You are on page 1of 40

1

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Impetigo adalah infeksi kulit superfisial yang ditandai dengan adanya

nanah (pus) dan merupakan penyakit kulit akibat bakteri terbanyak yang

diderita anak-anak, yakni 10% dari semua penyakit kulit dan merupakan

penyakit kulit tersering ketiga setelah dermatitis dan kutil akibat virus

(Hanakawa et al., 2002). Di Inggris, insidensi tahunan impetigo pada anak-

anak dibawah empat tahun mencapai 2,8% dan untuk usia lima sampai

dengan lima belas tahun mencapai 1,6% (George dan Rubin, 2003).

Impetigo dibedakan menjadi dua, yakni impetigo nonbulosa yang

disebabkan oleh Streptococcus β hemoliticus dan atau Staphylococcus aureus

dan impetigo bulosa yang disebabkan oleh S. aureus (Djuanda, Hamzah, dan

Aisah, 2005). Angka kematian dari komplikasi infeksi S. aureus ini kurang

dari 5% pada anak-anak tetapi lebih dari 60% pada pasien dewasa (Stanley

dan Amagai, 2006). Beberapa tahun terakhir penyebab utama impetigo

beralih dari Streptococcus sp menjadi S. aureus (Koning et al., 2003).

S.aureus merupakan kuman patogen utama bagi manusia dan hampir setiap

orang pernah mengalami infeksi S. aureus dalam beberapa episode dalam

hidupnya dengan berbagai tingkat keparahan (Brooks et al., 1996).

S. aureus dapat mengekspresikan beberapa faktor virulen yang

bersifat antigenik yang terdiri dari protein permukaan yang berfungsi untuk

membentuk koloni pada jaringan target, invasin, bahan-bahan biokimiawi,

penyamaran secara imunologis, toksin yang melisiskan membran sel eukariot,

eksotoksin yang merusak jaringan penderita, serta kemampuan resistensi


2

terhadap antibiotik tertentu. Kemampuan resistensi S. aureus terhadap

beberapa jenis antibiotik didapatkan dengan mekanisme mutasi langsung

pada gen-gen kromosomnya atau melalui mekanisme didapat, yakni melalui

plasmid ekstrakromosom, partikel- partikel transdusin, transposon, atau

mekanisme penyusupan DNA lainnya (Anonim, 2005).

Mengingat cukup tingginya insidensi infeksi S. aureus dan adanya

kemampuan resistensi bakteri ini, maka diperlukan adanya pengembangan

temuan baru di bidang pengobatan yang efektif dan terjangkau bagi seluruh

masyarakat. Obat-obatan yang dikembangkan dapat berasal dari bahan kimia

tertentu maupun berasal dari pengobatan tradisional yang terjangkau (WHO,

2002). Pengobatan tradisional menggunakan tumbuh-tumbuhan yang terbukti

dapat mengatasi infeksi S. aureus adalah dengan memanfaatkan kunyit

(Curcuma domestica) (Singh et al., 2002).

Kunyit mengandung banyak zat yang sangat bermanfaat bagi

kesehatan. Sedikitnya terdapat dua puluh molekul yang mempunyai aktivitas

antibiotik, empat belas zat pencegah kanker, dua belas zat anti-inflamasi, dan

sepuluh zat antioksidan. Komposisi zat yang terkandung dalam kunyit

sendiri, terdiri dari 3-5% curcuminoid, 70% karbohidrat, 7% protein, 4%

mineral, dan sedikitnya mengandung 4% minyak esensial. Kunyit juga

mengandung vitamin, alkaloid lain, dan 1% resin (Jager, 2003).

Pada penelitian sebelumnya Singh et al., (2002) melaporkan bahwa

minyak esensial kunyit mempunyai aktivitas antimikroba terhadap isolat

S.aureus klinik dan standar. Hasilnya didapatkan pada isolat standar, minyak

esensial kunyit mempunyai aktivitas hambat lebih rendah dari pada isolat
3

klinik (Singh et al., 2002). Pada penelitian ini digunakan konsentrasi minyak

esensial kunyit yang sudah diketahui melalui uji pendahuluan sebesar 0%,

1%, 2%, 4%, dan 6% untuk mengetahui MIC (Minimum Inhibitory

Concentration).

Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya bahwa daya antimikroba

minyak esensial kunyit lebih efektif dibandingkan antibiotik standar dalam

menghambat pertumbuhan koloni S. aureus isolat klinik dengan metode

difusi. Peneliti melakukan penelitian lebih lanjut mengenai efek antimikroba

minyak esensial kunyit terhadap isolat klinik penderita impetigo secara

dilusi.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, dapat dirumuskan

masalah sebagai berikut :

1. Apakah minyak esensial kunyit (C. domestica) mempunyai

efek antimikroba terhadap pertumbuhan isolat S. aureus dari penderita

impetigo secara in vitro?

2. Berapakah MIC minyak esensial kunyit terhadap isolat S.

aureus dari penderita impetigo?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui apakah minyak esensial kunyit

mempunyai efek antimikroba dalam menghambat pertumbuhan isolat S.

aureus dari penderita impetigo secara in vitro.


4

2. Untuk mengetahui MIC minyak esensial kunyit yang dapat

digunakan untuk menghambat pertumbuhan koloni isolat S. aureus dari

penderita impetigo.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Sebagai sumbangan terhadap wawasan ilmu pengetahuan, khususnya

dalam bidang pengobatan tradisional.

2. Manfaat Praktis

Untuk mendasari penelitian lebih lanjut guna mengetahui manfaat dan

efektivitas kunyit sebagai salah satu bahan pengobatan tradisional.


5

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Kunyit (Curcuma domestica)

1. Klasifikasi Kunyit

Kunyit (Curcuma domestica) merupakan salah satu tanaman

rempah sekaligus tanaman obat-obatan (Anonim, 2003). Kunyit

mempunyai habitat di daerah tropis dan merupakan tanaman tahunan

(parenial). Secara taksonomi kunyit merupakan anggota dari : (Anonim,

2003).

a. Divisio : Spermatophyta

b. Sub-diviso : Angiospermae

c. Kelas : Monocotyledoneae

d. Ordo : Zingiberales

e. Famili : Zungiberaceae

f. Genus : Curcuma

g. Species : Curcuma domestica Val.

2. Morfologi

Secara umum kunyit dapat dideskripsikan sebagai berikut:

(Anonim, 2003)

a. Tinggi 0,75- 1,00 m, tumbuh membentuk rumpun. Batang semu,

tegak, silindris, dan berwarna hijau kekuningan.

b. Batang atau rimpang kunyit seperti umbi, terdapat dalam tanah,

bercabang banyak, tebal dan berdaging seperti gasing, dan bagian

dalamnya berwarna kuning jingga.

c. Akar serabut berwarna coklat muda.


6

d. Berbau khas aromatik, rasa agak getir (agak pedas dan pahit).

e. Daun tanaman kunyit tunggal tersusun atas dua baris, bentuk

daunnya lanset, ujung daunnya lancip berekor, helaian daun biasanya

lebar dengan ibu tulang yang tebal, tulang-tulang cabang sejajar dan

rapat satu sama lain, serta berwarna hijau muda (Gambar 2.1).

Gambar 2.1. Tanaman Kunyit (C. domestica)


Sumber: Anonim (2003).

3. Kandungan Kimia

Komposisi zat yang terkandung dalam kunyit terdiri dari 3-5%

curcuminoid, 70% karbohidrat, 7% protein, 4% mineral, dan sedikitnya

mengandung 4% minyak esensial. Kunyit juga mengandung vitamin,

alkaloid lain, dan 1% resin (Jager, 2003). Unsur pokok yang terkandung di

dalam kunyit disebut curcumin. Senyawa ini larut pada suhu 176-1770C

dan mempunyai sifat larut dalam ethanol, basa, keton, asam asetat, dan

kloroform (Araújo dan Leon, 2001).

Curcumin secara alami terkandung dalam kunyit (C. domestica)

yang dijual secara komersil sebagai turmeric, serbuk berwarna kuning

jingga yang digunakan sebagai bumbu dapur atau pewarna makanan alami.

Turmeric mengandung curcuminoid yang terdiri dari


7

demethoxycurcumin (curcumin II), bisdemethoxycurcumin

(curcumin III), dan cyclocurcumin (Aggarwal et al., 2006).

Kandungan lain dalam kunyit yang juga sangat bermanfaat adalah

minyak esensial. Minyak esensial hanya menyusun sekitar 4% dari seluruh

kandungan zat dalam kunyit tetapi merupakan bagian yang mempunyai

daya antimikroba paling kuat (Chowdhury et al., 2008). Di dalamnya

terdapat sedikitnya lima belas zat dengan komposisi utama berupa ar-

Turmerone dan turmerone (Tabel 2.1) (Leela et al.,2002). Keduanya

merupakan dua dari zat utama penyusun minyak esensial kunyit yang

disebut terpene (Natta et al., 2008). Terpene inilah yang mempunyai daya

antimikroba, khususnya pada bakteri gram positif.

Tabel 2.1. Kandungan Minyak Esensial Kunyit.


Sumber : Natta et al.(2008)
8

4. Manfaat dan Kegunaan

Kunyit mengandung banyak zat yang bermanfaat bagi kesehatan

(Gambar 2.2). Tanaman rimpang ini mempunyai aktivitas antibiotik,

pencegah kanker, anti-inflamasi, dan antioksidan, antiprotozoa, nematosid,

antivenom, antitumor, dan anti-HIV (Araújo dan Leon, 2001; De Jager,

2003).

Sebagai anti-inflamasi, triethyl curcumin mempunyai potensi anti-

inflamasi paling tinggi dibandingkan analog curcumin lain dan obat

pilihan dalam mengurangi inflamasi kronik. Selain itu, kunyit juga

menghambat peroxidasi lipid pada mikrosom hati tikus, membran eritrosit,

dan otak, dengan meningkatkan dan mempertahankan aktivitas enzim

antioksidan seperti superoxide dismutase, catalase dan glutathione

peroxidase. Peroksidasi lipid mempunyai peranan penting dalam

patogenesis inflamasi, penyakit jantung, dan kanker (Araújo dan Leon,

2001).

Kunyit juga mempunyai aktivitas biologis lain, diantaranya

aktivitas antiprotozoa terhadap Leishmania amazonensis, Plasmodium

falciparum dan L. major; aktivitas nematisid terhadap Paramecium

caudatum dan Toxocara canis; aktivitas antivenom yang bersifat

antihemoragi dari racun Bothrops dan Crotalus; anti-HIV dengan

menghambat replikasi HIV-1 integrase protein; aktivitas antitumor; serta

aktitivitas antibiotik (Araújo dan Leon, 2001).


9

Gambar 2.2. Aktivitas Biologis Curcumin


Sumber: Aggarwal et al.(2006).

Sebagai antibiotik kunyit mempunyai aktivitas antibakteri terhadap

beberapa jenis bakteri gram negatif dan positif seperti, Staphylococcus

albus, S. aureus, Lactobacillus sp, Escherichia coli, Pseudomonas

aeruginosa, Salmonella typhimurium dan Bacillus typhosus. Kemampuan

antimikroba ini paling kuat didapatkan pada minyak esensial kunyit yang

kaya akan terpene.

5. Penelitian Pendukung

Goel (2008) meneliti bahwa ekstrak kunyit mempunyai MIC sebesar

40µg/ml terhadap koloni S.aureus. Ungphaiboon et al.(2005) dan Çıkrıkçı

et al (2008) melaporkan bahwa ekstrak kunyit dengan fraksi etanol

mempunyai daya antimikroba terhadap beberapa spesies diantaranya,


10

Bacillus subtilis, S. aureus, Cryptococcus neoformans, dan Candida

albicans dengan MIC berturut-turut 16, 128, 128, dan 256 μg/ml.

Pada penelitian lain Singh et al.( 2002) menggunakan empat fraksi,

didapatkan hasil penyulingan/ minyak esensial menunjukkan efektivitas

lebih baik dari antibiotik standar yang digunakan (gentamisin, ampisilin)

terhadap koloni S. aureus dan S. albus. Selain itu fraksi ekstrak kunyit

dengan air juga menunjukkan aktivitas antibakteri terhadap S. aureus.

Aktivitas terhadap bakteri gram negatif hanya ditunjukkan oleh minyak

esensial dengan aktivitas menengah. Dengan metode difusi pada isolat

klinik minyak esensial mempunyai aktivitas hambat 221% tanpa

pengenceran, 207% pada pengenceran 10 kali, dan 142% pada

pengenceran 100 kali. Sedangkan pada isolat standar minyak esensial

mempunyai aktivitas hambat sebesar 31% tanpa pengenceran, 28% pada

pengenceran 10 kali, dan 21% pada pengenceran 100 kali.

Zat yang bersifat antimikroba dan terkandung minyak esensial

kunyit adalah golongan terpene . Terpene yang banyak ditemukan dalam

minyak esensial kunyit diantaranya ethyl-p-methoxycinnamate; tumerone,

farnescene, curlone dan zingiberene; terpinene, geraniol, dan 6-

camphenone; serta methyl chavicol. Zat-zat tersebut mempunyai daya

antimikroba terutama terhadap bakteri gram positif (Natta et al., 2008).

Hal ini disebabkan karena sifatnya yang hidrofob dan dapat mengganggu

kestabilan membran sel dengan cara merusak integritas membran

sitoplasmanya, menurunkan cadangan ATP intrasel, menurunkan potensial

membran bakteri, menurunkan pH intrasel, serta dengan meningkatkan


11

efluks kalium keluar sel (Ultee et al., 1999; Sikkema et al.,1995;

Trombetta et al.,2005).

B. Impetigo dan S. aureus

1. Impetigo

a. Definisi dan Klasifikasi

Impetigo adalah infeksi superfisial epidermis yang ditandai

dengan adanya pus (pioderma). Bedasarkan gejala klinis (ada tidaknya

bula) impetigo dibedakan menjadi dua, yakni impetigo bulosa dan

impetigo nonbulosa (McSweeney-Ryan dan Sandel, 2003). Impetigo

nonbulosa merupakan jenis impetigo yang paling banyak insidensinya,

yakni sekitar 70% dari total insidensi kasus impetigo. Penyebabnya

didominasi S. aureus, baik dengan atau tanpa infeksi lain dari

Streptococcus pyogenes (George dan Rubin, 2003). Impetigo

nonbulosa mempunyai gejala awal berupa timbulnya sebuah makula

atau papula eritematosa yang dengan cepat membentuk vesikel.

Veskikel ini dapat dengan mudah pecah dan membentuk sebuah erosi.

Isi vesikel kemudian mengering dan menjadi krustosa yang berwarna

kuning seperti madu (Gambar 2.3). Krustosa ini cenderung gatal

sehingga dapat memaksa penderita untuk menggaruk daerah tersebut.

Garukan penderita dapat menyebabkan autoinokulasi bakteri yang

menyebabkan perluasan infeksi pada daerah sekitarnya ( Cole dan

Gazewood, 2007).
12

Gambar 2.3. Impetigo nonbullosa.


Sumber: McSweeney-Ryan dan Sandel (2003).

Impetigo bulosa merupakan jenis impetigo dengan ciri khas

timbulnya bula pada penderita. Impetigo bulosa paling sering terjadi

pada neonatus, meskipun dapat dijumpai juga pada anak-anak maupun

orang dewasa (Cole dan Gazewood, 2007). Impetigo bulosa disebabkan

oleh adanya toksin dari S. aureus, yakni exfoliative toxins (ET)

(Koning et al., 2003).

Impetigo jenis ini merupakan bentuk lokal dari staphylococcal

scalded skin syndrome (SSSS), yakni suatu bentuk kelainan kulit akibat

bersirkulasinya ET secara sistemik ke seluruh tubuh penderita

(Hanakawa et al., 2002). Angka mortalitas SSSS pada anak-anak

kurang dari 5%, tetapi pada orang dewasa yang mempunyai penyakit

pada ginjal atau mempunyai kecenderungan immunocompromise, angka

mortalitasnya dapat meningkat hingga 60% (Stanley dan Amagai,

2006).
13

Impetigo bulosa ditandai dengan adanya vesikel yang dengan

cepat melebar disertai dengan adanya bula yang kaku, berbatas tegas,

tanpa dikelilingi makula eritematosa. Gambaran patognomonik dari

impetigo bulosa adalah collarette yakni peninggian dasar dari tepi lesi

yang telah ruptur, sehingga menyerupai gambaran kulit yang terkena

puntung rokok. Impetigo jenis ini sering terjadi pada daerah kulit yang

lebih lembab, seperti pada ketiak, dada, punggung, dan lipat leher (Cole

dan Gazewood, 2007).

b. Epidemiologi

Impetigo dapat mengenai semua kelompok usia tetapi cenderung

lebih banyak terjadi pada usia dua sampai dengan lima tahun. Pada

anak-anak impetigo merupakan infeksi kulit tersering ketiga setelah

dermatitis dan kutil akibat virus. Impetigo paling sering disebabkan

oleh infeksi bakteri gram positif terutama S. aureus. Selain itu,

Streptococcus pyogenes yang merupakan spesies dari grup A-

Streptococcus β hemolyticus juga merupakan salah satu penyebab

impetigo yang cukup jarang (Cole dan Gazewood, 2007).

Impetigo paling sering menular melaui kontak langsung dengan

penderita, tetapi juga bisa menyebar melalui pakaian yang

terkontaminasi oleh bakteri. Insidensi tahunan impetigo di Inggris pada

anak-anak dibawah empat tahun mencapai 2,8% dan untuk usia lima

sampai dengan lima belas tahun mencapai 1,6% (George dan Rubin,

2003). Insidensi tertinggi didapatkan pada musim panas dan pada


14

daerah dengan higiene kurang atau daerah yang padat penduduk ( Cole

dan Gazewood, 2007).

c. Penatalaksanaan

Pengobatan impetigo mempunyai beberapa tujuan yakni,

mengurangi rasa tidak nyaman, meningkatkan fungsi kosmetik,

mencegah penyebaran lebih luas, dan mencegah kekambuhan (Cole dan

Gazewood, 2007). Pengobatan impetigo dapat dilakukan dengan

antibiotik oral maupun topikal. Jenis antibiotik oral yang sering dipakai

adalah flucloxacillin, erythromycin, penicillin dan sefalosporin.

Sedangkan, antibiotik topikal yang digunakan adalah mupirocin atau

fusidic acid (Lewis, 2007).

2. S. aureus

a. Klasifikasi

S. aureus merupakan bakteri gram positif yang berbentuk bulat

dengan gambaran mikroskopis membentuk gerombolan-gerombolan

seperti buah anggur (Gambar 2.4). S. aureus merupakan salah satu

spesies dari genus Staphylococcus yang merupakan anggota dari famili

Staphylococcaceae. S. aureus merupakan bakteri flora normal yang

dapat ditemukan di kulit maupun mukosa. Berikut adalah taksonomi

dari S. aureus menurut Brooks et al., (1996):

1. Kingdom : Bacteriae

2. Phylum (divisi) : Firmicutes

3. Kelas : Bacilli

4. Ordo : Bacillales
15

5. Famili : Staphylococcaceae

6. Genus : Staphylococcus

7. Spesies : Staphylococcus aureus

b. Fisiologi

S. aureus paling banyak ditemukan pada nares anterior yang

dilapisi oleh epitel berlapis gepeng dengan keratin. Kebutuhan nutrisi

S.aureus sangat bervariasi tergantung pada strainnya. Kemampuan

berkembangnya pun sangat dipengaruhi nutrisi yang tersedia

(Kluymants et al., 1997).

Pada umumnya, S. aureus dapat tumbuh pada suhu antara 70 C

sampai dengan 470 C tetapi, optimalnya tumbuh pada suhu 350 C - 450 C

(Bremer et al., 2004). Staphylococcus sp adalah bakteri yang bersifat

katalase positif, oksidase negatif, nonmotil, tidak menghasilkan spora,

dan anaerob fakultatif yang dapat tumbuh dengan respirasi aerobik atau

dengan fermentasi yang menghasilkan asam laktat. S. aureus

merupakan spesies yang dapat menghasilkan koagulase. Sifat ini

membedakannya dengan spesies lain pada genus ini (Anonim, 2005).


16

Gambar 2.4. S. aureus dilihat dengan mikroskop elektron.


Sumber : Anonim (2005)

c. Struktur Antigen

Meskipun merupakan bakteri flora normal, S. aureus dapat

mengekspresikan beberapa faktor virulen yang membuatnya dapat

menginfeksi inang (gambar 2.5) diantaranya terdiri dari (Anonim, 2005;

Brooks et al., 1996):

1. Protein permukaan yang berfungsi untuk menempel pada

jaringan inang.

2. Invasin yang berperan dalam penyebaran dalam jaringan

seperti, leukocidin, kinase, dan hyaluronidase.

3. Faktor permukaan yang mencegah fagositosis dari sel imun

inang seperti, kapsul dan Protein A.

4. Materi biokimiawi yang berfungsi sebagai pertahanan

terhadap proses fagositosis, seperti dengan menghasilkan

carotenoids dan katalase.

5. Materi yang digunakan sebagai media penyamaran terhadap

sel imun inang, seperti Protein A, koagulase, dan faktor koagulasi.


17

6. Toksin yang dapat merusak membran sel eukariot, seperti

α -toxin (α -hemolysin), ß-toxin, δ -toxin, leukotoxin, dan

leukocidin.

7. Eksotoksin yang dapat merusak jaringan inang dan

mencetuskan gejala penyakit, contohnya SEA-G, TSST, dan

exfoliative toxins (ET).

8. Kemampuan resistensi yang didapat maupun yang

diturunkan.

Gambar 2.5. Antigen yang dihasilkan oleh S. aureus


Sumber : Anonim (2005)

d. Patogenesis dan Gejala Klinis

S. aureus dapat masuk ke dalam tubuh dan menyebabkan infeksi

melalui berbagai pintu masuk, diantaranya folikel rambut, kulit yang

terluka, luka tusuk, saluran nafas, dan saluran pencernaan. Gangguan

kesehatan yang dapat timbul akibat infeksi bakteri ini diantaranya

impetigo dan pioderma lainnya, pneumonia, keracunan makanan,

septikemia, osteomielitis, endokarditis, toxic shock syndrome, dan


18

staphylococcal scalded skin syndrome (SSSS) (Fournier dan Philpott,

2005).

S. aureus paling sering menginfeksi kulit dan infeksi kulit tersering

yang ditemukan pada anak-anak adalah impetigo. Sekitar 30% dari

impetigo merupakan impetigo bullosa yang disebabkan oleh strain S.

aureus yang menghasilkan ET, yang merupakan eksoprotein yang juga

dapat menyebabkan staphylococcal scalded skin syndrome (SSSS)

(Hanakawa et al., 2002).

ET mempunyai struktur serine protease, sebuah enzim yang dapat

memecah desmoglesin 1 (Dsg 1) (Amagai et al., 2000). Dsg 1 merupakan

glikoprotein transmembran pada desmosom yang memperantarai pertautan

antar sel. Dengan rusaknya Dsg 1 maka pertautan antar sel menjadi

terganggu, akibatnya lapisan stratum corneum yang merupakan barier

utama pada kulit dapat ditembus oleh S. aureus (Hanakawa et al., 2002).

Dsg 1 sebagai substrat dari aktivitas toksik ET dibuktikan melalui

pengamatan terhadap gambaran histopatologis yang dihasilkan oleh toksin

ini, dimana gambarannya sama dengan gambaran histopatologis yang

terjadi pada pemphigus foliaceus (PF). PF merupakan gangguan kulit yang

disebabkan karena adanya mekanisme autoimun yang juga menyerang Dsg

1 (Stanley dan Amagai, 2006).

ET terdiri dari tiga subkelas, yakni ETA, ETB, dan ETD. ETA dan

ETB merupakan zat yang paling berperan terhadap patogenesis impetigo.

ETA mempunyai korelasi yang kuat terhadap timbulnya impetigo bullosa,


19

sedangkan ETB mempunyai kontribusi yang cukup signifikan terhadap

patogenesis impetigo nonbullosa (Koning et al., 2003).

C. Kerangka Pemikiran Penelitian


1. Kerangka Teori

Minyak Esensial
Kunyit

Rusak Integritas
Membran
Sitoplasma

Menurunkan Menurunkan Menurunkan pH


Potensial Membran Cadangan ATP Intrasel
Bakteri Intrasel

Meningkatkan
Efluks Kalium
Keluar Sel

Hambat
pertumbuhan sel

Penurunan jumlah
koloni
S. aureus pada medium
pertumbuhan

Bandingkan
dengan kontrol
negatif
20

2. Kerangka Penelitian

Minyak Esensial
Kunyit

0% 1% 2% 4% 6%

Ukur Daya Hambat

D. Hipotesis

1. Minyak esensial kunyit (C. domestica) mempunyai efek antimikroba

dalam menghambat pertumbuhan isolat S. aureus dari penderita impetigo

secara in vitro.

2. MIC minyak esensial kunyit dalam menghambat pertumbuhan koloni S.

aureus dari isolat penderita impetigo adalah sebesar 6%.


21

III. METODE PENELITIAN

A. Materi dan Bahan Penelitian

1. Alat

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah cutton bud,

autoklaf merk All American, termos es, cawan petri, inkubator merk

Binder, mikropipet merk Finnpippet dan blue tips, timbangan digital merk

AND, gelas objek, kaca penutup, kertas label, kertas aluminium, kertas

pembungkus, pembakar bunsen, tabung erlenmeyer merk Duran, kertas

flanel, tabung reaksi dan baker glass merk Iwaki Pyrex, drugal sky, colony

counter (Bel-art 378620000), magnetic stirer merk Barnstead

International, Vortex mixer, mikroskop, tabung distilasi, kompor listrik

merk electromatle, kondensor distilasi, tabung pemisah merk Iwaki Pyrex

dan jarum ose.

2. Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah alkohol 70%,

kunyit bubuk (turmeric) yang di dapatkan dari Pasar Wage Purwokerto,

Tween 80 yang didapatkan dari laboratorium MIPA UNSOED, akuades,

larutan hidrogen peroksida (H2O2), Manitol Salt Agar (MSA), Kristal

Ungu (KU), Kalium Iodida (KI), alkohol aseton, safranin, sampel dari

penderita impetigo, garam fisioligis (NaCl 0,9%), Medium Carry-Blaire,

plasma kelinci, Natrium Broth (NB), dan stik oksidasi.


22

B. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah metode eksperimental murni.

Rancangan percobaan yang digunakan adalah post test only with control

group design. Penelitian menggunakan perlakuan berupa konsentrasi minyak

esensial kunyit. Konsentrasi minyak esensial kunyit yang dipakai adalah 0%,

1%, 2%, 4%, dan 6%, konsentrasi ini disesuaikan dengan konsentrasi yang

dipakai pada saat uji pendahuluan. Masing-masing konsentrasi tersebut

dilakukan pengulangan sebanyak empat kali.

C. Variabel Yang Diukur

1. Variabel tergantung yang diukur adalah persentase penghambatan

pertumbuhan koloni S. aureus dengan skala rasio.

2. Variabel bebas yang diukur adalah konsentrasi minyak esensial

kunyit dengan skala ordinal.

D. Definisi Operasional Variabel

1. Persentase Penghambatan Antimikroba : perbandingan jumlah penurunan

pertumbuhan koloni akibat zat

antimikroba dengan jumlah

koloni kontrol yang dinyatakan

dalam persen.

2. Daya Antimikroba : kemampuan suatu zat

antimikroba untuk membunuh

atau mematikan pertumbuhan

mikroorganisme.
23

3. MIC : konsentrasi terendah dari antimikroba yang dapat menghambat

pertumbuhan koloni

mikroorganisme yang terlihat/

lebih dari 99% setelah inkubasi

selama 24 jam. (Andrews, 2006).

E. Cara Mengukur Variabel

Jumlah koloni dihitung dengan menggunakan colony counter (Bel-art

378620000). Penghambatan pertumbuhan diukur dengan membandingkan

selisih jumlah koloni kontrol dan jumlah koloni perlakuan dengan jumlah

koloni kontrol dan dinyatakan dalam persen. MIC merupakan konsentrasi

minyak esensial kunyit yang mampu menghambat pertumbuhan koloni

S.aureus lebih dari 99% (Andrews, 2006).

F. Tata Urutan Kerja

1. Sterilisasi

Alat dan bahan yang digunakan disterilisasi menggunakan autoklaf

dengan suhu 1210C bertekanan 2 atm selama 15 menit.

2. Pembuatan Medium Manitol Salt Agar (MSA) (Kurnia, 2006).

Bahan yang digunakan terdiri dari, 10 gr pepton, 10 gr manitol, 15 gr

agar, 75 gr sodium klorida, 0,25 gr Phenol red, dan 500ml akuades.

Cara pembuatan:

a. Semua bahan dicampurkan dan ditambahkan akuades 500 ml,

kemudian dipanaskan sampai mendidih dan homogen.


24

b. Tambahkan akuades hingga volume mencapai 1000 ml kemudian

masukkan dalam tabung erlenmeyer, tutup dengan kapas dan bungkus

dengan kertas payung.

c. Tabung tersebut kemudian disterilisasi dengan menggunakan autoklaf

pada suhu 1210C dan tekanan 2 atm selama 15-20 menit.

3. Pengambilan Spesimen S. aureus Dari Penderita Impetigo

(Kurnia, 2006).

a. Lakukan swab 2-3 kali pada penderita impetigo

dengan menggunakan cutton bud steril yang telah dibasahi dengan

NaCl 0,9%.

b. Cutton bud tersebut kemudian dimasukkan ke dalam

medium Carry-Blair, kemudian tutup rapat dan berikan label.

4. Isolasi (Kurnia, 2006).

a. Ambil 1 ml spesimen kemudian larutkan dalam 9 ml

akuades steril untuk mendapatkan pengenceran 10-1.

b. Dari pengenceran 10-1 kemudian diambil 1 ml dan

dilarutkan dengan

9 ml akuades steril untuk mendapatkan pengenceran 10-2.

c. Langkah seperti diatas dilakukan hingga

mendapatkan konsentrasi

10-6.

d. Dari hasil pengenceran 10-5 dan 10-6 kemudian

diambil 0,1 ml dan dimasukkan ke dalam medium MSA dalam cawan

dan ratakan dengan drugal sky.


25

d. Medium MSA tersebut kemudian diinkubasi dalam suhu 370C

selama 1 x 24 jam.

5. Identifikasi (Kurnia, 2006).

a. Pewarnaan gram

1. Dibuat preparat ulas pada gelas objek dengan jarum

ose dari isolat.

2. Ulasan difiksasi di atas pembakar bunsen.

3. Gelas objel ditetesi KU dan diamkan selama 30

detik.

4. Gelas objek kemudian dicuci dengan akuades dan

diamkan hingga kering.

5. Gelas objek kemudian ditetesi dengan KI, dan

diamkan selama 45 detik.

6. Cuci dengan akuades dan keringkan.

7. Cuci dengan alkohol aseton untuk menghilangkan

KU kemudian dicuci dengan akuades dan dikeringkan.

8. Tetesi safranin dan diamkan selama 30 detik.

9. Cuci dengan akuades dan keringkan.

10. Amati hasil pengecatan dibawah mikroskop.

b. Uji katalase (Brooks, et al, 1996).

Tes ini dilakukan dengan menggunakan sedikit pertumbuhan

bakteri yang diletakkan di gelas objek kemudian ditetesi dengan satu

tetes larutan hidrogen peroksida. Pembentukan gelembung udara

menunjukkan hasil tes positif.


26

c. Uji oksidase (Brooks, et al, 1996).

Tes ini dilakukan dengan menggunakan stik oksidasi. Stik

oksidasi ini ditempelkan pada koloni S.aureus kemudian amati

perubahan warna yang terjadi. Jika terbentuk warna ungu maka tes

oksidase positif.

d. Uji koagulase (Brooks, et al, 1996).

Tes ini dilakukan dengan plasma manusia atau kelinci yang

diberi sitrat, oksalat atau EDTA. Plasma kelinci tersebut kemudian

diambil sebanyak 0,3 ml dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi

steril yang telah berisi 0,3 ml medium pertumbuhan yang berusia 24

jam. Medium tersebut kemudian diinkubasi pada suhu 370C. Jika

dalam waktu 24 jam terbentuk pembekuan lebih dari sepertiga volume

plasma dalam tabung maka hasil tes positif (Soemarno, 1999). Semua

S. aureus yang mempunyai sifat koagulase positif dianggap patogen

bagi manusia.

6. Peremajaan S.aureus (Kurnia, 2006).

Peremajaan S. aureus dilakukan dengan mengambil bakteri dengan

jarum ose kemudian diinokulasikan secara streak pada agar miring MSA.

Agar tersebut kemudian diinkubasi pada suhu 370C selama 2 x24 jam.

7. Pembuatan suspensi (Kurnia, 2006).

a. Satu ose koloni S.aureus dimasukkan ke dalam 10

ml NB.

b. Inkubasi selama 1 x 24 jam pada suhu 370C

8. Pembuatan Minyak Esensial Kunyit (Ungphaiboon et al.,2005).


27

a. Kunyit bubuk sebanyak 250 gr dilarutkan dengan

akuades sebanyak 500 ml dan dimasukkan ke dalam tabung distilasi.

b. Tabung distilasi kemudian dipanaskan di atas

kompor listrik hingga larutan kunyit menjadi pekat.

c. Selama proses pemanasan uap air yang menguap

akan membawa minyak esensial kunyit. Melalui kondensor, uap beserta

minyak esensial akan kembali menjadi bentuk cair.

d. Campuran antara minyak dan air tersebut

dipisahkan dengan menggunakan tabung pemisah.

9. Pembuatan Medium Uji

a. Media NB dan larutan stok dipersiapkan.

b. Dibuat larutan minyak esensial kunyit dengan

konsentrasi 0%, 1%, 2%, 4%, dan 6%.

c. Untuk mencampurkan minyak esensial kunyit

dengan NB maka ditambahkan sedikit Tween 80 kemudian

dicampurkan dengan menggunakan Vortex mixer.

Pembuatan larutan ini berdasarkan rumus C1V1 = C2V2

C1 = konsentrasi larutan awal


V1 = volume larutan awal
C2 = konsentrasi larutan akhir yang diinginkan
V2 = volume larutan akhir yang diinginkan

10. Pengujian Daya Hambat (Kurnia, 2006).

a. Tabung reaksi yang berisi 10 ml NB dengan

campuran masing-masing konsentrasi minyak esensial kunyit disiapkan.


28

b. Masing-masing tabung diinokulasikan 1 ml

suspensi.

c. Inkubasi selama 24 jam pada suhu 37 0C.

d. Hasil inkubasi kemudian diencerkan dalam akuades

hingga pengenceran 10-6.

e. Hasil pengenceran 10-5 dan 10-6 diinokulasikan

pada media MSA secara spread plate.

f. Masing-masing konsentrasi dibuat empat kali

pengulangan.

g. Inkubasikan selama 1 x 24 jam pada suhu 370C .

11. Penentuan Daya Hambat (Andrews, 2006).

Untuk menghitung persentase daya hambat digunakan rumus:

Sedangkan untuk menghitung perkiraan jumlah bakteri digunakan rumus:

MIC merupakan konsentrasi minimal minyak esensial kunyit yang

dapat menghambat pertumbuhan koloni S. aureus lebih dari 99%.

G. Analisis Data (Dahlan, 2006)

Data yang didapat diuji normalitasnya dengan menggunakan uji

Kolmogorov Smirnov, Skewness, dan Kurtosis. Analisis data yang digunakan

adalah uji ANOVA atau uji F yang diteruskan dengan uji beda nyata jujur

(Post Hoc) apabila data yang diperoleh merupakan data distribusi normal.

Apabila data yang diperoleh bukan data dengan distribusi normal maka data
29

dinormalkan dengan perhitungan logaritma. Jika hasilnya tetap tidak normal

digunakan uji nonparametrik Kruskal Wallis yang diteruskan dengan uji

Mann-Witney dengan tingkat kesalahan 5%.

H. Waktu dan Tempat Penelitian

Pengambilan spesimen dari penderita impetigo dilakukan di Rumah

Sakit Margono Soekarjo dan Puskesmas di wilayah Purwokerto. Oleh karena

keterbatasan alat maka pembuatan minyak esensial kunyit dilakukan di

laboratorium kimia organik MIPA UNSOED. Penelitian secara in vitro

dilakukan di laboratorium mikrobiologi Jurusan Kedokteran Fakultas

Kedokteran dan Ilmu-ilmu Kesehatan Universitas Jenderal Soedirman

Purwokerto pada bulan Juli sampai September tahun 2008.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

Pada penelitian ini, peneliti menggunakan isolat dari penderita impetigo

nonbulosa yang didapatkan dari Puskesmas Sokaraja 1 Kabupaten Banyumas.

Hasil isolat yang didapatkan dari penderita impetigo nonbulosa sebelum

dilakukan uji dengan menggunakan minyak esensial kunyit terlebih dahulu

dilakukan uji identifikasi untuk mengetahui jenis bakteri penyebabnya.

Hasil isolasi yang dilakukan peneliti pada medium MSA didapatkan

perubahan warna medium menjadi kuning disertai pertumbuhan koloni

berbentuk bundar, halus, menonjol, sedang, dan berkilau. Uji identifikasi

kemudian dilanjutkan dengan pewarnaan gram untuk mengetahui jenis

bakteri yang tumbuh. Hasil pewarnaan gram didapatkan gambaran bakteri


30

bulat bergerombol seperti anggur dan berwarna ungu. Pewarnaan gram

tersebut menunjukkan adanya bakteri gram positif.

Untuk mengetahui jenis spesies bakteri gram positif tersebut dilakukan

uji biokimia diantaranya, uji katalase, oksidase, dan koagulase. Hasilnya,

pada uji katalase yang menggunakan larutan hidrogen peroksida dan diamati

di bawah mikroskop terlihat adanya gelembung-gelembung udara yang

diartikan sebagai katalase positif. Hasil uji oksidase didapatkan hasil oksidase

negatif yang ditandai dengan tidak berubahnya warna stik oksidasi. Uji

terakhir yakni uji koagulase, didapatkan hasil koagulase positif yang ditandai

dengan adanya pembekuan plasma kelinci melebihi sepertiga volume total.

Hasil uji identifikasi dan uji biokimia tersebut disimpulkan bahwa

bakteri yang didapatkan dari isolat penderita impetigo nonbulosa tersebut

adalah S. aureus. Koloni yang teridentifikasi sebagai S. aureus kemudian

disimpan sebagai stok untuk dilakukan uji dengan menggunakan minyak

esensial kunyit.

Hasil uji dengan minyak esensial kunyit didapatkan hasil penghambatan

terendah pada konsentrasi 1% yakni sebesar 75,8%. MIC ditemukan juga

sebagai daya hambat paling tinggi yakni sebesar 99,54% pada konsentrasi

minyak esensial kunyit sebesar 6%. Hasil rata-rata daya hambat konsentrasi

1%, 2%, 4%, dan 6% berturut-turut 75,8%, 65,8%, 98,13%, dan 99,54%

(Gambar 4.1).
31

Gambar 4.1. Persentase Penghambatan Koloni S. aureus

oleh Minyak Esensial Kunyit.

Hasil uji statistik didapatkan bahwa persentase penghambatan pada

masing-masing perlakuan merupakan data dengan distribusi tidak normal.

Nilai p atau signifikansi yang didapatkan melalui uji normalitas Kolmogorov

Smirnov kurang dari 0,05 dan hasil perbandingan kurtosis serta skewness

dengan standart error tidak diantara -2 dan 2 (Tabel 4.1).

Tabel 4.1. Uji Normalitas Kolmogorov Smirnov


untuk Persentase Penghambatan

Kolmogorov-Smirnov(a) Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
PersentasePenghambat
,226 20 ,009 ,765 20 ,000
an

Uji normalitas untuk logaritma dari persentase penghambatan juga

memberikan hasil yang sama dengan nilai p sebesar 0,001 atau dapat

disimpulkan data memiliki distribusi tidak normal (Tabel 4.2).

Tabel 4.2. Uji Normalitas Kolmogorov Smirnov


untuk Logaritma Persentase Penghambatan
32

Kolmogorov-Smirnov(a) Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
LogPersenPen
,299 16 ,000 ,769 16 ,001
ghambatan

Mengingat hasil distribusi data tidak normal, maka uji statistik

selanjutnya yang digunakan untuk membandingkan rerata antar kelompok

adalah uji nonparametrik yakni uji Kruskal Wallis. Hasil uji Kruskal Wallis

menunjukkan nilai p sebesar 0,002 yang berarti diantara kelima kelompok

perlakuan terdapat setidaknya dua kelompok yang mempunyai perbedaan

rerata persentase penghambatan yang signifikan (Tabel 4.3).

Tabel 4.3. Hasil Uji Kruskal Wallis

Persentase
Penghamb
atan
Chi-
16,985
Square
df 4
Asymp.
,002
Sig.

Untuk mengetahui kelompok mana yang mempunyai perbedaan yang

signifikan digunakan uji Mann-Witney dengan tingkat kesalahan 5%. Hasil uji

dengan nilai p kurang dari 0,05 diartikan kedua kelompok tersebut terdapat

perbedaan rerata yang signifikan.

Hasilnya terdapat perbedaan rerata jumlah kloni yang signifikan antara

kelompok perlakuan 0% dengan kelompok perlakuan 1%, 2%, 4%, dan 6%;

kelompok perlakuan 1% mempunyai perbedaan yang signifikan dengan

kelompok perlakuan 0% dan 6%; kelompok perlakuan 2% mempunyai

perbedaan yang signifikan dengan kelompok perlakuan 0%, 4%, dan 6%;
33

kelompok perlakuan 4% mempunyai perbedaan yang signifikan dengan

kelompok perlakuan 0%, 2%, dan 6%; serta kelompok perlakuan 6%

mempunyai perbedaan yang signifikan dengan kelompok perlakuan 0%, 1%,

2% dan 4%.

B. Pembahasan

Minyak esensial kunyit adalah ekstrak kunyit yang didapatkan dengan

cara hidrodistilasi. Zat yang terkandung di dalamnya adalah zat yang bersifat

volatile atau mudah menguap. Di antara zat tersebut yang paling banyak

menyusun minyak esensial kunyit adalah golongan terpene yang didominasi

oleh ar-turmerone dan turmerone (Natta et al., 2008).

Terpene merupakan senyawa hidrokarbon yang terdiri atas isoprene-

isoprene berbentuk siklik maupun tidak siklik (Sikkema et al.,1995). Zat ini

telah lama diketahui memiliki berbagai macam kegunaan diantaranya sebagai

antitumor, antioksidan, dan antimikroba (Galluci et al., 2006). Terpene

mempunyai daya antimikroba karena sifatnya yang hidrofob. Sifat ini dapat

menyebabkan gangguan integritas membran sel bakteri dengan cara

menurunkan cadangan ATP intrasel, menurunkan potensial membran bakteri,

menurunkan pH intrasel, serta dengan meningkatkan efluks kalium keluar sel

(Ultee et al., 1999; Sikkema et al.,1995; Trombetta et al.,2005).

Pada penelitian ini peneliti membuktikan bahwa konsentrasi 6%

minyak esensial kunyit dapat menghambat pertumbuhan koloni isolat S.

aureus dari penderita impetigo secara in vitro hingga 99,54%. Konsentrasi

terendah minyak esensial yang menghambat pertumbuhan koloni lebih dari

99% disebut MIC, sehingga disimpulkan MIC minyak esensial kunyit


34

terhadap isolat S.aureus dari penderita impetigo secara in vitro adalah sebesar

6%.

Di kemudian hari apabila minyak esensial kunyit ini teruji

efektivitasnya sebagai pilihan obat tradisional untuk terapi impetigo maka

penggunaannya secara topikal dapat diterapkan mengingat penyebab

terbanyak impetigo adalah S. aureus dan pengobatan yang paling efektif

untuk impetigo adalah menggunakan sediaan antibiotik topikal (George dan

Rubin, 2003). Penggunaan sebagai sediaan topikal dimungkinkan karena

terpene yang terkandung di dalam minyak esensial kunyit merupakan zat

yang tidak beracun dengan tingkat iritansi yang rendah dan oleh FDA

diberikan label aman atau GRAS (Generally Recognized as Safe). Terpene

juga terbukti dapat meningkatkan penyerapan zat yang bersifat lipofilik dan

hidrofilik ke dalam kulit manusia dengan cara berinteraksi dengan lapisan

keratin dan lemak stratum corneum dan atau dengan meningkatkan kelarutan

zat dengan lapisan lipid stratum corneum (Vaddi et al., 2003).

Pada penelitian ini peneliti juga menemukan hal yang menarik dimana

pada konsentrasi 1% dan 2% terjadi penurunan persentase penghambatan

yaitu 75,8% menjadi 65,8%. Salah satu faktor yang diduga menyebabkan

hal tersebut adalah kurangnya homogenitas antara medium NB, larutan tween

80, dan minyak esensial kunyit khususnya pada perlakuan dengan konsentrasi

minyak esensial kunyit 2% karena kurangnya perbandingan ketiga larutan

tersebut dan atau kurangnya proses pencampurannya. Kedua faktor tersebut

dapat menyebabkan tidak larutnya minyak esensial kunyit yang merupakan

larutan nonpolar dengan medium NB yang merupakan larutan polar. Ketidak


35

larutan minyak esensial kunyit dengan medium NB menyebabkan S. aureus

yang ditumbuhkan dalam medium NB tidak seluruhnya mendapatkan efek

dari minyak esensial kunyit.

Faktor lain yang diduga juga dapat menyebabkan hasil tersebut adalah

jumlah bakteri pada inokulum yang ditanamkan pada perlakuan konsentrasi

minyak esensial kunyit konsentrasi 1% lebih sedikit dari pada konsentrasi

2%, walaupun berasal dari medium suspensi kuman dengan volume yang

sama. Nychass et al. (1991) menyatakan bahwa pertumbuhan sel dan

produksi toksin S. aureus dipengaruhi beberapa faktor yakni, ukuran dari

inokulum, konsentrasi oksigen, temperatur, pH, konsentrasi sodium klorida,

aktivitas air (water activity/ aw), ion mineral, dan komposisi dari medium.

Volume inokulum yang sama yang ditanamkan pada masing-masing

konsentrasi perlakuan belum tentu mengandung jumlah sel yang sama.

Jumlah bakteri yang lebih sedikit pada inokulum konsentrasi 1% dapat

menyebabkan pertumbuhan S. aureus pada konsentrasi 1% lebih sedikit

dibandingkan konsentrasi 2% sehingga persentase penghambatan pada

konsentrasi 1% terkesan lebih besar dibandingkan konsentrasi 2%.

Kedua faktor tersebut diatas diduga disebabkan tidak adanya standar

jangka waktu pencampuran atau homogenitas ketika pencampuran medium

maupun ketika melakukan homegenisasi larutan suspensi kuman dengan

menggunakan vortex mixer yang menyebabkan terjadinya perbedaan

homogenitas pada setiap perlakuan. Hal ini menyebabkan penurunan efek

penghambatan pada konsentrasi 1% dan 2%.


36

Hal menarik lain dari hasil penelitian ini adalah terdapatnya

peningkatan rerata persentase penghambatan yang sangat mencolok pada

perlakuan konsentrasi 2% ke 4%. Penyebab hal tersebut adalah perbedaan

konsentrasi yang mencolok pada kedua perlakuan tersebut, yakni dengan

selisih dua persen. Selisih dua persen antara perlakuan 4% dengan 6% tidak

menyebabkan perbedaan rerata persentase penghambatan yang mencolok

dikarenakan pada konsentrasi 4% rerata persentase sudah mendekati 100%,

yakni 98, 13% .

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian efek antimikroba minyak esensial kunyit

terhadap pertumbuhan isolat S. aureus dari penderita impetigo disimpulkan:

1. Minyak esensial kunyit mempunyai efek antimikroba dalam menghambat

pertumbuhan isolat S. aureus dari penderita impetigo secara in vitro.

2. MIC minyak esensial kunyit terhadap S. aureus dari isolat penderita

impetigo sebesar 6%.


37

B. Saran

1. Penelitian lebih lanjut mengenai efektivitas minyak esensial kunyit

dibandingkan dengan obat standar.

2. Penelitian lebih lanjut untuk mengetahui dosis toksik dan dosis terapi

minyak esensial kunyit khususnya secara topikal dalam mengobati

impetigo.

3. Penelitian lebih lanjut untuk mengetahui dan mengisolasi senyawa terpene

tertentu yang mempunyai efek antimikroba.

DAFTAR PUSTAKA

Aggarwal, B. B, Bhatt, I.D., Ichikawa, H.,Ahn, K.S., Sethi, G., Sandur, S.K.,
Natarajan, C., Seeram, N., and Shishodia, S. 2006. Curcumin — Biological
and Medicinal Properties.( on-line).
http://www.indsaff.com/10%20Curcumin%20biological.pdf. Diakses 20
Juni 2008.

Amagai, M., Matsuyoshi, N., Wang, Z. H., Andl, C, and Stanley, J. R. 2000.
Toxin In Bullous Impetigo And Staphylococcal Scalded-Skin Syndrome
Targets Desmoglein 1.Nature Medicine. 6(11): 1275-77.

Andrews, Jennifer M. 2006. Determination of Minimum Inhibitory


Concentrations.(on-line). www. http://www.im.microbios.org. Diakses 22
Juni 2008.
38

Anonim. 2005. Staphylococcus aureus. (on-line).


www.textbookofbacteriology.net/staph.html. Diakses 20 Juni 2008.

Anonim. 2003. All About Curcuma Domestica . (on-line).


http://toiusd.multiply.com/journal/item/222/aLL_aBoUt_CuRCuMa_DoMe
STiCa_068114016. Diakses 5 Juni 2008.

Araújo, CAC, Leon, LL. 2001. Biological Activities of Curcuma longa L. Mem
Inst Oswaldo Cruz, Rio de Janeiro. 96(5): 723-28.

Bremer, P. J, Fletcher, G. C.,and Osborne, C. 2004. Staphylococcus


aureus.http://www.crop.cri.nz/home/research/marine/pathogens/staphylococ
cus.pdf. Diakses 20 Juni 2008.

Brooks, G.F, Butel, J. S, Ornston. N, Jawetz. E, Melnick. J.L, Adelberg. E.A.


Mikrobiologi Kedokteran. Terjemahan oleh Edi Nugroho, RF Maulany.
1996. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.

Chowdhury, J.U., Nandi, N.C., Bhuiyan, M.N.I., and Mobarok, M.H. 2008.
Essential Oil Constituents of The Rhizomes of Two Types of Curcuma
longa of Bangladesh. Bangladesh Journal Of Scientific And Industrial
Research. 43(2): 259-66.

Cole, Charles And Gazewood, John. 2007. Diagnosis and Treatment of Impetigo.
(on-line). http://www.aafp.org/afp/20070315/859.pdf. Diakses 22 Juni 2008.

Çıkrıkçı,S., Mozioglu, E., Yılmaz,H. 2008.Biological Activity of Curcuminoids


Isolated from Curcuma longa. AGC publication. 2(1): 19-24.

Dahlan, Sopiyudin. 2006. Statistika Untuk Kedokteran dan Kesehatan. Jakarta:


Arkans.

De Jager, Prashanti. 2003. Turmeric: The Ayurvedic Spice of Life. (on-line).


http://www.bioponic.com/pdfs/TurmericAyurveda.pdf. Diakses 5 Juni 2008.

Djuanda, A. 2002. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ketiga. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

Fournier, B. and Philpott, J.D. 2005. Recognition of Staphylococcus aureus by


the Innate Immune System. American Society for Microbiology. 18(3): 521-
40.

Gallucci N., Casero C., Oliva M., Zygadlo J. and Demo M. 2006. Interaction
Between Terpenes and Penicillin On Bacterial Strains Resistant To Beta-
Lactam Antibiotics. IDECEFYN. 10: 30-32.

George, A. and Rubin ,G. . 2003. A Systematic Review And Meta-Analysis Of


Treatments For Impetigo. British Journal of General Practice. 53: 480-87.
39

Goel, Shruti. 2008. Bioprotective Properties Of Turmeric An Investigation Of The


Antioxidant And Antimicrobial Activities. Journal of Young Investigators.
18: 20-23.

Hanakawa, Y., Schechter, N.M., Lin, C., Garza, L., Li, H.,
Yamaguchi, T., Fudaba, Y., Nishifuji, K., Sugai, M., Amagai,
M., and Stanley J. R. 2002. Molecular Mechanisms Of Blister
Formation In Bullous Impetigo And Staphylococcal Scalded Skin
Syndrome. The Journal of Clinical Investigation. 110(1): 53-60.

Koning, S., van Belkum, A., Snijders, S., van Leeuwen, W., Verbrug, H., Nouwen
J., Veld,M., van Suijlekom-Smit, L. W. A., van der Wouden, J. C., and
Verduin, C. 2003. Severity of Nonbullous Staphylococcus aureus Impetigo
in Children Is Associated with Strains Harboring Genetic Markers for
Exfoliative Toxin B, Panton-Valentine Leukocidin, and the Multidrug
Resistance Plasmid pSK41. Journal Of Clinical Microbiology. 41(7): 3017–
21.

Kluytmans ,Jan, Van Belkum, Alex, and Verbrugh, H. 1997. Nasal Carriage of
Staphylococcus aureus: Epidemiology,Underlying Mechanisms, and
Associated Risks. American Society for Microbiology.10 (3) : 505-20.

Kurnia, Irma H. 2006. Efektivitas Virgin Coconut Oil Dengan Pembanding


Amoxicilin Dalam Menghambat Pertumbuhan Isolat S. aureus Pada
Penderita Impetigo. Karya Tulis Ilmiah. Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan, Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto. 34 hal. (Tidak
dipublikasikan).

Leela, N.K., Tava, A., Shafi P.M., John, S.P. 2002. Chemical Composition Of
Essential Oils Of Turmeric (Curcuma longa L.). Acta Pharm. 52 : 137–41.

Lewis, Lisa S.2007. Impetigo. (on-line). www.emedicine.com. Diakses 30 Juni


2008.

Liang, G., Yang, S., Jiang, L., Zhao, Y., Shao,L., Xiao, J., Ye, F., Li, Y., and Li,
X. 2007. Synthesis and Anti-bacterial Properties of Mono-carbonyl
Analogues of Curcumin. Chem. Pharm. Bull. 56 (2): 569-78.

McSweeney-Ryan, Sarah and Sandel, Megan . 2003. Impetigo. (On-line).


http://www.cha.state.md.us/edcp/pdf_factsheets/Impetigo.pdf. Diakses 20
Juni 2008.

Natta, L., Orapin, K., Krittika, N. and Pantip, B. 2008. Essential Oil
From Five Zingiberaceae For Anti Food-Borne Bacteria. International Food
Research Journal. 15:1-10.

Park, B-S., Kim, J-G., Kim, M-R., Lee, S-E., Takeoka, G.R., Oh, K-B., Kim, J-H.
2005. Curcuma longa L. Constituents Inhibit Sortase A and Staphylococcus
40

aureus Cell Adhesion to Fibronectin. Journal of Agricultural and Food


Chemistry. 53: 9005-09.

Sikkema, J., De Bont, J. A. M., and Poolman, B. 1995. Mechanisms of Membrane


Toxicity of Hydrocarbons. Microbiological Reviews. 21: 201-222.

Singh, R., Chandra, R., Bose, M., and Luthra, P. M. 2002. Antibacterial Activity
Of Curcuma Longa Rhizome Extract On Pathogenic Bacteria. Current
Science. 83(6) : 737-40.

Soemarno.1999. Isolasi dan Identifikasi Bakteri Klinik. Akademi Analisis


Kesehatan Yogyakarta Departemen Kesehatan Republik Indonesia,
Yogyakarta.

Stanley, J.R and Amagai, M. 2006. Pemphigus, Bullous Impetigo, and the
Staphylococcal Scalded-Skin Syndrome. The New England Journal of
Medicine. 355: 1800-10.

Trombetta, D., Castelli, F., Sarpietro, M, G,, Venut,V., Cristani, M., Daniele, C.,
Saija, A., Mazzanti, G., and Bisignano, G. 2005 . Mechanisms of
Antibacterial Action of Three Monoterpenes. Antimicrobial Agents And
Chemotherapy. 49: 2474-78.

Ultee, A., Kets, E. P. W., and Smid, E. J. 1999. Mechanisms of Action of


Carvacrol on the Food-Borne Pathogen Bacillus cereus. American Society
for Microbiology. 65 (10): 4606–10.

Ungphaiboon, S., Supavita, T., Singchangchai, P., Sungkarak, S., Rattanasuwan,


P., and Itharat, A. 2005. Study On Antioxidant And Antimicrobial Activities
Of Turmeric Clear Liquid Soap For Wound Treatment Of HIV Patients.
Songklanakarin J. Sci. Technol. 27(Suppl. 2) : 569-78.

Vaddi, H. K., Chi-Lui Ho, P., Chan,Y. W., and Chan, S. Y., 2003. Oxide Terpenes
as Human Skin Penetration Enhancers of Haloperidol from Ethanol and
Propylene Glycol and Their Modes of Action on Stratum Corneum. Biol.
Pharm. Bull. 26(2): 220—228.

World Health Organization. 2002. WHO Traditional Medicine Strategy 2002–


2005. (on-line). http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs134/en/.
Diakses 5 Juni 2008.

You might also like