You are on page 1of 16

Manajemen Anestesi pada Pasien Kardiomiopati Peripartum

Kardiomiopati peripartum (Peripartum cardiomyopathy, PPCM) merupakan suatu penyakit yang


sering mengenai pasien pada usia kehamilan lanjut atau baru saja bersalin. Penyakit unik ini
tidak hanya membahayakan kehidupan ibu dan bayi, tetapi juga membawa beban finansial
terhadap sistem kesehatan karena dapat menyebabkan gangguan fungsi jantung yang persisten
pada ibu. Gejala khas pada penyakit ini adalah penurunan fraksi ejeksi jantung, baik pada usia
kehamilan yang lanjut maupun pada masa puerperium dini. Dalam beberapa dekade terakhir,
penyakit ini telah diamati dan diteliti guna menyusun suatu pedoman diagnosis dan pendekatan
terapi. Banyak teori yang telah disusun mengenai patofisiologi penyakit ini. Gejala klinis serta
penatalaksanaan dasar dan intensif PPCM kurang lebih sama dengan kardiomiopati dilatasi yang
disebabkan oleh kasus lain, walaupun keadaan kehamilan atau laktasi ibu dan efek lanjutan dari
medikasi terhadap fetus dan neonatus harus tetap dipertimbangkan. Selain perawatan yang
intensif, pasien PPCM juga membutuhkan intervensi anestesi untuk mengatasi nyeri baik pada
persalinan per vaginam maupun operatif. Keadaan maternal dan fetus yang baik membutuhkan
keadaan hemodinamik yang stabil sehigga diperlukan pemilihan teknik anestesi dan obat-obatan
yang sesuai pada pasien PPCM. Penelitian terhadap literatur mengenai manajemen anestesi pada
pasien PPCM yang menjalani operasi menunjukkan bahwa anestesi general dan regional yang
sering digunakan menunjukkan hasil yang sebanding.
Pendahuluan
Kardiomiopati peripartum (Peripartum cardiomyopathy, PPCM) pertama kali dilaporkan
pada tahun 1849. Hingga pertengahan abad 20, penyakit ini dikenal sebagai kardiomiopati post
partum karena kebanyakan kasus dilaporkan onset gejalanya muncul pada periode post partum.
Demakis et al mungkin merupakan orang pertama yang menyadari bahwa penyakit ini tidak
sekadar terjadi pada masa postpartum, tetapi juga pada masa peripartum. Oleh karena itu
penggunaan terminologi kardiomiopati peripartum saat ini lebih diterima. Kasus PPCM pertama
kali dipublikasikan pada tahun 1971 oleh Demakis et al. Mereka memaparkan data 27 pasien
dengan usia kehamilan lanjut atau pada masa puerperium dini yang mengalami gangguan
jantung. Mereka kemudian menyusun suatu kriteria diagnosis PPCM, yang meliputi gagal

jantung yang berkembang pada akhir kehamilan atau dalam 5 bulan setelah persalinan, tanpa
adanya etiologi jelas dan tanpa adanya penyakit jantung sebelum periode akhir kehamilan.
Selama bertahun-tahun, kriteria diagnosis tersebut tidak mengalami perubahan, tetapi kemudian
ditambahkan satu kriteria yaitu pemeriksaan ekokardiografi sebagai parameter tambahan. Karena
penelitian yang terus menerus dilakukan, maka saat ini semakin banyak yang diketahui mengenai
PPCM, meliputi patofisiologi, epidemiologi, diagnosis, dan hasil akhir penyakit. Pada saat yang
sama juga disadari bahwa pasien PPCM membutuhkan manajemen anestesi yang berbeda
mengingat status kehamilannya. Pembahasan ini akan memaparkan pandangan yang
komprehensif mengenai PPCM dan modalitas pengobatan yang dapat digunakan pada saat ini.
Definisi dan Kriteria Diagnosis
Menurut Heart Failure Association of the European Society of Cardiology Working
Group, PPCM adalah kardiomiopati idiopatik dengan gejala berupa gagal jantung sekunder
dan disfungsi sistolik ventrikel kiri yang terjadi pada akhir masa kehamilan atau beberapa
bulan setelah persalinan, di mana tidak ditemukan penyebab lain terjadinya gagal jantung.
Penyakit ini merupakan suatu diagnosis eksklusi. Ventrikel kiri bisa saja tidak mengalami
dilatasi namun fraksi ejeksi biasanya berkurang, di bawah 45%.
Dulu, pada tahun 1997, the National Heart, Lung, and Blood Institutes

of Health

mengadakan Workshop on Peripartum Cardiomyopathy untuk menyusun suatu kriteria diagnosis


PPCM berdasarkan yang telah disusun oleh Demakis et al (Tabel 1). Definisi dan kriteria
diagnosis inilah yang digunakan hingga saat ini, tetapi definisi menurut The European Society
disusun menjadi lebih sederhana guna mencegah terjadinya underdiagnosis penyakit ini.
Tabel 1: Kriteria Diagnosis Kardiomiopati Peripartum

Gagal jantung yang berkembang pada akhir kehamilan atau dalam 5 bulan

postpartum
Tidak adanya kasus lain yang teridentifikasi sebagai penyebab terjadinya gagal

jantung
Tidak ditemukannya riwayat gangguan jantung sebelum masa akhir kehamilan
Disfungsi sistolik ventrikel kiri yang ditunjukkan oleh fraksi ejeksi ventrikel kiri
kurang dari 45%, pemendekan fraksi yang kurang dari 30%, atau keduanya,
disertai atau tanpa disertai dimensi end-diastolic ventrikel kiri kurang dari 2,7
cm/m2 per luas permukaan tubuh (BSA).

*Sesuai Workshop oleh NHLBI and NIH Office of Rare Diseases


Epidemiologi
Insidens yang sebenarnya dari kasus PPCM belum dievaluasi secara jelas di India. Pandit
et al melaporkan adanya 1 kasus PPCM dari 1374 kelahiran hidup dari rumah sakit tersier di
India Selatan. Hasan et al melaporkan 1 kasus dari 837 kelahiran di Pakistan, sedangkan Chee et
al melaporkan insidens PPCM sebanyak

34 per 100.000

kelahiran hidup di rumah sakit

Malaysia. Insidens penyakit ini di seluruh penjuru dunia berbeda-beda, di Amerika Serikat
dilaporkan 1 kasus dari 2000-4000 kelahiran hidup, di Afrika Selatan sebanya 1 kasus dari 1000
kelahirana hidup, dan insidens tertinggi di Haiti yaitu 1 dari 300 kelahiran hidup. Banyak faktor
risiko yang mempengaruhi terjadinya kasus ini meliputi usia ibu yang tua, multiparitas, ras AfroAmerika, kehamilan gemelli, pre-eklamsia, hipertensi gestasional dan diabetes. Penggunaan
tokolitik, garam natrium tinggi, defisiensi mikronutrisien tertentu, dan merokok selama
kehamilan juga berperan dalan terjadinya penyakit PPCM ini.
Patofisiologi
Telah banyak teori yang menjelaskan mengenai pathogenesis PPCM meskipun tidak ada
faktor tunggal yang berpengaruh langsung dalam kasus ini. Penyakit ini sekarang diketahui
memiliki pathogenesis multifaktrial.
Berdasarkan penelitian-penelitian yang telah dilakukan, miokarditis diketahui memiliki
keterkaitan dengan terjadinya PPCM meskipun ada rentang insidens (8.8 78%) antara
penelitian yang satu dengan yang lain. Bultmann et al melakukan biopsi endomiokardial pada 26
orang penderita PPCM dan mengalisis spesimen untuk mendeteksi adanya genom virus melalui
reaksi rantai polymerase. Spesimen dari 8 pasien (31%) menunjukkan adanya genom beberapa
jenis virus (parvovirus B19, human herpes virus 6, virus Epstein-Barr, dan human
cytomegalovirus). Peneliti menyimpulkan bahwa perubahan sistem imunitas yang terjadi pada
masa kehamilan memungkinkan infeksi dan eksaserbasi de novo ataupun terjadinya reaktivasi
virus sehingga wanita hamil tersebut kemudian mengalami miokarditis yang berkembang
menjadi kardiomiopati. Aktivitas respon imun juga diketahui menjadi faktor kausatif yang
mendorong terjadinya penyakit ini. Serum pasien PPCM memiliki titer autoantiboodi yang tinggi
dan mengganggu protein jaringan kardiak yang sehat, di mana autoantibodi ini tidak ditemukan
pada serum pasien kardiomiopati idiopatik. Antibodi tersebut mengganggu sel-sel pada fetus

(yang juga dapat keluar menuju sirkulasi maternal) dan protein-ptotein lain seperti aktin dan
myosin. Antibodi ini dihasilkan oleh uterus selama persalinan dan telah dibuktikan pada pasien
PPCM. Autoantibodi ini bereaksi silang dengan protein miokardium ibu dan menimbulkan
PPCM. Dari pemeriksaan darah tepi pasien PPCM, didapatkan profil sitokin abnormal, kadar sel
T yang menurun,

dan penurunan signifikan dari progesterone, estradiol, dan relaxin bila

dibandingkan dengan pasien hamil yang tidak mengalami PPCM. Hipotesis lain memaparkan
bahwa PPCM mungkin saja merupakan respon kardiak yang abnormal terhadap perubahan
hemodinamik akibat kehamilan. Penurunan fungsi sistolik ventrikel kiri pada pasien dengan
kehamilan yang normal diketahui bersifat reversibel pada trimester dua dan tiga. Penurunan
fungsi ventrikel kiri yang berkaitan dengan menikatnya cardiac output dan menurunnya
resistensi vaskular sistemik yang terjadi pada akhir masa kehamilan dapa menjelaskan mengenai
gejala-gejala yang timbul pada PPCM. Namun, bukti-bukti ilmiah untuk membuktikan hipotesis
ini masih sangat kurang. Mekanisme lain yang mungkin berperan dalam terjadinya PPCM yaitu
akselerasi kematian miosit (apopotosis), peningkatan sitokin proinflamasi, produksi prolaktin
yang berlebihan, dan mikroangiopati koroner. Beberapa penelitian melaporkan adanya
keterkaitan familial penyakit ini, namun dibutuhkan evaluasi lebih mendalam mengenai
kemungkinan faktor genetic sebagai penyebab penyakit ini.
Manifestasi Klinis dan Diagnosis
Manifestasi klinis PPCM tidak berbeda dengan yang tampak pada gagal jantung. Perempuan
dengan usia kehamilan trimester ketiga atau dalam masa puerperium datang yang dengan
keluhan palpitasi, fatigue, Sesak nafas, batuk dan sesak pada saat tidur malam hari (PND) atau
sesak pada saat baring (orthopnea), ini meningkatkan keraguan ke arah PPCM, terutama apabila
gejala tersebut jarang ada pada riwayat prenatal.

(10)

Gejala tambahan lain yang dapat ditemukan

adalah rasa tidak enak pada perut, rasa pusing, nyeri daerah prekordial dan hipotensi yang
dipengaruhi posisi. Sebagian besar pasien menunjukkan gejala pada saat masa postpartum. (20,21)
Pada penelitian prospektif yang dilakukan pada 56 orang pasien. Mishra et al, sebanyak 62,5%
pasien memperlihatkan gejala saat masa postpartum,

(20)

sama halnya pada penelitian yang

dilakukan pada 33 orang pasien di salah satu Rumah Sakit yang ada di Turki, pasien yang
memperlihatkan gejala saat masa postpartum sebanyak 72,7%.

(22)

Gejala klinik dari penyakit

PPCM adalah edema pedal, ronkhi paru, peningkatan tekanan vena jugularis, hepatomegali,
bising regurgitasi yang baru dan irama gallop tergantung dari beratnya penyakit yang diderita.

Diagnosis PPCM menjadi sulit apabila gejala-gejala tersebut (dalam bentuk ringan) ditemukan
pada ibu hamil yang sehat, terutama saat akhir kehamilan atau masa nifas awal. Diagnosis utama
ditegakkan dengan menyingkirkan penyebab lain. Apabila penyakit gagal jantung telah
ditegakkan pada wanita hamil, penting sekali untuk menyingkirkan penyebab-penyebab gagal
jantung lain, seperti penyakit jantung katup, penyakit jantung kongenital, penyakit jantung
hipertensi atau penyakit jantung iskemik, anemia berat dan tirotoksikosis. Gejala klinis yang
tampak pada sebagian besar pasien adalah sesak nafas pada saat aktifitas (NYHA III-IV) disertai
aritmia kompleks (23) atau dengan tanda dan gejala dari episode emboli paru (24) atau bahkan henti
jantung. Pemeriksaan darah secara rutin dibutuhkan untuk menyingkirkan adanya anemia,
gangguan elektrolit dan ginjal, gangguan hati atau kelainan pada tiroid. Foto X-Ray toraks dapat
memperlihatkan tanda-tanda gagal jantung seperti kardiomegali, kongesti paru, dan efusi pleura.
Kelainan pada pemeriksaan EKG serial bisa ada pada pasien PPCM. Penelitian yang dilakukan
di Afrika Selatan pada 97 pasien dengan diagnosis PPCM, sebanyak 96% tampak kelainan pada
gelombang ST-T dan 66% memberikan gambaran pembesaran jantung kiri (LVH).

(25)

Duran et

al. Pemeriksaan EKG pada pasien PPCM dengan Kompleks QRS lebih atau sama dengan 120 ms
dapat memperkirakan angka kematian, terdapat pengaruh yang kuat antara waktu kompleks QRS
dengan angka kematian pada pasien PPCM.

(22)

Ekokardiografi harus dilakukan pada setiap

pasien yang dicurigai menderita PPCM untuk penegakkan diagnosis. Penemuan khas yang
didapatkan adalah pelebaran ventrikel kiri, peningkatan diameter akhir diastolik ventrikel kiri
dan fraksi ejeksi sebesar 45%. Bekuan yang terlihat di ventrikel kiri dapat dibersihkan dengan
ekokardiografi. Diameter akhir diastolik ventrikel kiri lebih dari 55 mm atau fraksi ejeksi kurang
dari 27% yang ditemukan pada ekokardiografi menandakan prognosis yang jelek pada pasien. (22)
MRI jantung dapat memberikan ukuran dimensi jantung dan fungsi jantung yang lebih akurat
serta dapat digunakan sebagai penuntun ke lokasi biopsi apabila diperlukan biopsi jantung. (26)
PENATALAKSANAAN
Sasaran yang ingin dicapai pada penatalaksanaan medis pasien PPCM mencakup
tindakan peningkatan oksigenasi dan pemeliharaan cardiac output supaya dapat memperbaiki
keadaan ibu dan janin. Tindakan intervensi dibutuhkan untuk mengurangi beban preload dan
afterload supaya dapat memperbaiki kontraksi jantung.

Berat ringannya gejala dapat diatasi dengan istirahat, pembatasan konsumsi garam dan
terapi diuretik. Oksigen dapat diberikan melalui masker atau pemberian tekanan positif secara
kontinus, asalkan tidak mengganggu cardiac output. Pembatasan konsumsi garam dapat
mencegah terjadi retensi air lebih lanjut dan penggunaan diuretik dapat mengurangi kongesti
paru. Pengurangan cairan tidak diperlukan pada pasien gagal jantung ringan atau sedang.

(27)

Hydralazine dan nitrat dapat mengurangi beban afterload dan merupakan terapi utama gagal
jantung pada wanita hamil. Blok kanal kalsium (CCB), kecuali amlodipin mempunyai efek
inotropik negatif dan harus dihindari. Amlodipin dapat digunakan pada pasien PPCM dengan
preeklampsia untuk mengontrol tekanan darahnya. Penghambat ACE, kerja langsung atau blok
reseptor, sekalipun merupakan lini pertama penatalaksanaan pada pasien gagal jantung dengan
sebab apapun, merupakan kontraindikasi pada wanita hamil karena memberikan efek toksik pada
janin.

(28)

akan tetapi, obat-obat tersebut dapat digunakan pada semua pasien yang sudah

melahirkan dan aman pada janin yang menyusui. Obat penyekat beta (beta-blockers) seperti
metoprolol mengurangi denyut jantung, meningkatkan fungsi diastolik ventrikel kiri dan
melindungi terhadap aritmia, tetapi hanya boleh digunakan sebagai terapi lini kedua karena
pemakain jangka panjang pada masa perinatal dapat menyebabkan bayi berat lahir rendah
(BBLR). Akan tetapi dianggap aman digunakan pada saat menyusui. Digoxin digunakan sebagai
inotropik positif pada beberapa pasien. Meskipun obat ini tergolong aman digunakan pada wanita
hamil dan masa nifas, tetapi kadarnya dalam plasma dalam pemberian dosis terapi harus diawasi
dengan ketat. (29) pemberian antikoagulan dianjurkan pada pasien PPCM, terutama ketika fraksi
ejeksi kurang dari 35% yang disertai beberapa faktor resiko seperti pelebaran ventrikel yang
berat, fibrilasi atrium, dan terdapatnya trombus mural pada saat dilakukan ekokardiografi atau
riwayat episode tromboemboli sebelumnya. Faktor resiko tromboemboli vena adalah per se
meningkat pada wanita hamil, gagal jantung dan baring lama (apabila disarankan pada pasien
gagal jantung) dapat meningkatkan resiko terjadinya komplikasi ini.

(30)

Warfarin bersifat

teratogenik apabila diberikan pada awal masa kehamilan dan dapat menyebabkan sindrom
warfarin pada janin (fetal warfarin syndrome), apabila diberikan pada trimester 2 dan 3 dapat
menyebabkan perdarahan otak, microcephaly (kepala kecil), kebutaan, ketulian dan gangguan
pertumbuhan pada janin. Sedangkan, Unfractioned heparin memiliki bioavailabiliti yang rendah
pada wanita hamil dan dapat menyebabkan trombositopenia. Sehingga, lebih disukai penggunaan
low-molecular weight heparin pada wanita hamil karena tidak melewati plasenta, low-molecular

weight heparin memiliki efek yang lebih rendah untuk terjadi osteoporosis dan trombositopenia
serta bioavailabilitinya lebih bisa diperhitungkan.

(31)

Pada saat masa postpartum, apabila

dibutuhkan penggunaan tromboprofilaksis bisa dilanjutkan menggunakan warfarin karena


jumlahnya dalam ASI sangat rendah.
Apabila pasien berada dalam keadaan kegagalan yang bersifat akut, sangat penting untuk
melakukan langkah-langkah urgen agar didapatkan hasil yang memuaskan. Pasien sebaiknya
dirawat diruangan intensif dengan posisi kepala agak ditinggikan dan apabila diperlukan
pengawasan hemodinamik dan oksigenasi bisa menggunakan kanulasi vena dan arteri sentral.
Kateter arteri pulmonal mungkin juga dibutuhkan pada pasien yang membutuhkan infus berbagai
obat jantung dengan dosis tinggi. Ventilasi noninvasif dengan menggunakan tekanan akhir
ekspirasi positif dapat dimulai apabila saturasi oksigen dengan masker gagal mencapai kadar
lebih dari 95%. Pada kasus yang dibutuhkan penggunaan ventilasi secara invasif, tindakan
pencegahan awal terhadap aspirasi

pada wanita hamil sebaiknya dilakukan. Diuretik kuat

mungkin lebih dapat diterima pada pasien dengan kegagalan yang bersifat akut karena dianggap
berhasil. Nitrogliserin dapat diberikan secara intravena untuk mengurangi beban afterload
apabila tekanan darah sistolik lebih dari 110 mmHg. Nitroprusside, walaupun merupakan
kontraindikasi relatif pada wanita hamil dimana dapat terjadi akumulasi tiosianat dan sianida
pada janin. Nitrogliserin (NTG) sebaiknya dititrasi untuk mendapatkan efek yang baik, dimulai
dari dosis 10-20 mikrogram/menit ditingkatkan sampai maksimal 200 mikrogram/menit.
Dobutamin, dopamin dan milrinon dapat digunakan untuk memberikan efek inotropik pada
kegagalan jantung. Efek inotropiknya hampir sama pada nitrogliserin dan dapat digunakan pada
wanita hamil apabila kondisi memungkinkan untuk digunakan.

(32)

Levosimendan merupakan

agen kardiotropik yang baru dimana efeknya meningkatkan cardiac output melalui peningkatan
respon dari miofilamen terhadap kalsium intrasel, tidak seperti obat inotropik tradisional yang
telah disebutkan sebelumnya dimana mereka melakukan peningkatan kalsium intrasel sendiri.
Levosimendan telah terbukti efektif untuk meningkatkan cardiac output dan dapat mengurangi
angka kematian

(33,34)

pada pasien dengan kegagalan cardiac output yang berat; akan tetapi,

keamanannya dan keberhasilannya pada pasien PPCM belum dievaluasi melalui penelitian
secara acak walaupun telah dilaporkan dalam literatur bahwa obat ini berhasil digunakan pada
pasien PPCM.

(35,36)

Levosimendan digunakan secara intravena dengan dosis 0,1-0,2

mikrogram/kg/menit pada pasien gagal jantung dengan atau tanpa loading dose

3-12

mikrogram/kg/menit selama 10 menit.

(37)

wanita hamil dengan hemodinamik yang tidak stabil

dimana telah menggunakan berbagai obat sebaiknya dilakukan pengawasan intensif terhadap
janinya dan dilanjutkan evaluasi oleh ahli kandungan untuk mencegah kematian janin.
Penggunaan alat bantu mekanik dan lapisan oksigenator ekstrakorporeal harus digunakan
pada pasien dengan PPCM apabila penatalaksanaan medis gagal meningkatkan kondisi
jantungnya. Alat ini dapat digunakan sebagai terapi penghubung pada sebagian besar pasien
dimana diharapkan dalam satu tahun setelah persalinan, pasien dapat sembuh secara parsial atau
total. (38) Sebanyak 11% pasien PPCM nantinya akan membutuhkan transplantasi jantung. (6)

PENATALAKSANAAN ANESTESI
Pada tahun 1985 pertama kali dilaporkan wanita hamil dengan PPCM menjalani operasi
saecar dibawah pengaruh anestesi. (39) Literatur yang dilaporkan pada Pubmed menggunakan kata
kunci PPCM dan anaesthesia menghasilkan 41 artikel dalam bahasa inggris. Pencarian lebih
lanjut menggunakan mesin pencari Google menghasilkan lima artikel tambahan. Jadi total 46
artikel yang telah dianalisa, dimana terdapat enam artikel dan dua laporan kasus yang
menjelaskan penatalaksanaan pasien dengan riwayat keluarga menderita dilated cardiomyopathy
saat kehamilan. Lebih lanjut terdapat 38 buah laporan kasus yang didiagnosis saat postnatal dan
prenatal. Dari 38 laporan kasus ini, 22 laporan menjelaskan kasus pasien yang didiagnosis
sebagai PPCM setelah persalinan, baik itu secara operasi maupun pervaginam. Sisanya 16
laporan menjelaskan 17 kasus pasien yang didiagnosis PPCM sebelum persalinan dan menjalani
operasi saecar dibawah pengaruh anestesi. Pada kelompok pasien yang terakhir (17 kasus),
penatalaksanaan anestesi meliputi anestesi umum, anestesi regional, atau keduanya. Penjelasan
lebih lanjut (lihat tabel 2 dan gambar 1).
Pasien yang didiagnosis PPCM pada saat prenatal (sebelum persalinan) harus diberikan
pendekatan terapi oleh berbagai disiplin ilmu kedokteran seperti ahli kardiologi, ahli anestesi,
ahli rawat intensif dan ahli neonatologi yang secara aktif dilibatkan dalam penatalaksanaan
kandungannya tersebut. Persoalan apakah wanita hamil tersebut diperbolehkan mengandung
sampai kehamilannya cukup bulan dan cara persalinan yang dibutuhkan harus didiskusikan oleh
tim dokter dengan menggunakan pendekatan yang sesuai berdasarkan kondisi medis pasien pada
waktu tersebut. Secara umum, apabila keadaan ibu atau janin dalam keadaan stabil, tidak

diperlukan tindakan persalinan urgen atau darurat dan kehamilan dapat dilanjutkan sampai cukup
bulan. Pasien diperbolehkan melakukan persalinan pervaginam atau melalui operasi sesuai
parameter kandungannya atau berdasarkan keinginan pasien sendiri. Persalinan pervaginam
harus dilakukan dengan pengawasan hemodinamik yang kontinus dan bahkan dianjurkan
pengawasan secara invasif berdasarkan riwayat kesehatan pasien.

(6)

Rasa nyeri dan cemas pada

saat persalinan dapat meningkatkan aktifitas saraf simpatis sehingga dapat meningkatkan cardiac
output dan meningkatkan tahanan perifer pembuluh darah yang dapat meningkatkan beban
afterload jantung. Aktifitas saraf simpatis ini juga dapat mengurangi aliran uteroplasenter,
sehingga dapat membahayakan keadaan janin. Pemberian analgesik saat persalinan dapat
mengurangi aktifitas saraf simpatis dan mengurangi kadar katekolamin dalam plasma darah ibu.
(40)

berbagai modalitas dalam pemberian analgesik dapat diberikan pada pasien untuk mencegah

peningkatan beban afterload jantung pada nyeri saat persalinan, tetapi anestesi regional (RA)
tetap merupakan pilihan sebagai sympathectomy yang dapat mengurangi beban preload dan
afterload jantung dimana hal ini sangat bermanfaat pada pasien persalinan dengan PPCM.

(6,10,41)

Akan tetapi, penggunaan RA merupakan kontraindikasi pada pasien yang diberikan terapi
antikoagulan.
Kala II selama persalinan pervaginam harus dipersingkat dengan menggunakan alat
forceps atau vakum untuk mempercepat kelahiran bayi. Hal ini penting demi mencegah
kelebihan beban cairan selama proses persalinan dan keluarnya bayi.
Tabel 2: Penampakan Salient pada pemberian anestesi untuk seksio sesaria bagi pasien
dengan diagnosis kardiomiopati peripartum
Autor

No.

Jenis

kasu anestesi

Obat-obat yang

Penampakan

digunakan

Salient dan

s
Bhakta

hasilnya
1

CSE

dkk

Bupivakain, sufentanil

EF= 25%
kehamilan
kembar, IUD pada
satu fetus,
pemantauan yang
invasif, pulih

Shannon

Penyadaran

Lignokain untuk intubasi EF- tidak

-Cain

dengan

fiberoptik

dicantumkan,

dkk

intubasi

Propofol, sevofluran

pemantauan

fiberoptik,

untuk GA

invasif, TEE, BIS,

epidural

pulih

untuk nyeri
yang timbul
pasca
operasi
Bilehjani

GA

Etomidat, remifentanil

dkk

EF<10 invasif=""
pemantauan=""
pulih=""
span="">

Shrestha

EA

dkk

Lignokain dengan

EF= 18%,

adrenalin

pemantauan non
invasif, pulih

Pryn

CSE

dkk

1. IT-Bupivakain,

EF=20%,

epidural-

pemantauan

bupivakain+diamorfin+a

invasif, pulih

lfentanil

GA

2. Etomidat,

EF=20%

suksametonium, fentanil, pemantauan yang


morfin, atracurium

invasif setelah bayi


lahir, yang pada
akhirnya
menjalani
transplantasi
jantung

Zangrill
o dkk

GA

Fentanil (10 g/kg,

EF=20%,

vecuronium

kehamilan
kembar,

monitoring invasif
termasuk dengan
PAC, bayi
memerlukan
ventilasi mekanik
pasca operasi,
pulih
Velickov

CSA

Bupivakain, fentanil

ic dkk

EF=40%,
kehamilan
kembar,
pengawasan
invasif termasuk
PAC, pulih

Connelly 1

CSE

dkk

Analgesia melahirkan-

EF=20%,

IT-sufentanil+

monitoring invasif

bupivakain epidural

termasuk PAC,

bupivakain

pulih

Anestesi untuk LSCSepiduralfentanil+xylocaine


Pirle

CSE

dkk

IT-bupivakain +

EF= 13%,

diamorfin

pemantauan

Epidural-bupivakain

invasif termasuk
PAC, takikardia
yang signifikan
intraoperatif,
hipotensi, pasien
pulih

Velickov
ic dkk

CSA

Mengkombinasikan

Kehamilan

bipivakain

kembar,

isobarik+fentanil

pemantauan

invasif termasuk
PAC, pulih
CSE

IT-ropivokain

EF=35%,

isobarik+fentanil+morfi

pemantauan yang

invasif termasuk

Epidural-morfin untuk

PAC, pulih

nyeri pasca operasi


Kaufma

GA

n dkk

Sufentanil, thiopental,

EF=45%,

suksamethonium,

pemantauan

rocuronium

invasif termasuk
PAC (setelah
penjahitan/penutu
pan kulit), pasca
operasi
tromboembolisme
cerebral, meskipun
pada akhirnya
akan transplantasi
jantung

McCarr

GA

oll dkk

TCI dengan propofol,

EF=15%,

remifentanil, rocuronium pengawasan


invasif termasuk
PAC, curah
jantung yang
menyambung,
fungsi jantung
pulih sebagian

Shnaider 1

CSE

dkk

IT-bupivakain, fentanil

EF= 20%,

Epidural-bupivakain

pengawasan
invasif, pulih

George

CEA

Bupivakain, fentanil

EF=19%,

dkk

pemantauan
invasif termasuk
dengan PAC,,
pulih

Mellor
dkk

Anestesi

1% xylocain untuk

Masih bayi baru

infiltrasi

infiltrasi, blok nervus

lahir, preoperatif

ilioinguinal bilateral

tanpa aktivitas
fetus,
hemodinamik yang
memburuk setelah
proses melahirkan,
pasien meninggal
72 jam setelahnya.

CSE: Combined spinal epidural, GA: General anaesthesia, EA: Epidural


anaesthesia, CSA: Continous spinal anaesthesia, EF: Ejection fraction, PAC:
Pulmonary artery catheter, IT: Intra thecal, IUD: Intra uterine death, BIS: Bi
spectral index, LSCS: Lower segment caesarean section, CEA: Continous
epidural anaesthesia, TCI: Target controlled infusion

Seperti yang telah diuraikan, perbaikan hemodinamik pada anestesi biasa dilakukan pada
semua jenis anestesi. Hal ini bertujuan untuk mengurangi preload dan afterload jantung dan
demi mencegah seluruh penurunan akibat kontraktilitas jantung sesaat. Semua metode maupun
obat-obatan yang menyebabkan penurunan tiba-tiba pada tahanan sistem vaskular harus
dihindari. Serta titrasi obat anestesi yang diberikan secara intravena maupun lokal adalah hal
yang penting untuk dilakukan. Melalui apapun yang memungkinkan untuk dilakukan, penting
untung melakukan pemantauan invasif termasuk tekanan darah dan tekanan vena sentral sebelum
melakukan anestesi. Penggunaan kateter arteri pulmonal dan ekokardiografi transesofageal
sebagai perioperatif telah dijabarkan pada pasien dengan fungsi kardiak menurun yang berat [42,43]
[Tabel 2]. Secara umum, RA telah digunakan pada pasien seksio sesaria yang nonemergensi
dengan hemodinamik yang relatif stabil, selama pasien dengan gejala yang sedang atau pasien

yang sementara pembedahan emergensi yang telah diberikan anestesi umum (General
Anaesthesia,GA). Anestesi umum harus diberikan cepat demi menghindari terjadinya aspirasi
yang mungkin terjadi pada pasien dengan gagal jantung dan disaat yang bersamaan komplikasi
dari GA itu sendiri seperti intubasi yang gagal dapat dihindari dengan menggunakan continous
epidural anaesthesia (CEA) sebagai teknik anestetik. Anestesi infiltrasi pernah juga dipaparkan
pada pasien seksio sesaria meskipun pasien tersebut pada akhirnya meninggal setelah operasi.[44]
Penggunaan teknik Regional Anaesthesia seperti kombinasi spinal epidural (CSE)
terhadap enam pasien,[43,45-49] continous spinak anaesthesia (CSA) pada dua pasien,[42.46] dan CEA
pada dua pasien.[50.51] Regional Anaesthesia memiliki banyak kelebihan pada pasien dengan
PPCM. Blokade simpatetik yang disebabkan oleh Regional Anaesthesia memiliki keuntungan
pada penyakit jantung terdekompensasi sebagai penurun afterload dan preload. Penggunaan
kateter memudahkan dalam melakukan titrasi obat anestesi lokal baik pada ruang epidural
maupun intratekal. Oleh karena itu, tingkatan blokade sensoris dan motoris dapat meningkat
secara bertahap sehingga tidak menyebabkan hipotensi tiba-tiba yang dimana dapat
menyebabkan dekompensasi tiba-tiba pula pada pasien tersebut. Schnaider dkk menjabarkan
bahwa CSE dalam morbiditas pasien yang obesitas dengan fraksi ejeksi 20% yang menjalani
seksio sesaria berhasil dengan penggunaan Regional Anaesthesia.

Ia lebih menyukai

penggunakan CSE dibandingkan CEA karena memiliki resiko rata-rata kegagalan yang lebih
rendah, pasien lebih nyaman dan nyeri yang relatif kurang serta profil hemodinamik superior
yang lebih baik dibandingkan CEA. Velickovic dkk menyampaikan bahwa penggunaan CSA
pada kasus ini lebih cepat dan kemampuan titrasi yang lebih efektif. Ia memasukkan kateter
tunggal dengan ukuran 19-G ke ruang intratekal dan memasukkan sedikit bupivakain beserta
fentanil dalam dekstrosa demi mendapat tingkatan anestesi yang diinginkan. [42]

Kateter

didiamkan di tempat tersebut selama beberapa jam pasca pembedahan untuk penanganan nyeri
setelah operasi dan nyeri kepala pasca pemberian epidural yang mungkin saja terjadi. George
dkk. Telah menjelaskan bahwa penanganan pasien dengan PPCM menggunakan CEA dengan
bupivakain dan fentanil pada tingkat anestesi yang diinginkan harus secara perlahan sehingga
dapat bertahan lebih dari 6 jam. [51] Ia menghitung terdapat banyak kelebihan dari CEA seperti
menghindari penggunaan obat-obatan anestesi umum yang dapat menyebabkan depresi-jantung.
Mudah dan penetesan yang lambat serta perbaikan fungsi jantung akibat penurunan preload dan
afterload jantung.

Dengan penggunaan General Anaesthetic pada enam pasien.[43,52-56] Teknik anestesi yang
dipilih yaitu prerogatif anestesi dan bila tujuan pencapaian perbaiakan hemodinamik terpenuhi,
hasil yang diharapkan akan tercapai. Untuk lower segment caesarean section (LSCS) baik yang
emergensi atau darurat, penggunaan metode General Anaesthetic lebih baik. General
Anaesthetic juga lebih baik pada pasien dengan dekompensasi jantung borderline yang
mengalami dispneu yang dimana tidak bisa diberika dengan metode Regional Anaesthesia. Pada
pasien seperti ini, meskipun hanya blokade simpatis yang sedikit saja, dengan prosedur Regional
Anaesthesia dapat memicu terjadinya gagal jantung fulminan. Kontraindikasi lainnya
penggunaan Regional Aaesthesia yaitu pada pasien dengan antikoagulasi. McCarroll dkk
menjelaskan pasien seksio sesaria dengan PPCM dibawah pengaruh General Anaesthetic
menggunakan remifentanil dan propofol.[56] Remifentanil dipilih pada pasien ini karena memiliki
kelebihan dalam mengontrol respon stres selama berlangsungnya operasi dan perbaikan yang
cepat tanpa bergantung pada durasi infus. Mereka menganggap bahwa respon hemodinamik pada
pasien yang mendapat General Anaesthetic dengan obat-obatan yang sesuai, lebih dapat
diprediksi jika dibandingkan dengan penggunaan Regional Anaesthesia. Sepemahaman dengan
McCarroll, Zangrillo dkk percaya bahwa keuntungan yang didapat dengan menggunakan metode
Regional Anaesthesia terhadap pengaruhnya pada kardiovaskuler, tidak lebih besar dibandingkan
resiko yang dihadapi seperti hipotensi maternal dan kardiak output yang rendah pada pasien
tersebut.[54] Reduksi yang berlebihan pada preload dapat memperburuk kardiak output, saat
penurunan after load sebenarnya dapat terjadi perfusi koroner yang berbahaya. Anestesi berbahan
dasar opioid menunjukkan kontrol hemodinamik yang baik dan menurunkan respon terhadap
intubasi endotrakeal akan tetapi ibu maupun bayinya membutuhkan bantuan ventilator pasca
operasi. Dari hal-hal tersebut di atas, metode yang terbaik dengan hasil yang memuaskan bayi
dan ibu tidak bergantung pada teknik anestesi yang digunakan, akan tetapi dengan pengontrolan
hemodinamik yang ketat dan pemantauan kardiovaskular. Penggunaan obat-obatan nonanestesi
yang lain selama pembedahan harus diberikan dengan hati-hati. Penggunaan ergometrin
sebaiknya dihindari dan oksitosin harus diberikan melalui infus dengan tetesan yang perlahan.
Autotransfusi setelah kelahiran dapat diatasi dengan penggunaan furosemid dosis kecil sesaat
setelah bayi lahir.
Kesimpulan

PPCM merupakan penyakit yang memiliki angka mortalitas dan morbiditas yang tinggi,
dapat menurunkan kualitas hidup ibu, dan meningkatkan rikio keguguran. Diagnosis dini diikuti
terapi yang berkelanjutan sangat bermanfaat bagi sejumlah pasien. Prinsip terapi PPCM tidak
jauh berbeda dengan terapi pada gagal jantung dengan kausa lainnya, namun pemilihan obatobatan dilakukan dengan lebih selektif mengingat keadaan ibu yang sedang hamil ataupun
menyusui. Ahli anestesi mungkin dilibatkan dalam penanganan perawatan intensif pada pasien
yang mengalami dekompensasi jantung ataupun sebagai penatalaksanaan anestesi pada saat
persalinan baik operatif maupun non-operatif. Dalam kasus-kasus yang melibatkan ahli anestesi
tersebut, pengawasan hemodinamik yang intensif dan titrasi obat anestesi yang diberikan secara
berhati-hati sangat penting guna meningkatkan kondisi akhir ibu dan fetus.

You might also like