You are on page 1of 18

SKRINING KELAINAN KONGENITAL

PENDAHULUAN
Suatu skrining bertujuan

mendeteksi risiko untuk mendapat penyakit

pada populasi yang asimptomatik. Skrining kelainan kongenital dan genetik


menjadi semakin penting dan kompleks sejak diperkenalkannya amniosentesis
pada tahun 1969. Sejumlah faktor harus dipertimbangkan apabila akan
melakukan program skrining kelainan genetik, di antaranya prevalensi penyakit
pada

populasi

yang

bersangkutan,

beratnya

penyakit,

sensitivitas

dan

spesifisitas, dan biaya/kerugian.1


Masalah kerugian, bukan hanya dalam konteks finansial semata, tetapi
sama pentingnya mempertimbangkan kerugian manusiawi (human costs).
Walaupun program skrining ini dapat memberi keyakinan pada ibu hamil yang
diperiksa, namun di sisi lain dapat menimbulkan kecemasan bila dikemukakan
pertanyaan-pertanyaan tentang abnormalitas. Konsekuensi terjadinya kekeliruan
dalam diagnosis, baik positif dan negatif, seluruhnya menuntut pertimbangan
yang teliti dan hati-hati.1
Pada awal 1970an, metode yang paling pertama diperkenalkan untuk
skrining trisomi 21, berdasarkan hubungannya dengan meningkatnya usia ibu di
atas 35 tahun. Namun oleh karena kemungkinan risiko abortus akibat tindakan
amniosentesis dan implikasi finansialnya, tindakan diagnosis prenatal tidak dapat
diberlakukan pada semua populasi ibu hamil. Secara bertahap, tindakan
amniosentesis sudah mulai meluas dan nampaknya cukup aman, sehingga
prosedur ini diperkenankan pada usia di atas 35 tahun, pada kelompok berisiko
tinggi.2
Pada akhir 1980an, diperkenalkan metode baru dalam skrining yang tidak
hanya mempertimbangkan umur ibu, tetapi juga konsentrasi berbagai produk
fetoplasental dalam sirkulasi maternal. Pada usia kehamilan 16 minggu
dilakukan pemeriksaan kadar serum maternal median untuk alfa fetoprotein
(AFP), estriol tidak terkonyugasi (uE3), human chorionic gonadotropin (hCG)
(total dan free-) and inhibin-A untuk trisomy 21, cukup efektif dibanding hanya

berdasarkan hanya pada usia ibu, pada tingkat yang sama dengan pemeriksaan
invasive, kurang lebih dapat mengidentifikasi janin dengan trisomi 21 sampai 5070%.2
Pada tahun 1990an, skrining kombinasi usia ibu dan ketebalan fetal
nuchal translucency (NT) pada umur kehamilan 11-13+6 minggu diperkenalkan.
Metode ini dapat mendeteksi kurang lebih 75% janin yang menderita untuk
angka positif skrining sekitar 5%. Selanjutnya, usia ibu dikombinasi dengan fetal
NT dan biokimiawi serum ibu (free b-hCG dan pregnancy associated plama
protein A, PAPP-A) pada trimester pertama dapat mendeteksi 85-90% janin yang
menderita. Lebih jauh lagi, pengembangan teknik baru dalam pemeriksaan
biokimiawi, dalam 30 menit setelah pengambilan darah, memungkinkan untuk
memperkenalkan one-stop clinic untuk penilaian risiko. Pada tahun 2001,
ditemukan 60-70% janin dengan trisomi 21 pada pemeriksaan tulang nasalnya
negatif pada umur kehamilan 11-13+6 minggu. Hasil awal ini akan meningkatkan
angka deteksi pada trimester pertama yang dikombinasi dengan biokimiawi
serum ibu, sampai lebih dari 95%.2
USIA IBU DAN GESTASI
Risiko untuk mendapatkan abnormalitas kromosom meningkat dengan
meningkatnya umur ibu (grafik 1). Selain itu, oleh karena janin dengan
abnormalitas kromosom lebih sering mati intrauterin dibanding dengan janin
normal, risiko untuk itu menurun dengan meningkatnya umur kehamilan (grafik
2). 2

Grafik 1. Hubungan umur ibu dengan risiko abnormalitas kromosom.

Grafik 2. Hubungan umur kehamilan dengan risiko abnormalitas


kromosom. Setiap garis menunjukkan risiko relatif

Berdasarkan kedua grafik di atas, dapat ditarik kesimpulan untuk


hubungan risiko abnormalitas kromosom dengan usia ibu dan gestasi adalah 2:

- Risiko untuk trisomi meningkat menurut umur ibu


- Risiko untuk Sindroma Turner and triploidi tidak berubah dengan
meningkatnya umur ibu.

- Semakin dini usia gestasi, semakin besar risiko mendapatkan


abnormalitas kromosom.

- Angka kematian janin pada trisomi 21 antara umur kehamilan 12 minggu


(pada saat skrining NT dilakukan) dan umur kehamilan 40 minggu sekitar
30% dan antara 16 minggu (pada saat dilakukan skrining trimester ke dua
serum biokimiawi) dengan 40 minggu, sekitar 20%.

- Pada trisomi 18, 13 dan sindroma Turner, angka kematian janin pada
umur kehamilan 12-40 minggu berkisar 80%.
RIWAYAT KEHAMILAN SEBELUMNYA
Risiko untuk trisomi pada wanita yang sebelumnya mempunyai janin atau
anak yang trisomi lebih tinggi daripada wanita umur yang sama. Pada wanita
yang sebelumnya hamil dengan trisomi, risiko rekurensi adalah 0,75% lebih
tinggi dibanding risiko umur ibu dan umur kehamilan untuk trisomi 21 pada waktu
dilakukan pemeriksaan. Jadi, untuk wanita berumur 35 tahun yang mempunya
riwayat bayi trisomi 21, risiko pada umur kehamilan 12 minggu meningkat dari 1
dari 249 (0,40%) menjadi 1 dari 87 (1,15%), dan untuk wanita umur 25 tahun,
meningkat dari 1 dari 946 (0,106%) menjadi 1 dari 117 (0,856%). Mekanisme
yang mungkin untuk meningkatnya risiko ini adalah kecilnya proporsi (kurang
dari 5%) pasangan dengan kehamilan sebelumnya parental mosaicism atau
defek genetik yang mempengaruhi proses normal dari dysjunction, sehingga
pada kelompok ini risiko rekurensi meningkat secara substansial. Pada
kebanyakan pasangan (lebih dari 95%), risiko rekurensi tidak secara aktual
meningkat. Bukti terkini menunjukkan, bahwa rekurensi sifatnya spesifik untuk

masing-masing kromosom, sehingga pada sebagian besar kasus, mekanisme


umumnya adalah parental mosaicism.2

SKRINING SINDROMA DOWN


SKRINING TRIMESTER PERTAMA
BIOKIMIAWI
Petanda biokimia untuk skrining trimester pertama telah banyak diteliti,
tetapi tampaknya kebanyakan dari petanda tersebut hanya sering dipakai pada
trimester kedua, dan hanya -hCG dan pregnancy associated plasma protein A
(PAPP-A) yang sering dipakai untuk trimester I. Berbeda dengan pemeriksaan
trimester II, kadar total hCG tidak mempunyai nilai untuk skrining trimester I.
Pada kehamilan dengan trisomi 21 kadar -hCG meningkat dan kadar PPAP-A
menurun dibanding dengan kehamilan normal. Setelah kehamilan 13 minggu
kadar PPA-P tidak dipakai lagi sebagai petanda skrining. Program skrining
trimester I dengan menggabungkan umur ibu, -hCG

dan PPAP-A dilaporkan

mampu mendeteksi trisomi 21 sekitar 60-68% , dengan risiko cut off level 1 :
250, untuk angka positif palsu sekitar 5%.3, 4
Tabel 1. Petanda biokimia trimester pertama :median MoM pada kehamilan
dengan trisomi 213
Petanda
-hCG
PAPP-A

Median MoM
1,83
0,38

ULTRASONOGRAFI
Nuchal Translucency
Nuchal Translucency (NT) merupakan diskripsi gambaran USG dari cairan
yang mengisi rongga antara kulit janin dengan jaringan lunak diatas spina
servikalis, gambaran ini dapat diukur pada kehamilan 10-14 minggu, tetapi saat
yang paling optimal adalah antara kehamilan 11-13 minggu. Untuk melakukan
pemeriksaan NT menurut Snijders dkk (1998) ada beberapa syarat yang harus
dipenuhi sebagai berikut2, 3 :
5

o Ukuran CRL antara 38 84 mm


o Potongan sagital janin harus jelas
o Gambaran janin menempati > 75 % dari image, pada posisi netral
o USG mempunyai kaliper dengan kemampuan jarak ukuran 0,1 mm
o Ketebalan maksimum subcutaneus translusensi antara kulit dan jaringan
lunak diatas spina servikalis cukup jelas
o Dapat dibedakan antara kulit janin dengan selaput amnion

Gambar 1. Pengukuran fetal NT


Beberapa penelitian telah mengemukakan hubungan antara NT dengan
anomali kromosom, dalam kehamilan normal trimester I ketebalan NT meningkat
sesuai dengan kehamilannya. Persentil ke 95 ketebalan median NT normal
adalah 0,8 mm sampai dengan kehamilan 10-14 minggu. Penelitian multisenter
dengan polulasi besar menunjukkan pengkuran NT dengan kombinasi beberapa
petanda bersama usia ibu dapat mendeteksi kelompok risiko tinggi trisomi 21
sebesar 77%

dengan angka positif palsu 5%.

Beberapa masalah dalam

mengukur NT untuk skrining trisomi 21 adalah kesulitan mengukur pada keadaan


posisi janin yang tidak tepat dan masalah kegemukan pada ibu, sehingga
pengukuran memerlukan waktu yang lama dan pengulangan pemeriksaan. 2, 3
Tulang Hidung (Nasal Bone)

Sejumlah penelitian terakhir mengukur tulang hidung (nasal bone) sebagai


metode skrining trisomi 21 pada akhir kehamilan trimester pertama. Cicero dkk
melakukan USG pada 1092 janin usia 11-14 minggu mendapatkan 99,5% janin
dengan kromosom normal mempunyai tulang hidung yang panjangnya sesuai
dengan pertambahan CRL (crown rump length) sedang duapertiga janin dengan
trisomi 21 dan 18 tidak didapatkan gambaran tulang hidung, hal ini karena
keterlambatan osifikasi, namun pada 25 dari 79 janin trisomi mempunyai nasal
bone dan panjangnya sesuai dengan CRL serta tidak berbeda secara bermakna
dengan janin yang normal. Sementara penelitian

terakhir untuk mendeteksi

trisomi 21 pada 60-70% janin dengan tulang hidung negatif, sehingga membuka
kemungkinan menggunakan teknik ini untuk skrining trisomi 21. 2
NT , SKRINING BIOKIMIA DAN NASAL BONE
Perkembangan terakhir untuk skrining trisomi 21 adalah dengan
kombinasi pemeriksaan NT pada trimester I dengan marker biokimia, beberapa
penelitian telah melaporkan kombinasi NT dengan -hCG, PAPP-A dan umur ibu
mempunyai sensitifitas 80-89% untuk deteksi trisomi 21. Pemeriksaan dengan
kombinasi ini secara substansial lebih sensitif bila dilakukan pada trimester
pertama, berdasarkan kalkulasi bahwa pemeriksaan trimester I didapatkan
sensitifitasnya 8,3% lebih tinggi dari pemeriksaan pada trimester kedua.

3, 5, 6

Nicolaides KH dkk dalam penelitiannya mengemukakan skrining kelainan


kromosom trisomi 21 pada kehamilan 12 minggu hanya dengan petanda umur
ibu saja sensitifitasnya 30%, bila dengan petanda umur ibu dan petanda serum
biokimia pada trimester II sensitivitasnya 60-70%, bila dengan petanda umur ibu,
dengan NT trimester I sensivisitasnya 75% dan bila kombinasi petanda umur ibu,
NT pada trimester I, serum biokimia - hCG dan plasma protein A (PAPP-A) pada
usia kehamilan 11-14 minggu hasilnya akan mencapai 90%. Dengan kemajuan
teknologi dalam pemeriksaan biokimia memungkinkan untuk mendapatkan
hasilnya dalam 30 menit sehingga pemeriksaan USG dapat digabungkan dengan
pemeriksaan biokimia yang cepat. Konsep baru ini disebut dengan One Stop
Clinic for Assesment of Risk (OSCAR).

Kaissenberg CS dkk dalam penelitian

multisenter di Jerman dengan prinsip yang sama seperti metode OSCAR,


mengemukakan hasil skrining kelainan kromosom untuk trisomi 21 kehamilan
pada kehamilan 11-14 minggu dengan pengukuran umur ibu, NT trimester I dan
biokimia serum darah -hCG dan PPAP-A , akan mendapatkan sensitifitas
sekitar 86-90%.5, 7
Tabel 2. Perbandingan angka deteksi (detection rate), untuk angka positif
palsu 5%, pada berbagai metode skrining trisomi 21.

Perkembangan terakhir skrining trimester awal membuka kemungkinan deteksi


sampai 95% bila menggabungkan MA, fetal NT dan NB dengan
biokimiawi serum free-BhCG dan PAPP-A.2
SKRINING TRIMESTER KEDUA
BIOKIMIAWI
Alfa fetoprotein (AFP) merupakan petanda serum pertama yang dipakai
untuk program skrining trisomi 21. Skrining biokimia AFP secara tradisi dilakukan
pada kehamilan antara 15 21 minggu, dimana saat ini serum maternal AFP
telah meningkat disebabkan adanya transport transplasenta dan transamnion
dari janin ke sirkulasi maternal. Kehamilan dengan trisomi 21 kadar MSAFP

menurun dibanding dengan kehamilan normal, dan bila petanda MSAFP


dikombinasi dengan umur ibu mampu mendeteksi sekitar 40% trisomi 21. 3, 6, 8
Dalam program skrining kadar petanda ditetapkan berdasarkan nilai MoM
dan usia kehamilan, penggunaan nilai MoM
interprestasi laboratorium

sendiri tergantung dari hasil

dan fasilitas yang digunakan untuk menentukan

variabel yang dapat mempengaruhi kadar petanda. 3, 6


Tabel 3. Petanda serum trimester II, nilai MoM kehamilan dengan trisomi 21
PETANDA
MSAFP
HCG
-hCG
Estriol
Inhibin A

MoM Trisomi 21
0,75
2,06
2,20
0,72
1,92

Petanda biokimiawi serum yang digunakan untuk skrining trisomi 21


trimester II cukup banyak, antara lain -hCG, Estriol (E3), dan inhibin A. Program
skrining saat ini yang sering dilakukan adalah kombinasi umur ibu dengan
beberapa petanda, seperti Double Test yang merupakan kombinasi usia, AFP
dan hCG yang mempunyai kemampuan deteksi sekitar 60% dan false positif 5%.
Triple Test yang merupakan kombinasi usia, AFP, hCG dan E3 mempunyai
kemampuan deteksi sekitar 70%, dan bila skrining double test atau triple test
digabungkan dengan test Inhibin A akan meningkatkan kemampuan masingmasing sebesar 5% sampai 10%.3

Tabel 4. Kemampuan skrining dengan berbagai kombinasi petanda pada


trimester II untuk angka positif palsu 5%MoM
PROGRAM SKRINING
SENSITIFITAS
Umur ibu > 35 th
30 %
Usia + AFP
37 %
Usia + AFP + hCG *
59 %
Usia + AFP + hCG + E3 **
68 %
Usia + AFP + hCG + E3 +
76 %

OAPR
1 : 130
1 : 105
1 : 65
1 : 55
1 : 55

Inhibin A ***
OAPR = odds of pregnancy being affected if screening test positif
* Double test, ** Triple test, *** Quadriple test.
ULTRASONOGRAFI
Hubungan kelainan struktural dan anomali kromosom telah diketahui,
kurang lebih sepertiga janin dengan trisomi 21 mempunyai kelainan struktural
mayor. Defek kongenital jantung merupakan kelainan yang paling sering dengan
insidensi sekitar 45%. Defek kanalis atrioventrikular dan ventrikular septal defek
adalah bentuk anomali yang paling sering ditemukan.

3, 6

Tabel dibawah ini menunjukkan beberapa soft marker yang telah


diidentifikasi secara USG pada janin trisomi 21. Soft petanda adalah gambaran
USG minor beberapa diantaranya bersifat sementara. Ketebalan nuchal fold
merupakan salah satu pemeriksaan soft marker yang paling sensitif dan spesifik
sebagai petanda pemeriksaan dengan USG pada trimester kedua, ukuran > 6
mm dapat mengidentifikasi sekitar 40% kasus trisomi 21 pada populasi risiko
tinggi. Risiko aneuploidi akan meningkat dengan semakin banyaknya anomali
janin yang terdeteksi. Pada wanita yang dengan pemeriksaan biokimia tergolong
risiko tinggi untuk

mendapat bayi trisomi 21 diperkirakan risiko ini akan

meningkat sekitar 5 kali lebih besar bila dijumpai kelainan secara USG, tetapi
pemeriksaan USG yang normal tidak dapat menyingkirkan kelainan kromosom,
karena hanya 50% janin dengan trisomi 21 yang dijumpai kelainan dengan
pemeriksaan USG.3

10

Kombinasi pemeriksaan petanda yang terbaik adalah ketebalan nuchal


fold, humerus pendek dan pyelectasis renal yang bila ditemukan bersamaan
mempunyai sensitifitas 87% dengan angka positif palsu 6,7% untuk identifikasi
trisomi 21. Keuntungan memakai petanda ini karena relatif lebih mudah
dibanding dengan pemeriksaan dengan petanda kelainan jantung yang
membutuhkan waktu lama dan tingkat pengalaman yang tinggi seorang
sonografer. 3
Tabel 5. Soft marker trisomi 21 yang ditemukan pada pemeriksaan USG
STRUKTURAL
Kistik higroma
Atrioventrikular septal defek
Ventrikular septal defek
Atresia duodenal
Ventrikulo megali
Eksomfalos
Hidrotoraks

SOFT MARKER
Ketebalan NT
Pyelectasis renal
Pemendekan humerus
Pemendekan femur
Echogenik bowel
Echogenik intracardiac focus
Hipoplasia falank tengah jari kelima
Sandal gap

ABNORMALITAS KROMOSOM LAIN


BIOKIMIAWI
Sampai saat ini program skrining biokimia untuk menentukan kelainan
kromosom masih ditujukan untuk menentukan adanya trisomi 21, telah diketahui
bahwa kelainan kromosom akan berdampak pada perubahan kadar petanda
dibanding kehamilan normal. Sejak tahun 1992, teknik skrining dengan double
markers atau triple markers mulai dipakai secara luas. Pada perkembangan
selanjutnya skrining triple makers juga dipakai untuk deteksi trisomi 18.6, 8
Pada trisomi 13 dan 18 kadar free -hCG dan PAPP-A dalam serum ibu
menurun. Pada kelainan kromosom seks kadar free -hCG normal dan PAPP-A
rendah. Pada triploidy yang diandric (tambahan kromosom dari ayah) kadar free
-hCG sangat meningkat sementara PAPP-A sedikit menurun, sedang triploidy
yang digynic kadar free -hCG dan PAPP-A menurun. Skrining dengan

11

kombinasi pemeriksaan NT , free -hCG dan PAPP-A dapat mengidentifikasi


sekitar 90% dari seluruh kelainan kromosom ini dengan screen-positive rate 1%.5
Skrining atau protokol spesifik untuk pemeriksaan aneuploidi lain sampai
saat ini belum ditetapkan, tetapi sebagai data dasar pada keadaan seperti trisomi
13 berhubungan dengan rendahnya AFP, peningkatan hCG berhubungan
dengan triploidi dan Turner sindrom bila ditemukan hidrops fetalis. 6, 8
ULTRASONOGRAFI
TRIMESTER PERTAMA
Pada trisomi 18 dan 13 pola peningkatan NT serupa dengan rata-rata
pada trisomi 21. NT pada kelainan ini sekitar 2,5 mm di atas median normal
untuk CRL. Pada sindroma Turner, median NT kurang lebih 8 mm di atas median
norma.2
Selain itu, pada trisomi 18 terjadi restriksi pertumbuhan janin lebih dini,
kecenderungan untuk bradikardiadan eksomfalos pada 30% kasus, tulang
hidung negatif pada 55% dan arteri umbilikalis tunggal pada 75% kasus. Pada
trisomi 13, terjadi takikardia pada 70% kasus dan IUGR dini, megakistik,
holoprosensefali atau eksomfalos pada 40% kasus. Pada sindroma Turner,
terjadi takikardia pada 50% kasus dan IUGR dini. Pada triploidi terjadi IUGR
asimetris yang dini, bradikardia pada 30% kasus, holoprosensefali, perubahan
molar pada plasenta sekitar 30%.2
TRIMESTER KEDUA
Tabel di bawah ini menunjukkan defek kromosomal janin dan abnormalitas
ultrsonografi pada trimester ke-22 :

12

Tabel

6.

Defek

kromosomal

janin

dan

abnormalitas

ultrsonografi

13

14

SKRINING NEURAL TUBE DEFECTS (NTDs)


Sebelum akhir tahun 1970an belum diketahui cara untuk mendeteksi
kehamilan dengan kelainan NTD sampai kemudian ditemukan bahwa alfa
fetoprotein dalam cairan amnion dan serum ibu merupakan petanda bagi
kehamilan dengan janin menderita kelainan ini. 6
Alfa fetoprotein adalah glikoprotein yang diproduksi oleh yolk sac, beredar
dalam sirkulasi janin dan keluar melalui urin ke dalam cairan amnion. Walaupun
fungsinya belum diketahui tetapi alfa fetoprotein (AFP) merupakan protein serum
yang terutama dalam tubuh janin. Kadarnya dalam serum dan cairan amnion
meningkat sampai usia kehamilan 13 minggu kemudian akan menurun dengan
cepat. AFP masuk dalam sirkulasi ibu melalui difusi melewati membran plasenta
dan mungkin ditranspor melalui sirkulasi plasenta. Brock dan Sutcliffe (1972)
menemukan peningkatan kadar AFP dalam cairan amnion dan serum ibu pada
kehamilan dengan janin anencephali. Penelitian prospektif yang pertama
mengenai hubungan kadar AFP dalam serum ibu dengan kejadian NTD
dilakukan di Inggris, kemudian dipakai secara luas di Amerika Serikat dan
daratan Eropah.4, 6, 8
Pemeriksaan AFP dalam serum ibu biasanya dilakukan pada usia
kehamilan 15-22 minggu, namun sensitivitas yang terbesar pada usia 16-18
minggu. Hasilnya dipengaruhi oleh usia ibu, berat badan, ras, status diabetes
dan jumlah janin. Kadarnya diukur dalam ng/mL dan dilaporkan sebagai multiple
of median (MOM) dari populasi normal. Peningkatan AFP lebih besar dari atau
sama dengan 2.0 sampai 2.5 MOM merupakan indikasi meningkatnya risiko NTD
dan anomali struktur yang lain dan memerlukan pemeriksaan lebih lanjut. 4, 6, 8
Bila dengan pemeriksaan USG ditemukan usia kehamilan yang tidak
sesuai maka pemeriksaan AFP diulang. Bila kadar AFP antara 2.5-3.5 MOM
maka sebaiknya diulang, karena daerah antara 2.5 3.5 MOM tumpang tindih
antara kadar normal dan yang terkena NTD (lihat gambar 1). Bila kadar AFP >
3.5 MOM tidak perlu diulang lagi karena jelas menandakan ada risiko kelainan
pada janin.4, 6

15

Gambar.1 Kadar AFP dalam serum ibu pada kehamilan tunggal 16 18


minggu. 6

The American College of Obstetrician and Gynecologists pada tahun 1996


merekomendasikan semua wanita hamil untuk menjalani skrining maternal
serum AFP (MSAFP). Dengan cut off point 2.0 2.5 MOM kebanyakan
laboratorium melaporkan hasil skrining positif berkisar 3-5 persen, dengan
sensitivitas 90% dan nilai prediksi positif 2 6%. Oleh karena hanya 1 dari 16
33 wanita dengan peningkatan AFP yang mempunyai janin dengan kelainan,
maka harus diberikan konseling yang jelas pada ibu mengenai tingginya angka
positif palsu, risiko amniosintesis dan tujuan program skrining. 6
Pemeriksaan USG dapat mendeteksi kelainan NTD dengan baik. Dalam
telaah terhadap 234 janin spina bifida dari 9 penelitian, Watson dkk (1991)
melaporkan bahwa 99% kasus mempunyai paling sedikit satu dari lima
gambaran spesifik anomali kranial yang terdeteksi dengan pemeriksaan USG.
Gambaran tersebut meliputi : lemon sign, ventriculomegaly, obliterasi cisterna
magna, diameter biparietal yang kecil dan cerebelum yang elongasi (banana
sign).6, 9
Kadar AFP dalam cairan amnion diperiksa bila hasil pemeriksaan USG
terhadap ibu dengan peningkatan MSAFP tidak ditemukan adanya kelainan. Bila
kadar

AFP

dalam

cairan

amnion

meningkat

dilakukan

pemeriksaan

acetylcholinesterase dalam cairan amnion. Bila acetylcholinesterase meningkat


menandakan adanya paparan terhadap jaringan neural atau ada defek terbuka
yang lain pada janin. Bila kadar AFP cairan amnion meningkat tanpa
16

peningkatan acetylcholinesterase berarti mungkin ada penyebab lain atau


mungkin karena kontaminasi dari darah janin. 6, 8
Dengan resolusi USG yang semakin baik maka hampir semua kelainan
NTD dapat terdiagnosis dengan pemeriksaan USG sehingga amniosintesis untuk
karyotype

maupun

untuk

pemeriksaan

AFP

sudah

menjadi

hal

yang

kontroversial. Pemeriksaan karyotype hanya dilakukan bila kadar AFP dalam


cairan amnion dan serum ibu meningkat tanpa ditemukan adanya kelainan pada
pemeriksaan USG.

Bila kadar AFP dalam cairan amnion abnormal maka

kemungkinan untuk adanya kelainan kromosom pada janin meningkat lima kali
lipat.6
Peningkatan kadar AFP dalam cairan amnion juga dapat ditemukan pada
anomali yang disebabkan oleh multifaktorial seperti omphalocele, gastochisis,
cystic hygroma. Pada keadaan ini acetylcholinesterase dapat meningkat atau
tetap, sedang pada kelainan gen tunggal (mendelian) seperti nefrosis kongenital,
AFP akan meningkat sedang acetylcholinesterase tidak. 6, 8

17

DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
4.

5.
6.
7.

8.

9.

Enkin M, Keirse MJNC, Neilson J, Crowther C, Duley L, Hodnett E, et al.


Screening
for
congenital
anomalies.
Available
at:
URL:
www.maternitywise.org/prof/. Accessed April 1st, 2005.
Nicolaides K, Snijders R. First trimester diagnosis of chromosomal
defects. In: Nicolaides K, editor. The 1113+6 weeks scan. London: Fetal
Medicine Foundation; 2004. p. 7-42.
Cameron A, Macara A, Brennand J, Milton P. Screening for chromosomal
abnormalities. In: Fetal medicine for the MRCOG and beyond. London:
RCOG press; 2002. p. 1-12.
Rodeck C, Pandya P. Prenatal diagnosis of fetal abnormalities. In:
Chamberlain G, Steer P, Breat G, Chang A, Johnson M, Neilson J, editors.
Turnbull's obstetrics. 3rd ed. London: Churchill Livingstone; 2001. p. 16996.
Nicolaides K, Bindra R, Cicero S. One-stop clinic for assesment of risk of
chromosomal defects at 12 weeks of gestation. The Journal of Maternal
-Fetal and Neonatal Medicine 2002 2002;12:9-18.
Cunningham F, MacDonald P, Gant N, Leveno K, Gilstrap L, Hankins G.
Prenatal diagnosis and therapy. In: Williams Obstetrics. 21st ed. New
York: McGraw Hill; 2001. p. 973-1003.
Kaissenber C, Wiens A, Biellicki M, et al. Screening for trisomy 21 by
maternal age, fetal nuchal translucency and maternal serum biochemistry
at 11-14 weeks; a German multicenter study. The Journal of Maternal
-Fetal and Neonatal Medicine 2002 2002;12:89-94.
Yankowitz, Williamsom R. Abnormalities of alpha-fetoprotein and other
biochemical tests. In: James D, Steer P, Weiner C, Gonik B, editors. High
risk pregnancy management option. 2nd ed. New York: WB Saunders;
2000. p. 153-70.
Rossiter J, Blakemore K. Fetal genetic disorders. In: Winn H, Hobbins J,
editors. Clinical maternal-fetal medicine. 1st ed. New York: Parthenon
Publishing Group; 2000. p. 783-98.

18

You might also like