You are on page 1of 12

LAPORAN PRAKTIKUM

PENETAPAN KANDUNGAN BORAKS DALAM BAHAN


PANGAN

KELOMPOK:
Desta Vantyca
Devi Nur Indrawati
Muhammad Nizar A
Yuke Puspita
Yulia Nofiana

PROGRAM STUDI KIMIA


FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2016

I.

LATAR BELAKANG
Formaldehida merupakan bahan kimia berwujud gas, akan tetapi

lebih mudah disimpan sebagai larutan dalam air. Formaldehida dengan


kadar 37% dan 7 - 15% metanol dalam air dikenal sebagai formalin
(Fessenden dan Fessenden, 1982). Formalin biasanya digunakan sebagai
bahan pengawet untuk spesimen-spesimen biologi.
Formalin dalam industri makanan dimanfaatkan sebagai efek
bleaching dan bahan pengawet ikan atau makanan laut (seafood) dari
bakteri atau jamur. Penambahan formalin dilakukan selama masa
pengiriman atau penyimpanan. Senyawa ini mampu mempertahankan
kesegaran makanan laut karena bereaksi dengan protein sehingga
tampak kenyal. Meskipun memiliki daya hambat yang sangat baik,
formalin tidak dapat digunakan untuk keperluan pangan karena daya
rusak fisiologisnya tidak terbatas pada sel bakteri, namun pada sel-sel
lain pada inang bakteri tersebut (Pelczar dan Chan, 1998). Lebih dari itu
akan terjadi penurunan kualitas dari bahan pangan yang diberi formalin.
Penggunaan formalin dalam makanan juga banyak dilakukan di
Indonesia. Hasil uji Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dari 700
sampel produk makanan yang diambil dari Jawa, Sulawesi Selatan dan
Lampung, 56% diantaranya mengandung formalin. Penelitian BPOM DKI
(2005) terhadap sampel bahan makanan seperti tahu, mie basah dan
ikan asin yang diambil dari pasar tradisional dan supermarket di
Jabotabek

menunjukkan

lebih

dari

50%

sampel

tersebut

positif

mengandung formalin.
Berdasarkan beberapa penelitian disimpulkan bahwa formalin
tergolong sebagai karsinogen, yaitu senyawa yang dapat menyebabkan
timbulnya kanker. Kesepakatan umum dikalangan para ahli pangan
bahwa semua bahan yang terbukti bersifat karsinogenik tidak boleh

digunakan dalam makanan maupun minuman. Prinsip ini di Amerika


dikenal dengan nama Delaney Clause. Bahan Tambahan Makanan (Food
Additive),

dalam

Peraturan

722/Men.Kes/Per/IX/88

Menteri

formalin

dilarang

makanan

dan

Kesehatan
untuk

RI

digunakan

No.
dalam

makanan dan minuman.


Konsumsi

bahan

minuman

yang

mengandung

formalin dalam jangka panjang atau melebihi ambang batas dapat


mengakibatkan kangker, iritasi pada mata dan saluran pernafasan,
kerusakan sistim saraf pusat dan kebutaan. Berdasarkan hal tersebut
maka diperlukan monitoring untuk mengetahui adanya formalin dalam
bahan makanan dan minuman di lingkungan sekitar, salah satunya
dengan menggunakan metode titrasi iodometri.

II.

TUJUAN
Mengetahui adanya kandungan formalin pada beberapa sampel
jajanan di sekitar kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan
menggunakan metode titrasi iodometri.

III.

DASAR TEORI
Akibat kemajuan ilmu teknologi pangan di dunia dewasa ini, maka semakin banyak
jenis bahan makanan yang diproduksi, dijual, dan dikonsumsi dalam bentuk yang lebih
awet dan lebih praktis dibandingkan dengan bentuk segarnya. Berkembangnya produk
pangan awet tersebut hanya mungkin terjadi karena semakin tingginya kebutuhan
masyarakat perkotaan terhadap berbagai jenis makanan yang praktis dan awet.
Kebanyakan makanan yang dikemas mengandung bahan tambahan, yaitu suatu bahan
yang dapat mengawetkan makanan atau merubahnya dengan berbagai teknik dan cara.

Bahan Tambahan Makanan didefinisikan sebagai bahan yang tidak lazim dikonsumsi
sebagai makanan dan biasanya bukan merupakan komposisi khas makanan, dapat bernilai
gizi atau tidak bernilai gizi, ditambahkan ke dalam makanan dengan sengaja untuk
membantu teknik pengolahan makanan (termasuk organoleptik) baik dalam proses
pembuatan, pengolahan, penyiapan, perlakuan, pengepakan, pengemasan, pengangkutan
dan penyimpanan produk makanan olahan, agar menghasilkan atau diharapkan
menghasilkan suatu makanan yang lebih baik atau secara nyata mempengaruhi sifat khas
makanan tersebut. Jadi kontaminan atau bahan-bahan lain yang ditambahkan ke dalam
makanan untuk memperbaiki atau meningkatkan mutu gizi bukan merupakan bahan
makanan tambahan.
Pangan secara umum bersifat mudah rusak (perishable), karena kadar air yang
terkandung di dalamnya sebagai faktor utama penyebab kerusakan pangan itu sendiri.
Semakin tinggi kadar air suatu pangan, akan semakin besar kemungkinan kerusakannya
baik sebagai akibat aktivitas biologis internal (metabolisme) maupun masuknya mikroba
perusak. kriteria yang dapat digunakan untuk menentukan apakah makanan tersebut masih
pantas di konsumsi, secara tepat sulit di laksanakan karena melibatkan factor-faktor
nonteknik, sosial ekonomi, dan budaya suatu bangsa. Idealnya, makanan tersebut harus:
bebas polusi pada setiap tahap produksi dan penanganan makanan, bebas dari perubahanperubahan kimia dan fisik, bebas mikroba dan parasit yang dapat menyebabkan penyakit
atau pembusukan (Winarno,1993).
Kentang merupakan bahan pangan yang banyak beredar dipasaran minyalnya kentang
goreng. Para penjual kentang gorengpun ingin lebih praktis dalam penjualannya sehingga
dalam proses pembuatan kentang goreng mereka ingin langsung menggunakan kentang
yang sudah diolah (dikupas) terlebih dahulu. Akibatnya kentang menjadi lebih cepat
membusuk karena lebih mudah rusak bila telah dikupas atau diolah. Untuk mencegah
kesurakan pada bahan pangan (kentang), para penjual kentang goreng mengambil jalan
pintas seperti menambahkan formalin kedalam bahan tersebut.

Formalin sudah sangat umum digunakan dalam kehidupan sehari-hari, apabila


digunakan secara benar, formalin akan banyak kita rasakan manfaatnya, misalnya sebagai
antibakteri atau pembunuh kuman dalam berbagai jenis keperluan industri, yakni pembersih
lantai, kapal, gudang dan pakaian, pembasmi lalat maupun berbagai serangga
lainnya. Peraturan Menteri Kesehatan sudah menyatakan bahwa formalin merupakan
bahan tambahan makanan terlarang, ternyata pada kenyataannya masih banyak para
pedagang/produsen makanan yang nakal tetap menggunakan zat berbahaya ini.
Formalin digunakan sebagai pengawet makanan, selain itu zat ini juga bisa
meningkatkan tekstur kekenyalan produk pangan sehingga tampilannya lebih menarik
(walaupun kadang bau khas makanan itu sendiri menjadi berubah karena formalin).
Makanan yang rawan dicampur bahan berbahaya ini biasanya seperti bahan makanan
basah seperti ikan, mie, tahu hingga jajanan anak di sekolah (Afrianto, 2008).
Formalin adalah larutan formaldehid dalam air dengan kadar 37% yang biasa di
gunakan untuk mengawetkan sampel biologi atau mengawetkan mayat. Formalin
merupakan bahan kimia yang disalahgunakan pada pengawetan tahu, mie basah, dan bakso.
Formaldehid (HCOH) merupakan suatu bahan kimia dengan berat molekul 30,03 yang pada
suhu kamar dan tekanan atmosfer berbentuk gas tidak berwarna, berbau pedas (menusuk)
dan sangat reaktif (mudah terbakar). Bahan ini larut dalam air dan sangat mudah larut
dalam etanol dan eter (Djoko, 2006).
Formalin merupakan bahan kimia yang biasa dipakai untuk membasmi bakteri
atau berfungsi sebagai disinfektan. Zat ini termasuk dalam golongan kelompok desinfektan
kuat, dapat membasmi berbagai jenis bakteri pembusuk, penyakit, cendawan atau
kapang, disamping itu juga dapat mengeraskan jaringan tubuh setiap hari. Kita menghirup
formalin dari lingkungan sekitar. Skala kecil, formaldehida sebutan lain untuk formalin
secara alami ada di alam. Contohnya gas penyebab bau kentut atau telur busuk. Formalin di
udara terbentuk dari pembakaran gas metana dan oksigen yang ada di atmosfer, dengan
bantuan sinar matahari. Formalin mudah larut dalam air sampai kadar 55 %, sangat
reaktif dalam suasana alkalis, serta bersifat sebagai zat pereduksi yang kuat, mudah
menguap karena titik didihnya rendah yaitu -210C (Winarno, 2004).

Beberapa penelitian terhadap tikus dan anjing menunjukkan bahwa pemberian


formalin dalam dosis tertentu pada jangka panjang bisa mengakibatkan kanker saluran
cerna. Penelitian lainnya menyebutkan peningkatan risiko kanker faring (tenggorokan),
sinus dan cavum nasal (hidung) pada pekerja tekstil akibat paparan formalin melalui
hirupan (Yuliarti, 2007).
Agar anda lebih waspada terhadap makanan yang mungkin mengandung formalin,
ada baiknya anda mengetahui berbagai ciri yang dapat ditemukan pada makanan yang
mengandung bahan pengawet berbahaya seperti formalin. Di bawah ini ciri ciri makanan
apabila mengandung formalin:

Makanan seperti tahu, jika mengandung formalin, teksturnya keras.

Tekstur lebih kenyal

Makanan bisa bertahan 15 hari lebih

Tidak mudah membusuk

Bau yang sangat menusuk

Pada mie, kandungan formalin membuat mie menjadi tidak mudah menjadi lengket

Warna makanan terlihat mengkilap dibandingkan jika makanan tidak mengandung


formalin
Pemerintah telah melarang formalin untuk digunakan sebagai bahan pangan. BPOM,

sebagai lembaga pengawas obat dan makanan memiliki data statistik penggunaan formalin
dalam makanan sebesar 98 sampel makanan dengan rincian 23 sampel mie basah 15 produk
tercemar formalin (65%) 34 sampel aneka ikan asin 22 produk tercemar (64,7%) dan 41

sampel tahu dan semuanya tercemar (100%). Data statistik ini dikeluarkan pada tahun
2007. Formalin sendiri apabila tertelan maka mulut,tenggorokan dan perut terasa terbakar,
sakit menelan, mual, muntah, dan diare, kemungkinan terjadi pendarahan, sakit perut yang
hebat, sakit kepala, hipotensi ( tekanan darah rendah ), kejang, tidak sadar hingga koma.
Selain itu juga dapat terjadi kerusakan hati, jantung, otak, limpa, pancreas, system susunan
saraf pusat dan ginjal.

IV.

METODE
IV.1

Alat

Alat yang digunakan dalam praktikum ini, diantaranya neraca analitik, mortar, labu
ukur, spatula, buret, kertas saring, gelas ukur, pipet ukur, Erlenmeyer, dan gelas beaker.
4.2 Bahan
Bahan yang digunakan adalah Kentang goreng, Larutan iodium 0,1N, aquadest,
larutan natrium tiosulfat 0,1N, KOH 1N, asam sulfat 30% dan indikator kanji.
4.3 Prosedur Kerja
1 gr sampel kentang goreng yang telah dihaluskan ditimbang kemudian
ditambahkan dengan aquadest hingga volume 100 ml. setelah itu diambil 10 ml larutan
sampel dan ditambahkan 50 ml larutan I 2 0,1N, 20 ml larutan KOH 1N dan 5 ml larutan
H2SO4 30%. Larutan kemudian disimpan ditempat geap selama 15 menit lalu dititrasi
dengan larutan natrium tiosulfat 0,1 N dengan menggunkan indicator kanji. Dilakukan
erlakuan yang sama untuk pengujian blanko.

V.

HASIL DAN PEMBAHASAN


5.1 Data Pengamatan
Tabel 1. Hasil Pengamatan Penetapan Kadar Formalin
Blanko

Volume Titrasi (ml)


0.2

Kadar Formalin

Sampel Tahu
Sampel Batagor
Sampel Bakso
Sampel Kentang
Sampel Cilok

18.8
20.1
19.5
19
19.6

5.59%
5.80%
5.64%
5.83%

Penetapan Kadar Formalin

( V 1V 0 ) x N x BM Formalin
gr sampel

x 100

Sampel Tahu
mol
gr
x 30.031
L
mol
x 100 = 5.59%
1 gr

( 18.80.2 ) mL x 0.1

Sampel Batagor
mol
gr
x 30.031
L
mol
x 100 =5.98
1 gr

( 20.10.2 ) mL x 0.1

Sampel Bakso
mol
gr
x 30.031
L
mol
x 100 = 5.80%
1 gr

( 19.50.2 ) mL x 0.1

Sampel Kentang
mol
gr
x 30.031
L
mol
x 100 = 5.64%
1 gr

( 190.2 ) mL x 0.1

Sampel Cilok

mol
gr
x 30.031
L
mol
x 100 = 5.83%
1 gr

( 19.60.2 ) mL x 0.1

5.2 Pembahasan
Percobaan ini bertujuan untuk menentukan kadar formalin dalam kentang goreng.
Pada percobaan ini menggunakan metode titrasi iodometri. Iodimetri termasuk proses titrasi
secara langsung, yang dimaksud titrasi langsung adaah titrasi dimana analit secara langsung
digunakan sebagai titran. Pada iodimteri ini menggunakan iodium sebagai penitar.
Iodometri termasuk proses titrasi secara tidak langsung dan titrannya menggunakan
larutan natrium tiosulfat (Na2S2O3). Hal ini disebabkan karena iodium yang dititrasi berasal
dari donor iodium yaitu KI atau NaI. Aturan standar yang biasa dipergunakan dalam
kebanyakan proses iodometri adalah Na2S2O3. Begitupula penetapan kadar formalin ini
menggunakan Na2S2O3 sebagai titran dalam proses titrasi yang dilakukan.
Iodometri merupakan analisa secara tidak langsung dimana oksidator atau

KOH

direaksikan dengan ion iodida yang berlebih dalam keadaan yang sesuai yang selanjutnya
iodium dibebaskan secara kuantitatif dan dititrasi dengan larutan Natruim Thiosulfat (
3
Na 2 S2 O .
Larutan natrium tiosulfat ini tidak stabil untuk waktu yang lama. Bakteri yang ada
pada belerang mengganggu proses metabolisme dan dapat membentuk SO 32-, SO42- dan
belerang kolodial. Adanya belerang koloial menyebabkan kekeruhan yang karena warnanya
larutan itu harus dibuang. Biasanya juga air yang digunakan untuk membuat larutan
tiosulfat dididihkan untuk membuatnya bebas kuman dan seringkali boraks atau natrium
karbonat ditambahkan sebagai bahan pengawet. Oksidasi oleh udara dari tiosulfat terjadi
perlahan. Reaksi antara iodium dan tiosulfat terjadi jauh lebih cepat daripada reaksi
peruraiannya. Oleh karena itu sebaikknya digunakanlah arutan natrium tiosulfat yang masih
segar.

Kentang diekstrak dengan 100 ml aquadest. Lalu dimasukkan ke dalam erlenmeyer


sebanyak 10 ml dan ditambahkan dengan larutan iod sebanyak 5 ml,

KOH 1 N

sebanyak

20 ml dan H2SO4 30% sebanyak 5 ml.. Sehingga terjadi perubahan warna dari bening
menjadi cokelat gelap. Setelah itu didiamkan selama 15 menit, agar larutan tersebut
tercampur sempurna.
Pada penetapan kadar formalin ini menggunakan cara titrasi iodo iodimetri yaitu
titrasi dengan menggunakan larutan iodium (yodimetri) atau titran dengan menggunakan
larutan natrium tiosulfat (iodometri). Prinsipnya pada percobaan ini larutan contoh
direaksikan terlebih dahulu dengan larutan iodium lalu kelebihan iodium dititrasi dengan
larutan natrium tiosulfat. Iodium mengoksidasi tiosulfat menjadi ion tetrationat:
I2 + 2 S2O32- + 5 H2O 8I- + 2SO42- + 10H+
Reaksinya cepat berlangsung sempurna dan tidak ada reaski sampingan.
Warna larutan iodium cukup kuat sehingga iodium dapat bekerja sebagai indikatornya
sendiri. Akan tetapi lebih umum digunakan suatu arutan kanji atau amilum. Pada hal ini,
kanji yang digunakan yaitu kanji yang banyak mengandung -amilosa karena jika kanji
yang digunakan mengandung -amilosa dan amilopektin akan membentuk senyawa
kompleks kemerahan dengan iod dan susah dihilangkan. Kepekaan lebih besar dalam
larutan yang sedikit asam oleh karena itu ditambahkan H2SO4 30% sebanyak 5 ml dalam
larutan netral dan lebih besar dengan adanya ion iodida. Pada penetapan kadar formaldehid
ini menggunakan indikator kanji yang ditambahkan sebelum dititrasi dengan Na 2S2O3.
Kadar formaldehid dalm formalin dari hasi praktikum sebesar 5.64%. .Pada proses
praktikum penentuan formaldehid dalam formalin terjadi beberapa reaksi sebagai berikut:
2KOH + I2 KIO + KI + H2O
KIO + HCHO HCOOH + KI
KIO + KI + H2SO4 K2SO4+ H2O + I2
I2 + 2Na2S2O3 2NaI + Na2S4O6

Kemudian dilakukan titrasi dengan menambahkan larutan Natruim Thiosulfat (


Na 2 S2 O3 ) sehingga terjadi perubahan warna dari cokelat tua menjadi bening. Dalam hal
ini, terjadi reaksi:
HCOH + I 2 + H 2 O 2 HI + HCOOH
Fungsi dari larutan Natruim Thiosulfat ( Na 2 S2 O3 ) itu sendiri yaitu untuk
mengikat iodin yang berlebih. Volume penitrat ( natrium tiosulfat ) yang digunakan untuk
menitrasi larutan sampel hingga berubah menjadi bening sebesar 19 ml. Dari perhitungan
yang dilakukan diperoleh kadar formalin sebesar 5.64% .

Sebenarnya batas toleransi formalin yang dapat diterima tubuh manusia dengan aman
adalah dalam bentuk air minum, menurut International Programme on Chemical
Safety (IPCS) adalah 0,1 mg per liter atau dalam satu hari asupan yang dibolehkan adalah
0,2 mg. Sementara formalin yang boleh masuk ke tubuh dalam bentuk makanan untuk
orang dewasa adalah 1,5 mg hingga 14 mg per hari. Berdasarkan standar Eropa, kandungan
formalin yang masuk dalam tubuh tidak boleh melebihi 660 ppm (1000 ppm setara 1
mg/liter). Sementara itu, berdasarkan hasil uji klinis, dosis toleransi tubuh manusia pada
pemakaian secara terus-menerus (Recommended Dietary Daily Allowances/RDDA) untuk
formalin sebesar 0,2 miligram per kilogram berat badan. Misalnya berat badan seseorang
50 kilogram, maka tubuh orang tersebut masih bisa mentoleransi sebesar 50 dikali 0,2 yaitu
10 miligram formalin secara terus-menerus. Sedangkan standar United State Environmental
Protection Agency/USEPA untuk batas toleransi formalin di udara, tercatat sebatas 0.016
ppm. Sedangkan untuk pasta gigi dan produk shampo menurut peraturan pemerintah di
negara-negara Uni Eropa (EU Cosmetic Directive) dan ASEAN (ASEAN Cosmetic
Directive) memperbolehkan penggunaan formaldehida di dalam pasta gigi sebesar 0.1 %
dan untuk produk shampo dan sabun masing-masing sebesar 0.2 %.
VI.

KESIMPULAN

Dari hasil paktikum dapat disimpulkan bahwa konsep titrasi iodometri larutan sampel
kentang yaitu formalin direaksikan terebih dahulu dengan larutan iodium lalu kelebihan
iodium dititrasi dengan larutan natrium tiosulfat. Kandungan HCOH atau formalin dalam
sampel kentang sebesar 5.64% .
VII.

DAFTAR PUSTAKA
Afrianto, Edi. 2008. Pengawasan Mutu Produk/Bahan
Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan. Direktorat
Pendidikan Dasar dan Departemen Pendidikan Nasional.

Pangan 1. Direktorat
Jenderal Manajemen

BPPOM, 2000, Pusat Pengujian Obat dan Makanan Nasional No.3/Makanan dan
Minuman, Balai Pusat Penelitian Obat dan Makanan, Jakarta.
Fessenden R. J dan J. S Fessenden. 1982. Kimia Organik Jilid 2. Jakarta: Erlangga.
Pelczar, Michael dan Chan. 1988. Dasar-Dasar Mikrobiologi 2. Alih Bahasa: Ratna Siri
Hadioetomo, dkk. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press).
Underwood, A.L dan JR Day RA. 1989. Analisa Kimia Kuantitatif Edisi Keenam. Jakarta:
Erlangga.
Winarno, FG. 2004. Keamanan Pangan 2. M Brio Press. Bogor
Yuliarti, N. 2007. Awas Bahaya di balik Lezatnya makanan. Yogyakarta

You might also like