Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
Epilepsi merupakan salah satu penyakit saraf yang sering dijumpai, terdapat
pada semua bangsa, segala usia dimana laki-laki sedikit lebih banyak dari wanita.
Insiden tertinggi terdapat pada golongan usia dini yang akan menurun pada gabungan
usia dewasa muda sampai setengah tua, kemudian meningkat lagi pada usia lanjut.
Prevalensi epilepsI berkisar antara 0,5% - 2%. Di Indonesia penelitian
epidemiologi tentang epilepsy belum pernah di lakukan, namun bila dipakai angka
prevalensi yang dikemukakan, maka dapat diperkirakan bahwa bila penduduk
Indonesia saat ini sekitar 220juta akan ditemukan 1,1 sampai 4,4 juta penderita
penyandang epilepsi dan 40% masih dalam usia reproduksi.
Epilepsi berasal dari bahasa Yunani yang berarti serangan atau penyakit
yang timbul secara tiba-tiba. Epilepsi merupakan penyakit yang umum terjadi dan
penting di masyarakat. Permasalahan epilepsi tidak hanya dari segi medik tetapi juga
sosial dan ekonomi yang menimpa penderita maupun keluarganya. Dalam kehidupan
sehari-hari, epilepsy merupakan stigma bagi masyarakat. Mereka cenderung untuk
menjauhi penderita epilepsi.1
Akibatnya banyak yang menderita epilepsi yang tak terdiagnosis dan
mendapat pengobatan yang tidak tepat sehingga menimbulkan dampak klinik dan
psikososial yang merugikan baik penderita maupun keluarganya.2
BAB II
LAPORAN KASUS
STATUS PASIEN
BAGIAN PENYAKIT SARAF
RUMAH SAKIT Dr. H. MARZOEKI MAHDI BOGOR
I. IDENTITAS PASIEN
Nama
Jenis Kelamin
Usia
Tanggal lahir
Alamat
II. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis. Anamnesis dilakukan pada hari
Senin, tanggal 24 Februari 2014 pada pukul 13.10 WIB
Keluhan Utama
Kejang 3 Bulan SMRS
Keluhan Tambahan
Sakit Kepala
Riwayat Penyakit Sekarang
Seorang pasien laki-laki berusia 44 tahun diantar oleh istrinya datang ke
poliklinik Saraf RS Marzoeki Mahdi dengan keluhan kejang 3 Bulan SMRS. Kejang
terjadi tiba-tiba saat pasien sedang dalam keadaan beristirahat. Menurut istri pasien,
pasien tiba-tiba jatuh lalu kejang. Kejang terjadi diseluruh tubuh disertai kaku dan
kelojotan, pasien dalam keadaan tidak sadar. Saat kejang, mata memandang keatas,
lidah tidak tergigit tapi keluar lendir berbusa dari mulut pasien. Pasien juga mengaku
sebelum kejang dirinya terasa seperti akan pingsang. Menurut istri pasien kejang
berlangsung kurang lebih 30 menit. Setelah kejang pasien mengaku tersadar. Keluhan
kejang dirasakan sejak tahun 2011. Pasien mengaku sering kejang berulang. Kejang
yang terjadi tidak berhubungan dengan demam. Kejang biasanya terjadi lebih dari 1
kali dalam seminggu. Biasanya setelah kejang pasien tersadar dan merasa pusing lalu
tertidur karena lemas. Pasien mengaku juga sering sakit kepala, merasa kepala nya
seperti kurang nyaman. Sakit kepala berputar disangkal oleh pasien. Pasien
menyangkal ada mual muntah. Demam disangkal. BAK dan BAB normal. Pasien
sudah berobat ke poliklinik Saraf pada tahun 2011, namun setelah itu lebih sering
berobat ke klinik umum.
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien mengaku memiliki riwayat kejang saat usia sekitar 10 tahun, namun
hanya beberapa kali dan pasien lupa tentang pola kejangnya. Riwayat trauma kepala
atau infeksi sebelumnya disangkal. Pasien memiliki riwayat hipertensi dan penyakit
jantung. Riwayat DM, penyakit paru serta alergi obat-obatan di sangkal oleh pasien.
Riwayat Penyakit Keluarga
Pasien mengaku kakak kandung pasien juga memiliki riwayat kejang
berulang, namun pasien tidak dapat menjelaskan tentang pola kejangnya.
3
Riwayat Pengobatan
Pasien mengaku mengkonsumsi carbamazepim untuk keluhan kejangnya.
Pasien mengaku ketika terasa badan tidak enak terasa seperti akan kejang segera
meminum obat tersebut untuk mencegah terjadinya kejang, setelah minum obat pasien
mengaku menjadi tertidur. Pasien juga mengaku meminum obat antihipertensi serta
obat untuk penyakit jantungnya namun pasien sudah jarang meminum obat-obat
tersebut.
Riwayat Kebiasaan
Pasien menyangkal memiliki riwayat kebiasaan merokok maupun minum
minuman beralkohol. Pasien jarang berolahraga.
Tekanan darah
: 140/80 mmHg,
Denyut nadi
: 36,3oC
BB
: 60 kg
TB
: 165 cm
BMI
B. STATUS GENERALIS
Kepala
Bentuk
: normochepali, simetri
Nyeri tekan
: (-)
Rambut
Wajah
Mata
: edema kelopak mata (-/-), pupil bulat isokor 2 mm|2mm, RCL (+/+)
RCTL (+/+) konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), sekret (-/-), ptosis (-/-),
-
lagoftalmus (-/-)
Hidung
: Simetris , septum deviasi (-), deformitas (-), sekret (-/-)
Telinga
: normotia, pendengaran normal, nyeri tekan tragus dan mastoid (-)
Gigi Mulut
: Jumlah gigi 31, terdapat gigi tanggal incisivus 2 kanan bawah,
karies gigi (-), perdarahan gusi (-), oral hygiene cukup baik.
Lidah
: coated tongue (-), papil atrofi (-)
Tenggorokan
: normal, tidak hiperemis, tonsil T1-T1
Leher
Kelenjar Getah Bening
: Tidak teraba membesar
Kelenjar Tiroid
: Tidak teraba membesar
Trakhea
: Lurus, tidak ada deviasi
JVP
: 5+2 cm H20
Thoraks
Paru
Inspeksi
: Hemithoraks simetris saat statis dan dinamis, retraksi sela iga
(-),
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
Jantung
Inspeksi
deformitas (-)
: Vokal fremitus kanan dan kiri simetris
: Sonor di kedua lapang paru
: Suara nafas vesikuler, ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Palpasi
midclavicularis
sinistra
Perkusi
Auskultasi
Abdomen
Inspeksi
Auskultasi
Palpasi
: supel, nyeri tekan tidak ada, hepar dan lien tidak teraba membesar
Perkusi
Ekstremitas
- atas
- bawah :
C. STATUS NEUROLOGIS
1) Kesadaran
: Composmentis
2) GCS
: E 4 V5 M 6
:-
Brudzinsky 1
:-
Brudzinsky 2
: -|-
Laseque
: >700 | >700
Kernig
: >1350 | >1350
4) Saraf kranial
1. N. I (Olfactorius )
Daya pembau
Kanan
Dbn
Kiri
dbn
Keterangan
Dalam batas
normal
2. N.II (Opticus)
Daya penglihatan
Kanan
Dbn
Kiri
Dbn
Lapang pandang
Dbn
Dbn
Pengenalan warna
Dbn
Dbn
Kanan
(-)
Kiri
Keterangan
Dalam
batas
normal
3. N.III (Oculomotorius)
Ptosis
Keterangan
(-)
Pupil
Dalam
Bentuk
Bulat
Bulat
Ukuran
2mm
2mm
akomodasi
baik
baik
batas
normal
Refleks pupil
6
Langsung
(+)
(+)
Tidak langsung
(+)
(+)
Dbn
Dbn
ortoforia
ortoforia
Kanan
Dbn
Kiri
Dbn
4. N. IV (Trokhlearis)
Gerak bola mata
Keterangan
Dalam
batas
normal
5. N. V (Trigeminus)
Kanan
Dbn
Kiri
Dbn
Keterangan
Opthalmikus
Dbn
Dbn
Dalam
Maxilaris
Dbn
Dbn
normal
Mandibularis
Dbn
Dbn
Kanan
Dbn
Kiri
Dbn
Keterangan
Dalam
batas
Strabismus
(-)
(-)
normal
Kanan
Kiri
Keterangan
Saat diam
simetris
simetris
Dalam
Mengernyitkan dahi
Dbn
Dbn
normal
Senyum
Dbn
Dbn
memperlihatkan gigi
Dbn
Dbn
Motorik
Sensibilitas
batas
6. N. VI (Abduscens)
7. N. VII (Facialis)
Motorik
Daya
perasa
anterior lidah
2/3 Tidak
batas
Tidak dilakukan
dilakukan
8. N. VIII (Vestibulo-Kokhlearis)
Kanan
Kiri
Tuli konduktif
(-)
(-)
Tuli sensorieural
(-)
(-)
Keterangan
Pendengaran
Vestibular
Dalam
batas
normal
Vertigo
(-)
(-)
Nistagmus
(-)
(-)
9. N. IX (Glossofaringeus)
Kanan
Simetris
Arkus farings
Daya
perasa
Kiri
Simetris
1/3
posterior lidah
Keterangan
Dalam
Tidak
batas
Tidak dilakukan
normal
Kiri
Simetris
Keterangan
Arkus farings
Kanan
Simetris
Disfonia
Dalam
Refleks muntah
Tidak
Tidak dilakukan
normal
Kanan
Kiri
Keterangan
Menoleh
dbn
dbn
Dalam
Mengankat bahu
dbn
dbn
normal
Eutrofi
Eutrofi
Kiri
Dbn
Keterangan
Motorik
Kanan
dbn
Trofi
eutrofi
Eutrofi
Dalam
Tremor
(-)
(-)
normal
Disartri
(-)
(-)
dilakukan
10. N. X (Vagus)
batas
dilakukan
11. N. XI (Assesorius)
Motorik
Trofi
batas
batas
5) Sistem motorik
8
Kanan
Kiri
Kekuatan
5555
5555
Tonus
Trofi
Eu
Eu
(-)
(-)
Keterangan
Ekstremitas atas
Ger.involunter
Ekstremitas bawah
Dalam
Batas
Normal
Kekuatan
5555
5555
Tonus
Trofi
Eu
Eu
Ger.involunter
(-)
(-)
6) Sistem sensorik
Sensasi
Raba
Kanan
baik
Kiri
baik
Keterangan
Dalam
batas
Nyeri
baik
baik
normal
Suhu
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Propioseptif
7) Refleks
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Refleks
Fisiologis
Kanan
Kiri
Biseps
(+)
(+)
Triseps
(+)
(+)
Patella
(+)
(+)
(+)
(+)
Hoffman Tromer
(-)
(-)
Babinski
(-)
(-)
Dalam
Chaddock
(-)
(-)
normal
Openheim
(-)
(-)
Gordon
(-)
(-)
Schaeffer
(-)
(-)
Achilles
Patologis
Keterangan
batas
Pemeriksaan
Jari tangan jari tangan
Kanan
Baik
Kiri
Baik
Baik
Baik
Tumit lutut
Baik
Baik
Pronasi supinasi
Baik
Baik
Romberg test
Tidak
Tidak dilakukan
Keterangan
dilakukan
9) Sistem otonom
Miksi
: Baik
Defekasi
: Baik
Keringat
: Baik
11) Vertebra
10
kandung pasien juga memiliki riwayat kejang berulang. Pasien telah diberi obat
carbamazepim
untuk
keluhan
kejangnya.
Pasien
juga
meminum
obat
antihipertensi serta obat untuk penyakit jantungnya namun pasien sudah jarang
meminum obat-obat tersebut.
Pada Pemeriksaan Fisik ditemukan :
Keadaan Umum
Kesadaran
: Compos Mentis
Tanda vital
Tekanan darah
Denyut nadi
Frekuensi Nafas
: 140/80 mmHg
: 84x/mnt
: 18x /mnt
Suhu
: 36,3oC
Status generalis
Status Neurologis
: GCS E4V5M6
: baik
Sistem motorik :
Lengan kanan/kiri
: 5555/5555
Tungkai kanan/kiri
: 5555/5555
Sistem sensorik
: baik
Refleks fisiologis
: (+)
Refleks Patologis
: (-)
Pertolongan pertama
o Pasien dan anggota keluarga harus diberitahukan dengan jelas tindakan
apa yang harus diambil bila menghadapi serangan.
11
: ad bonam
12
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
EPILEPSI
DEFINISI
Kejang merupakan manifestasi berupa pergerakan secara mendadak dan tidak
terkontrol yang disebabkan oleh kejang involunter saraf otak.3
Epilepsi menurut JH Jackson (1951) didefinisikan sebagai suatu
gejala akibat cetusan pada jaringan saraf yang berlebihan dan tidak
beraturan. Cetusan tersebut dapat melibatkan sebagian kecil otak
(serangan parsial atau fokal) atau yang lebih luas pada kedua
hemisfer otak (serangan umum). Epilepsi merupakan gejala klinis
yang kompleks yang disebabkan berbagai proses patologis di otak.
Epilepsi ditandai dengan cetusan neuron yang berlebihan dan dapat
13
EPIDEMIOLOGI
Epilepsi merupakan salah satu kelainan otak yang serius dan umum terjadi.
Sekitar lima puluh juta orang di seluruh dunia mengalami kelainan ini. Angka
epilepsy lebih tinggi di negara berkembang. Insiden epilepsy di negara maju
ditemukan sekitar 50/100.000. sementara di Negara berkembang mencapai
100/100.000.5
Di Negara berkembang sekitar 80-90% diantaranya tidak mendapatkan
pengobatan apapun. Penderita laki-laki umumnya sedikit lebih banyak dibandingkan
dengan perempuan. Insiden tertinggi terjadi pada anak berusia dibawah 2 tahun dan
usia lanjut di atas 65 tahun. Umumnya paling tinggi pada umur 20 tahun pertama,
menurun sampai umur 50 th, dan meningkat lagi setelahnya terkait dengan
kemungkinan terjadinya penyakit cerebrovascular. Pada 75% pasien, epilepsy terjadi
sebelum umur 18 tahun.6
14
ETIOLOGI
Etiologi Epilepsi kemungkinan disebabkan oleh:
A. Aktivitas saraf abnormal akibat proses patologis yang mempengaruhi
otak
B. Gangguan biokimia atau metabolik dan lesi mikroskopik di otak akibat
trauma otak pada saat lahir atau cedera lain
C. Pada bayi penyebab paling sering adalah asfiksi atau hipoksia waktu
lahir, trauma intrakranial waktu lahir, gangguan metabolik, malformasi
congenital pada otak, atau infeksi
D. Pada anak-anak dan remaja mayoritas adalah epilepsy idiopatik,
pada umur 5-6 tahun disebabkan karena febril
E. Pada usia dewasa penyebab lebih bervariasi idiopatik, karena birth
trauma, cedera kepala, tumor otak (usia 30-50 th), penyakit serebro
vaskuler (> 50 th)
Ditinjau dari penyebab, epilepsi dapat dibagi menjadi 3 golongan, yaitu :
neurodegenerative.
Epilepsy kriptogenik : dianggap simtomatik tetapi penyebabnya belum
diketahui, termasuk disini adalah sindrom West, sindrom Lennox-Gastaut dan
epilepsy mioklonik.7
KLASIFIKASI
Epilepsi dapat diklasifikasikan menurut klasifikasi bangkitan
epilepsi dan klasifikasi sindroma epilepsi. Klasifikasi sindroma
epilepsi berdasarkan faktor-faktor tipe bangkitan (umum atau
terlokalisasi), etiologi (simtomatik atau idiopatik), usia dan situasi
15
1. Bangkitan parsial/fokal
1) Bangkitan parsial sederhana (tanpa gangguan kesadaran)
a. Dengan gejala motorik
b. Dengan gejala sensorik
c. Dengan gejala otonomik
d. Dengan gejala psikik
2) Bangkitan parsial kompleks (dengan gangguan kesadaran)
a. Awalnya parsial sederhana, kemudian diikuti gangguan
kesadaran
Bangkitan
parsial
sederhana,
diikuti
gangguan
kesadaran
Dengan automatisme
b. Dengan gangguan kesadaran sejak awal bangkitan
Dengan gangguan kesadaran saja
Dengan automatisme
3) Bangkitan parsial yang menjadi umum sekunder (tonikklonik, tonik atau klonik)
a. Bangkitan parsial sederhana
berkembang
menjadi
bangkitan umum
b. Bangkitan parsial
berkembang
menjadi
kompleks
bangkitan umum
c. Bangkitan parsial sederhana berkembang menjadi parsial
kompleks, dan berkembang menjadi bangkitan umum
2. Bangkitan Umum (Konvulsi atau Non-Konvulsi)
1) Bangkitan lena (absence)
Lena (absence), sering disebut petitmal. Serangan
terjadi
secara
tiba-tiba,
Kesadaran hilangselama
dengan
terhentinya
tanpa
beberapa
percakapan
di
dahului
aura.
detik, di tandai
untuk
sesaat,
meningkat
dari
otot
ekstremitas,
sehingga
lengan
bawah
dengan
bentuk
dekortikasi.
Biasanya
17
dengan
bangkitan
yang
dipresipitasi
oleh
suatu
19
4. Sindrom Khusus
4.1. Bangkitan yang berkaitan dengan situasi tertentu
4.1.1. Kejang demam
4.1.2. Bangkitan kejang / status epileptikus yang timbul hanya
sekali( isolated)
4.1.3. Bangkitan yang hanya terjadi bila terdapat kejadian metabolic akut,
atau toksis, alcohol, obat-obatan, eklamsia, hiperglikemi non
ketotik
4.1.4. Bangkitan berkaitan dengan pencetus spesifik (epilepsi reflektorik)
PATOFISIOLOGI
Serangan epilepsi terjadi apabila proses eksitasi di dalam otak lebih dominan
dari pada proses inhibisi. Perubahan-perubahan di dalam eksitasi aferen, disinhibisi,
pergeseran konsentrasi ion ekstraseluler, voltage-gated ion channel opening, dan
menguatnya sinkronisasi neuron sangat penting artinya dalam hal inisiasi dan
perambatan aktivitas serangan epileptik. Aktivitas neuron diatur oleh konsentrasi ion
di dalam ruang ekstraseluler dan intraseluler, dan oleh gerakan keluar-masuk ion-ion
menerobos membran neuron.
20
Lima buah elemen fisiologi sel dari neuronneuron tertentu pada korteks
serebri penting dalam mendatangkan kecurigaan terhadap adanya epilepsi:
1. Kemampuan neuron kortikal untuk bekerja pada frekuensi tinggi dalam merespon
depolarisasi diperpanjang akan menyebabkan eksitasi sinaps dan inaktivasi konduksi
Ca2+ secara perlahan.
2. Adanya koneksi eksitatorik rekuren (recurrent excitatory connection), yang
memungkinkan adanya umpan balik positif yang membangkitkan dan menyebarkan
aktivitas kejang.
3. Kepadatan komponen dan keutuhan dari pandangan umum terhadap sel-sel
piramidal pada daerah tertentu di korteks, termasuk pada hippocampus, yang bias
dikatakan sebagai tempat paling rawan untuk terkena aktivitas kejang. Hal ini
21
impuls yang berlebihan di dalam otak yang tidak mengikuti pola yang normal,
sehingga terjadi sinkronisasi dari impuls.
Sinkronisasi ini dapat terjadi pada sekelompok atau seluruh neuron di otak secara
serentak, secara teori sinkronisasi ini dapat terjadi.
1. Fungsi jaringan neuron penghambat ( neurotransmitter GABA dan Glisin ) kurang
optimal hingga terjadi pelepasan impuls epileptik secara berlebihan.
2. Keadaan dimana fungsi jaringan neuron eksitatorik ( Glutamat dan Aspartat )
berlebihan hingga terjadi pelepasan impuls epileptik berlebihan juga.
Fungsi neuron penghambat bisa kurang optimal antara lain bila konsentrasi
GABA (gamma aminobutyric acid ) tidak normal. Pada otak manusia yang menderita
epilepsi ternyata kandungan GABA rendah. Hambatan oleh GABA dalam bentuk
inhibisi potensial postsinaptik ( IPSPs = inhibitory post synaptic potentials) adalah
lewat reseptor GABA.
disebabkan oleh hilang atau kurangnya inhibisi oleh GABA, zat yang merupakan
neurotransmitter inhibitorik utama pada otak. Ternyata pada GABA ini sama sekali
tidak sesederhana seperti yang disangka semula. Riset membuktikan bahwa
perubahan pada salah satu komponennya bias menghasilkan inhibisi tak lengkap yang
akan menambah rangsangan. Sinkronisasi dapat terjadi pada sekelompok kecil neuron
saja, sekelompok besar atau seluruh neuron otak secara serentak. Lokasi yang berbeda
dari kelompok neuron ini menimbulkan manifestasi yang berbeda dari serangan
epileptik. Secara teoritis ada 2 penyebabnya yaitu fungsi neuron penghambat kurang
optimal ( GABA ) sehingga terjadi pelepasan impuls epileptik secara berlebihan,
sementara itu fungsi jaringan neuron eksitatorik ( Glutamat ) berlebihan. Berbagai
macam penyakit dapat menyebabkan terjadinya perubahan keseimbangan antara
neuron inhibitor dan eksitator, misalnya kelainan heriditer, kongenital, hipoksia,
infeksi, tumor, vaskuler, obat atau toksin. Kelainan tersebut dapat mengakibatkan
rusaknya faktor inhibisi dan atau meningkatnya fungsi neuron eksitasi, sehingga
mudah timbul epilepsi bila ada rangsangan yang memadai. Daerah yang rentan
terhadap kerusakan bila ada abnormalitas otak antara lain di hipokampus. Oleh karena
setiap serangan kejang selalu menyebabkan kenaikan eksitabilitas neuron, maka
serangan kejang cenderung berulang dan selanjutnya menimbulkan kerusakan yang
lebih luas. Pada pemeriksaan jaringan otak penderita epilepsi yang mati selalu
didapatkan kerusakan di daerah hipokampus. Oleh karena itu tidak mengherankan bila
lebih dari 50% epilepsi parsial, fokus asalnya berada di lobus temporalis dimana
23
terdapat hipokampus dan merupakan tempat asal epilepsi dapatan. Pada bayi dan
anak-anak, sel neuron masih imatur sehingga mudah terkena efek traumatik,
gangguan metabolik, gangguan sirkulasi, infeksi dan sebagainya. Efek ini dapat
berupa kemusnahan neuron-neuron serta sel-sel glia atau kerusakan pada neuron atau
glia, yang pada gilirannya dapat membuat neuron glia atau lingkungan neuronal
epileptogenik. Kerusakan otak akibat trauma, infeksi, gangguan metabolisme dan
sebagainya, semuanya dapat mengembangkan epilepsi. Akan tetapi anak tanpa brain
damage dapat juga menjadi epilepsi, dalam hal ini faktor genetik dianggap
penyebabnya, khususnya grand mal dan petit mal serta benigne centrotemporal
epilepsy. Walaupun demikian proses yang mendasari serangan epilepsi idiopatik,
melalui mekanisme yang sama.
Dasar serangan epilepsi ialah gangguan fungsi neuron-neuron otak dan
transmisi pada sinaps. Tiap sel hidup, termasuk neuron-neuron otak mempunyai
kegiatan listrik yang disebabkan oleh adanya potensial membrane sel. Potensial
membrane neuron bergantung pada permeabilitas selektif membrane neuron, yakni
membrane sel mudah dilalui oleh ion K dari ruang ekstraseluler ke intraseluler dan
kurang sekali oleh ion Ca, Na dan Cl, sehingga di dalam sel terdapat kosentrasi tinggi
ion K dan kosentrasi rendah ion Ca, Na, dan Cl, sedangkan keadaan sebaliknya
terdapat
diruang
ekstraseluler.
Perbedaan
konsentrasi
ion-ion
inilah
yang
24
Gen
Sindroma
SCN1A, SCN1B
SCN2A, GABRG2
KCNQ2, KCNQ3
seizures plus
Benign
familial
neonatal
25
Kanal Kalsium
Kanal Klorida
CACNA1A,
convulsions
Episodic ataxia tipe 2
CACNB4
ACNA1H
CLCN2
Ligand-gated
Reseptor asetilkolin
CHRNB2, CHRNA4
Reseptor GABA
GABRA1, GABRD
epilepsy
Juvenile myoclonic epilepsy
Pada kanal ion yang normal terjadi keseimbangan antara masuknya ion
natrium (natrium influks) dan keluarnya ion kalium (kalium efluks) sehingga terjadi
aktivitas depolarisasi dan repolarisasi yang normal pada sel neuron. Jika terjadi mutasi
pada kanal Na seperti yang terdapat pada generalized epilepsy with febrile seizures
plus, maka terjadi natrium influks yang berlebihan sedangkan kalium efluks tetap
seperti semula sehingga terjadi depolarisasi dan repolarisasi yang berlangsung
berkali-kali dan cepat atau terjadi hipereksitasi pada neuron.
Hal yang sama terjadi pada benign familial neonatal convulsion dimana
terdapat mutasi kanal kalium sehingga terjadi efluks kalium yang berlebihan dan
menyebabkan hipereksitasi pada sel neuron.
Patofisiologi Anatomi Seluler
Secara etiopatologik, bangkitan epilepsi bisa diakibatkan oleh cedera kepala,
stroke, tumor otak, infeksi otak, keracunan, atau juga pertumbuhan jarigan saraf yang
tidak normal (neurodevelopmental problems), pengaruh genetik yang mengakibatkan
mutasi. Mutasi genetik maupun kerusakan sel secara fisik pada cedera maupun stroke
ataupun tumor akan mengakibatkan perubahan dalam mekanisme regulasi fungsi dan
struktur neuron yang mengarah pada gangguan pertumbuhan ataupun plastisitas di
sinapsis. Perubahan (fokus) inilah yang bisa menimbulkan bangkitan listrik di otak.
Bangkitan epilepsi bisa juga terjadi tanpa ditemukan kerusakan anatomi
(focus) di otak. Disisi lain epilepsi juga akan bisa mengakibatkan kelainan jaringan
26
otak sehingga bisa menyebabkan disfungsi fisik dan retardasi mental. Dari sudut
pandang biologi molekuler, bangkitan epilepsi disebabkan oleh ketidakseimbangan
sekresi maupun fungsi neurotransmiter eksitatorik dan inhibitorik di otak. Keadaan ini
bisa disebabkan sekresi neurotransmiter dari presinaptik tidak terkontrol ke sinaptik
yang selanjutnya berperan pada reseptor NMDA atau AMPA di post-sinaptik.
Keterlibatan reseptor NMDA subtipe dari reseptor glutamat (NMDAR) disebut-sebut
sebagai patologi terjadinya kejang dan epilepsi. Secara farmakologik, inhibisi
terhadap NMDAR ini merupan prinsip kerja dari obat antiepilepsi. Beberapa
penelitian neurogenetik membuktikan adanya beberapa faktor yang bertanggungjawab
atas bangkitan epilepsi antara lain kelainan pada ligand-gate (sub unit dari reseptor
nikotinik) begitu juga halnya dengan voltage-gate (kanal natrium dan kalium). Hal ini
terbukti pada epilepsi lobus frontalis yang ternyata ada hubungannya dengan
terjadinya mutasi dari resepot nikotinik subunit alfa. Berbicara mengenai kanal ion
maka peran natrium, kalium dan kalsium merupakan ion-ion yang berperan dalam
sistem komunikasi neuron lewat reseptor. Masuk dan keluarnya ion-ion ini
menghasilkan bangkitan listrik yang dibutuhkan dalam komunikasi sesame neuron.
Jika terjadi kerusakan atau kelainan pada kanal ion-ion tersebut maka
bangkitan listrik akan juga terganggu sebagaimana pada penderita epilepsi. Kanal ion
ini berperan dalam kerja reseptor neurotransmiter tertentu. Dalam hal epilepsi dikenal
beberapa neurotransmiter seperti gamma aminobutyric acid (GABA) yang dikenal
sebagai inhibitorik, glutamat (eksitatorik), serotonin (yang sampai sekarang masih
tetap dalam penelitian kaitan dengan epilepsi, asetilkholin yang di hipokampus
dikenal sebagai yang bertanggungjawab terhadap memori dan proses belajar.
GEJALA
27
28
DIAGNOSIS
Untuk dapat mendiagnosis seseorang menderita epilepsi dapat dilakukan
melalui anamnesis dan pemeriksaan klinis dengan hasilpemeriksaan EEG dan
radiologis. Namun demikian, bila secara kebetulan melihat serangan yang sedang
berlangsung maka epilepsi (klinis) sudah dapat ditegakkan.8
1. Anamnesis
Anamnesis harus dilakukan secara cermat, rinci dan menyeluruh, karena
pemeriksa hampir tidak pemah menyaksikan serangan yang dialami penderita.
Penjelasan perihal segala sesuatu yang terjadi sebelum, selama dan sesudah serangan
(meliputi gejala dan lamanya serangan) merupakan informasi yang sangat berarti dan
merupakan kunci diagnosis. Anamnesis juga memunculkan informasi tentang trauma
kepala dengan kehilangan kesadaran, meningitis, ensefalitis, gangguan metabolik,
malformasi vaskuler dan obat-obatan tertentu.
Anamnesis (auto dan aloanamnesis), meliputi:
- Pola / bentuk serangan
- Lama serangan
- Gejala sebelum, selama dan paska serangan
- Frekuensi serangan
- Faktor pencetus
- Ada / tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang
- Usia saat serangan terjadinya pertama
- Riwayat kehamilan, persalinan dan perkembangan
- Riwayat penyakit, penyebab dan terapi sebelumnya
- Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga
29
terhenti. Kemudian
penderita
mengalami
kejang
tonik. otot-otot
berkontraksi sangat hebat, penderita terjatuh, lengan fleksi dan tungkai ekstensi.
Udara paru-paru terdorong keluar dengan deras sehingga terdengar jeritan yang
dinamakan jeritan epilepsi. Kejang tonik ini kemudian disusul dengan kejang klonik
yang seolah-olah mengguncang-guncang dan membanting-banting tubuh si sakit ke
tanah. Kejang tonik-klonik berlangsung 2 -- 3 menit. Selain kejang-kejang terlihat
aktivitas vegetatif seperti berkeringat, midriasis pupil, refleks cahaya negatif, mulut
berbuih dan sianosis. Kejang berhenti secara berangsur-angsur dan penderita dalam
keadaan stupor sampai koma. Kira-kira 4-5 menit kemudian penderita bangun,
termenungdan kalau tak diganggu akan tidur beberapa jam. Frekuensi bangkitan dapat
setiap jam sampai setahun sekali.
Minor :
Epilepsi petit mal yang sering disebut pykno epilepsi ialah epilepsi umum
yang idiopatik. Meliputi kira-kira 3 -- 4% dari kasus epilepsi..
Bangkitan mioklonus. Bangkitan berupa gerakan involunter misalnya
anggukan kepala, fleksi lengan yang terjadi berulang-ulang. Bangkitan terjadi
demikian cepatnya sehingga sukar diketahui apakah ada kehilangan kesadaran atau
tidak. Bangkitan ini sangat peka terhadap rangsang sensorik.(9)
Bangkitan akinetik. Bangkitan berupa kehilangan kelola sikap tubuh karena
menurunnya tonus otot dengan tiba-tiba dan cepat sehingga penderita jatuh atau
mencari pegangan dan kemudian dapat berdiri kembali. Ketiga jenis bangkitan
30
ini(petit mal, mioklonus dan akinetik) dapat terjadi pada seorang penderita dan
disebut trias Lennox-Gastaut.
Spasme infantil. Jenis epilepsi ini juga dikenal sebagai salaam spasm atau
sindroma West. Timbul pada bayi 3 -- 6 bulan dan lebih sering pada anak laki-laki.
Penyebab yang pasti belum diketahui, namun selalu dihubungkan dengan kerusakan
otak yang luas seperti proses degeneratif, gangguan akibat trauma, infeksi dan
gangguan pertumbuhan. Bangkitan dapat berupa gerakan kepala kedepan atau keatas,
lengan ekstensi, tungkai tertarik ke atas, kadang-kadang disertai teriakan atau
tangisan,miosis atau midriasis pupil, sianosis dan berkeringat.
Bangkitan motorik. Fokus epileptogen terletak di korteks motorik. Bangkitan
kejang pada salah satu atau sebagian anggota badan tanpa disertai dengan hilang
kesadaran. Penderita seringkali dapat melihat sendiri gerakan otot yang misalnya
dimulai pada ujung jari tangan, kemudian ke otot lengan bawah dan akhirnya seluruh
lengan.Manifestasi klinik ini disebut Jacksonian marche Epilepsi parsial ( 20% dari
seluruh kasus epilepsi).9
Bangkitan sensorik
epileptogen pada koteks sensorik. Bangkitan somato sensorik dengan fokus terletak di
gyrus postcentralis memberi gejala kesemutan, nyeri pada salah satu bagian tubuh,
perasaan posisi abnormal atau perasaan kehilangan salah satu anggota badan.
Aktivitas listrik pada bangkitan ini dapat menyebar ke neuron sekitarnya dan dapat
mencapai korteks motorik sehingga terjadi kejang-kejang. Epilepsi lobus temporalis.
Jarang terlihat pada usia sebelum 10 tahun. Memperlihatkan gejala fokalitas yang
khas sekali. Manifestasi klinik fokalitas ini sangat kompleks karena fokus
epileptogennya terletak di lobus temporalis dan bagian otak ini meliputi kawasan
pengecap, pendengar, penghidu dan kawasan asosiatif antara ketiga indra tersebut
dengan kawasan penglihatan. Manifestasi yang kompleks ini bersifat psikomotorik,
dan oleh karena itu epilepsi jenis ini dulu disebut epilepsi psikomotor.
Bangkitan psikik berupa halusinasi dan bangkitan motorik lazimnya berupa
automatisme. Manifestasi klinik ialah sebagai berikut: Kesadaran hilang sejenak,
dalam keadaan hilang kesadaran ini penderita masuk ke alam pikiran antara sadar dan
mimpi (twilight state), dalam keadaan ini timbul gejala fokalisasi yang terdiri dari
halusinasi dan automatisme yang berlangsung beberapa detik sampai beberapa
jam. Halusinasi dan automatisme yang mungkin timbul : Halusinasi dengan
31
bilirubin,
ialah keadaan
ureum
hipoglikemia,
dalamdarah. Yang
hypokalemia,
memudahkan
hipomagnesia,
timbulnya kejang
hiponatremia,
32
a. Pemeriksaan radiologis
Arteriografi dan
pneumoensefalografi
Elektroensefalografi
(EEG)
merupakan
dilakukan
pemeriksaan
bila
perlu.
penunjang
yang
34
PENATALAKSANAAN
Tujuan utama dari terapi epilepsi adalah tercapainya kualitas hidup penderita
yang optimal. Ada beberapa cara untuk mencapai tujuan tersebut antara lain
menghentikan bangkitan, mengurangi frekuensi bangkitan tanpa efek samping
ataupun dengan efek samping seminimal mungkin serta menurunkan angka kesakitan
dan kematian.10
Prinsip penanggulangan bangkitan epilepsi dengan terapi
farmaka mendasar pada beberapa faktor antara lain blok kanal
natrium, kalsium, penggunaan potensi efek inhibisi seperti GABA
dan menginhibisi transmisi eksitatorik glutamat. Sekarang ini
dikenal
dengan
pemberian
kelompok
inhibitorik
GABAergik.
lain
karbamazepin
klonazepam
(Klonopin),
(Neurontin),
lamotrigin
(Tegretol),
felbamate
(Lamiktal),
klobazam
(Felbatol),
levetirasetam
(Frisium),
gabapentin
(Keppra),
terhadap
status
epilepsi
dimulai
dari
terapi
bekerja
berperan
menginhibisi
dalam
memblok
hipereksitabilitas
loncatan
listrik.
kanal
natrium
Beberapa
studi
glutamate
dengan
reseptor
NMDA
dan
AMPA
akan
bahwa
potensi
levetirasetam
berkorelasi
dengan
37
STATUS EPILEPTIKUS
38
Definisi
Pada konvensi Epilepsy Foundation of America (EFA) 15 tahun yang lalu, status
epileptikus didefenisikan sebagai keadaan dimana terjadinya dua atau lebih rangkaian
kejang tanpa adanya pemulihan kesadaran diantara kejang atau aktivitas kejang yang
berlangsung lebih dari 30 menit. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa jika
seseorang mengalami kejang persisten atau seseorang yang tidak sadar kembali
selama lima menit atau lebih harus dipertimbangkan sebagai status epileptikus.11,12
Klasifikasi
Klasifikasi status epileptikus penting untuk penanganan yang tepat, karena
penanganan yang efektif tergantung pada tipe dari status epileptikus. Pada umumnya
status epileptikus dikarakteristikkan menurut lokasi awal bangkitan area tertentu
dari korteks (Partial onset) atau dari kedua hemisfer otak (Generalized onset)kategori utama lainnya bergantung pada pengamatan klinis yaitu, apakah konvulsi
atau non-konvulsi.
Banyak pendekatan klinis diterapkan untuk mengklasifikasikan status epileptikus.
Satu versi mengkategorikan status epileptikus berdasarkan status epileptikus umum
(tonik-klonik, mioklonik, absens, atonik, akinetik) dan status epileptikus parsial
(sederhana atau kompleks). Versi lain membagi berdasarkan status epileptikus umum
(overt atau subtle) dan status epileptikus non-konvulsi (parsial sederhana, parsial
kompleks, absens). Versi ketiga dengan pendekatan berbeda berdasarkan tahap
kehidupan (batas pada periode neonatus, infan dan anak-anak, anak-anak dan dewasa,
hanya dewasa).
Klasifikasi status epileptikus adalah sebagai berikut:
1) Overt generalized convulsive status epilepticus
Aktivitas kejang yang berkelanjutan dan intermiten tanpa ada kesadaran
penuh.
Tonik klonik
Tonik
Klonik
Mioklonik
2) Subtle generalized convulsive status epilepticus diikuti dengan generalized
convulsive status epilepticus dengan atau tanpa aktivitas motorik.
3) Simple/partial status epilepticus (consciousness preserved)
Simple motor status epilepticus
Sensory status epilepticus
39
epileptikus
merupakan
salah
satu
kondisi
neurologis
yang
status
epileptikus
pada
makalah
ini
diambil
berdasarkan
tidak lebih dari 50 mg dengan infus atau bolus. Dosis selanjutnya 5-10 mg/kg jika
kejang berulang. Efek samping termasuk hipotensi (28-50 %), aritmia jantung (2%).
Fenitoin parenteral berisi Propilen glikol, Alkohol dan Natrium hidroksida dan
penyuntikan harus menggunakan jarum suntik yang besar diikuti dengan NaCl 0,9 %
untuk mencegah lokal iritasi : tromboplebitis dan purple glove syndrome. Larutan
dekstrosa tidak digunakan untuk mengencerkan fenitoin, karena akan terjadi
presipitasi yang mengakibatkan terbentuknya mikrokristal.
mengatasi
status
epileptikus
refrakter, beberapa
ahli
menyarankan
41
42
Bersihkan jalan nafas, jika ada sekresi berlebihan segera bersihkan (bila perlu
intubasi)
a.
b.
c.
d.
e.
2.
Kirim sampel serum untuk evaluasi elektrolit, Blood Urea Nitrogen, kadar
glukosa, hitung darah lengkap, toksisitas obat-obatan dan kadar antikonvulsan darah;
periksa AGDA (Analisa Gas Darah Arteri)
3.
43
4.
6.
intravena dengan kecepatan 2 mg per menit atau Diazepam 0,2 mg/kg (5 sampai 10
mg). Jika kejang tetap terjadi berikan Fosfenitoin (Cerebyx) 18 mg per kg intravena
dengan kecepatan 150 mg per menit, dengan tambahan 7 mg per kg jika kejang
berlanjut. Jika kejang berhenti, berikan Fosfenitoin secara intravena atau
intramuskular dengan 7 mg per kg per 12 jam. Dapat diberikan melalui oral atau NGT
jika pasien sadar dan dapat menelan.
Pada : 20 sampai 30 menit, jka kejang tetap berlangsung
1.
2.
44
BAB IV
KESIMPULAN
Epilepsi adalah gangguan pada otak yang menyebabkan terjadinya kejang
berulang. Kejang terjadi ketika aktivitas listrik dalam otak tiba-tiba terganggu.
Gangguan ini dapat menyebabkan perubahan gerakan tubuh, kesadaran, emosi dan
sensasi.
Tidak semua kejang disebabkan epilepsy. Kejang juga dapat disebabkan oleh
kondisi tertentu seperti meningitis, ensefalitis atau trauma kepala. Ada banyak tipe
kejang pada epilepsy. Kejang dapat digolongkan menjadi kejang parsial dan kejang
umum, tergantung pada banyaknya area otak yang terpengaruh.
Ada beberapa komplikasi pada epilepsy seperti status epileptikus dan sudden
unexpected death in epilepsy. Status epileptikus ini terjadi jika terdapat kejang lebih
dari 30 menit tanpa adanya pemulihan kesadaran. Biasanya status epileptikus adalah
kedaruratan medis pada kejang tonik klonik. Sedangkan SUDEP sangat jarang terjadi.
Gejala epilepsy dapat dikontrol dengan menggunakan obat anti kejang.
Hamper delapan dari sepuluh orang dengan epilepsy gejala kejang yang mereka alami
dapat dikontrol dengan baik oleh obat anti kejang. Pada awal pengobatan akan
diberikan satu jenis obat untuk mengatasi kejang. Apabila kejang tidak dapat dikontrol
maka akan digunakan dua atau lebih kombinasi dari obat anti kejang.
45
DAFTAR PUSTAKA
1. Accessed
on
February
22th
2014
http://www.searo.who.int/LinkFiles/Technical_documents_Ment-134.pdf
2. Tjahjadi,P.,Dikot,Y,Gunawan,D. Gambaran Umum Mengenai Epilepsi. In :
Kapita Selekta Neurologi. Yogyakarta : Gadjah Mada University
Press.2005. p119-127.
3. Kelompok Studi Epilepsi Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia
(Perdossi).
Pedoman
Tatalaksana
Epilepsy.
Jakarta:
Penerbit
Perdossi;2012.
4. Heilbroner, Peter. Seizures, Epilepsy, and Related Disorder,Pedia
tric Neurology: Essentials for General Practice. 1st ed. 2007
5. Accessed
on
February
22th
2014:
http://www.who.int/mental_health/neurology/epilepsy_atlas_introdion.pdf
6. Accessed
on
February
22th
2014:
http://www.epilepsyfoundation.org/about/statistics.cfm
7. Accessed
on
February
22th
2014
http://epilepsiindonesia.com/pengobatan/epilepsi-dan-anak/pahami-gejalaepilepsi-pada-anak-2
8. Shorvon SD. HANDBOOK OF Epilepsy Treatment Forms, Causes and Th
erapy in Children and Adults. 2nd ed. America: Blackwell Publishing Ltd.2005
9 . P r i c e d a n W i l s o n . 2 0 0 6 . Patofisiologi: Konsep Klinis Proses
-Proses Penyakit. Ed: 6. Jakarta: EGC
10. Aminoff MJ dkk. Clinical Neurology. 6th ed. New York: McGraw-Hill.
11. Wilkinson I. Essential neurology. 4th ed. USA: Blackwell Publishing.
200515.PERDOSSI. Pedoman
Tatalaksana
Epilepsi.
Ed.
3. Jakarta.
200816.http://www.medscape.com/viewarticle/726809
12. Mardjono M, Sidharta P. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Penerbit Dian
Rakyat; 2009.p.439.
13. Utama H. Antiepilepsi dan Antikonvulsi dalam Farmakologi dan terapi. 5th
ed. Jakarta : Balai Penerbit FKUI; 2005.
14. Lumbantobing SM. Epilepsy. Jakarta : Balai Penerbit FKUI;2006.
46