengan penyulit. Tarikan pada janin sedang
pembukaan belum lengkap. Ekspresi menurut creede yang berlebihan untuk mengeluarkan
placenta.
Jadi, tidaklah mengherankan jika prolapsus genitalis terjadi segera setelah partus atau dalam
masa nifas. Ascites dan tumor-tumor didaerah pelvis mempermudah terjadinya hal tersebut. Bila
prolapsus uteri dijumpai pada nullipara, factor penyebabnya adalah kelainan bawaan berupa
kelemahan jaringan penunjang uterus.
Fisiologi
Posisi serta letak uterus dan vagina dipertahankan oleh ligament, fascia serta otot-otot dasar
panggul. Te Linde (1966) membagi atas 4 golongan, yaitu :
Ligamen-ligamen yang terletak dalam rongga perut dan ditutupi oleh peritonium :
ligamentum rotundum (lig teres uteri): ligamentum yang menahan uterus dalam antefleksi dan
berjalan dari sudut fundus uteri kiri dan kanan ke daerah inguinal kiri dan kanan.
Ligamentum sacrouterina : ligamentum yang juga menahan uterus supaya tidak banyak bergerak,
berjalan melengkung dari bagian belakang serviks kiri dan kanan melalui dinding rektum ke arah
os sacrum kiri dan kanan.
Ligamentum cardinale (Mackenrodt): ligamentum yang terpenting untuk mencegah agar uterus
tidak turun. Ligamentum ini terdiri atas jaringan ikat tebal dan berjalan dari serviks dan puncak
vagina ke arah lateral ke dinding pelvis. Di dalamnya ditemukan banyak pembuluh darah a v
uterina.
Ligamentum latum: ligamentum yang berjalan dari uterus ke arah lateral dan tidak banyak
mengandung jaringan ikat. Sebetulnya ligamentum ini adalah bagian peritoneum visceral yang
meliputi uterus dan kedua tuba dan berbentuk sebagai lipatan. Di bagian lateral dan belakang
ligamentum ini ditemukan indung telur (ovarium sinistrum dan dekstrum). Untuk memfiksasi
uterus ligamentum ini tidak banyak artinya.
Ligamentum infundibulopelvikum (lig. Suspensorium ovarii): ligamentum yang menahan tuba
fallopii, berjalan dari arah infundibulum ke dinding pelvis. Didalamnya ditemukan urat saraf,
saluran-saluran limfe, a v ovarika. Sebagai alat penunjang ligamentum ini tidak banyak artinya.
Jaringan-jaringan yang menunjang vagina
Fasia puboservikalis (antara dinding depan vagina dan dasar kandung kemih) membentang dari
belakang simfisis ke serviks uteri melalui bagian bawah kandung kencing, lalu melingkari
urethra menuju ke dinding depan vagina. Kelemahan fasia ini menyebabkan kandung kencing
dan juga uretra menonjol ke arah lumen vagina.
Fasia rektovaginalis (antara dinding belakang vagina dan rectum). Kelemahan fasia ini
menyebabkan menonjolnya rektum ke arah lumen vagina.
Kantong Douglas
Dilapisi peritonium yang berupa kantong buntu yang terletak antara ligamentum sacrouterinum
di sebelah kanan dan kiri, vagina bagian atas di depan dan rektum di belakang. Di daerah ini,
oleh karena tidak ada otot atau fasia, tekanan intraabdominal yang meninggi dapat menyebabkan
hernia (enterokel).
Otot-otot dasar panggul, terutama otot levator ani
Dasar panggul terdiri dari:
- diafragma pelvis
- diafragma urogenital
- otot penutup genitalia eksterna
Diafragma pelvis:
- otot levator ani: iliokoksigeus, pubokoksigeus dan puborektalis
- koksigeus
- fasia endopelvik
Fungsi levator ani:
mengerutkan lumen rektum, vagina, urethra dengan cara menariknya ke arah dinding tulang
pubis, sehingga organ-organ pelvis di atasnya tidak dapat turun (prolaps).
Kekendoran fascia dibelakang vagina oleh trauma obstetric atau sebab-sebab lain dapat
menyebabkan turunnya rectum ke depan dan menyebabkan dinding belakang vagina menonjol
ke lumen vagina, ini dinamakan rectokel.
Enterokel adalah suatu hernia dari cavum douglasi. Dinding vagina atas bagian belakang turun,
oleh karena itu menonjol kedepan, isi kantong hernia ini adalah usus halus atau sigmoid.
Klasifikasi
Friedman dan Little (1961) mengemukakan beberapa macam klasifikasi yang dikenal, yaitu:
A)
Prolapsus uteri tingkat I, di mana serviks uteri turun sampai introitus vagina
Prolapsus uteri tingkat II, di mana serviks menonjol keluar dari introitus vagina
Prolapsus uteri tingkat III, seluruh uterus keluar dari vagina; prolapsus ini juga disebut
prosidensia uteri
B)
Prolapsus uteri tingkat I, serviks mencapai introitus vagina
Prolapsus uteri tingkat II, uterus keluar dari introitus kurang dari setengah bagian
Prolapsus uteri tingkat III, uterus keluar dari introitus lebih besar dari setengah bagia
C)
Prolapsus uteri tingkat I, serviks mendekati prosesus spinosus
Prolapsus uteri tingkat II, serviks terdapat antara prosesus spinosus dan introitus vagina
Prolapsus uteri tingkat III, serviks keluar dari introitus. Klasifikasi ini sama dengan
klasifikasi D
ditambah dengan prolapsus uteri tingkat IV (prosidensia uteri).
Prosidensia uteri adalah suatu penyimpangan anatomi yang paling kompleks. Dapat
menjadi sistokel karena kendornya fasia dinding depan vagina (misal trauma obstetrik)
sehingga vesika urinaria terdorong ke belakang dan dinding depan vagian terdorong ke
belakang. Dapat terjadi rektokel, karena kelemahan fasia di dinding belakang vagina,
oleh karena trauma obstetrik atau lainnya, sehingga rekrum turun ke depan dan
menyebabkan dinding vagina atas belakang menonjol ke depan.
Diagnosa
Diagnosa ditegakkan melalui pemeriksaan vaginal dengan menggunakan Spekulum Sim yang
berdaun tunggal. Pasien diminta meneran dan pada saat yang bersamaan dokter menekan dinding
posterior vagina. Dengan cara ini dapat terlihat penurunan dinding depan vagina
beserta sistokel dan pergeseran muara urethra.
Selanjutnya mintalah pasien meneran sambil menekan dinding anterior vagina, dengan cara ini
dapat terlihat enterokel dan rektokel. Pemeriksaan rektal sering berguna untuk menunjukkan
adanya rektokel dan membedakannya dengan enterokel.
Keluhan-keluhan penderita, kehamilan, fisik dan pemeriksaan ginekologik umumnya dengan
mudah dapat menegakkan diagnosis prolapsus genitalia.
Friedman dan Little (1961) menganjurkan cara pemeriksaan sebagai berikut:
1.
Penderita dalam posisi jongkok disuruh mengejan, dan ditentukan dengan
pemeriksaan dengan jari, apakah porsio uteri pada posisi normal, atau porsio sampai
introitus vagina, atau apakah serviks uteri sudah keluar dari vagina. Selanjutnya dengan
penderita berbaring dalam posisi litotomi, ditentukan pula panjangnya serviks uteri.
Serviks uteri yang lebih panjang dari biasa dinamakan elongasio kolli.
2.
Pada sistokel dijumpai didinding vagina depan benjolan kistik lembek dan tidak
nyeri tekan. Benjolan ini bertambah besar jika penderita mengejan. Jika dimasukkan ke
dalam kantung kencing kateter tersebut dekat sekali pada dinding vagina. Uretrokel
letaknya lebih kebawah dari sistokel, dekat pada orifisium urethrae eksternum.
3.
Menegakkan diagnosis rektokel yaitu menonjolnya rektum ke lumen vagina
sepertiga bagian bawah. Penonjolan ini berbentuk lonjong, memanjang dari proksimal ke
distal, kistik dan tidak nyeri. Untuk memastikan diagnosis, jari dimasukkan kedalam
rektum, dan selanjutnya dapat diraba dinding rektokel yang menonjol kelumen vagina.
Enterokel menonjol kelumen vagina lebih atas dari rektokel. Pada pemeriksaan rektal
dinding rektum lurus, ada benjolan ke vagina terdapat diatas rektum.
4.
Endoskopi. Visualisasi sistoskopi peristaltik usus di bawah dasar vesika urinaria
atau trigonum dapat mengidentifikasi enterokel anterior pada beberapa pasien.
5.
Fotografi. Fotografi pada stadium II dan prolaps yang lebih besar dapat digunakan
baik untuk membuktikan kebenaran perubahan kondisi masing-masing pasien. Prosedur
immaging. Teknik imaging yang berbeda telah digunakan untuk melihat anatomi dasar
pelvik, defek penunjang, dan hubungan antara organ yang berdekatan. Teknik ini
mungkin lebih akurat dari pemeriksaan fisis dalam menentukan organ mana yang terlibat
dalam prolaps organ pelvik.
Referensi:
Hanifa Wiknjosatro, Abdul Bari Saifuddin, dan Trijatmo Rachimhadhi. 2005.
Ilmu Kandungan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
Arief Mansjoer. 2008. Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid 1. Jakarta: Media
Aesculapius FKUI.
Junizaf. 2002. Buku Ajar Uroginekologi. Jakarta: Subbagian UroginekologiRekonstruksi Bagian Obstetri dan Ginekologi. FKUI/RSUPN-CM.
67. B. 36% derajat II
Penghitungan luas luka bakar dengan Rules of nine:
Luas permukaan kepala
:9%
Luas pernukaan kedua lengan
: 18 %
Luas pernukaan dada
:9%
Luas pernukaan perut
:9%
Luas pernukaan punggung
:9%
Luas pernukaan pinggang
:9%
Luas pernukaan kedua paha
: 18 %
Luas pernukaan kedua betis
: 18 %
Luas pernukaan daerah perineum + genital : 1 %
Derajat II:
Kerusakan
Derajat III:
meliputi
Kerusakan
seluruh
lapisan
epidermis
(superficial)
Kulit kering, hiperemik
berupa eritem
Tidak dijumpai bula
Nyeri karena ujung-ujung
saraf sensorik teriritasi
Penyembuhan
terjadi
secara spontan dalam 5-10
hari
Dapat dinyatakan secara lisan maupun tertulis. Dalam tindakan medis yang bersifat
invasive dan mengandung risiko, dokter sebaiknya mendapatkan persetujuan secara
tertulis, atau yang secara umum dikenal di rumah sakit sebagai surat izin operasi.
Yang berhak memberikan persetujuan atau menyatakan menolak tindakan medis pada
dasarnya, pasien sendiri jika ia dewasa dan sadar sepenuhnya. Namun, menurut Penjelasan
Pasal 45 UU Nomor 29 Tahun 2004 tersebut di atas, apabila pasien sendiri berada di bawah
pengampuan, persetujuan atau penolakan tindakan medis dapat diberikan oleh
keluarga terdekat, antara lain suami/isteri, ayah/ibu kandung, anak-anak kandung
atau saudara-saudara kandung. Dalam keadaan gawat darurat, untuk menyelamatkan jiwa
pasien tidak diperlukan persetujuan. Namun, setelah pasien sadar atau dalam kondisi yang
sudah memungkinkan, segera diberikan penjelasan dan dibuat persetujuan.
Individu yang dapat memberikan persetujuan adalah orang yang berusia 18 tahun atau lebih
atau telah menikah dan berkompeten. Individu yang dianggap tidak berkompetan apabila
mengalami gangguan jiwa dan menderita nyeri hebat, syok, pengaruh obat tertentu atau
keadaan kesehatan fisiknya. Persetujuan tindakan medis pada individu yang tidak
berkompeten diberikan kepada suami atau istri, orang tua yang sah atau anak yang
berkompeten, saudara kandung, wali.
Pada kasus di atas anak kandung dan istri ke-2 nya berha memberikan persetujuan
tindakan medis, namun dalam kondisi di atas istri ke-2 sedang dalam perjalanan
sedangkan yang berada di RS adalah anak kandungnya, sehingga anak kandungnya
berhak memberikan persetujuan tindakan medis tanpa harus menunggu istri pasien.
Referensi:
1. Danny Wiradharma, Penuntun Kuliah Hukum Kedokteran, Binarupa Aksara, Jakarta,
1996.
2. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 585/Men.Kes/Per/IX/1989 tentang Persetujuan
Tindakan Medik.
3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik
Kedokteran.
69. C. (160 x 120) / (80 x 40)
Pembahasan:
Dari data tersebut dapat dibuat tabel berikut:
Riwayat Rubella
Jumlah
Positif Negatif
Katarak Kongenital (+) 160 (A) 40 (B)
200
Katarak Kongenital (-) 80 (C) 120 (D)
200
Total
110
1890
2000
Untuk menentukan Odd Ratio kasus tersebut dengan menggunakan rumus:
OR = A x D
BxC
= 160 x 120
40 x 80
70. B. Laringomalasia
Laringomalasia merupakan penyebab utama stridor pada bayi. Kelainan ini ditandai dengan
adanya kolaps struktur epiglotis pada saat inspirasi akibat memendeknya plika
ariepiglotika, prolaps mukosa kartilago aritenoid yang tumpang tindih, atau melekuknya
epiglotis ke arah posterior.
Laringomalasia merupakan suatu proses jinak yang dapat sembuh spontan pada 70% bayi saat
usia 1-2 tahun. Gejala stridor inspirasi kebanyakan timbul segera setelah lahir atau dalam usia
beberapa minggu atau bulan ke depan. Stridor dapat disertai dengan retraksi sternum,
interkostal, dan epigastrium akibat usaha pernapasan. Pada beberapa bayi tidak
menimbulkan gejala sampai anak mulai aktif (sekitar 3 bulan) atau dipicu oleh infeksi
saluran napas. Stridor yang terjadi bersifat bervibrasi dan bernada tinggi. Stridor akan
bertambah berat sampai usia 8 bulan, menetap sampai usia 9 bulan dan bersifat intermitten dan
hanya timbul bila usaha bernapas bertambah seperti saat anak aktif, menangis, makan, kepala
fleksi atau posisi supinasi. Setelah itu keadaan makin membaik. Rata-rata stridor terjadi adalah
selama 4 tahun 2 bulan. Tidak ada korelasi antara lama berlangsungnya stridor dengan derajat
atau waktu serangan.
Masalah makan sering terjadi akibat obstruksi napas yang berat. Penderita laringomalasia
biasanya lambat bila makan yang kadang-kadang disertai muntah sesudah makan. Keadaan ini
dapat menimbulkan masalah gizi kurang dan gagal tumbuh. Berdasarkan pemeriksaan radiologi,
refluks lambung terjadi pada 80% dan regurgitasi pada 40% setelah usia 3 bulan. Masalah makan
dipercaya sebagai akibat sekunder dari tekanan negatif yang tinggi di esofagus intratorak pada
saat inspirasi. Ostructive sleep apnea (23%) dan central sleep apnea (10%) juga ditemukan pada
laringomalasia. Keadaan hipoksia dan hiperkapnia akibat obstruksi napas atas yang lama akan
berisiko tinggi untuk terjadinya serangan apnea yang mengancam jiwa dan timbul hipertensi
pulmonal yang dapat menyebabkan kor pulmonal, aritmia jantung, penyakit paru obstruksi
kronis, masalah kognitif dan personal sebagai akibat sekunder dari laringomalasia. Berdasarkan
letak prolaps dari struktur supraglotis, Olney dkk membuat klasifikasi untuk laringomalasia.
Klasifikasinya adalah:
Tipe 1, yaitu prolaps dari mukosa kartilago aritenoid yang tumpang tindih
Tipe 2, yaitu memendeknya plika ariepiglotika
Tipe 3, yaitu melekuknya epiglotis ke arah posterior.
Referensi :
Stern RC. Congenital anomalies. In: Behrman RE, Kilegman RM, Jensen HB editors. Nelson
textbook of pediatric. 16th ed, Philadelphia: WB Saunders, 2000: p. 1271-2.
Vicencio AG, Parikh S, Adam HM. Laryngomalacia and tracheomalacia: common dynamic
airway lessions. Pediatr Rev. 2006; 27: 33-5
Lusk R. Congenital anomalies of the larynx. In: Snow JB editors. Otorhinolaryngology head and
neck surgery. Ontario: BC Decker Inc; 2003: p. 1049-51
Herman B, Kartosoediro S. Disfonia. Dalam: Iskandar N, Soepardi EA editor. Buku ilmu
kesehatan telinga tenggorok kepala & leher. Edisi ke 6. Jakarta: BalaiPenerbit FK-UI. 2007: p.
231-236
Bye MR. Laryngomalacia. Available from:
http://www.emedicine.medscape.com/article/1002527.
71. A. Tuberkulosis paru
Beberapa gambaran radiologis penyakit paru:
A. Tuberkulosis (TB paru):
Tanda radiologi TBC dibagi 3 macam:
TBC aktif : bercak, berawan, cavitas.
TBC lama tenang : bintik kalsifikasi, fibrosis.
TBC lama aktif : bila terdapat minimal 1 tanda kategori 1 dan minimal 1 tanda kategori 2
dengan lokasi di apex paru.
NB : Lokasi utama untuk penyakit TBC adalah di apex paru, dengan kata lain bila
perselubungannya tidak terdapat di apex paru, maka suspek TBC bisa dihilangkan.
B. Penyakit bronkopneumoni : bercak, berawan, lokasi bisa di lapangan tengah dan bawah paru.
C. Penyakit pneumoni : berawan, lokasi bisa diatas, ditengah, maupun di lapangan bawah paru.
Pneumonia dibagi menjadi 2 : pneumonia dan pneumonia lobaris (bila mengenai lobus
tertentu).
D. Tumor : berawan, lokasi di atas, tengah, atau lapangan bawah paru.
E. Efusi pleura : sinus costophrenicus tumpul, berawan.
F. Pneumothorax : terjadi pada pleura. Gambarannya lussen avascular, diafragma normal (di ICS
10)
G. Emfisema : terjadi pada paru, radiolussen vascular, diafragma letak rendah (ICS 10-11), sela
iga melebar, jantung ramping.
Diagnosis TB Paru pada orang dewasa ditegakkan dengan ditemukannya kuman TB.
Pada program TB nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak mikroskopis
merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti foto toraks, biakan dan uji
kepekaan dapat
digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya.
Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks saja. Foto
toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada TB paru, sehingga sering
terjadi overdiagnosis.
ALUR DIAGNOSIS TB
Keterangan:
Suspek TB Paru: Seseorang dengan batuk berdahak selama 2 - 3 minggu atau lebih disertai
dengan atau tanpa gejala lain.
Antibiotik non OAT: Antibiotik spektrum luas yang tidak memiliki efek anti TB (jangan
gunakan fluorokuinolon).
Gambaran hipodensitas (gelap) menunjukkan evolusi area yang mengalami iskemik, dalam
gambar menunjukkan area yang divaskularisasi Arteri Cerebri Medialis.
(A) Gambaran hari ke-2 setelah serangan
(B) Gambaran hari ke-4 setelah serangan
More info
1. Gambaran ring enhancement pada pencitraan otak (CT Scan dan MRI) paling baik
dilakukan menggunakan kontras. Lesi ini dapat terlihat pada beberapa keadaan patologis
seperti limfoma yang melibatkan susunan saraf pusat, abses otak, dan khas pada
penderita HIV yang mengalami toxoplasmosis.
2. Terminologi hyperintens dan hypointens digunakan dalam interpretasi hasil
pencitraan menggunakan Magnetic Resonance Imaging (MRI).
Referensi:
Ekayuda, Iwan, Sjahriar Rasad, editor. Radiologi Diagnostik. Edisi 2. Jakarta : Divisi
Radiodiagnostik, Departmen Radioligi FK UI-RSCM, 2005
Yock-Corrales A, Mackay MT, Mosley I, Maixner W, Babl FE. Acute childhood arterial
ischemic and hemorrhagic stroke in the emergency department. Ann Emerg Med. Aug
2011;58(2):156-63.
Gambar diperoleh dari
http://posterng.netkey.at/esr/viewing/index.php?module=viewing_poster&task=viewsection
&pi=108919&ti=341796&searchkey=
http://www.ebmedicine.net/topics.php?paction=showTopicSeg&topic_id=117&seg_id=229
0
73. D. Gangguan hipokondrik
Pembahasan:
Gangguan Konversi dimana untuk diagnosis pasti harus memiliki kriteria dibawah ini yaitu:
a) Ciri-ciri klinis yang ditentukan untuk masing-masing gangguan tertera dalam F44
(adanya kehilangan sebagian atau seluruh dari integrasi normal antara ingatan masa lalu,
kesadaran akan identitas dan penghayatan serta kendali terhadap gerak tubuh)
b) Tidak ada bukti adanya gangguan fisik yang dapat menjelaskan gejala-gejala tersebut
c) Bukti adanya penyebab psikologis, dalam bentuk hubungan waktu yang jelas dengan
problem dan peristiwa yang stressfull atau hubungan interpersonal yang terganggu.
Ciri utama dalam gangguan somatoform adalah adanya keluhan-keluhan gejala fisik yang
berulang-ulang yang disertai dengan permintaan pemeriksaan medik, meskipun sudah
berkali-kali terbukti hasilnya negatif dan sudah dijelaskan oleh dokternya bahwa tidak
ditemukan kelainan yang menjadi dasar keluhannya. Biasanya penderita juga menyangkal
dan menolak untuk membahas kemungkinan kaitan antara keluhan fisiknya dengan problem
atau konflik dalam kehidupan yang dialaminya bahkan meskipun didapatkan gejala-gejala
anxietas dan depresi.
Ciri utama dalam gangguan hipokondrik adalah adanya preokupasi yang menetap akan
kemungkinan menderita satu atau lebih gangguan fisik yang serius dan progresif. Pasien
menunjukkan keluhan somatik yang menetap atau preokupasi yang menetap dengan
penampilan fisiknya. Pengindraan dan penampilan yang normal sebenarnya biasa dan oleh
pasien seringkali ditafsirkan sebagai abnormal dan tidak mengenakkan, mekipun
pemeriksaan yang berulang tidak menunjang adanya alasan fisik yang memadai ataupun
Pada peritonitis prinsip penatalaksanaan adalah penggantian cairan dan elektrolit yang
hilang dilakukan secara IV. Resusitasi dilakukan dengan larutan isotonic.
Sumber:
1. World Health Organization. 2013. Pedoman Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit
Rujukan Tingkat Pertama di Kabupaten. Jakarta: WHO Indonesia.
2. Schwartz, M.A. 2005. Pedoman Klinis Pediatri. Jakarta: EGC.
76. A. Pecahnya varises esophagus
Sirosis hepar secara klinis dibagi menjadi sirosis hepar kompensata dan dekompensata.
Sirosis hepar merupakan kelanjutan dari proses hepatitis kronik. Manifestasi klinis sirosis
yang muncul adalah:
Gejala sirosis kompensata: mudah lelah; nafsu makan menurun; perut kembung; mual;
berat badan menurun; pada laki-laki timbul impotensi, testis mengecil, buah dada
membesar, hilangnya dorongan seksualitas.
Gejala sirosis dekompensata: timbul gejala hipertensi porta.
Pemeriksaan fisik:
Spider teleangiektasis
Tanda ini muncul di bahu, muka, dan lengan atas. Yaitu suatu lesi vaskuler yang
dikelilingi beberapa vena kecil
Eritem Palmaris
Yaitu warna merah segar pada thenar atau hipithenar telapak tangan.
Kontraktur Dupuytren
Ginekomastia
Atrofi testis hipogondisme
Hepatomegali
Ukuran hepara bias normal, membesar, atau mengecil. Bila teraba hepar maka
perabaan keras dan nodular.
Asites
ikterus
Hipertensi porta, ascites, dan varises bleeding adalah komplikasi yang paling sering pada
penderita sirosis. Perdarahan akibat pecahnya varises gastroesofagus (VGE) merupakan
komplikasi yang berbahaya bagi pasien sirosis hati.
Varises esophagus merupakan akibat langsung hipertensi porta karena peningkatan tahanan
aliran porta dan peningkatan aliran darah yang masuk ke vena porta. Varises terjadi jika
terdapat peingkatan perbedaan tekanan antara vena porta dan vena hepatica lebih dari 10
mmHg.
Pasien sirosis hepar dengan tekanan portal yang normal, maka belum terbentuk varises
esophagus. Ketika tekanan portal meningkat maka secara progresif akan terbentuk varises
yang kecil. Dengan berjalan waktu, terjadi peningkatan sirkulasi hiperdinamik maka aliran
darah di dalam varises akan meningkat dan meningkatkan tekanan dinding. Perdarahan
varises akibat ruptur yang terjadi karena tekanan dinding yang maksimal.
Gejala khas yang dikeluhkan pada penderita varises esophagus adalah hematemesis,
hematocezia atau melena, penurunan tekanan darah dan anemia.
Sumber:
1. Sudoyo, A.W et al. 2006. Ilmu Penyakit Dalam Ed.IV. Jakarta : Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
2. Jurnalis, Y.D et al. 2007. Sirosis Hepatis dengan Hipertensi Portal dan Pecahnya Varises
Esofagus. Majalah Kedokteran Andalas. No.2 Vol.31, Juli-Desember.
77. C. Efek autonom baik simpatis dan parasimpatis
Sinus takikardia adalah irama sinus >100 kali per menit, keadaan ini biasa ditemukan pada
bayi dan anak kecil, juga terjadi pada orang dewasa dengan keadaan stress fisiologis
maupun patologis seperti kegiatan fisik olah raga, demam, hipertiroidisme, anemia, infeksi,
sepsis, hip[ovolemia, dan PPOK. Obat-obatan seperti atropin, katekolamin, kafein, dan
hormon tiroid juga dapat menyebabkan sinus takikardia.
Pasien pada skenario menunjukkan gambaran kecurigaan aktivitas hormon thyroid yang
meningkat didukung dengan adanya eksoftalmus yang merupakan salah satu tanda
hiperthyroidisme, dengan demikian gambaran EKG berupa sinus takikardia yang terjadi
bukan disebabkan proses konduksi yang terjadi dalam jantung namun sebagai akibat
peningkatan hormon thyroid.
Hormon thyroid dibutuhkan oleh hampir semua proses metabolisme tubuh, sehingga
perubahan kadar hormon dalam sirkulasi akan berpengaruh terhadap berbagai sistem organ
di antaranya
Efek kardiovaskular: meningkatkan kontraktilitas myokard, dan tonus diastolik
(Inotropik dan kronotropik positif) secara klinis nampak sebagai peningkatan curah
jantung dan denyut nadi .
Efek Autonom (Simpatis dan Parasimpatis): Hormon thyroid merangsang
ekspresi reseptor beta-adrenergik myokard, serta otot-otot polos dan skelet lainnya.
Sehingga sensitivitas terhadap katekolamin meningkat yang mengakibatkan
peningkatan aktivitas jantung.
Referensi:
Trisnohadi H. R. 2006. Gangguan Irama Jantung yang Spesifik. Dalam : Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Edisi Keempat Jilid III , Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia :
Jakarta.
Djokomoeljanto. R. 2006. Kelenjar Tiroid, Hipotiroidisme, dan Hipertiroidisme. Dalam :
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi Keempat Jilid III , Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia : Jakarta.
Gambar diperoleh dari
http://www.ceufast.com/courses/viewcourse.asp?id=239#Sinus_Tachycardia
78. C. trichomoniasis
Pembahasan:
Herpes Simpleks
Penyakit yang disebabkan oleh virus Herpes Simpleks (HSV) tipe 1 atau 2, sering
bersifat rekurens, bersifat seumur hidup, virus berdiam di jaringan syaraf tepatnya di
ganglia dorsalis.
Klasifikasi: Herpes simpleks episode pertama lesi primer, herpes simpleks episode
pertama lesi non primer, herpes simpleks rekuren, herpes simpleks asimtomatik.
- Herpes simpleks episode pertama lesi primer
Kelainan kulit berupa vesikel/erosi/ulkus dangkal berkelompok, dengan dasar
eritematosa disertai rasa nyeri. Dapat disertai disuria, duh tubuh vagina atau uretra,
dapat disertai keluhan sistematik, demam, sakit kepala, nyeri otot, nyeri dan
pembengkakan inguinal. Terdapat keluhan neuropati, pembengkakan lesi baru masih
berlangsung selama 10 hari.
- Herpes simpleks episode pertama lesi non primer
Umumnya lebih sedikit dan lebih ringan dibandingkan dengan infeksi primer.
Lesi yang tidak diobati dapat berlangsung 10-14 hari serta jarang disertai duh tubuh
genital atau disuria, keluhan sistemik dan neuropati.
- Herpes Simpleks rekuren
Lesi lebih sedikit, bersifat lokal, unilateral, lebih singkat dan menghilang
selama 5 hari, dapat didahului oleh keluhan parastesia 1-2 hari sebelum timbul lesi
dan umumnya mengenai daerah yang sama yaitu penis, vulva, anus, atau bokong.
- Herpes Simpleks Asimptomatik
Tidak ada gejala klinis, reaksi serologis antibody herpes positif.
Terapi: antivirus acyclovir 5x200mg selama 5 hari
Vaginosis bacterial Candidiasis
Trichomoniasis
Gonorhoe
vulvovaginal
Etiologi
Gadnerella
Candida
Trichomonas
Neisseria
vaginalis
Albicans
Gonorhoe
Keluhan
Gatal, terasa tidak
Gatal
pada Gatal di bagian Keluarnya sekret
nyaman, nyeri saat genitalia
labia
mayora, purulen dan nyeri
berhubungan
interna
dan nyeri BAK dan BAK
Sekret
berwarna
putih
homogen,
melekat
pada
dinding vagina dan
vestibulum, berbau
amis seperti ikan
Pemeriksaan
Clue
cells
+
(squamous epitelial
cell yang dilapisi
oleh bakteri), sniff
test
+
(mengeluarkan bau
amis
setelah
ditambahka
pottasium
hidroxide)
Terapi
Metronidazol 2gr
dosis tunggal atau
metronidazol
2x500mg selama 7
hari
eksterna
terkadang
sakit
pinggang
Sekret
Sekret
encer Sekret
purulen
berwarna putih berwarna kuning atau
susu,
kehijauan, berbau mukopurulen
bergumpal
dan berbusa
menyerupai
susu
basi,
tidak berbau
Eritem
dan Cerviks:
Edema
dan
edema,
strawberry
red eritem
pada
sediaan apus appearance
OUE,
sediaan
dengan gram Sniff test +
apus
gram
dan
sediaan
ditemukan
basah dengan
diplokokus gram
KOH
negatif intrasel
ditemukan
blastospora
dan
pseudohifa
Ketokonazol
Metronidazol 2gr Sefiksim 400mg
2x200mg
dosis tunggal atau peroral
dosis
selama 7hari
metronidazol
tunggal
2x500mg selama 7
hari
79. C. VDRL
Pembahasan:
Sifilis adalah penyakit menular seksual yang disebabkan oleh Treponema pallidum bersifat
kronis dan menahun. Bakteri ini masuk ke dalam tubuh manusia melalui selaput lendir
(misalnya di vagina atau mulut) atau melalui kulit.
Sifilis mempunyai beberapa stadium infeksi, yaitu:
Stadium pertama dari gejala penyakit sifilis bisa ada sebuah luka terbuka yang disebut
chancre di daerah genital, rektal, atau mulut. Luka terbuka ini tidak terasa sakit.
Pembesaran kelenjar limfe bisa saja muncul. Seorang penderita bisa saja tidak merasakan
sakitnya dan biasanya luka ini sembuh dengan sendirinya dalam waktu 4-6 minggu, maka
dari itu penderita biasanya tidak akan datang ke dokter untuk berobat, tetapi bukan berarti
sifilis ini menghilang, tapi tetap beredar di dalam tubuh. Jika tidak diatasi dengan baik,
akan berlanjut hingga stadium selanjutnya.
Stadium kedua dari gejala penyakit sifilis muncul sekitar 1-6 bulan (rata-rata sekitar 6-8
minggu) setelah infeksi pertama, ada beberapa manifestasi yang berbeda pada stadium
kedua ini. Suatu ruam kemerahan bisa saja timbul tanpa disertai rasa gatal di bagianbagian tertentu, seperti telapak tangan dan kaki, atau area lembab, seperti skrotum dan
bibir vagina. Selain ruam ini, timbul Gejala Penyakit Sifilis lainnya, seperti demam,
pembesaran kelenjar getah bening, sakit tenggorokan, sakit kepala, kehilangan berat
badan, nyeri otot, dan perlu diketahui bahwa gejala dan tanda dari infeksi kedua sifilis ini
juga akan bisa hilang dengan sendirinya, tapi juga perlu diingat bahwa ini bukan berarti
sifilis hilang dari tubuh Anda, tapi infeksinya berlanjut hingga stadium laten.
Stadium laten adalah stadium di mana jika diperiksa dengan tes laboratorium, hasilnya
positif, tetapi gejala penyakit sifilis bisa ada ataupun tidak. Stadium laten ini juga dibagi
sebagai stadium awal dan akhir laten. Dinyatakan sebagai sifilis laten awal ketika sifilis
sudah berada di dalam badan selama dua tahun atau kurang dari infeksi pertama dengan
atau tanpa gejala. Sedangkan sifilis laten akhir jika sudah menderita selama dua tahun
atau lebih dari infeksi pertama tanpa adanya bukti gejala klinis. Pada praktiknya, sering
kali tidak diketahui kapan mulai terkena sehingga sering kali harus diasumsikan bahwa
Hasil kualitatif:
o REAKTIF
: Bila tampak gumpalan sedang atau besar
o REAKTIF LEMAH : Bila tampak gumpalan kecil-kecil
o NON REAKTIF
: Bila tidak tampak flokulasi/gumpalan
- TPHA: Test TPHA (Treponema pallidum hemaglutination). Tindakan ini untuk
mengetahui secara spesifik apakah ada reaksi antibodi terhadap kuman treponema. Jika
di dalam tubuh ditemukan adanya kuman ini, maka hasil tes positif. Pasien dinyatakan
positif tertular.
Berdasarkan kasus tersebut, maka pemeriksaan skrening yang dilakukan pada wanita
tersebut adalah dengan pemeriksaan VDRL, jika hasilnya positif dapat dilanjutkan dengan
pemeriksaan TPHA
Sumber: http://www.penyakitkelamin.net/mengetahui-gejala-penyakit-sifilis/
80. E. CRL (crown rump length)
Pengukuran Biometri pada Trimester Pertama
Pada trimester pertama dapat dilakukan pengukuran biometri dari kantong gestasi, yolk sac,
crown rump length, dan kadang-kadang diameter biparietal. Satu-satunya parameter yang paling
kecil kesalahannya dalam penentuan usia gestasi adalah CRL (kurang dari satu minggu), oleh
karena itu sebaiknya dilakukan pemeriksaan CRL pada setiap kehamilan trimester pertama,
kemudian hasilnya ditulis pada status pasien (termasuk perkiraan tanggal persalinannya).
Perkiraan tanggal persalinan jangan dirubah-rubah lagi dan dijadikan patokan dalam penentuan
usia gestasi, terutama bila siklus haid tidak teratur, riwayat memakai obat hormonal, dan
kehamilan ganda.
Pengukuran biometri pada trimester pertama:
Kantong gestasi (KG): kantong gestasi dapat dilihat sejak kehamilan 4 minggu melalui
USG transvaginal (diameter 4-5 mm) dan sekitar 5-6 minggu (diameter 10 mm) melalui
USG transabdominal. Kesalahan pengukuran kantong gestasi dalam penentuan usia
gestasi sekitar 1-2 minggu.
Crown Rump Length (CRL): pengukuran CRL memiliki akurasi yang baik dengan
kesalahan sekitar 5-7 hari, sehingga parameter ini merupakan satu-satunya parameter
tunggal dengan kesalahan perhitungan usia gestasi kurang dari satu minggu. Pengukuran
CRL hanya dapat dipakai sampai usia gestasi 12 minggu karena pada usia gestasi
selanjutnya bentuk tubuh janin akan melengkung, sehingga pengukuran usia gestasi
setelah 12 minggu akan memiliki kesalahan lebih dari satu minggu. Waktu terbaik
pengukuran CRL adalah pada usia gestasi 8-10 minggu.
Yolk Sac (YS): Yolk sac mulai tampak secara sonografis pada usia kehamilan 5-6 minggu,
letaknya berdekatan dengan embrio, dihubungkan dengan embrio melalui duktus
vitellinus, dan merupakan organ ekstra amniotik yang terletak di antara amnion dan
korion. Bila diameter yolk sac 3 mm atau 8 mm, menunjukkan prognosa kehamilan
buruk. Adanya yolk sac intra uterin merupakan salah satu tanda dari kehamilan intra
uterin. Bila yolk sac atau embrio tidak ditemukan pada kantung gestasi dengan diameter
lebih dari 25 mm (USG transabdominal) atau 15 mm (USG transvaginal), maka
kemungkinan kehamilan yang ada saat ini adalah suatu kehamilan nir mudigah (blighted
ovum).
Tabel penentuan usia gestasi
Pengukuran biometri pada trimester kedua dan ketiga:
Setelah usia kehamilan 12 minggu parameter berikut dapat dipakai dalam pemeriksaan biometri
janin, yaitu:
DBP (diameter biparietal): pengukuran DBP merupakan pengukuran biometri yang
paling popular (sering dilakukan) sekaligus paling sering menimbulkan masalah akibat
kesalahan dalam pengukurannya. Waktu terbaik untuk penentuan usia gestasi
berdasarkan diameter biparietal adalah 15-24 minggu. Setelah usia 24 minggu terdapat
variasi individu janin dalam hal ukuran biometri dan kecepatan tumbuh sehingga
penentuan usia gestasi berdasarkan DBP menjadi semakin tidak akurat.
PF (panjang femur): pada usia gestasi 12 minggu panjang femur (PF) sudah dapat dipakai
untuk menentukan usia gestasi. Ketepatan pemeriksaan panjang femur (PF) dalam
penentuan usia gestasi sama dengan diameter biparietal. PF dapat diukur mulai
kehamilan 12 minggu hingga aterm.
TBJ (Taksiran Berat Janin): sampai saat ini sangat sulit menentukan TBJ secara akurat.
Banyak faktor yang mempengaruhi pengukuran biometri janin, misalnya ras, jenis
kelamin, jumlah cairan ketuban, presentasi dan letak janin dan tabel yang digunakan.
LK (lingkar kepala)
DOF (Diameter Oksipito-Frontalis)
DTS (diameter transserebellar)
PH (panjang humerus)
LP (lingkar perut)
Referensi: Judi Januadi Endjun. Ultrasonografi Dasar Obstetri dan Ginekologi. Jakarta : FKUI.
2009.
81. E. KET (Kehamilan Ektopik Terganggu)
Pada pasien di atas gejala-geja yang dialami, yaitu nyeri hebat pada perut bawah dan amenorea
mengarahkan kepada gejala kehamilan ektopik terganggu. Hal tersebut dikuatkan dengan hasil
pemeriksaan yang menunjukkan bahwa tes kehamilan (+), Hb rendah, dan adanya nyeri goyang
portio.
Kehamilan Ektopik
Implantasi dan pertumbuhan hasil konsepsi di luar endometrium kavum uteri. Kehamilan
ekstrauterin tidak sinonim dengan kehamilan ektopik karena kehamilan pada pars interstisialis
tuba dan kanalis servikalis termasuk dalam uterus, tetapi jelas bersifat ektopik.
Etiologi:
Faktor tuba, yaitu salpingitis, perlekatan tuba, kelainan kongenital tuba, pembedahan
sebelumnya, endometriosis, tumor yang mengubah bentuk tuba, dan kehamilan ektopik
sebelumnya.
Kelainan zigot, yaitu kelainan kromosom dan malformasi.
Faktor ovarium, yaitu migrasi luar ovum (perjalanan ovum dari ovarium kanan ke tuba
kiri atau sebaliknya), pembesaran ovarium, dan unextruded ovum.
Penggunaan hormon eksogen (estrogen) seperti pada kontrasepsi oral.
Faktor lain, antara lain aborsi tuba dan pemakaian IUD.
Patogenesis :
Sebagian besar kehamilan ektopik berlokasi di tuba. Sangat jarang terjadi implantasi pada
ovarium, rongga perut, kanalis servikalis uteri, tanduk uterus yang rudimenter, dan divertikel
pada uterus. Berdasarkan implantasi hasil konsepsi pada tuba, terdapat kehamilan pars
interstisialis tuba, kehamilan pars ismika tuba, kehamilan pars ampullaris tuba, dan kehamilan
infundibulum tuba.
Kehamilan diluar tuba ialah kehamilan ovarial, kehamilan intraligamenter, kehamilan servikal,
dan kehamilan abdominal yang bisa primer atau sekunder.
Kehamilan intrauterin dapat terjadi bersamaan dengan kehamilan ektopik. Disebut combined
ectopic pregnancy bila terjadi bersamaan dan compound ectopic pregnancy bila kehamilan
ektopik terjadi lebih dahulu dengan janin sudah mati dan menjadi litopedion.
Hasil konsepsi bernidasi kolumnar atau interkolumnar dan biasanya akan terganggu pada
kehamilan 6-10 minggu, berupa :
Hasil konsepsi mati dan diresorpsi
Abortus ke dalam lumen tuba
Ruptur dinding tuba
Uterus menjadi besar dan lembek; endometrium dapat berubah menjadi desidua karena pengaruh
estrogen dan progesteron dari korpus luteum graviditatis dan trofoblas. Pada endometrium juga
dapat ditemukan fenomena Arias-Stella.
Manifestasi klinis:
Amenore.
Gejala kehamilan muda
Nyeri perut bagian bawah. Pada ruptur tuba nyeri terjadi tiba-tiba dan hebat,
menyebabkan penderita pingsan sampai syok. Pada abortus tuba nyeri mula-mula pada
satu sisi, menjalar ke tempat lain. Bila darah sampai ke diafragma bisa menyebabkan
nyeri bahu, dan bila terjadi hematokel retrouterina terdapat nyeri defekasi.
Perdarahan pervaginam berwarna coklat tua.
Pada pemeriksaan vagina terdapat nyeri goyang bila serviks digerakkan, nyeri pada
perabaan, dan kavum Douglas menonjol karena ada bekuan darah.
Diagnosis:
Penegakan diagnosis pada kehamilan ektopik belum terganggu sulit sehingga memerlukan
pemeriksaan penunjang untuk mendiagnosis, yaitu USG, laparoskopi, dan kuldoskopi.
Penegakan diagnosis pada kehamilan ektopik terganggu dapat didapatkan dari:
Anamnesis: amenorea dan kadang terdapat tanda hamil muda, nyeri perut bagian bawah,
nyeri bahu, tenesmus, dan perdarahan pervaginam setelah nyeri perut bagian bawah.
Pemeriksaan umum: penderita tampak kesakitan dan pucat; pada perdarahan dalam
rongga perut dapat ditemukan tanda-tanda syok.
Pemeriksaan ginekologi: ditemukan tanda-tanda kehamilan muda, rasa nyeri pada
pergerakan serviks; uterus dapat teraba agak membesar dan kadang teraba tumor di
samping uterus dengan batas yang sukar ditentukan; kavum Douglas menonjol, berisi
darah, dan nyeri bila diraba.
Pemeriksaan laboratorium: hemoglobin menurun setelah 24 jam dan jumlah sel darah
merah dapat meningkat.
Referensi:
Ilmu Kebidanan. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Jakarta. Kapita Selekta
Kedokteran Edisi Ketiga Jilid 1. Arif Mansjoer dkk. Media Aesculapius FKUI Jakarta 2008.
82. E. Depresi
Teori penerimaan (acceptance) Kubbler Ross, yakni:
Tahap Denial (penolakan)
Reaksi respon: menolak mempercayai bahwa kehilangan terjadi secara nyata dan
mengisolasi diri. Reaksi fisik: letih, lemah, diare, gelisah, sesak napas dan nadi cepat.
Contoh: "tidak mungkin, berita kematian itu tidak benar. Saya tidak percaya suami saya
pasti nanti kembali".
Tahap anger (marah)
Reaksi respon: timbul kesadaran akan kenyataan kehilangan. kemarahan meningkat
kadang diproyeksi ke orang lain, tim kesehatan atau lingkungan.Reaksi fisik: nadi cepat,
tangan mengepal, susah tidur, muka merah, bicara kasar, dan agresif. Contoh: Ini terjadi
karena dokter tidak sungguh-sungguh dalam pengobatannnya".
Tahap Bargainning (tawar-menawar)
Reaksi respon: Pasien berunding dengan cara halus untuk mencegah kehilangan dan
perasaan bersalah. Memohon pada Tuhan. Pasien juga mempunyai keinginan untuk
melakukan apa saja untuk mengubah apa yang sudah terjadi. Contoh: "Kalau saja saya
sakit, bukan anak saya....", "Kenapa saya ijinkan pergi. Kalau saja dia dirumah ia tidak
akan kena musibah ini"., "Seandainya saya hati-hati, pasti hal ini tidak akan terjadi".
Tahap Depresi
Reaksi respon: sikap menarik diri, perasaan kesepian, tidak mau bicara dan putus
asa. Individu bisa melakukan percobaan bunuh diri atau penggunaan obat
berlebihan. Reaksi fisik: susah tidur, letih, menolak makan, dorongan libido menurun.
Contoh: "Biarkan saya sendiri"., "Tidak usah bawa ke rumah sakit, sudah nasib saya".
Tahap Acceptance (Penerimaan)
Reaksi respon: reorganisasi perasaan kehilangan, mulai menerima kehilangan. Pikiran
tentang kehilangan mulai menurun. Mulai tidak tergantung dengan orang lain. Mulai
membuat perencanaan. Contoh: Ya sudah, saya iklaskan dia pergi.", "Apa yang harus
saya lakukan supaya saya cepat sembuh". "Ya pasti dibalik bencana ini ada hikmah yang
tersembunyi"
Etiologi
Kuman atau bakteri penyebab terjadinya Abses paru bervariasi sesuai dengan peneliti dan teknik
penelitian yang digunakan. Finegolal dan fisliman mendapatkan bahwa organisme penyebab
abses paru lebih dari 89 % adalah kuman anaerob. Asher dan Beandry mendapatkan bahwa pada
anak-anak kuman penyebab abses paru terbanyak adalah stapillococous aureus.
Patofisiologi
Merupakan proses lanjut pneumonia inhalasi bakteria pada penderita dengan faktor predisposisi.
Bakteri mengadakan multiplikasi dan merusak parenkim paru dengan proses nekrosis. Bila
berhubungan dengan bronkus, maka terbentuklah air fluid level bakteria masuk kedalam
parenkim paru selain inhalasi bisa juga dengan penyebaran hematogen (septik emboli) atau
dengan perluasan langsung dari proses abses ditempat lain (nesisitatum) misal abses hepar.
Kavitas yang mengalami infeksi. Pada beberapa penderita tuberkolosis dengan kavitas, akibat
inhalasi bakteri mengalami proses keradangan supurasi. Pada penderita emphisema paru atau
polikisrik paru yang mengalami infeksi sekunder. Obstruksi bronkus dapat menyebabkan
pneumonia berlajut sampai proses abses paru.
Hal ini sering terjadi pada obstruksi karena kanker bronkogenik. Gejala yang sama juga terlihat
pada aspirasi benda asing yang belum keluar. Kadang-kadang dijumpai juga pada obstruksi
karena pembesaran kelenjar limphe peribronkial. Pembentukan kavitas pada kanker paru.
Pertumbuhan massa kanker bronkogenik yang cepat tidak diimbangi peningkatan suplai
pembuluh darah, sehingga terjadi likuifikasi nekrosis sentral. Bila terjadi infeksi dapat terbentuk
abses.
Manifestasi Klinis
1. Gejala klinis
Gejala klinis yang ada pada abses paru hampir sama dengan gejala pneumonia pada umumnya,
yaitu:
a. Panas badan berkisar 70% 80% penderita abses paru. Kadang dijumpai dengan temperatur >
400oC.
b. Batuk, pada stadium awal non produktif. Bila terjadi hubungan rongga abses dengan bronkus
batuknya menjadi meningkat dengan bau busuk yang khas (Foetor ex oroe (40-75%).
c. Produksi sputum yang meningkat dan Foetor ex oero dijumpai berkisar 40 75% penderita
abses paru.
d. 50% kasus Nyeri dada
e. 25% kasus Batuk darah
f. Gejala tambahan lain seperti lelah, penurunan nafsu makan dan berat badan. Pada pemeriksaan
dijumpai tanda-tanda proses konsolidasi seperti redup, suara napas yang meningkat, sering
dijumpai adanya jari tabuh serta takikardi.
2. Pemeriksaan Radiologis
Pada foto torak terdapat kavitas dengan dinding tebal dengan tanda-tanda konsolidasi
disekelilingnya. Kavitas ini bisa multipel atau 2 20 cm. dengan ukuran ini sering
dijumpai pada paru kanan lebih dari paru kiri. Bila terdapat hubungan dengan bronkus
maka didalam kavitas terdapat air fluid level. Tetapi bila tidak ada hubungan maka hanya
dijumpai tanda-tanda konsolidasi (opasitas).
3. Pemeriksaan laboratorium
a. Pada pemeriksaan darah rutin. Ditentukan leukositosis, meningkat lebih dari 12.000/mm3.
bahkan pernah dilaporkan peningkatan sampai dengan 32.700/mm3. Laju endap darah
ditemukan meningkat > 58 mm / 1 jam. Pada hitung jenis sel darah putih didapatkan shit to the
left
b. Pemeriksaan sputum dengan pengecatan gram tahan asam dan KOH merupakan pemeriksaan
awal untuk menentukan pemilihan antibiotik secara tepat.
c. Pemeriksaan kultur bakteri dan test kepekaan antibiotikan merupakan cara terbaik dalam
menegakkan diagnosa klinis dan etiologis.
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan fisik
Rontgen dada
CT scan
Drainage postural
Fisioterapi dada
Pemeriksaan mikrobiologi
Terapi medik
Pemberian antibiotika merupakan pilihan utama disamping terapi bedah dan terapi
suportif fisio terapi.
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan abses paru harus berdasarkkan pemeriksaan mikrobiologi dan data penyakit
dasar penderita serta kondisi yang mempengaruhi berat ringannya infeksi paru. Ada beberapa
modalitas terapi yang diberikan pada abses paru.
1. Medika Mentosa
Pada era sebelum antibiotika tingkat kematian mencapai 33% pada era antibiotika maka tingkat
kkematian dan prognosa abses paru menjadi lebih baik.
Pilihan pertama antibiotika adalah golongan Penicillin pada saat ini dijumpai peningkatan Abses
paru yang disebabkan oleh kuman anaerobs (lebih dari 35% kuman gram negatif anaerob). Maka
bisa dipikrkan untuk memilih kombinasi antibiotika antara golongan penicillin G dengan
clindamycin atau dengan Metronidazole, atau kombinasi clindamycin dan Cefoxitin.
Alternatif lain adalah kombinasi Imipenem dengan B Lactamase inhibitase, pada penderita
dengan pneumonia nosokomial yang berkembang menjadi Abses paru.
Waktu pemberian antibiotika tergantung dari gejala klinis dan respon radiologis penderita.
Penderita diberikan terapi 2-3 minggu setelah bebas gejala atau adanya resolusi kavitas, jadi
diberikan antibiotika minimal 2-3 minggu.
2. Drainage
Drainase postural dan fisiotherapi dada 2-5 kali seminggu selama 15 menit diperlukan untuk
mempercepat proses resolusi Abses paru. Pada penderita Abses paru yang tidak berhubungan
dengan bronkus maka perlu dipertimbangkan drainase melalui bronkoskopi.
3. Bedah
Reseksi segmen paru yang nekrosis diperlukan bila:
a. Respon yang rendah terhadap therapi antibiotika.
b. Abses yang besar sehingga mengganggu proses ventilasi perfusi
c. Infeksi paru yang berulang
d. Adanya gangguan drainase karena obstruksi.
Referensi:
Assegaff H. dkk. Abses Paru dalam Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Paru. AUP. Surabaya,
136 41.
Finegold SM, Fishman JA. Empyema and Lung Abscess in Fishmans pulmonary
Diseases and disorders 3rd ed, Philadelphia. 1998, 2021 32.
Garry et al. Lung Abscess in a Lange Clinical Manual Internal Medicina Diagnosis and
Therapy 3rd, Oklahoma. 199. 119 120.
Hammond JMJ et al ; The Ethiology and Anti Microbial Susceptibility Patterns of
Microorganism in acute Commuity Acquired Lung Abscess. Chest. 108, 4, 1995, 937
41.
Hirshberg B et al. Factors predicting mortality of patients with lung Abscsess, Chest. 115.
3-1999, 746 52
84. B. Hematothoraks
Trauma thorax
Semua ruda paksa pada thorax dan dinding thorax, baik trauma atau ruda paksa tajam atau
tumpul.
Trauma dada atau thorax adalah trauma tajam atau tembus thoraks yang dapat menyebabkan
tamponade jantung, perdarahan, pneumothoraks, hematothoraks, hematopneumothoraks.
Trauma thorax adalah luka atau cedera yang mengenai rongga thorax yang dapat menyebabkan
kerusakan pada dinding thorax ataupun isi dari cavum thorax yang disebabkan oleh benda tajam
atau bennda tumpul dan dapat menyebabkan keadaan gawat thorax akut.
Cedera pada dada sering mengancam jiwa dan mengakibatkan satu atau lebih mekanisme
patologi berikut:
1. Hipoksia akibat gangguan jalan napas, cedera pada parenkim paru, sangkar uga, dan otot
pernapasan, kolaps paru dan pnemotoraks
2. Hipovolemia akibat kehilangan cairan pasif dari pembuluh besar, rupture jantung, atau
hemotoraks
Gagal jantung akibat tamponade jantung, kontusio jantung, atau tekanan intratoraks yang
meningkat.
Di dalam toraks terdapat dua organ yang sangat vital bagi kehidupan manusia, yaitu paru-paru
dan jantung. Paru-paru sebagai alat pernapasan dan jantung sebagai alat pemompa darah. Jika
terjadi benturan atau trauma pada dada, kedua organ tersebut bisa mengalami gangguan atau
bahkan kerusakan.
Etiologi
1. Trauma tembus (penetrating trauma).
1. Luka Tembak
2. Luka Tikam / Tusuk
Pada trauma tusuk biasanya diakibatkan oleh luka tembak, atau luka tusuk, dengan penyebaran
tenaga pada area yang kecil, tidak seluas trauma tumpul. Pada luka tembak, arah tembakan
peluru, tidak dapat dipredikisi dengan jelas, sehingga seluruh organ dada memiliki risiko tinggi.
2. Trauma tumpul (blunt trauma)
1. Kecelakaan kendaraan bermotor
2. Jatuh
3. Pukulan pada dada
Pada trauma tumpul, kekuatan hantaman didistribusikan ke area yang luas, dan kerusakan
visceral terjadi akibat tahanan, penyebaran kekuatan hantaman, tekanan
Tanda dan Gejala pada Trauma Thorax
Secara umum tanda dan gejala trauma thorax adalah :
1. Ada jejas pada thorak
2. Nyeri pada tempat trauma, bertambah saat inspirasi
3. Pembengkakan lokal dan krepitasi pada saat palpasi
4. Pasien menahan dadanya dan bernapas pendek
5. Dispnea, hemoptisis, batuk dan emfisema subkutan
6. Penurunan tekanan darah
7. Peningkatan tekanan vena sentral yang ditunjukkan oleh distensi vena leher
8. Bunyi muffle pada jantung
9. Perfusi jaringan tidak adekuat
10. Pulsus paradoksus ( tekanan darah sistolik turun dan berfluktuasi dengan pernapasan)
dapat terjadi dini pada tamponade jantung
Jenis-jenis kegawatdaruratan pada trauma thoraks
Hematothoraks
Hemothoraks adalah suatu keadaan yang paling sering dijumpai pada penderita trauma thoraks
yang sering disebabkan oleh trauma pada paru, jantung, pembuluh darah besar. Pada lebih 80%
penderita dengan trauma thoraks dimana biasanya terdapat darah>1500ml dalam rongga pleura
akibat trauma tumpul atau tembus pada dada. Sumber perdarahan pada umumnya berasal dari
adanya cedera pada paru- paru, arteri interkostalis, robeknya arterimamaria interna maupun
pembuluh darah lainnya seperti aorta dan venacava. Dalam rongga pleura dapat menampung
3 liter cairan, sehingga pasien hematothoraks dapat syok berat (kegagalan sirkulasi) tanpa
terlihat adanya perdarahan yang nyata, distres napas juga akan terjadi karena paru disisi
hemothoraks akan kolaps akibat tertekan volume darah. Pada pemeriksaan dapat
ditemukan shock,deviasi trakea, suara pernapasan yang melemah (unilateral), vena
dileher menjadi kolaps akibat hipovolemia atau penekanan karena efek mekanik oleh
darah di intrathoraks.
Rib Fracture (Fraktur costae)
Fraktur iga (costae) merupakan kejadian tersering yang diakibatkan oleh trauma tumpul pada
dinding dada.Walaupun fraktur tulang iga seringmuncul, sukar untuk menentukan prevalensi
yang sesungguhnya di antara pasien-pasien dengan cedera serius, karena radiografi
anteroposterior sangat kurang sensitive untuk fraktur tulang iga. Iga 4-10 merupakan daerah
yang tersering mengalami fraktur. Pasien sering melaporkan nyeri pada dada saat inspirasi dan
rasa tidak nyaman. Pada pemeriksaan fisik ditemukan nyeri tekandan juga terdapat krepitasi pada
daerahfraktur. Fraktur iga bisa juga menjadi petanda adanya hubungan signifikan antara fraktur
intrathorakal danextrathorakal. Pernah dilaporkan, 50% pasien mengalami trauma tumpul
pada jantung juga terdapat fraktur iga. Fraktur pada iga 8-12 patut dicurigai adanya trauma pada
organ abdomen. Organ abdomen yang paling sering cedera adalah liver dan splen. Pasien-pasien
dengan fraktur tulang iga sebelah kanan, termasuk iga kedelapan dan dibawahnya,memiliki
kemungkinan 19% sampai56% mengalami cedera hati, sedangkan fraktur sisi kiri memiliki
kemungkinan 22% sampai 28% mengalami cederasplenn. Trauma tajam lebih
jarangmengakibatkan fraktur iga, oleh karenaluas permukaan trauma yang sempit,sehingga gaya
trauma dapat melalui selaiga. Fraktur iga bagian bawah juga dapatdiserati adanya trauma pada
diafragma.
Adanya fraktur iga terutama kurang baik pada anak-anak dan orang tua. Tulang anak-anak cepat
mengalami kalsifikasi,konsekuensinya, dinding dada merekalebih rapuh dari pada orang dewasa.
Fraktur tulang iga pada anak-anak mengindikasikan suatu tingkat absorpsi energi yang tinggi
daripada mungkin pada perkiraan orang dewasa. Dengansuatu kesimpulan, ketiadaan
fraktur tulang iga pada anak tidak akan mengurangi perhatian untuk cedera intrathoraks yang
parah. Pada suatu penelitian dari 986 pasien anak dengantrauma tumpul dada, 2% memiliki
cedera thoraks yang parah tanpa bukti adanya trauma dinding dada. Tiga puluh delapan persen
anak dengan kontusio paru tidak memiliki bukti radiografiadanya fraktur tulang iga.Tiga atau
lebih fraktur iga yang terjadi berhubungan dengan meningkatnya resiko trauma organ dalam dan
mortalitas.
Pneumothoraks
Pneumothoraks merupakan salah satu kelainan pada rongga pleura ditandai dengan adanya udara
yang terperangkap dalam rongga pleura sehingga akan menyebabkan peningkatan tekanan
negatif intrapleura dan akan mengganggu proses pengembangan paru. Pneumothoraks
merupakan salah satu akibat dari trauma tumpul yang sering terjadi akibat adanya penetrasi
fraktur iga pada parenkim parudan laserasi paru. Pneumothoraks terbagi atas tiga yaitu:
Simple pneumothoraks
yaitu distensi vena leher, hipotensidan menurunnya suara jantung. Kontusiomiokardium tanpa
disertai ruptur dapat menjadi penyebab tamponade jantung. Patut dicurigai seseorang mengalami
trauma jantung bila terdapat: trauma tumpul di daerah anterior, fraktur pada sternum, trauma
tembus/tajam pada area prekordial (parasternal kanan, sela iga IIkiri, garis mid klavikula kiri,
arkus kostakiri). Pada otopsi ditemukan sebuah daerah yang terbatas dan tersering pada ventrikel
kanan dan menyerupai suatu infark, perdarahan yang mencolok. Kontusio Jantung cedera ini
mengacu pada luka atau memar pada miokardium (otot jantung). Kontusio (memar)
miokardiumadalah hasil dari cedera yang melibat kankekuatan tumpul yang mengarah ke dada
(misalnya kecelakaan lalu lintas). Contusio miokard mungkin berhubungan dengan
pneumothoraks, fraktur sternum, fraktur iga, contusio paru atau hemothoraks. Luka
memar jantung menyebabkan detak jantung tidak beraturan (aritmia) yang dapat mengancam
nyawa. Diagnosistik klasik adalah adanya Trias Beck yang terdiri dari peningkatan tekanan
vena, penurunan tekanan arteri dan suara jantung menjauh.
Fraktur klavikula
Klavikula adalah salah satu tulang pada tubuh yang paling sering mengalami cedera dan
merupakan fraktur yang paling sering berhubungan dengan proses kelahiran. Klavikula, atau
tulang kerah, adalah tulang yang relativelurus yang menghubungkan sternum dengan tulang
scapula. Klavikula dapat mengalami fraktur melalui pukulan langsung ke daerah tersebut, atau
lebih umum, karena terjatuh pada ujung bahu. Gejala umum termasuk bengkak dan nyeri di
dada, yaitu posisi pertengahan antara leher dan bahu. Tanda-tanda fraktur klavikula meliputi:
titik perlunakan, krepitasi dan bengkak di tempat fraktur (biasanya di pertengahan klavikula pada
anak-anak dan didekat ujung bahu pada orangdewasa). Pasien biasanya merasakan sakit
sementara pada saat istirahat yang diperhebat dengan adanya gerakan sendi bahu.
Ruptur Trakeobronkial
Ruptur trakea dan bronkus utama (rupture trakeobronkial) dapat disebabkan oleh trauma tajam
maupun trauma tumpul dimana angka kematian akibat penyulit ini adalah 50%. Pada trauma
tumpul ruptur terjadi pada saat glottis tertutup dan terdapat peningkatan hebat dan mendadak dari
tekanan saluran trakeobronkial yang melewati batas elastisitas saluran trakeobron kialini.
Kemungkinan kejadian ruptur bronkus utama meningkat pada trauma tumpul thoraks yang
disertai dengan fraktur iga 1 sampai 3, lokasi tersering adalah pada daerah karina
dan percabangan bronkus. Pneumothoraks, pneumomediatinum, emfisema subkutan dan
hemoptisis, sesak napas,dan sianosis dapat merupakan gejala dari ruptur ini.
Ruptur esophagus
Ruptur esofagus lebih sering terjadi pada trauma tajam dibanding trauma tumpul thoraks dan
lokasi ruptur oleh karena trauma tumpul paling sering pada 1/3 bagian bawah esofagus. Akibat
ruptur esofagus akan terjadi kontaminasi rongga mediastinum oleh cairan saluran pencernaan
bagian atas sehingga terjadi mediastinitis yang akan memperburuk keadaan penderitanya.
Keluhan pasien berupa nyeri tajam yang mendadak di epigastrium dan dada yang menjalar
ke punggung. Sesak napas, sianosis dan syok muncul pada fase yang sudah terlambat
Ruptur Aorta
Aorta thorakalis sering bermasalah terhadap kekuatan deselerasi cepat, yang sering terjadi pada
suatu kecelakaan kendaraan bermotor (cedera depan), ketika dada terbentur dengan alat kemudi.
Ruptur aorta sering menyebabkan kematian penderitanya, diperkirakan penyebab kedua tersering
kematian pada pasien dengan ceder adada dan lokasi ruptur tersering adalah di bagian proksimal
arteri subklavia kiridekat ligamentum arteriosum. Hanyakira-kira 15% dari penderita trauma
dada dengan ruptur aorta ini dapat mencapai rumah sakit untuk mendapatkan pertolongan.
Kecurigaan adanya ruptur aorta dari foto thoraks bila didapatkan mediastinum yang melebar,
fraktur iga 1dan 2, trakea terdorong ke kanan, gambaran aorta kabur, dan penekanan bronkus
utama kiri.
Ruptur diafragma
Ruptur diafragma pada trauma thoraks biasanya disebabkan oleh trauma tumpul pada daerah
thoraks inferior atau abdomen atas yang tersering disebabkan oleh kecelakaan. Trauma tumpul
didaerah thoraks inferior akan mengakibatkan peningkatan tekanan intra abdominal mendadak
yangditeruskan ke diafragma. Ruptur terjadi bila diafragma tidak dapat menahan tekanan
tersebut, herniasi organ intrathoraks dan strangulasi organ abdomen dapat terjadi. Dapat pula
terjadi ruptur diafragma akibat trauma tembus pada daerah thoraks inferior. Pada keadaan ini
trauma tembus juga akan melukai organ-organ lain (intrathoraks atau intra abdominal).
Ruptur umumnya terjadi di puncak kubah diafragma, ataupun kita bisa curigai bilaterdapat
luka tusuk dada yang didapat kan pada: dibawah ICS 4 anterior, di daerah ICS 6 lateral, didaerah
ICS 8 posterior. Kejadian ruptur diafragma lebih sering terjadi di sebelah kiri daripada sebelah
kanan. Kematian dapat terjadi dengan cepat setelah terjadinya trauma oleh karena shock
dan perdarahan pada cavum pleura kiri.
Referensi:
Bagus, Risang.2009.Gawat Darurat Panduan Kesehatan Wajib Di Rumah Anda.Yogyakarta:
Aulia Publishing.
Basic Trauma-Cardiac Life Support. Jakarta: Yayasan Ambulans Gawat Darurat 118
PMI. 2005. Pedoman Pertolongan Pertama.Jakarta : Markas Pusat Palang Merah Indonesia
85. C. OD -0,5 OS : -3,5
Klasifikasi Anisometropia
1. Simple anisometropia: di mana refraksi satu mata adalah normal (emetropia) dan mata yang
lainnya miopia (simple miopia anisometropia) atau hipermetropia (simple miopia
anisometropia).
2. Coumpound anisometropia: di mana pada kedua mata hipermetropia (coumpound
hipermetropic anisometropia) atau miopia (coumpound miopia anisometropia), tetapi sebelah
mata memiliki gangguan refraksi lebih tinggi dari pada mata yang satunya lagi.
3. Mixed anisometropia: dimana satu mata adalah miopia dan yang satu lagi hipermetropia,
ini juga disebut antimetropia.
4. Simple astigmmatic anisometropia: di mana satu mata normal dan yang lainnya baik simple
miopia atau hipermetropi astigamatisma.
5. Coumpound astigmatismatic anisometropia: di mana kedua mata merupakan astigmatism
tetapi berbeda derajatnya.
Sloane membagi anisometropia menjadi 3 tingkat, yaitu:
1. anisometropia kecil, beda refraksi lebih kecil dari 1,5 D
2. anisometropia sedang, beda refraksi antara 1,5-2,5 D
3. anisometropia besar, beda refraksi lebih besar dari 2,5 D
Penatalaksanaan
Anisometropia merupakan salah satu gangguan penglihatan, yaitu suatu keadaan dimana kedua
mata terdapat perbedaan kekuatan refraksi, sehingga penatalaksanaan anisometropia adalah
memperbaiki kekuatan refraksi kedua mata. Adapun beberapa penatalaksanan baik
menggunakan alat maupun tindakan, yaitu:
1. Kaca mata. Kacamata koreksi bisa mentoleransi sampai maksimum perbedaan
refraksi kedua mata 4D. lebih dari 4D koreksi dengan menggunakan kacamata dapat
menyebabkan munculnya diplopia.
2. Lensa kontak. Lensa kontak disarankan untuk digunakan untuk anisometropia yang
tingkatnya lebih berat.
3. Kacamata aniseikonia. Hasil kliniknya sering mengecewakan.
4. Modalitas lainnya dari pengobatan, termasuk diantaranya:
a) Implantasi lensa intraokuler untuk aphakia uniokuler
b) Refractive cornea surgery untuk miopia unilateral yang tinggi, astigmata, dan
hipermetropia
c) Pengangkatan dari lensa kristal jernih untuk miopia unilateral yang sangat tinggi
(operasi fucala)
86. C. Hiperkortisolisme
Pada kasus ini yang perlu digarisbawahi adalah:
- Pemakaian obat kuat
- Pemeriksaan fisik: suhu 390C, tekanan darah 160/90 mmHg, Nadi 120x/menit, muka
pucat, moon face, obesitas sentral, striae pada perut dan kulit, bula yang pecah
meninggalkan bercak kehitaman pada ekstremitas bawah
Kondisi ini mengarah pada keadaan hiperkortisolism. Dalam skenario ini yang menjadi faktor
resiko adalah pemakaian obat kuat dimana kandungannya dapat berisi sex steroid.
Diagnosis
Diagnosis berdasarkan manifestasi klinis dan ditemukan peningkatan kortisol plasma.
Etiologi dari penyakit ini dapat dijelaskan melalui :
1. Test supresi dexamethasone ( Supresi kortisol pada cushing syndrome karena supresi
sekresi ACTH oleh hipofisis)
2. MRI dan CT scan
3. Analisi ACTH dalam darah ( tinggu=adenoma piituitary atau sumber ACTH ektopik;
rendah = tumor adrenal primer)
Referensi:
1. OConnor, Jones.2004. Pathology of the Endocrine System:Disorder of the pituitary in Crash
Course Pathologi 2nd edition. Elsevier.
2. http://www.medicalmnemonics.com/
88. A. Sistisis
Sistitis: adalah infeksi pada kandung kemih. Infeksi kandung kemih umumnya terjadi pada
wanita, terutama pada masa reproduktif. Beberapa wanita menderita infeksi kandung kemih
secara berulang.
Gambaran Klinik
Infeksi kandung kemih biasanya menyebabkan desakan untuk buang air kecil dan
rasa terbakar atau nyeri selama buang air kecil.
Nyeri biasanya dirasakan diatas tulang kemaluan dan sering juga dirasakan di
punggung sebelah bawah.
Gejala lainnya adalah nokturia (sering buang air kecil di malam hari).
Urin tampak berawan dan mengandung darah.
Kadang infeksi kandung kemih tidak menimbulkan gejala dan diketahui pada saat
pemeriksaan urin (urinalisis untuk alasan lain.)
Sistitis tanpa gejala terutama sering terjadi pada usia lanjut, yang bisa menderita
inkontinensia uri sebagai akibatnya.
Adneksitis atau Salpingo-ooforitis adalah radang pada tuba falopi dan radang ovarium yang
terjadi secara bersamaan, biasa terjadi karena infeksi yang menjalar ke atas sampai uterus,
atau akibat tindakan post kuretase maupun post pemasangan alat kontrasepsi (IUD)
(Sarwono.Winkjosastro, Hanifa.Hal 287.2007).
Adnexa atau salpingo-ooporitis terbagi atas:
1.Salpingo ooporitis akuta: disebabkan oleh gonorroe sampai ke tuba dari uterus
sampai ke mukosa
2.Salpingo ooporitis kronika: dibedakan menjadi:
a. Hidrosalping
b. Piosalping
c. Salpingitis interstisialis kronika
d. Kista tubo ovarial, abses tubo ovarial.
e. Salpingitis tuberkulosa
89. B. Transfusi PRC
Kasus anemia pada soal ini memunculkan karakteristik dari anemia defisiensi besi :
Mata tampak pucat, papil lidah atrofi +, spoon nail +, sclera anikterik, dan apusan darah
tepi ditemukan eritrosit mikrositik hipokromik.
Penyebab anemia mikrositik hipokrom:
Berkurangnya Fe: anemia dei siensi Fe, anemia penyakit kronis/anemia inl amasi, defi
siensi tembaga.
Berkurangnya sintesis heme: keracunan logam, anemia sideroblastik kongenital dan
didapat.
Berkurangnya sintesis globin: talasemia dan hemoglobinopati.
Manifestasi Klinis
1. Gejala Umum Anemia
Gejala umum anemia disebut juga sebagai
sindrom anemia (anemic syndrome) dijumpai pada anemia defisiensi besi apabila
kadar hemoglobin kurang dari 7-8 g/dl. Gejala ini berupa badan lemah, lesu, cepat lelah,
90. C. Thalassemia
Penegakan diagnosis pada pasien ini didapatkan dari :
Anamnesis
Menunjukan adanya tanda-tanda anemia, yaitu tampak pucat dan lemas 2 minggu ini.
Pasien terlihat rewel, minum ASI sedikit, perut buncit, pertumbuhan dan perkembangan
terganggu.
Pemeriksaan fisik menunjukkan:
Bising jantung yang terjadi merupakan bising yang fisiologis yang disebabkan oleh
kondisi anemia.
Hepatosplenomegali merupakan manifestasi klinis yang terjadi karena terjadi
eritropoiesis ekstrameduler yang memberatkan hati dan limpa. Pada awal-awal
kelahiran diperkirakan hepar adalah organ yang berfungsi untuk eritropoiesis,
sehingga ketika sumsum tulang tidak mampu memberikan suplai oksigen ke
jaringan-jaringan tubuh, maka hepar kembali memproduksi eritrosit. Karena kerja
berat dan ditambah eritropoiesis maka terjadi pembengkakkan hati.
Pada limpa juga terjadi eritropoiesis ekstrameduler karena sumsum tulang tidak
mampu memberikan suplai yang cukup. Limpa juga berfungsi tidak hanya untuk
destruksi eritrosit tetapi juga sebagai screening eritrosit normal atau tidak.
Mengakibatkan eritrosit yang tidak normal didetruksi. Karena penghancuran
berlangsung jauh lebih cepat dan dalam jumlah yang jauh lebih banyak
mengakibatkan limpa harus bekerja lebih keras dan akibatnya terjadi
pembengkakkan.
Anak dengan kelainan hemoglobin (thalasemia)
memiliki gejala
hepatosplenomegali, dan kelainan tersebut harus disingkirkan dari hemolitik anemia
lain nya.
Pemeriksaan laboratorium menunjukkan
Hb 14,6 g/dl, Ht 32% rendah anemia
Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik juga laboratorium maka diagnosis pada kasus ini
mengarah pada thalasemia.
Thalasemia merupakan penyakit anemia hemolitik herediter dimana terjadi kerusakan sel
darah merah di dalam pembuluh darah sehingga umur eritrosit menjadi pendek, yaitu (kurang
dari 100 per hari). Penyebab kerusakan tersebut karena hemoglobin yang tidak normal
(hemoglobinopatia) dan kelainan hemoglobin ini karena adanya gangguan pembentukan yang
disebabkan oleh gangguan structural pembentukan hemoglobin dan gangguan jumlah rantai
globin.
Anemia defisiensi besi
Thalasemia
Icterus
Splenomegali
Perubahan morfologi
eritrosit
Sebanding dengan
derajat anemia
+
+
Tidak sebanding
dengan derajat anemia
Sel target
MCV
MCH
Besi serum
TIBC
+/Menurun
Menurun
Menurun <30
Meningkat >360
++
Menurun
Menurun
Normal/
Normal/
Saturasi Transferin
Menurun <15%
Meningkat >20%
Negatif
Positif kuat
Protoporfirin eritrosit
Meningkat
Normal
Feritin serum
Elektrofoesis Hb
Hb. A2/HbF
meningkat
Klasifikasi
Secara klinis:
Thalasemia mayor memberikan gambaran klinis yang jelas
Thalasemia minor memberikan gambaran klinis yang tidak jelas
Berdasarkan kelainan struktur Hb yang terjadi:
ThalasemiaAlpha
ThalasemiaBeta
ThalasemiaBeta Mayor (Anemia Cooley)
ThalasemiaBeta Minor (ThalasemiaTrait)
Referensi:
1. Permono B, Sutaryo, Ugrasena I, Windiastuti E, Abdulsalam M. 2006. Buku Ajar
Hematologi-Onkologi Anak. Cetakan Kedua. Jakarta : IDAI.
2. Nathan DG, Orkin SH, Oski FA, Ginsburg D. Nathan and Oskis Hematology of
Infancy and Childhood. 7th ed. Philadelphia: Saunders; 2008
3. Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. 2007. Buku Ajar Patologi Robbins.Vol. 2. Ed.7.
Jakarta.Penerbit Buku Kedokteran EGC.
4. Bakta IM. 2006. Hematologi Klinis Ringkas. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran EGC
91. E. Tes Coombs
Bayi pada kasus ini mengalami ikterus (hiperbilirubinemia) patologis karena terjadi
sejak 24 jam pertama kelahiran. Hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir sebagian besar
disebabkan oleh bilirubin Indirek yang dapat memberikan efek toksik pada otak dan dapat
menimbulkan kematian atau cacat seumur hidup, oleh sebab itulah maka setiap bayi yang
mengalami ikterus harus mendapat perhatian, meskipun tidak semuanya memerlukan
pemeriksaan atau pengobatan yang khusus.
Penyebab hiperbilirubinemia pada neonatus banyak, namun penyebab yang paling
sering adalah penyakit hemolitik neonatus, antara lain karena inkompatibilitas golongan
darah (Rh, ABO), defek sel darah merah (defisiensi G6PD, sferositosis) lisis hematom dan
lain-lain. Resiko adanya infeksi sistemik tidak ada karena berdasarkan informasi dari soal
didapatkan hasil laboratorium HbsAg dan penanda HIV ibu negatif. Kemungkinan penyebab
utama dari soal ini adalah ibu bergolongan darah O dimana menjadi resiko untuk terjadi
inkompabilitas ABO.
Pada Inkompatibilitas ABO, hiperbilirubinemia lebih menonjol dibandingkan
dengan anemia dan timbulnya pada 24 jam pertama. Reaksi hemolisis terjadi selagi zat
anti dari ibu masih terdapat dalam serum bayi.
Diagnosis pasti inkompatibilitas ABO adalah dengan menemukan immunoglobulin G ibu
yang bereaksi dengan eritrosit pada bayi. Akan tetapi hal ini sulit dilakukan sehingga
diagnosis dapat ditegakkan dengan adanya anemia hemolitik pada bayi dengan
golongan darah A atau B yang lahir dari ibu golongan darah O, adanya test Coombs
direk dan indirek yang positif serta didukung dengan peningkatan mikrosferosit pada
darah tepi bayi. Hasil positif test Coomb indirek membuktikan antibody Rh + anti A dan
anti B dalam darah ibu. Hasil positif dari test Coomb direk menandakan adanya sensitisasi (
Rh+, anti A, anti B dari neonatus ).
Referensi:
1. American Academy of Pediatrics Subcommittee on Hyperbilirubinemia. 2004. Guideline:
Management of hyperbilirubinemia in the newborn infant 35 or more weeks of
gestation. Pediatrics. Newman TB, Liljestrand P, Escobar GJ. 2005.Combining clinical
risk factors with serum bilirubin levels to predict hyperbilirubinemia in newborns. Arch
Pediatr Adolesc Med.
2. Bhutani VK, Johnson LH, Keren R. 2004. Diagnosis and management of
hyperbilirubinemia in the term neonate: for a safer first week. Pediatr Clin North Am.
92. B. Os Calcaneus
Tendon achilles disebut juga tendo calcaneus, adalah jaringan ikat fibrous yang
menghubungkan antara otot dengan tulang (tendon), yang terletak pada tungkai posterior.
Tendon achiles berasal gabungan dari tiga otot yaitu gastrocnemius, soleus, dan otot
plantaris pedis. Pada manusia, letaknya tepat di bagian pergelangan kaki. Tendon
Achilles adalah tendon paling tebal dan terkuat pada badan manusia. Panjangnya sekitar
15 cm, dimulai dari pertengahan tungkai bawah. Kemudian strukturnya kian mengumpul
dan melekat pada bagian tengah-belakang tulang calcaneus.
Ruptur tendo achiles paling sering terjadi selama olahraga
yang memerlukan hentakan melompat, berputar, dan berlari.
Paling sering terjadi pada atlet tenis, bola basket, dan
bulutangkis. cedera juga dapat terjadi karena tersandung
atau jatuh dari ketinggian.
Perawatan sementara adalah mengkompres dengan
menggunakan es di daerah yang meradang untuk membantu
memperlancar aliran darah, dan mengurangi rasa sakit yang
terkait dengan peradangan. Pembedahan diperlukan untuk
memperbaiki ruptur tendon. Perawatan pasca operasi
memerlukan fisioterapi untuk membantu merenggangkan
rehabilitasi dan meningkatkan fleksibilitas terhadap achilles
tendon.
Referensi:
Maffulli, N.; Khan, K. M.; and Puddu, G., (1998), "Overuse Tendon Conditions: Time to
Change a Confusing Terminology, Arthroscopy 14(8):840-3.
93. C. Keracunan CO
Penyebab utama keracunan dalam mobil kebanyakan dari keluarnya gas karbon monoksida
(CO) pada sistem pembuangan yang tidak berfungsi baik karena pipa pembuangan yang tidak
dirawat alias bocor. Hanya sedikit sekali keracunan di mobil yang diakibatkan oleh zat-zat
yang terdapat dalam perabotan mobil.
Ketika seseorang menghidupkan AC dalam waktu lama saat mobil diam dan kondisinya
tertutup rapat akan membuat sirkulasi udara tidak berjalan. Akibatnya gas karbon monoksida
akan terakumulasi di dalam mobil. Orang yang terpapar gas karbon monoksida yang lama
kebanyakan berakhir dengan kematian.
Karbon monoksida sangat cepat menyingkirkan oksigen sehingga menghalangi hemoglobin
darah mengikat oksigen dan mengalirkannya ke seluruh tubuh hingga ke paru-paru dan otak.
Suplai oksigen yang berkurang ini bisa berbahaya bagi jaringan dalam tubuh dan
mengakibatkan kematian.
Referensi:
Sentra Informasi Keracunan Badan POM, Pedoman Penatalaksanaan Keracunan Untuk
Rumah Sakit, Karbon Monoksida, Jakarta, 2001.
94. D. Cross-sectional
Pembahasan:
- Penelitian Analitik adalah penelitian yang mencoba menggali bagaimana dan
mengapa fenomena kesehatan itu terjadi. Kemudian melakukan analis dinamika
korelasi antara fenomena, baik antara faktor resiko dengan efek, antar faktor resiko,
maupun antar faktor efek
- Penelitian kohort atau sering disebut penelitian prospektif adalah suatu penelitian
survey (non eksperimen) yang paling baik dalam mengkaji hubungan antara factor
resiko dengan efek (penyakit). Faktor resiko yang akan dipelajari diidentifikasi dulu
kemudian diikuti ke depan secara prospektif timbulnya efek yaitu penyakit atau salah
satu indicator status kesehatan.
Sakit (+)
Kelompok Studi
Paparan (+)
Sakit (-)
Sakit (+)
Kelompok Control
Paparan (-)
Prospektif
Sekarang
Sakit (-)
Waktu mendatang
Pada skenario tersebut terjadi keracunan masal yang diakibatkan oleh Escherchia coli.
Karena kejadian tersebut terjadi pada saat itu juga kemudian diketahui penyebabnya,
maka desain penelitian yang cocok untuk menilai hubungan antara pajanan dan penyakit
tersebut dalam waktu yang singkat adalah desain cross sectional.
95. A. Stroke ICH (Intra Cerebral Hemorrhage)
Mengacu pada algoritma stroke Gadjah Mada yang diformulasikan untuk membantu
menjembatani gap antara ketersediaan sarana kesehatan di negara berkembang seperti
Indonesia dengan standar medis yang ideal, maka pada pasien dengan presentasi diduga
stroke, maka terdapat 3 hal yang harus dikaji, yaitu:
1. Penurunan kesadaran
2. Nyeri kepala
3. Refelek patologis babinski
Terdapatnya salah satu tanda tersebut, atau kombinasi di antaranya dapat digunakan
untuk membantu menentukan apakah seorang pasien mengalami stroke Perdarahan Intra
Serebral (PIS/ICH) atau stroke non perdarahan (infark).
Pada kasus pasien dengan penurunan kesadaran mendadak, diikuti hemiplegia dekstra,
dan afasia global setelah kesadaran membaik konsisten dengan presentasi stroke Intra
Cerebral Hemorrhage. Di mana terdapatnya satu tanda yaitu penurunan kesadaran saja,
disertai gambaran perjalanan penyakitnya sudah memenuhi informasi yang dibutuhkan
untuk assesment sesuai dengan algoritma stroke Gadjah Mada.
More Info
Subarachnoid Hemorrhage (SAH), yaitu perdarahan yang terjadi pada ruang antara
membran Arachnoid dan Pia mater merupakan salah satu bentuk stroke yang terjadi
sekitar 1-7% dari seluruh kasus stroke. SAH menyebabkan peningkatan tekanan
intrakranial diikuti kegagalan regulasi autocerebral, keadaan tersebut bersama dengan
vasokonstriksi akut, dan agregasi trombosit mikrovaskular menyebabkan penurunan
aliran darah setempat dan iskemia jaringan otak. Tingkat mortalitas SAH mencapai
sekitar 50% dan lebih dari 10% penderita meninggal sebelum mendapatkan penanganan
Defisit sensori yang terjadi adalah hilangnya sensai pada bagian lateral lengan atas,
posterior lengan bawah, dan separuh lateral tangan.
Referensi:
Wheeless C. R., (2013) Radial Nerve Palsy following Frx of the Humerus. Wheeless'
Textbook of Orthopaedics.
Mehne DK, Jupiter JB. Fractures of the distal humerus. In: Browner BD, Jupiter JB,
Levine AM, et al, eds.Skeletal Trauma. vol 2. Philadelphia, Pa: WB Saunders Co;
1992:1146.
97. B. Retinopatidiabetikun
Retinopati diabetika merupakan salah satu komplikasi penyakit diabetes mellitus pada
yang paling sering ditemukan dan berpotensi menyebabkan kebutaan. Retinopati diabetika ini
adalah suatu mikroangiopati progresif yang ditandai kerusakan dan sumbatan pembuluhpembuluh darah kecil, biasanya ditemukan bilateral, simetris dan progresif, dan
diklasifikasikan sebagai:
Retinopati diabetika nonproliferatif / retinopati background
Retinopati diabetika proliferatif.
Makulopati diabetika yang berupa makulopati eksudatif, edema macula dan makulopati
iskemik dapat ditemukan pada setiap tingkatan retinopati diabetika.
Gambaran klinis retinopati diabetika nonproliferatid berupa mikroaneurisma yang
merupakan tonjolan-tonjolan kecil bulat pada kapiler. Pada vena terlihat mengalami dilatasi
dan berkelok-kelok, venous beading. Dapat dilihat berbagai macam perdarahan, baik
berbentuk bintik (dot hemorrhages) maupun berbentuk bercak (blot hemorrhages). Kapilerkapiler yang bocor mengakibatkan edema retina terutama di macula, sehingga retina menebal
dan terlihat berawan. Walaupun cairan serosa diserap, masih akan tetap ada presipitat lipid
kekuning-kuningan dalam bentuk eksudat keras (hard exudate). Jika fovea menjadi edema
atau iskemik atau terdapat hard exudates, maka tajam penglihatan sentral akan menurun
sampai derajat tertentu. Dengan bertambahnya progresinya sumbatan mikrovaskuler, gejala
iskemik mungkin menjadi lebih hebat yaitu ditandai adanya sejumlah bercak mirip kapas
(cotton wool spots) atau soft exudate.
Sedangkan pada retinopati diabetika proliferatif dengan adanya iskemik retina yang
progresif maka merangsang terbentuknya pembuluh-pembuluh darah baru (neovascularisasi)
yang rapuh baik intra retinal dan pre retinal sehingga dapat mengakibatkan kebocoran serum
dan protein dalam jumlah banyak.Neovaskularisasi ini dapat berproliferasi di permukaan
posterior korpus vitreus dan terangkat bila korpus vitreus berkontraksi dan terlepas dari
retina. Perdarahan yang berasal dari pembuluh darah ini bisa menyebabkan perdarahan
korpus vitreus yang massif. Neovaskularisasi yang terangkat ini mengalami perubahan
fibrosa membentuk fibrous retinitis proliferans yang bisa menarik retina sehingga dapat
terjadi retinal detachment.
98. D. Endophtalmitis
Endophthalmitis merupakan infeksi atau luka yang terdapat di dalam mata seorang penderita
yang disebabkan oleh organisme yang beredar melalui aliran darah menuju mata.
Referensi:
1. Hartini,S dan Kariadi. 2009. The 2nd Thyroidology Update 2009. PERKENI: Kelompok Studi
Tiroidologi Indonesia. Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
2. Marx, H; Amin, P; Lazarus, JH (Mar 22, 2008). "Hyperthyroidism and pregnancy.".BMJ (Clinical
research ed.) 336 (7645): 663
7. doi:10.1136/bmj.39462.709005.AE.PMC 2270981. PMID 18356235.
tanda yang perlu digaris bawahi yaitu sering berdebar-debar, tangan gemetar, penurunan
berat badan meskipun nafsu makan meningkat, mudah lelah, hasil pemeriksaan fisik
didapatkan nadi 130 x/menit, mata menonjol dan tangan tremor. Dari gejala ini, dapat
dilakukan penilaian terhadap gangguan tiroid yaitu menggunakan index wyne:
Indeks Wayne
No.
Gejala Yang Baru Timbul Dan Atau Bertambah Berat
Sesak saat kerja
1.
Berdebar
2.
Kelelahan
3.
Suka udara panas
4.
Suka udara dingin
5.
Keringat berlebihan
6.
Gugup
7.
Nafsu makan naik
8.
Nafsu makan turun
9.
Berat badan naik
10.
Berat badan turun
11.
No
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9
10.
Tanda
Tyroid Teraba
Bising Tyroid
Exoptalmus
Kelopak Mata Tertinggal Gerak Bola Mata
Hiperkinetik
Tremor Jari
Tangan Panas
Tangan Basah
Fibrilasi Atrial
Nadi Teratur
<80 x/menit
80-90 x/menit
>90 x/menit
Ada
+3
+2
+2
+1
+4
+1
+2
+1
+4
Tidak
-3
-2
-2
-2
-1
-
+3
-3
-
TOTAL
20
Hipertiroid : 20; Eutiroid: 11 18; Hipotiroid: <11
GEJALA HIPERTIROID
Nilai
+1
+2
+3
-5
+5
+3
+2
+3
-3
-3
+3
HIPERTIROID
Tabel di bawah ini menjelaskan secara singkat tentang gangguan hormon tiroid.
HIPERTIROID
HIPOTIROID
PRIMER
SEKUNDER
PRIMER
SEKUNDER
Hipersekresi
Overstimulasi
Kegagalan
dari Kegagalan
hormon tiroid yang kelenjar
tiroid kelenjar tiroid itu memproduksi
tidak
berdampak karena produksi sendiri
TSH
DEFINISI
terhadap
TSH berlebih
(lebih sering)
peningkatan TSH
(lebih sering)
- Kehilangan berat badan dengan - Keterlambatan mental dan fisik
tanpa atau peningkatan nafsu makan - Mudah lelah
MANIFES
- Goiter (pembesaran kelenjar tiroid
- Intoleransi terhadap dingin
TASI
- Gemetar dan mudah tersinggung
- kulit dan rambut kering
TERSERING
- Intoleransi terhadap panas
- Keringat berlebih (hiperhidrosis)
PEMERIK
T3 dan free T4
T3 dan free T4 T3 dan free T4 T3 dan free T4
SAAN
TSH
TSH
TSH
TSH
LABORATO
RIUM
- Graves disease
- Pituitary tumour - Autoimmune
- Pituitary disease
- Toxic
thyroiditis
multinodulsr
(Hashimotos
goitre
thyroiditis)
PENYEBAB
(Plummers
- Graves disease
disease
(sekitar 5%, dari
- Toxic adenoma
tirotoksikosis
- Konsumsi dosis
menjadi
tinggi
hormon
tiroid
(
thyrotoxicosis
factitia)
hipotiroid
karena
antibodynya dan
kerusakan)
- Dampak terapi
hipertiroid
(
ablasi
pembedahan,
radioiodine, dan
obat)
- Defisiensi
iodine berat
Hipertiroid adalah sindrom yang disebabkan oleh meningkatnya kadar T3 dan T4 bebas
terutama disebabkan oleh hiperfungsi kelenjar tiroid.
Hal yang perlu diperhatikan adalah mengenai prinsip tirotoksikosis dan hipertiroidisme,
yaitu:
Tirotoksikosis: hormon tiroid berlebih
Hipertiroidisme: sekresi tiroid berlebih
Tirotoksik tidak selalu hipertiroid, namun hipertiroid selalu tirotoksik
Diagnosis didasarkan pada gambaran klinis dan data laboratorium. Pengukuran konsentrasi
TSH dengan pemeriksaan TSH yang sensitif merupakan uji penapisan yg paling bermanfaat.
Kadar TSH yang rendah biasanya dengan pengukuran T4 bebas, yang diperkirakan
meningkat. Kadang disebabkan karena peningkatan T3 darah (toksikosis T3).
Referensi:
1. Sherwood, L. 2002. Human Physiology: From Cells to Systems. Penerbit buku kedokteran: EGC.
2. Maitra A, Kumar V. Sistem endokrin. Dalam: Kumar V, Cotran R, Robbins SL. 2007.Buku ajar
patologi. 7th ed. Penerjemah: Prasetyo A, Pendit BU, Priliono T. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
3. Jameson JL, Weetman AP. 2008.Disorders of the thyroid gland. In: Kasper DL, Fauci AS, Longo
DL, et al. Harrisons principles of internal medicine. 17th ed. USA: McGraw Hill Medical.
4. OConnor, Jones.2004. Pathology of the Endocrine System:Disorder of the pituitary in Crash
Course Pathologi 2nd edition. Elsevier.
Referensi:
Soetirto, I. et all. 2009. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan
Leher, 6th edn. Jakarta: Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hlm 18.
102. A. Tidur mengorok sudah 1 tahun
Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatina yang merupakan bagian dari cincin
Waldeyer. Cincin Waldeyer terdiri atas susunan kelenjar limfa yang terdapat di dalam
rongga mulut, yaitu: tonsil faringeal (adenoid), tonsil palatina (tosil faucial), tonsil
lingual (tosil pangkal lidah), tonsil tuba Eustachius (lateral band dinding faring/
Gerlachs tonsil). Penyebab tonsillitis adalah infeksi kuman Streptococcus beta
hemolyticus, Streptococcus viridans, dan Streptococcus pyogenes. Dapat juga disebabkan
oleh infeksi virus.
Pada kasus di soal anak menderita tonsillitis kronis dilihat dari onset munculnya gejala
selama 1 tahun dan berulang. Tonsilitis kronik merupakan peradangan tonsila palatina
yang sifatnya menahun. Tonsilitis kronik dapat berasal dari tonsillitis akut yang
mendapatkan pengobatan tidak sempurna, dapat juga karena penyebaran infeksi tempat
lain. Tanda klinis tonsillitis kronika adalah:
Pilar/plika anterior hiperemis
Kripte tonsil melebar
Pembesaran kelenjar sub angulus mandibula teraba
Muara kripte terisi debris/pus
Tonsil tertanam/embedded atau membesar
Pembagian pembesaran tonsil menurut Thane & Cody dalam ukuruan T1-T4 sebgai
berikut:
T1: batas medial tonsil melewati pilar anterior sampai jarakpilar anterior-uvula
T2: batas medial tonsi melewati pilr anterior-uvula sampai jarak pilar anterioruvula
T3: batas medial tonsil melewati jarak pilar anterior-uvula sampai jarak pilar
anterior-uvula
T4: batas medial tonsil melewati jaral anterior-uvula sampai uvula atau lebih
perasaan yang tidak riil merupakan gejala yang lazim. Juga hampir selalu secara
sekunder timbul rasa takut mati, kehilangan kendali atau menjadi gila. Pada pedoman
diagnostik utnuk diagnosis pasti, beberapa serangan berat dari anxietas otonomik harus
terjadi dalam periode kira-kira satu bulan pada keadaan dimana sebenarnya tidak ada
bahaya, tidak terbatas hanya pada situasi yang telah diketahui atau diduga sebelumya,
dengan keadaaan yang relatif bebas dari gejala anxietas dalam periode anatara seranganserangan panik.
Gangguan cemas menyeluruh: gambaran essensial pada gangguan ini adalah adanya
anxietas yang menyeluruh dan menetap (bertahan lama), tetapi tidak berbatas pada atau
hanya menonjol pada setiap keadaan lingkungan tertentu saja (misalnya mengambang
atau free floating). Pada pedoman diagnostik penderita harus menunjukkan gejala primer
anxietas yang berlangsung hampir setiap hari selama beberapa minggu, bahkan biasanya
sampai dengan beberpa bulan. Gejala-gejala ini biasanya mencakup:
Kecemasan tentang masa depan (khawatir akan nasib buruk, perasaan gelisah di
ujung tanduk, sulit konsentrasi)
Ketegangan motorik (gelisah, sakit kepala, gemeteran)
Overaktivitas otonomik (kepala terasa ringan, berkeringat, takikardia, takipneu,
keluhan epigastrik, mulut kering)
Gangguan depresi: individu biasanya memiliki suasana perasaan (mood) yang depresif,
kehilangan minat dan kegembiraan dan berkurangnya energi yang menuju meningkatnya
keadaan mudah lelah dan berkurangnya aktivitas. Gejala lazimnya adalah:
1. Konsentrasi dan perhatian berkurang
2. Harga diri dan kepercayaan diri berkurang
3. Gagasan tentang perasaan bersalah dan tidak berguna (bahkan pada episode tipe
ringan skalipun)
4. Pasangan masa depan yang suram dan pesimistis
5. Gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri
6. Tidur terganggu
7. Nafsu makan berkurang
Sumber:
- Diagnosis Gangguan Jiwa, rujukan ringkas dari PPDGJ-III, editor Dr, Rusdi
Maslim.1993.
104.C. Enteroinvasive Escherichia coli (EIEC)
E.coli merupakan bakteri Gram negatif berbentuk batang pendek dan bersifat faultatif
anaerob fakultatif. E.coli membentuk koloni yang bundar, cembung, dan halus dengan
tepi yang nyata.
Serogroup E.coli ini menginvasi epitel usus dan menghasilkan penyakit seperti disentri.
EIEC melekat dan menginvasi sel epitel usus. Invasi epitel menyebabkan kematian sel
dan respon radang cepat. Serogroup ini mempunyai antigen lipopolisakarida (LPS) yang
terkait dengan LPS Shigella. EIEC melakukan fermentasi laktosa dengan lambat dan
tidak bergerak.
EIEC menyebabkan sakit yang tidak dapat dibedakan dari disentri basil klasik. Tanda
khas adalah demam, toksisitas sistemik, nyeri kejang abdomen, tenesmus dan erburuburu BAB dengan diare cair atau dengan darah.
Referensi;
Jawetz E., J. L. Melnick, E. A. Adelberg, G. F. Brooks, J. S. Butel, L. N. Ornston, 1995,
Mikrobiologi Kedokteran, ed. 20, University of California, San Francisco.
105. E. Diare dengan dehidrasi berat
Diare pada anak-anak harus dieavaluasi apakah menderita dehidrasi ringa, sedang atau
berat yang digunakan untuk memberikan penanganan yang sesuai.
KLASIFIKASI TINGKAT DEHIDRASI ANAK DENGAN DIARE
Klasifikasi
Tanda atau Gejala
Dehidrasi Berat
Terdapat 2 atau lebih tanda :
Letargis / tidk sadar
Mata cekung
Tidak bias minum atau malas
minum
Cubitan kulit perut kembali sangat
lambat ( 2 detik)
Dehidrasi Ringan/Sedang
Terdapat 2 atau lebih tanda
dibawah ini :
Rewel, gelisah
Mata cekung
Minum dengan lahap, haus
Cubitan kulit kembali lambat
Tanpa dehidrasi
Tidak terdapat cukup tanda untuk
diklasifikasikan sebagai dehidrasi
ringan atau berat
Pada kasus diatas pemeriksaan ditemukan clinites (+). Clinitest merupakan skrin untuk
mengetahui adanya gula pereduksi dalam feses. Tes ini menunjukkan intoleransi
karbohidrat. Gejala muncul akibat respon terhadap asupan laktosa yang terdapat dalam
susu. Hasil clinitest sebagai berikut:
Normal
: tidak terdapat gula dalam feses
Positif 1
: gula dalam feses 0,5%
Positif 2
: gula dalam feses 0,75%
Positif 3
: gula dalam feses 1%
Positif 4
: gula dalam feses 2%
Referensi:
1. World Health Organization. 2013. Pedoman Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah
Sakit Rujukan Tingkat Pertama di Kabupaten. Jakarta: WHO Indonesia.
2. Schwartz, M.A. 2005. Pedoman Klinis Pediatri. Jakarta: EGC.
106.
B. Beta blocker
Terapi farmakologis yang direkomendasikan pada kasus gagal jantung dengan penurunan
Ejection Fraction (NYHA I-IV) meliputi beberapa golongan obat dengan indikasi dan
target masing-masing. ACE Inhibitor direkomendasikan pada pasien gagal jantung
dengan gejala yang masih berlangsung ataupun telah membaik (Class I, Level of
Evidence (LOE) : A), Angiotensin Receptor Blocker direkomendasikan pada pasien
gagal jantung yang tidak bisa mendapatkan terapi ACE Inhibitor (Class I, LOE : A).
-Blocker
Direkomendasikan pada semua stadium gagal jantung (ringan-berat) yang stabil, baik
karena proses iskemik atau non iskemik dengan syarat tidak terdapat kontra indikasi beta
bloker seperti hipotensi. Pengobatan beta bloker sangat penting dan tidak boleh ditunda
pemberiannya karena terbukti mengurangi progresivitas penyakit, perburukan klinis
(morbiditas) dan mortalitas gagal jantung (Class I, LOE : A).
Nitrat (nitroglycerin)
Diberikan sebagai tambahan apabila terdapat keluhan angina atau sesak, pemberian
jangka panjang tidak terbukti memperbaiki simtom gagal jantung. Pemakaian yan g
terlalu sering dapat menimbulkan toleransi (Class IIa, LOE : C).
Morfin
Morfin dan analog morfin diindikasikan pada stadium awal saja, apabila pasien gelisah
dan sesak napas ( Class IIb, LOE : B).
Calcium channel blocker
Obat penyekat kalsium tidak direkomendasikan sebagai pengobatan rutin pada psien
gagal jantung karena terbukti tidak memberikan manfaat. Dapat dipertimbangkan
penggunaanya sebagai tambahan obat hipertensi apabila tekanan darah sulit dikontrol
dengan penggunaan ACE inhibitor, ARB, dan Beta bloker (Class III, LOE : A).
Referensi:
Ghanie A.;(2006). Gagal Jantung kronik. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi
Keempat Jilid III , Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia : Jakarta.
Yancy C. W., et al.; (2013). 2013 ACCF/AHA Guideline for the Management of Heart
Failure: A Report of the American College of Cardiology Foundation/American
Heart Association Task Force on Practice Guidelines. Circulation. 2013;128:e240e327
107.
B. Permetrin 5%
Pembahasan:
Skabies adalah penyakit kulit menular yang disebabkan oleh Sarcoptes scabei varian
hominis, yang penularannya terjadi secara kontak langsung. Skabies dapat ditularkan
melalui kontak langsung maupun kontak tidak langsung. Yang paling sering adalah
kontak langsung dan erat atau dapat pula melalui alat-alat seperti tempat tidur, handuk,
dan pakaian. Bahkan penyakit ini dapat pula ditularkan melalui hubungan seksual antara
penderita dengan orang yang sehat. Penularan skabies terjadi ketika orang-orang tidur
bersama di satu tempat tidur yang sama di lingkungan rumah tangga, sekolah-sekolah
yang menyediakan fasilitas asrama dan pemondokan, serta fasiltas-fasilitas kesehatan
yang dipakai oleh masyarakat luas. Terdapat 4 tanda cardinal:
1. Pruritus nokturna, artinya gatal pada malam hari yang disebabkan karena aktivitas
tungau ini lebih tinggi pada suhu yang lebih lembab dan panas.
2. Penyakit ini menyerang manusia secara berkelompok, misalnya dalam sebuah
keluarga biasanya seluruh anggota keluarga terkena infeksi. Begitu pula dalam
sebuah perkampungan yang padat penduduknya, sebagian besar tetangga yang
berdekatan akan diserang oleh tungau tersebut. Dikenal keadaan hiposensitisasi,
yang seluruh anggota keluarganya terkena, walaupun mengalami infestasi tungau,
tetapi tidak memberikan gejala. Penderita ini bersifat sebagai pembawa (carrier).
3. Adanya terowongan (kunikulus) pada tempat-tempat predileksi yang berwarna
putih atau keabu-abuan, berbentuk garis lurus atau berkelok dengan rata-rata
panjang 1 cm, pada ujung terowongan ini ditemukan papul atau vesikel. Jika
timbul infeksi sekunder ruam kulitnya menjadi polimarf (pustule, ekskoriasi dan
lainlain). Tempat predileksinya biasanya merupakan tempat dengan stratum
korneum yang tipis, yaitu sela-sela jari tangan, pergelangan tangan bagian volar,
siku bagian luar, lipat ketiak bagian depan, areola mammae (wanita), umbilicus,
bokong, genitalia eksterna (pria) dan perut bagian bawah. Pada bayi dapat
menyerang telapak tangan dan telapak kaki.
4. Menemukan tungau, merupakan hal yang paling diagnostic. Dapat ditemukan satu
atau lebih stadium hidup tungau ini.
Diagnosis dapat dibuat dengan menemukan 2 dari 4 tanda cardinal tersebut.
Pengobatan:
Semua keluarga yang berkontak dengan penderita harus diobati termasuk pasangan
hidupnya. Beberapa macam obat yang dapat dipakai pada pengobatan skabies yaitu:
1. Permetrin
Merupakan obat pilihan untuk saat ini, tingkat keamanannya cukup tinggi, mudah
pemakaiannya dan tidak mengiritasi kulit. Dapat digunakan di kepala dan leher
anak usia kurang dari 2 tahun.
2. Krotamiton
Krotamiton 10% dalam krim atau losio juga merupakan obat pilihan, memiliki dua
efek sebagai antiskabies dan anti pruritus. Harus dijauhkan dari mata, mulut dan
uretra.
3. Emulsi Benzil Benzoas
Emulsi Benzil Benzoas 20-25% efektif terhadap semua stadium, diberikan setiap
malam selama tiga hari.
4. Sulfur
Dengan kadar 4-20% dalam bentuk salep atau krim. Preparat ini kurang efektif
pada stadium telur, maka penggunaannya tidak boleh kurang dari tiga hari.
5. Gama Benzena Heksa Klorida (Gameksan)
Kadarnya 1% dalam krim atau losio, termasuk obat pilihan karena efektif terhadap
semua stadium, mudah digunakan dan jarang menimbulkan iritasi.
Pada kasus tersebut terdiagnosis scabies berdasarkan 2 tanda cardinal, yaitu terdapatnya
pruritus nocturna serta terdapat gatal-gatal di sela jari tangan, pantat, dan sekitar pusar.
Sehingga penatalaksanaan yang aman untuk anak usia 1,5 tahun, yaitu permetrine 5%.
108.A. Ancylostoma caninum
Pembahasan:
Cutaneus Larva Migran (CLM), sering digunakan pada kelainan kulit yang merupakan
peradangan berbentuk linier atau berkelok-kelok, menimbul dan progresif, yang
disebabkan oleh invasi larva cacing tambang Ancylostoma braziliense dan Ancylostoma
caninum, yang berasal dari binatang, terutama anjing dan kucing. Penyebab lain
diantaranya: gnatostoma, Uncinaria stenocephala, Butnostomum phlebotomum (dari
sapi), Strongiloides sterconalis, dll.
Penularan:
- Kontak dengan larva cacing di tempat-tempat kotor (pasir, tanah, lumpur dll)
- Tertelan telur cacing (melalui tangan secara tidak sengaja)
Gejala Klinis:
Masuknya larva ke kulit biasanya disertai rasa gatal dan panas. Mula mula , pada point
of entry, akan timbul papul, kemudian diikuti oleh bentuk yang khas, yakni lesi
berbentuk linear atau berkelok kelok (snakelike appearance bentuk seperti ular) yang
terasa sangat gatal, menimbul dengan lebar 2 3 mm, panjang 3 4 cm dari point of
entry, dan berwarna kemerahan. Adanya lesi papul yang eritematosa ini menunjukkan
larva tersebut telah berada dikulit selama beberapa jam atau hari4. Rasa gatal dapat
timbul paling cepat 30 menit setelah infeksi, meskipun pernah dilaporkan late onset dari
CLM.
Diagnosis
Berdasarkan bentuk yang khas, yakni terdapatnya kelainan seperti benang yang lurus
atau berkelok kelok, menimbul dan terdapat papul atau vesikel di atasnya.
Penatalaksanaan
Topikal:
1. Cryotherapy dengan CO2 snow (dry ice) dengan penekanan selama 45 detik sampai
1 menit, selama 2 hari berturut turut.
2. Nitrogen liquid
3. Kloretil spray, yang disemprotkan sepanjang lesi. Agak sulit karena tidak diketahui
secara pasti dimana larva berada, dan bila terlalu lama dapat merusak jaringan
disekitarnya.
4. Direkomendasikan pula penggunaan Benadryl atau krim anti gatal (Calamine lotion
atau Cortisone) untuk mengurangi gatal.
Sistemik
Tiabendazol (Mintezol), antihelmintes spektrum luas. Dosis 50 mg/kgBB/hari, sehari 2
kali, diberikan berturut- turut selama 2 hari. Dosis maksimum 3 gram sehari, jika belum
sembuh dapat diulangi setelah beberapa hari. Sulit didapat. Efek sampingnya mual,
pusing, dan muntah. Albendazol (Albenza), dosis 400mg dosis tunggal, diberikan tiga
hari berturut-turut.
Sumber:
- Aisah S. Creeping Eruption dalam Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi Kelima.
Penerbit Fakultas Kedokteran FKUI. 125-6 (2007)
- Jusych, LA. Douglas MC.Cutaneous Larva Migrans: Overview, Treatment and
Medication. Diunduh dari www.emedicine.com.
109.
B. Sindrom nefrotik
Sindrom nefrotik adalah suatu penyakit atau sindrom yang mengenai glumerulus yang
ditandai dengan gejala edema, proteinuria, hipoalbuminemia dan hiperkolesterolemia.
Edema merupakan gejala klinis yang menonjol, kadang-kadang mencapai 40% daripada berat
badan dan didapatkan anasarka. Selama beberapa minggu mungkin terdapat hematuria,
azotemia dan hipertensi ringan. Terdapat proteinuria terutama albumin (85 95%) sebanyak
10 15 gr/hari. Selama edema masih banyak, biasanya produksi urin berkurang, berat jenis
urin meninggi. Pasien juga mengeluh sesak napas (hidrotoraks, asites) dan dapat disertai
keluhan diare, nyeri perut, anoreksia.
Kimia
darah
menunjukkan
hipoalbuminemia,
hipoproteinemia,
hiperlipidemia
hiperkolesteronemia. Anak dapat pula menderita anemia defisiensi besi karena transferin
banyak keluar dengan urin
Referensi:
Konsensus IDAI Glomerulonefritis Akut Pasca Streptokokus. 2012. Jakarta.
Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin: Standar
Pelayanan Medik Anak. Makassar. 2009
110. B. Leptospirosis
Resume kasus:
Keluhan : mual muntah, badan kuning, BAK coklat
seperti teh; Pemeriksaan laboratorium : SGOT 143
dan SGPT 140 keterlibatan sistem hepatobilier
Demam 5 hari, Leukosit 12.500m3 adanya
infeksi bakerial sistemik
Manifestasi klinik
Spesimen
laboratorium
Darah, LCS
Urin
Darah, LCS
minggu
pertama.
Urin
minggu
kedua.
Manajemen
Pemberian
antibiotik
harus dimulai secepat
mungkin, 4 hari setelah
onset cukup efektif
Profilaksis daerah
resiko tinggi :
Doxycycline
200mg/minggu
Antibiotik efektif :
sefotaksim,doxycycline,
penicillin, ampicillin,
dan amoxicillin .
Larutan Glukosa dan
garam dapat diberikan
secara I.V
Dialisis digunakan
dalam kasus-kasus
serius
Pmberian kortikosteroid
selama 7-10 hari
(tappering off)
Referensi:
1. Pavli A, Maltezou HC.2008."Travel-acquired leptospirosis". J Travel Med 15 (6): 447
53.doi:10.1111/j.1708-8305.2008.00257.x.PMID 19090801
2. World Health Organization (WHO). 2003.Human Leptospirosis: Guidance for diagnosis,
surveillance and control. Geneva.
3.
Zein, Umar. 2007. Leptospirosis.Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
H.1845-48
Terdapat 2 jenis toksoid yang tersedia, yaitu toksoid teradsorbsi (adsorbed) (aluminium
salt precipitated) dan toksoid cair. Meskipun secara serokonversi adalah hampir sama,
toksoid adsorbed lebih disukai karena respon antitoksinnya mencapai titer yang lebih
tinggi dan lebih lama dibandingkan dengan toksoid cair.
Tetanus toxoid tersedia dalam bentuk antigen tunggal yang dikombinasi dengan toksoid
difteri ( diphteria toxoid tetanus (DT) pada anak, sedangkan pada dewasa dalam bentuk
adult tetanus-diphteria (Td)) dan dikombinasi dengan toksoid difteri dan vaksin pertusis
aseluler (Dtap atau Tdap).
Profilaksis dengan pemberian ATS hanya efektif pada luka baru (< 6 jam) dan harus segera
dilanjutkan dengan imunisasi aktif. HTIG juga dapat diberikan sebagai profilaksis luka.
Berikut ini adalah pedoman pemberian profilaksis terhadap tetanus:
Keterangan :
Td: difteri adult-type dan vaksin tetanus toksoid: TIG: tetanus immune globulin; TdaP:
booster tetanus toksoid, toksoid difteri dengan dosis lebih kecil dan pertusis aselular.
1. Antara lain (tidak terbatas hanya): luka yang terkontaminasi oleh kotoran/feses, tanah, dan
air liur; tusukan; avulsi; dan luka akibat tembakan, tabrakan, luka bakar, dan frostbite
2.TdaP lebih baik dibandingkan Td untuk remaja yang belum pernah mendapat imunisasi
TdaP. Td lebih baik dibandingkan TT untuk remaja yang telah diimunisasi TdaP atau TdaP
memang tidak tersedia di Indonesia.
3.Imun globulin i.v. Diberikan bilamana TIG tidak tersedia. TIG: 250 U i.m. di sisi
ekstremitas lain dari pemberian tetanus toksoid
4. Bilamana telah diberikan 3 dosis toxoid fluid, dosis keempat tetap diberikan dan sebaiknya
berupa adsorbed toxoid
5.Ya, jika >10 tahun mendapat imunisasi yang mengandung tetanus
6.Ya, jika >5 tahun mendapat imunisasi yang mengandung tetanus dan tidak diperlukan
booster lagi.
Referensi:
1. CDC. Tetanus. http://www.cdc.gov/vaccines/pubs/pinkbook/downloads/tetanus.pdf
2. Health Technology Assessment Indonesia Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
2008. Penalaksanaan Tetanus Pada Anak.
Peng
gobatan
Kinaa tablet selaama 7 hari
ACT
T tablet selaama 3 hari
ACT
T tablet selaama 3 hari
Dosis klindamisin
k
10 mg/kgB
BB diberikann 2 x sehari.
Sebagaii kelompok yang berisiiko tinggi pada
p
ibu ham
mil dilakukaan penapisaan/skrining terhadap
t
malariaa yang dilakkukan sebaikknya sedinii mungkin atau
a
begitu ibu tahu baahwa diriny
ya hamil.
Pada faasilitas keseehatan, skrinning ibu ham
mil dilakuk
kan pada kuunjungannyaa pertama sekali
s
ke
tenaga kesehatann/fasilitas kesehatan.
k
Selanjutny
ya pada ibu
i
hamil juga diaanjurkan
mengguunakan kelaambu berinssektisida settiap tidur.
Referennsi:
Pedomaan Penatalaaksanaan Kaasus Malariia di Indoneesia. Gebrakk Malaria. Direktorat Jenderal
J
Pengendalian Penyyakit dan Peenyehatan Lingkungan
L
. Departemeen Kesehataan Indonesiia. 2012.
Jakarta..
113.A. Amenore primer
p
Amenorea
Definisi:
Amenorea adalah keadaaan tidak terjadinya menstruasi pada seorang wanita. Hal tersebut
normal terjadi pada masa sebelum pubertas, kehamilan dan menyusui, dan setelah
menopause. Siklus menstruasi normal meliputi interaksi antara komplek hipotalamus
hipofisis-aksis indung telur serta organ reproduksi yang sehat (lihat artikel menstruasi).
Amenorea sendiri terbagi dua, yaitu:
Amenorea primer
Amenorea primer adalah keadaan tidak terjadinya menstruasi pada wanita usia 16
tahun. Amenorea primer terjadi pada 0.1 2.5% wanita usia reproduksi
Amenorea sekunder
Amenorea sekunder adalah tidak terjadinya menstruasi selama 3 siklus (pada kasus
oligomenorea <jumlah darah menstruasi sedikit>), atau 6 siklus setelah sebelumnya
mendapatkan siklus menstruasi biasa. Angka kejadian berkisar antara 1 5%
Penyebab:
Penyebab tersering dari amenorea primer adalah:
Pubertas terlambat
Kegagalan dari fungsi indung telur
Agenesis uterovaginal (tidak tumbuhnya organ rahim dan vagina)
Gangguan pada susunan saraf pusat
Himen imperforata yang menyebabkan sumbatan keluarnya darah menstruasi dapat
dipikirkan apabila wanita memiliki rahim dan vagina normal
Penyebab terbanyak dari amenorea sekunder adalah kehamilan, setelah kehamilan, menyusui,
dan penggunaan metode kontrasepsi disingkirkan, maka penyebab lainnya adalah:
Stress dan depresi
Nutrisi yang kurang, penurunan berat badan berlebihan, olahraga berlebihan, obesitas
Gangguan hipotalamus dan hipofisis
Gangguan indung telur
Obat-obatan
Penyakit kronik dan Sindrom AshermanGambar 2. Komplek hipotalamus-hipofisiaksis indung telur
Tanda dan gejala:
Tanda amenorea adalah tidak didapatkannya menstruasi pada usia 16 tahun, dengan atau
tanpa perkembangan seksual sekunder (perkembangan payudara, perkembangan rambut
pubis), atau kondisi di mana wanita tersebut tidak mendapatkan menstruasi padahal
sebelumnya sudah pernah mendapatkan menstruasi. Gejala lainnya tergantung dari apa yang
menyebabkan terjadinya amenorea.
Perkembangan pubertas pada wanita normal digambarkan melalui Stadium Tanner, yaitu:
Pemeriksaan Penunjang:
Pada amenorea primer, apabila didapatkan adanya perkembangan seksual sekunder maka
diperlukan pemeriksaan organ dalam reproduksi (indung telur, rahim, perlekatan dalam
rahim) melalui pemeriksaan USG, histerosalpingografi, histeroskopi, dan Magnetic
Resonance Imaging (MRI). Apabila tidak didapatkan tanda-tanda perkembangan seksualitas
sekunder maka diperlukan pemeriksaan kadar hormon FSH dan LH.
Setelah kemungkinan kehamilan disingkirkan pada amenorea sekunder, maka dapat
dilakukan pemeriksaan Thyroid Stimulating Hormone (TSH) karena kadar hormon tiroid
dapat mempengaruhi kadar hormon prolaktin dalam tubuh. Selain itu kadar hormon prolaktin
dalam tubuh juga perlu diperiksa. Apabila kadar hormon TSH dan prolaktin normal, maka
Estrogen/Progestogen Challenge Test adalah pilihan untuk melihat kerja hormon estrogen
terhadap lapisan endometrium dalam rahim.
Selanjutnya dapat dievaluasi dengan MRI.
Terapi:
Pengobatan yang dilakukan sesuai dengan penyebab dari amenorea yang dialami, apabila
penyebabnya adalah obesitas, maka diet dan olahraga adalah terapinya. Belajar untuk
mengatasi stress dan menurunkan aktivitas fisik yang berlebih juga dapat membantu. Terapi
amenorea diklasifikasikan berdasarkan penyebab saluran reproduksi atas dan bawah,
penyebab indung telur, dan penyebab susunan saraf pusat.
A. Saluran reproduksi
1) Aglutinasi labia (penggumpalan bibir labia) yang dapat diterapi dengan krim estrogen
2) Kelainan bawaan dari vagina, hymen imperforata (selaput dara tidak memiliki lubang),
septa vagina (vagina memiliki pembatas di antaranya). Diterapi dengan insisi atau eksisi
(operasi kecil)
3) Sindrom Mayer-Rokitansky-Kuster-Hauser. Sindrom ini terjadi pada wanita yang
memiliki indung telur normal namun tidak memiliki rahim dan vagina atau memiliki
keduanya namun kecil atau mengerut. Pemeriksaan dengan MRI atau ultrasonografi
(USG) dapat membantu melihat kelainan ini. Terapi yang dilakukan berupa terapi nonbedah berupa dilatasi (pelebaran) dari tonjolan di tempat seharusnya vagina berada atau
terapi bedah dengan membuat vagina baru menggunakan skin graft
4) Sindrom feminisasi testis. Terjadi pada pasien dengan kromosom 46, XY kariotipe, dan
memiliki dominan X-linked sehingga menyebabkan gangguan dari hormon testosteron.
Pasien ini memiliki testis dengan fungsi normal tanpa organ dalam reproduksi wanita
(indung telur, rahim).
Secara fisik bervariasi dari wanita tanpa pertumbuhan rambut ketiak dan pubis sampai
penampakan seperti layaknya pria namun infertil (tidak dapat memiliki anak).
5) Parut pada rahim. Parut pada endometrium (lapisan rahim) atau perlekatan intrauterine
(dalam rahim) yang disebut sebagai sindrom Asherman dapat terjadi karena tindakan
kuret, operasi sesar, miomektomi (operasi pengambilan mioma rahim), atau tuberkulosis.
Kelainan ini dapat dilihat dengan histerosalpingografi (melihat rahim dengan
menggunakan foto roentgen dengan kontras).
Terapi yang dilakukan mencakup operasi pengambilan jaringan parut. Pemberian dosis
estrogen setelah operasi terkadang diberikan untuk optimalisasi penyembuhan lapisan
dalam rahim
B. Gangguan Indung Telur
1) Disgenesis gonadal. Disgenesis gonadal adalah tidak terdapatnya sel telur dengan indung
telur yang digantikan oleh jaringan parut. Terapi yang dilakukan dengan terapi
penggantian hormon pertumbuhan dan hormon seksual.
2) Kegagalan Ovari Prematur. Kelaianan ini merupakan kegagalan dari fungsi indung telur
sebelum usia 40 tahun. Penyebabnya diperkirakan kerusakan sel telur akibat infeksi atau
proses autoimun.
3) Tumor ovarium. Tumor indung telur dapat mengganggu fungsi sel telur normal.
C. Gangguan Susunan Saraf Pusat
1. Gangguan hipofisis. Tumor atau peradangan pada hipofisis dapat mengakibatkan
amenorea. Hiperprolaktinemia (hormon prolaktin berlebih) akibat tumor, obat, atau
kelainan lain dapat mengakibatkan gangguan pengeluaran hormon gonadotropin. Terapi
dengan menggunakan agonis dopamin dapat menormalkan kadar prolaktin dalam tubuh.
2.
3.
114.B. Denial
Reaksi respon: menolak mempercayai bahwa kehilangan terjadi secara nyata dan
mengisolasi diri. Reaksi fisik: letih, lemah, diare, gelisah, sesak napas dan nadi cepat.
Contoh: "tidak mungkin, berita kematian itu tidak benar. Saya tidak percaya suami saya
pasti nanti kembali".
115. D. 24-36 jam
LEBAM MAYAT/LIVOR MORTIS
Bercak warna merah ungu (livide) pada bagian terendah tubuh dan yang bebas
tekanan.
Mekanismenya: Orang setelah meninggal sistem kardiovaskulernya berhenti, terjadi
stasis aliran darah, pengaruh gaya gravitasi darah menuju bagian tubuh yg terendah
tapi masih dalam pembuluh darah.
Darah tetap cair karena masih ada aktivitas fibrinolisin yang berasal dari endotel
pembuluh darah.
Lebam mayat mulai nampak 30 menit-1 jam postmortem. Menetap 6-8 jam
postmortem. Jadi, sebelum 6 jam pada penekanan masih hilang atau memucat.
Lebam mayat menetap disebabkan karena pembuluh darah sudah penuh terisi sel-sel
darah & otot-otot pembuluh darah sudah mengalami kekakuan.
KAKU MAYAT (RIGOR MORTIS)
Kekakuan otot baik otot volunter maupun non volunter yang terjadi setelah
meninggal,dan didahului oleh relaksasi primer.
Mekanismenya:
Setelah meninggal, lama-lama kadar ATP habis sehingga protein otot (aktin &
miosin) menggumpal & otot kaku.
Kaku mayat dibuktikan dengan memeriksa persendian.
Mulai muncul 2 jam postmortem pada otot-otot kecil,menetap 12 jam sampai 24 jam,
setelah 24 jam menghilang.
Faktor yang mempercepat terjadinya kaku mayat:
Aktivitas fisik
Suhu tubuh & lingkungan yg tinggi
Bentuk tubuh kurus
PEMBUSUKAN (DECOMPOSITION)
Proses kerusakan atau degradasi jaringan yg terjadi akibat autolisis dan kerja bakteri.
Autolisis karena faktor enzim.
Terjadi 24 jam postmortem. Ada warna kehijauan pada perut kanan bawah (daerah
sekum).
Pembusukan lebih cepat bila:
Suhu lingkungan optimal (26,5 oC sampai suhu tubuh normal)
Kelembapan udara yang cukup
Banyak bakteri pembusuk
Tubuh gemuk
Menderita penyakit infeksi/sepsis
116. B. Eritromisin
Diagnosis Banding Batuk Kronik
Pertusis yang berat terjadi pada bayi muda yang belum pernah diberi imunisasi. Setelah masa
inkubasi 7-10 hari, anak timbul demam, biasanya disertai batuk dan keluar cairan hidung
yang secara klinik sulit dibedakan dari batuk dan pilek biasa. Pada minggu ke-2, timbul batuk
paroksismal yang dapat dikenali sebagai pertusis. Batuk dapat berlanjut sampai 3 bulan atau
lebih. Anak infeksius selama 2 minggu sampai 3 bulan setelah terjadinya penyakit.
Diagnosis
Curiga pertusis jika anak batuk berat lebih dari 2 minggu, terutama jika penyakit diketahui
terjadi lokal. Tanda diagnostik yang paling berguna:
Batuk paroksismal diikuti suara whoop saat inspirasi, sering disertai muntah.
Perdarahan subkonjungtiva.
Anak tidak atau belum lengkap diimunisasi terhadap pertusis.
Bayi muda mungkin tidak disertai whoop, akan tetapi batuk yang diikuti oleh
berhentinya napas atau sianosis, atau napas berhenti tanpa batuk. Periksa anak untuk
tanda pneumonia dan tanyakan tentang kejang.
Tatalaksana
Kasus ringan pada anak-anak umur 6 bulan dilakukan secara rawat jalan dengan perawatan
penunjang. Umur < 6 bulan dirawat di rumah sakit, demikian juga pada anak dengan
pneumonia, kejang, dehidrasi, gizi buruk, henti napas lama, atau kebiruan setelah batuk.
Antibiotik
Beri eritromisin oral (12,5 mg/kgBB/kali, 4 kali sehari) selama 10 hari atau jenis makrolid
lainnya. Hal ini tidak akan memperpendek lamanya sakit tetapi akan menurunkan periode
infeksius.
Oksigen
Beri oksigen pada anak bila pernah terjadi sianosis atau berhenti napas atau batuk
paroksismal berat. Gunakan nasal prongs, jangan kateter nasofaringeal atau kateter nasal,
karena akan memicu batuk. Selalu upayakan agar lubang hidung bersih dari mukus agar tidak
menghambat aliran oksigen. Terapi oksigen dilanjutkan sampai gejala yang disebutkan di atas
tidak ada lagi. Perawat memeriksa sedikitnya setiap 3 jam, bahwa nasal prongs berada pada
posisi yang benar dan tidak tertutup oleh mukus dan bahwa semua sambungan aman.
Tatalaksana jalan napas
Selama batuk paroksismal, letakkan anak dengan posisi kepala lebih rendah dalam posisi
telungkup, atau miring, untuk mencegah aspirasi muntahan dan membantu pengeluaran
sekret.
- Bila anak mengalami episode sianotik, isap lendir dari hidung dan tenggorokan dengan
lembut dan hati-hati.
- Bila apnu, segera bersihkan jalan napas, beri bantuan pernapasan manual atau dengan
pompa ventilasi dan berikan oksigen.
Perawatan penunjang
Hindarkan sejauh mungkin segala tindakan yang dapat merangsang terjadinya batuk, seperti
pemakaian alat isap lendir, pemeriksaan tenggorokan dan penggunaan NGT.
Jangan memberi penekan batuk, obat sedatif, mukolitik atau antihistamin.
Obat antitusif dapat diberikan bila batuk amat sangat mengganggu. Jika anak demam ( 390
C) yang dianggap dapat menyebabkan distres, berikan parasetamol. Beri ASI atau cairan per
oral. Jika anak tidak bisa minum, pasang pipa nasogastrik dan berikan makanan cair porsi
kecil tetapi sering untuk memenuhi kebutuhan harian anak. Jika terdapat distres pernapasan,
berikan cairan rumatan IV untuk menghindari risiko terjadinya aspirasi dan mengurangi
rangsang batuk. Berikan nutrisi yang adekuat dengan pemberian makanan porsi kecil dan
sering. Jika penurunan berat badan terus terjadi, beri makanan melalui NGT.
Pemantauan
Anak harus dinilai oleh perawat setiap 3 jam dan oleh dokter sekali sehari. Agar dapat
dilakukan observasi deteksi dan terapi dini terhadap serangan apnu, serangan sianotik, atau
episode batuk yang berat, anak harus ditempatkan pada tempat tidur yang dekat dengan
perawat dan dekat dengan oksigen. Juga ajarkan orang tua untuk mengenali tanda serangan
apnu dan segera memanggil perawat bila ini terjadi.
Komplikasi
Pneumonia merupakan komplikasi tersering dari pertusis yang disebabkan oleh infeksi
sekunder bakteri atau akibat aspirasi muntahan. Tanda yang menunjukkan pneumonia bila
didapatkan napas cepat di antara episode batuk, demam dan terjadinya distres pernapasan
secara cepat.
Kejang. Hal ini bisa disebabkan oleh anoksia sehubungan dengan serangan apnu atau
sianotik, atau ensefalopati akibat pelepasan toksin. Jika kejang tidak berhenti dalam 2 menit,
beri antikonvulsan.
Gizi kurang. Anak dengan pertusis dapat mengalami gizi kurang yang disebabkan oleh
berkurangnya asupan makanan dan sering muntah. Cegah gizi kurang dengan asupan
makanan adekuat, seperti yang dijelaskan pada perawatan penunjang.
Perdarahan dan hernia
Perdarahan subkonjungtiva dan epistaksis sering terjadi pada pertusis. Tidak ada terapi
khusus. Hernia umbilikalis atau inguinalis dapat terjadi akibat batuk yang kuat. Tidak perlu
dilakukan tindakan khusus kecuali terjadi obstruksi saluran pencernaan, tetapi rujuk anak
untuk evaluasi bedah setelah fase akut.
Tindakan Kesehatan Masyarakat
Beri imunisasi DPT pada pasien pertusis dan setiap anak dalam keluarga yang imunisasinya
belum lengkap. Beri DPT ulang untuk anak yang sebelumnya telah diimunisasi. Beri
eritromisin suksinat (12.5 mg/kgBB/kali 4 kali sehari) selama 14 hari untuk setiap bayi yang
berusia di bawah 6 bulan yang disertai demam atau tanda lain dari infeksi saluran pernapasan
dalam keluarga.
Referensi: WHO. Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. 2009 Jakarta.
117.E. Streptomycin
Pasien di atas termasuk ke dalam pasien TB dengan riwayat putus pengobatan atau kategori
default. Oleh karena itu, pasien seharusnya mendapatkan pengobatan TB kategori 2, yaitu
2HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3. Pada beberapa keadaan, terdapat kontraindikasi terhadap obat
TB, salah satunya kehamilan seperti pada pasien ini. Pada keadaan hamil, obat TB yang
menjadi kontraindikasi adalah streptomisin.
PENGOBATAN TUBERKULOSIS PADA KEADAAN KHUSUS
a. Kehamilan
Pada prinsipnya pengobatan TB pada kehamilan tidak berbeda dengan pengobatan TB pada
umumnya. Menurut WHO, hampir semua OAT aman untuk kehamilan, kecuali streptomisin.
Streptomisin tidak dapat dipakai pada kehamilan karena bersifat permanent ototoxic dan
dapat menembus barier placenta. Keadaan ini dapat mengakibatkan terjadinya gangguan
pendengaran dan keseimbangan yang menetap pada bayi yang akan dilahirkan. Perlu
dijelaskan kepada ibu hamil bahwa keberhasilan pengobatannya sangat penting artinya
supaya proses kelahiran dapat berjalan lancar dan bayi yang akan dilahirkan terhindar dari
kemungkinan tertular TB.
b. Ibu menyusui dan bayinya
Pada prinsipnya pengobatan TB pada ibu menyusui tidak berbeda dengan pengobatan pada
umumnya. Semua jenis OAT aman untuk ibu menyusui. Seorang ibu menyusui yang
menderita TB harus mendapat paduan OAT secara adekuat. Pemberian OAT yang tepat
merupakan cara terbaik untuk mencegah penularan kuman TB kepada bayinya. Ibu dan bayi
tidak perlu dipisahkan dan bayi tersebut dapat terus disusui. Pengobatan pencegahan dengan
INH diberikan kepada bayi tersebut sesuai dengan berat badannya.
c. Pasien TB pengguna kontrasepsi
Rifampisin berinteraksi dengan kontrasepsi hormonal (pil KB, suntikan KB, susuk KB),
sehingga dapat menurunkan efektifitas kontrasepsi tersebut. Seorang pasien TB sebaiknya
mengggunakan kontrasepsi non-hormonal, atau kontrasepsi yang mengandung estrogen dosis
tinggi (50 mcg).
d. Pasien TB dengan hepatitis akut
Pemberian OAT pada pasien TB dengan hepatitis akut dan atau klinis ikterik, ditunda sampai
hepatitis akutnya mengalami penyembuhan. Pada keadaan dimana pengobatan Tb sangat
diperlukan dapat diberikan streptomisin (S) dan Etambutol (E) maksimal 3 bulan sampai
hepatitisnya menyembuh dan dilanjutkan dengan Rifampisin (R) dan Isoniasid (H) selama 6
bulan.
e. Pasien TB dengan kelainan hati kronik
Bila ada kecurigaan gangguan faal hati, dianjurkan pemeriksaan faal hati sebelum pengobatan
Tb. Kalau SGOT dan SGPT meningkat lebih dari 3 kali OAT tidak diberikan dan bila telah
dalam pengobatan, harus dihentikan. Kalau peningkatannya kurang dari 3 kali, pengobatan
dapat dilaksanakan atau diteruskan dengan pengawasan ketat. Pasien dengan kelainan hati
Pirasinamid (Z) tidak boleh digunakan. Paduan OAT yang dapat dianjurkan adalah
2RHES/6RH atau 2HES/10HE.
f. Pasien TB dengan gagal ginjal
Isoniasid (H), Rifampisin (R) dan Pirasinamid (Z) dapat di ekskresi melalui empedu dan
dapat dicerna menjadi senyawa-senyawa yang tidak toksik. OAT jenis ini dapat diberikan
dengan dosis standar pada pasien-pasien dengan gangguan ginjal. Streptomisin dan
Etambutol diekskresi melalui ginjal, oleh karena itu hindari penggunaannya pada pasien
dengan gangguan ginjal. Apabila fasilitas pemantauan faal ginjal tersedia, Etambutol dan
Streptomisin tetap dapat diberikan dengan dosis yang sesuai faal ginjal. Paduan OAT yang
paling aman untuk pasien dengan gagal ginjal adalah 2HRZ/4HR.
g. Pasien TB dengan Diabetes Melitus
Diabetes harus dikontrol. Penggunaan Rifampisin dapat mengurangi efektifitas obat oral anti
diabetes (sulfonil urea) sehingga dosis obat anti diabetes perlu ditingkatkan. Insulin dapat
digunakan untuk mengontrol gula darah, setelah selesai pengobatan TB, dilanjutkan dengan
anti diabetes oral. Pada pasien Diabetes Mellitus sering terjadi komplikasi retinopathy
diabetika, oleh karena itu hati-hati dengan pemberian etambutol, karena dapat memperberat
kelainan tersebut.
h. Pasien TB yang perlu mendapat tambahan kortikosteroid
Kortikosteroid hanya digunakan pada keadaan khusus yang membahayakan jiwa pasien
seperti:
Meningitis TB
TB milier dengan atau tanpa meningitis
TB dengan Pleuritis eksudativa
TB dengan Perikarditis konstriktiva.
Selama fase akut prednison diberikan dengan dosis 30-40 mg per hari, kemudian diturunkan
secara bertahap. Lama pemberian disesuaikan dengan jenis penyakit dan kemajuan
pengobatan.
i. Indikasi operasi
Pasien-pasien yang perlu mendapat tindakan operasi (reseksi paru) adalah:
1) Untuk TB paru:
Pasien batuk darah berat yang tidak dapat diatasi dengan cara konservatif.
Pasien dengan fistula bronkopleura dan empiema yang tidak dapat diatasi secara
konservatif.
Pasien TB dengan kelainan paru yang terlokalisir.
2) Untuk TB ekstra paru:
Pasien TB ekstra paru dengan komplikasi, misalnya pasien TB tulang yang disertai kelainan
neurologik.
Referensi: Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Departemen Kesehatan
Republik Indonesia. 2011.
118.D. Primary prevention
Pembahasan:
Terdapat tiga tingkatan pencegahan di bidang pelayanan kesehatan masyarakat sesuai
dengan tingkat perkembangan pathogenesis penyakit:
1. Pencegahan Primer (primary prevention)
a. Promosi Kesehatan (Health Promotion), contoh:
- Penerapan gaya hidup sehat: Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PBHS)
- Kadarzi
- Penyuluhan Kesehatan Aplikasi Kesehatan Olahraga
- Keselamatan Kerja
- Kesehatan Jiwa Pemberantasan vektor (PSN) dan penyehatan
lingkungan
b. Perlindungan spesifik (Spesific Protection), contoh:
- Pencegahan penyakit (Imunisasi, kondom, kelambusasi)
- Kontrasepsi (KB)
- Alat Pelindung Diri (APD)
- Penyemprotan/fogging: Lalat, nyamuk, kecoa
- Abatisasi
- Tindakan kaporisasi sumber air bersih
- Isolasi penderita penyakit menular
- Kemopreventif kunjungan ke daerah endemis malaria
2. Pencegahan Sekunder (Secondary prevention) Pencegahan Sekunder:
a. Diagnosis dini (Early diagnosis), contoh:
- Surveilans penyakit menular dan tidak menular
- Surveilans gizi pada Balita dan Ibu Hamil
- Surveilans KIA: PWS Ibu Hamil, PWS Imunisas, PWS Gizi
Gejala drop foot yang melibatkan kelainan saraf pusat biasanya disebabkan oleh
kompresi L5 pada vertebra lumbosakral, gejala lain yang dapat timbul adalah kelemahan
pada area yang dipersarafi nervus peroneal sampa dengan tibialis posterior. Nyeri
pinggang dan ischialgia juga dapat terjadi oleh karena proses patologis yang sama.
Kelainan pada struktur perifer dapat terjadi spontan, proses trauma dapat dibedakan
dengan penyebab sentral di mana kelemahan yang terjadi perifer tidak menyebabkan
nyeri pinggang, dan ischialgia.
Referensi:
Berry H, Richardson PM. Common peroneal nerve palsy: a clinical and
electrophysiological
review. J
Neurol
Neurosurg
Psychiatry.
Dec
1976;39(12):1162-71.
Pritchett J. W., Porembski M. A., (2013). Foot Drop. Diakses dari
http://emedicine.medscape.com/article/1234607
Gambar diperoleh dari http://emedicine.medscape.com/article/1234607
120. B. Family with teens
Pembahasan:
sirkulasi merupakan evaluasi primer yang harus dilakukan serta diikuti evaluasi terhadap
tanda dan symptom toksisitas kolinergik yang dialami pasien. Dukungan terhadap
saluran pernapasan dan intubasi endotrakeal harus dipertimbangkan bagi pasien yang
mengalami perubahan status mental dan kelemahan neuromuskular sejak antidotum tidak
memberikan efek. Terapi suportif ini harus diberikan secara paralel dengan
pemberian antidotum. Penanganan pertama yang dilakukan adalah:
Berikan sulfas atropine dosis tinggi
Bila organofosfat tertelan dan penderita sadar, segera muntahkan.
Bila organofosfat tertelan dan penderita tidak sadar maka tidak boleh
dimuntahkan karena bahaya aspirasi.
Bila penderita berhenti bernapas, segeralah dimulai pernapasan buatan.
Terlebih dahulu bersihkan mulut dari air liur, lendir atau makanan yang
menyumbat jalan napas. Bila organofosfat tertelan, jangan lakukan pernapasan dari
mulut ke mulut.
Perbaikan sistem sirkulasi darah
Sumber:
1. Frank C. Lu. Toksikologi Dasar. Edisi kedua. U.I. Press. Jakarta. 1995 : 266 268.
2. T. A. Gossel dkk. Principle of Clinical Toxicology. Second Ed. Raven Press. New
York. 1990 : 133 139.
3. Budiyanto, A. et all. (1997). Ilmu Kedokteran Forensik : Keracunan insektisida.
Jakarta : Bagian Kedokteran forensic Fakultas Keokteran Universitas Indonesia.
123.
D. Etambutol
Efek samping Ethambutol yang tersering adalah toksisitas yang terjadi pada mata dan
pencegahan terhadap munculnya efek samping ini masih merupakan kontroversi. Penelitian
pada hewan ditemukan bahwa ethambutol memiliki efek toksik pada serabut saraf di ganglion
retina. Onset terjadinya keluhan pada mata biasanya lambat, bisa berbulan-bulan setelah
mulai terapi (rata-rata antara 3-5 bulan, bahkan ada yang sampai 12 bulan), jarang sekali yang
muncul secara akut. Pasien yang terkena akan mengeluh penurunan tajam penglihatan pada
kedua mata tanpa disertai rasa sakit, penurunan terhadap kontras dan sensitivitas warna serta
gangguan lapang pandang. Pada pemeriksaan fisik, gangguan yang terjadi pada kedua mata
didapatkan simetris.
Rifampisin
Warna kemerahan pada urine.
Gangguan saluran pencernaan seperti mual dan muntah.
Gangguan fungsi hati.
Reaksi hipersensitivitas atau alergi.
Trombositopenia dan leukopinia.
Abdominal distress (ketidaknyamanan pada perut).
Keluhan influenza (flu syndrom), demam, nyeri otot dan sendi.
3. Ethambutol
Gangguan penglihatan, neuritis optik (peradangan saraf mata), buta warna
Peradangan saraf tepi
Penyakit asam urat
Ruam
Gatal-gatal
Urtikaria
Penurunan jumlah trombosit
4. Streptomisin
Efek samping yang paling utama adalah kerusakan saraf ke delapan yang berkaitan
dengan keseimbangan dan pendengaran
Tuli
Gangguan keseimbangan
Demam
Sakit kepala
5. Pirazinamid
Gangguan yang utama adalah hepatitis
Nyeri sendi
Reaksi hipersensitas seperti demam, mual kemerahan , dan reaksi kulit yang lain
124. E. Tidak Perlu Identifikasi
Interpol telah menentukan adanya Primary Identifier yang terdiri dari finger print (FP),
dental record (DR), dan DNA. Serta Secondary Identifiers yang terdiri dari medical (M),
property (P) dan photography (PG), dengan prinsip identifikasi adalah membandingkan data
antemortem dengan postmortem. Primary Identifiers mempunyai nilai yang sangat tinggi bila
dibandingkan dengan secondary identifiers.
Kondisi utama jenazah yang semakin tidak utuh akan semakin mempersulit proses
identifikasi jenazah, sehingga memengaruhi keberhasilan penentuan identitas seorang
individu. Pada jenazah terbakar dengan keadaan gigi geligi yang masih relatif baik, maka
pemeriksaan primer lebih dititikberatkan pada pemeriksaan gigi dibandingkan dengan
pemeriksaan primer lain seperti sidik jari namun tetap dikombinasikan dengan pemeriksaan
pendukung sekunder. Pada jenazah yang tenggelam dengan pembusukan lanjut keadaan gigi
tidak memungkinkan digunakan sebagai bahan prioritas identifikasi sehingga harus
menggunakan kombinasi pemeriksaan sekunder. Sebagai tindak lanjut disarankan data
identitas penduduk tidak hanya tergantung pada kartu sidik jari melainkan mulai untuk
digalakkan kepemilikan kartu identitas yang memuat data rekam gigi atau bila
memungkinkan data DNA.
Letak perforasi
Terapi
Konservatif/medikamentosa
Marginal (sebagian
tepi perforasi
langsung
berhubungan
dengan annulus atau
sulkus timpanikum.
Atau di atik (di pars
flaksida)
Mastoidektomi
Prinsip terapi OMSK maligna adalah pembedahan yaitu mastoidektomi dengan atau
tanpa timpanoplasti. Terapi konservatif dengan pengobatan dilakukan sebelum
pembedahan. Mastoidektomi yang dapat dilakukan adalah:
Mastoidektomi sederhana
Dilakukan pada OMSK benigna.Pada kondisi ini fungsi pendengaran tidak
diperbaiki.
Mastoidektomi radikal
Operasi ini dilakukan pada OMSK maligna dengan infeksi atau kolesteatoma yang
meluas. Pada operasi ini rongga mastoid dan kavum timpani dibersihkan dari semua
jaringan patologik. Dinding batas antara liang telinga luar dan telinga tengah dengan
rongga mastoid dihilangkan sehinggga ketoga daerah anatomi tersebut menjadi satu
ruangan. Fungsi pendengaran tidak diperbaiki.
Mastoidektomi radikal dengan modifikasi
Dilakukan pada pasien dengan OMSK maligna dan kolesteatoma.
Sumber:
1. Djaafar, Zainul A et all. 2009. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Kepala dan Leher, 6th edn. Jakarta: Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Hlm 69-74.
2. Boies, Lawrence R. 1997. Buku Ajar penyakit THT, Jakarta: EGC. Hlm 107-118.
126.C. 27 Januari 2014
Untuk menentukan usia kehamilan dapat digunakan rumus Naegele sebagai berikut:
Tanggal ditambah 7
Bulan dikurang 3
Tahun ditambah 1
Keterangan: (1 bulan = 30 hari)
Rumus ini dibagi menjadi 2 bagian besar dalam aplikasinya, yaitu:
1) Bulan Januari-Maret
Rumus: (Tanggal + 7 hari), (bulan + 9), (tahun+0)
Misalkan hari terakhir menstruasi pada 20 Februari 2009, maka perkiraan kelahiran
bayi adalah (20+7), (2+9), (2009+0) sehingga menjadi 27 November 2009
2) Bulan April-Desember
Rumus: (Tanggal+7 hari), (bulan-3), (tahun+1)
Misalkan hari terakhir menstruasi pada 11 November 2009, maka perkiraan kelahiran
bayi adalah (11+7), (11-3), (2009+1) sehingga menjadi 18 Agustus 2010
Metode ini merupakan metode perhitungan usia kehamilan yang sangat umum dilakukan.
Biasanya terdapat range hari lahir dengan selisih hingga 7 hari yang dihitung dari tanggal
perhitungan kelahiran berdasarkan hari terakhir menstruasi.
127.D. Impending preeklampsia
Preeklampsia ialah penyakit dengan tanda-tanda hipertensi, edema, dan proteinuria yang
timbul karena kehamilan. Penyakit ini umumnya terjadi dalam triwulan ke-3 kehamilan,
tetapi dapat terjadi sebelumnya, misalnya pada mola hidatidosa.
Eklampsia adalah preeklampsia yang disertai kejang dan/atau koma yang timbul bukan akibat
kelainan neurologi.
Superimposed preeklampsia-eklampsia adalah timbulnya pre-eklampsia atau eklampsia pada
pasien yang menderita hipertensi kronik.
Diagnosis preeklampsia ditegakkan berdasarkan adanya dua dari tiga gejala, yaitu edema,
hipertensi, dan proteinuria.
Edema ialah penimbunan cairan secara umum dan berlebihan dalam jaringan tubuh,
dan biasanya dapat diketahui dari kenaikan berat badan serta pembengkakan kaki, jari
tangan, dan muka. Kenaikan berat badan kg setiap minggu dalam kehamilan masih
dapat dianggap normal, tetapi bila kenaikan 1 kg seminggu beberapa kali, hal ini perlu
menimbulkan kewaspadaan terhadap timbulnya preeklampsia.
Tekanan darah 140/90 mmHg atau tekanan sistolik meningkat >30 mmHg atau
tekanan diastolik >15 mmHg yang diukur setelah pasien beristirahat selama 30 menit.
Proteinuria bila terdapat protein sebanyak 0,3 g/l dalam air kencing 24 jam atau
pemeriksaan kualitatif menunjukkan +1 atau +2; atau kadar protein 1 g/l dalam urin
yang dikeluarkan dengan kateter atau urin porsi tengah, dimabil minimal 2 kali
dengan jarak waktu 6 jam.
Preeklampsia dibagi dalam golongan ringan dan berat. Penyakit digolongkan berat bila satu
atau lebih tanda/gejala di bawah ini ditemukan:
1) Tekanan sistolik 160 mmHg atau lebih, atau tekanan diastolik 110 mmHg atau lebih
2) Proteinuria 5 g atau lebih dalam 24 jam; +3 atau +4 pada pemeriksaan kualitatif
3) Oliguria, air kencing 400 ml atau kurang dalam 24 jam
4) Keluhan serebral, gangguan penglihatan atau nyeri di daerah epigastrium
5) Edema paru-paru atau sianosis.
Diagnosis eklampsia ditegakkan berdasarkan gejala-gejala preeklampsia disertai kejang atau
koma. Sedangkan, bila terdapat gejala preeklampsia berat disertai salah satu atau beberapa
gejala dari nyeri kepala hebat, gangguan visus, muntah-muntah, nyeri epigastrium, dan
kenaikan tekanan darah progresif, dikatakan pasien tersebut menderita impending
preeklampsia. Impending preeklampsia ditangani sebagai kasus eklampsia.
Referensi:
Ilmu Kebidanan. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Jakarta. HanifaWiknjosatro,
Abdul Bari Saifuddin, dan Trijatmo Rachimhadhi. 2006.
Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid 1. Arief Mansjoer. 2008. Jakarta : Media
Aesculapius FKUI.
128.B. 400
Formula Friedewald:
Menghitung kolesterol LDL dengan rumus:
LDL Cholesterol
= TOTAL Cholesterol (HDL Cholesterol + Trigliserida/5)
= 500 - (25 + 375/5)
= 500 100 = 400 mg/dL
More info:
Cara ini tidak akurat bila TG diatas 400 mg/dL
Friedewald tidak direkomendasikan karena variabilitas 3 pengukuran independen
(kolesterol total, kolesterol HDL, dan trigliserida)
Referensi :
Warnick GR, Knopp RH, Fitzpatrick V, Branson L (January 1990). "Estimating low-density
lipoprotein cholesterol by the Friedewald equation is adequate for classifying patients on the basis of
nationally recommended cutpoints". Clinical Chemistry
129.B. Osteokondroma
Osteokondroma adalah tumor jinak tulang dengan penampakan adanya penonjolan
tulang yang berbatas tegas sebagai eksostosis yang muncul dari metafisis, penonjolan
tulang ini diliputi oleh cartilago hialin. Tumor ini berasal dari komponen tulang
(osteosit) dan komponen tulang rawan (chondrosit). Sepuluh persen dari penderita yang
memiliki osteokondroma multipel akan mengalami keganasan tulang yang disebut
kondrosarkoma, tetapi penderita yang hanya memiliki
satu osterokondroma (soliter), kecil kemungkinan
untuk berkembang menjadi kondrosarkoma.
Terdapat 2 tipe osteokondroma, yaitu bertangkai
(pedunculated) dan tidak bertangkai (sesile). Pada tipe
pedunculated, pada foto polos tampak penonjolan
tulang yang menjauhi sendi dengan korteks dan
spongiosa masih normal. Penonjolan ini berbentuk
seperti bunga kol (cauliflower) dengan komponen
osteosit sebagai tangkai dan komponen kondrosit
sebagai bunganya. Densitas penonjolan tulang
inhomogen (opaq pada tangkai dan lusen pada bunga).
Terkadang tampak adanya kalsifikasi berupa bercak
opaq akibat komponen kondral yang mengalami
kalsifikasi.
Morfologi
Vibrio colera
Gram (-)
Bentuk koma
Memiliki 1 flagel
Antigen flagel H:
tahan panas
Antigen somatic O:
terdiri dari
lipopolisakarida
Kultur
Media
Toksin
Perlekatan
Manifestasi
klinis
TCBS: warna
kuning
TTGA
Tes oksidasi (+)
Meragi nitrit
Enterotoksin
Usus halus
Diare cair dan
banyak
Diare seperti air
cucian beras
Lendir (+)
Darah (-)
Giardia lambia
Trofozoit:
Seperti jambu monyet
Memiliki 4 pasang
flagel
Inti 1 pasang di anterior
Shigella
Gram (-)
Bentuk batang
Flagel (-)
Kista:
Bentuk oval
Dinding tipis dan kuat
Sitoplsama halus dan
letak terpisah
Kista baru: 2 inti
Kista matang: 4 inti
Kapsul (-)
Spora (-)
Mc Conkey
Mc Conkey
SSA
Steatore
DCA
Tidak memecah
laktosa
Memecah glukosa
Enterotoksin
Sitotoksin
Ileum terminalis
Diare cair dan
sedikit
Demam
Lendir (+)
Darah (+)
Endotoksin
Eksotoksin
Usus halus
Diare
Motil (-)
Tenesmus (-)
Tanda dehidrasi (+)
Tenesmus (+)
Sumber:
1. Jawetz, Melnick & Adelbergs. Medical Microbiology. McGraw-Hill Companies Inc.
Twenty Second Edition. 2001. Pp 235-237.
2. Staf Pengajar FK UI. Mikrobiologi Kedokteran. Binarupa Aksara. 1993. Hal 174-175
131.A. Irritabel bowel syndrome
Irritabel bowel syndrome adalah adanya nyeri perut, distensi, dan gangguan pola
defekasi. Faktor yang menyebabkan terjadinya IBS adalah gangguan motilitas,
intoleransi makanan, abnormalitas sensosris, abnormal dari interaksi aksi brain-gut,
hipersensitivitas visceral, dan pasca infeksi usus. Gejala IBS dapat berupa diare ataupun
konstipasi.
Kriteria diagnosis IBS adalah mengikuti kriteria Rome III adalah:
Sedikitnya 12 minggu atau lebih (tidak harus berurutan) selama 12 bulan terakhir
dengan rasa nyeri/tidak nyaman di abdomen, disertai dengan adanya 2 dari 3 hal
berikut:
Nyeri hilang dengan defekasi, dan/atau
Awal kejadian dihubungkan dengan perubahan frekuensi defekasi, dan/atau
Awal kejadian dihubungkan dengan perubahan bentuk feses
Gejala lain yang mendukung adalah:
Ketidaknormalan frekuensi defekasi
Kelainan bentuk feses
Ketidaknormalan proses defekasi (mengejan, inkontinensi defekasi, atau rasa
defekasi tidak tuntas)
Adanya mucus/lender
Kembung atau merasakan distensi abdomen
Kriteria diagnosis lain, yaitu Kriteria Manning:
Gejala yang sering didapat adalah:
Feses cair pada saat nyeri
Frekuensi BAB bertambah pada saat nyeri
Nyeri berkurang setelah BAB
Tampak abdomen distensi
Gejala tambahan:
Lendir saat BAB
Perasaan tidak lampias saat BAB
Penatalaksanaan IBS meliputi modifikasi diet, intervensi psikologi, dan farmakoterapi.
Modifikasi diet
Beberapa makanan yang dapat mencetuskan IBS antara lain gandum, susu, kafein,
bawang, coklat, dan beberapa sayuran.
Psikoterapi
Farmakoterapi
Ekstremitas bawah sering merupakan daerah yang paling berat terkena, skuama melekat
ditengah, dengan cracking (fisura superfisial pada stratum korneum) pada tepinya.
Biasanya pada iktiosis ini juga ditemukan keratosis folikularis dan palmoplantar marking
(khas pada iktiosis vulgaris).
Iktiosis Lamelar: merupakan iktiosis yang tampak sejak
lahir. Pada beberapa minggu pertama kehidupan, membran
kolloidon secara bertahap menjadi skuama lebar generalisata.
Secara khas ditandai dengan skuama lebar, berwarna coklat
gelap, pipih yang membentuk pola mosaik dengan
eritroderma minimal atau tidak ada. Skuama melekat ditengah
dan meninggi pada tepinya, sering menimbulkan fisura
superfisial. Skuama lebar terdapat pada seluruh tubuh, wajah,
fleksura telapak tangan dan telapak kaki.
133.C. Erisipelas
Pembahasan:
Selulitis adalah suatu penyakit infeksi atau
peradangan di daerah jaringan bawah kulit
(Subkutis). Gambaran klinis eritema lokal
pada kulit dan system vena dan limfatik
pada kedua ektrimitas atas dan bawah. Pada
pemeriksaan ditemukan kemerahan yang
karakteristik hangat, nyeri tekan, demam
dan bakterimia.
Oliguria
Edema (perifer atau periorbital), 85% ditemukan pada anak-anak; edema bisa
ditemukan sedang sampai berat.
Sakit kepala, jika disertai dengan hipertensi.
Dyspnea, jika terjadi gagal jantung atau edema pulmo; biasanya jarang.
Kadang disertai dengan gejala spesifik; mual dan muntah, purpura pada HenochSchoenlein, artralgia yang berbuhungan dengan Systemic Lupus Erythematosus (SLE).
Pengelihatan kabur
Batuk berdahak
Penurunan kesadaran
Malaise
Sesak napas
Pemeriksaan urine terdapat sedimen eritrosit (+) sampai (++++), juga torak eritrosit (+) pada
60-85% kasus. Pada pemeriksaan darah, didapatkan titer ASO meningkat dan kadar C3
menurun. Pada pemeriksaan throat swab atau skin swab dapat ditemukan streptokokkus.
Pemeriksaan foto thorax PA tegak dan lateral dekubitus kanan dapat ditemukan kelainan
berupa kardiomegali, edema paru, kongesti paru, dan efusi pleura (nephritic lung).
135.D. Leukimia mieloblastik akut
Temuan positif pada kasus ini adalah:
- Usia penderita 50 tahun, lemas dan pucat sejak 1 minggu yang lalu + perdarahan gusi
- Pemeriksaan fisik: hepatosplenomegali
- Laboratorium: anemia (Hb 6,8 g/dL), leukositosis (leukosit > 11.000/mm3),
trombositopenia (trombosit < 150.000/mm3)
- Leukosit darah tepi terutama polimorfonuklear (PMN)
ORGANOMEGALI:
hepatomegali
splenomegali
ABNORMALITAS
PEMERIKSAAN DARAH
anemia
leukopenia/leokositosis
trombositopenia
Karakteristik khas:
LEUKEMIA
AKUT:
- hepatomegali dan splenomegali
ringan
- ditemukan manifestasi
perdarahan dan infeksi
- Onset cepat
MDT
Dominan sel darah: Polimorfonuklear
(PMN)
KRONIS:
- hepatomegali dan splenomegali berat
- Jarang ditemukasn manifestasi
perdarahan dan infeksi
- Neutropenia, trombositopenia, limfopenia
jarang ditemukan
dominasi PMN ini menunjukkan
adanya
peningkatan produksi
granulosit di sumsum tulang
MIELOBLASTIK
LEUKEMIA MIELOBLASTIK
AKUT
More Info:
Perbedaan LEUKEMIA MIELOBLASTIK AKUT dan LEUKEMIA LIMFOBLASTIK
AKUT
LEUKEMIA LIMFOBLASTIK
LEUKEMIA
AKUT
MIELOBLASTIK AKUT
Epidemiologi
Terutama menyerang anak < 14 th
Menyerang segala usia,
(90%)
bentuk leukemia paling
Peningkatan insidensi ke-2 pada usia
sering pada dewasa
pertengahan (paruh baya)
Tipe Proliferasi Sel
Neoplasia limfoblastik (Prekusor sel
Neoplasia mieloblas
limfosit)
(Prekusor sel granulosit dan
monosit)
Derajat diferensiasi
Sel blast tidak menunjukkan
Sel blast biasanya
diferensiasi
menunjukkan diferensiasi
Prognosis
Anak 2-9 th angka kesembuhan
20-25% sembuh dengan
50-75%
kemoterapi
Anemia Normositik
Anemia Mikrositik
Anemia Makrositik
Sesuai dengan kasus ini di mana pasien merupakan penderita gagal ginjal kronis
sehingga anemia pada kasus ini termasuk anemia penyakit kronis.
2. Pendekatan kinetik: Pendekatan ini didasarkan pada mekanisme yang berperan dalam
turunnya Hb. Anemia dapat disebabkan oleh 1 atau lebih dari 3 mekanisme independen:
Berkurangnya produksi sel darah merah
Anemia disebabkan karena kecepatan produksi sel darah merah lebih rendah dari
destruksinya. Penyebab berkurangnya produksi sel darah merah:
- Kekurangan nutrisi: Fe, B12, atau folat; dapat disebabkan oleh kekurangan diet,
malaborpsi (anemia pernisiosa, sprue) atau kehilangan darah (defi siensi Fe)
- Kelainan sumsum tulang (anemia aplastik, pure red cell aplasia, mielodisplasia,
infl itrasi tumor)
- Supresi sumsum tulang (obat, kemoterapi, radiasi)
- Rendahnya trophic hormone untuk stimulasi produksi sel darah merah
(eritropoietin pada gagal ginjal, hormon tiroid [hipotiroidisme] dan androgen
[hipogonadisme])
- Anemia penyakit kronis/anemia inflamasi, yaitu anemia dengan karakteristik
berkurangnya Fe yang efektif untuk eritropoiesis karena berkurangnya absorpsi Fe
dari traktus gastrointestinal dan berkurangnya pelepasan Fe dari makrofag,
berkurangnya kadar eritropoietin (relatif) dan sedikit berkurangnya masa
hidup erirosit.
Meningkatnya destruksi sel darah merah
Anemia hemolitik merupakan anemia yang disebabkan karena berkurangnya masa
hidup sel darah merah (kurang dari 100 hari). Pada keadaan normal, umur sel darah
merah 110-120 hari. Anemia hemolitik terjadi bila sumsum tulang tidak dapat
mengatasi kebutuhan untuk menggganti lebih dari 5% sel darah merah/hari yang
berhubungan dengan masa hidup sel darah merah kira-kira 20 hari.
Kehilangan darah.
Dari penjelasan di atas maka jawaban yang paling sesuai adalah defisiensi eritropoietin.
Referensi:
1. Schrier SL. 2011.Approach to the adult patient with anemia.www.uptodate.com
2. Schrier SL.2011.Approach to the diagnosis of hemolytic anemia in the adult. January
2011. www.uptodate.com
3. Teff eri A.2003. Anemia in adults : A contemporary approach to diagnosis. Mayo Clin
Proc.
137.C. Meconium Aspiration Syndrome
Meconium Aspiration Syndrome (MAS) terjadi jika mekonium yang tercampur
dengan cairan ketuban terhirup oleh fetus dalam uterus atau oleh neonatus selama proses
persalinan dan kelahiran. Aspirasi mekonium terjadi jika janin mengalami stres selama
proses persalinan berlangsung. Bayi seringkali merupakan bayi post-matur.
Faktor resiko terjadinya sindroma aspirasi mekonium:
Kehamilan post-matur
Pre-eklamsi
Faktor maternal (DM, Hipertensi)
Bayi Kecil masa kehamilan
Korioamnionitis
Hipoksia intrauterin (Gawat janin, Persalinan sulit)
dilakukan di ruang gawat darurat, ruang rawat atau di ICU. Sebaiknya dipertahankan PaO2 >
60 mmHg atau Sat O2 > 90%, evaluasi ketat hiperkapnia. gunakan sungkup dengan kadar
yang sudah ditentukan (ventury masks) 24%, 28% atau 32%. Perhatikan apakah sungkup
rebreathing atau nonrebreathing, tergantung kadar Paco2 dan Pao2. Bila terapi oksigen tidak
dapat mencapai kondisi oksigenasi adekuat, harus digunakan ventilasi mekanik. Dalam
penggunaan ventilasi mekanik usahakan dengan Noninvasive Positive Pressure Ventilation
(NIPPV), bila tidak berhasil ventilasi mekanik digunakan dengan intubasi.
3. Pemberian obat-obatan yang maksimal
Obat yang diperlukan pada eksaserbasi akut
a. Antibiotik
Peningkatan jumlah sputum
Sputum berubah menjadi purulen
Peningkatan sesak
Pemilihan antibiotik disesuaikan dengan pola kuman setempat dan komposisi kombinasi
antibiotik yang mutakhir. Pemberian antibiotik di rumah sakit sebaiknya per drip atau
intravena, sedangkan untuk rawat jalan bila eksaserbasi sedang sebaiknya kombinasi dengan
makrolide, bila ringan dapat diberikan tunggal.
b. Bronkodilator
Bila rawat jalan B-2 agonis dan antikolinorgik harus diberikan dengan peningkatan dosis.
Inhaler masih cukup efektif bila digunkan dengan cara yang tepat, nebuliser dapat digunakan
agar bronkodilator lebih efektif. Hati-hati dengan penggunaan nebuliser yang memakai
oksigen sebagai kompressor, karena penggunaan oksigen 8-10 liter untuk menghasilkan uap
dapat menyebabkan retensi CO2. Golongan xantin diberikan bersamasama dengan
bronkodilator lainnya karena mempunyai efek memperkuat otot diafragma.
Dalam perawatan di rumah sakit, bronkodilator diberikan secara intravena dan nebuliser,
dengan pemberian lebih sering perlu monitor ketat terhadap timbulnya palpitasi sebagai efek
samping bronkodilator.
c. Kortikosteroid
Tidak selalu diberikan tergantung derajat berat eksaserbasi. Pada eksaserbasi derajat sedang
dapat diberikan prednison 30 mg/hari selama 1-2 minggu, pada derajat berat diberikan secara
intravena. Pemberian lebih dari 2 minggu tidak memberikan manfaat yang lebih baik, tetapi
lebih banyak menimbulkan efek samping.
4. Nutrisi adekuat untuk mencegah starvation yang disebabkan hipoksemia berkepanjangan,
dan menghindari kelelahan otot bantu napas
5. Ventilasi mekanik
Penggunaan ventilasi mekanik pada PPOK eksaerbasi berat akan mengurangi mortaliti dan
morbiditi, dan memperbaiki simptom. Dahulukan penggunaan NIPPV, bila gagal dipikirkan
penggunaan ventilasi mekanik dengan intubasi
6. Kondisi lain yang berkaitan
Diagnosis
dan
139.E. 2RHZE/HRZE/5R3H3E3
Paduan OAT lini pertama dan peruntukannya.
a. Kategori-1 (2HRZE/ 4H3R3)
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:
Pasien baru TB paru BTA positif.
Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif
Pasien TB ekstra paru
Kategori -2 (2HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3)
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati sebelumnya:
Pasien kambuh
Pasien gagal
Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (default)
Referensi: Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Departemen Kesehatan
Republik Indonesia. 2011.
140.A. Proporsi
Pembahasan:
Macam variabel penelitian:
Variabel Nominal, yaitu variabel yang ditetapkan berdasar atas proses
penggolongan; variabel ini bersifat diskret dan saling pilah (mutually exclusive)
antara kategori yang satu dan kategori yang lain; contoh: jenis kelamin, status
perkawinan, jenis pekerjaan.
Variabel Ordinal, yaitu variabel yang disusun berdasarkan atas jenjang dalam atribut
tertentu. Jenjang tertinggi biasa diberi angka 1, jenjang di bawahnya diberi angka 2,
lalu di bawahnya di beri angka 3 dan seterusnya.
Variabel Interval, yaitu variabel yang dihasilkan dari pengukuran, yang di dalam
pengukuran itu diasaumsikan terdapat satuan (unit) pengukuran yang sama. Contoh:
variabel interval misalnya prestasi belajar, sikap terhadap sesuatu program
dinyatakan dalam skor, penghasilan dan sebagainya.
Variabel ratio, adalah variabel yang dalam kuantifikasinya mempunyai nol mutlak.
Contoh Berat Badan, Tinggi Badan.
Pada skenario tersebut responden dapat memberikan pendapat melalui 5 kategori pilihan
jawaban yg terdiri dari "sangat tidak setuju", "tidak setuju", "ragu ragu", setuju, " sangat
setuju", sehingga ini termasuk dalam variabel ordinal dan untuk menghitung jumlah
respons/penilaian masyarakat adalah dengan cara menghitung frekuensi proporsi setiap
kategori. Misalnya: Sangat setuju = 20 orang, Setuju = 15 orang dan seterusnya.
4.
Menghitung frekuensi dan pola detik jantung janin
5.
Pemeriksaan presentasi dan posisi janin
6.
Pemeriksaan kadar haemoglobin
7.
Pemeriksaan Glukosa
8.
Pemeriksaan Protein urine
Perawatan antenatal sekurang-kurangnya dilakukan sebanyak 4 kali:
PEMERIKSAAN ABDOMEN
Palpasi abdomen merupakan bagian penting dalam pemeriksaan antenatal. Ini adalah langkah
paling mudah dan murah untuk menentukan adanya hambatan pertumbuhan janin,
pertumbuhan berlebihan pada kasus hidramnion atau kehamilan kembar.
BATASAN LETAK JANIN
Letak: Hubungan antara sumbu panjang ibu dengan sumbu panjang janin
Misal: Letak lintang , letak memanjang , letak oblique
Sikap: Fleksi atau defleksi (dalam keadaan normal semua persendian janin intrauterin dalam
keadaan fleksi)
LEOPO
OLD I
Leopoldd I
Pemerikksa berdiri dikanan daan menghaddap ke arah muka pasieen.
Kedua telapak
t
tanggan ditempaatkan pada fundus
f
uterri.
Untuk menentukan
m
n tinggi funndus uteri dan
d ditentukkan bagian janin yangg berada dii fundus
uteri.
LEOPO
OLD II
Leopoldd II
Pemerikksa berdiri dikanan daan menghaddap ke arah muka pasieen.
Kedua telapak
t
tanggan ditempaatkan pada sisi kiri dan
n kanan uteerus setingggi umbilikus..
Untuk menentukan
m
n lokasi baggian pungguung janin da
an bagian-bagian kecil janin.
LEOPOLD III
Leopold III
Pemeriksaan ini dilakukan dengan perlahan oleh karena dapat menyebabkan perasaan tak
nyaman bagi pasien.
Pemeriksa berdiri di kanan dan menghadap ke arah muka pasien, bagian terendah janin
dipegang di antara ibu jari dan telunjuk tangan kanan.
Untuk menentukan apa yang menjadi bagian terendah janin dan apakah sudah mengalami
engagement atau belum.
LEOPOLD IV
Leopold IV
Pemeriksa berdiri dikanan dan menghadap ke arah kaki pasien.
Kedua telapak tangan ditempatkan disisi kiri dan kanan bagian terendah janin.
Digunakan untuk menentukan sampai berapa jauh derajat desensus janin.
PALPASI ABDOMEN
DESENSUS
PERLIMAAN
UNTUK
MENENTUKAN
DERAJAT
2. Letak janin
Posisi adalah hubungan antara bagian terendah janin (denominator) dengan panggul ibu
Bila janin pada posisi posterior (occiput berputar kearah sacrum dan muka janin berputar ke
depan), maka persalinan akan berlangsung lebih lama.
Pada presentase belakang kepala (vertex) yang terjadi pada proses persalinan normal per
vaginam, maka ubun ubun kecil berada di bagian anterior.
Engagement biasanya terjadi saat inpartu dan apakah bagian terendah sudah masuk dalam
pintu atas panggul atau belum dan sampai berapa jauh masuknya bagian terendah janin
(presentasi) dalam pintu atas panggul digunakan pemeriksaan Leopold IV.
Bagian terendah janin sudah masuk PAP Bagian
terendah janin masih belum masuk PAP
Referensi:
Hanifa Wiknjosatro, Abdul Bari Saifuddin, dan Trijatmo Rachimhadhi. 2006. Ilmu
Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
Mochtar, Rustam.1998. Sinopsis Obstetri: Obstetri Fiologi/Obstetri Patologi jilid 1. Jakarta:
ECG.
Vander, Sherman, Luciano. 2005.Parturition: Human Physiology, Ed. 9, McGraw-Hill, New
York: 677-678.
Cuningham dkk. Normal Labor and Delivery: Williams Obstetrics. 22nd Ed. USA.
McGraw-Hill: 410-440, 2005.
Lukas, Efendi. 2009. Bahan kuliah: Fisiologi Kehamilan. Makassar: Universitas Hasanuddin
143.C. Herpes genital
Pembahasan:
Varicella atau sering disebut cacar air merupakan suatu penyakit infeksi akut yang
disebabkan oleh virus Varicella zoster dengan manifestasi klinis berupa vesikel pada
kulit dan mukosa.
Gejala klinis
- Masa inkubasi 14-16 hari (10-21 hari)
- Gejala prodormal: demam subfebris, malaise, cephalgia, anoreksia
- Eritema berubah menjadi papula kemudian vesikel dengan penyebearan sentrifugal
dari badan ke wajah dan ekstremitas dengan gambaran polimorfik
- Vesikel berisi cairan jernih kemudian pecah membentuk krusta
Diagnosis: gejala klinis, laboratorium: pengecatan giemsa dan hematiksilin (mengambil
bahan kerokan dasar vesikel)
Herpes Zooster: penyakit yang disebabkan oleh reaktivasi infeksi laten endogen virus
varisela-zoster yang terjadi setelah infeksi primer. Biasanya didahului dengan gejala
prodormal seperti demam, pusing, malaise serta nyeri pada otot tulang, gatal dan pegal.
Awalnya timbul eritema kemudain menjadi vesikel berkelompok dengan dasar kulit
eritematosa dan edema. Vesikel berisi cairan jernih, kemudian menjadi keruh dan dapat
menjadi pustul dan krusta. Predileksi bersifat dermatom sesuai tempat persyarafan dan
unilateral.
Herpes Simpleks: penyakit yang disebabkan oleh virus Herpes Simpleks (HSV) tipe 1
atau 2, sering bersifat rekurens, bersifat seumur hidup, virus berdiam di jaringan syaraf
tepatnya di ganglia dorsalis.
Klasifikasi: Herpes simpleks episode pertama lesi primer, herpes simpleks episode
pertama lesi non primer, herpes simpleks rekuren, herpes simpleks asimtomatik.
- Herpes simpleks episode pertama lesi primer
Kelainan kulit berupa vesikel/erosi/ulkus dangkal berkelompok, dengan dasar
eritematosa disertai rasa nyeri. Dapat disertai disuria, duh tubuh vagina atau uretra,
dapat disertai keluhan sistematik, demam, sakit kepala, nyeri otot, nyeri dan
pembengkakan inguinal. Terdapat keluhan neuropati, pembengkakan lesi baru masih
berlangsung selama 10 hari.
- Herpes simpleks episode pertama lesi non primer
Umumnya lebih sedikit dan lebih ringan dibandingkan dengan infeksi primer.
Lesi yang tidak diobati dapat berlangsung 10-14 hari serta jarang disertai duh tubuh
genital atau disuria, keluhan sistemik dan neuropati.
- Herpes Simpleks rekuren
Lesi lebih sedikit, bersifat lokal, unilateral, lebih singkat dan menghilang
selama 5 hari, dapat didahului oleh keluhan parastesia 1-2 hari sebelum timbul lesi
dan umumnya mengenai daerah yang sama yaitu penis, vulva, anus, atau bokong.
Kelainan pada kulit dapat disertai kelainan pada bibir dan selaput lendir mulut berupa
erosi dan ekskoriasi. Lesi kulit dimulai dengan makula dan papul eritematosa kecil
(morbiliformis) disertai bula lunak (flaccid) yang dengan cepat meluas dan bergabung.
Pada NET yang penting ialah terjadinya epidermolisis, yaitu epidermis terlepas dari
dasarnya dengan gambaran klinisnya menyerupai luka bakar.
Sindrom Stevens-Johnson adalah sindrom kelainan kulit berupa eritema, vesikel/bula,
dapat disertai purpura yang mengenai kulit, selaput lendir orifisium, dan mata dengan
keadaan umum bervariasi dari baik sampai buruk.
Sumber:
- Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani WI, Setiowulan W. Erupsi Alergi Obat. In:
Kapita Selekta Kedokteran. Volume 2. 3rd edition. Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Media Aesculapius. Jakarta. 2002. p:133-139
- Hamzah M. Erupsi Obat Alergik. In: Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 3rd edition.
Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2002.
p:139-142
145.A. Malaria cerebral
Kasus ini mengarah pada diagnosis malaria. Faktor risiko dalam kasus ini adalah baru
kembali dari Papua (daerah endemis malaria), pemeriksaan fisik: suhu 40 0C, Laboratorium
Hb 9,6 g/dl anemia.
Pasien tidak sadar mungkin dapat terjadi 2 hal:
Menandakan infeksi parasit malaria mencapai otak malaria cerebral
Koma hipoglikemi
Dengan demikian malaria pada pasien ini termasuk malaria dengan komplikasi. Malaria
dengan komplikasi digolongkan sebagai malaria berat, dimana menurut definisi WHO
(2006), merupakan infeksi Plasmodium falciparum stadium aseksual dengan satu atau lebih
komplikasi berupa: malaria cerebral, anemia berat (Hb < 5), gagal ginjal akut, edema paru,
hipoglikemi, syok, perdarahan, kejang, asidosis dan makroskopis hemoglobinuria
Malaria serebral
Merupakan komplikasi yang paling berbahaya, mortalitasnya 20-50% dengan
pengobatan. Gejalanya ditandai dengan apatis, disorientasi, somnolen, delirium, stupor,
koma dan perubahan tingkah laku yang dapat terjadi perlahan dalam beberapa hari atau
mendadak dalam waktu hanya 1-2 jam, sering disertai kejang. Pada malaria serebral
diduga terjadi sumbatan kapiler pembuluh darah otak menyebabkan anoksi otak.
Sumbatan tersebut terjadi karena eritrosit yang mengandung parasit sulit melalui
pembuluh kapiler karena proses sitoadherensi dan sekuestrasi parasit.
Hipoglikemi (gula darah < 40 mg/dl)
Pada orang dewasa sering berhubungan dengan pengobatan kina. Hipoglikemi juga sering
pada wanita hamil khususnya pada primipara. Hipoglikemia dapat tanpa gejala pada
penderita dengan keadaan umum yang berat ataupun penurunan kesadaran. Penyebab
terjadinya hipoglikemi yang paling sering ialah karena pemberian terapi kina (dapat
terjadi 3 jam setelah infus kina). Penyebab lainnya ialah kegagalan glukoneogenesis pada
penderita dengan ikterik, hiperparasitemia oleh karena parasit mengkonsumsi karbohidrat,
dan karena TNF alfa yang meningkat. Kondisi hipoglikemia juga dapat menyertai malaria
cerebral.
Referensi:
1. Regional Guideline on The Management of Severe Falcifarum Malaria in Level II Hospital.
World Health Organization South East-Asia Regional Office New Delhi 2004.
2. Paul NH. 2007.Malaria. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.FKUI: 1732-44.
3. Iskandar Z, Budi S. 2007.Malaria berat. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. FKUI:1745-48
Kriteria SLE dari the American College of Rheumatology (ACR), tahun 1997:
Kriteria
Malar rash
Discoid rash
Fotosensitivitas
Ulkus oral
Arthritis
Serositis
Gangguan Renal
Kelainan neorologis
Kelainan hematologis
Batasan
Erythema yang fixed,datar/meninggi.
Letaknya pada malar, biasanya tidak
mengenai lipatan nasolabial.
Lesi erythemetous yang meninggi dengan
squama keratotic. Kadang tampak scar yang
atofi.
Diketahui melalui anamnesa dan
pemeriksaan fisik.
Ulserasi dimulut atau nasofaring,biasanya
tidak nyeri.
Arthritis nonerosive melibatkan 2 atau lebih
dari sendi perifer. Ditandai dengan nyeri,
bengkak, atau efusi
Pada pleuritis didapatkan riwayat nyeri
pleural, pleural friction rub, efusipleura.
Pada pericarditis tampak pada ECG,
gesekan pericard,efusi pericardium.
proteinuria > 0,5 g/hari atau >3+, atau
cellular cast berupa eritrosit, hemoglobin
granular, tubular, atau campuran.
Psikosis
Kejang-kejang (tanpa sebab yang jelas).
Anemia hemolitic
Leukopenia(< 4000/l) pada dua kali
pemeriksaan
Limfopenia (< 1500/l) pada dua kali
pemeriksaan
Trombositopenia (< 100.000/l) pada dua
kali pemeriksaan
Kelainan imunologis
Anti ds-DNA , Anti-Sm (antibody terhadap
antigen otot polos) , Antifosfolipid antibody,
STS false positve.
Antibodi antinuclear
ANA test +
Penderita dikatakan mempunyai SLE jika terdapat minimal 4 kriteria terpenuhi, baik secara
bersamaan ataupun simultan, selama observasi.
Referensi:
1. Current Medical Diagnosis and Treatment .2004. Chapter 20:Arthritis and Musculosceletal
disorder.
2. Perhimpunan Reumatologi Indonesia.2011. Diagnosis dan Pengelolaan Lupus Eritematosus
Sistemik.
147.C. Salbutamol
Salbutamol adalah obat golongan 2-adrenergic receptor agonist kerja singkat yang
ditujukan untuk mengurangi bronkospasme pada penyakit seperti asthma dan PPOK.
Reseptor 2-adrenergic terdapat di seluruh tubuh pada organ-organ otot polos dan skelet,
jantung serta pembuluh darah, saluran pencernaan, dan mata.
Pada sistem kardiovaskular, aktivasi reseptor 2-adrenergic menyebabkan peningkatan
kontraktilitas dan frekuensi denyut jantung (Chronotropic dan Inotropic positif), dan
pada pembuluh darah menyebabkan dilatasi, sehingga dapat menyebabkan gejala-gejala
sebagaimana yang terjadi pada kasus.
Efek samping paling sering yang ditimbulkan salbutamol adalah tremor, anxietas, nyeri
kepala, kram otot, dan palpitasi. Efek lain yang mungkin terjadi dengan frekuensi lebih
jarang adalah takikardia, aritmia, iskemik myokard, dan gangguan tidur.
Referensi:
Selective beta2 agonistsside effects". British National Formulary (57 ed.).
London: BMJ Publishing Group Ltd and Royal Pharmaceutical Society Publishing.
March 2008.
148.C. 1 2 tahun
Pada prinsipnya testis yang tidak berada di skrotum harus diturunkan ke tempatnya, baik
dengan cara medikamentosa maupun pembedahan. Dengan asumsi bahwa jika dibiarkan,
testis tidak dapat turun sendiri setelah usia 1 tahun sedangkan setelah usia 2 tahun terjadi
kerusakan testis yang cukup bermakna, maka saat yang tepat untuk melakukan terapi adalah
pada usia 1 tahun 2 tahun.
Cara penanganan Maldesensus Testis:
1. Medikamentosa
Pemberian hormonal pada kriptorkismus banyak memberikan hasil terutama pada kelainan
bilateral, sedangkan pada kelainan unilateral hasilnya masih belum memuaskan. Obat yang
sering dipergunakan adalah hormon hCG yang disemprotkan intranasal.
Hormon yang diberikan:
a. HCG
Hormon ini akan merangsang sel Leydig memproduksi testosteron. Dosis: Menurut
Mosier (1984): 1000 4000 IU, 3 kali seminggu selama 3 minggu. Garagorri (1982) : 500 1500 IU, intramuskuler, 9 kali selang sehari. Ahli lain memberikan 3300 IU, 3 kali selang
sehari untuk UDT unilateral dan 500 IU 20 kali dengan 3 kali seminggu. Injeksi HCH tidak
boleh diberikan tiap hari untuk mencegah desensitisasi sel Leydig terhadap HCG yang akan
menyebabkan steroidogenic refractoriness.
Hindari dosis tinggi karena menyebabkan efek refrakter testis terhadap HCG, udem
interstisial testis, gangguan tubulus dan efek toksis testis. Kadar testosteron diperiksa pre dan
post unjeksi, bila belum ada respon dapat diulang 6 bulan berikutnya. Kontraindikasi HCG
ialah UDT dengan hernia, pasca operasi hernia, orchydopexy, dan testis ektopik. Miller (16)
memberikan HCG pada pasien sekaligus untuk membedakan antara UDT dan testis retraktil.
Hasilnya 20% UDT dapat diturunkan sampai posisi normal, dan 58% retraktil testis dapat
normal.
b. LHRH
Dosis 3 x 400 ug intranasal, selama 4 minggu. Akan menurunkan testis secara komplet
sebesar 30 64 %.
c. HCG kombinasi LHRH
Dosis : LHRH 3 x 400 ug, intranasal, 4 minggu . Dilanjutkan HCG intramuskuler 5 kali
pemberian selang sehari. Usia kurang 2 tahun: 5 x 250 ug, 3 -5 tahun: 5 x 500 ug, di atas 5
tahun: 5 x 1000 ug.
Respon terapi: penurunan testis 86,4%, dengan follow up 2 tahun kemudian keberhasilannya
bertahan 70,6%.
2. OPERASI
Tujuan operasi pada kriptorkismus adalah:
1. Mempertahankan fertilitas,
2. Mencegah timbulnya degenerasi maligna,
3. Mencegah kemungkinan terjadinya torsio testis,
4. Melakukan koreksi hernia
5. Secara psikologis mencegah terjadinya rasa rendah diri karena tidak mempunyai testis.
Operasi yang dikerjakan adalah orkidopeksi yaitu meletakkan testis ke dalam skrotum dengan
melakukan fiksasi pada kantong sub dartos.
149.D. Silicosis
PNEUMOCONIOSIS
Pneumoconiosis adalah penyakit saluran pernapasan yang disebabkan oleh adanya partikel
(debu) yang masuk atau mengendap di dalam paru-paru. Pneumoconiosis terdiri atas
beberapa jenis, tergantung dari jenis partikel yang masuk atau terhisap ke dalam paru-paru.
Beberapa contohnya adalah:
1. Silicosis
Penyakit ini disebabkan oleh debu silika bebas, berupa SiO2 yang terisap masuk ke
dalam paru-paru kemudian mengendap. Debu silika bebas ini banyak terdapat pada
pabrik besi dan baja, keramik, pengecoran beton, bengkel yang mengerjakan besi
(mengikir, menggerinda, dll). Silicosis ditandai dengan sesak napas yang disertai
batuk tidak berdahak. Silicosis merupakan penyakit yang terparah di antara
semua pneumoconiosis, karena bersigat progresif, yaitu jika pajanan dihentikan maka
pneumoconiosis tetap akan berlanjut.
2. Asbestosis
Adalah penyakit kerja yang diakibatkan oleh debu atau serat asbes yang mencemari
udara. Asbes adalah campuran dari berbagai macam silikat, namun yang paling utama
adalah Magnesium silikat. Asbes dapat menyebabkan tumor pada pleura yang
disebutmesotelioma. Mesotelioma bersifat ganas, tidak dapat disembuhkan dan
biasanya terjadi setelah pemaparan selama 30-40 tahun. Debu asbes banyak dijumpai
pada pabrik dan industri yang menggunakan asbes, pabrik beratap asbes, dsb.
3. Bissynosis
Adalah penyakit pneumoconiosis yang disebabkan oleh debu kapas atau serat kapas di
udara yang kemudian terhisap ke dalam paru-paru. Banyak dijumpai pada pabrik
pemitalan kapas, pabrik tekstil, perusahaan dan pergudangan kapas.
4. Anthracosis
Adalah penyakit saluran pernapasan yang disebabkan oleh debu karbon
(anthracit).Anthracit bersifat inert dengan kata lain hampir tidak bereaksi dengan
paru-paru (Antaruddin, 2003 dalam Wibawa, 2008). Penyakit ini biasanya dijumpai
pada pekerja-pekerja tambang batu bara atau pada pekerja yang banyak melbatkan
penggunaan batu-bara.
SILIKOSIS
Silikosis (Silicosis) adalah suatu penyakit saluran pernapasan akibat menghirup debu
silika, yang menyebabkan peradangan dan pembentukan jaringan parut pada paru-paru.
Silikon dioksida (silika, SiO2) merupakan senyawa yang umum ditemui dalam
kehidupan sehari-hari dan banyak digunakan sebagai bahan baku industri elektronik. Silikon
dioksida kristalin dapat ditemukan dalam berbagai bentuk yaitu sebagai quarsa, kristobalit
dan tridimit. Pasir di pantai juga banyak mengandung silika. Silikon dioksida terbentuk
melalui ikatan kovalen yang kuat, serta memiliki struktur lokal yang jelas: empat atom
oksigen terikat pada posisi sudut tetrahedral di sekitar atom pusat yaitu atom silikon.
Terdapat 3 jenis silikosis:
1. Silikosis kronis simplek, terjadi akibat pemaparan sejumlah kecil debu silika dalam jangka
panjang (lebih dari 20 tahun). Nodul-nodul peradangan kronis dan jaringan parut akibat
silika terbentuk di paru-paru dan kelenjar getah bening dada.
2. Silikosis akselerata, terjadi setelah terpapar oleh sejumlah silika yang lebih banyak
selama waktu yang lebih pendek (4-8 tahun). Peradangan, pembentukan jaringan parut
dan gejala-gejalanya terjadi lebih cepat.
3. Silikosis akut, terjadi akibat pemaparan silikosis dalam jumlah yang sangat besar, dalam
waktu yang lebih pendek. Paru-paru sangat meradang dan terisi oleh cairan, sehingga
timbul sesak napas yang hebat dan kadar oksigen darah yang rendah.
Pada silikosis simplek dan akselerata bisa terjadi fibrosis masif progresif. Fibrosis ini
terjadi akibat pembentukan jaringan parut dan menyebabkan kerusakan pada struktur paru
yang normal.
PENYEBAB
Silikosis terjadi pada orang-orang yang telah menghirup debu silika selama beberapa
tahun. Silika adalah unsur utama dari pasir, sehingga pemaparan biasanya terjadi pada:
buruh tambang logam
Penderita silikosis memiliki resiko tinggi menderita tuberkulosis (TBC), sehingga dianjurkan
untuk menjalani tes kulit secara rutin setiap tahun. . Silika diduga mempengaruhi sistem
kekebalan tubuh terhadap bakteri penyebab TBC. Jika hasilnya positif, diberikan obat anti
TBC.
PENCEGAHAN
Silicosis dapat dicegah dengan memastikan kadar silika selalu di bawah ambang
batas. Itu sebab, dust sampling (uji debu) perlu dilakukan berkala untuk memantau kadar
silika pada suatu area kerja. Jika ditemukan kadar di atas ambang batas, tindakan perbaikan
mesti dilakukan.
Tindakan pencegahan paling umum adalah dengan membasahi permukaan tanah dan
bijih. Mesin-mesin yang berpotensi menimbulkan debu (mis: belt conveyor) juga mesti diberi
pelindung agar debu tidak tersebar. Sedang di tambang bawah tanah, ventilasi yang cukup
merupakan prasyarat penting untuk mengurangi kadar debu.
Agar perlindungan menjadi maksimal, pekerja mesti dibekali dengan respirator
(masker anti debu). Respirator dilengkapi dengan filter hingga mampu mencegah partikel
debu terhirup ke dalam paru-paru.
150.A. Amoxicillin, Klaritomicin, Omeprazole
Infeksi Helicobacter pylori pada sauran cerna bagian ats mempunyai variasi klinis yang
beragam mulai dari asimptomatik hingga tukak peptic. Kuman H. pylori memiliki enzim
urease yang dapat memecah ureum menjadi ammonia yang bersifat basa. Diagnostik
adanya H.pylori dapat dilakukan secara non-invasif dan invasive. Secara non-invasif
dapat dilakukan tes serologi dan urea breath test (UBT). Pemeriksaan invasif adalah
gastroskopi, histopatologi, kultur. Pemeriksaan UBT merupakan pemeriksaan gold
standart pemeriksaan non-invasif untuk menegakkan diagnosis infeksi H.pylori.
Prinsip terapi eradikasi Helicobacter pylori sebagai berikut:
Terapi lini pertama
Terapi diberikan selama 1 minggu. Urutan prioritas sebagai berikut:
PPI + Amoksisilin + Klaritromisin
PPI + Metronidazol + Klaritromisin
PPI + Metronidazol + Tetrasiklin
Dosis yang diberikan adalah:
OBAT
DOSIS
Omeprazole
2 x 20 mg
Lansoprazole
2 x 30 mg
Rabeprazole
2 x 10 mg
Esomeprazole
2 x 40 mg
Amoksisilin
2 x 100 mg / hari
Klaritromisin
2 x 500 mg / hari
Metronidazol
3 x 500 mg / hari
Tetrasiklin
4 x 250 mg / hari
Terapi lini kedua
Terapi lini kedua diberikan jika terapi lini pertama gagal. Kriteria gagal adalah
terdapat hasil positif H.pylori pada pemeriksaan Urea Breath Test/HpSA atau
histopatologi setelah 4 minggu pasca terapi.
Urutan prioritas sebagai berikut:
Collodial bismuth subcitrate + PPI + Amoksisilin + Klaritromisin
Collodial bismuth subcitrate + PPI + Metronidazol + Klaritromisin
Collodial bismuth subcitrate + PPI + Metronidazol + Tetrasiklin
Referensi:
Sudoyo, A.W et al. 2006. Ilmu Penyakit Dalam Ed.IV. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
151.D. Clostridium botulinum
PATOGEN PENYEBAB KERACUNAN MAKANAN
Clostridium botulinum
Clostridium
Staphylococcus
perfringens
aureus
Morfologi
Gram positif
Gram positif
Gram positif
Spora tahan panas
Endospora (+)
Spora (-)
Tidak tahan asam
Toksin
Toksin botulinum
Enterotoksin di usus
Toksin tahan panas
Termolabil
Neurotoksik
Transmisi
Makanan kaleng yang
Bahan pangan kering
Makanan kaya
dikemas tidak sempurna
protein
Panganan kaleng yang
Daging mentah
Makanan yang
berasam rendah
dikonsumsi keadaan
dingin
Makanan yang
disimpan di suhu
ruangan
Makanan pada
lemari pendingin
yang suhunya
kurang rendah
Muncul
12-36 jam
8-24 jam
4-6 jam
gejala
Manifestasi
Muntah
Nyeri perut
Muntah
klinis
Pandangan berganda
Diare
Diare
Nyeri perut
Mual
Hilang nafsu makan
Kram perut
Paralisisdaerah mata,
faring, laring, dan otot
pernapasan
Lemah
Distensi abdomen
Demam ringan
Referensi:
1. Muliwan, S.W. 2009. Bakteri Anaerob Yang Erat Kaitannya Dengan Problem di
Klinik : Diagnosis dan Penatalaksanaan. Jakarta: EGC
2. Badan POM RI. Keracunan Pangan Akibat bakteri Patogen. Diunduh dari:
http://ik.pom.go.id/v2012/wp-content/uploads/2011/11/Keracunan-Pangan-AkibatBakteri-Patogen3.pdf
152.C. NaCl 0,9% 500 cc
Resume klinis pada kasus:
- Pasien penurunan kesadaran
- Riwayat Diabetes melitus (+)
- Pemeriksaan fisik: TD 180/100 mmHg, GDS 530
Pasien pada kasus ini mengalami koma ketoasidosis diabetikum, yang merupakan komplikasi
akut diabetes yang ditandai dengan peningkatan kadar glukosa darah yang tinggi (300-600
mg/dL),disertai dengan adanya tanda dan gejala asidosis dan plasma keton(+) kuat.
Manajemen Ketoasidosis Diabetikum (KAD)
Prioritas utama pada penatalaksanaan KAD adalah terapi cairan. Resusitasi cairan hendaknya
dilakukan secara agresif.
Target : penggantian cairan sebesar 50% dari kekurangan cairan dalam 8-12 jam pertama dan
sisanya dalam 12-16 jam berikutnya.
Total kekurangan cairan pada pasien KAD sebesar 100 ml/kgBB, atau sebesar 5-8 liter.
Pada pasien dewasa, terapi cairan awal langsung diberikan untuk ekspansi volume cairan
intravaskular dan ekstravaskular dan menjaga perfusi ginjal.
Tidak ada uji klinik yang membuktikan kelebihan pemakaian salah satu jenis cairan.
Kebanyakan ahli menyarankan pemakaian cairan fisiologis (NaCl 0,9%) sebagai terapi awal
untuk resusitasi cairan.
Protokol penatalaksanaan KAD dan HHS (Hiperglikemi Hiperosmolar State)
Mulai 1L NaCl 0,9% per jam.
Kriteria diagnostik KAD: GDS 250 mg/dl, arterial pH 7.3,bicarbonate 15 mEq/l, dan
ketonuria sedang atau ketonemia.
Kriteria diagnostik HHS: serum glucose 600 mg/dl, arterial pH _7.3, serum
bicarbonate 15 mEq/l, dan minimal ketonuria and ketonemia. 1520 ml/kg/h; serum
Na harus dikoreksi pada keadaan hiperglikemia (setiap 100mg/dl glukosa 100 mg/dl,
tambahkan 1.6 mEq untuk kereksi sodium (Na)).
Bwt, body weight; IV, intravenous; SC,subcutaneous.
-
Referensi:
1. American Diabetes Association. Hyperglycemic crisis in diabetes. Diabetes Care 2009.
2. Alberti KG.2004. Diabetic acidosis, hyperosmolar coma, and lactic Acidosis. In: Becker
KL, editor. Principles and practice of endocrinology and metabolism. 3rd ed.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
3. Ennis ED, Kreisberg RA. 2000. Diabetic ketoacidosis and the hyperglycemic
hyperosmolar syndrome. In: LeRoith D, Taylor SI, Olefsky JM, editors. Diabetes mellitus
a fundamental and clinical text. 2nd ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
153.E. Tes Rinne kedua telinga negatif, tidak ada lateralisasi
Berdasarkan timbulnya keluhan dan tanda adanya perforasi membrane timpani di bagian
sentral pada kedua telinga maka kasus pada soal mengarah pada diagnosis otitis media
supuratif kronis. Gambaran klinis yang muncul pada OMSK salah satunya adalah adanya
gangguan pendengaran. Gangguan pendengaran yang sering muncul adalah adanya tuli
knduktif dan sebagian kecil adalah tuli campuran. Gangguan bervariasi namun jarang
mencapai 50dB. Perforasi sentral (sub total) membrane timpani adalah letak perforasi di
sentral dan pars tensa membrane timpani serta seluruh tepi perforasi masih mengandung
sisa membrane timpani.
Tes Rinne
Positif
Tes Weber
Tidak ada lateralisasi
Negatif
Lateraisasi ke telinga
yang sakit
Lateralisasi ke telinga
yang sehat
Positif
Tes Swabach
Sama dengan
pemeriksa
Memanjang
Diagnosis
Normal
Tuli konduktif
Memendek
Tuli sensorineural
Sumber:
1. Soetirto, I et all. 2009. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala
dan Leher, 6th edn. Jakarta: Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hlm
17-18.
2. Djaafar, Zainul A et all. 2009. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Kepala dan Leher, 6th edn. Jakarta: Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Hlm 69-74.
3. Boies, Lawrence R. 1997. Buku Ajar penyakit THT, Jakarta: EGC. Hlm 107-118.
154.C. Miopia tinggi
Berdasarkan tingginya dioptri, miopia dibagi dalam:
1. Miopia sangat ringan, di mana miopia sampai dengan 1 dioptri
2. Miopia ringan, di mana miopia antara1-3 dioptri
3. Miopia sedang, di mana miopia antara 3-6 dioptri
4. Miopia tinggi, di mana miopia 6-10 dioptri
5. Miopia sangat tinggi, di mana miopia >10 dioptri
Komplikasi pada miopia tinggi berupa ablasio retina, perdarahan vitreous, katarak,
perdarahan koroid dan juling esotropia atau juling ke dalam biasanya mengakibatkan mata
berkonvergensi terus-menerus. Bila terdapat juling ke luar mungkin fungsi satu mata telah
berkurang atau terdapat ambliopia.
Referensi:
Ilyas S, Tanzil M, Salamun dkk. Sari Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: Balai Penerbit FKUI,
2003:5.
155.B. Denial
Pembahasan:
Mekanisme koping adalah suatu pola untuk menahan ketegangan yang mengancam
dirinya (pertahanan diri/maladaptif) atau untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi
(mekanisme koping/adaptif).
- Denial (Fase Penyangkalan dan Pengasingan Diri)
Reaksi pertama setelah mendengar, bahwa penyakitnya diduga tidak dapat
disembuhkan lagi adalah, "Tidak, ini tidak mungkin terjadi dengan saya."
Penyangkalan ini merupakan mekanisme pertahanan yang biasa ditemukan pada
hampir setiap pasien pada saat pertama mendengar berita mengejutkan tentang
keadaan dirinya. Hampir tak ada orang yang percaya, bahwa kematiannya sudah
dekat, dan mekanisme ini ternyata memang menolong mereka untuk dapat mengatasi
shock khususnya kalau peyangkalan ini periodik. Normalnya, pasien itu akan
memasuki masa-masa pergumulan antara menyangkal dan menerima kenyataan,
sampai ia dapat benar-benar menerima kenyataan, bahwa kematian memang harus ia
hadapi.
Anger (Fase Kemarahan)
Jarang sekali ada pasien yang melakukan penyangkalan terus menerus. Masanya tiba
dimana ia mengakui, bahwa kematian memang sudah dekat. Tetapi kesadaran ini
seringkali disertai dengan munculnya ketakutan dan kemarahan. "Mengapa ini terjadi
dengan diriku?", "Mengapa bukan mereka yang sudah tua, yang memang hidupnya
sudah tidak berguna lagi?" Kemarahan ini seringkali diekspresikan dalam sikap rewel
dan mencari-cari kesalahan pada pelayanan di rumah sakit atau di rumah. Bahkan
kadang-kadang ditujukan pada orang-orang yang dikasihinya, dokter, pendeta,
maupun Tuhan. Seringkali anggota keluarga menjadi bingung dan tidak mengerti apa
yang harus dilakukan. Umumnya mereka tidak menyadari, bahwa tingkah laku pasien
tidak masuk akal, meskipun normal, sebagai ekspresi dari frustasi yang dialaminya.
Sebenarnya yang dibutuhkan pasien adalah pengertian, bukan argumentasiargumentasi dari orang-orang yang tersinggung oleh karena kemarahannya.
Bargaining (Fase Tawar Menawar)
Ini adalah fase di mana pasien akan mulai menawar untuk dapat hidup sedikit lebih
lama lagi atau dikurangi penderitaannya. Mereka bisa menjanjikan macam-macam
hal kepada Tuhan, "Tuhan, kalau Engkau menyatakan kasih-Mu, dan keajaiban
kesembuhan-Mu, maka aku akan mempersembahkan seluruh hidupku untuk
melayaniMu."
Depression (Fase Depresi)
Setelah ternyata penyakitnya makin parah, tibalah fase depresi. Penderita merasa
putus asa melihat masa depannya yang tanpa harapan. Sebagai orang percaya
memang mungkin dia mengerti adanya tempat dan keadaan yang jauh lebih baik
yang telah Tuhan sediakan di surga. Namun, meskipun demikian perasaan putus asa
masih akan dialami.
Acceptance (Fase Menerima)
Tidak semua pasien dapat terus menerus bertahan menolak kenyataan yang ia alami.
Pada umumnya, setelah jangka waktu tertentu mereka akan dapat menerima
kenyataan, bahwa kematian sudah dekat, sehingga mereka mulai kehilangan
kegairahan untuk berkomunikasi dan tidak tertarik lagi dengan berita dan persoalanpersoalan di sekitarnya. Pasien-pasien seperti ini biasanya membosankan dan mereka
seringkali dilupakan oleh teman-teman dan keluarganya, padahal kebutuhan untuk
selalu dekat dengan keluarga pada saat- saat terakhir justru menjadi sangat besar.
157.A. Baru
Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya
Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya disebut sebagai tipe pasien, yaitu:
1) Kasus baru
Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT
kurang dari satu bulan (4 minggu). Pemeriksaan BTA bisa positif atau negatif.
2) Kasus yang sebelumnya diobati
Kasus kambuh (Relaps)
Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan
telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA positif
(apusan atau kultur).
Kasus setelah putus berobat (Default)
Adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif.
Kasus setelah gagal (Failure)
Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif
pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.
3) Kasus Pindahan (Transfer In)
Adalah pasien yang dipindahkan ke register lain untuk melanjutkan pengobatannya.
4) Kasus lain:
Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan di atas, seperti yang:
i. tidak diketahui riwayat pengobatan sebelumnya,
ii. pernah diobati tetapi tidak diketahui hasil pengobatannya,
iii. kembali diobati dengan BTA negative.
Catatan:
TB paru BTA negatif dan TB ekstra paru, dapat juga mengalami kambuh, gagal, default
maupun menjadi kasus kronik. Meskipun sangat jarang, harus dibuktikan secara patologik,
bakteriologik (biakan), radiologik, dan pertimbangan medis spesialistik.
Referensi: Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Departemen Kesehatan
Republik Indonesia. 2011.
158.A. Kesehatan jiwa
Pembahasan:
Program wajib yang telah standar dilakukan sesuai pengamatan dan pengalaman penulis,
antara lain:
1. Promosi Kesehatan (Promkes)
a. Penyuluhan Kesehatan Masyarakat
b. Sosialisasi Program Kesehatan
c. Perawatan Kesehatan Masyarakat (Perkesmas)
2. Pencegahan Penyakit Menular (P2M)
a. Surveilens Epidemiologi
3.
4.
5.
6.
b. Pelacakan Kasus: TBC, Kusta, DBD, Malaria, Flu Burung, ISPA, Diare, IMS
(Infeksi Menular Seksual), Rabies
Program Pengobatan
a. Rawat Jalan Poli Umum
b. Rawat Jalan Poli Gigi
c. Unit Rawat Inap: Keperawatan, Kebidanan
d. Unit Gawat Darurat (UGD)
e. Puskesmas Keliling (Puskel)
Kesehatan Ibu dan Anak (KIA)
a. ANC (Antenatal Care), PNC (Post Natal Care), KB (Keluarga Berencana),
b. Persalinan, Rujukan Bumil Resti, Kemitraan Dukun
Upaya Peningkatan Gizi
a. Penimbangan, Pelacakan Gizi Buruk, Penyuluhan Gizi
Kesehatan Lingkungan
a. Pengawasan SPAL (saluran pembuangan air limbah), SAMI-JAGA (sumber
air minum-jamban keluarga), TTU (tempat-tempat umum), Institusi
pemerintah
b. Survey Jentik Nyamuk
159.B. Rifampicin
Pasien TB dengan Diabetes Melitus harus dikontrol. Penggunaan Rifampisin dapat
mengurangiefektifitas obat oral anti diabetes (sulfonil urea) sehingga dosis obat anti
diabetes perlu ditingkatkan. Insulin dapat digunakan untuk mengontrol gula darah, setelah
selesai pengobatan TB, dilanjutkan dengan antidiabetes oral. Pada pasien Diabetes Mellitus
sering terjadi komplikasiretinopathy diabetika, oleh karena itu hati-hati dengan pemberian
etambutol, karena dapat memperberat kelainan tersebut.
Jadi obat TB yang harus diperhatikan pada penderita DM adalah Rifampicin dan
Ethambutol. Masalah yang muncul pada kasus ini lebih menekankan interaksi obat TB
dengan obat antidiabetik, sehingga jawaban yang tepat adalah Rifampicin.
Referensi:
Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis di Indonesia Edisi II Tahun 2011.
Obat ini mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati (glukoneogenesis), di
samping juga memperbaiki ambilan glukosa perifer. Terutama dipakai pada penyandang
diabetes gemuk.
Metformin dikontraindikasikan pada:
- Pasien dengan gangguan fungsi ginjal (serum kreatinin > 1,5 mg/dL) dan hati,
- Pasien-pasien dengan kecenderungan hipoksemia(misalnya penyakit serebro-vaskular,
sepsis, renjatan, gagal jantung).
Efek samping: metformin dapat memberikan efek mual. Untuk mengurangi keluhan
tersebut dapat diberikanpada saat atau sesudah makan.
Pioglitazon
Termasuk golongan tiazolidindion bekerja dengan berikatan pada Peroxisome
Proliferator Activated Receptor Gamma (PPAR-g), suatu reseptor inti di sel otot dan sel
lemak. Golongan ini mempunyai efek menurunkan resistensi insulin dengan
meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan ambilan
glukosa di perifer.
Tiazolidindion dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal jantung kelas I-IV karena
dapat memperberat edema/retensicairan dan juga pada gangguan faal hati. Pada pasien
yang menggunakan tiazolidindion perlu dilakukan pemantauan faal hati secara berkala.
Alfa glukosidase inhibitor/Penghambat Glukosidase Alfa (Acarbose)
Obat ini bekerja dengan mengurangi absorpsi glukosa di usus halus, sehingga mempunyai
efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan.
Acarbose tidak menimbulkan efek samping hipoglikemia. Efek samping yang paling
sering ditemukan ialah kembung, flatulens (74%), nyeri perut (19%), diare (31%), dan
peningkatan serum transaminases.
Repaglinid
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea, dengan penekanan
pada peningkatan sekresi insulin fase pertama.
Golongan ini terdiri dari 2 macam obat, yaitu Repaglinid (derivat asam benzoat) dan
Nateglinid (derivat fenilalanin).
Obat ini diabsorpsi dengan cepat setelah pemberian secara oral dan diekskresi secara
cepat melalui hati. Obat ini dapat mengatasi hiperglikemia post prandial.
Referensi:
1. Konsensus Pengendalian dan Pencegahan Diabetes Mellitus Tipe2 di Indonesia
2011. PERKENI (Perkumpulan Endokrinologi Indonesia) 2011.
2. Acarbose (Rx). http://reference.medscape.com/drug/precose-acarbose-342701#0
membuka jalan napas, ventilasi dan oksigenasi, serta sudah melakukan semua
pengobatan sesuai pedoman yang ada.
Penolong sudah mempertimbangkan bahwa penderita terpapar bahan beracun
atau mengalami overdosis obat yang akan menghambat susuna saraf pusat.
Kejadian henti jantung tidak disaksikan oleh penolong.
Penolong sudah meremak melalui monitor adanya asistol yang menetap selama
10 menit atau lebih.
Penderita yang tidak respons setelah dilakukan bantuan hidup jantung lanjut
setidaknya selama 20 menit.
Munculnya Return of Spontaneous Circulation (ROSC) atau kembalinya
aktifitas jantung dan pernapasan spontan setelah terjadi henti jantung.
*Tanda dari ROSC di antaranya pernapasan spontan, batuk, pergerakan tubuh,
denyut nadi teraba, dan tekanan darah terukur.
Menurut panduan kursus bantuan hidup dasar, tanda-tanda klinis kematian yang
irreversible seperti kaku mayat, lebam mayat, dan pembusukan merupakan keadaan di
mana RJP tidak dilaksanakan.
Referensi:
PERKI (2013), Kursus bantuan Hidup Jantung Lanjut. Perhimpunan Dokter Spesialis
Kardiovaskular Indonesia: Jakarta.
PERKI (2013), Kursus bantuan Hidup Jantung Dasar. Perhimpunan Dokter Spesialis
Kardiovaskular Indonesia: Jakarta.
Pada kasus di atas usia anak 3 tahun dengan berat badan 20 kg sehingga cairan yang
dibutuhkan adalah : (30 ml x 20 ) = 600 ml dalam 30 menit dan selanjutnya diberikan
(70 ml x 20 ) = 1.400 ml dalam 2,5 jam.
Sumber:
World Health Organization. 2013. Pedoman Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit
Rujukan Tingkat Pertama di Kabupaten. Jakarta: WHO Indonesia.
163.D. Penyakit Hirscprung
Anak tersebut mengalami penyakit Hirscprung oleh karena tidak adanya ganglion
Meissner dan Auerbach mengakibatkan usus yang bersangkutan tidak bekerja secara
normal. Peristaltik tidak mempunyai daya dorong, tidak produktif, sehingga usus
bersangkutan tidak ikut dalam proses evakuasi feses ataupun udara. Penampilan klinis
penderita sebagai gangguan pasase usus. Trias gejala adalah:
Keterlambatan evakuasi mekonium
Muntah hijau
Distensi abdomen
Pemeriksaan yang dilakukan dalam menunjang diagnosis adalah:
Foto polos abdomen dan pelvis
Pada proyeksi lateral dapat memperlihatkan gambaran usus berbentuk corong,
sebagai transisi antara bagian usus yang kolaps di sebelah distal dengan bagian
dilatasi proksimal yang persarafannya normal.
Enema barium
Usus tidak perlu dikosongkan terlebih dahulu. Barium tampak mengisi bagian yang
tidak berdilatasi, terus masuk ke bagian megakolon yang berdilatasi, melalui bagian
transisi yang khas berbentuk corong.
Biopsi rectal
Biopsi hisap melalui rectal untuk mencari sel ganglion submukosa. Biopsi jaringan
usus untuk mencari sel ganglion intermienterik.
Pemeriksaan tekanan rectal
Sumber:
1. Short, J.R. Sinopsis Pediatri. Tengerang : Penerbit Binarupa Aksara Pubisher. Hlm
244-246.
2. Kartono, D. Kumpula Kuliah Bedah. Tangerang: Penerbit Binarupa Aksara Pubisher.
Hlm 141.
3. Gambar dari : http://medicastore.com/penyakit/903/Penyakit_Hirschprung.html
164.A. Hidrokel
Hidrokel adalah penumpukan cairan yang berlebihan di antara lapisan parietalis dan viseralis
tunika vaginalis. Dalam keadaan normal, cairan yang berada di dalam rongga itu memang ada
dan berada dalam keseimbangan antara produksi dan reabsorbsi oleh sistem limfatik di
sekitarnya.
Pasien mengeluh adanya benjolan di kantong skrotum yang tidak nyeri. Pada pemeriksaan
fisis didapatkan adanya benjolan di kantong skrotum dengan konsistensi kistus dan pada
pemeriksaan penerawangan menunjukkan adanya transiluminasi.
Torsio testis intravaginal terjadi karena korda spermatikus, juga testis, terpuntir bersama
tunika vaginalis. Torsio testis intravaginal lebih sering terjadi pada sisi kiri karena korda
spermatikus kiri lebih panjang daripada yang kanan sehingga lebih mudah terjadi puntiran.
Gejala yang timbul adalah rasa sakit yang sedang sampai berat pada testis yang torsio.
Kadang-kadang rasa sakit menjalar sepanjang korda spermatikus ke panggul atau abdomen
bagian bawah. Gejala penting yang sangat membantu adalah adanya nyeri testis yang hilang
timbul dengan hilangnya rasa sakit secara spontan dalam waktu singkat. Keluhan biasanya
disertai mual dan muntah.
Orchitis (orkitis) adalah infeksi pada salah satu atau kedua testis.
Penyebab Orchitis, antara lain:
Sebagian orchitis berhubungan dengan penyakit Gondongan (Mumps, Parotitis).
Disebutkan bahwa 30 % penderita Gondongan dapat mengalami Orchitis pada hari ke
4 hingga hari ke 7. Ini terjadi karena penjalaran infeksi melalui aliran getah bening.
Virus-virus lain yang berbungan dengan Orchitis di antaranya coxsackievirus,
varicella, dan echovirus.
Lokasi
Kuman penyebab
Gejala
Otitis Eksterna
Sirkumkripta
Mengenai kulit liang telinga
1/3 luar
Staphylococcus aureus atau
Staphylococcus albus
Pengobatan
Mengenai
kulit
liang
telinga 2/3 dalam
Pseudomonas
Staphylococcus albus
Eschericia coli
Nyeri hebat tidak sesuai Nyeri tekan tragus
besar bisul
Liang telinga sangat
sempit
Liang telinga sempit
Nyeri
muncul
saat KGB
regional
membuka mulut
membesar dan nyeri
tekan
Gangguan pendengaran
Sekret berbau
Jika furunkel besar
maka menyumbat liang
telinga
Antibiotika lokal
Membersihkan liang
telinga
Jika
dinding
tebal:
dilakuka
insisi Tampon antibiotic
kemudian
dipasang
drain untuk mengalirkan
nanah
Sumber:
Djaafar, Zainul A et all. 2009. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok
Kepala dan Leher, 6th edn. Jakarta: Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Hlm 64-77.
167.E. Sampo selenum sulfida 1,8% 10 menit sebelum mandi, 2x/seminggu, selama 7 hari
Pada kasus di atas, pasien terdiagnosis Pitiriasis Versikolor. Hal ini sesuai dengan
keluhan pasien berupa gatal, kelainan kulit yang terjadi, yaitu ditandai dengan adanya
makula hipo atau hiperpigmentasi dengan skuama halus di atasnya, serta predileksi
terutama pada daerah seboroik, yaitu tubuh bagian atas, leher, wajah dan lengan atas.
Pada pemeriksaan penunjang dengan KOH 10% tampak spora, blastospora dan hifa
pendek.
Penatalaksaan Pitiriasis Versikolor:
Topikal: sampo selenium sulfida 1,8% dioleskan diseluruh daerah yang terinfeksi selama
15-30menit sebelum mandi, 2-3x perminggu. Atau dengan sampo ketokonazol 2%,
sampo zinc pyrithione dengan cara pemakaian yang sama.
Sistemik: hal ini diberikan apabila lesi luas atau sulit untuk disembuhkan, yaitu dengan
ketokonazol 200mg/hari selama 10 hari.
168.A. Psoriasis
Psoriasis: peradangan kulit yang kronik residif yang ditandai dengan plak eritematosa,
diataasnya tertutup skuama kasar, transparan, berlapis-lapis disertai dengan adanya
fenomena tetesan lilin, Auspitz, dan Koebner.
Fenomena tetesan lilin ialah skuama yang warnanya berubah menjadi putih pada
goresan, seperti lilin yang digores, hal ini disebabkan terjadi perubahan indeks
bias. Menggores dapat dilakukan dengan pinggir gelas alas. (Istilah ini hanya
dikenal di Indonesia)
Pada fenomena Auspitz tampak serum atau darah berbintik-bintik yang disebabkan
oleh papilomatosis. Cara mengerjakannya yaitu skuama yang berlapis-lapis
tersebut dikerok, misalnya dengan pinggir gelas alas. Setelah skuamanya habis,
pengerokan harus dilakukan perlahan-lahan, jika terlalu dalam tidak akan terlihat
bintik perdarahan.
Fenomena Koebner terlihat pada letak lesi kulit pada psoriasis yang bersesuaian
dengan bagian tubuh yang sering terpajan trauma/gesekan (lutuu, siku,
lumbosakral).
Tinea Corporis: merupakan penyakit jamur superfisial yang disebabkan oleh kelompok
dermatofita (Trychopyton sp., Epidermophyton sp., dan Microsporum). Biasanya
mengenai pada kulit yang tidak berambut dengan keluhan gatal terutama saat berkeringat
dan secara klinis tampak lesi berbatas tegas, polisiklik, tepi aktif karena tanda
peradangan lebih jelas dan polimorfik yang terdiri atas eritema, skuama, dan kadang
papul dan vesikel di tepi, serta terdapat penyembuhan di tengah. Pada pemeriksaan
mikroskopis kerokan kulit dengan KOH tampak hifa panjang atau artrospora.
Pitiriasis Rosea: erupsi kulit yang akut dan sering dijumpai, bersifat swasirna, secara
khas dapat diawali dengan lesi pertama (herald patch) dan sering tanpa disertai gejala.
Heral patch biasanya berbatas tegas, berdiameter 2-4cm, berbetuk oval/bulat, berwarna
salmon/eritematosa atau hiperpigmentasi dengan skuama halus di bagian tepi perifer
plak. Lesi primer ini biasanya terletak dibagian badan yang tertutup baju, tetapi kadang
di leher atau ekstremitas proksimal. Lesi sekunder antara 2 hari-2 bulan setelah lesi awal,
tetapi umumnya dalam 2 minggu setelah plak primer. Erupsi simetris terutama pada
badan, leher dan ekstremitas proksimal. Morfologi lesi sekunder tidak khas , dapat
berupa makula tanpa skuama, maupun plak tidak khas. Terdapat 2 tipe utama lesi
sekunder, yaitu:
(1) Plak kecil menyerupai plak primer tetapi berukuran lebih kecil, sejajar dengan
aksis panjang lines of cleavage dengan distribusi seperti pola pohon cemara.
(2) Papul kecil, kemerahan, biasanya tanpa skuama yang secara bertahap bertambah
jumlahnya dan menyebar ke perifer.
Dermatitis Seboroik: penyakit kulit yang didasari oleh faktor konstitusi dengan
predileksi di daerah seboroik. Dermatitis ini dapat dimulai pada masa bayi berusia 2
minggu, menyembuh sebelum usia 1 tahun. Kelainan kulit berupa eritema dan
papuloskuama membentuk plakat eritemaskuamosa di tempat predileksi (daerah
seboroik), yaitu wajah, terutama alis dan nasolabial, skalp, retroaurikuler, sternal. Pada
bayi dan anak, relatif tidak gatal, dapat menyerupai dermatitis atopik tettapi skuama dan
krusta lebih berminyak. Di skalp krusta dapat menebal dan menyerupai topi. Pada orang
dewasa, kelainan kulit lebih kering tempat predileksi terutama daerah berambut atau
kepala dan gatal dirasakan bila berkeringat atau udara panas.
Tinea Intertriginosa: merupakan salah satu bentuk tinea pedis, keluhan yang tampak
berupa maserasi, skuamasi serta erosi, di celah-celah jari terutama jari IV dan jari V. Hal
ini terjadi disebabkan kelembaban di celah-ceIah jari tersebut membuat jamur-jamur
hidup lebih subur. Bila menahun dapat terjadi fisura yang nyeri bila kena sentuh. Bila
terjadi infeksi dapat menimbulkan selulitis atau erisipelas disertai gejala-gejala umum.
169.B. Impetigo Krustosa
Pembahasan:
Etiologi
Keluhan
Klinis
Pemeriksaan penunjang
Terapi
Etiologi
Usia
Keluhan
Kelainan Kulit
Nikolsky Sign
Impetigo Krustosa
Staphylococcus aureus dan
Streptococus hemoliticus
Anak pra sekolah
Gatal dan rasa tidak nyaman
Awal lesi berupa vesikel atau
pustul berdinding tipis yang
mudah pecah membentuk
krusta tebal kekuningan, lesi
dapat melebar 1-2cm disertai
lesi satelit di sekitarnya.
Positif
Impetigo Bulosa
Staphylococcus aureus dan Streptococus
hemoliticus
Anak sekolah
Gatal
Vesikel-bula kendor, berisi cairan jernih
dan dapat pula timbul hipopion di atas
kulit normal. Bula pecah meninggalkan
skuama anular dengan bagian tengah
eritem.
Negatif
Predileksi
Terapi
Daerah wajah,
mulut dan hidung
antibiotik
sampai terlihat gejala-gejala keracunan atropin yang ringan berupa wajah merah, kulit
dan mulut kering, midriasis dan takikardi. Kemudian atropinisasi ringan ini harus
dipertahankan selama 24 48 jam, karena gejala-gejala keracunan organofosfat biasanya
muncul kembali. Pada hari pertama mungkin dibutuhkan sampai 50 mg atropin.
Kemudian atropin dapat diberikan oral 1 2 mg selang beberapa jam, tergantung
kebutuhan.
Atropin akan menghialngkan gejala-gejala muskarinik perifer (pada otot polos dan
kelenjar eksokrin) maupun sentral. Pernapasan diperbaiki karena atropin melawan
brokokonstriksi, menghambat sekresi bronkus dan melawan depresi pernapasan di otak,
tetapi atropin tidak dapat melawan gejala kolinergik pada otot rangka yang berupa
kelumpuhan otot-otot rangka, termasuk kelumpuhan otot-otot pernapasan.
Sumber:
1. Frank C. Lu. Toksikologi Dasar. Edisi kedua. U.I. Press. Jakarta. 1995 : 266 268.
2. T. A. Gossel dkk. Principle of Clinical Toxicology. Second Ed. Raven Press. New
York. 1990 : 133 139.
3. Budiyanto, A. et all. (1997). Ilmu Kedokteran Forensik : Keracunan insektisida.
Jakarta : Bagian Kedokteran forensic Fakultas Keokteran Universitas Indonesia.
172.C. Artesunat 100 mg + Amodiakuin 400 mg dibagi 4 dosis selama 3 hari + Primakuin
hari I
Dalam kasus ini memenuhi Trias malaria, yaitu Dingin (menggigil), Demam, dan
Berkeringat.
Dari tetes darah tebalnya didapatkan gambaran:
Accole form
Khas Plasmodium Falciparum
stadium cincin (ring)
Pengobatan Lini Pertama Malaria falsiparum menurut berat badan dengan Artesunat +
Amodiakuin dan Primakuin:
Pada soal tidak didapatkan informasi mengenai berat badan sehingga pemberian terapi
didasarkan pada tabel menurut umurnya ( dalam kotak merah) yaitu Artesunat 2 tablet+
Amodiakuin 2 tablet perhari selama 3 hari, karena eliminasi waktu paruh adalah 2- 5 jam
maka dapat terbagi menjadi 4 dosis. Terapi artesunat harus dikombinasikan dengan
amodiakuin.
Daftar Pustaka :
Lampiran Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2013 Tentang Pedoman
Tata Laksana Malaria.
Vital sign (temperatur, denyu nadi, frekuensi napas, dan tekanan darah) dipantau
setidaknya setap 2-4 jam pada pasien tanpa syok dan setiap 1-2 jam pada pasien dengan
syok.
Pemeriksaan hematokrit serial setiap 4-6 jam pada kasus stabil dan harus lebih sering
pada pasien dengan kondisi tidak stabil atau pada pasien suspek perdarahan. Perlu dicatat
bahwa hematokrit harus dilakukan sebelum dilakukan resusitasi cairan. Jika idak
mungkin dilakukan maka pemeriksaan hematokrit dilakukan setelah bolus cairan bukan
selama diinfus.
Urine output harus dicatat setidaknya setiap 8-12 jam pada kasus tanpa komplikasi dan
setiap jam pada pasien dengan syok lama atau orang-orang dengan kelebihan cairan.
Selama periode ini jumlah output urine harus sekitar 0,5 ml / kg / jam (perhitangan
berdasarkan pada berat badan ideal).
Daftar Pustaka :
Comprehensive Guidelines for Prevention and Control of Dengue and Dengue Haemorrhagic Fever
Revised and expanded edition. World Health Organization 2011.
174.A. Polio
Jadwal Imunisasi Rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), untuk bayi dan
anak berusia 0 hingga 18 tahun, edisi tahun 2011 yang masih baku dan ditampilkan dalam
situs resmi IDAI yang diunduh pada Maret 2014, hingga ada pembaharuan lebih lanjut.
Referensi:
Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI).http://idai.or.id/. Diakses Maret 2014.
175.D. Pungsi pleura + OAT kategori I + kortikosteroid tappering off
Paduan OAT lini pertama dan peruntukannya.
a. Kategori-1 (2HRZE/ 4H3R3)
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:
Pasien baru TB paru BTA positif.
Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif
Pasien TB ekstra paru
Kategori -2 (2HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3)
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati sebelumnya:
Pasien kambuh
Pasien gagal
Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (default)
Pasien TB yang perlu mendapat tambahan kortikosteroid
Kortikosteroid hanya digunakan pada keadaan khusus yang membahayakan jiwa pasien
seperti:
Meningitis TB
TB milier dengan atau tanpa meningitis
TB dengan Pleuritis eksudativa
TB dengan Perikarditis konstriktiva.
Selama fase akut prednison diberikan dengan dosis 30-40 mg per hari, kemudian diturunkan
secara bertahap. Lama pemberian disesuaikan dengan jenis penyakit dan kemajuan
pengobatan.
Referensi: Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Departemen Kesehatan
Republik Indonesia. 2011.
176.E. Dermatitis Kontak Iritan
Pembahasan :
Pada kasus diatas, pasien terdiagnosis Dermatitis Kontak Iritan dimana UKK sesuai
dengan dermatitis dan pasien merasakan keluhan setelah mencuci pakaian secara manual.
Hal ini berarti akibat pasien terpajan bahan iritan seperti detergen.
Dermatitis Kontak Dermatitis
Dermatitis Atopik
Iritan
Kontak Alergi
Etiologi
Terpajan
bahan Terpajan alergen Multifaktorial,
seperti
faktor
iritan
genetik, imunologik, lingkungan,
sawar kulit dan farmakologik.
Konsep dasar terjadinya DA
adalah melalui reaksi imunologik.
Keluhan
Klinis
Terjadi
reaksi
dermatitis (eritem,
kering,
sering
terdapat likenifikasi,
papul), bila iritan
kuat dermatitis
akut, iritan lema h
dermatitis
kronis
setelah
pajanan
berulang
Lesi membaik bila
pajanan dihentikan,
lesi
lokalisata,
berbatas tegas, luas
sesuai kontak bahan
penyebab,
efloresensi
monomorf.
Pemeriksaan
penunjang
Tes tempel
membedakan
dengan DKA
Terjadi
reaksi
dermatitis setelah
terjadi pajanan
alergen.
Lesi
membaik
bila
pajanan
dihentikan, lesi
dapat
generalisata atau
lokalisata,
efloresensi
polimorf.
Terapi
Referensi: Cunningham FG. William Obstetrics 22nd ed. Mc Grawhill Companies. 2005.
178.B. Lesi praganas
Prinsip metode IVA adalah melihat perubahan warna menjadi putih (acetowhite) pada lesi
prakanker jaringan ektoserviks rahim yang diolesi larutan asam asetoasetat (asam cuka). Bila
ditemukan lesi makroskopik yang dicurigai kanker, pengolesan asam asetat tidak dilakukan
namun segera dirujuk ke sarana yang lebih lengkap. Beberapa kategori temuan IVA tampak
seperti tabel berikut:
Kategori temuan IVA
1. Normal
Licin, merah muda, bentuk porsio
normal
2. Infeksi
Servisitis (inflamasi, hiperemis)
Banyak fluor
Ektropion
Polip
3. Positif IVA
Plak putih
Epitel acetowhite (bercak putih)
4. Kanker leher rahim
Pertumbuhan seperti bunga kol
Pertumbuhan mudah berdarah
2. Positif 1 (+)
3. Positif 2 (++)
Baku emas untuk penegakan diagnosis lesi prakanker leher rahim adalah biopsi yang dipandu
oleh kolposkopi.
Referensi: Skrining Kanker Leher Rahim dengan Metode Inspeksi Visual dengan Asam
Asetat (IVA). 2008. Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
179.E. Tablet Fe hingga 2 bulan setelah Hb normal
Anak 5 tahun dengan anemia, tanpa demam dan batuk lama menyingkirkan penyebab anemia
karena penyakit kronis, pemeriksaan fisik tidak didapatkan splenomegali menyingkirkan
adanya hemolisis dan gangguan hemoglobin (thalasemia).
Pendekatan diagnosis anemia berdasarkan apusan darah tepi:
Maka pada anak ini, termasuk anemia defisiensi besi. Penatalaksanaan anemia defisiensi besi
menurut WHO (2013):
Anak (umur < 6 tahun) menderita anemia jika kadar Hb < 9,3 g/dl (kira-kira sama
dengan nilai Ht < 27%). Jika timbul anemia,maka segera atasi.
Beri pengobatan (di rumah) dengan zat besi (tablet besi/folat atau sirup setiap hari)
selama 14 hari.
Minta orang tua anak untuk datang lagi setelah 14 hari. Jika mungkin,pengobatan
harus diberikan selama 3 bulan (Dalam panduan WHO tahun 2009 pengobatan
diberikan selama 2 bulan). Dibutuhkan waktu 2 4 minggu untuk menyembuhkan
anemia dan 1-3 bulan setelah kadar Hb kembali normal untuk mengembalikan
persediaan besi tubuh.
Jika anak berumur 2 tahun dan belum mendapatkan mebendazol dalam kurun waktu 6
bulan, berikan satu dosis mebendazol (500 mg) untuk kemungkinan adanya infeksi
cacing cambuk atau cacing pita.
Dosis
Kemasan
1x/hari
selama
14 hari
Tablet besi/folat
(Sulfas ferosus 200
mg + 250 mikrog
folat =60 mg
elemental iron)
Sirup besi (Ferous
fumarat 100 mg/5
ml = 20 mg/ml
elemental iron)
3-<6kg
20-29kg
1 ml
1.25 ml
2 ml
2.5 ml
4 ml
Transfusi darah harus diberikan dalam 24 jam pertama hanya dalam keadaan:
Hb < 4 g/dl
Referensi:
1. World Health Organization.2013.Pocket book of hospital care for children: guidelines for the
management of common childhood illnesses 2nd ed.
2. Lanzkowsky P. 2005.Manual of Pediatric Hematology and Oncology. 4th ed. Philadelphia:
Elsevier
180.C. >103
Dalam kasus sederhana, diagnosis infeksi saluran kemih dapat ditegakkan dan pengobatan
diberikan berdasarkan gejalanya saja tanpa konfirmasi laboratorium lebih lanjut. Dalam kasus
yang kompleks atau meragukan, mungkin berguna untuk memastikan diagnosis dengan
urinalisis, mencari adanya nitrit urin, sel darah putih (leukosit), atau esterase leukosit.
Pemeriksaan lain, mikroskopi urin, mencari adanya sel darah merah, sel darah putih, atau
bakteri. kultur urin dianggap positif bila menunjukkan jumlah koloni bakteri lebih besar atau
sama dengan 103 unit pembentuk koloni (colony forming unit/CFU) per mL organisme
saluran kemih biasa. Sensitivitas antibiotik juga dapat diuji dengan kultur ini, sehingga
berguna dalam pemilihan pengobatan antibiotik.
Gejala Klinis
ISK asimtomatik
Kultur Urine
Ditemukan organisme yang sama sebanyak >
105 CFU/mL pada dua kali (berturut - turut)
pemeriksaan kultur urin
Referensi:
Nicolle LE. 2008. "Uncomplicated urinary tract infection in adults including uncomplicated
pyelonephritis". UrolClin North Am 35 (1): 112, v.
Richardson JP. Infection in the urinary tract. In: Adelman AM, Daly MP (eds). Twenty
common problems in geriatrics. Singapore: McGraw-Hill; 2001.p.349-55.
181.E. Terbinafin
Terbinafin tidak direkomendasikan bagi pasien dengan penyakit liver kronik ataupun
akut (aktive). Idealnya pemberian terbinafin dilakukan setelah pemeriksaan fungsi liver,
karena hepatotoksisitas dapat terjadi pada pasien dengan atau tanpa kelainan liver
sebelumnya. Pemakaian terbinafin harus segera dihentikan apabila terjadi peningkatan
pada pemeriksaan laboratorium fungsi liver, pemeriksaan fungsi liver direkomendasikan
dilakukan berkala bagi pasien yang mendapat terapi terbinafin.
Telah dilaporkan kasus terjadinya liver failure, bahkan kematian pada pasien yang
mendapatkan terapi terbinafin dengan atau tanpa riwayat penyakit liver sebelumnya.
Derajat keparahan penyakit berhubungan positif dengan keparahan penyakit sistemik
yang telah ada sebelumnya.
Pasien yang memperoleh terapi terbinafin harus diberikan penjelasan untuk segera
menghentikan minum obat dan menemui dokter apabila mengalami gejala mual,
anoreksia, urin berwarna gelap, dan feses pucat.
*Apabila menemui soal seperti pada kasus, melihat pilihan jawaban akan cukup
membantu karena dari 5 pilihan hanya 1 jawaban (Terbinafin) yang tidak berasal dari
golongan azole.
Referensi:
http://www.drugs.com/pro/terbinafine.html
182. A. Tekanan positif
Diperkirakan 10% bayi baru lahir membutuhkan bantuan untuk bernapas pada saat lahir dan
1% saja yang membutuhkan resusitasi yang ekstensif. Penilaian awal saat lahir harus
dilakukan pada semua bayi. Penilaian awal itu ialah: apakah bayi cukup bulan, apakah bayi
menangis atau bernapas, dan apakah tonus otot bayi baik. Jika bayi lahir cukup bulan,
menangis, dan tonus ototnya baik, bayi dikeringkan dan dipertahankan tetap hangat. Hal ini
dilakukan dengan bayi berbaring di dada ibunya dan tidak dipisahkan dari ibunya. Bayi yang
tidak memenuhi kriteria tersebut, dinilai untuk dilakukan satu atau lebih tindakan secara
berurutan di bawah ini:
A. Langkah awal stabilisasi (memberikan kehangatan, membersihkan jalan napas jika
diperlukan, mengeringkan, merangsang)
B. Ventilasi
C. Kompresi dada
D. Pemberian epinefrin dan/atau cairan penambah volume
Diberikan waktu kira-kira 60 detik (the Golden Minute) untuk melengkapi langkah awal,
menilai kembali, dan memulai ventilasi jika dibutuhkan. Penentuan ke langkah berikut
didasarkan pada penilaian simultan dua tanda vital yaitu pernapasan dan frekuensi denyut
jantung. Setelah ventilasi tekanan positif (VTP) atau setelah pemberian oksigen tambahan,
penilaian dilakukan pada tiga hal yaitu frekuensi denyut jantung, pernapasan, dan status
oksigenasi.
Setelah publikasi tahun 2005, telah diidentifikasi beberapa kontroversi dan pada tahun 2010
dibuat kesepakatan. Berikut ini adalah rekomendasi utama untuk resusitasi neonatus:
1. Penilaian setelah langkah awal ditentukan oleh penilaian simultan dua tanda vital
yaitu frekuensi denyut jantung dan pernapasan. Oksimeter digunakan untuk menilai
oksigenasi karena penilaian warna kulit tidak dapat diandalkan.
2. Untuk bayi yang lahir cukup bulan sebaiknya resusitasi dilakukan dengan udara
dibanding dengan oksigen 100%.
3. Oksigen tambahan diberikan dengan mencampur oksigen dan udara (blended oxygen),
dan pangaturan konsentrasi dipandu berdasarkan oksimetri.
4. Bukti yang ada tidak cukup mendukung atau menolak dilakukannya pengisapan
trakea secara rutin pada bayi dengan air ketuban bercampur mekonium, bahkan pada bayi
dalam keadaan depresi (lihat keterangan pada langkah awal).
5. Rasio kompresi dada dan ventilasi tetap 3:1 untuk neonatus kecuali jika diketahui
adanya penyebab jantung. Pada kasus ini rasio lebih besar dapat dipertimbangkan.
6. Terapi hipotermia dipertimbangkan untuk bayi yang lahir cukup bulan atau mendekati
cukup bulan dengan perkembangan kearah terjadinya ensefalopati hipoksik iskemik
sedang atau berat, dengan protokol dan tindak lanjut sesuai panduan.
7. Penghentian resusitasi dipertimbangkan jika tidak terdeteksi detak jantung selama 10
menit. Banyak faktor ikut berperan dalam keputusan melanjutkan resusitasi setelah 10
menit.
8. Penjepitan talipusat harus ditunda sedikitnya sampai satu menit untuk bayi yang tidak
membutuhkan resusitasi. Bukti tidak cukup untuk merekomendasikan lama waktu untuk
penjepitan talipusat pada bayi yang memerlukan resusitasi.
Langkah Awal
Langkah awal resusitasi ialah memberikan kehangatan dengan meletakkan bayi di bawah
pemancar panas, memposisikan bayi pada posisi menghidu/sedikit tengadah untuk membuka
jalan napas, membersihkan jalan napas jika perlu, mengeringkan bayi, dan stimulasi napas.
Membersihkan jalan napas:
a. Jika cairan amnion jernih.
Pengisapan langsung segera setelah lahir tidak dilakukan secara rutin, tetapi hanya
dilakukan bagi bayi yang mengalami obstruksi napas dan yang memerlukan VTP.
b. Jika terdapat mekonium.
Bukti yang ada tidak mendukung atau tidak menolak dilakukannya pengisapan rutin pada
bayi dengan ketuban bercampur mekonium dan bayi tidak bugar atau depresi. Tanpa
penelitian (RCT), saat ini tidak cukup data untuk merekomendasikan perubahan praktek
yang saat ini dilakukan. Praktek yang dilakukan ialah melakukan pengisapan endotrakeal
pada bayi dengan pewarnaan mekonium yang tidak bugar. Namun, jika usaha intubasi
perlu waktu lama dan/atau tidak berhasil, ventilasi dengan balon dan sungkup dilakukan
terutama jika terdapat bradikardia persisten.
Menilai kebutuhan oksigen dan pemberian oksigen
Tatalaksana oksigen yang optimal pada resusitasi neonatus menjadi penting karena adanya
bukti bahwa baik kekurangan ataupun kelebihan oksigen dapat merusak bayi. Persentil
oksigen berdasarkan waktu dapat dilihat pada gambar algoritma.
Penggunaan oksimetri nadi (pulse oximetry) direkomendasikan jika:
1. Resusitasi diantisipasi
2. VTP diperlukan lebih dari beberapa kali napas
3. Sianosis menetap
4. Oksigen tambahan diberikan.
Pemberian oksigen tambahan
Target saturasi oksigen dapat dicapai dengan memulai resusitasi dengan udara atau oksigen
campuran (blended oxygen) dan dilakukan titrasi konsentrasi oksigen untuk mencapai SpO2
sesuai target. Jika oksigen campuran tidak tersedia, resusitasi dimulai dengan udara kamar.
Jika bayi bradikardia (kurang dari 60 per menit) setelah 90 detik resusitasi dengan oksigen
konsentrasi rendah, konsentrasi oksigen ditingkatkan sampai 100% hingga didapatkan
frekuensi denyut jantung normal.
Ventilasi Tekanan Positif (VTP)
Jika bayi tetap apnu atau megap-megap, atau jika frekuensi denyut jantung kurang dari 100
per menit setelah langkah awal resusitasi, VTP dimulai.
Pernapasan awal dan bantuan ventilasi
Bantuan ventilasi harus diberikan dengan frekuensi napas 40 60 kali per menit untuk
mencapai dan mempertahankan frekuensi denyut jantung lebih dari 100 per menit. Penilaian
ventilasi awal yang adekuat ialah perbaikan cepat dari frekuensi denyut jantung.
Tekanan akhir ekspirasi
Banyak ahli merekomendasikan pemberian continuous positive airway pressure (CPAP) pada
bayi yang bernapas spontan tetapi mengalami kesulitan setelah lahir. Penggunaan CPAP ini
baru diteliti pada bayi prematur. Untuk bayi cukup bulan dengan gawat napas, tidak ada
cukup bukti untuk mendukung atau tidak mendukung penggunaan CPAP di ruang bersalin.
Alat untuk ventilasi
Alat untuk melakukan VTP untuk resusitasi neonatus adalah Balon Tidak Mengembang
Sendiri (balon anestesi), Balon Mengembang Sendiri, atau T-piece resuscitator. Laryngeal
Mask Airway (LMA; sungkup larings) disebutkan dapat digunakan dan efektif untuk bayi
>2000 gram atau 34 minggu. LMA dipertimbangkan jika ventilasi dengan balon sungkup
tidak berhasil dan intubasi endotrakeal tidak berhasil atau tidak mungkin. LMA belum diteliti
untuk digunakan pada kasus air ketuban bercampur mekonium, pada kompresi dada, atau
untuk pemberian obat melalui trakea.
Pemasangan intubasi endotrakeal
Indikasi intubasi endotrakeal pada resusitasi neonatus ialah:
1.
Pengisapan endotrakeal awal dari bayi dengan mekonium dan tidak bugar.
2.
Jika ventilsi dengan balon-sungkup tidak efektif atau memerlukan waktu lama.
3.
Jika dilakukan kompresi dada.
4.
Untuk situasi khusus seperti hernia diafragmatika kongenital atau bayi berat lahir
amat sangat rendah.
Kompresi dada
Indikasi kompresi dada ialah jika frekuensi denyut jantung kurang dari 60 per menit setelah
ventilasi adekuat dengan oksigen selama 30 detik. Untuk neonatus, rasio kompresi:ventilasi
tetap 3:1. Pernapasan, frekuensi denyut jantung, dan oksigenasi harus dinilai secara periodik
dan kompresi ventilasi tetap dilakukan sampai frekuensi denyut jantung sama atau lebih
dari 60 per menit.
Medikasi
Obat-obatan jarang digunakan pada resusitasi bayi baru lahir. Namun, jika frekuensi denyut
jantung kurang dari 60 per menit walaupun telah diberikan ventilasi adekuat dengan oksigen
100% dan kompresi dada, pemberian epinefrin atau pengembang volume atau ke duanya
dapat dilakukan.
Epinefrin
Epinefrin direkomendasikan untuk diberikan secara intravena dengan dosis intrvena 0,01
0,03 mg/kg. Dosis endotrakeal 0,05 1,0 mg/kg dapat dipertimbangkan sambil menunggu
akses vena didapat, tetapi efektifitas cara ini belum dievaluasi. Konsentrasi epinefrin yang
digunakan untuk neonatus ialah 1:10.000 (0,1 mg/mL).
Pengembang volume
Pengembang volume dipertimbangkan jika diketahui atau diduga kehilangan darah dan
frekuensi denyut jantung bayi tidak menunjukkan respon adekuat terhadap upaya resusitasi
lain. Kristaloid isotonik atau darah dapat diberikan di ruang bersalin. Dosis 10 mL/kg, dapat
diulangi.
Perawatan pasca resusitasi
Bayi setelah resusitasi dan sudah menunjukkan tanda-tanda vital normal, mempunyai risiko
untuk perburukan kembali. Oleh karena itu setelah ventilasi dan sirkulasi adekuat tercapai,
bayi harus diawasi ketat dan antisipasi jika terjadi gangguan.
Nalokson
Nalokson tidak diindikasikan sebagai bagian dari usaha resusitasi awal di ruang bersalin
untuk bayi dengan depresi napas.
Glukosa
Bayi baru lahir dengan kadar glukosa rendah mempunyai risiko yang meningkat untuk
terjadinya perlukaan (injury) otak dan akibat buruk setelah kejadian hipoksik iskemik.
Pemberian glukosa intravena harus dipertimbangkan segera setelah resusitasi dengan tujuan
menghindari hipoglikemia.
Hipotermia untuk terapi
Beberapa penelitian melakukan terapi hipotermia pada bayi dengan umur kehamilan 36
minggu atau lebih, dengan ensefalopatia hipoksik iskemik sedang dan berat. Hasil penelitian
ini menunjukkan mortalitas dan gangguan perkembangan neurologik yang lebih rendah pada
bayi yang diberi terapi hipotermia dibanding bayi yang tidak diberi terapi hipotermia.
Penggunaan cara ini harus menuruti panduan yang ketat dan dilakukan di fasilitas yang
memadai.
Penghentian resusitasi
Penghentian resusitasi dipertimbangkan jika tidak terdeteksi detak jantung selama 10 menit.
Banyak faktor ikut berperan dalam keputusan melanjutkan resusitasi setelah 10 menit.
Referensi :
Wyllie J, et al. Part 11: Neonatal Resuscitation. 2010 International Consensus on
Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care Science with Treatment
Recommendations. Resuscitation 2010;81S:e260-e287.
Kattwinkel J et al. Special Report Neonatal Resuscitation: 2010 American Heart Association
Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care.
Pediatrics 2010;126:e1400-e1413.
183.B. Luka sedang
Luka ringan
Luka yang tidak mengakibatkan sakit atau halangan dalam melakukan pekerjaan
Misalnya memar atau lecet:
o Yang berdasarkan lokasi dan luasnya dianggap tidak mengakibatkan gangguan
fungsi
Luka sedang
Luka/cedera di antara luka berat dan luka ringan
Misalnya:
o Vulnus laceratum
o Vulnus scissum
o Fracture
Yang tidak mengancam nyawa
Luka berat
Menurut pasal 90 KUHP
Tak dapat diharapkan sembuh
Mengancam nyawa
Halangan bekerja permanen
Kehilangan salah satu indera
Cacat berat
Kelumpuhan
Tak dapat berpikir 4 minggu atau lebih
Gugurnya kandungan
184.E. Rett Syndrome
Sindrom Rett (DSM IV) adalah suatu gangguan perkembangan pervasive yang
mengenai subtansia gricea cerebri, hanya terjadi pada wanita dan berlaku sejak lahir;
sindrom ini bersifat progresif dan dikenal pasti dengan tingkah laku autistik, ataxia,
dementia, kejang, dan kehilangan kegunaan tangan dengan fungsi tertentu, dengan atrofi
cerebral, hyperamonemia ringan
Gejala
Gangguan Rett atau Rett sindrom terdiri dari beberapa tahap gangguan;
1. Stage I
Gejala gangguan ini dimulai pada usia 6 sampai 18 bulan.
Pada tahap ini bayi mulai menghindari kontak mata dan kehilangan minat pada
benda-benda mainan. Pada tahap ini bayi mengalami keterlambatan dalam
merangkak dan duduk.
2. Stage II
Gejala gangguan dimulai pada usia 1-4 tahun. Beberapa gangguan yang muncul :
Kehilangan kemampuan untuk berbicara
Mengulang-ulang perbuatan yang sama
Suka menggerakan tangan seperti sedang mencuci
Menangis atau menjerit tanpa adanya provokasi
Hambatan atau kesulitan dalam berjalan
3. Stage III
Gejala gangguan dimulai berkisar antara usia 2-10 tahun. Meskipun gangguan
gerak terus berlanjut, anak dengan gangguan Rett masih mengalami perkembangan
perilaku. Beberapa gangguan lain pada tahap ini:
Sering menangis atau menjerit tanpa sebab yang jelas
Perilaku waspada
Permasalahan atensi
Hambatan dalam komunikasi nonverbal
4. Stage IV
Tahap gangguan ini merupakan lanjutan dari stage sebelumnya, gejala yang
muncul pada usia relatif terutama pada ebilitas (kemampuan) mobilitas diri.
Gangguan yang muncul berupa gangguan komunikasi, kesulitan dalam memahami
bahasa, gangguan psikomotorik pada tangan. Penderita gangguan Rett terlihat
lemah dan beberapa diantaranya didiagnosa mengidap scoliosis. Beberapa fakta,
pada tahap ini terjadinya penurunan perilaku mengulang bermain-main jari-jari
tangan seperti mencuci.
185.B. Stroke perdarahan subarachnoid (PSA)
Perdarahan Subarachnoid (PSA/ Subarachnoid Hemorrhage-SAH) yaitu perdarahan yang
terjadi pada ruang antara membran Arachnoid dan Pia mater dapat terjadi secara spontan,
karena trauma kepala, dan yang paling sering karena ruptur aneurisma pembuluh darah
cerebral.
Gejala klasik PSA adalah nyeri kepala hebat seperti tersengat listrik (thunderclap
headache) sering terasa pada bagian occipital. Gejala penyerta yang sering muncul
adalah muntah, kejang, dan perubahan status mental sampai dengan koma keseluruhan
gejala ini muncul karena proses peningkatan tekanan intra kranial. Gejala-gejala yang
menunjukkan terjadinya rangsang meningeal yang terjadi pada PSA meliputi kaku dan
nyeri kuduk, nyeri punggung dan nyeri kedua tungkai muncul dalam beberapa jam
setelah onset perdarahan, terjadi pada 80% kasus PSA.
Diagnosis klinis PSA harus dicurigai apabila terdapat satu atau lebih dari 6 karakteristik
di bawah ini pada pasien yang mengalami nyeri kepala akut hebat non traumatik dalam 1
jam sejak onset nyeri kepala.
Usia 40 tahun
Hilang kesadaran
Keluhan kaku dan nyeri kuduk
Keluhan yang memberat dengan aktivitas
Muntah
b) Sedikitnya ada riwayat satu episode psikotik yang jelas di masa lampau yang
memenuhi kriteria diagnostik untuk skizofrenia.
c) Sedikitnya sudah melampaui kurun waktu satu tahun dimana intensitas dan frekuensi
gejala yang nyata seperti waham dan halusinasi telah sangat berkurang (minimal)
dan telah timbul sindrom negatif skizofrenia.
d) Tidak terdapat demensia atau penyakit/gangguan otak organik lain, depresi kronis
yang dapat menjelaskan hendaya negatif tersebut.
Sumber:
- Diagnosis Gangguan Jiwa, rujukan ringkas dari PPDGJ-III, editor Dr, Rusdi
Maslim.1993.
187.C. Ascaris lumbricoides
Askariasis adalah infeksi yang disebabkan cacing usus Ascaris lumbricoides atau dikenal
sebagai cacing gelang yang penularannya dengan perantara tanah (Soil Transmitted
Helmints).
Morfologi sebagai berikut:
Ukuran cacing jantan 10-30 cm; sedangkan betina 25-30 cm
Stadium dewasa hidup di rongga usus halus
Telur yang dibuahi: bentuk oval melebar; memiliki lapisan yang tebal dan
berbenjol-benjol; berwarna coklat keemasan.
Telur berbentuk infektiv dalam waktu 2-3 minggu.
Manifestasi klinis yang muncul adalah:
Fase larva
Timbul gangguan pada paru yang berupa batuk, demam, dan eosinofilia. Pada foto
thorax tampak infiltrate. Keadaan tersebut dinamakan Sindrom Loeffler.
Fase cacing dewasa
Terjad gangguan usus ringan yaitu mual, nafsu makan menurun, diare atau
konstipasi. Pada keadaan infeksi berat yang menyerang anak-anak dapat terjadi
keadaan malabsorbsi sehingga memperberat keadaan malnutrisi.
Diagnosa ditegakkan dengan menemukan telur cacing pada pemeriksaan feses secara
langsung, atau ditemukan cacing dewasa yang keluar melalui anus.
Enterobius vermicularis
Enterobius vermicularis atau Oxyuris vermicularis atau cacing kremi adalah parasit yang
menyebabkan infeksi usus yang disebut sebagai oxyuriasis atau enterobiasis. Anak
berumur 5-14 tahun lebih sering mengalami infeksi dibandingkan dengan orang dewasa.
Morfologi cacing adalah:
Telur
Berbentuk asimetris, tidak berwarna, mempunyai dinding yang tembus sinar. Telur
memiliki kulit dua lapisan, yaitu: lapisan luar berupa albuminous, translusen, bersifat
mechanical protection. Di dalam telur terdapat bentuk larva.
Cacing dewasa
Cacing dewasa berukuran kecil, berwarna putih. Cacing jantan memiliki sayap dan
ekornya melingar seperti tanda Tanya. Cacing betina memiliki sayap, bulbus
esophagus nampak jelas, ekor panjang dan runcing. Bentuk khas adalah tidak
terdapat rongga mulut tetapi dijumpai 3 buah bibir, double bulb oesophagus, terdapat
cervical alae.
Cacing dewasa betina mengandung banyak telur pada malam hari dan akan melakukan
migrasi keluar melalui anus ke daerah perianal dan perineum. Migrasi tersebut disebut
sebagai nocturnal migration.
Gejala klinis yang menonjol adalah iritasi di sekitar anus, perineum, dan vagina oleh
cacing betina gravid. Penderita sering menggaruk daerah tersebut. Gejala klinis yang lain
adalah kurang nafsu makan, berat badan turun, insomnia. Pemeriksaan yang mudah dan
sering digunakan adalah Graham Scotch Tape. Waktu pengambilan spesimen adalah
pagi hari sebelum penderita BAB dan malam hari sebelum tidur saat gejala rasa gatal
muncul di sekitar anus.
Sumber:
1. Jawetz, Melnick & Adelbergs. Medical Microbiology. McGraw-Hill Companies Inc.
Twenty Second Edition. 2001.
2. Staf Pengajar FK UI. Mikrobiologi Kedokteran. Binarupa Aksara. 1993.
3. Gmbar diambil dari : http://itg.contente.eu/Generated/pubx/173/helminthiasis/intestinal_nematodes.htm
188.
E. Syok Septik
Syok merupakan keadaan di mana terjadi gangguan sirkulasi yang menyebabkan perfusi
jaringan menjadi tidak adekuat sehingga mengganggu metabolism sel/jaringan. Syok
septic adalah sepsis dengan hipotensi meskipun telah diberikan resusitasi cairan secara
adekuat atau memerlukan vasopresor untuk mempertahankan tekanan darah dan perfusi
organ.
Sepsis adalah keadaan klinis berkaitan dengan infeksi dengan manifestasi SIRS. Sindrom
respons inflamasi sistemik (SIRS) adalah respon tubuh terhadap inflamasi sistemik
mencakup 2 atau lebih gejala:
Suhu > 38oC atau < 36oC
Frekuensi nadi > 90 x/menit
RR > 20 x/menit atau PaCO2 <32 mmHg
Leukosit darah > 12.000 /mm3 , < 4.000 / mm3 atau batang > 10%
Sumber:
Sudoyo, A.W et al. 2006. Ilmu Penyakit Dalam Ed.IV. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
189.A. Diuretik
Pengobatan SN terdiri dari pengobatan spesifik yang ditujukan terhadap penyakit dasar dan
pengobatan non-spesifik untuk mengurangi protenuria, mengontrol edema dan mengobati
komplikasi. Etiologi sekunder dari sindrom nefrotik harus dicari dan diberi terapi, da obatobatan yang menjadi penyebabnya disingkirkan.
a). Diuretik
Diuretik ansa henle (loop diuretic) misalnya furosemid (dosis awal 20-40 mg/hari) atau
golongan tiazid dengan atau tanpa kombinasi dengan potassium sparing diuretic
(spironolakton) digunakan untuk mengobati edema dan hipertensi. Penurunan berat badan
tidak boleh melebihi 0,5 kg/hari.
b). Diet
Diet untuk pasien SN adalah 35 kal/kgbb./hari, sebagian besar terdiri dari karbohidrat. Diet
rendah garam (2-3 gr/hari), rendah lemak harus diberikan. Penelitian telah menunjukkan
bahwa pada pasien dengan penyakit ginjal tertentu, asupan yang rendah protein adalah aman,
dapat mengurangi proteinuria dan memperlambat hilangnya fungsi ginjal, mungkin dengan
menurunkan tekanan intraglomerulus. Derajat pembatasan protein yang akan dianjurkan pada
pasien yang kekurangan protein akibat sindrom nefrotik belum ditetapkan. Pembatasan
asupan protein 0,8-1,0 gr/ kgBB/hari dapat mengurangi proteinuria. Tambahan vitamin D
dapat diberikan kalau pasien mengalami kekurangan vitamin ini.
c) Terapi antikoagulan
Bila didiagnosis adanya peristiwa tromboembolisme, terapi antikoagulan dengan heparin
harus dimulai. JUmlah heparin yang diperlukan untuk mencapai waktu tromboplastin parsial
(PTT) terapeutik mungkin meningkat karena adanya penurunan jumlah antitrombin III.
Setelah terapi heparin intravena, antikoagulasi oral dengan warfarin dilanjutkan sampai
sindrom nefrotik dapat diatasi.
d) Terapi Obat
Terapi khusus untuk sindroma nefrotik adalah pemberian kortikosteroid yaitu
prednisone 1 1,5 mg/kgBB/hari dosis tunggal pagi hari selama 4 6 minggu. Kemudian
dikurangi 5 mg/minggu sampai tercapai dosis maintenance (5 10 mg) kemudian diberikan 5
mg selang sehari dan dihentikan dalam 1-2 minggu. Bila pada saat tapering off, keadaan
penderita memburuk kembali (timbul edema, protenuri), diberikan kembali full dose selama 4
minggu kemudian tapering off kembali. Obat kortikosteroid menjadi pilihan utama untuk
menangani sindroma nefrotik (prednisone, metil prednisone) terutama pada minimal
glomerular lesion (MGL), focal segmental glomerulosclerosis (FSG) dan sistemik lupus
glomerulonephritis. Obat antiradang nonsteroid (NSAID) telah digunakan pada pasien
dengan nefropati membranosa dan glomerulosklerosis fokal untuk mengurangi sintesis
prostaglandin yang menyebabkan dilatasi. Ini menyebabkan vasokonstriksi ginjal,
pengurangan tekanan intraglomerulus, dan dalam banyak kasus penurunan proteinuria sampai
75 %.
Sitostatika diberikan bila dengan pemberian prednisone tidak ada respon, kambuh yang
berulang kali atau timbul efek samping kortikosteroid. Dapat diberikan siklofosfamid 1,5
mg/kgBB/hari. Obat penurun lemak golongan statin seperti simvastatin, pravastatin dan
lovastatin dapat menurunkan kolesterol LDL, trigliserida dan meningkatkan kolesterol HDL.
Obat anti proteinurik misalnya ACE inhibitor (Captopril 3*12,5 mg), kalsium antagonis
(Herbeser 180 mg) atau beta bloker. Obat penghambat enzim konversi angiotensin
(angiotensin converting enzyme inhibitors) dan antagonis reseptor angiotensin II dapat
menurunkan tekanan darah dan kombinasi keduanya mempunyai efek aditif dalam
menurunkan proteinuria.
Referensi:
Wiguno Prodjosudjadi, Divisi Ginjal Hipertensi, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, edisi ke-4,
Aru W.Sudoyo, Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, Jakarta, 2006
Gunawan, C.A, Sindrom Nefrotik Patogenesis dan Penatalaksanaan, Bagian/ SMF Ilmu
Penyakit Dalam Program Pendidikan Dokter Spesialis Universitas Mulawarman / RSUD
A.Wahab Sjahranie Samarinda
Sukandar E, Sulaeman R. Sindroma nefrotik. Dalam : Soeparman, Soekaton U, Waspadji S et
al (eds). Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Jakarta : Balai Penerbit FKUI; 1990. p. 282-305.
Kista teka lutein: pada mola hidatidosa, koriokarsinoma, dan kadang-kadang tanpa
adanya kelainan tersebut, ovarium dapat membesar dan menjadi kistik. Kista biasanya
bilateral dan bisa menjadi sebesar tinju. Pada pemeriksaan mikroskopik terlihat
luteinisasi sel-sel teka. Sel-sel granulosa dapat pula menunjukkan luteinisasi,
akan tetapi seringkali sel-sel menghilang karena atresia. Tumbuhnya kista ini
ialah akibat pengaruh hormon koriogonadotropin yang berlebihan, dan dengan
hilangnya mola atau koriokarsinoma, ovarium mengecil spontan.
Kista folikel: kista ini berasal dari folikel de Graaf yang tidak sampai berovulasi,
namun tumbuh terus menjadi kista folikel, atau dari beberapa folikel primer yang
setelah bertumbuh di bawah pengaruh estrogen tidak mengalami proses atresia yang
lazim, melainkan membesar menjadi kista. Kista yang berdiri sendiri bisa menjadi
sebesar jeruk nipis. Bagian dalam dinding kista yang tipis terdiri atas beberapa lapisan
sel granulosa, akan tetapi karena tekanan di dalam kista, terjadilah atrofi pada lapisan
ini.
Kista dermoid: tidak ada ciri-ciri yang khas pada kista dermoid. Dinding kista
kelihatan putih, keabu-abuan, dan agak tipis. Konsistensi tumor sebagian kistik
kenyal, di bagian lain padat. Tumor mengandung elemen-elemen ektodermal,
mesodermal, dan entodermal. Maka dapat ditemukan kulit, rambut, kelenjar sebasea,
gigi (ektodermal), tulang rawan, serat otot jaringan ikat (mesodermal), dan mukosa
traktus gastrointestinalis, epitel saluran pernapasan, dan jaringan tiroid (entodermal).
Bahan yang terdapat dalam rongga kista ialah produk dari kelenjar sebasea berupa
massa lembek seperti lemak, bercampur dengan rambut. Rambut ini terdapat beberapa
serat saja, tetapi dapat pula merupakan gelondongan seperti konde.
Kista cokelat (endometriosis): gambaran mikroskopik dari endometriosis sangat
bervariabel. Lokasi yang sering terdapat ialah pada ovarium, dan biasanya di sini
didapati pada kedua ovarium. Pada ovarium tampak kista-kista biru kecil samapi kista
besar (kadang-kadang sebesar tinju) berisi darah tua menyerupai coklat (kista coklat
atau endometrioma). Pada pemeriksaan mikroskopik ditemukan ciri-ciri khas pada
endometriosis, yakni kelenjar-kelenjar dan stroma endometrium, dan perdarahan
bekas dan baru berupa eritrosit, pigmen hemosiderin, dan sel-sel makrofag berisi
hemosiderin. Di sekitarnya tampak sel-sel radang dan jaringan ikat, sebagai reaksi
dari jaringan normal disekelilingnya (jaringan endometriosis).
Referensi: Ilmu Kandungan. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Jakarta. Hanifa
Wiknjosatro, Abdul Bari Saifuddin, dan Trijatmo Rachimhadhi. 2005.
Riwayat tanpa demam, nyeri sendi, tidak ada gejala anemia dapat menyingkirkan
Leukimia Akut.
Manifestasi Klinis
Pemeriksaan fisik
dan Laboratorium
Uji Diagnostik
Demam tifoid
Demam dengue
Leptospirosis
lidah kotor,
bradikardi relatif,
roseola, leukopenia,
limfositosis relatif,
aneosinofilia,
conjunctival injection
(kemerahan pada
konjungtiva bola
mata), dan nyeri betis
yang mencolok
Pemeriksaan serologi
Microscopic
Agglutination Test
Referensi:
Lampiran Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2013 Tentang
Pedoman Tata Laksana Malaria.
193.B. Rhinitis Vasomotor
Rhinitis vasomotor memiliki gejala klinis:
Dicetuskan oleh gejala non spesifik seperti asap/rokok, bau menyengat, udara
dingin, stress/emosi.
Hidung tersumbat biasanya bergantian kiri dan kanan tergantung posisi.
Rinorea mukoid atau serosa; jarang disertai keluhan mata.
Gejala dapat memburuk pada pagi hari waktu bangun tidur.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan:
Anamnesis: faktor yang memengaruhi timbulnya gejala
Pemeriksaan rhinoskopi anterior: khas berupa konka merah gelap atau merah
tua, dapat pula pucat; permukaan konka licin atau berbenjol-benjol (hipertrofi); pada
rongga hidung terdapat secret mukoid atau serosa.
Referensi:
Irawati, Nina et all. 2009. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala
dan Leher, 6th edn. Jakarta: Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hlm
135-138.
didapat pada saat lahir, segera setelah lahir atau saat masa kanak-kanak. Pengobatan pada
makula CAL umumnya tidak diperlukan.
Neurofibromatosis tipe 1 (NF-1) adalah sebuah gangguan genetik pada sistem syaraf
yang menyebabkan tumor tumbuh pada syaraf di seluruh tubuh. NF dapat mempengaruhi
otak, syaraf tulang belakang, atau kulit. NF-1 merupakan spektrum klinis makula CAL
stadium lanjut, bahkan makula CAL dapat merupakan satu-satunya tanda awal penyakit
ini. Penyakit ini pertama kali menyerang saat masa kanak-kanak, terutama masa
pubertas. NF kadang-kadang didiagnosa pada masa bayi, tapi lebih sering pada anakanak antara 3-16 tahun.
Referensi:
Siregar, R.S. (2005). Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Jakarta: EGC.
195.C. Anemia defisiensi B12
Secara kllinis, pasien pada soal ini menunjukkan gejala anemia. Pendekatan diagnostik
berdasarkan morfologi dari ukuran eritrosit didapatkan ukuran sel darah merah termasuk
makrositer. Anemia makrositik merupakan anemia dengan karakteristik MCV di atas 100
fL. Anemia makrositik dapat disebabkan oleh:
Peningkatan retikulosit
Peningkatan MCV merupakan karakteristik normal retikulosit. Semua keadaan yang
menyebabkan peningkatan retikulosit akan memberikan gambaran peningkat-an MCV.
Metabolisme abnormal asam nukleat pada prekursor sel darah merah (defi siensi folat
atau cobalamin, obat-obat yang mengganggu sintesa asam nukleat: zidovudine,
hidroksiurea).
Gangguan maturasi sel darah merah (sindrom mielodisplasia, leukemia akut).
Penggunaan alkohol: penyakit hati, Hipotiroidisme.
Kemungkinan anemia dalam kasus ini berarti defi siensi folat atau cobalamin (B12).
Perbedaan Anemia defisiensi folat dan anemia defisiensi cobalamin (B12).
ANEMIA DEFISIENSI
ANEMIA DEFISIENSI
VIT. B12
ASAM FOLAT
Manifestasi Klinis
Gastrointestinal:
Lebih sering kurang gizi
dibanding defisiensi B12
- nyeri lidah
- inspeksi: papil lidah
Manifestasi
halus dan kemerahan
gastrointestinal lebih
- anorexia, berat badan
berat mengakibatkan
turun
malabsorbsi
- diare
Tidak nampak
Sistem nervorum:
abnormalitas neurologis
- rasa kebas
- parestesia
ekstremitas,
kelemahan, dan ataksia
- Kemungkinan
gangguan sfingter
Penyebab
Anemia pernisiosa
Penyebab paling lazim
karena tidak ada faktor
intrinsik dan adanya atrofi
pada mukosa maupun
dekstruksi autoimun dari sel
parietal.
Pasca Gastrektomi
sumber intrinsik
dibuang menyebabkan
gangguan absorbsi B12
anemia
Organisme intestinal
Abnormalitas Ileum:
dijumpai pada tropical
sprue
Sindrom Zollinger-Elison
(hiperasiditas lambung
e.c. tumor pensekresi
gastrin)
Nitrous Oxide
Berdasarkan riwayat pasien yang pernah menjalani gastrektomi 4 tahun yang lalu dan juga
gejala klinis khas adanya gejala neurologis yang tampak, maka pada pasien ini termasuk
anemia defisiensi cobalamin (B12)
Referensi:
1. Schrier SL. 2011. Approach to the adult patient with anemia. 2011. www.uptodate.com
2. Soenarto. 2007. Anemia Megaloblastik dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.PDPERSI.FKUI
Limfedema
Pada infeksi Wuchereria brancofti terjadi pembesaran kelenjar limfe, hydrocele, dan
elefantiasis. Hanya mereka yang hipersensitif, elefantiasis dapat terjadi. Elefantiasis
kebanyakan terjadi di daerah genital dan tungkai bawah sedangkan pada infeksi Brugia,
terjadi pembengkakan kaki di bawah lutut, lengan di bawah siku dimana siku dan lutut
masih normal.
- Pembesaran Scrotum
1. Lymph Scrotum
Pelebaran saluran limfe superfisial pada kulit skrotum, kadang-kadang pada kulit
penis, sehingga saluran limfe tersebut mudah pecah dan cairan limfe mengalir keluar
dan membasahi pakaian. Ditemukan juga lepuh (vesicles) besar dan kecil pada kulit,
yang dapat pecah dan membasahi pakaian, ini mempunyai risiko tinggi terjadinya
infeksi ulang oleh bakteri dan jamur, serangan akut berulang dan dapat berkembang
menjadi limfedema skrotum. Ukuran skrotum kadang-kadang normal kadang-kadang
sangat besar
2. Hidrokel
Hidrokel terjadi karena terkumpulnya cairan limfe di dalam tunica vaginalis testis.
Hidrokel dapat terjadi pada satu atau kedua scrotum, dengan gambaran klinis dan
epidemiologis sebagai berikut:
Ukuran skrotum kadang-kadang normal tetapi kadang-kadang sangat besar sekali,
sehingga penis tertarik dan tersembunyi .
Kulit pada skrotum normal, lunak dan halus.
Kadang-kadang akumulasi cairan limfe disertai dengan komplikasi, yaitu
komplikasi dengan chyle (chylocele), darah (haematocele) atau nanah (pyocele).
Uji transiluminasi dapat digunakan untuk membedakan hidrokel dengan komplikasi
dan hidrokel tanpa komplikasi.
Tanda paling khas adalah pembesaran kaki dan scrotum yang disertai nyeri atau
panas, sehingga pada pasien ini kemungkinan cacing yang menjadi penyebab filariasis adalah
Wuchereria brancofti (keterlibatan organ genitourinaria).
Untuk mendukung kecurigaan terhadap filariasis maka diperlukan pemeriksaan
penunjang diagnosis arasitologi. Deteksi parasit yaitu menemukan mikrofilaria di dalam
darah, cairan hidrokel atau cairan kiluria pada pemeriksaan sediaan darah tebal dan teknik
konsentrasi Knott. Mikrofilaria aktif pada malam hari terutama pukul 22.00-02.00 sehingga
pengambilan spesimen darah untuk pemeriksaan mikrofilaria harus sesuai dengan waktu
tersebut. Pengambilan spesimen darah lebih baik diambil dari kapiler dibanding dengan
darah vena.
More info:
Manifestasi klinis sebagai infeksi Wuchereria bancrofti terbentuk beberapa bulan
hingga beberapa tahun setelah infeksi, tetapi beberapa orang yang hidup di daerah endemis
tetap asimptomatik selama hidupnya. Gejala akut yang tampak biasanya mengeluh demam,
lymphangitis, lymphadenitis, orchitis, sakit pada otot, anoreksia, dan malaise. Mulamula
cacing dewasa yang hidup dalam pembuluh limfe menyebabkan pelebaran pembuluh limfe
terutama di daerah kelenjar limfe, testis, dan epididimis, kemudian diikuti dengan penebalan
sel endothel dan infiltrasi sehingga terjadi granuloma.
Pada keadaan kronis, terjadi pembesaran kelenjar limfe, hydrocele, dan elefantiasis.
Hanya mereka yang hipersensitif, elefantiasis dapat terjadi. Elefantiasis kebanyakan terjadi di
daerah genital dan tungkai bawah, biasanya disertai infeksi sekunder dengan fungi dan
bakteri. Suatu sindrom yang khas terjadi pada infeksi dengan Wuchereria bancrofti
dinamakan Weingartners syndrome atau Tropical pulmonary eosinophilia.
Penatalaksanaan:
Pengobatan massal menggunakan kombinasi Diethyl Carbamazine Citrate (DEC)
dosis tunggal 6 mg/kg berat badan, Albendazol 400 mg (1 tablet) dan Paracetamol (sesuai
takaran) yang diberikan sekali setahun selama 5 tahun pada penduduk yang berusia 2 tahun
ke atas. Sasaran pengobatan massal adalah seluruh penduduk yang tinggal di daerah endemis,
kecuali:
1. Anak-anak berusia < 2tahun
2. Ibu hamil dan menyusui
3. Orang yang sedang sakit
4. Orang tua yang lemah
5. Penderita serangan epilepsi
Obat lain yang juga dipakai adalah ivermektin. Ivermektin adalah antibiotik
semisintetik dari golongan makrolid yang mempunyai aktivitas luas terhadap nematode dan
ektoparasit. Obat ini hanya membunuh mikrofilaria. Efek samping yang ditimbulkan lebih
ringan dibanding DEC.
Referensi:
1. Kumar, Abbas, Fausto, 2005. Pathologic Basic of Disease : 7th edition, Elsevier
Saunders, 8: 409-410
2. Departemen Kesehatan RI DirJen PPM & PL. 2004. Buku 4. Pedoman Pengobatan
Massal Penyakit Kaki Gajah. Jakarta.
3. Widoyono.2008.Penyakit Tropis : Epidemiologi, Penularan, Pencegahan, dan
Pemberantasannya. Jakarta : Penerbit Erlangga.
4. http://content.nejm.org/cgi/content/full/347/23/1885
5. Tim Editor Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2002. Parasitologi Kedokteran
Edisi Ketiga, cetakan ketiga. Balai Penerbit FKUI : Jakarta.
197.E. Luka yang menyebabkan keterbatasan fisik dan aktivitas atau hambatan pekerjaan
Hukum pidana Indonesia mengenal delik penganiayaan yang terdiri dari tiga tingkatan
dengan hukuman yang berbeda yaitu penganiayaan ringan (pidana maksimum 3 bulan
penjara), penganiayaan (pidana maksimum 2 tahun 8 bulan), dan penganiayaan yang
menimbulkan luka berat (pidana maksimum 5 tahun). Ketiga tingkatan penganiayaan tersebut
diatur dalam pasal 352 (1) KUHP untuk penganiayaan ringan, pasal 351 (1) KUHP untuk
penganiayaan, dan pasal 352 (2) KUHP untuk penganiayaan yang menimbulkan luka berat.
Setiap kecederaan harus dikaitkan dengan ketiga pasal tersebut. Untuk hal tersebut seorang
dokter yang memeriksa cedera harus menyimpulkan dengan menggunakan bahasa awam,
termasuk pasal mana kecederaan korban yang bersangkutan.
Rumusan hukum tentang penganiayaan ringan sebagaimana diatur dalam pasal 352 (1)
KUHP menyatakan bahwa penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan
Dilakukan untuk memeriksa adanya iritasi saraf, dikerjakan dengan cara perkusi
ringan di pergelangan tangan bagian volar di atas nervus medianus untuk
membangkitkan sensasi kesemutan. Positif apabila rasa kesemutan muncul pada area
yang dipersarafi N. Medianus (ibu jari, telunjuk, jari tengah, dan separuh medial jari
manis).
Referensi:
Spicher, C.; Kohut, G.; Miauton, J. 1999. "At which stage of sensory recovery can a
tingling sign be expected? A review and proposal for standardization and
grading". Journal of hand therapy : official journal of the American Society of Hand
Therapists 12 (4): 298308.
Gambar diperoleh dari http://www.drwolgin.com/Pages/carpaltunnel.aspx
199.A. Heimlich maneuver
Kacang-kacangan, biji-bijian atau benda kecil lainnya dapat terhirup anak, dan paling
sering terjadi pada anak umur < 4 tahun. Benda asing biasanya tersangkut pada bronkus
(paling sering pada paru kanan) dan dapat menyebabkan kolaps atau konsolidasi pada
bagian distal lokasi penyumbatan.
Gejala awal yang tersering adalah tersedak yang dapat diikuti dengan
interval bebas gejala dalam beberapa hari atau minggu kemudian sebelum anak
menunjukkan gejala wheezing menetap, batuk kronik atau pneumonia yang tidak
berespons terhadap terapi. Pertolongan pertama pada anak yang tersedak adalah
mengeluarkan benda asing tersebut.
Pada kasus tersebut anak berusia > 1 tahun sehingga dilakukan perasat Heimlich untuk
mengeluarkan benda asing sebagai penangan dini.
Referensi:
WHO Indonesia. (2013). Pedoman Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit Rujukan
Tingkat Pertama di Kabupaten/Kota.
200.E. Malaria falciparum
Kasus ini mengarah pada malaria. Faktor resiko dari pasien ini adalah baru pulang dari Papua
dimana merupakan daerah endemis malaria. Trias Malaria: Periode dingin (minggigil),
Demam, Berkeringat.
Pembeda
P. Falciparum
P.Vivax
P. Ovale
P. Malariae
Fase
48 jam/
48 jam/
49-50 jam/
72 jam/
eritrosit /
Demam setiap 24Demam tiap hari ke- Demam tiap hari
Demam tiap hari
Periode
48 jam/tidak teratur 3 (Tertiana Benigna) ke-3 (Tertiana
ke-4 (Quartana)
demam
(Tertiana/ sub
Benigna)
Tertian/ Tropikana)
Ring
Cincin halus
Cincin tebal
Cincin tebal
Cincin tebal
Accole form
Schuffners dot
Schuffners dot
(menempel di
dinding)
Maurers dot (di
permukaan
eritrosit)
Ukuran eritrosit:
Ukuran eritrosit:
Ukuran eritrosit:
Ukuran eritrosit:
normal
membesar
membesar
kecil
Tropozoit
Schizont
Gametosit
Headphone
configuration
Star in the sky
(merozoit >>)
Sausage/
crescent/banana
shape
Schuffners dot
Schuffners dot
Schuffners dot
Schuffners dot
Referensi:
1. Harijanto PN. 2007. Malaria Dalam: Sudoyo AW,et.al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Jilid III Edisi IV. Jakarta:FKUI
2. Matteelli A, Castelli F, Caligaris S. 1997.Life cycle of malaria parasites. In Carosi G,
Castelli F. (Ed) Handbook of Malaria Infection in the Tropics. Associazione Italiana