Professional Documents
Culture Documents
Konservasi Laut
(Bunga Rampai)
Editor:
Jamaluddin Jompa
Natsir Nessa
Muhammad Lukman
Kontributor:
Andriani|Dining|Jamaluddin Jompa |Muhammad
Lukman | Naomi| Natsir Nessa Rahmi | Sudirman |
Syamsu Alam Ali |
Yusran Nur Indar dkk
Daftar Isi
Daftar Isi .......................................................................................................................................... i
URGENSI KONSERVASI LAUT (KAWASAN DAN JENIS) DALAM
PENGELOLAAN TERUMBU KARANG DI INDONESIA .............................................. 1
Natsir Nessa, Jamaluddin Jompa, Muhammad Lukman1
PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI YANG EFEKTIF DAN ADAPTIF ... 7
Yusran Nur Indar dan Jamaluddin Jompa ............................................................................... 7
KONEKTIVITAS KAWASAN KONSERVASI ................................................................... 35
Jamaluddin Jompa et al. ............................................................................................................ 35
STATUS KEBERLANJUTAN PENYU LAUT DI PULAU KAPOPOSANG .............. 14
Syamsu Alam Ali dan Deasy Ariani ........................................................................................ 14
MODEL-MODEL PENGELOLAAN KONSERVASI ....................................................... 33
Dining, Jamaluddin Jompa dkk ............................................................................................... 33
PERIKANAN DAN KONSERVASI: SINERGIS ATAU KONTRADIKTIF ? ............. 54
Sudirman dan Natsir Nessa ..................................................................................................... 54
KAWASAN KONSERVASI LAUT DAN PEMULIHAN KEANEKARAGAMAN
LARVA ........................................................................................................................................... 68
Muhammad Lukman, Andriani Nasir. ................................................................................... 68
KAWASAN KONSERVASI LAUT DAN PREVALENSI PENYAKIT KARANG DI
INDONESIA ................................................................................................................................. 83
Rahmi, Jamaluddin Jompa dkk. .............................................................................................. 83
Pendahuluan
Luas (Ha)
3,521,130.01
2,954.00
25,000.00
39,900.00
183,000.00
50,000.00
114,000.00
60,000.00
271,630.00
970,900.00
1,771.00
1,271,749.00
733.00
2,460.00
6,800.00
14,866.87
400,008.30
720.00
66,867.00
472,905.00
142,997.00
1,842,960.27
1,262,686.20
10,703,537.65
Keterangan
KKJI+UPT
KKJI+UPT
KKJI+UPT
KKJI+UPT
KKJI+COREMAP+UPT
KKJI+COREMAP+UPT
KKJI+UPT
KKJI+COREMAP+UPT
KKJI+COREMAP+UPT
KKJI+COREMAP+UPT+PEMDA
KKJI+PEMDA
KKJI+PEMDA
KKJI+PEMDA
KKJI+PEMDA
KKJI+PEMDA
KKJI+PEMDA
KKJI+PEMDA
KKJI+PEMDA
KKJI+PEMDA
KKJI+PEMDA
KKJI+PEMDA
KKJI+PEMDA
KKJI+PEMDA
Bab ini akan diperoleh status keberlanjutan setiap dimensi dalam pengelolaan
penyu di Pulau Kapoposang. Bab V membahasa berbagai macam Bagan yang
perannya dianggap menjadi ancaman dalam pengelolaan MPA. Sementara itu Bab
VII dan Bab VIII secara khusus membahas konservasi laut kaitannya dengan
pemulihan keanekaragaman larva dan perevelnsi terhadap penyakit karang.
Pendahuluan
10
Pada TWP Kapoposang terdapat 2 desa yaitu Desa Mattiro Ujung yang meliputi
Pulau Kapoposang dan Pulau Papandangan dan Desa Mattiro Matae yang
meliputi Pulau Gondongbali, Pulau Pamanggangan, Pulau Tambakulu dan Pulau
Suranti. Dari keenam pulau tersebut, 3 diantaranya berpenduduk yaitu Pulau
Kapoposang, Pulau Papandangan dan Pulau Gondongbali (Rencana Pengelolaan
dan Zonasi TWP Kapoposang, 2013).
11
12
Pada peringkat hijau, kinerja pengelolaan baru mencapai 76,19 %, hal ini
disebabkan karena unit pengelola memiliki SDM yang fungsinya belum sesuai
dengan fungsi pengelolaan dimana fungsi yang dimaksud berupa fungsi
pengawasan, monitoring sumberdaya dan penguatan sosial ekonomi budaya.
Selain dokumen rencana pengololaan belum disahkan, juga belum ada dokumendokumen tentang Standar Operasional Prosedur (SOP) pengelolaan administrasi
perkantoran, SOP sarana-prasarana minimum dan SOP yang mengatur tentang
penguatan kelembagaan, patroli bersama, pengelolaan sumberdaya kawasan, dan
penguatan sosial ekonomi dan budaya.
Pada peringkat biru, kinerja pengelolaan baru mencapai 57,14 %, hal ini
disebabkan karena kualifikasi SDM pada unit organisasi pengelola belum sesuai
dengan kompetensi yang ada dalam artian bahwa sejumlah SDM belum pernah
mengikuti pelatihan pengelolaan kawasan konservasi. Selain itu, anggaran
pengelolaan kawasan konservasi belum terpenuhi sesuai kebutuhan perencanaan
pengelolaan sehingga kebutuhan terhadap sarana dan prasarana pengelolaan juga
belum terpenuhi. Persoalan lain yang timbul akibat dari keterbatasan anggaran
pengelolaan adalah belum adanya inisiasi kegiatan pengawasan kawasan
konservasi berbasis masyarakat. Unit pengelola TWP Kapoposang sampai saat ini
juga belum menetapkan data ekologis mana yang akan digunakan sebagai garis
dasar (t0) untuk melakukan pemantauan secara berkala perubahan-perubahan
kondisi habitat, kualitas fisika, kimia, biologi dan goelogi, kondisi populasi ikan,
dan dampak kawasan konservasi TWP Kapoposang terhadap peningkatan hasil
tangkapan ikan sehingga belum dapat dinilai perubahan-perubahannya. 1
Pada peringkat emas, kinerja pengelolaan TWP baru mencapai 33,33 %, hal ini
disebabkan karena unit pengelola TWP Kapoposang belum pernah melakukan
kegiatan-kegiatan pengkajian berupa pengkajian tentang dampak kegiatan
pariwisata terhadap kawasan konservasi, kajian dampak kegiatan budidaya
terhadap kawasan konservasi, kajian dampak kegiatan perikanan terhadap
kawasan konservasi, kajian peningkatan pendapatan masyarakat sebagai dampak
dari pengelolaan, dan kajian tentang kesadaran masyarakat dalam mendukung
pelestarian sumberdaya kawasan. Selain itu, sistem pendanaan berkelanjutan yang
melibatkan stakeholder juga belum ada.
Dalam upaya melakukan pengelolaan kawasan konservasi yang efektif, unit
pengelola juga telah melakukan banyak hal dalam memenuhi persyaratanpersyaratan yang telah ditetapkan. Diantaranya mengusulkan dokumen
pencadangan calon kawasan konservasi kepada Kementerian Kelautan dan
1Keterangan
14
17
18
PERINGKAT
MERAH
(1)
KUNING
(2)
HIJAU
(3)
BIRU
(4)
EMAS (5)
KAWASAN
KONSERVASI
DIINISIASI
KAWASAN
KONSERVASI
DIDIRIKAN
KAWASAN
KONSERVASI
DIKELOLA MINIMUM
KAWASAN
KONSERVASI
DIKELOLA OPTIMUM
KAWASAN
KONSERVASI MANDIRI
KINERJA PENGELOLAAN
TWP Kapoposang
KKLD Kab. Pangkep
Capaian
Capaian (%)
Ket
Ket
(%)
100
Efektif
100
Efektif
100
Efektif
81,81
Belum
Efektif
76,19
Belum
Efektif
61,90
Belum
Efektif
57,14
Belum
Efektif
35,71
Belum
Efektif
33,33
Belum
Efektif
Belum
Efektif
19
20
21
Menurut keterangan lisan mantan ketua LPSTK Desa Mattiro Uleng bahwa unit
pengelolaa KKLD Kab.Pangkep tidak pernah melakukan sosialisasi edukatif
terkait keberadaan KKLD Kab. Pangkep sehingga nelayan sebagai entitas yang
menerima manfaat langsung sumberdaya laut tidak mengetahui keberadaan
KKLD Kab.Pangkep. 3
Pengetahuan Tentang Aturan Di Kawasan Konservasi
Tingkat pengetahuan responden terhadap aturan pemanfaatan sumberdaya di
kawasan konservasi cukup bervariasi namun umumnya respoden baik di wilayah
TWP Kapoposang (Pulau Gondongbali) maupun wilayah KKLD Kab.Pangkep
(Pulau Kulambing, Pulau Samatellu Lompo) sudah mengetahui aturan
pemanfaatan sumberdaya berupa larangan penggunaan bom dan racun/bius.
Nelayan yang berada di TWP Kapoposang (Pulau Gondongbali) dan KKLD Kab
Pangkep (Pulau Kulambing, Pulau Samatellu Lompo) yang masing-masing
sebanyak 88,6%; 97,1%; 91,4%; dan 91,4% sudah mengetahui adanya aturan
termasuk aturan pelarangan aktivitas Penangkapan Ikan Tidak Ramah
Lingkungan (PITRaL).
Sanksi Atas Pelanggaran Yang Terjadi di Kawasan Konservasi
Persepsi responden (Pulau Gondongbali) terhadap sanksi atas pelanggaran yang
terjadi di kawasan konservasi di kawasan TWP Kapoposang seperti yang terlihat
pada gambar di bawah dimana umumnya menyatakan bahwa sanksi terhadap
pelanggaran pemanfaatan sumberdaya laut hanya berupa peringatan lisan (82,9),
namun sebanyak 5,7% responden menyatakan bahwa sanksi terhadap
pelanggaran pemanfaatan sumberdaya laut pernah sampai pada proses hukum
penjara, namun penegakan aturan yang lebih berat tersebut pernah dilakukan oleh
Lantamal VI Wilayah Makassar.
Berbeda dengan persepsi responden yang ada di KKLD Kab. Pangkep dimana
umumnya menyatakan tidak ada pemberian sanksi terhadap pelanggaran
pemanfaatan sumberdaya laut dan peringatan lisan hanya disampaikan oleh kepala
desa atau nelayan setempat yang melihat praktek destructive fishing.
Laut Daerah Kabupaten Pangkajene Dan Kepulauan dan karena keterbatasan anggaran sehingga
hanya mengundang beberapa tokoh-tokoh masyarakat pada spot desa tertentu. Sosialisasi ini
sekaligus ditujukan untuk mengetahui gambaran umum resistensi masyarakat terhadap keberadaan
KKLD Kab. Pangkep. Dari hasil sosialisasi ini ditemukan banyak tanggapan unlinear dari
masyarakat terkait luasan zona inti sehingga akan diupayakan untuk dilakukan pengurangan zona
inti KKLD Kab.Pangkep.
3 Keterangan lisan mantan ketua Lembaga Pengelola Sumberdaya Terumbu Karang (LPSTK)
Desa Mattiro Uleng.
22
Ramah
24
26
27
30
31
DAFTAR PUSTAKA
Anggoro, S., 2000. Pemanfaatan Sumber Daya Pesisir dan Lautan Berwawasan
Lingkungan. Seminar Nasional Fakultas Teknik dalam rangka Dies
Natalis Universitas Diponegoro ke 43. Universitas Diponegoro.
Semarang.
Anggoro, S. 2006. Modul Matrikulasi Pengelolaan Pesisir dan Laut. Universitas
Diponegoro, Semarang.
Budiharsono, S., Asbar., E Triwibowo., F Sutopo. 2003. Strategi Pengembangan
Konservasi Laut. Dalam Lokakarya Nasional Strategi Pengembangan
dan Pengelolaan Konservasi Laut. Bogor, Oktober 2003. Direktorat
Konservasi dan Taman Nasional Laut, Ditjen Pesisir dan Pulau-pulau
Kecil, DKP. Jakarta.
Bengen, D.G.. 2002. Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut
serta Prinsip Pengelolaannya. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan
Lautan Institut Pertanian Bogor (IPB).
Bengen, D.G. 2002. Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut Serta
Prinsip Pengelolaannya. PKSPL. IPB. Bogor.
Bengen D dan A. Retraubun . 2006. Menguak Realitas Dan Urgensi Pengelolaan
Berbasis Eko-Sosial Sistem Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil. Bogor :
Pusat Pembelajaran dan Pengembangan Pesisir dan Laut (P4L).
Coremap II. 2006. Rencana Pengelolaan Terumbu Karang Kecamatan Liukang
Tupabbiring Kabupaten Pangkep Tahun 2006.
Coremap II. 2011. Dokumen Percontohan Perikanan Berkelanjutan di TWP
Kapoposang Tahun 2011.
Clark, J.R.1996. Coastal Zone Management Handbook. Lewis Publisher, Boca
Raton , FL.
Daerah Dalam Angka. 2012. Kabupaten Pangkep Dalam Angka 2012. BPS
Propinsi Sulawesi Selatan. Makassar.
Dahuri, R. 1996. An analysis of Enviromental Threath to Marine Fisheries in
Indonesia. Paper Submited for Asia Pasific Fisheries Commision
APFIC) Symposium on Enviromental Aspects of Responsible
Fisheries, Soul Republic of Korea. 15-18 Oct 1996.
Dahuri, R., J. Rais., S.P. Ginting., M. J. Sitepu. 1996. Pengelolaan Sumberdaya
Pesisir dan Lautan. Jakarta : Penerbit Pradnya Paramita.
Dian Ayunita dan Trisnani Dwi Hapsari. 2012. Analisis Persepsi Dan Partisipasi
Masyarakat Pesisir Pada Pengelolaan KKLD Ujungnegoro
Kabupaten Batang. Jurnal SEPA : Vol. 9 No.1 September 2012 : 117
124. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas
Diponegoro.
32
33
Latupapua, Y. 2011. Persepsi Masyarakat terhadap Potensi objek daya tarik wisata
Pantai di kecamatan Kei Kecil Kabupaten Maluku Tenggara. Jurnal
Agroforestri Volume VI Nomor 2 Juni 2011. Jurusan Kehutanan
Fakultas Pertanian, Universitas Pattimura Ambon Locally-Managed
Marine Management Area. www.Lmmanetwork.org
Mackinnon, J. dan Mackinnon, K. 1990. Pengelolaan Kawasan yang dilindungi di
Daerah Tropika. Terjemahan. Yogyakarta:Gajahmada University
Press.
Mardijono. 2008. Persepsi Dan Partisipasi Nelayan Terhadap Pengelolaan
Kawasan Konservasi Laut Kota Batam. Tesis. Program Pasca Sarjana
Manajemen Sumberdaya Pantai Universitas Diponegoro Semarang.
McNeely, J.A., 1992. Ekonomi dan Keanekaragaman Hayati. Mengembangkan
dan Memanfaatkan Perangsang Ekonomi Untuk Melestarikan
Sumberdaya Hayati. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta
Nawawi, H.H. 2005. Metode Penelitian Bidang Sosial. Gadjah Mada University
Press. Bulaksumur. Yogyakarta
National Research Council., 1999. Sustaining Marine Fisheries. National
Academy Press. Washington D.C.
Ruchimat, Dkk. 2012. Kawasan Konservasi Perairan, Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil di Indonesia ; Paradigma, Perkembangan dan Pengelolaannya.
Publikasi Ditjen KP3K KKP. Jakarta. http://kkji.kp3k.kkp.go.id
(Diakses pada tanggal 12 Mei 2014)
Robbins, Stephen P. (2003). Perilaku organisasi. PT. Indeks Kelompok
Gramedia. Jakarta
Saleh, A. 2010. Strategi Pengelolaan Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD)
Perairan Kecamatan Liukang Tuppabiring Kabupaten Pangkep.
Tesis. PPs Universitas Hasanuddin. Makassar.
Supriharyono, 2000. Pelestarian dan Pengelolaan Sumberdaya Alam di Wilayah
Pesisir Tropis. Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
___________.2007. Konservasi Ekosistem Sumberdaya Hayati Di Wilayah
Pesisir Dan Laut Tropis. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Susanto, H. A. 2011. Progres Pengembangan Sistem Kawasan Konservasi
Perairan Indonesia: A Consultancy Report. Kerjasama Kementerian
Kelautan dan Perikanan dengan Coral Triangle Support Partnership
(CTSP). Jakarta.
UNEP-WCMC. 2008. Nasional and Regional Networks of Marine Protected
Areas : A Review of Pregress. Cambridge: UNEP-WCMC
Walgito, Bimo. 2001. Psikologi Sosial (Suatu Pengantar). Andi Offset.
Yogyakarta.
34
Pendahuluan
36
37
7M.
Borel Best et all, Recent Scleractinian Coral Species Collected During The Snellius-Ii
Expedition In Eastern Indonesia (1984)Netherlands Journal of Sea Research 23 (2): 107-115
(1989)
38
Perbandingan
(A)
Selayar(B)Takabonerate
200
202
159
29
43
79%
Selain jenis karang, factor fisik perairan juga memiliki hubungan dimana adanya
aliran arus yang mentransport, nutrient dan element lainnya yang berasal dari
utara ke selatan perairan maupun sebaliknya. Hal ini sebagaimana kedua perairan
39
ini pada bulan Maret dimana arus dari Spermonde dari utara menuju keselatan
yaitu ke perairan Selayar dan bercampur dengan arus yang berasal dari Laut Jawa.
Arah arus bergerak menjauhi pesisir takalar dan bergerak Ke arah barat.
Sementara pada bulan Juli arus bergerak dari Selatan yaitu dari laut flores menuju
perairan selayar dan kemudian menyisir pesisir pulau Sulawesi dan menuju ke
Spermonde dengan kecepatan hingga 60 cm/det, factor perubahan ini terkait
dengan perubahan Musim. Kedua perairan ini menujukkan adanya hubungan
keterkaitan karena factor arus yang bolak balik sepanjang tahun, dan kedua daerah
ini tidak terhalangi oleh daratan dan juga tidak terisolasi, sehingga memungkinkan
rekruitmen/transper larva dapat terjadi diantara keduanya.
Konektivitas di perairan dipengaruhi oleh factor massa air, namun untuk melihat
apakah kedua perairan memiliki konektivitas salah satunya dengan mengetahui
sebaran larva dan kemiripan secara genetic antara populasi. Sebaran larva
Heliofungia actiniformis (Scleractinia:Fungiidae) rata rata tersebar hingga jarak 52
Km di Kepulauan Spermonde (Knittweis, Kraemer, Timm, & Kochzius, 2009),
sementara Seriatopora hystrix memiliki diferensiasi genetic hingga 90 km di Great
BarrierReef(Ayreand Dufty 1994).
Gambar 4.3 Pola Pergerakan Arus Bulan Juli (diatas ) dan Agustus (bawah)
Sumber Data : Hasil Analisis
Faktor oceanography di perairan Spermonde dan Selayar yang terjadi pada bulan
Juli memperlihatkan adanya arah arus dominan dari utara keselatan. Hal ini juga
didukung dengan tingkat kesamaan jenis karang semakin rendah seiring dengan
jarak yang makin jauh dari perairan Spermonde. Diantara daerah Spermonde dan
40
desa yaitu DPL kemudian dari kawasan ini berkembang menjadi KKPD yang
dilanjutkan dengan kajian inisiatif pembentukan KKPD. Perkembangan tingkatan
kelembagaan menunjukkan adanya upaya untuk mengefektifkan pengelolaan
dengan melakukan penyelenggaraan konservasi secara otonom sebagaimana pada
TNBTR hal ini tentunya berdampak pada alokasi anggaran yang juga semakin
tinggi. Dari hasil laporan lakip TNBTR 2013, menunjukkan bahwa anggaran yang
tinggi untuk pengelolaan telah menghasilkan kinerja yang baik sebagaimana target
pengelolaan. Permasalahan juga masih terdapat didalam kawasan TNBTR,
misalnya aktivitas Illegal fishing dan destructive fishing masih terjadi, dan
kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum. Permasalahan tersebut
merupakan pengaruh external kelembagaan yang muncul sebagai akibat dari usaha
perikanan yang tidak terkontrol, juga melibatkan berbagai stakeholder lain.
Khusus di Perairan Selayar, usaha perikanan melibatkan banyak pihak dan politik
local sehingga TNBTR perlu meningkatkan dan menjalin komitmen dan kemitraan
yang kuat dengan instansi terkait.
Hasil evaluasi E-KKP3K tahun 2013 menunjukkan bahwa rapor merah untuk
KKPD Pangkep dan Selayardan TWP Kapoposang Kuning. Kesimpulan merah
berarti berarti kawasan telah memiliki SK pencadangan, dan kuning atau tingkat 2
berarti lembaga pengelola telah terbentuk dan rencana pengelolaan tersedia. TWP
Kapoposang dengan pencapaian tingkat dua,memiliki permasalahan anggaran dan
kapasitas pengawasan kawasan yang masih minim. Permasalahan untuk KKPD,
dengan hasil rapor merah, Kelembagaan pengelola KKPD Selayar belum
memiliki SK Bupati, namunmemilikiLembaga pengelola (SK Kepala
Organisasi).Saat ini Baik KKPD Selayar maupun Pangkep telah memasuki 4
tahun masa pencadangan.
Penguatan Kapasitas Kelembagaan
Konsekuensi dari besarnya permasalahan kelembagaan yang dimana faktornya
adalah internal terutama di KKPD dan TWP, maka pilihannya adalah
meningkatkan kapasitas kelembagaan. Pilihan untuk peningkatan kapasitas salah
satunya dengan peningkatan tipe kelembagaan karena kelembagaan dengan tipe
yang tinggi juga memiliki kewenangan mengelola anggaran yang lebih besar. Oleh
karenanya, kelembagaan perlu ditingkatkan. Misalnya kelembagaan dapat
berbentuk Unit Pelaksana Teknis yang di ditetapkan oleh Bupati. Sementara
untuk TWP Kapoposang maka dapat ditingkatkan menjadi UPT Pengelola untuk
memperkuat penyelenggaraan konservasi di Perairan Spermonde.
42
Tabel
5.2 Hasil Analisis Upgrading Kelembagaan Pengelola Kawasan
Perlindungan Perairan di Selayar dan Spermonde
Kawasan
KKPD Sel.
KKPD Pangkep
TWP Kap
Bentuk
Lembaga
Lembaga
Pengelola
Upgrading
UPT
UPT
UPT
Spermonde
Forum
Alasan
Peluang
dan Meningkatkan
kerjasama
penguatan
penegakan
hukum perairan
Dapat mengelola
perencanaan
pariwisata bahari
secara bersama
Membuka
peluang
untuk
mengembangkan
Kawasan yang
lebih luas.
Dasar Biofisik
Kesamaan jenis
karang
yang
tinggi
Sebagai habitat
Penyu
Memiliki biota
lindung
yang
sama
seperti
Kima, Napoleon
masyarakat
Selayar.
di
pengelola, namun jika hal ini berhasil maka dapat menjadi contoh atau
pembelajaran bagi daerah lain dalam hanya sebatas pada kegiatan pengawasan.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian pada hasil dan pembahasan yang telah dipaparkan, maka dapat
ditarik kesimpulan penelitian yakni (1) Perairan Spermonde dan Selayar memiliki
keterkaitan biofisik sebagai pengaruh dari arus local dan Arus lintas Indonesia
(Arlindo) yang dominan bergerak dari utara ke Selatan, sehingga memberikan
pengaruh terhadap aliran larva dan kesamaan jenis karang yang tinggi. Kondisi
perairan ditunjukkan dengan keanekaragaman jenis karang menurun 25% di
Spermonde dalam 33 tahun. Sementara di Selayar dan Takabonerate berbeda,
dimana Takabonerate keanekaragaman jenis karang meningkat seiring dengan
kegiatan perlindungan. (2) Pengembangan daerah perlindungan dapat dilakukan di
kedua perairan, guna mencapai perlindungan habitat hingga 20%. Pengembangan
jejaring dengan dasar ekologi dikembangkan secara terpisah dikedua perairan oleh
karena berbeda ecoregion. (3) Di Spermonde dapat dikembangkan Jejaring
pengelolaan perairan untuk mendapatkan zona inti hingga 20% perlindungan
habitat dan mendorong restorasi habitat. Pendekatan jejaring ini menjadi rujukan
terhadap pengembangan kawasan konservasi perairan didaerah lain di Spermonde
yang belum memiliki Kawasan perlindungan. Factor kelembagaan sangat
berpengaruh terhadap penyelenggaran konservasi, semakin besar kapasitas
kelembagaan akan semakin baik, dimana kelembagaan juga bergantung pada Jenis
Kawasan Konservasi perairan.
Saran
Untuk pengembangan jejaring Kawasan konservasi, maka pendekatan
kompleksitas dan kehati hatian perlu digunakan agar dapat mengetahui manfaat
dan berbagai kemungkinan implikasi yang muncul dalam jejaring Konservasi.
Dimana bukan hanya pendekatan ekologi, social ekonomi, dan kelembagaan
tetapi bagaimana hubungan antara keduanya saling mempengaruhi agar tidak
menimbulkan konflik, melainkan disusun untuk menciptakan pencapaiannya.
Factor kelembagaan menjadi masalah dalam penyelenggaran konservasi, bukan
pada penegakan hukum atau kesadaran masyarakat, tetapi sejauh mana kinerja
dan kapasitas kelembagaan dalam penyelenggaraan konservasi. Oleh karenanya
seiring dengan pembelajaran di TNBTR, maka sepatutnya Kementerian Kelautan
Perikanan untuk memperbanyak pembelajaran pada kelembagaan tersebut karena
telah memiliki pengalaman yang panjang dan juga berhasil menciptakan kapasitas
yang besar dan menjadi rezim perlindungan. Sebagaimana Kapolres Selayar dalam
Visi Misinya yang kurang lebih mengatakan bahwa kita harus menyelamatkan
lingkungan dan manusia yang tidak bisa melihat kebenaran dan tersesat dalam
kegiatan pengrusakan
Daftar Pustaka
Akbar, I. A. (2008). Keragaman Suhu Dan Kecepatan Arus Di Selat Makassar Periode
Juli 2005 Juni 2006 (Mooring INSTANT) [ Skripsi ]. Bogor: Institut
Pertanian Bogor.
Alder, J., N. A. Sloan, & Henk Uktolseya. (1994). A Comparison of Management
Planning and Implementation in Three Indonesian Marine Protected
Areas. Ocean & Coastal Management 24, 179-198.
Balai Taman Nasional Takabonerate. (2012). Review Rencana Pengelolaan Taman
Nasional Takabonerate Tahun 1997-2022 Kabupaten Kepulauan Selayar. Selayar:
TN Takabonerate.
Ban, N. C. (2009). Minimum data requirements for designing a set of marine
protected areas, using commonly available abiotic and biotic datasets.
Biodivers Conserv (2009) 18 Springer, 1829-1845.
Barber, P. H. (2000). Biogeography A Marine Wallace's line ? Nature Vol 406,
692-693.
Best, M., B.W. Hoeksema , W. Moka , H. MOLL , Suharsono , & I Nyoman
Sutarna. (1989). Recent Scleractinian Coral Species Collected During The
Snellius-II Expedition In Eastern Indonesia. Netherlands Journal of Sea
Research 23 (2), 107-115.
BPSPL. (2010). dan diolah dari Buku Inventarisasi Data Potensi Penyebaran Biota
Perairan Laut yang masuk Appendiks Cites dan yang dilindungi di Sulawesi .
Makassar: BPSPL.
BPSPL. (2011). Identifikasi Dan Pemetaan Jenis Ikan Yang Dilindungi Dan Tidak
Dilindungi Yang Masuk Appendiks Cites Di Sulawesi Selatan . Makassar:
BPSPL.
Burke, L., Reytar, K., Spalding, M., & Perry, A. (2012). Menengok Kembali Terumbu
Karang yang Terancam di Segitiga Terumbu Karang (Terjemahan). World
Reseources Institute.
Callum M, & Roberts. (2001). Designing Marine Reserve Networks Why Small,
Isolated Protected Areas Are Not Enough . Summer Vol 2 no. 3 .
Callum, Roberts, & al, e. (2003). Application Of Ecological Criteria In Selecting
Marine Reserves And Developing Reserve Networks. Ecological
Applications 13, 215228.
Indar, Y. N., Munsi, L., & Kahar, L. (2002). Sistem Sistem Tradisional Sebagai Pranata
Institusi Dalam Pemanfaatan dan Pengelolaan Sumberdaya Di Wilayah Pesisir.
Makassar: Universitas Hasanuddin 2002.
IUCN-WCPA, I. W. (2008). Establishing Marine Protected Area NetworksMaking It
Happen. Washington, D.C: IUCN-WCPA, National Oceanic and
Atmospheric Administration and The Nature Conservancy 118 p.
Jalil, A. R. (2013). Distribusi Kecepatan Arus Pasang Surut Pada Muson Peralihan
Barat-timur Terkait Hasil Tangkapan Ikan Pelagis Kecil Di Perairan
Spermonde . Depik 2 (1), 26-32.
Jamaluddin Jompa, Willem Moka , & Dewi Yanuarita. (2007). Kondisi Ekosistem
Perairan Kepulauan Spermonde: Keterkaitannya dengan Pemanfaatan
Sumberdaya Laut di Kepulauan Spermonde. 265.
Jentoft , S., Thijs C. van Son, & Maiken Bjurkan. (2007). Marine Protected Areas:
A Governance System Analysis. Hum Ecol 35, 611-622.
Jones, G. (1991). Postrecruitment Processes in the Ecology of Coral Reef Fish Population. A
Multivactorial Perspective dalam The Ecology of Fishes on Coral Reef. Durham:
Departement of Zoology University of New Hamspire.
kepselayarkab.go.id. (2014, January 11). Redaksi: Jl. Jend. Ahmad Yani No. 1 Benteng,
Kepulauan
Selayar.
Retrieved
from
kepselayarkab.go.id:
http://kepselayarkab.go.id/2013/09/781/
Kikutchi, T. (1980). Faunal Relationship in Temperate Seagrass Bed. In R. C.
Phillips, Handbook of Seagrass Biology. An Ecosystem Approach (pp. 153 -172).
New York,: Garland Press.
KLH. (2014, January 1). Kementerian Lingkungan Hidup. Retrieved from
Kementerian
Lingkungan
Hidup:
http://www.menlh.go.id/DATA/Peta%20lampiran%20factsheet.pdf
Knittweis, L., Kraemer, W. E., Timm, J., & Kochzius, M. (2009). Genetic
structure of Heliofungia actiniformis (Scleractinia:Fungiidae) populations
in the Indo-Malay Archipelago: implications for live coral trade
management efforts. Conserv Genet 10, 241249.
Kuo,
10
11
13
pendapatan nelayan, dan tujuan sosial untuk memaksimalkan peluang kerja dan
mata pencaharian nelayan. Dalam implementasi EAFM harus diperhatikan
adalah : (1) perikanan harus dikelola pada batas yang memberikan dampak yang
dapat ditoleransi oleh ekosistem; (2) interaksi ekologis antar sumberdaya ikan dan
ekosistemnya harus dijaga; (3) perangkat pengelolaan sebaiknya compatible untuk
semua distribusi sumberdaya ikan; (4) prinsip kehati-hatian dalam proses
pengambilan keputusan pengelolaan perikanan; (5) tata kelola perikanan
mencakup kepentingan sistem ekologi dan sistem manusia (FAO, 2003).
Pulau Kapoposang
Pulau Kapoposang diketahui sebagai salah satu habitat atau area pendaratan
penyu untuk melakukan peneluran. Di pulau tersebut terdapat 2 spesies dari 6
spesies yang terdapat di Indonesia yaitu penyu sisik (Eretmochelys imbricata) dan
penyu hijau (Chelonia mydas). Tekanan populasi penyu laut di Pulau Kapoposang
disebabkan karena masih adanya kebiasaan masyarakat Pulau Kapoposang
maupun masyarakat Pulau lain yang ada disekitar Pulau Kapoposang yang
mengambil telur penyu dari lubang sarangnya untuk dikonsumsi sebagai salah
satu sumber protein atau di jual pada masyarakat di luar pulau Kapoposang.
Sumberdaya penyu walaupun sudah menjadi barang terlarang untuk dieksploitasi
namun masyarakat nelayan masih tetap mengambil telurnya maupun menangkap
induknya untuk diambil daging dan cangkangnya. Penangkapan penyu sisik
maupun penyu hijau dewasa pada umumnya tertangkap secara tidak sengaja
(spesis bukan target) pada jaring insang atau pukat nelayan yang seharusnya
dilepas kembali ke laut
Pulau Kapoposang adalah bagian dari Kepulauan Spermonde atau Kepulauan
Singkarang di Selat Makassar yang terletak disebelah Barat Sulawesi Selatan.
Pulau Kapoposang adalah merupakan salah satu pulau di gugusan Kepulauan
Kapoposang. Pulau ini berada dibawah otoritas kecamatan Liukang Tupabbiring
Kabupaten Pangkajene Kepulauan Provinsi Sulawesi Selatan. Pulau Kapoposang
merupakan salah satu dari delapan kawasan konservasi yang ditetapkan
berdasarkan Keputusan Mentri Kelautan dan Perikanan No.66/Men/2009
dengan status Taman Wisata Perairan. Taman Wisata Kepulauan Kapooposang
terdiri dari 6 pulau kecil yaitu: Pulau Kapoposang 10 ha, Pulau Papandangan 13
ha, Pulau Gondongbali 5 ha, Pulau Pamanggangan 5 ha, Pulau Tambakulu 5,
dan Pulau Saranti 4 ha. Tiga pulau berpenduduk paling padat adalah
Gondongbali 1.807 jiwa, Papandangan 898 jiwa, dan Kapoposang 454 jiwa. Tiga
pulau lainnya yaitu Suranti, Tambakulu dan Pamanggangan tidak berpenduduk.
(Kecamatan Liukang Tupabbiring, 2013).
16
Pulau Kapoposang merupakan salah satu dusun dari Desa Mattiro Ujung
Kecamatan Liukang Tupabbiring. Pulau ini menjadi salah satu pulau yang selalu
dikunjungi oleh wisatawan domestik maupun wisatawan mancanegara. Pulau
Kapoposang memiliki jarak cukup jauh dari Kota Makassar maupun dari Ibu
Kota Kabupaten Pangkep. Pulau Kapoposang dapat ditempuh dalam waktu 6
jam dari Pelabuhan Paotere Kota Makassar dengan menggunakan Kapal Motor.
Pelayaran ke pulau Kapoposang pada musim Barat dan musim Pancaroba cukup
berbahaya karena cuaca yang buruk seperti angin yang kencang dan gelombang
besar, sehingga pada musim tersebut sulit untuk mendapatkan transportasi ke
pulau Kapoposang. Para wisatawan yang akan berkunjung ke Pulau Kapoposang
pada umumnya menggunakan agen wisata yang ada di Makassar. Sarana dan
prasarana di Pulau Kapoposang sangat terbatas hanya terdapat sebuah SD,
beberapa buah cottage tempat menginap pengunjung, sebuah generator listerik
untuk sarana penerangan bagi beberapa rumah penduduk. Pulau Kapoposang di
tumbuhi banyak pohon kelapa, sukun, pohon kelor, pisang sebagai salah satu
sumber pendapatan. Hasil tumbuhan ini dijual di pulau-pulau terdekat dengan
harga yang cukup murah, namun jika dapat dijual di Makassar dan Pangkep
harganya cukup tinggi.
Mata pencaharian penduduk adalah nelayan dengan alat tangkap jaring insang,
pancing, bubu, dan cantrang. Jaring insang, pancing dan bubu digunakan untuk
menangkap ikan karang. Cantrang digunakan untuk menangkap kepiting rajungan
dan udang. Sumberdaya yang banyak diitangkap nelayan adalah ikan-ikan karang
seperti kerapu, kakap, lencam, serta kepiting rajungan dan udang. Daerah
penangkapan nelayan pulau Kapoposang tidak jauh dari Taman Wisata Perairan
Kapoposang terutama pada musim Barat dan Musim Pancaroba karena cuaca
yang buruk. Pada musim Barat pada umumnya nelayan hanya menangkap ikan
di daerah terumbu karang disekitar pulau. Kawasan Taman Wisata Perairan
Kapoposang juga dihuni oleh beberapa jenis biota ETP (endanggered, threatned,
dan protected) seperti penyu laut, dugong, berbagai jenis kima (Tridacna spp),
dan kuda laut.
Penangkapan terhadap biota ETP (endangered, threatnet, dan protected) sebagai
target utama sudah tidak dilakukan oleh nelayan di Pulau Kapoposang. Namun
yang terjadi adalah masih sering ditemukan biota ETP tertangkap oleh alat
tangkap jaring secara tidak sengaja atau hasil tangkapan sampingan. Misalnya
penyu laut tertangkap oleh jaring insang dan cantrang, dugong biasa tertangkap
dengan jaring di daerah padang lamun, sedangkan kima masih sering dieksploitasi
oleh nelayan untuk konsumsi rumah tangga. Keberdaan penyu di sekitar Pulau
Kapoposang pada musim pemijahan atau musim peneluran karena sebagian dari
pesisir pantai dengan substrat berpasir Pulau Kapoposang merupakan habitat
17
manipulasi lingkungan yang kurang tepat. Secara umum penyu laut dapat
menghasilkan sekitar 150 butir telur dan diambil untuk ditetaskan pada tempat
tertentu namun tukik yang dihasilkan hanya berkisar antara 50-100 ekor tukik.
Kejadian ini diduga karena kualitas telur sudah rusak sedangkan telur-telur yang
mau ditangkarkan memerlukan telur yang berkualitas baik.
Sensitivitas atribut dan Indeks keberlanjutan dapat dilihat pada gambar di bawah
ini :
RAPFISH Ordination
Leverage of Attributes
60
7.10
Status Eksploitasi
UP
40
Attribute
Frekuensi
Peneluran/Musim
7.23
Rang Collapse
6.72
Jumlah Tukik di
Penangkaran
12.44
20
BAD
0
0
20
40
60
73.90
-20
Real Fisheries
-40
Janis Spesies Yang
Ada
10.16
GOOD
100
120
80
References
DOWN
Anchors
-60
0
10
12
14
Fisheries Sustainability
19
RAPFISH Ordination
60
5.09
Kecerahan
UP
40
6.57
Perubahan Garis
Pantai
9.74
Janis substrat
8.40
Kondisi Terumbu
Karang
11.17
Attribute
Kekeruhan
20
BAD
0
0
20
40
60
80
120
72.79
-20
-40
Kondisi tutupan lamun
GOOD
100
Real Fisheries
2.41
DOWN
References
Anchors
10
-60
12
Fisheries Sustainability
menjadi 10-25 %. Pada tahun 2006 terumbu karang didominasi oleh komponen
karang mati dan tertutup algae. Di satu sisi tutupan terumbu karang pada kawasan
ini yang masih tersisa, sekarang sedang diserang pula oleh bintang berduri ini.
Selanjutnya, skor atribut lain yang tinggi merupakan indikasi bahwa kondisi
biologi dan lingkungan perairan mendukung keberlanjutan Habitat dan
Ekosistem di Pulau Kapoposang. Nilai keberlanjutan Habitat dan Ekosistem
sebesar 72.79 (Gambar 2) menunjukkan kategori baik (keberlanjutan).
Kerusakan terumbu karang telah mendapat perhatian melalui program
pengembangan TWP, zonasi daerah pemanfaatan, serta pengawasan dan
penegakan peraturan.
Keberlanjutan Dimensi Penangkapan
Analisis keberlanjutan dimensi penangkapan dengan menggunakan indikator,
selektifitas alat tangkap, penangkapan destruktif dan ilegal, jenis alat tangkap
ramah lingkungan, dan ukuran mata jaring. Hasil analisis atribut pengugkit
(leverage of atribut) memperlihatkan atribut paling sensitif sebagai faktor
pengungkit adalah ukuran mata jaring alat tangkap ikan sangat berpengaruh
terhadap tertangkapnya spesies penyu laut.
RAPFISH Ordination
Leverage of Attributes
60
Ukuran mata jaring
UP
4.68
40
Attribute
2.28
3.07
20
45.15
0
BAD
0
20
40
60
80
-20
-40
Selektifitas
Penangkapan
GOOD
100
3.71
Real Fisheries
DOWN
References
Anchors
-60
0
0.5
1.5
2.5
3.5
4.5
Fisheries Sustainability
21
120
Ukuran mata jaring yang digunakan nelayan dalam penangkapan ikan sangat
bervariasi bergantung jenis ikan yang menjadi tujuan penangkapan. Penyu laut
yang tertangkap merupakan hasil tangkapan sampingan (tidak menjadi sasaran
utama penangkapan). Semua jenis jaring yang dipakai nelayan dapat menangkap
penyu mulai dari ukuran kecil sampai ukuran besar. Jenis jaring yang
dioperasikan di terumbu karang yang sering menangkap penyu adalah jaring atau
pukat baronang dan pukat kakap. Beberapa nelayan telah memiliki tingkat
kesadaran terhadap peraturan sehingga melepaskan penyu laut yang tertangkap
secara tidak sengaja pada jaring ikan mereka dilepaskan ke laut, sehingga populasi
penyu masih dapat dipertahankan di pulau Kapoposang. Namun sebagian
nelayan dari luar Pulau Kapoposang masih mengambil penyu yang tertangkap
untuk dijual sebagai hewan peliharaan dan untuk hiasan akuarium atau kolamkolam. Hasil analisis Rapfish (Gambar 3) menunjukkan nilai keberlanjutan
dimensi penangkapan sebesar 45.15 menunjukkan keberlanjutan kategori sedang
(berkelanjutan). Walaupun alat tangkap yang mereka gunakan dapat menjaring
penyu namun perilaku nelayan yang melepaskan kembali penyu yang terjaring
sehingga populasi penyu dapat dipertahankan di Pulau Kapoposang.
Keberlanjutan Dimensi Ekonomi
Keberlanjutan dimensi ekonomi mencerminkan kemampuan dari suatu kegiatan
pemanfaatan sumberdaya penyu untuk memperoleh hasil yang secara ekonomis
dapat berlangsung dalam jangka panjang dan berkelanjutan (Hartono, et al, 2005).
Analisis keberlanjutan dimensi ekonomi dengan menggunakan atribut atau
indikator kepemilikan asset, pendapatan rumah tangga, harga jual penyu,
pemasaran, dan kegiatan pariwisata. Hasil analisis atribut pengugkit (leverage of
atribut) menunjukkan atribut paling sensitif adalah pendapatan rumah tangga
perikanan dengan nilai 7,72 (Gambar 4). Pemanfaatan penyu di Pulau
Kapoposang memang hanya terbatas pada pengambilan telur di alam untuk
konsumsi rumah tangga dan beberapa nelayan mengambil penyu yanng
tersangkut dijaring untuk dijual.
Hasil analisis Rapfisih menunjukkan nilai
keberlanjutan dimensi ekonomi sebesar
38,49 kategori cukup (kurang
berkelanjutan) (Gambar 4). Hal ini menunjukkan bahwa keberlanjutan dimensi
ekonomi di Pulau Kapoposang tergolong rendah, selain sumberdaya penyu tidak
memiliki prospek ekonomi karena hewan dilindungi juga disebabkan karena hasil
tangkapan ikan nelayan di pulau tersebut masih tergolong rendah.
22
RAPFISH Ordination
Leverage of Attributes
60
Pariwisata
5.41
UP
40
5.26
Harga Jual/Ekor
Attribute
Pemasaran
6.01
Pendapatan Rumah
Tangga
7.72
20
BAD
0
20
40
60
80
GOOD
100
120
38.49
-20
6.19
Kepemilikan Aset
-40
Real Fisheries
References
DOWN
Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on
Sustainability scale 0 to 100)
Anchors
-60
Fisheries Sustainability
23
Leverage of Attributes
60
Rumah Tangga
Nelayan
UP
7.12
Attribute
Pengetahuan
Lingkungan
40
3.31
11.12
Konflik Pemanfaatan
Tingkat Partisipasi
20
BAD
0
0
20
40
60
80
GOOD
100
120
60.89
-20
6.80
-40
Real Fisheries
DOWN
References
Anchors
Partisipasi Pemangku
Kepentingan
6.48
-60
Fisheries Sustainability
10
12
24
telur penyu karena dibutuhkan untuk penetasan agar menghasilkan tukik untuk
penangkaran
Selain itu menghindari aktivitas masyarakat pulau yang dapat menganggu proses
peneluran pada musim pemijahan, menganggu atau merusak habitat peneluran
penyu. Hasil analisis Rapfish menunjukkan status keberlanjutan dimensi sosial
adalah 60,89 (Gambar 5) atau tergolong baik (keberlanjutan). Untuk itu dimensi
sosial ini perlu mendapat perhatian dalam penyusunan kebijakan pengelolaan
penyu seperti memberikan kesempatan yang sama terhadap anggota masyarakat
dalam kegiatan perencanaan, pengelolaan penyu baik anggota kelompok pelestari
penyu maupun yang bukan. Selain itu, peniingkatan penyuluhan pada masyarakat
tentang peraturan dan kebijakan pengelolaan penyu secara berkelanjutan.
Keberlanjutan Dimensi Kelembagaan
Atribut dimensi kelembagaan merupakan cerminan dari tingkat organisasi,
ketersediaan peraturan, implementasi peraturan, dalam pengelolaan sumberdaya
penyu di Pulau Kapoposang. Atribut yang digunakan dalam analisis
keberlanjutan dimensi kelembagaan ini adalah: dukungan kelembagaan, program
pengelolaan, keberadaan dan sosialisasi peraturan, kepatuhan, dan bantuan
kelembagaan. Hasil analisis
atribut pengugkit (leverage of atribut)
menunnjukkan
peraturan dan sosialisasi peraturan menunjukkan faktor
pengungkit denggan nilai 19,99 (Gambar 6).
Leverage of Attributes
RAPFISH Ordination
60
Bantuan Kelembagaan
2.78
UP
40
4.73
Keberadaan dan
Sosialisasi Aturan
Attribute
Kepatuhan
15.99
Program Pengelolaan
3.54
Dukungan
Kelembagaan
2.64
20
0
0 BAD
20
40
60
80
GOOD
84.01
100
120
-20
-40
Real Fisheries
DOWN
10
12
14
16
140
References
Anchors
18
-60
Fisheries Sustainability
27
DIAGRAM LAYANG-LAYANG
Dimensi Sumberday
a
73.90
100
80
60
40
Dimensi Sosial
60.89
72.79
20
0
Dimensi Ekonomi
38.49
45.15
84.01
Dimensi Kelembagaan
29
DAFTAR PUSTAKA
Alder, J. TJ Pitcher. Preikshot D, Kaschner K, Ferris B. 2000. "How Good Is
Good?": A Rapid Appraisal Technique for Evaluation of The
Sustainability Status of Fisheries of North Atlantic. Sea Around Us
Methodology Review: 136-182.
Allahyari MS. 2010. Social Sustainability Assessment of Fisheries Cooperatif in
Guilan Province, Iran. J.Of Fisheries and Aquatic Science 5(3):216-222
Arianto, A. 1999. Studi Karakteristik Habitat Peneluran Penyu Sisik (Eretmochelys
imbricata) dan Pengelolaan di Pantai Tampang-Belimbing TN bukit
Barisan Selatan. Skripsi (tidak dipublikasikan). Jurusan konservasi
Sumberdaya Hutan. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.
Bogor
Awaloeddinnoer. 2012. Prevalensi Penyakit Pada Karang sclerectinia di Kepulauan
Spermonde. Tesis. Jurusan Perencanaan dan Pengelolaan Wilayah,
Program studi Manajemen Kelautan. Pasca Srajana Universitas
Hasanuddin. Makassar.
Cicin-Sain and R.W. Knecht, 1998. Integrated Coastal and Marine Management.
Island Press, Washington DC
Charles AT. 2001. Sustainable Fishery System. Blackwell Sciences. London. UK
Dahuri, R,J. Rais, SP Ginting dan M.J. Sitepu, 1996. Pengelolaan Wilayah Pesisir
dan Lautan Secara Terpadu. PT. Pradniya Paramita. Jakarta
Dayanti,S.R.2010.Survey Kesadaran dan Dukungan Masyarakat terhadap Pengelolaan
Kawasan Konservasi TWP Pulau Kapoposang.Laporan Praktek Kerja
Lapang.Jurusan Ilmu Kelautan.Fakultas Ilmu Kelautan dan
Perikanan.Universitas Hasanuddin.Makassar
Dermawan Agus, Ir, dkk. 2009. Pedoman Teknis Pengelolaan Konservasi Penyu.
Direktorat Konservasi dan Taman Nasional Laut, Direktorat Jenderal
Kelautan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Departemen Kelautan dan
Perikanan RI.
DKP. 2009b. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan. Departemen Kelautan Dan
Perikanan. Jakarta
FAO Fisheries Department. 2004. The state of world fisheries and aquaculture.
FAO Rome, pp 153.
Fletcher, W.J. 2008. A Guide to Implementing an Ecosystem Approach to
Fisheries Management (EAFM) for the tuna fisheries of the Western and
Central Pacific Region. Forum Fisheries Agency, Honiara, Solomon
Islands. Version 5 March 2008: 70.
Haslindah. 2012. Valuasi Ekonomi Ekosistem Terumbu Karang di Taman Wisata
Perairan Kapoposang Kabupaten Pangkep. Tesis. Jurusan Perencanaan
30
31
Pitcher, T.J. and Preikshot, D.B. 2001. Rapfish: A Rapid Appraisal Technique to
Evaluate the Sustainability Status of Fisheries. Fisheries Research, 49(3):
pp. 255-270
Pikitch, E.K., Santora, C., Babcock, E.A., Bakun, A., Bonfil, R.,Conover, D.O.,
Dayton, P., Doukakis, P., Fluharty, D., Herman,B., Houde, E.D., Link, J.,
Livingston, P.A., Mangel, M.,McAllister, M.K., Pope, J., and Sainsbury,
K.J. 2004. Ecosystembased fishery management. Science (Washington,
D.C.), 305:346347.
Pomeroy, Robert, Len Garces, Micahel Pido, Geronimo Silvestre. 2009.
Ecosystem-based Fisheries Management in Small-Scale Tropical Marine
Fisheries: Emerging Models of Governance Arrangements in The
Philippines. Journal of Elsevier: Marine Policy, Vol 34: pp. 298-308.
PPTK Unhas. 2006. Monitoring Kondisi Ekosistem Terumbu Karang di Kepulauan
Spermonde.
RAPFISH Group. 2006. Standart Attributes For Rapfish Analysis Evaluation
Fields for Ecological, Technological, Economic, Sosial and Ethnic Status.
Fisheries Centre, UBC. Vancaouver.
Rebel, T. P. 1974. Sea Turte and Turtle Industry of The Western Indies, Florida,
and The Gulf of Mexico. University of Miami Press. Florida. 250 h.
Saaty, T. L. 1995. Decision Making for Leaders. The Analytical Hierarchy
Process for Decisions in A Complex World. RWS Publication, Pittsburgh.
Sekaran, Uma 2006. Metodologi Penelitian Untuk Bisnis. Jakarta: Salemba Empat.
USAID.1996.
Track
a
Turtle.
www.oneocean.org/ambassadaor/turtlebiology.html. [18 Maret 2006]
Wiyono, Eko Sri. 2006. Mengapa Sebagaian Besar Perikanan Dunia
Overfishing? (Suatu Telaah Manajemen Perikanan Konvensional).
Inovasi Online, ISSN : 0917-8376 | Edisi Vol.6/XVIII/Maret 2006
www.ioseaturtles.org
Zaldi, S.J. 2010. Survei Sosial Ekonomi dan Ketaatan Masyarakat terhadap Kawasan
Konservasi Laut (KKL) Taman Wisata Perairan (TWP) Pulau Kapoposang
Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan.Laporan Praktek Kerja Lapang. Jurusan
Ilmu Kelautan.Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan.Universitas
Hasanuddin.Makassar.
Zamani, N.P. 1998. Penyu Laut Indonesia. Lestarikan atau Punah Selamanya.
WWF Indonesia-Bali Office. Bali. iv + 27 h.
Zulfakar. 1996. Studi Habitat Peneluran Penyu Sisik (Eretmochelys imbricate) di
Pulau Dapur, Kecamatan Toboali, Kabupaten, Bangka Propinsi Sumatera
Selatan. Skripsi (tidak dipublikasikan). Jurusan Konservasi Sumberdaya
Alam. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
32
Pendahuluan
33
34
KATEGORI
1.
2.
3.
4.
5.
3 - 44
45 84
85 126
127 167
168 - 209
jarang
sedikit
sedang
banyak
melimpah
Berdasarkan hasil penelitian Haris, Abdul .Jompa dkk (2010), pada perairan
Spermonde Kota Makassar, Sulawesi Selatan, berdasarkan jumlah koloni yang
ditemukan hanya terdapat tiga dari lima kategori kelimpahan, yaitu jarang, sedikit
dan melimpah seperti pada Tabel 2 di bawah ini.
Tabel 2. Kelimpahan Bambu Laut di Perairan Spermonde, Kota Makassar
No Lokasi
Jumlah
Kategori
Koloni
1
P. Samalona
11 - 26
Jarang
2
P. Kodingarenglompo
7 17
Jarang
3
P. Kodingarengkeke
3 32
Jarang
4
P. Bonetambung
15 209
Melimpah
5
Gs. Bonebattang
42 44
Jarang
6
P. Barranglompo
26 45
Sedikit
Jika kita melihat tabel 2. Jumlah bambu laut hanya melimpah pada Perairan di P.
Bonetambung yaitu 209 koloni/500 m2. Hal ini di mungkinkan karena pada
lokasi tersebut merupakan daerah yang agak terlindung (Leeward). P.Bone
tambung merupakan lokasi yang memilki kondisi terumbu karang yng masih
35
baik.Dari hasil survey tahun 2013 P.Bone tambung memiliki jumlah koloni
bambu laut yang masih melimpah di bandingkan dengan pulau pulau lain
sekitarnya.P Bone tambung sangat terjaga terumbu karangnya karna merupakan
Daerah Perlindungan Laut (DPL) oleh masyarakat setempat sehingga kondisi
terumbu karangnya terjaga. Tokoh masyarakat di Pulau tersebut sangat menjaga
laut mereka.Sedangkan pada perairan lainnya koloninya sangat jarang , bahkan di
beberapa pulau seperti di P.Barrang Lompo dan P.Samalona tidak di temukan lagi
bambu laut. imprep (Dining A Candri Dkk). Data bambu laut di Kabupaten
Parigi Moutong menunjukan status populasi dari biota bambu laut (Isis hippuris)
pada stasiun pertama memiliki kepadatan populasi sebesar 852 koloni / 500
m,menunjukan jumlah yang melimpah, sedangkan pada stasiun kedua memiliki
populasi 514 koloni / 500 m menunjukan kategori melimpah. Sedangkan sebaran
koloni Isis hippuris ditemukan hidup lebih besar berada pada kedalaman 5 meter
dengan persentase 38,14% dan rata-rata ukuran yang dominan hidup adalah
ukuran 30-50 cm dengan persentase 44,66%. Data yang lain yang di lakukan oleh
BPSPL Makassar antara lain data bambu laut pada Tahun 2012 di beberapa
daerah Sulawesi, yaitu Perairan Gorontalo, Selayar, Konawe dan Parigi Moutong.
Adapun sebaran kelimpahan bambu laut di Perairan Kabupaten Goronatlo Utara
berdasarkan jumlah koloni bambu laut , dari data tersebut, dapat diketahui ratarata sebaran kelimpahan adalah 73,5 koloni dengan ukuran kelimpahan yang
didominasi oleh kelompok dengan jumlah koloni yang kecil (1 10) . Menurut
Haris, dkk.(2010), kelimpahan koloni bambu laut ini termasuk kategori sedikit.
Hal ini menunjukkan bahwa bambu laut di perairan pulau Saronde ini tingkat
pertumbuhannya masih rendah, meskipun merupakan daerah yang agak
terlindung (atol). Di samping itu Perairan di Kabupaten Gorontalo Utara
khususnya perairan Pulau Saronde belum ada kegiatan pengambilan bambu laut
sehingga dapat dikatakan bahwa ukuran komposisi dan kelimpahan bambu laut
yang ada ini masih merupakan ukuran alamiah yang belum dimanfaatkan oleh
nelayan.
Berdasarkan hasil survey BPSPL Makassar di Kabupaten Konawe, Kelimpahan
koloni bambu laut di perairan Kabupaten Konawe termasuk kategori sedikit
sampai kategori melimpah (berdasarkan kategori Haris, dkk., 2010), tetapi
penyebarannya tidak merata dan ukuran individu didominasi dengan yang kecil (0
30 cm). Populasi dan sebaran bambu laut sudah sangat terbatas akibat
eksploitasi berlebihan yang dilakukan di perairan Konawe.
Di Kabupaten Bima dan Kota Bima survey di lakukan oleh BPSPL Bali
menunjukan bahwa di daerah tersebut bambu laut penyebaran tidak merata.Di
Kota Bima (P.Kolo, P.Soronehe 1 dan P.Soronehe 2 dan P.Bonto) tidak di
temukan sama sekali bambu laut sedangkan di kabupaten Bima yaitu di Pulau
36
(Lariti I, Lariti 2, Tosa, Lampa Jara dan Pasir Putih).Survey juga di lakukan di
pulau Lombok yaitu Kepulauan Gili Matra :Gili Air, Gili Meno dan Gili trawangan
tidak di temukan bambu Laut di daerah tersebut.Dining Candri,Dkk (In Prep).
Data terbaru tahun 2013 dan 2014 yang sudah di lakukan di Kepulauan
Spermonde menunjukan penurunan jumlah yang signifikan.
Kepulauan Wakatobi
Survey yang di lakukan di Pulau Hoga di daerah perlindungan laut di temukan
bambu laut dalam kondisi melimpah tetapi di beberapa pulau yang lain di
temukan bambu laut dalam kondisi jarang .Di Pulau Wanci survey menunjukan
bambu laut dalam kategori sedikit, jarang bahkan tidak di temukan. Dining
Candri,dkk (In Prep)
Tingkat Pemanfaatan
Biota bamboo laut ini termasuk dalam karang lunak yang banyak diperdagangkan
dan diekspor ke Eropa, Amerika, dan sebagian Asia. Permintaan pasar terbesar
adalah dari Cina dan memiliki harga yang tinggi.Dari data hasil laporan bulanan
kegiatan operasional tindakan karantina Tahun 2011 yang dikeluarkan oleh
Stasiun Karantina Ikan Kelas I Wolter Monginsidi, bahwa sepanjang tahun 2011
telah terjadi pengiriman bambu laut sebanyak 230.000 kg, dengan tujuan utama
Makassar dan Surabaya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa semakin tinggi
tingkat pengambilan bambu laut maka akan semakin tinggi pula ancaman
terhadap terumbu karang disebabkan cara pengambilan atau pemanenan yang
tidak ramah lingkungan.
Dari hasil wawancara yang diperoleh, sistem pemasaran Isis hippuris yang
dilakukan di Kecamatan Moutong yakni pedagang pengumpul mendatangi
masyarakat kemudian dilakukan transaksi dengan harga jual Rp.1.500,- perkilogram dalam bentuk bambu laut yang telah dikelupas. Sedangkan di Kabupaten
Konawe, harga bambu laut di tingkat nelayan sangat murah yaitu rata-rata Rp
500,- per kilogram bambu laut kering, sedangkan harga ditingkat eksportir Rp
5.000 perkilogram. Untuk harga jual bambu laut di Kabupaten Gorontalo Utara
selama ini berkisar antara Rp2.000,00/kg Rp3.000,00/kg. Nelayan pengambil
bambu laut tidak mengetahui secara jelas jalur pemasaran di tingkat pedagang
pengumpul hingga ke konsumen. Begitu juga dari data yang di kumpulkan di
Kepulauan Togean dan kepulauan Wakatobi, dari wawancara yang di lakukan
kepada narasumber kunci, harga bambu laut berkisar antara Rp 2000 Rp.5000./
kg.
37
Tingkat Pengelolaan
Bambu laut sampai saat ini belum termasuk dalam jenis yang dilindungi dan
masuk dalam Appendiks CITES. Sehingga pengelolaannya harus berdasarkan
Undang Undang 31 Tahun 2004 tentang Perikanan dan Peraturan
Pemerintah Nomor 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumberdaya Ikan.
Dalam Pasal 7 UU 31 Tahun 2004 telah jelas disebutkan bahwa IKAN adalah
segala jenis organisme yang seluruh atau sebagian dari siklus hidupnya berada
di dalam lingkungan perairan (Pisces, Crustacea, Mollusca, Coeloenterata (bambu
laut), Echinodermata, Amphibia, Reptilia, Mamalia dan Algae)Bambu laut (Isis
hippuris) yang termasuk kedalam phylum Coelenterata termasuk dalam definisi
ikan menurut UU 31 Tahun 2004.Dan didalam Pasal 53 PP 60 Tahun 2007
juga telah disebutkan bahwa Otoritas Pengelola (Management Authority)
Konsevervasi Sumberdaya Ikan adalah Kementerian Kelautan dan Perikanan
Di beberapa tempat, khususnya di Propinsi Sulawesi Tengah melalui Surat
Edaran Gubernur Sulawesi Tengah Nomor S.23/596/DISKANLUT tanggal 27
Oktober 2009, bambu laut telah dilarang dieksploitasi untuk kepentingan apapun
dan beberapa hasil telah disita dalam usaha pengapalannya. Sebaliknya di
beberapa tempat, BKSDA telah mengeluarkan izin pemanfaatannya mengikuti
aturan CITES dan Undang Undang Nomor 50 Tahun 1990 tentang Konservasi
Sumberdaya Alam Hayati, padahal jenis ini belum termasuk jenis yang dilindungi
dan masuk kedalam Appendiks CITES. Sehingga pengelolaannya harus
berdasarkan Undang Undang 31 Tahun 2004 tentang Perikanan dan
Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumberdaya
Ikan
Dalam rangka pengelolaan berkelanjutan, Direktur Jenderal Kelautan, Pesisir dan
Pulau Pulau Kecil telah mengeluarkan surat edaran No 233/KP3K/III/2013
tentang Pengelolaan Bambu Laut dan Habitatnya yang meminta perhatian seluruh
Dinas Kelautan dan Perikanan segera mengkoordinasikan langkah langkah
sebagai berikut : 1) Pencegahan dan pengawasan terkait pemanfaatan bambu laut;
2) Mensosialisasikan peraturan perundangan undangan yang terkait, sekaligus
pembinaan dalam rangka penyadaran masyarakat guna melindungi potensi dan
sumber daya ikan di wilayah negara Republik Indonesia.
38
(2)
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER03/MEN/2010 tentang Tata Cara Penetapan Status Perlindungan
Jenis Ikan.
39
pengumpulan data dan kegiatan analisis dari data-data yang dihasilkan selama
proses verifikasi. Kegiatan yang dilakukan dalam tahapan verifikasi di antara di
Rekomendasi Ilmiah dari LIPI selaku otoritas ilmiah diperlukan sebagai bahan
pertimbangan dari sisi keilmuan terhadap spesies ikan yang diusulkan untuk
ditetapkan status perlindungannya. Dalam tahapan ini selain pertimbangan ilmiah
LIPI juga diharapkan dapat memberikan saran pengelolaan terhadap spesies ikan
yang akan dilindungi. Rekomendasi LIPI ini merupakan salah satu dasar dalam
melaksanakan program tindak lanjut setelah penetapan status perlindungan oleh
Menteri Kelautan dan Perikanan.
Menteri menetapkan SK perlindungan jenis ikan berdasarkan tingkat
keterancaman dan kebutuhan pengaturan, dapat ditetapkan dengan status
perlindungan penuh atau status perlindungan terbatas.Pada dasarnya penetapan
status perlindungan penuh dan terbatas tersebut merupakan salah satu upaya
untuk menghindari bahaya kepunahan dan program peningkatan populasinya di
habitat alam.
Di dalam Permen di atas juga diatur mekanisme perubahan status perlindungan,
sehingga berdasarkan data hasil monitoring dan evaluasi populasi apabila kondisi
populasi menjadi semakin baik, serta kemampuan dalam melakukan pengelolaan,
maka spesies ikan yang sudah dilindungi dapat dibuka status perlindungannya
menjadi tidak dilindungi ataupun menjadi perlindungan terbatas. Setelah
ditetapkannya status perlindungan ini, maka perlu dilakukan program sosialisasi
sehingga aturan yang sudah ditetapkan dapat diketahui secara luas, terutama oleh
stakeholder-stakeholder yang terkait dengan mata rantai penangkapan dan
perdagangan.Monitoring populasi dan upaya-upaya untuk menambah jumlah
individu dalam populasi serta pelaksanaan pengawasan dan penegakan hukum
dilakukan dalam rangka penegakan aturan dan pencapaian tujuan perlindungan.
40
41
42
Dari data yang di peroleh di dearah kepulauan Wakatobi dari tahun 2000 sampai
tahun 2002 terjadi pengambilan bambu laut dalam skala besar, saat ini setelah 12
tahun kondisi bambu laut belum pulih, terbukti dari survey di lakukan jumlah
bambu laut dalam kategori sedikit bahkan tidak ada sama sekali, kecuali di daerah
DPL dalam kategori melimpah.Dining Candri,Dkk (In Prep)
Arah Kebijakan Pemerintah
Undang-Undang No. 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan PulauPulau Kecil dengan tegas menyampaikan larangan penambangan terumbu
karang, walaupun pada bagian penjelasan disampaikan bahwa kegiatan yang
dilarang tersebut apabila menyebabkan tutupan terumbu karang kurang dari 50%.
Disisi lain berdasarkan data survey status terumbu karang di Indonesia
menunjukkan bahwa sebagian besar kondisi terumbu karang berada dalam
kondisi yang memprihatinkan, dan apabila tidak dilakukan langkah yang tegas
maka hampir dipastikan laju kerusakan terumbu karang, termasuk juga di
dalamnya bambu laut akan terus mengalami peningkatan.
Program
Coral Reef Rehabilitation and Management Project yang dilaksankan di Indoensia
merupakan salah satu program penyelaman terumbu karang terbesar di dunia
bakan terumbu karang.Segala aspek yang menjadi penyebab kerusakan ekosistem
terumbu karang coba disentuh melalui program ini, baik dari sisi sosial ekonomi,
penyadaran
masyarakat,
public
awareness,
dan
juga
aspek
pengawasannya.Kegiatan pengambilan bambu laut yang merupakan salah satu
penyusun ekosistem terumbu karang merupakan fakta yang kontradiktif dengan
arah kebijakan pemerintah, dimana kegiatan pengambilan bambu laut ini juga
merupakan salah satu faktor yang dapat memperparah kerusakan ekosistem
terumbu karang, khususnya di wilayah perairan pesisir.
Dukungan Pemerintah Daerah
Pengambilan bambu laut pada awalnya marak terjadi di perairan Sulawesi Tengah,
aktivitas pengambilan bambu laut tersebut dikhawatirkan akan memberikan
dampak yang besar pada ancaman kepunahan bambu laut dan ancaman kerusakan
yang lebih besar pada ekosistem terumbu karang. Seperti telah disampaikan pada
bagian-bagian sebelumnya bahwa terumbu karang merupakan ekosistem penting
yang mendukung keberlangsungan sumber daya ikan yang merupakan sumber
penghidupan dan sumber pangan utama masyarakat pesisir.
Dukungan pemerintah daerah yang merupakan wujud pemahaman tentang
pentingnya menjaga kesinambungan sumber daya guna menjaga sumber
penghidupan masyarakat pesisir pemerintah Daerah Sulawesi Tengah telah
mengeluarkan surat edaran, diantaranya yaitu :
43
44
b.
c.
d.
Data dan informasi tentang aspek biologi dan status populasi masih
sangat terbatas, namun kegiatan pemanfaatan telah dilakukan secara
besar-besaran sehingga dikhawatirkan jika ini di lakukan terus menerus
akan mengakibatkan ancaman kepunahan spesies bambu laut.
Bambu laut dapat di manfaatkan secara lestari. Pemanfaatan secara lestari
ini dapat dimaknai dengan menerapkan prinsip-prinsip sustainable use,
diantaranya : pemanfaatan tidak melebihi batas yang diperbolehkan,
pemanfaatan dengan cara-cara yang bersifat merusak, dan lain-lain;
Metode pengambilan bambu laut dilakukan dengan cara yang tidak ramah
lingkungan sehingga dapat mengancam kelestarian sumber daya bambu
laut dan menyebabkan kerusakan ekosistem terumbu karang. Untuk itu
perlu adanya metode yang tepat dengan cara pengambilan bambu laut
dengan cara memotong bagian tubuh bambu laut bukan mencabut apalagi
mencukil karang, karena hal ini dapat merusak terumbu karang dan
mengancam kelestarian sumberdaya bambu laut.
Bambu laut (Isis hippuris) berada saku kelas dengan terumbu karang (Kelas
: Anthozoa) yang secara ekologis pada habitat yang sama. Pemerintah
melalui Undang-Undang No. 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah
45
e.
f.
g.
h.
46
Implementasi
Program
Pasca
Penetapan
Status
Hasanuddin ,namun wilayah yang dapat di survey masih sangat terbatas, sehingga
masih belum dapat merepresentasikan status sebaran dan status populasi bambu
laut secara nasional.
Berdasarkan pada kegiatan survey potensi bambu laut yang dilakukan, habitat
bambu laut mempunyai kesamaan dengan habitat terumbu karang, dan banyak
ditemukan pada perairan yang relatif dangkal, dan bebrapa di daerah reef slope,
sehingga dapat dengan mudah dimanfaatan oleh masyarakat. Selama ini bambu
laut belum menjadi fokus objek yang diperhitungkan dalam pelaksanaan survey
terumbu karang, sehingga walaupun sudah banyak survey terumbu karang yang
dilakukan, namun data tentang bambu laut sendiri masih sangat minim tersedia.
Untuk massa yang akan datang, pelaksanaan survey terumbu karang diharapkan
dapat dilaksanakan bersamaan dengan survey bambu laut, sehingga waktu
pelaksanaan dapat berjalan dengan lebih efektif dan juga dapat menghemat
pembiayaan. Luasnya wilayah perairan Indonesia merupakan salah satu tantangan
yang harus dihadapi dalam melaksanakan survey bambu laut, oleh karena itu
kajian studi potensi populasi ini tidak mungkin dilakukan oleh Ditjen KP3K saja
tetapi harus melibatkan lebih banyak pihak-pihak terkait.Terkait dengan hal
tersebut maka perlu disediakan buku panduan metode pelaksanaan survey,
sehingga setiap orang dapat melakukan survey dengan metode yang standar.
Pengembangan Metode Pengambilan
Bambu laut hidup berkoloni, dimana dalam koloni tersebut hidup bersama
bambu laut yang berukuran kecil dan bambu laut yang berukuran besar.
Pengambilan bambu laut yang selama ini dilakukan nelayan dilakukan dengan cara
mencabut dan mencungkil sehingga semua ukuran bambu laut terambil.Cara
seperti ini tentunya tidak baik untuk pertumbuhan bambu laut. Untuk
pemanfaatan yang berkelanjutan perlu dikembangkan metode pemanenan yang
baik, sehingga hanya bambu laut yang berukuran besar saja yang diambil dan
dimanfaatkan, sedangkan bambu laut yang berukuran kecil, tetap diberikan
kesempatan untuk tumbuh besar atau dengan membuat aturan pengambilan
bambu laut dengan cara di potong di bagian tertentu sehingga bambu laut bisa
tumbuh kembali dalam waktu yang cepat.
Metode pengambilan bambu laut yang tidak ramah lingkungan merupakan salah
satu hal yang menjadi ancaman serius dalam pemanfaatan bambu laut saat ini,
dalam pengambilan bambu laut ini tidak hanya menyebabkan kerusakan bambu
laut tetapi juga menyebabkan kerusakan ekosistem terumbu karang.
49
Kesimpulan
Pengambilan bambu laut untuk tujuan perdagangan yang terjadi di sebagian
wilayah Indonesia, khususnya di daerah Sulawesi telah berpotensi besar
menyebabkan kerusakan ekoistem terumbu karang dan sumber daya bambu laut
itu sendiri. Untuk mengantisipasi hal tersebut diperlukan adanya regulasi dalam
dalam pengelolaan bambu laut ke depan, sehingga pemanfaatan yang dilakukan
tidak memberikan dampak kerusakan yang lebih besar.
Berdasarkan hasil kajian yang dilakukan di beberapa daerah Sulawesi selatan,
Sulawesi Tengah, Nusa tenggara Barat, Gorontalo, Sulawesi Tenggara dan
Sumatera bagian Barat sebagaimana disebutkan pada bagian sebelumnya dapat
disimpulkan han-hal sebagai berikut :
a.
b.
c.
d.
e.
c.
d.
51
DAFTAR PUSTAKA
Chao, C.H., L.F. Huang, S.L. Wu, J.H.Su, H.C.Huang, and J.H.Sheu.2005. Steroids
from the Gorgonian I.hippuris.. J.Nat Prod., 68 (9), pp 1366-1370.
Coremap II dan DKP Provinsi Sulsel, 2011.Potensi dan Status Pemanfaatan
Sumberdaya Bambu Laut diKabupaten Selayar. Makassar
CRITC-COREMAP LIPI 2006.Studi Baseline Ekologi di perairan Padaido Biak
Timur. Laporan Penelitian: 64 hal.
Candri, D.A., Jompa J.Niartiningsih., Rani C .2014. Bioekologi dan Keragaman
Genetik
Bambu Laut Isis hippuris. Disertasi Doctoral (In
Prep).Makassar.
KKJI KKP ,2013.Dokumen analisis Kebijakan Bambu laut.Jakarta.
Fabricius KE, Benayahu Y, Genin A.1995a. Herbivory in asym-biotic soft corals,
Science (268) : 90-92.
Fabricius, K and G. Death 1997.The effects of flow, depth and slope on cover of soft coral
th
taxa and growth forms on Davies Reef, Great Barrier Reef.Proc. of the 8 Coral
Reef Symp., Panama Vol.2:1071-1076
Fabricius, K. and P. Alderslade, 2001, Soft Coral and Sea Fan, Australia Institude
of Marine Science, Queensland, Australia.
Fabricius, K., Alderslade., 2006. Soft Coral and Sea Fans.Reading Trees Publications
USA. 141p.
Haris, A., Tuwo A., dan Anas, A., 2010. Kelimpahan dan Distribusi I.hippuris di
Perairan Spermonde Kota Makassar.Jurnal Torani/Fakultas Ilmu
Kelautan dan Perikanan.UNHAS, Makassar.
Manuputty, A.E.W. 2002.Karang Lunak (Soft Coral) Perairan Indonesia.LIPI
Jakarta.
Masyud B. 1992. Identifikasi Sifat Satwa yang Dilindungi, Sisi Penting Kegiatan
Konservasi Keanekaragaman Hayati. Med. Konservasi 3(4): 41-46.
Soekarno M, Hutomo, Moosa MK, Darsono,P. 1983.Terumbu Karang di Indonesia;
Sumberdaya, Permasalahan dan Pengolahannya.Proyek Studi Sumberdaya
Alam Indonesia, Studi Potensi Sumberdaya Hayati Ikan, LONLIPI.Jakarta.
Soekarno R. 1995. Kondisi Terumbu Karang Indonesia dan Usaha
Pengelolaannya. SNC-Lavalin International Inc. Association with
52
53
Pendahuluan
Bagan merupakan salah satu alat tangkap yang digunakan oleh para nelayan di
seluruh perairan Indonesia. Alat tangkap ini menggunakan alat bantu cahaya
untuk menarik perhatian ikan agar mendekati alat tangkap atau masuk ke areal
penangkapan atau catchable area. Menggunakan waring dengan ukuran mata jaring
yang sangat kecil yaitu 0,5 cm. Berdasarkan cara pengoperasiannya bagan dapat
dikelompokkan kedalam kelompok jaring angkat (Von Brandt,1985). Bagan
dalam operasi penangkapannya menggunakan cahaya sebagai alat bantu
berkembang terus dan dapat diklasifikasikan mulai dari bagan tancap (fixed bagan),
bagan apung (floated bagan), yang dapat dibagi kedalam 2 kelompok yaitu bagan
rakit dan bagan perahu. Bagan perahu(canoe bagan) dapat pula diklasifikasikan
menjadi bagan satu perahu (bagan with one canoe), bagan dua perahu (bagan with two
canoes) dan bagan dengan menggunakan mesin sendiri (bagan with engine boat)
Bagan tancap mulai beroperasi sejak tahun 1949 dan sampai sekarang alat tangkap
tersebut masih eksis. Perkembangan terakhir adalah bagan raksasa atau biasa
disebut dengan bagan rambo. Bagan apung berdasarkan ukurann plat formnya
dapat dibagi atas 3 jenis yaitu: Bagan kecil (small bagan), biasanya berukuran 12 x12
m, bagan sedang (medium bagan) dan bagan raksasa (large bagan). Lampu yang
digunakan juga berkembang, sesuai dengan perkembangan teknologi. Pada
awalnya bagan yang hanya menggunakan lampu petromaks, kini bagan sudah
menggunakan lampu mercury. Sejak tahun 1950 pemanfaatan lampu petromaks
telah digunakan oleh para nelayan khususnya nelayan yang melakukan
penangkapan di perairan Teluk Bone dan Selat Makassar. Selanjutnya pada tahun
1972, seiring dengan pemanfaatan listrik untuk kebutuhan industri dan rumah
tangga, maka telah dimanfaatkan pula oleh para nelayan bagan. Lampu merkury
mulai dimanfaatkan oleh para nelayan di Teluk Bone sejak tahun1987 pada alat
tangkap bagan rambo dan berkembang terus sampai saat ini. Demikian halnya
dengan lampu neon, sejak tahun 1992 telah dimanfaatkan oleh para nelayan bagan
(Sudirman 2003; Sudirman dan Nessa, 2011).
Alat tangkap bagan sebagai salah satu alat tangkap yang menggunakan cahaya
banyak digunakan oleh para nelayan di wilayah pesisir karena mempunyai
54
55
56
57
Alat-alat lain yang ada pada alat tangkap bagan rambo adalah alat bantu dalam
memperlancar kegiatan operasional bagan rambo, antara lain radio komunikasi,
keranjang, peti dan serok.
Radio komunikasi digunakan untuk
mengkomunikasikan hal-hal yang berhubungan dengan hasil tangkapan, harga
ikan, fishing ground, antara juragan laut dan juragan darat (punggawa laut dan
punggawa darat) dan antara sesama nelayan bagan rambo. Keranjang merupakan
tempat hasil tangkapan setelah disortir. Sebuah keranjang mempunyai diameter 45
cm dengan tinggi 26 cm. Setiap bagan rambo mempunyai minimal 30 keranjang.
Peti merupakan tempat penyimpanan hasil tangkapan sebelum dibawa ke darat.
Ikan yang ada dalam peti telah dicampur dengan es untuk mengawetkan hasil
tangkapan. Serok ini mempunyai ukuran panjang 3,5 m dengan diameter bukaan
mulut 52 cm, tinggi jaring 60 cm dengan mesh size 1 cm.
Pemanfaatan Bagan untuk Penangkapan Ikan
Dalam pengoperasian satu unit bagan rambo dibutuhkan 16-20 orang ABK yang
dipimpin oleh seorang juragan laut atau disebut dengan punggawa laut. Juragan
laut memimpin dan bertanggungjawab terhadap seluruh operasi penangkapan
ikan yang dilakukan. Tugas masing-masing personil di atas bagan rambo pada
saat operasi dapat dibagi atas: satu orang yang mengatur pencahayaan lampu, 1
orang mengatur tali jangkar pada saat hauling, 2 orang bertugas untuk mengangkut
hasil tangkapan dan selebihnya 14 orang bertugas untuk memutar roller dan
menggiring ikan ke salah satu sisi perahu yang berfungsi sebagai kantong jaring.
Proses penangkapan dimulai dengan terlebih dahulu menentukan fishing ground.
Penentuan fishing ground antara lain ditentukan dengan melihat hasil tangkapan
nelayan bagan rambo pada malam sebelumnya. Jika ada bagan rambo yang
mendapatkan hasil tangkapan yang menonjol maka bagan rambo akan
terkonsentrasi pada suatu fishing ground tertentu. Sebaliknya jika hasil tangkapan
merata antara setiap unit alat tangkap maka fishing groundnya akan menyebar.
Penentuan fishing ground ini sepenuhnya berada pada juragan laut. Lama waktu
yang dibutuhkan dari satu fishing ground ke fishing ground lainnya antara 1-7 jam,
bergantung pada jarak lokasi dan keadaan cuaca. Setelah melalui pengecekan
dasar perairan (sebaiknya lumpur dan dekat dengan daerah terumbu) maka fishing
ground ditentukan, yang dilanjutkan dengan penurunan jangkar.
Pada saat menjelang senja hari (pukul 18.10 WIT) penurunan jaring mulai
dilakukan (setting) setelah semua ikatannya pada bingkai telah terikat dengan baik,
selanjutnya dilakukan penyalaan lampu (lighting).
Roller batu yang berfungsi
sebagai penahan jaring dari arus terlebih dahulu diturunkan. Dua sampai empat
jam setelah lampu dinyalakan dilakukan pemadaman lampu. Pemadaman lampu
dilakukan secara bertahap untuk menghindari kagetnya ikan dan usaha untuk
58
Saat permulaan operasi penangkapan maka bagan rambo di tarik ke fishing ground
dengan towing boat. Jarak fishing ground dari fishing base antara 4 sampai 17 mil laut.
Selanjutnya dilakukan proses penangkapan seperti yang dikemukakan di atas.
Dalam uraian tersebut di atas nampaknya perlu pula dikemukakan bagaimana
proses tertangkapnya ikan pada bagan bagan rambo.
Penangkapan Dengan Prinsip Keberlanjutan
Terdapat perbedaan dan persamaan daerah penangkapan bagan tancap dan bagan
apung atau bagan perahu, khususnya yang beroperasi di perairan Sulawesi Selatan.
Untuk memperoleh tangkapan yang maksimal, para nelayan bagan tancap sudah
mengetahui daerah-daerah penangkapan yang sangat baik untuk memasang alat
tangkap bagan tancap. Disepanjang perairan Makassar, Maros dan Pangkep
umumnya nelayan bagan memasang alat tangkapnya pada daerah-daerah yang
berdekatan dengan hutan mangrove atau tidak jauh dari daerah terumbu karang
pada kedalaman 5-9 m. Daerah tersebut merupakan daerah subur akan unsure
hara.
Dengan demikian maka ikan-ikan yang tertangkap juga adalah ikan-ikan yang
menghuni daerah-daerah tersebut. Fishing ground bagan tancap di perairan
Kabupaten Pangkep dikelilingi oleh pulau-pulau kecil dengan dasar perairan
berlumpur dan berpasir. Disekitar pulau-pulau tersebut merupakan daerah
terumbu karang dan padang lamun yang kaya akan sumberdaya ikan. Tidak jauh
dari daerah penangkapan bagan tancap tersebut, terdapat muara sungai (estuaria)
yang ditumbuhi oleh hutan bakau yang subur pula. Komponen-komponen
ekosistem tersebut turut memberikan kesuburan di daerah penangkapan bagan
tancap, karena adanya suplai bahan organik.
Pada bagan apung di Selat Makassar, operasi penangkapnnya berhubungan erat
dengan adanya terumbu karang disekitarnya. Jumlah hasil tangkapan akan banyak
jika bagan apung tersebut beroperasi disekitar daerah terumbu karang. Hal ini
disebabkan karena banyak ikan-ikan pelagis kecil mencari makan disekitar daerah
terumbu karang. Perbedaannya dengan bagan tancap hanyalah karena bagan
apung dapat berpindah-pindah dari satu fishing ground ke fishing ground lainnya.
Dengan demikian agar marine protected area tidak terganggu oleh alat tangkap bagan,
maka sebaiknya alat tangkap tersebut tidak beroperasi disekitar marine protected area.
Hasil Tangkapan Dorong Kesejahteraan Nelayan
Berdasarkan hasil penelitian Sudirman dkk (2012) menunjukkan bahwa jumlah
spesies yang ditemukan pada bagan tancap yang beroperasi di Perairan Pangkep
Sulawesi Selatan sebanyak 32 spesies. Dengan rincian, tangkapan utama (primary
catch) adalah 13 spesies, tangkapan sampingan (by catch) 13 spesies dan tangkapan
buangan (discard)
60
sebanyak 6 spesies (Tabel 1). Komposisi hasil tangkapan berdasarkan berat (kg)
pada bagan tancap selama penelitian menunjukkan berturut-turut adalah
tangkapan utama 78%, tangkapan sampingan 11 % dan tangkapan buangan 11 %
(Gambar 4). Komposisi ini memberikan gambaran bahwa keadaan bagan tancap
memberikan hasil tangkapan yang baik bagi pendapatan nelayan. Umumnya hasil
tangkapan bernilai ekonomi yang dapat memberikan kesejahteraan kepada
nelayan. Hanya 11% hasil tangkapan merupakan hasil tangkapan buangan yang
umumnya tidak dikonsumsi oleh masyarakat. Namun demikian hasil tangapan
buangan tersebut masih dapat dijual dengan harga yang sangat rendah (Rp
1000/Kg), sebagai makanan ternak ataupun sebagai makanan ikan di tambak.
Tangkapan sampingan umunya dimanfaatkan sebagai ikan konsumsi di rumah
tangga nelayan bagan.
N= 1913,6
61
Gambar 5. Komposisi tangkapan utama lima jenis ikan hasil tangkapan bagan
tancap di
Selat Makassar (Sudirman dkk, 2012)
Terdapat beberapa jenis ikan yang kecil yang hidup di daeah karang tertangkap
dengan alat tangkap bagan tancap, seperti ikan baronang ukuran kecil (Gambar
6), ikan kwe, ikan buntal dan ikan lepu dan jenis ikan karang lainnya (Gambar 7)
Gambar 6. Ikan baronang kecil yang tertangkap dengan bagan tancap di Selat
Makassar
62
Komposisi jumlah hasil angkapan pada bagan apung berbeda dengan pada bagan
tancap baik jumlah maupun jenisnya (Gambar 8).
Japuh(Othe
r sardine)
3,1%
Cumi-cumi
(Squids)
2,4%
Lain-lain
(Others)
5,3%
Teri
(Anchovy)
30,5%
Selar (Big
eye scad)
7,2%
Layang
(Russell`s
scad)
26,2%
Tembang
7,1%
Kembung(In
dian
mackerel)
18,1%
Cypsilurus poecilopterus), tongkol (Auxis thazard), ikan platu (Pseudobalistis sp, dan
Aluterus sp), ikan leweri batu (Anomalops sp), cendro (Tylosorus crocodilus), julungjulung (Hemirhamphus far), kerong-kerong (Therapon theraps), bulan bulan merah
dan hitam (Priacantus sp), baronang kuning (Siganus virgatus), lingkis (Siganus
canaliculatus) lolosi biru (Caesio coerulaureus), lolosi merah (Caesio chrysozona), ekor
kuning (Caesio erythrogaster), layur (Trichiurus savala), buntal (Arothron hispidas),
buntal duri (Diodon holacanthus), buntal tanduk (Lactoria cornuta), gemih (Echenies
naucrates), rambeng (Dipterygonosus sp) bawal putih (Pampus argenteus), bawal hitam
(Formio niger), gurita (Octopus sp) dan ikan peseng-peseng atau samu-samu
(Rabdania sp).
Gambar 9. Variasi hasil tangkapan pada bagan apung di Selat Makassar
Gambar 10. Jenis ikan karang yang tertangkap pada bagang apung di Selat
Makassar yang bernilai ekonomis.
64
Gambar 11. Jenis ikan karang yang tertangkap pada bagang apung di Selat
Makassar yang tidak bernilai ekonomis dan merupakan discards.
Banyak jenis-jenis ikan yang tertangkap pada bagang apung hanya merupakan
tangkapan sampingan. Jenis tersebut merupakan salah satu rantai dalam ekosistem
terumbu karang atau di perairan laut.
Ancaman Terhadap Kelestarian Marine Proteced Area
Daerah penangkapan ikan alat tangkap bagan baik bagan tancap maupun agan
perahu, sebagian besar berhubungan dengan daerah terumbu karang. Karena
daerah penangkapannya berada disekitar terumbu karang ersebut. Bagan rambo di
Selat Makassar masih tergolong daerah pantai karena kedalaman perairannya 25
70 m. Ikan-ikan yang bermigrasi ke pantai karena faktor lingkungan seperti arus,
salinitas, temperatur air, musim, pasang surut, topografi, makanan dan lain-lain
mungkin menyebabkan daerah tersebut menjadi fishing ground bagan.
Ikan-ikan yang mencari makan, apabila tersedia makanan akan tinggal lama di
dearah iluminasi cahaya untuk makan dan sebaliknya akan segera meninggalkan
daerah tersebut jika tidak tersedia makanan. Ikan-ikan yang pototaksis positif
akan memilih cahaya yang disenanginya. Berenang di atas atau di bawah jaring
dan berdiam lama disekitar iluminasi cahaya. Ikan yang pototaksis positif dan
mencari makan akan melakukan keduanya berada didaerah iluminasi sambil
melakukan aktivitas makan (feeding activity).
Dari data komposisi hasil tangkapan menunjukkan bahwa lebih dari 94% hasil
tangkapan bagan rambo didominasi oleh teri, layang, kembung, selar, tembang,
japuh dan cumi-cumi. Selebihnya adalah ikan-ikan predator, by-catch dan discard
catch yang umum adalah ikan-ikan karang. Walaupun jumlah spesies yang
tertangkap dengan alat tangkap bagan rambo cukup banyak namun masih
didominasi oleh spesies tersebut di atas. Sebagai konsekuensi dari daerah tropis
65
maka jumlah spesies sangat beragam. Namun dari hasil tangkapan tersebut tidak
ditemukan spesies langka yang dilindungi tertangkap oleh bagan rambo sehingga
di duga tidak membahayakan biodiversity. Terdapat berbagai jenis ikan karang yang
tertangkap dengan alat tangkap bagan, walaupun jumlahnya tidak dominan. Pada
alat tangkap bagan tancap, tangkapan ikan baronang kecil sebanyak 10% dari total
hasil tangkapan adalah suatu hal yang sangat mengkhawatirkan akan kelestarian
ikan-ikan tersebut, karena mempengaruhi populasinya. Sebaiknya hasil tangkapan
tersebut dikembalikan ke alam dalam keadaan hidup. Sebab jika tidak maka
ancaman yang ditimbulkan adalah mempengaruhi rantai ekosistem yang ada
diterumbu karang, yan pada akhirnya akan mempengaruhi kesehatan ekosistem
terumbu karang.
Penutup
Dari data yang disajikan di atas menunjukkan bahwa alat tangkap bagan banyak
menangkap ikan-ikan kecil (juvenile) dan berpengaruh terhadap kelestarian
ekosistem perairan termasuk ekosistem terumbu karang. Disamping itu alat
tangkap tersebut menangkap ikan disekitar areal terumbu karang, sehingga
sebagian ikan-ikan karang juga tertangkap, walaupun prosentasenya sedikit. Oleh
sebab itu, dalam rangka keberlanjutan sumberdaya perikanan khususnya menjaga
marine protected area, jumlah unit alat tangkap bagan yang diizinkan beroperasi
disetiap perairan harus dikontrol dengan baik, guna menjaga kelestarian
sumberdaya perikanan secara berkelanjutan, sebagai bagian dari implementasi
UU.No.34 th 2004 dan sebagai implementasi dari Code of Conduct for Responsible
Fisheries (CCRF).
66
DAFTAR PUSTAKA
Mallawa, A, Sudirman, M. Palo, dan Musbir 1992: Studi
Mengenai
Perikanan Bagan rambo di Perairan Barru Selat Makassar . Laporan
Proyek Penelitian. Lembaga Penelitian Universitas Hasanuddin, Ujung
Pandang. 40 hal.
Nadir, M., 2000. Teknologi Light Fishing di Perairan Barru Selat Makassar:
Deskripsi, Sebaran Cahaya dan Hasil Tangkapan (Tidak dipublikasikan).
Tesis Program Pascasarjana Institut Pertanian
Bogor. 87 hal.
Sudirman dan N.Nessa 2011. Perikanan Bagan dan Aspek Pengelolaannya. UMM
Press. Malang.234. Hal
Sudirman, 2003. Analisis Tingkah Laku ikan Untuk Mewujudkan Teknologi
Ramah Lingkungan dalam Proses Penangkapan Pada bagan Rambo di
Selat Makassar. Disertasi Pascasarjana IPB.307 hal.
Sudirman dan S.Made. 2005. Aspek Teknis, Proses Penangkapan dan Analisis
Investasi Pada Alat Tangkap Bagan Rambo di Selat Makassar. Jurnal
Punggawa. Jurnal Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan . Volume 2
Nomor 1,
Sudirman, Najamuddin dan Machfud Palo. 2012.Efektivitas pemanfaatan jenis
dan warna lampu untuk menarik perhatian ikan pelagis kecil pada alat
tangkap bagan
tancap dalam menunjang pengembangan perikanan
tangkap secara berkelanjutan. Laporan Penelitian Hibah Kompetensi.
Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Unhas. 46 hal
Sudirman, Najamuddin dan Machfud Palo. 2013. Efektivitas penggunaan
berbagai jenis lampu listrik untuk menarik perhatian ikan pelagis kecil
pada
bagan tancap. Jurnal Penelitian Perikanan Tangkap, JPPI.
Vol.19.no. 3. Desember 2013
Von Brandt, A..1985. Fish Catching Methods of the World. Third Edition.
Fishing News Books Ltd. Farnham. P.418.
67
Pendahuluan
Pemanfaatan sumber daya laut memiliki peran yang signifikan bagi kehidupan
masyarakat nelayan. Penyediaan lapangan pekerjaan untuk masyarakat, potensi
pangan dan pendapatan negara. Banyak permasalahan yang timbul akibat
pemanfaatan yang tidak memperhatikan kelestarian sumber daya. Kerusakan
lingkungan, pencemaran air laut dan kerusakan terumbu karang. Ekspoitasi yang
berlebihan akan memberikan dampak yang buruk bagi perkembangan sumber
daya alam laut. Dari sisi ketersediaan sumberdaya yang berkelanjutan,
pembangunan yang tidak memperhatikan aspek kelestarian akan mengurangi
kemampuan sumberdaya pesisir dalam mendukung fungsi pelayanan bagi
keseimbangan ekosistem di wilayah pesisir dalam jangka panjang. Pengabaian
terhadap tata ruang wilayah pesisir, pemanfaatan yang bersifat destruktif,
kebijakan dalam pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir yang tidak jelas, serta
rendahnya keterlibatan masyarakat akan bermuara pada kurang optimalnya
pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir.
Perairan yang mendapat masukan dari bahan organik dan arorganik akan
mempengaruhi ekosistem yang ada. Bahan antropogenik ini berasal dari berbagai
sumber seperti kegiatan pertambakan dan pertanian selanjutnya memasuki
perairan melalui aliran sungai dan run-off dari daratan.
Adanya buanganbuangan tersebut di atas sangat berdampak pada lingkungan pesisir dan laut.
Tingginya unsur hara akan merusak ekosistem terumbu karang dan biodiversity
(Costa Jr et al., 2008; Edinger et al., 1998). Bahan organic dengan konsentrasi
yang tinggi akan memicu pemasaman air laut (Rixen et al., 2008), yang berakibat
pada penurunan laju kalsifikasi karang (Death et al., 2009). Beberapa fenomena
memperlihatkan bahwa ada keterkaitan yang sangat jelas antara peningkatan
jumlah nutrien yang masuk ke dalam perairan terhadap peningkatan produktivitas
primer yang memicu pertumbuhan fitoplankton dan akhirnya berpengaruh secara
tidak langsung dengan terumbu karang. Pengaruh tidak langsung tersebut dalam
bentuk kompetisi ruang (McCoook et al. 2001). Adanya peningkatan fitoplankton
di daerah terumbu karang ini yang merupakan daerah pemijahan bagi ikan akan
memicu pula peningkatan zooplankton sebagai produksi sekunder bagi benih
ikan.
68
dalam waktu yang cukup lama bisa menyebabkan turbulensi. Turbulensi ini bisa
berperan mengangkat nutrien yang terkumpul di bawah lapisan tercampur akibat
tenggelamnya bahan-bahan organik maupun anorganik (Mann dan Lazier 1991).
Pasang surut merupakan salah satu sifat perairan yang dominan berpengaruh pada
distribusi beban masukan (Parson et al., 1984). Bersamaan dengan angin dan
gelombang, pengaruh pasang surut menciptakan turbulen perairan yang dapat
mengagkat nutrien dari lapisan dalam ke lapisan permukaan.
Beban Masukan Bahan Organik dan Anorganik
Bahan masukan organik signifikan mempengaruhi dinamika mikroalga melalui
peningkatan dan/atau menciptakan variabilitas kekeruhan (May et al., 2003).
Menurut Libels (1992), beban dan jenis-jenis bahan organik yang masuk ke
perairan laut terdiri atas karbohidrat, lipid, asam-asam nuklead, asam-asam amino,
hasil eksresi nitrogenus, asam-asam karbosilik, senyawa yang mengandung fosfor
dan sulfur. Bahan organik ini selanjutnya mengalami degradasi dengan waktu yang
berbeda.Secara umum sumber nutrien yang ada pada perairan laut berasal dari
masukan bahan organik (Valiela, 1984). Melalui aktivitas bakteri dan organisme
pengurai lainnya, bahan ini mengalami dekomposisi menjadi bahan-bahan
anorganik yang dapat dimanfaatkan oleh organisme autotrof (Chester, 1991),
seperti misalnya nitrat dan fosfat.
Menurut Cebrian (2002), nutrien diperoleh dari proses degradasi bahan organik
yang berlangsung pada kolom air atau sedimen. Laju penguraian bahan organik
sangat ditentukan oleh ketersediaan oksigen pada perairan (Valiela, 1984 dan
Libels, 1992). Reaksi yang terjadi sehubungan dengan ketersediaan oksigen yang
cukup disebut reaksi oksidasi. Menurut Valiela (1984), kondisi ini disebut dengan
kondisi aerobik.Proses penguraian bahan organik dapat pula terjadi pada kondisi
sangat miskin oksigen. Reaksi yang terjadi disebut dengan reaksi reduksi (Valiela,
1994; Thurman, 1993;
Millero dan Sohn, 1992). Dalam melaksanakan aktivitas, bakteri dan organisme
pengurai lainnya mereduksi molekul-molekul yang mengandung oksigen.
Selanjutnya, oksigen yang terbentuk dari reduksi itu digunakan sebagai energi
dalam melaksanakan proses penguraian bahan organik.
Jenis bahan organik yang masuk ke perairan ada yang mudah terdegradasi dan ada
pula yang sukar terdegradasi (memerlukan waktu yang lama). Salah satu contoh
bahan organik yang mudah terdegradasi adalah karbohidrat, lemak, dan protein.
Jenis-jenis bahan organik ini merupakan hasil pembusukan tumbuhan dan hewan
yang telah mati atau hasil buangan dari limbah domestik dan industri. Kemudian
bahan organik yang sukar terdegradasi adalah polychlorinated biphenyl (PCBs) dan
polycyclic aromatic hydrocarbons (PAH) (Effendie, 2003).
71
kesehatan terumbu karang melalui pengurangan daya penetrasi cahaya akibat dari
pertumbuhan fitoplankton. Meningkatnya fitoplankton yang cukup besar akan
mengganggu bahkan merusak settlement dari larva karang, termasuk kemungkinan
menurunnya tingkat kelangsungan hidup larva karang akibat pemangsaan
bilamana terjadi perkembangan plankton karnivora (larva-larva ikan). Perubahan
struktur komunitas fitoplankton ini berakibat pada kerentanan sumber pangan
laut di kawasan terumbu karang khususnya produksi larva ikan.
Metode Penelitian
Lokasi penelitian yaitu, kawasan konservasi laut daerah Wakatobi (Gambar 3) dan
Kapoposang. Penentuan posisi/titik stasiun penelitian selama pengamatan
menggunakan GPS (Global Positioning System) berdasarkan jarak.
73
ml diikat HgCl2 200 l. Selanjutnya sampel tesebut disimpan dalam kotak dingin
(cool box) dan dibawa ke laboratorium untuk analisa selanjutnya. Penyaringan
dilakukan sejam setelah pengambilan sampel.
Tabel 1. Parameter, metode, dan alat yang digunakan
Parameter
Tmpt.
Sumber
Satuan
Metode
Alat
Ind/m3
Jaring 500
Makroshop
Lab
mgL-1
Reduksi
Cadmium
Spektrofotometer
Lab.
Aminot dan
Rey, 2000
UV
A1800Shimadzu
Lab.
Grasshoff,
analisis
Utama
1.Larva
Ikan
2.NO3-N
3.NO2-N
4.NH3-N
mgL-1
mgL-1
-1
5.PO4-P
6.Silika
mgL
mgL-1
Sulfanilamid
Amonium
Molibat
Stanous
Klorida
Spektrofotometer
UV
A1800Shimadzu
Spektrofotometer
UV
A1800Molybdosilica Shimadzu
te
Spektrofotometer
UV
A1800Shimadzu
Spektrofotometer
UV
A1800Shimadzu
75
APHA, 1986
et al. 1983;
sda
Lab.
Lab.
Lab.
sda
sda
Jenis
H
3
[Ind/m ]
Taman Wisata
Wakatobi
Nasional Telur
229
1.0
Larva ikan
189
0.7
Crustacea
108
1.1
Telur
96
1.0
Larva ikan
16
0.7
Crustacea
82
1.1
76
77
Variabilitas Nutrien
Berdasarkan hasil pengamatan kandungan nutrien yang didapatkan dalam
penelitian rata-rata dari kedua lokasi yang diamati sangat bervariasi, seperti yang
disajikan pada Gambar 5.
12
TN. Wakatobi
10
Konsentrasi [M]
0
10
TW. Kapoposang
8
2
0
NO3
NO2
NH3 NH4+
PO4
Si
78
79
DAFTAR PUSTAKA
Aminot, A., Rey, F., 2006. Standard procedure for the determination of
chlorophyll a by spectroscopic methods. International Council for the
Exploration of the Sea, Denmark.
[APHA] American Public Health Association. 1986. Standard Methods for the
Examination of Water and Waste Water Including Bottom Sediment and
Sludges. 12th ed. New York: Amer. Publ. Health Association Inc.
Barnes, R.S.K. and R.N. Hughes. 1988. An Introduction to Marine Ecology.
Blackwell Scientific Publication, London.
Cebrian. J. 2002. Variability and Control of Carbon Consumption, Export and
Acumulation in Marine Communities. Limnology Oceanography. 47(1):1112.
Chester, R. 1991. Marine Geochemistry. Unwin Hyman Ltd, Australia.
Costa Jr, O. S., M. Nimmo, and E.Cordier. 2008. Coastal nutrification in Brazil: A
review of the role of nutrien excess on coral reef demise. Journal of South
American Earth Sciences 25(2): 257-270.
Death, G., J.M. Lough, and K.E. Fabricus. 2009. Declining coral calcification on
the Great Barrier Reef. Science 323, 116-119.
Drever, J.L. 1997. The geochemistry of natural waters:surface and groundwter
environments. Lebanon USA: Prentice Hall.
Edinger, E. N., G. V. Limmon, J. Jompa, Widjatmoko, Wisnu, Heikoop, Jeffrey.
M.J, Risk, J. Michael. 2000. Normal Coral Growth Rates on Dying Reefs:
Are Coral Growth Rates Good Indicators of Reef Health? Marine Pollution
Bulletin 40(5): 404-425.
Edinger, E.N., J. Jompa, G.V. Limmon, W. Widjatmoko, and M.J. Risk. 1998.
Reef degradation and coral biodiversity in Indonesia: Effects of land-based
pollution, destructive fishing practices and changes over time. Marine
Pollution Bulletin 36(8), 617-630.
Effendi, H. 2003. Telaahan Kualitas Air. Bagi Pengelolaan Sumberdaya dan
Lingkungan Perairan. Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Fabricus, K., G. Death, L. McCook, E. Turak, and D.McB. Williams. 2005.
Changes in algal, coral and fish assemblages along water gradients on the
inshore Great Barrier Reef. Marine Pollution Bulletin 51, 384-398.
80
Hatcher, B.G. 1997. Coral reef ecosystems: how much greater is the whole than
the sum of the parts? Coral Reefs 16, S77-S91.
Heisler, J., P.M.Glibert, J.M.Burkholder, D.M.Anderson, W.Cochlan, W.C.
Dennison, Q. Dortch, C.J. Gobler, C.A. Heil, E. Humphries, A. Lewitus,
R.Magnien, H.G. Marshall, K. Sellner, D.A. Stockwell, D.K. Stoecker,
M.Suddleson. 2008. Eutrophication and harmful algal blooms: A scientific
consensus. Journal Harmful Algae. xxx; xxx-xxx
Jassby, A.D. and J.E. Cloern. 2000. Organic Matter Sources and Rehabilitation
of the sacramento San Joaqiun Delta (California, USA). Aquat. Conserv.
Mar. Freshw. Ecosyst. 10: 323-352.
Kaswadji, R.F.
1999.
Pengaruh angin terhadap penyebaran biomassa
fitoplankton di Teluk Pelabuhan Ratu. Jurnal Ilmu-Ilmu Perairan dan
Perikanan Indonesia: VI(2): 61-72.
Lagus, A., Suomela, J., Wethoff, G., Heikkila, K., Helminen, H., and Sipura, J.
2004. Species-Specific Differences in Phytoplankton Responses to N and
P Enrichment and The N:P ratio in The Archipelago Sea, Northern Baltic
Sea. Journal of Plankton Research., 26 (7), 779-798.
Libels, S.M. 1992. An Introduction to Marine Biogeochemistry. J.Wiley and
Sohn, Inc.
Mackenthum, K.M. 1969. The Practice of Water Pollution Biology. United
States Department of Interior, Federal Water Pollution Control
Administration, Division of Technical Support.
Mann, K.H. dan J.R.N. Lazier. 1991. Dynamics of Marine Ecosystems. Boston:
Blackwell Scientific Publication.
May, C.L., J.R. Koseff, L.V. Lucas, J.E. Cloern, and D.H. Schoellhamer. 2003.
Effects of Spatial and Temporal Variability of Turbidity on Phytoplankton
Blooms. Mar. Ecol. Prog. Ser. 254: 111-128.
McCook L.J. 1999. Macroalgae, nutrients and phase shifts on coral reefs:
scientific issues and management consequences for the Great Barrier Reef.
Coral Reefs 18, 357-367.
Millero, F.J. and M.L. Sohn. 1992. Chemical Oceanography. CRC Press. Boca
Raton Ann Arbort London..
Nikolsky, G,V. 1963. The Ecology of Fishes. London: Academic Press.
Nybakken, J.W. 1988. Biologi Laut. Suatu Pendekatan Ekologis. Alih
81
1993.
Essential of Oceanography.
Macmillan Publishing
82
Pendahuluan
83
Beberapa jenis penyakit karang yang menyerang karang, antara lain, White band
disease (WBD) yang menginfeksi Acropora palmata di Santa Croix (Gladfelter et al.,,
1977), White plague (W) yang menginfeksi Montastrea di Key Largo (Dustan, 1977)
dan Dark spot yang menginfeksi Siderastrea sidereal di Karibia (Goreau et al.,, 1998).
Dalam dua dekade, penyakit karang telah meningkat baik jumlah, spesies yang
terinfeksi dan daerah penyebarannya (Goldberg and Wilkinson (2004). Infeksi
penyakit ini umumnya terjadi ketika karang mengalami stress akibat tekanan dari
lingkungan, seperti pencemaran, suhu tinggi, sedimentasi, nutrient yang tinggi
terutama nitrogen dan senyawa carbon, predator, kompetisi dengan alga yang
pertumbuhannya sangat cepat, dan kondisi fisiologis yang lemah setelah terjadi
pemutihan (Antonius and Lipscomb. 2001; Raymundo et al., 2008; Aeby et al.,
2011).
Bedasarkan hasil penelitian sebelumnya, penyakit pada karang dapat
mengakibatkan kerusakan, bahkan sampai kematian pada karang. Green and
Bruckner (2000) melaporkan bahwa White band disease menyebabkan kematian
karang Acropora cervicornis sebesar 85% pada tahun 1980 di U.S. Virgin island.
Hasil penelitian di wilayah Indo-Pasifik menunjukkan bahwa terjadi peningkatan
penyakit secara temporal di beberapa lokasi. Monitoring penyakit karang yang
telah dilakukan dalam kurun waktu tahun 1998-2003 menunjukkan peningkatan
penyakit white syndrome sebesar 20 kali lipat di terumbu karang Great Barrier Reef ,
Australia (Willis et al., 2004). Raymundo et al., (2006) mengemukakan pada dua
lokasi di Filipina diperoleh total prevalensi penyakit mencapai 19,9%, dengan
prevalensi tertinggi 53,7% pada penyakitporites ulcerative white spot (PUWS) dan
growth anomaly mencapai 39,1% (Kaczmarsky, 2006).
Pendekatan Morfologi dan Analisa Penyakit Karang
Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Juni 2013 sampai Januari 2014.Analisis
karakteristik morfologi penyakit dari karang yang terinfeksi dilakukan di
Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.
Pengamatan distribusi dan Prevalensi penyakit pada kawasan konservasi laut
dilakukan di Pulau Kapoposang dan di
Pulau Sarappo Lompo.Analisis Kualitas Air dilakukan di Laboratorium Kualitas
Air Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin.
Tahap persiapan yang dilakukan meliputi pengumpulan informasi awal mengenai
kondisi lokasi penelitian dan dijadikan acuan guna pengambilan data terdiri atas
studi pustaka mengenai lokasi survey. Penetapan stasiun penelitian berdasarkan
kepada keterwakilan zona konservasi yaitu Pulau Kapoposang dan zona diluar
84
Lintang
Pulau Kapoposang
Site 1
Site 2
Site 3
Pulau Sarappo Lompo
Site 1
Site 2
85
Bujur
0404239.0
0404134.4
0404155.0
11805778.7
11805693.7
11805687.2
0405315.8
0405299.0
11901561.6
11901559.7
86
87
Gambar 3.Prevalensi Karang yang sakit dan karang yang sehat di Pulau
Kapoposang dan Sarappo Lompo.
Berdasarkan Gambar 3 diatas terlihat bahwa di Pulau Kapoposang dan Pulau
Sarappo Lompo memiliki prevalensi penyakit karang yang lebih kecil
dibandingkan dengan karang yang sehat. Prevalensi pada penyakit karang
merupakan persentase koloni yang terserang penyakit.Prevalensi dapat diketahui
dengan menghitung jumlah koloni yang terinfeksi penyakit dari jumlah seluruh
koloni (Raymundo et al., 2008).
Karang yang terinfeksi banyak ditemukan pada kedalaman 1-3 meter di daerah
tubir (upper reef slope) sementara pada kedalaman 5-7 meter (reef slope) tidak banyak
88
89
Gambar 4. Penyakit pada karang (A) BBD pada Pachyceris sp (B) BBD
pada Porites sp (C dan D) BRB pada Acropora sp (E)
Pemangsaan pada Fungia sp (F) GA pada Fungia sp.
Karang Acropora sp tersebut ditemukan pada daerah dangkal (1,5m) sehingga
rentan mengalami stress akibat adanya perubahan kondisi lingkungan seperti
suhu, intensitas cahaya dan partikel terlarut yang tinggi. Apabila kondisi perairan
berarus lemah atau perairan tenang suhu dan intensitas cahaya juga akan secara
optimal sampai ke dasar perairan dan dapat mengakibatkan karang menjadi stress
sehingga mudah terinfeksi penyakit. Alasan utama meningkatnya penyakit karang
adalah stress akibat lingkungan dan climate change (Harvell et al., 2002; Lesser et al.,
2007). Keduanya sangat rentan terhadap penyakit karang(Lesser et al., 2007) dan
peningkatan patogenitas dari komunitas mikroba (Rosenberg & Ben-Haim,
2002).Peningkatan suhu yang tinggi menyebabkan zooxanthella terlepas dari
karang sehingga karang mengalami stres, akibatnya mudah terinfeksi oleh
penyakit (Ben-Haim et al., 1999).
Penyakit karang menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap perubahan
komunitas karang serta memperlihatkan kecenderungan peningkatan infeksi
penyakit pada karang dalam kurun waktu 2005 2007 di perairan Taman
Nasional Laut Wakatobi (Haapkyla et al., 2007).Hasil studi terbaru berdasarkan
data Reef Check, menunjukkan Kawasan konservasi laut (KKL), suatu kawasan
dimana kegiatan perikanan dan kegiatan lain yang berpotensi merusak diatur
dengan baik, mampu memberikan bonus bagi ekosistem terumbu karang yaitu
90
membantu terumbu untuk pulih dari berbagai akibat ancaman terhadap kondisi
kesehatan karang.
Marine reserves are known to be effective conservation tools when they are placed and
designed properly. Kawasan konservasi laut merupakan alat konservasi yang efektif
jika didesain dan ditempatkan secara tepat. Baik bagi sumber daya ikan, maupun
untuk nelayan.Kawasan konservasi laut (KKL)mengidentifikasian wilayah-wilayah
terumbu karang yang kurang rusak dan meninjau ulang sistem zonasi dan
batasan-batasan.
Gambar 5. Fluktuasi rata-rata bulanan dari curah hujan, suhu, lama penyinaran
cahaya matahari dan kecepatan angin pada tahun 2013 (Stasiun
Klimatologi Kelas 1 Maros)
Berdasarkan Gambar 5, data rata-rata bulanan pada tahun 2013, diperoleh
data kecepatan angin pada saat penelitian (Agustus-Desember 2013) sedang
mengalami peningkatan yang dimulai dari bulan Juli hingga sampai September (14 knot). Data curah hujan memperlihatkan bahwa curah hujan tertinggi pada
tahun 2013 adalah di bulan Desember (720 mm) dan mengalami penurunan pada
bulan Agustus-Oktober. Data suhu mengalami kenaikan pada bulan Mei (27,7C)
dan pada bulan September-November (27,6C).
Adapun data lama penyinaran matahari sedang mengalami peningkatan
sejak bulan Agustus 2013 (86%) hingga Oktober 2013 (87%) dan mencapai
puncaknya paada bulan September (93%). Kondisi terjadinya peningkatan suhu,
lama penyinaran matahari, dan kecepatan angin (pada saat pengambilan data) ,
91
subjek yang menarik bagi pariwisata. Marine Protected Areas (MPAs) merupakan
strategi manajemen yang dapat digunakan dalam meningatkan ketahanan
ekosistem pesisir dan melindungi terumbu karang.. Meskipun secara langsung
MPA tidak bisa melindungi terumbu karang dari pemutihan dan penyakit lainnya,
sehingga dapat digunakan untuk meningkatkan ketahanan terumbu karang
dengan melindungi terumbu karang dari gangguan antropogenik lainnya. Sebagai
contoh dampak antropogenik seperti: peningkatan nutrisi, polusi, penyelam dan
kerusakan kapal, sedimentasi dan penangkapan yang berlebihan dapat dikurangi.
Pengurangan tekanan langsung ini memberikan kontribusi terhadap ketahanan
sumber larva yang penting bagi pemulihan terumbu karang (Grimsditch and
Salm, 2006).
Efek berikutnya dari kematian terumbu karang adalah berubahan ekosistem
terumbu akibat adanya penyakit, yang selanjutnya mengakibatkan perubahan
berantai lingkungn laut. Terumbu karang telah bertahan dari perubahan
lingkungan selama jutaan tahun.Namun laju perubahan lingkungan global dewasa
ini dapat terjadi dalam kecepatan yang tak terduga akibat aktifitas manusia.
Sehingga nasib terumbu karang di masa depan akan semakin tak menentu.
Beberapa penelitian juga mengangkat beberapa tempat dimana terumbu karang
yang berbalik pulih akibat adanya usaha pencegahan dampak manusia terkait
penurunan karang di masa lalu. Sebagai contohnya, mengakhiri buangan limbah
di Teluk Kanehoe di Hawaii telah memungkinkan karang untuk pulih; kembalinya
populasi bulu babi di beberapa bagian kepulauan Karibia telah memungkinkan
karang untuk bangkit 'melawan' rumput laut; dan di Filipina regulasi yang lebih
efektif untuk penangkapan ikan berlebih telah memungkinkan ikan kakatua untuk
pulih kembali - sejenis ikan terumbu yang membantu karang pulih dengan
memakan rumput laut (makroalga) kompetitor karang.Krisis terumbu karang
dunia umumnya terkait juga dengan krisis kepemerintahan, sebab kita telah
mengetahui apa saja yang perlu dilakukan, namun aksi atau tindakan (untuk
mengurangi polusi, menekan emisi gas rumah kaca, mencegah penangkapan
berlebih dan merusak) tidak dilakukan.
Studi tersebut juga menyarankan agar pemangku kebijakan dapat melibatkan para
peneliti yang memahami studi kesehatan terumbu karang dalam pengembangan
kebijakan terkait penyelamatan terumbu karang. Sebagai tambahan, pemerintah
sebaiknya fokus dalam pendidikan masyarakat lokal, perubahan mekanisme tata
guna lahan dalam mencegah lepasan polusi, memperkuat hukum untuk
melindungi terumbu karang, memperbaiki pengaturan penangkapan berlebih, dan
bekerja dengan institusi internasional, seperti Convention on International Trade in
Endangered Species (CITES), dalam penyediaan perlindungan yang lebih baik bagi
93
karang yang terancam punah.Namun tentunya, satu bongkahan batu besar lainnya
adalah perubahan iklim. Dalam masa pengasaman laut saat ini, sebab meingkatnya
emeisi karbon serta menghangatnya temperatur laut - akan membawa
keterpurukan terumbu karang meskipun tindakan yang mendukung bagi
kesehatan karang dilakukan.
Kesimpulan
Penyakit karang menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap perubahan
komunitas karang serta memperlihatkan kecenderungan peningkatan infeksi
penyakit. Meningkatnya penyakit karang disebabkan kurangya kepedulian
masyarakat untuk menjaga dan melestarikan ekosistem terumbu karang. Salah
satu cara mengurangi terjadinya kerusakan terumbu karang yakni dengan
mendorong terbentuknya kawasan konservasi laut.
Rekomendasi
Untuk melindungi Terumbu Karang sebaiknya perlu dibentuk kawasan
konservasi sebagai salah satu cara untuk mengurangi resiko penyakit karang.
Meningkatkan peran masyarakat untuk terlibat aktif di dalam upaya menjaga dan
melestarikan ekosistem terumbu karang. Mendorong pemerintah agar siap
menghadapi perubahan iklim sebagai isu utama yang paling penting bagi
pengelolaan dan konservasi terumbu karang dengan menekan tajam emisi gas
rumah kaca.
94
Daftar Pustaka
Aeby, G.S., Williams, G.J., Franklin, E.C., Kenyon, J., Cox, E.F., Coles, S and
TM Work. 2011. Patterns of Coral Disease Across the Hawaiian
Archipelago: Relating Disease to Environment. PloS ONE 6(5):e20307.
Alker AP, Smith GW and Kim K. 2001. Characterization of Aspergyllus sydoii
(Thom et church), a fungal phatogen of Carribean sea fan corals.
Hydrobyologia. 460:105-111.
Antonius, A., and Lipscomb, D. 2001. First Protozoan Coral Killer Identified in
The Indo-Pacific. Atoll Research Bull 21:481-493.
Beeden, R., Willis, B.L., Raymundo, L.J,m Page, C.A., and Weil, E. 2008.
Underwater Cards for Assessing Coral Health on Indo-Pacific Reef.
CRTR Program Project Executing Agency, Center for Marine Studies.
The University of Queensland. Australia.
Ben-Haim, Y., Banin, E., Kushmaro, A., Loya, Y. and Rosenberg, R.
1999.Inhibition of Photosynthesis and Bleaching of Zooxanthellae by The
Coral Pathogen Vibrio shiloi. Environ. Microbiol. 1:223-229.
Bonn, M. A.; Joseph, S. and Dai, M. 2005. An empirical analysis of ecogeneralists
visiting Florida: 19982003. Tourism Analysis, 10: 165- 185.
Bryant D, Burke L, McManus J and Spalding M. 1998. Reef at Risk : a map
based indicator of threats to the Worlds coral reefs. Washinton DC:
World Resource Institute. 56p.
Galloway, S.B., Bruckner, A.W. and Woodley, C.M. (eds.). 2009. Coral Health
and Disease in the Pasific: Vision for Action. NOAA Technical
Memorandum NOS NCCO97 and CRCP 7.National Oceanic and
Atmospheric Administration, Silver Spring, MD 314 pp.
Goldberg, J. And Wilkinson, C. 2004. Global Threats to Coral Reef: Bleaching,
Climate Change, Disease, Predator Plagues, and Invasive Spesies.
GCRMN. 25 p.
Grimsditch, G. D. and Salm, R. V. 2006. Coral Reef Resilience and Resistance
to Bleaching. IUCN. Gland, Switzerland. 52pp.
Green E and Bruckner AW. 2000. The Significant of Corals Disease
Epizoothyology for Coral Reef conservation. Biologycal Conservation.
96:347-361.
Haapkyla, J., Seymour, A.S., Trebilko, J., Smith, D. 2007. Coral Disease
Prevalence and Health in The Wakatobi Marine Park, South-east
Sulawesi, Indonesia. Marine Biologi U.K. 87:403-414.
Haapkyla, J., Unsworth, R.K.F., Seymour, A.S., Thomas, J.M., Flavel, M., Willis,
B.L., Smith, D.J. 2009. Spation-Temporal Coral Disease Dynamics in the
Wakatobi Marine National Park. South-East Sulawesi Indonesia. Disease
of Aquatic Organisme 87: 105-115.
95
Harvell CD, Mitchell CE, Ward JR, Altizer S, Dobson AP, Osfeld RS, Samuel
MD. 2002. Climate warming and disease risks for terrestrial and marine
biota. Science 296:2158-2162.
Harvell, C.D., Aronson, A., Baron, N., Connell, J., Dobson, D., Ellner, S.,
Gerber, L., Kim, K., Kuris, A., McCallum, H., Lafferty, K., McKay, B.,
Porter, J., Pascual, M., S,ith, G., Sutherland, K., Ward, J. 2004. The rising
tide of ocean disease: unsolved problems and research priorities. Review
Front Ecol Environ 2(7): 375-382.
Hughes,T.P., Nicholas A.J. Graham., Jeremy B.C. Jackson., Peter J. Mumby, and
Robert S. Steneck. 2010. Rising to the challenge of sustaining coral reef
resilience. Trends in Ecology and Evolution.Vol.25 No.11.
Jompa, J., 1996. Monitoring and Assessment of Coral Reefs in Spermonde
Archipelago, South Sulawesi, Indonesia.Thesis.McMaster University.
Canada.
Kaczmarsky, L.T. 2006. Coral Disease Dynamics in the central Philipines.
Disease of Aquatic Org. 69 (1): 9-21.
Kaczmarsky, L. T., Draud, M., and Williams, E.H. 2005. Is there a Relationship
Between Proximity to Seawage Effluent and the Prevalence of Coral
Disease, Carib. Jour. Sci. 41:124-137.
Kuta, K.G and Richarson, LL. 2002. Ecological aspect of black band disease of
corals: relationship between disease incidence and environmental factors.
Corals reefs. 21:393-398.
Lesser MP, Bythell JC, gates RD, Johnstone RW, Hoegh-Guldberg O. 2007. Are
infectious disease really killing corals? Alternative interpretations of the
experimental and ecological data. J Exp Mar Biol Ecol 346:36-44.
Massinai, A. 2012.Kondisi dan Sebaran Penyakit pada Karang batu (Stony coral)
di Kepulauan Spermonde.Disertasi. Program Pasca Sarjana Universitas
Hasanuddin. Makassar.
Myers, R.L. and Raymundo, L. 2009. Coral Disease in Micronesian Reefs: a Link
Between Disease Prevalence and Host Abudance. Dis Aquat Org 87: 77104.
Nugus, M.M., and Bak, R.P.M. 2009. Brown-Band Syndrome of Feeding Scars of
the Crown-of-Thorn Starfish Acantasterplanci. Coral Reef 28:507-510.
Page C and Willis B. 2006. Distribution, host range and large scale spatial
variability in black band disease prevalence on the Great Barrier Reef
Australia. Dist Aquatic. Org. 69;41-51.
Raymundo, L.J., Maypa, A.P., Rosell, K.B., Cadiz, P.L., and Rojas, P.T. 2006. A
Survey of Coral Disease Prevalence in Marine Protected Areas andFished
Reefs of the Central Viisayas, Philippines. Global Environment Facility
96
97
Weil E, Smith, G.W., Gil-Agudelo, D.L. 2006. Status and progress in coral reef
disease research. Dis Aquat Org 69: 1-7.
Weil, E., and Crocuer, A., Urreiztieta, L. 2009. Temporal Variability and Impas of
Coral Disease and Bleacing in La Parguera, Puerto Rico from 2003-2007.
Caribbean Journal Science 45: 221-246.
Weil, E., and Hooten, A.J. 2008.Underwater Cards for Assessing Coral Health on
Caribbean Reef.CRTR Program Project Executing Agency, Center for
Marine Studies.The University of Queensland. Australia.
Woesik, R.V, J.Gilner, Hooten AJ. 2009. Standar Operating Procedure for
Repeated Measures of Process and State Variables of Corals Reef
Environment. CRTR and Capacity Building for management
Program.The University of Quensland. Australia.
Zvuloni A, Artzy Randrup Y, Stone L, Kramarsky-Winter E,barkan R and Loya
Y. 2009. Spatio Temporal Transmission Pattern of Black Band Disease
in A Corals Community. PLoS ONE (4) 4:1-10.
98