You are on page 1of 15

REFERAT

OZAENA

Disusun oleh :
Sicilia R. N. K. Eha 11.2013.188
Yossie Firmansyah 11.2013.155
Mardha Dhian H
11.2014.015

Kepaniteraan Klinik
Bagian Ilmu THT
Fakultas Kedokteran UKRIDA
RSUD Tarakan Jakarta
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Rinitis atrofi adalah penyakit infeksi hidung kronik, yang ditandai adanya atrofi
progresif pada mukosa dan tulang konka dan pembentukan krusta. Disebut juga rhinitis
chronica atrophicanscum foetida, sebab ada rhinitis chronica atrophican non foetida. Secara
klinis, mukosa hidung menghasilkan sekret yang kental dan cepat mengering, sehingga
terbentuk krusta yang berbau busuk.
Etiologi dan patogenesis rinitis atrofi sampai sekarang belum dapat diterangkan
dengan memuaskan. Oleh karena etiologinya belum pasti, maka pengobatannya belum ada
1

yang baku. Pengobatan ditujukan untuk menghilangkan faktor penyebab dan untuk
menghilangkan gejala.Pengobatan dapat diberikan secara konservatif atau jika tidak
menolong, dilakukan operasi. Menurut pengalaman, untuk kepentingan klinis perlu
ditetapkan derajat ozaena sebelum diobati, yaitu ringan, sedang atau berat, oleh karena ini
sangat menentukan terapi dan prognosisnya.Biasanya diagnosis ozaena secara klinis tidak
sulit. Biasanya discharge berbau, bilateral, terdapat crustae kuning kehijau-hijauan. Keluhan
subjektif yang sering ditemukan pada pasien biasanya napas berbau (sementara pasien sendiri
menderita anosmia).1,2,3
Tujuan
Memberikan pembahasan tentang Rhinitis Atrofi atau Ozaena meliputi penyebab, diagnosa,
terapi, dan pencegahan. Sehingga dapat dlakukan tindakan pertolongan yang tepat untuk
mencegah timbulnya komplikasi yang tidak diinginkan.
Maksud
Tujuan dari penulisan laporan kasus ini adalah untuk memenuhi tugas kepaniteraan klinik
bagian ilmu telinga, hidung, tenggorokan (THT) FK UKRIDA di RSUD Tarakan.

TINJAUAN PUSTAKA
Anatomi hidung
Hidung luar berbentuk pyramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah, yang
terdiri dari pangkal hidung (bridge), dorsum nasi, puncak hidung, ala nasi, kolumela dan
lubang hidung (nares anterior)
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit,
jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan
lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari 1) tulang hidung (os nasalis), 2) prosesus
frontalis os maksila dan 3) prosesus nasalis os frontal. Sedangkan kerangka tulang rawan
terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu 1)
sepasang kartilago nasalis lateralis superior, 2) sepasang kartilago nasalis lateralis inferior
(kartilago alar mayor), 3) beberapa pasang kartilago ala minor dan 4) tepi anterior kartilago
septum.
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang,
dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Pintu
2

atau lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang belakang
disebut nares posterior (koana) yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring.
Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat di belakang nares
anterior, disebut vestibulum. Vestibulum ini dilapisi kulit yang mempunyai banyak kelenjar
sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut vibrise.
Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding medial, lateral, inferior
dan superior.
Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang dan tulang
rawan. Bagian tulang adalah lamina perpendikularis os etmoid, vomer, krista nasalis os
maksila dan krista nasalis os palatine. Bagian tulang rawan adalah kartilago septum (lamina
kuadrangularis) dan kolumela.
Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan periosteum pada
bagian tulang, sedangkan diluarnya dilapisi pula oleh mukosa hidung. Bagian depan dinding
lateral hidung licin, yang disebut ager nasi dan dibelakangnya terdapat konka-konka yang
mengisi sebagian besar dinding lateral hidung.
Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan letaknya paling bawah
ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil adalah konka media, lebih kecil lagi ialah
konka superior, sedangkan yang terkecil disebut konka suprema. Konka suprema disebut juga
rudimenter.
Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan labirin
etmoid, sedangkan konka media, superior dan suprema merupakan bagian dari labirin etmoid.
Di antara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang
disebut meatus. Tergantung dari letak meatus, ada tiga meatus yaitu meatus inferior, medius
dan superior. Meatus inferior terletak di antara konka inferior dengan dasar hidung dan
dinding lateral rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat muara dinding (ostium) duktus
nasolakrimalis. Meatus medius terletak di antara konka media dan dinding lateral rongga
hidung. Pada meatus medius terdapat bula etmoid, prosesus unsinatus, hiatus semilunaris dan
infundibulum etmoid. Hiatus semilunaris merupakan suatu celah sempit melengkung dimana
terdapat muara sinus frontal, sinus maksila dan sinus etmoid anterior. Pada meatus superior
yang merupakan ruang di antara konka superior dan konka media terdapat muara sinus
etmoid posterior dan sinus sphenoid.
Batas rongga hidung. Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk
oleh os maksila dan os palatum. Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan
dibentuk oleh lamina kribiformis, yang memisahkan rongga tengkorak dari rongga hidung.
Lamina kribiformis merupakan lempeng tulang berasal dari os etmoid, tulan ini berlubang-

lubang (kribosa=saringan) tempat masuknya serabut-serabut saraf olfaktorius. Di bagian


posterior, atap rongga hidung dibentuk oleh os sphenoid.
Pendarahan hidung. Bagian atas rongga hidung mendapat pendarahan dari a. etmoid
anterior dan posterior yang merupakan cabang dari a. oftalmika, sedangkan a. ofttalmika
berasal dari a. karotis interna.
Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang a. maksilaris interna
di antaranya ialah ujung a. palatine mayor dan a. sfenopalatina yang keluar dari foramen
sfenopalatina bersama n. sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di belakang ujung
posterior konka media.
Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari cabang-cabang a. fasialis.
Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang a. sfenopalatina,
a. etmoid anterior, a. labialis superior dan . a. palatina mayor, yang disebut pleksus
Kiesselbach. Pleksus Kiesselbach letaknya superficial dan mudah cidera oleh trauma,
sehingga sering menjadi sumber epitaksis terutama pada anak.
Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan
arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke v. oftalmika yang
berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-vena di hidung tidak memiliki katup, sehingga
merupakan faktor predisposisi untuk mudahnya penyebaran infeksi sampai ke intrakranial.
Persarafan hidung. Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan
sensoris dari n. etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari n. nasosiliaris, yang berasal
dari n. oftalmikus (N. V-1).
Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat persarafan sensoris dari n. maksila
melalui ganglion sfenopalatina.Ganglion sfenopalatina, selain memberikan persarafan
sensoris, juga memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung.
Ganglion ini menerima serabut-serabut sensoris dari n. maksila (N V-2), serabut parasimpatis
dari n. petrosus suprfisialis mayor dan serabut-serabut simpatis dari n. petrosus profundus.
Ganglion sfenopalatina terletak di belakang dan sedikit di atas ujung posterior konka media.
Fungsi penghidu berasal dari nervus olfaktorius. Saraf ini turun melalui lamina
kribosa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel resptor
penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung.
Mukosa hidung. Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologik dan
fungsional dibagi atas mukosa pernapasan (mukosa respiratori) dan mukosa penghidu
(mukosa olfaktorius).
Mukosa pernapasan terdapat pada sebagian besar rongga hidung dan permukaannya
dilapisi oleh epitel torak berlapis semu yang mempunyai silia (pseudo stratified columnar
epithelium) dan diantaranya terdapat sel-sel goblet.

Mukosa penghidu terdapat pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga atas
septum. Mukosa dilapisi oleh epitel torak berlapis semu tidak bersilia (pseudostratified
collumner non ciliated epithelium). Epitelnya dibentuk oleh tiga macam sel,, yaitu sel
penunjang, sel basal dan sel reseptor penghidu. Daerah mukosa penghidu berwarna coklat
kekuningan.
Pada bagian yang lebih terkena aliran udara mukosanya lebih tebal dan kadangkadang terjadi metaplasia, menjadi sel epitel skuamosa.
Dalam keadaan normal mukosa respiratori berwarna merah mudah dan selalu basah
karena diliputi oleh palut lendir (mucous blanket) pada permukaannya. Palut lendir ini
dihasilkan oleh kelenjar mukosa dan sel-sel goblet.
Pembuluh darah pada mukosa hidung mempunyai susunan yang khas. Arteriol
terletak pada bagian yang lebih dalam dari tunika propia dan tersusun secara paralel dan
longitudinal. Arteriol ini memberikan pendarahan pada anyaman kapiler periglanduler dan
subepitel. Pembuluh eferen dari anyaman kapiler ini membuka ke rongga sinusoid vena yang
besar yang dindingnya dilapisi oleh jaringan elastik dan otot polos. Pada bagian ujungnya
sinusoid ini mempunyai sfingter otot. Selanjutnya sinusoid akan mengalirkan darahnya ke
pleksus vena yang lebih dalam lalu ke venula. Dengan susunan demikian mukosa hidung
menyerupai suatu jaringan kavernosus yang erektil, yang mudah mengembang dan
mengerut. Vasodilatasi dan vasokonstriksi pembuluh darah ini dipengaruhi oleh saraf otonom.
Sistem transport mukosilier. Sistem transport mukosilier merupakan pertahanan
aktif rongga hidung terhadap virus, bakteri, jamur atau partikel berbahaya lain yang terhirup
bersama udara. Efektivitas sistem transport mukosilier dipengaruhi oleh kualitas silia dan
palut lendir. Palut lendir ini dihasilkan oleh sel-sel goblet pada epitel dan kelenjar seruminosa
submukosa.
Silia yang terdapat pada permukaan epitel mempunyai fungsi yang penting. Dengan
gerakan silia yang teratur, palut lendir di dalam kavum nasi akan didorong ke arah
nasofaring. Dengan demikian mukosa mempunyai daya untuk membersihkan dirinya sendiri
dan juga untuk mengeluarkan benda asing yang masuk ke dalam rongga hidung.
Gangguan pada fungsi silia akan menyebabkan banyak sekret terkumpul dan
menimbulkan keluhan hidung tersumbat. Gangguan gerakan silia dapat disebabkan oleh
pengeringan udara yang berlebihan, radang, sekret kental dan obat-obatan.
Fisiologi hidung
Berdasarkan teori struktural, teori fungsional, fungsi fisiologis hidung dan sinus
paranasal adalah 1) fungsi respirasi untuk mengatur kondisi udara (air conditionin);
penyaring udara, humidifikasi, penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan mekanisme
imunologik local; 2) fungsi penghidu karena terdapatnya mukosa olfaktorius dan reservoir
5

udara untuk menampung stimulus penghidu; 3) fungsi fonetik yang berguna untuk resonansi
suara, membantu proses bicara dan mencegah hantaran suara sendiri melalui konduksi tulang;
4) fungsi static dan mekanik untuk meringankan beban kepala, proteksi terhadal trauma dan
pelindung panas; 5) refleks nasal. 9

OZAENA (RHINITIS ATROFI)


Definisi
Rinitis atrofi merupakan infeksi hidung kronik, yang ditandai oleh adanya atrofi
progresif pada mukosa dan tulang konka.4 Disebut juga rhinitis chronica atrophicanscum
foetida, sebab ada rhinitis chronica atrophican non foetida. Karakteristiknya ialah adanya
atropi mukosa dan jaringan pengikat submukosa struktur fossa nasalis, disertai adanya crustae
yang berbau khas. 1,2 Secara klinis mukosa hidung menghasilkan sekret yang kental dan cepat
mengering sehingga terbentuk krusta yang berbau busuk. 4
Pada pemeriksaan histopatologi tampak metaplasia epitel torak bersilia menjadi epitel
kubik atau epitel gepeng berlapis, silia menghilang, lapisan submukosa menjadi lebih tipis,
kelenjar-kelenjar berdegenerasi atau atrofi.
Klasifikasi
Rinitis atrofi berdasarkan gejala klinis diklasifikasikan oleh dr. Spencer Watson (1875)
sebagai berikut:8
1. Rinitis atrofi ringan, ditandai dengan pembentukan krusta yang tebal dan mudah
ditangani dengan irigasi.
2. Rinitis atrofi sedang, ditandai dengan anosmia dan rongga hidung yang berbau.
3. Rinitis atrofi berat, misalnya rinitis atrofi yang disebabkan oleh sifilis, ditandai oleh
rongga hidung yang sangat berbau disertai destruksi tulang.
Berdasarkan penyebabnya rinitis atrofi dibedakan atas:8
1. Rinitis atrofi primer, merupakan bentuk klasik rinitis atrofi yang didiagnosis
pereksklusionam setelah riwayat bedah sinus, trauma hidung, atau radiasi
disingkirkan. Penyebab primernya merupakan Klebsiella ozenae.
2. Rinitis atrofi sekunder, merupakan bentuk yang palng sering ditemukan di negara
berkembang. Penyebab terbanyak adalah bedah sinus, selanjutnya radiasi, trauma,
serta penyakit granuloma dan infeksi.
Etiologi
6

Penyebab rinitis atrofi (Ozaena) belum diketahui sampai sekarang. Terdapat berbagai
teori mengenai penyebab rinitis atrofik dan penyakit degeneratif sejenis. Beberapa penulis
menekankan faktor herediter.5,6 Namun ada beberapa keadaan yang dianggap berhubungan
dengan terjadinya rinitis atrofi (Ozaena), yaitu : 1,3,5

Infeksi setempat/ kronik spesifik. Paling banyak disebabkan oleh Klebsiella


Ozaena. Kuman ini menghentikan aktifitas sillia normal pada mukosa hidung
manusia. Selain golongan Klebsiella, kuman spesifik penyebab lainnya antara lain
Stafilokokus, Streptokokus, Pseudomonas aeuruginosa, Kokobasilus, Bacillus

mucosus, Diphteroid bacilli, Cocobacillus foetidus ozaena.


Defisiensi. Defisiensi Fe dan vitamin A.
Infeksi sekunder. Sinusitis kronis.
Kelainan hormon. Ketidakseimbangan hormon estrogen.
Penyakit kolagen. Penyakit kolagen yang termasuk penyakit autoimun.
Teori mekanik dari Zaufal.
Ketidakseimbangan otonom. Terjadi perubahan neurovaskular seperti deteriorisasi

pembuluh darah akibat gangguan sistem saraf otonom.


Variasi dari Reflex Sympathetic Dystrophy Syndrome (RSDS).
Herediter.
Supurasi di hidung dan sinus paranasal.
Golongan darah.
Selain faktor-faktor di atas, rinitis atrofi juga bisa digolongkan atas: rinitis atrofi

primer yang penyebabnya tidak diketahui dan rinitis atrofi sekunder, akibat trauma hidung
(operasi besar pada hidung atau radioterapi) dan infeksi hidung kronik yang disebabkan oleh
sifilis, lepra,midline granuloma, rinoskleroma dan tbc. Radiasi pada hidung umumnya segera
merusak pembuluh darah dan kelenjar penghasil mukus dan hampir selalu menyebabkan
rinitis atrofik. Berbagai infeksi seperti eksantema akut, scarlet fever, difteri dan infeksi
kronik telah diimplikasikan sebagai penyebab cedera pembuluh darah submukosa. Penyebab
dari lingkungan juga telah diajukan karena angka insiden yang lebih tinggi pada masyarakat
sosio ekonomi rendah.1, 4, 5
Epidemiologi
Beberapa kepustakaan menuliskan bahwa rinitis atrofi lebih sering mengenai
wanita, terutama pada usia pubertas. Baser dkk mendapatkan 10 wanita dan 5 pria, dan Jiang
dkk mendapatkan 15 wanita dan 12 pria. Samiadi mendapatkan 4 penderita wanita dan 3
pria.Menurut Boies frekwensi penderita rhinitis atrofi wanita : laki adalah 3 : 1. Tetapi dari
segi umur, beberapa penulis mendapatkan hasil yang berbeda. Baser dkk mendapatkan umur
antara 26-50 tahun, Jiang dkk berkisar 13-68 tahun, Samiadi mendapatkan umur antara 15-49
7

tahun.Penyakit ini sering ditemukan di kalangan masyarakat dengan tingkat sosial ekonomi
rendah dan lingkungan yang buruk dan di negara sedang berkembang. Di RS H. Adam Malik
dari Januari 1999 sampai Desember 2000 ditemukan 6 penderita rinitis atrofi, 4 wanita dan 2
pria, umur berkisar dari 10-37 tahun.1,2
Ozaena lebih umum di negara-negara sekitar Laut Tengah daripada di Amerika
Serikat. Menurunnya insidens campak, scarlet fever, dan difteria di Eropa Selatan sejak
perang dunia ke II tampaknya timbul bersaman dengan suatu penurunan tajam dalam insidens
ozaena.5
Patologi dan Patogenesis
Beberapa penulis menyatakan adanya metaplasi epitel kolumnar bersilia menjadi
epitel skuamous atau atrofik, dan fibrosis dari tunika propria. Terdapat pengurangan kelenjar
alveolar baik dalam jumlah dan ukuran dan adanya endarteritis dan periarteritis pada arteriole
terminal.Oleh karena itu secara patologi, rinitis atrofi bisa dibagi menjadi dua :
a. Tipe I : adanya endarteritis dan periarteritis pada arteriole terminal akibat infeksi
kronik; membaik dengan efek vasodilator dari terapi estrogen.
b. Tipe II : terdapat vasodilatasi kapiler, yang bertambah jelek dengan terapi estrogen.1
Sebagian besar kasus merupakan tipe I. Endarteritis di arteriole akan menyebabkan
berkurangnya aliran darah ke mukosa. Juga akan ditemui infiltrasi sel bulat di
submukosa. Taylor dan Young mendapatkan sel endotel bereaksi positif dengan fosfatase
alkali yang menunjukkan adanya absorbsi tulang yang aktif. Atrofi epitel bersilia dan kelenjar
seromusinus menyebabkan pembentukan krusta tebal yang melekat.Atrofi konka
menyebabkan saluran nafas jadi lapang. Ini juga dihubungkan dengan teori proses autoimun;
Dobbie mendeteksi adanya antibodi yang berlawanan dengan surfaktan protein A. Defisiensi
surfaktan merupakan penyebab utama menurunnya resistensi hidung terhadap infeksi. Fungsi
surfaktan yang abnormal menyebabkan pengurangan efisiensi mucus clearance dan
mempunyai pengaruh kurang baik terhadap frekuensi gerakan silia. Ini akan menyebabkan
bertumpuknya lendir dan juga diperberat dengan keringnya mukosa hidung dan hilangnya
silia. Mukus akan mengering bersamaan dengan terkelupasnya sel epitel, membentuk krusta
yang merupakan medium yang sangat baik untuk pertumbuhan kuman.1 Perubahan
histopatologi dalam hidung pada rinitis atrofi (Ozaena), yaitu :

Mukosa hidung. Berubah menjadi lebih tipis.


Silia hidung. Silia akan menghilang.
Epitel hidung. Terjadi perubahan metaplasia dari epitel torak bersilia menjadi epitel
kubik atau epitel gepeng berlapis.

Kelenjar hidung. Mengalami degenerasi, atrofi (bentuknya mengecil), atau jumlahnya


berkurang. 6

Gejala dan tanda klinis


Keluhan penderita rinitis atrofi (ozaena) biasanya berupa hidung tersumbat, gangguan
penciuman (anosmi), ingus kental berwarna hijau, adanya krusta (kerak) berwarna hijau, sakit
kepala, epistaksis dan hidung terasa kering. Keluhan subjektif lain yang sering ditemukan
pada pasien biasanya napas berbau (sementara pasien sendiri menderita anosmia) jadi
penderita sendiri (-), orang lain (+) penciumannya. Pasien mengeluh kehilangan indra
pengecap dan tidak bisa tidur nyenyak ataupun tidak tahan udara dingin. Meskipun jalan
napas jelas menjadi semakin lebar, pasien merasakan sumbatan yang makin progresif saat
bernapas lewat hidung, terutama karena katup udara yang mengatur perubahan tekanan
hidung dan menghantarkan impuls sensorik dari mukosa hidung ke sistem saraf pusat telah
bergerak semakin jauh dari gambaran.1 - 5
Pemeriksaan THT pada kasus rinitis atrofi (ozaena) dapat ditemukan rongga hidung
dipenuhi krusta hijau, kadang-kadang kuning atau hitam; jika krusta diangkat, terlihat rongga
hidung sangat lapang, atrofi konka (konka nasi media dan konka nasi inferior mengalami
hipotrofi atau atrofi), sekret purulen dan berwarna hijau, mukosa hidung tipis dan
kering.1,3 Bisa juga ditemui ulat/ telur larva (karena bau busuk yang timbul). Sutomo dan
Samsudin membagi ozaena secara klinik dalam tiga tingkat :
1. Tingkat I : Atrofi mukosa hidung, mukosa tampak kemerahan dan berlendir, krusta
sedikit.
2. Tingkat II : Atrofi mukosa hidung makin jelas, mukosa makin kering, warna makin
pudar, krusta banyak, keluhan anosmia belum jelas.
3. Tingkat III : Atrofi berat mukosa dan tulang sehingga konka tampak sebagai garis,
rongga hidung tampak lebar sekali, dapat ditemukan krusta di nasofaring, terdapat
anosmia yang jelas. 1
Perubahan kontinu pada kompleks penyakit degeneratif kronik ini mempunyai awitan
yang timbul perlahan berupa atrofi hidung dini. Biasanya pertama mengenai mukosa hidung
tampak beberapa daerah metaplasia yang kering dan tipis dimana epitel pernapasan telah
kehilangan silia, dan terbentuk krusta kecil serta sekret yang kental. Dapat terjadi ulserasi
ringan dan pendarahan.5
Atrofi sedang tidak hanya mempengaruhi daerah mukosa hidung yang lebih besar
namun terutama melibatkan suplai darah epitel hidung, secara perlahan memperbesar rongga
hidung ke segala jurusan dengan semakin tipisnya epitel. Kelenjar mukosa atrofi dan

menghilang, sementara fibrosis jaringan subepitel perlahan-lahan menyeluruh. Jaringan


disekitar mukosa hidung juga ikut terlibat, termasuk kartilago, otot, dan kerangka tulang
hidung. Akhirnya kekeringan, pembentukan krusta dan iritasi mukosa hidung dapat meluas ke
epitel nasofaring, hipofaring dan laring. Keadaan ini dapat mempengaruhi patensi tuba
Eustachius, berakibat efusi telinga tengah kronik dan dapat menimbulkan perubahan yang
tidak diharapkan pada apartus lakrimalis termasuk keratitis sicca. 3,6
Pemeriksaan penunjang pada kasus rinitis atrofi (ozaena) yang dapat dilakukan antara lain :

Transiluminasi.
Foto Rontgen. Foto sinus paranasalis.
Pemeriksaan mikroorganisme.
Uji resistensi kuman.
Pemeriksaan darah tepi.
Pemeriksaan Fe serum.
Pemeriksaan histopatologi. Dari pemeriksaan histopatologi terlihat mukosa hidung
menjadi tipis, silia hilang, metaplasia torak bersilia menjadi epitel kubik atau gepeng
berlapis, kelenjar berdegenerasi atau atrofi, jumlahnya berkurang dan bentuknya

mengecil.
Pemeriksaan serologi darah. 3, 6

Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
Anamnesis
Keluhan utama yang bisa muncul pada pasien ini adalah hidung tersumbat, napas berbau,
gangguan penghidu, dan sakit kepala.
PEMERIKSAAN FISIS
Pada pemeriksaan rhinoskopi anterior ditemukan
- penimbunan secret dan krusta yang berwarna hijau yang memenuhi rongga nasi
- konka antrofi dan berwarna pucat
- rongga hidung sangat lapang
- nasofaring dapat terlihat dengan mudah
Pemeriksaan Histopatologi
Terjadi atrofi mukosa dan submukosa dengan penebalan, fibrosis dan obliterasi pembuluh
darah serta destruksi kelenjar. Pada stadium awal perubahan yang terjadi menyerupai sebuah
proses inflamasi kronik. Pada stadium lanjut terjadi deskuamasi dan kehilngan sel epitel
kolumner dan silia dan diganti dengan epitel skuamosa bertingkat tidak bersilia. Pembuluh
darah menjadi fibrosis dan akhirnya terjadi enasrteritis obliterans. Tulang tulang di bawah
permukaan menjadi atrofi atau mengalami degenerasi. Dengan terjadinya atrofi kelenjar
mukosa, sekresi berubah menjadi berkrusta dan mukopurulen. Perbedaan ozaena dan rhinitis
10

atrofi sekunder adalah akibat infeksi kronik dengan inflamasi limfosit dan bukan merupakan
penyakit pembuluh darah atau suatu proses fibrosis sementara pada ozaena terjadi fibrosis
tanpa infiltrasi limfosit, yang menunjukkan suatu proses primer.
Pemeriksaan Radiologi
Pada foto polos didapatkan pembengkokan lateral dinding nasi, kehilangan atau penipisan
konka nasi atau hipoplasi sinus maksilaris.
Pada CT scan didapatkan :
- penebalan mukoperisteal sinus paranasalis
- kehilngana definisi kompleks osteomeatal sekunder terhadap resoprsi bulla ethmoid
- Hipoplasi sinus maksilaris
- Pembesaran rongga nasi dengan erosi dan pembengkokan dinding lateral nasi
- Resoprsi tulang dan atrofi mukosa konka nasi medial dan inferior
Pemeriksaan penunjang yang lain adalah pemeriksaan mikrobiologi, tes mantoux, tes serologi
(VDRL dan wasserman) dan pemeriksaan Fe serum.1
Diagnosis Banding
Diagnosis banding rinitis atrofi sebagai berikut : 2
1. Rinitis atrofi: sekret bilateral dan berbau dengan krusta berwarna kuning kehijauan,
penderita tidak membau, sedangkan orang lain membau. Lebih banyak menyerang
wanita daripada pria, terutama sekitar usia pubertas.
2. Sinusitis: sekret melimpah dapat bilateral atau unilateral, penderita dan orang lain
disekitarnya membau. Dapat terjadi baik pada anak-anak maupun orang dewasa.
Terkadang ditemukan hiposmia karena adanya obstruksi.
3. Nasofaringitis kronis: sekret post nasal bilateral, penderita membau, sedangkan orang
lain tidak membau. Tidak ada perbedaan frekuensi antara pria dan wanita.

Komplikasi
Komplikasi rinitis atrofi (ozaena) dapat berupa :
1. Perforasi septum
2. Faringitis
3. Sinusitis
4. Miasis hidung
5. Hidung pelana 1
Penatalaksanaan
Hingga kini pengobatan medis terbaik rinitis atrofik hanya bersifat paliatif. Termasuk
dengan irigasi dan membersihkan krusta yang terbentuk, terapi sistemik dan lokal dengan
endokrin; steroid; dan antibiotik; vasodilator; pemakaian iritan jaringan lokal ringan seperti
alkohol; dan salep pelumas. Penekanan terapi utama adalah pembedahan, yaitu usaha-usaha
11

langsung mengecilkan rongga hidung, dan dengan demikian juga memperbaiki suplai darah
mukosa hidung.5Tujuan pengobatan adalah menghilangkan faktor etiologi/ penyebab dan
menghilangkan gejala. Pengobatan dapat diberikan secara konservatif atau kalau tidak
menolong dilakukan operasi.1,6
Konservatif
Pengobatan konservatif ozaena meliputi pemberian antibiotik, obat cuci hidung, dan
simptomatik.
1) Antibiotik spektrum luas sesuai uji resistensi kuman, dengan dosis adekuat sampai tandatanda infeksi hilang. Qizilbash dan Darf melaporkan hasil yang baik pada pengobatan
dengan Rifampicin oral 600 mg 1 x sehari selama 12 minggu.
2) Obat cuci hidung, untuk membersihkan rongga hidung dari krusta dan sekret dan
menghilangkan bau. Antara lain :
a. Betadin solution dalam 100 ml air hangat atau
b. Campuran :

NaCl
NH4Cl
NaHCO3
Aqua ad 300 cc 1 sendok makan dicampur 9 sendok makan air hangat

c. Larutan garam dapur


d. Campuran :

Na bikarbonat 28,4 g
Na diborat 28,4 g
NaCl 56,7 g dicampur 280 ml air hangat
Larutan dihirup ke dalam rongga hidung dan dikeluarkan lagi dengan
menghembuskan kuat-kuat, air yang masuk ke nasofaring dikeluarkan melalui mulut,
dilakukan dua kali sehari. Pemberian obat simptomatik pada rinitis atrofi (Ozaena) biasanya
dengan pemberian preparat Fe.
3) Obat tetes hidung , setelah krusta diangkat, diberi antara lain : glukosa 25% dalam gliserin
untuk membasahi mukosa, oestradiol dalam minyak Arachis 10.000 U / ml, kemisetin anti
ozaena solution dan streptomisin 1 g + NaCl 30 ml. diberikan tiga kali sehari masingmasing tiga tetes.
4) Vitamin A 3 x 10.000 U selama 2 minggu.
5) Preparat Fe.
6) Selain itu bila ada sinusitis, diobati sampai tuntas. Sinha, Sardana dan Rjvanski
melaporkan ekstrak plasenta manusia secara sistemik memberikan 80% perbaikan dalam
2 tahun dan injeksi ekstrak plasenta submukosa intranasal memberikan 93,3% perbaikan
pada periode waktu yang sama. Ini membantu regenerasi epitel dan jaringan
12

kelenjar. Samiadi dalam laporannya memberikan : trisulfa 3 x 2 tablet sehari selama 2


minggu, natrium bikarbonat, cuci hidung dengan Na Cl fisiologis 3 x sehari, kontrol darah
dan urine seminggu sekali untuk melihat efek samping obat, pembersihan hidung di klinik
tiap 2 minggu sekali, cuci hidung diteruskan sampai 2-3 bulan kemudian dan didapatkan
hasil yang memuaskan pada 6 dari 7 penderita. 1,6

Operasi
Tujuan operasi pada rhinitis atrofi (ozaena) antara lain untuk : menyempitkan rongga
hidung yang lapang, mengurangi pengeringan dan pembentukan krusta dan mengistirahatkan
mukosa sehingga memungkinkan terjadinya regenerasi.1
Teknik bedah dibedakan menjadi dua kategori utama :
1. Implan dengan pendekatan intra atau ekstra nasal dan
2. Operasi, seperti penyempitan lobulus hidung atau fraktur tulang hidung ke arah
dalam. 5
Beberapa teknik operasi yang dilakukan antara lain :
1) Young's operation
Penutupan total rongga hidung dengan flap. Sinha melaporkan hasil yang baik dengan
penutupan lubang hidung sebagian atau seluruhnya dengan menjahit salah satu hidung
bergantian masing-masing selama periode tiga tahun.
2) Modified Young's operation
Penutupan lubang hidung dengan meninggalkan 3 mm yang terbuka.
3) Lautenschlager operation
Dengan memobilisasi dinding medial antrum dan bagian dari etmoid, kemudian
dipindahkan ke lubang hidung.
4) Implantasi submukosa dengan tulang rawan, tulang, dermofit, bahan sintetis seperti Teflon,
campuran Triosite dan Fibrin Glue.
5) Transplantasi duktus parotis ke dalam sinus maksila (Wittmack's operation) dengan tujuan
membasahi mukosa hidung. Mewengkang N melaporkan operasi penutupan koana
menggunakan flap faring pada penderita ozaena anak berhasil dengan memuaskan. 1
Bila pengobatan konsevatif adekuat yang cukup lama tidak menunjukkan perbaikan,
pasien dirujuk untuk dilakukan operasi penutupan lubang hidung. Prinsipnya
mengistirahatkan mukosa hidung pada nares anterior atau koana sehingga menjadi normal
kembali selama 2 tahun. Atau dapat dilakukan implantasi untuk menyempitkan rongga
hidung. 3

13

Pencegahan
Pencegahan terhadap kemungkinan terjadinya ozaena yaitu dengan :
-

Menjaga kebersihan
Mempertinggi daya tahan tubuh agar tidak mudah terkena infeksi
Mencegah terjadinya infeksi kronis7

Prognosis
Untuk ozaena, prognosis tergantung dari derajat ozaena sebelum diobati.
-

Ozaena ringan, dengan terapi konservatif atau kombinasi konservatif dan operatif,

prognosis baik, dapat sembuh 100%.


Ozaena sedang, dengan terapi kombinasi konservatif dan operatif sekitar 75% - 83%

berhasil baik, dapat residif.


Ozaena berat, dengan terapi konservatif maupun operatif tidak berhasil, atau hasilnya
0%. Oleh sebab itu dianjurkan untuk tidak melakukan operasi pada ozaena berat.7

Kesimpulan
Rinitis atrofi adalah penyakit infeksi hidung kronik, yang ditandai adanya atrofi progresif
mukosa dan tulang konka disertai pembentukan krusta.
Etiologi dan patogenesis rinitis atrofi sampai sekarang belum dapat diterangkan dengan
memuaskan. Oleh karena etiologinya belum pasti, maka pengobatannya belum ada yang
baku. Pengobatan ditujukan untuk menghilangkan faktor penyebab dan untuk menghilangkan
gejala. Pengobatan dapat diberikan secara konservatif atau operatif.

DAFTAR PUSTAKA
1. Asnir, A. R. 2004. Rinitis Atrofi. Available from :http://www.kalbe.co.id. Accessed :
2015, Maret 21. Sumber :Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004.

14

2. Soedarjatni. 1977. Foetor Ex Nasi. Available


from :http://www.kalbe.co.id. Accessed : 2015, Maret 21. Sumber :Cermin Dunia
Kedokteran No. 9.
3. Arif, M., et al. 2006. Rinitis Atrofi (Ozaena). Available
from :http://www.geocities.com. Accessed : 2015, Maret 21. Sumber : Buku Kapita
Selekta Kedokteran. Ed. III, cet. 2. Jakarta : Media Aesculapius.
4. Endang, M. & Nusjirwan, R. 2006. Rinorea, Infeksi Hidung dan Sinus dalam Buku
Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher. Ed. ke-6. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: 2007. h. 140.
5. Adams, L. G. et al. Boies Buku Ajar Penyakit THT. Ed. ke-6. Penerbit Buku
Kedokteran EGC. Jakarta. h. 221-2.
6. Al-Fatih, M. Rinitis Atrofi (Ozaena). Available from
:http://hennykartika.wordpress.com. Accessed : 2015, Maret 21. Sumber : Buku
Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher. Ed. ke-6. .
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta : 2007.
7. Soedarjatni. Foetor ex nasi. Maj Cermin Dunia Kedokt. 1977;21-24.
8. Cowan, Alan MD. Atrophic Rhinitis. Grand Round Presentation, UTMB, Dept.of
Otolaryngology 2005
9. Soetjipto D, Mangunkusumo E, Wardani RS. Hidung. Dalam: Soepardi EA, Iskandar

N, Bashiruddin J, Restuti RD (editor); Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung


tenggorok kepala & leher. Ed 6. Jakarta: FKUI, 2007; h. 118-22.

15

You might also like