You are on page 1of 21

BAB I

IDENTITAS PASIEN

I. IDENTITAS PASIEN
Nama

: Tn. Nadi

Jenis kelamin

: Laki-laki

Umur

: 60 tahun

Agama

: Islam

Pendidikan terakhir

: SD

Suku

: Jawa

Pekerjaan

: Buruh Tani

Alamat

: Ds. Sumurgening, Kec. Jenu. Kab. Tuban

Tanggal/jam masuk RS

: 4-3-2016 jam 20.40

Tanggal pemeriksaan

: 4-3-2016

II. ANAMNESA
Keluhan utama

: seluruh badan kaku

RPS

: pasien datang dengan keluhan seluruh badan kaku, perut


terasa tegang, tengkuk terasa kaku dan sulit digerakkan
1

sejak 2 hari ini, mulut sulit dibuka sejak 2 hari, badan


seperti tertarik kambuh-kambuhan terutama pada bagian
punggung. Badan sumer. Susah menelan 2 hari.
RPD

: tidak pernah sakit serupa. Dm -, HT-

RPK

: tidak ada yang pernah menderita sakit seperti ini.

Riwayat alergi obat

: tidak ada

Riwayat alergi makanan: tidak ada


Riwayat kontaminasi: gigi M1 bagian atas kanan sebelumnya karies dan dikorek
dengan tusuk gigi lalu tanggal sendiri ketika makan 1 bulan yang lalu.
Riwayat imunisasi: tidak ada
III. PEMERIKSAAN FISIK
- Status umum
Keadaan umum

: sedang

Kesadaran

: composmentis, GCS 456

Suhu badan

: 37,0o C

Pernafasan

: 30x/menit

Nadi

: 80x/menit

Tensi

; 140/90 mmHg

- Kepala leher
Kepala

: - Bentuk dan ukuran kepala dalam batas normal


2

- anemis (-), icterus (-), cianosis (-), dyspneu (-)


Telinga

: Dalam batas normal, tidak ada bekas luka

Hidung

: Dalam batas normal, tidak ada bekas luka

Mulut

: trismus + , buka mulut max 2 jari.

Leher

:Tidak ada pembesaran kelenjar getah bening, kaku kuduk+

- Thorax
Inspeksi

:bentuk simetris

Paru

: Inspeksi

: bentuk
Pergerakan

: simetris
: simetris

Palpasi

: Fremitus

: Normal

Perkusi

: sonor pada kedua lapang pandang

Auskultasi

: Suara nafas : vesikuler pada kedua lapang

dada

Jantung

Ronki

:-/-

Wheezing

: -/-

: bising jantung tidak didapatkan , dalam batas normal

- Abdomen
Inspeksi

: datar, tidak ada benjolan.

Palpasi

:- tidak ada nyeri tekan


3

- keras seperti papan dan tegang


Perkusi

: Tympani

Auskultasi

: Bising usus (+)

- Ekstrimitas
Akral : hangat
Ekstensi ekstremitas inferior +
Oedem

: -

- Opistotonus +
IV. ASSESMENT
Diagnosa

: Tetanus grade 2

Diagnosa Banding

: -meningitis
-ensefalitis

V. PLANNING
Terapi

:- Inf RL drip Diazepam 3 Amp


- Inj tetagam 12 Amp
- inj diazepam 1 amp jika kejang
- Metronidazole 3x1 flash
- inj. Santagesik 3x1 p.r.n

Monitoring

:1. Vital Sign


2. A,B, C, D

VI. FOLLOW UP

Tanggal

MRS

Pemeriksaan

Assesment

Pasien kiriman dari IGD dengan Tetanus

Tetanus

Planing

hari
ke5 03 2016

S : badan kaku dan mulut tidak bisa


dibuka lebar 3hr, perut keras seperti
papan
O : a-/i-/c-/dNadi

: 80x/menit

RR

: 20 x/menit

Trismus +

S: kejang (-)
O: kaku kuduk +
Trismus +
6-03-2016

Perut papan +

Tetanus

-Inf D5 20 tpm drip


diazepam 3 amp
-Inj. Diazepam 1 amp

S: kejang (-), kaku (+), tenggorokan

jika kejang

keluar dahak kental.


-Metronidazole
O:a-/i-/c-/d-

3x1flash

Trismus +

-Santagesik 3x1 k/p

Perut papan +
Nadi: 80x/mnt
7-03-2016

RR: 20x/mnt

Tetanus

-Inf. RL drip 3amp 20


tpm
- OBH syrup 3xC1

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Pendahuluan
Sampai saat ini tetanus masih merupakan masalah kesehatan masyarakat
signifi kan di negara berkembang karena akses program imunisasi yang buruk,
juga penatalaksanaan tetanus modern membutuhkan fasilitas intensive care unit
(ICU) yang jarang tersedia di sebagian besar populasi penderita tetanus berat.1
Tetanus merupakan penyakit infeksi akut yang menunjukkan diri dengan
gangguan neuromuskular akut berupa trismus, kekauan dan kejang otot akibat
eksotoksin spesifik kuman anaerob Clostridium tetani. 2

II.2 Epidemiologi
Tetanus terjadi secara sporadis dan hampir selalu menimpa individu non imun,
individudengan imunitas parsial dan individu dengan imunitas penuh yang
kemudian tidakmempertahankan imunitas secara adekuat dengan vaksinasi
ulangan. Tetanus masih merupakan penyakit yang membebani di seluruh
dunia terutama di negara beriklim tropis dan negara-negarasedang berkembang,
sering terjadi di Brazil, Filipina, Vietnam, Indonesia, dan negara lain
di benua Asia. Di negara yang telah maju seperti Amerika Serikat, tetanus sudah s
angat jarangdijumpai, karena imunisasi aktif telah dilaksanakan dengan baik di
samping sanitasi lingkunganyang bersih, akan tetapi di negara sedang berkembang
termasuk

Indonesia

penyakit

ini

masih banyak dijumpai

karena tingkat kebersihan masih sangat kurang, mudahterjadi


perawatan

luka

kurang

diperhatikan,

kurangnya

kesadaran

akan pentingnya kebersihan dan kekebalan terhadap tetanus.3


7

karena

kontaminasi,
masyarakat

II.3 Etiologi
Tetanus disebabkan oleh Clostridium tetani yang bersifat anaerob murni.
Spora C.tetani dapat bertahan sampai bertahun-tahun bila tidak kena sinar
matahari. Spora ini terdapat ditanah atau debu, tahan terhadap antiseptik,
pemanasan 100 c, dan bahkan pada otoklaf 120 c selama 15-20 menit. Dari
berbagai studi yang berbeda, spora ini tidak jarang ditemukan pada feses kuda,
anjing, dan kucing. Toksin diproduksi oleh bentuk vegetatifnya. 2
II.4 Patogenesis
Tetanus disebabkan oleh eksotoksin Clostridium tetani, bakteri bersifat
obligat anaerob. Bakteri ini terdapat di mana-mana, mampu bertahan di berbagai
lingkungan ekstrim dalam periode lama karena sporanya sangat kuat. Clostridium
tetani telah diisolasi dari tanah, debu jalan, feses manusia dan binatang. Bakteri
tersebut biasanya memasuki tubuh setelah kontaminasi pada abrasi kulit, luka
tusuk minor, atau ujung potongan umbilikus pada neonatus; pada 20% kasus,
mungkin tidak ditemukan tempat masuknya. Bakteri juga dapat masuk melalui
ulkus kulit, abses, gangren, luka bakar, infeksi gigi, tindik telinga, injeksi atau
setelah pembedahan abdominal/pelvis, persalinan dan aborsi. Jika organisme ini
berada pada lingkungan anaerob yang sesuai untuk pertumbuhan sporanya, akan
berkembang biak dan menghasilkan toksin tetanospasmin dan tetanolysin.
Tetanospasmin adalah neurotoksin poten yang bertanggungjawab terhadap
manifestasi klinis tetanus, sedangkan tetanolysin sedikit memiliki efek klinis.1
Terdapat dua mekanisme yang dapat menerangkan penyebaran toksin ke
susunan saraf pusat: (1) Toksin diabsorpsi di neuromuscular junction, kemudian
bermigrasi melalui jaringan perineural ke susunan saraf pusat, (2) Toksin melalui
pembuluh limfe dan darah ke susunan saraf pusat. Masih belum jelas mana yang
lebih penting, mungkin keduanya terlibat. Pada mekanisme pertama, toksin yang
berikatan pada neuromuscular junction lebih memilih menyebar melalui saraf
motorik, selanjutnya secara transinaptik ke saraf motorik dan otonom yang
8

berdekatan, kemudian ditransport secara retrograd menuju sistem saraf pusat. 1


Tetanospasmin

yang

merupakan

zincdependent

endopeptidase

memecah

vesicleassociated membrane protein II (VAMP II atau synaptobrevin) pada suatu


ikatan peptida tunggal. Molekul ini penting untuk pelepasan neurotransmiter di
sinaps, sehingga pemecahan ini mengganggu transmisi sinaps. Toksin awalnya
mempengaruhi jalur inhibisi, mencegah pelepasan glisin dan -amino butyric acid
(GABA). Pada saat interneuron menghambat motor neuron alpha juga terkena
pengaruhnya, terjadi kegagalan menghambat refl eks motorik sehingga muncul
aktivitas saraf motorik tak terkendali, mengakibatkan peningkatan tonus dan
rigiditas otot berupa spasme otot yang tiba-tiba dan potensial merusak. 1
Hal ini merupakan karakteristik tetanus. Otot wajah terkena paling awal
karena jalur axonalnya pendek, sedangkan neuron-neuron simpatis terkena paling
akhir, mungkin akibat aksi toksin di batang otak. Pada tetanus berat, gagalnya
penghambatan aktivitas otonom menyebabkan hilangnya kontrol otonom,
aktivitas simpatis yang berlebihan dan peningkatan kadar katekolamin. Ikatan
neuronal toksin sifatnya irreversibel, pemulihan membutuhkan tumbuhnya
terminal saraf yang baru, sehingga memanjangkan durasi penyakit ini.1

II.5 Gambaran Klinis


Masa inkubasi berkisar antara 3 hari-4 minggu, kadang lebih lama, ratarata 8 hari. Berat penyakit berhubungan erat dengan masa inkubasi: makin pendek
masa inkubasi makin buruk prognosisnya. 2
Bentuk tetanus yang dikenal secara klinis, yaitu:

1.lokal tetanus4

Pada lokal tetanus dijumpai adanya kontraksi otot yang persisten, pada
daerah tempat dimana luka terjadi (agonis, antagonis, dan fixator). Hal inilah
merupakan tanda dari tetanu slokal.
Kontraksi otot tersebut biasanya ringan, bisa bertahan dalam beberapa
bulan tanpa progressif dan biasanya menghilang secara bertahap.
Lokal tetanus ini bisa berlanjut menjadi generalized tetanus, tetapi dalam
bentuk

yang

ringan

dan

jarang

menimbulkan

kematian.

Bisa juga lokal tetanus ini dijumpai sebagai prodromal dari klasik tetanus atau dij
umpai secara terpisah. Hal ini terutama dijumpai sesudah pemberian profilaksis
antitoksin.
2. tipe sefalik 4,2
Kadang pada trauma kepala, timbul tetanus lokal tipe sefalik. Dalam hal
ini terjadi fenomena motorik sesuai dengan serabut saraf kepala yang terkena (N
III, IV, V, VI, VII, IX, X, dan XII). Penting diperhatikan bahwa kaku otot disekitar
luka mungkin merupakan gejala tetanus.

3. tetanus umum (generalized tetanus) 4,2


Bentuk ini yang paling banyak dikenal. Gejala pertama yang terlihat dan
dirasakan pasien adalah kaku otot masseter yang mengakibatkan gangguan
membuka mulut (trismus). Selanjutnya timbul opistotonus yang disebabkan oleh
kaku kuduk, kaku leher, dan kaku punggung. Selain dinding perut yang menjadi
keras seperti papan, tampak risus sardonikus karena kaku otot wajah dan keadaan
kekakuan ekstremitas, penderita sangat terganggu oleh gangguan menelan.

10

Keluhan konstipasi, nyeri kepala, berdebar, dan berkeringat sering


dijumpai. Pada umumnya, ditemukan demam serta peningkatan frekuensi
nafas.kejang otot yang merupakan kekakuan karena hipertonus dan tidak bersifat
klonus dapat timbul hanya karena rangsangan yang lemah, seperti bunyi-bunyian
dan cahaya.
Dapat timbul gangguan pernafasan

yang mengakibatkan anoksia dan

kematian. Penyebab kematian merupakan kombinasi berbagai keadaan, seperti


kelelahan otot napas, infeksi sekunder di paru yang menyebabkan kegagalan
pernafasan, serta gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit.

II.6 Klasifikasi derajat tetanus


Terdapat beberapa sistem penilaian tetanus. Skala yang diusulkan Ablett
adalah yang paling banyak digunakan.
Tabel 1 Severitas Tetanus Berdasarkan Klasifi kasi Ablett 5
Grade 1 (ringan) Trismus ringan, spastisitas menyeluruh, tidak ada yang
membahayakan respirasi, tidak ada spasme, tidak ada disfagia
Grade 2 (sedang) Trismus sedang, rigiditas, spasme singkat, disfagia ringan,
keterlibatan respirasi sedang, frekuensi pernapasan >30
Grade 3 (berat) Trismus berat, rigiditas menyeluruh, spasme memanjang,
disfagia berat, serangan apneu, denyut nadi >120, frekuensi pernapasan >40
Grade 4 (sangat berat) Grade 3 dengan ketidakstabilan otonom berat

II.7 Diagnosis

11

Diagnosis tetanus adalah murni diagnosis klinis berdasarkan riwayat


penyakit dan temuan saat pemeriksaan. Pada pemeriksaan fisik dapat dilakukan
uji spatula, dilakukan dengan menyentuh dinding posterior faring menggunakan
alat dengan ujung yang lembut dan steril. Hasil tes positif jika terjadi kontraksi
rahang involunter (menggigit spatula) dan hasil negatif berupa refleks muntah.
Laporan singkat The American Journal of Tropical Medicine and Hygiene
menyatakan bahwa uji spatula memiliki spesifisitas tinggi (tidak ada hasil positif
palsu) dan sensitivitas tinggi (94% pasien terinfeksi menunjukkan hasil positif ).
Pemeriksaan darah dan cairan cerebrospinal biasanya normal. Kultur C. tetani dari
luka sangat sulit (hanya 30% positif ), dan hasil kultur positif mendukung
diagnosis, bukan konfi rmasi. Beberapa keadaan yang dapat disingkirkan dengan
pemeriksaan cermat adalah meningitis, perdarahan subarachnoid, infeksi orofacial
serta arthralgia temporomandibular yang menyebabkan trismus, keracunan
strychnine, tetani hipokalsemia, histeri, encefalitis, terapi phenotiazine, serum
sickness, epilepsi dan rabies. 5

II.8 diagnosis banding 6


1. Meningitis: Pada meningitis dapat ditemukan dysphagia dan kaku pada
leher. Jugaditemukan demam dan cairan cerebrospinal yang tidak normal,
ditambahdengan tidak adanya trismus merupakan perbedaannya dengan
tetanus.
2. Rabies: Pada rabies ditemukan kejang pada oropharing. Khas dari rabies
adalahhidrofobik yang dialami pasien. Pada rabies tidak ditemukan
trismus danterdapat riwayat gigitan binatang.
3. Epilepsi: Epilepsis dapat menyebabkan kejang. Namun tidak ditemukan
kekakuanotot di antara kejang. Bisanya sudah ada riwayat serangan
epilepsisebelumnya.

12

4. ensefalitis:

anamnesis

didapatkan

trias

ensefalitis

(demamtinggi,

penurunan kesadaran, dankejang tanpa peningkatan tekanan intra kranial).


pemeriksaan fisik(penurunankesadaran, febris, disfasia, ataksia, kejang,
hemiparesis, kelainan saraf otak).

II.9 pengobatan 5
Ada tiga sasaran penatalaksanaan tetanus, yakni:
(1) membuang sumber tetanospasmin
(2) menetralisasi toksin yang tidak terikat
(3) perawatan penunjang (suportif ) sampai tetanospasmin yang berikatan
dengan jaringan telah habis dimetabolisme.

1. Membuang Sumber Tetanospasmin:


Luka harus dibersihkan secara menyeluruh dan didebridement untuk
mengurangi muatan bakteri dan mencegah pelepasan toksin lebih lanjut.
Antibiotika diberikan untuk mengeradikasi bakteri, sedangkan efek untuk tujuan
pencegahan tetanus secara klinis adalah minimal. Pada penelitian di Indonesia,
metronidazole telah menjadi terapi pilihan di beberapa pelayanan kesehatan.
Metronidazole diberikan secara iv dengan dosis inisial 15 mg/kgBB dilanjutkan
dosis 30 mg/kgBB/hari setiap 6 jam selama 7-10 hari. Metronidazole efektif
mengurangi jumlah kuman C. tetani bentuk vegetatif. Sebagai lini kedua dapat
diberikan penicillin procain 50.000-100.000 U/kgBB/hari selama 7-10 hari, jika
hipersensitif terhadap penicillin dapat diberi tetracycline 50 mg/kgBB/hari (untuk
anak berumur lebih dari 8 tahun). Penicillin membunuh bentuk vegetatif C. tetani.
Sampai saat ini, pemberian penicillin G 100.000 U/kgBB/hari iv, setiap 6 jam
13

selama 10 hari direkomendasikan pada semua kasus tetanus. Sebuah penelitian


menyatakan bahwa penicillin mungkin berperan sebagai agonis terhadap
tetanospasmin dengan menghambat pelepasan asam aminobutirat gama (GABA).
2. Netralisasi toksin yang tidak terikat
Antitoksin harus diberikan untuk menetralkan toksin-toksin yang belum
berikatan. Setelah evaluasi awal, human tetanus immunoglobulin (HTIG) segera
diinjeksikan intramuskuler dengan dosis total 3.000- 10.000 unit, dibagi tiga dosis
yang sama dan diinjeksikan di tiga tempat berbeda. Tidak ada konsensus dosis
tepat HTIG. Rekomendasi British National Formulary adalah 5.000- 10.000 unit
intravena. Untuk bayi, dosisnya adalah 500 IU intramuskular dosis tunggal.
Sebagian dosis diberikan secara infi ltrasi di tempat sekitar luka; hanya
dibutuhkan sekali pengobatan karena waktu paruhnya 25-30 hari. Makin cepat
pengobatan diberikan, makin efektif. Kontraindikasi HTIG adalah riwayat
hipersensitivitas terhadap imunoglobulin atau komponen human immunoglobulin
sebelumnya; trombositopenia berat atau keadaan koagulasi lain yang dapat
merupakan kontraindikasi pemberian intra muskular. Bila tidak tersedia maka
digunakan ATS dengan dosis 100.000- 200.000 unit diberikan 50.000 unit
intramuskular dan 50.000 unit intravena pada hari pertama, kemudian 60.000 unit
dan 40.000 unit intramuskuler masing-masing pada hari kedua dan ketiga.Setelah
penderita sembuh, sebelum keluar rumah sakit harus diberi immunisasi aktif
dengan toksoid, karena seseorang yang sudah sembuh dari tetanus tidak memiliki
kekebalan
3. Pengobatan suportif
Penatalaksanaan lebih lanjut terdiri dari terapi suportif sampai efek toksin
yang telah terikat habis. Semua pasien yang dicurigai tetanus sebaiknya ditangani
di ICU agar bisa diobservasi secara kontinu. Untuk meminimalkan risiko spasme
paroksismal yang dipresipitasi stimulus ekstrinsik, pasien sebaiknya dirawat di
ruangan gelap dan tenang. Pasien diposisikan agar mencegah pneumonia aspirasi.
14

Cairan intravena harus diberikan, pemeriksaan elektrolit serta analisis gas darah
penting sebagai penuntun terapi. Penanganan jalan napas merupakan prioritas.
Spasme otot, spasme laring, aspirasi, atau dosis besar sedatif semuanya dapat
mengganggu respirasi. Sekresi bronkus yang berlebihan memerlukan tindakan
suctioning yang sering. Trakeostomi ditujukan untuk menjaga jalan nafas terutama
jika ada opistotonus dan keterlibatan otot-otot punggung, dada, atau distres
pernapasan. Kematian akibat spasme laring mendadak, paralisis diafragma, dan
kontraksi otot respirasi tidak adekuat sering terjadi jika tidak tersedia akses
ventilator. Spasme otot dan rigiditas diatasi secara efektif dengan sedasi. Pasien
tersedasi

lebih

sedikit

dipengaruhi

oleh

stimulus

perifer

dan

kecil

kemungkinannya mengalami spasme otot.


Diazepam efektif mengatasi spasme dan hipertonisitas tanpa menekan
pusat kortikal. Dosis diazepam yang direkomendasikan adalah 0,1-0,3 mg/kgBB/
kali dengan interval 2-4 jam sesuai gejala klinis, dosis yang direkomendasikan
untuk usia diturunkan bertahap 5-10 mg/hari dan dapat diberikan melalui pipa
orogastrik. Dosis maksimal adalah 40 mg/kgBB/hari. Tanda klinis membaik bila
tidak dijumpai spasme spontan, badan masih kaku, kesadaran membaik (tidak
koma), tidak dijumpai gangguan pernapasan. Tambahan efek sedasi bisa didapat
dari

barbiturate

khususnya

phenobarbital

dan

phenotiazine

seperti

chlorpromazine, penggunaannya dapat menguntungkan pasien dengan gangguan


otonom. Phenobarbital diberikan dengan dosis 120-200 mg intravena, dan
diazepam dapat ditambahkan terpisah dengan dosis sampai 120 mg/hari.
Chlorpromazine diberikan setiap 4-8 jam dengan dosis dari 4-12 mg bagi bayi
sampai 50-150 mg bagi dewasa. Morphine bisa memiliki efek sama dan biasanya
digunakan sebagai tambahan sedasi benzodiazepine. Jika spasme tidak cukup
terkontrol de ngan benzodiazepine, dapat dipilih pelumpuh otot nondepolarisasi
dengan intermittent positive-pressure ventilation (IPPV).
Tidak ada data perbandingan obat-obat pelumpuh otot pada tetanus,
rekomendasi didapatkan dari laporan kasus. Pancuronium harus dihindari karena

15

efek samping simpatomimetik. Atracurium dapat sebagai pilihan. Vecuronium


juga telah digunakan karena stabil pada jantung. Pasien tetanus berat sering kali
membutuhkan IPPV selama 2 hingga 3 minggu sampai spasme mereda. Insiden
ventilator-associated pneumonia pada pasien-pasien tetanus sebesar 52,6%.
Infeksi nosokomial umum terjadi karena lamanya perjalanan penyakit tetanus dan
masih merupakan penyebab penting kematian.
Pencegahan komplikasi respirasi meliputi perawatan mulut sangat teliti, fi
sioterapi dada dan suction trakea. Sedasi adekuat selama prosedur invasif
mencegah provokasi spasme atau ketidakstabilan otonom. Instabilitas otonom
terjadi beberapa hari setelah onset spasme umum dan fatality ratenya 11-28%.
Manifestasi berupa hipertensi labil, takikardia, dan demam. Berbagai gangguan
kardiovaskular seperti disritmia dan infark miokard serta kolaps sirkulasi sering
menyebabkan kematian. Tanda overaktivitas simpatis yaitu takikardia fl uktuatif,
hipertensi yang kadang diikuti hipotensi, pucat dan berkeringat sering tampak
beberapa hari setelah onset spasme otot. Henti jantung tiba-tiba umum terjadi dan
dikatakan dapat dipresipitasi oleh kombinasi kadar katekolamin yang tinggi dan
kerja langsung toksin tetanus pada miokardium. Aktivitas simpatis yang
memanjang dapat berakhir dengan hipotensi dan bradikardi. Aktivitas
parasimpatis berlebihan dapat menyebabkan sinus arrest, dikatakan karena
kerusakan langsung nukleus vagus oleh toksin tetanus. Instabilitas otonom sulit
diobati. Fluktuasi tekanan darah membutuhkan obat-obat dengan waktu paruh
singkat.
Terapi konvensional terdiri dari sedasi dalam sebagai terapi lini pertama,
menggunakan benzodiazepine dosis besar, morphine, dan/atau chlorpromazine.
Saat ini, magnesium sulfat intravena dicoba untuk mengendalikan spasme dan
disfungsi otonom; dosis loading 5 g (atau 75 mg/ kg) IV dilanjutkan 1 sampai 3
g/jam sampai spasme terkontrol telah digunakan untuk mendapatkan konsentrasi
serum 2 sampai 4 mmol/L. Untuk menghindari overdosis, dimonitor refl ek
patella. Beta blocker dapat menyebabkan hipotensi berat. Episode hipotensi yang

16

tidak membaik dengan penambahan volume intravaskular membutuhkan


inotropik. Atropin dosis tinggi, lebih dari 100 mg/jam, telah dianjurkan pada
keadaan bradikardia. Tidak ada regimen terapi yang dipercaya efektif secara
universal untuk instabilitas otonom.
Tetanus terbukti secara klinis dan biokimia menyebabkan aktivitas
simpatis berlebihan dan katabolisme protein sehingga pemeliharaan nutrisi sangat
diperlukan. Nutrisi buruk dan penurunan berat badan terjadi cepat karena disfagia,
gangguan fungsi gastrointestinal dan peningkatan metabolisme, menurunkan daya
tahan tubuh sehingga memperburuk prognosis. Nutrisi parenteral total
mengandung glukosa hipertonis dan insulin dalam jumlah cukup untuk
mengendalikan kadar gula darah, dapat menekan katabolisme protein. Formula
asam amino sangat membantu membatasi katabolisme protein.
Pada hari pertama perlu pemberian cairan secara intravena sekaligus
pemberian obat-obatan, dan bila sampai hari ke-3 infus belum dapat dilepas
sebaiknya dipertimbangkan pemberian nutrisi secara parenteral. Setelah spasme
mereda dapat dipasang sonde lambung untuk makanan dan obat-obatan dengan
perhatian khusus pada risiko aspirasi. Emboli paru juga merupakan salah satu
penyebab kematian, sehingga banyak digunakan antikoagulan secara rutin seperti
heparin subkutan; risiko thromboemboli dan perdarahan harus dipertimbangkan.
Gerakan pasif harus terus diberikan jika digunakan pelumpuh otot.

II.10 pencegahan 2
Ada 2 pencegahan tetanus, yaitu perawatan luka yang adekuat dan
imunisasi aktif serta pasif.
Imunisasi aktif didapat dari penyuntikan toksoid tetanus untuk merangsang
tubuh membentuk antibodi. Imunisasi pasif diperoleh dari pemberian serum yang
mengandung antitoksin heterolog (ATS) atau antitoksin homolog (imunoglobulin
17

antitetanus). Berdasarkan riwayat imunitas dan jenis luka, baru ditentukan


pemberian antitetanus serum atau toksoid.
II.11 Prognosis 2

terdapat sistem skoring untuk menilai prognosis tetanus seperti Phillips


score. Berdasarkan perolehan angka, derajat keparahan penyakit dapat dibagi
menjadi tetanus ringan (angka <9), tetanus sedang (angka 9-16), dan tetanus berat
(angka >16).

Tabel 2 phillips score 2

Faktor

skor

Masa Inkubasi:
-

<48 jam

2-5 hari

6-10 hari

11-14 hari

- >14 hari
Lokasi infeksi:

Internal/umbilikal

Leher,kepala, dinding tubuh

Ekstremitas proksimal

Ekstremitas distal

- Tidak diketahui
Imunisasi:

Tidak ada

10

Mungkin ada/ibu mendapat

>10 tahun yang lalu

<10 tahun

- Proteksi lengkap
Faktor yang memberatkan:

-penyakit/trauma yang membahayakan jiwa

10

-keadaan yg tidak langsung membahayakan

18

jiwa
-keadaan yang tidak membahayakan jiwa

-Trauma atau penyakit ringan

-ASA 1

II. 12 Komplikasi 7
Komplikasi tetanus pada beberapa sistem tubuh ialah sebagai berikut: 7
-Pada saluran pernapasan
oleh karena spasme otot pernapasan dan spasme otot laring dan seringnya
kejang menyebabkan terjadinya asfiksia. Karena akumulasi sekresi saliva serta
sukar menelan air liur dan makanan dan minuman sehingga sering terjadi pneumo
nia aspirasi.
atelektasis akibat obstruksi oleh secret. Pneumothoraks

dan mediastinal

emfisema biasanya terjadi akibat dilakukannya trakeostomi.


-Pada kardiovaskular
Komplikasi berupa aktifitas simpatis meningkat antara lain berupa takikar
dia,hipertensi, vasokonstriksi perifer dan rangsangan miokardium.
-Pada tulang dan otot
Pada otot karena spasme yang berkepanjangan bisa terjadi perdarahan
dalam otot.Pada tulang dapat terjadi fraktur columna vertebralis akibat kejang
yang terusmenerus terutama pada anak dan orang dewasa, beberapa peneliti
melaporkan juga dapat miositis ossifikans sirkumskripta.
Komplikasi yang lain:
19

1.laserasi lidah akibat kejang


2.dekubitus karena penderita berbaring satu posisi saja.
3.Panas yang tinggi karena infeksi sekunder atau toksin yang menyebar luas
danmengganggu pusat pengatur suhu.
Penyebab kematian pada tetanus ialah akibat komplikasi yaitu bronkopneu
monia,cardiac arrest, septicemia dan pneumothoraks.

20

DAFTAR PUSTAKA

1. Thwaites CL, Yen LM. Tetanus. In: Fink MP, Abraham E, Vincent JL,
Kochanek PM, editors. Textbook of Critical Care. 5th ed. Philadelphia:
Elsevier Saunders; 2005.p.1401-4
2. Sjamsuhidajat-de Jong. Buku ajar ilmu bedah. Edisi 3. Jakarta EGC; 2010.
3. Bickley S. Lynn. Buku saku pemeriksaan fisik dan riwayat kesehatan
bates. Edisi 5. Jakarta:EGC; 2008. Hal 15
4. Adams. R.D. Tetanus: Principles of New'ology. New York: McGraw-Hill;
2007. H.1205-1207.
5. Laksmi Ni. Komang Saraswita. 2014. Penatalaksanaan Tetanus. CDK-222/
vol. 41 no. 11.
6. Ritarwan K. Tetanus [jurnal]. Bagian Neurologi FK USU/ RSU H. Adam
Malik.Diunduhdari:http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3456/1
/penysaraf-kiking2.pdf. 29 November 2010.
7. Cook, T. M., Protheroe, R.T., & Handel, J.M. (2001). Tetanus: a review of
the literature. British Journal of Anaesthesia, 87 (3), 477-487.

21

You might also like