You are on page 1of 9

Jurnal Jurusan Keperawatan, Volume ...., Nomor.....

Tahun 2016, Halaman 1-8


Online di: http://ejournal-s1.undip.ac.id/

Pendahuluan
Komunikasi terapeutik merupakan suatu proses komunikasi yang
direncanakan dan dilakukan untuk membantu penyembuhan dan pemulihan
pasien (Damaiyanti, 2008). Komunikasi terapeutik diharapkan dapat mengurangi
keraguan serta membantu dilakukannya tindakan yang efektif, mempererat
interaksi kedua pihak, yakni antara pasien dan perawat secara profesional dan
proporsional dalam rangka membantu penyelesaian masalah pasien
(Machfoedz, 2009). Penelitian terkait komunikasi terapeutik perawat pada pasien
dengan gangguan kejiwaan pernah dilakukan menunjukkan bahwa aktivitas
komunikasi terapeutik Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Soerojo Magelang ini
dirasakan oleh pasien dan keluarganya membawa dampak positif bagi mereka
khususnya dalam meningkatkan kesembuhan pasien yang sedang menjalani
rawat inap (Faturochman, 2014). Komunikasi juga akan memberikan dampak
terapeutik bila dalam penggunaanya diperhatikan sikap dan teknik komunikasi
terapeutik . oleh karena itu, komunikasi terapeutik sangat penting untuk
dilakukan oleh perawat pada pasien, terutama pasien gangguan jiwa (Pratiwi,
2015). Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan gambaran komunikasi terapeutik
perawat kepada pasien dengan gangguan kejiwaan di ruang 1 di salah satu
rumah sakit jiwa di Jawa Tengah.

Metode
Penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Populasi dalam penelitian ini adalah
pasien dengan gangguan jiwa yang di rawat di ruang 1 di salah satu rumah sakit
jiwa di Jawa Tengah. Sampel dipilih dengan kriteria dan cara tertentu
berdasarkan karakteristik yang sama. Pengumpulan data dilakukan dengan cara
wawancara dengan 3 orang partisipan. Data yang terkumpul kemudian diolah
dan dianalisis dengan menuliskan transkrip hasil wawancara terlebih dahulu
Hasil Penelitian
1. Komunikasi interpersonal perawat dengan Pasien
a. Dua dari tiga partisipan mengatakan bahwa perawat harus menjalin
keakraban dengan pasien.
Harus akrab biar bisa merawat pasien. Mau diajak bicara, mau diajak jalan-jalan.
Perawat disini udah begitu mbak (P1)
Pada dasarnya saya ndak tau ya. Tapi menurut saya enggak sih. Kalau menurut
saya hanya sebatas pasien sama dokter, Cuma menjalankan pekerjaannya aja. (P2)
Disatu sisi bisa di dua sisi juga tidak bisa. Nek perawat kan kudu harus akrab mbe
pasien. (P3)
b. Partisipan dapat menggambarkan cara komunikasi perawat

Sering bilang harus ngikut sama perawat tapi caranya halus (P1)
Ndak masalah sih. Biasa sih. Biasa aja. Ya pakai bahasa Indonesia. Kalau
pasiennya nakal itu ya nada perawatnya lebih keras. (P3)
Jane yo langsung dikeki. Ki ki nyoh nyoh iki. Yo biasa yo ramah, yo enggak terlalu
galak, biasane sing rodo sepuh-sepuh kui galak. Nek liyane yo lumrah (P3)

2.

Fase-fase komunikasi terapeutik


a. Fase Pra Interaksi
Dua partisipan mengatakan bahwa perawat tidak melakukan kontrak waktu
ke pasien sebelum TAK.

"Iya kontrak waktu dulu. Kadang ya nggak. Tapi sering dikasih tahu kok." (P1)
" Langsung, pas hari itu, tidak kontrak waktu." (P2)
" Tidak kok, tidak kontrak waktu. (P3)
b.

Fase Orientasi
Dua dari tiga partisipan menyatakan bahwa perawat tidak memperkenalkan
diri sebelum tindakan ke pasien, perawat tidak mengucapkan salam
sebelum tindakan ke pasien, perawat tidak menyampaikan tujuan
pemberian tindakan kepada pasien, perawat tidak menanyakan ketersediaan
pasien sebelum tindakan, perawat tidak menanyakan kabar pasien sebelum
pemberian tindakan, dan mayoritas perawat tidak ramah terhadap pasien.

"Iya perkenalan terlebih dahulu, pas awal juga kenalan. Perawatnya sebelum ngasih
tindakan ya ada yang salam, ada yang tidak mengucap salam. Kalau pas TAK pasti
ngasih salam. Kadang kadang ya perawatnya menyampaikan tujuan ngasih
tindakan itu. Kadang ya ditanyain ketersediaan dan kabarnya juga. Perawat di sini
ramah ramah mbak. (P1)
Tidak memperkenalkan diri, biasanya ya tau nama perawatnya dari temen temen.
Sebelum tindakan perawatnya enggak ngucapin salam, enggak nyampein tujuan,
enggak nanyain ketersediaan pasien juga, enggak pernah nanyain kabar juga.
Senyum salam sapa (3S) tidak diterapkan perawat. (P2)
Perawatnya tidak memperkenalkan diri kok, haruse ngenalke diri kan apik mbak.
Perawatnya ya tidak pernah mengucapkan salam, tidak pernah nyampein tujuan,
tidak pernah menanyakan ketersediaan pasien, dan tidak pernah menanyakan kabar
pasien sebelum melakukan tindakan. Perawate yo sebagian ramah, sebagian enggak,
tapi akeh enggaknya. Koyok biasane ngono, ketemu temen enggak senyum. (P3)
c.

Fase Kerja
Tiga partisipan menyatakan bahwa perawat tidak mengajarkan cara
beirnteraksi pasien dengan pasien lain atau orang lain. Dua partisipan
mengungkapkan bahwa perawat jarang berinteraksi dengan pasien.
Tidak mengajarkan cara berinterkasi dengan pasien lain atau orang lain mbak,
kami belajar sendiri. Perawatnya berinteraksi pagi siang sore mbak. (P1)
Tidak diajarkan cara berinterkasi dengan pasien lain atau orang lain sih,
pasiennya yang aktif sendiri. Saat pasien keluar kamar aja paling perawatnya
berinteraksi. (P2)
Tidak mengajarkan cara berinterkasi dengan pasien lain atau orang lain mbak.
Sepertinya perawatnya jarang interaksi deh mbak. (P3)

d.

3.

Fase Terminasi
Satu dari tiga partisipan menyatakan bahwa perawat tidak
menanyakan perasaan pasien setelah tindakan. Satu partisipan menyatakan
bahwa kadang ada kadang juga tidak ada perawat yang menanyakan
perasaan pasien setelah tindakan.
Dua dari tiga partisipan menyatakan bahwa jarang ada perawat yang
meminta pasien untuk mengulangi apa yang sudah di diskusikan oleh
perawat. Dua dari tiga partisipan mengatakan bahwa perawat memberi
pujian kepada pasien setelah melakukan tindakan. Dua dari tiga partisipan
menyatakan bahwa perawat tidak melakukan kontrak waktu kembali
setelah tindakan selesai dan satu partisipan menyatakan bahwa perawat
jarang melakukan kontrak waktu kembali setelah tindakan selesai.

Iya mbak, perawatnya menanyakan perasaan pasien, gimana perasaannya. Tapi


perawat jarang meminta pasien mengulangi apa yang didiskusikan dengan perawat.
Perawatnya memberikan pujian juga mbak. . Kalau TAK pakai tepuk tangan itu.
Kalau yang lain ya dipuji pakai kata-kata gitu. Perawatnya jarang kontrak waktu
lagi mbak. Tapi walaupun gitu ya kita ngikut ngikut aja. (P1)
Ada perawat yang menanyakan perasaan pasien, ada juga yang tidak menanyakan
perasaan pasien setelah tindakan. Saya juga belum pernah diminta untuk
mengulangi apa yang sudah didiskusikan dengan perawatnya. Perawatnya pernah
memberi pujian kepada pasien setelah melakukan tindakan. Tapi perawatnya tidak
kontrak waktu lagi setelah selesai tindakan. (P2)
Perawatnya tidak menanyakan perasaan pasien setelah tindakan mbak. Perawatnya
ya jarang memintas pasien untuk mengulangi apa yang sudah didiskusikan dengan
Teknikperawat.
Komunikasi
Perawatnya tidak memberikan pujian kepada pasien setelah melakukan
a. Dua
dari tiga
partisipan
mengatakan
bahwa
pasien
nyamanselesai
dan terbuka
tindakan.
Perawatnya
juga
tidak kontrak
waktu
lagi setelah
tindakan. (P3)
bercerita dengan perawat
Rata-rata nyaman sih mbak
Ada yang terbuka, ada yang enggak. Orang kan beda-beda (P1)
Hmmm nyamannya seperti apa ya? Kalau akau sih gag pernah. Paling ceritanya
sesama pasien.
Ndak tau.. hahaa saya ndak bisa berpendapat. Wajar sih gak gimana gimana.
Sesuai kebutuhan aja. (P2)
Nyaman.. yo cerito
Yo orak sekabehe si mba. Tapi yo cerito (P3)
b.

Komunikasi perawat terhadap pasien (terkait nada bicara perawat)


Ya gitu. Tiap hari ngobrol. Udah kayak kakak adik
Ya kadang pkai nada tinggi klau ada pasien yang ngeyel nggak mau diatur (P1)
Gak gimana gimana. Normalnya ya pasti pernah marah, pernah tinggi juga pas
pasien baru, pasien nakal yang waktunya mandi ndak mandi, mungkin kayak gitu.
(P2)
Yo attitude.e apik. Iso njaga attitude
Ya nadane sedengan kayaknya (P3)

c.

Dua dari tiga partisipan mengatakan bahwa perawat tidak pernah mengajak
bercerita dan bersendau gurau dengan pasien
Iya kalau perawatnya nggak ada kerjaan biasanya ngajak cerita pasien mbak
Kadang-kadang ngajak bercanda gitu mbak (P1)
Ada yang ngajak cerita, tapi jarang jarang.
Enggak. Enggak pernah bercanda . Enggak tau kalau sama yang lain. (P2)
Enggak, enggak pernah (tidak pernah mengajak bercerita dengan pasien)
Enggak pernah (tidak pernah mengajak bersendau gurau) (P3)

4.

Sikap perawat dalam melakukan Komunikasi Terapeutik


Dua dari tiga partisipan mengatakan bahwa perawat jarang menerapkan
senyum, sapa dan salam kepada pasien
Biasanya aja sih mbak. ramah kok (P1)
Ndak tau. Biasa aja sih, ndak ada yang nglakuin 3S. (P2)
Yo ngono lah mba. Jarang senyum. Tapi yo biasa (P3)

5.

Pentingnya Komunikasi Terapeutik Perawat pada Pasien


a. Dua dari tiga partisipan mengatakan bahwa perawat bersikap ramah dan
berkomunikasi yang baik dengan pasien merupakan hal yang penting
Penting sekali, kan yag merawat aku sama temen-temen jadi cepet sembuh
Sangat penting mbak, biar pasiennya cepet sembuh (P1)
Ndak terlalu penting sih. (P2)
Yo penting to mba. Ben iso seneng karo perawat
Penting banget mba. Ben orak wedi kan yo enak nek ngomong dirungoke (P3)
b.

Hal yang membuat pasien nyaman dengan perawat


Yaa merawat sama mendidik biar bersikap baik. diajarin bertutur kata yang halus
(P1)
Apa ya. Nyaman nyaman aja sih. (P2)
karna diajak ngobrol bareng, disapa yake mba (P3)

c.

Ketiga partisipan mengatakan bahwa komunikasi perawat mempengaruhi


kesembuhan pasien

Ya berpengaruh, nggak mau kalau perawatnya nggak baik. perawat harus


baik biar pasiennya nurut (P1)
Iya berpengaruh sepertinya. (P2)
Iyo ngaruhlah mba. Lha kan nek enak yo dadi seneng mba pasiene, orak
wedi ngono (P3)

PEMBAHASAN
Komunikasi terapeutik merupakan suatu proses komunikasi yang direncanakan dan
dilakukan untuk membantu penyembuhan dan pemulihan pasien (Damaiyanti, 2008).
Pelaksanaan komunikasi terapeutik bertujuan membantu pasien memperjelas penyakit
yang dialami, juga mengurangi beban pikiran dan perasaan untuk dasar tindakan guna
mengubah ke dalam situasi yang lebih baik (Machmud, 2009).
Fase dalam komunikasi terapeutik (berinteraksi) perawat mempunyai 4 tahap yang
pada setiap tahapnya mempunyai tugas yang harus diselesaikan oleh perawat dalam
membantu mengembalikan kesadaran jiwa pasiennya (Stuart dan Sundeen, 2003).
Keempat fase tersebut meliputi fase pra interaksi, fase orientasi, fase kerja dan fase
terminasi.
Prainteraksi merupakan masa persiapan sebelum berhubungan dan berkomunikasi
dengan klien. Perawat mengumpulkan data tentang pasien, mengeksplorasi perasaan,
fantasi dan ketakutan diri, menganalisa kekuatan dan kelemahan profesional diri dan
membuat rencana pertemuan dengan pasien (Faturochman, 2014 ; Stuart dan Sundeen,
2003).
Ketika pasien diberikan pertanyaan terkait dengan keakraban seorang perawat
dengan pasien, 2 dari 3 pasien mengatakan bahwa perawat harus menjalin keakraban
dengan pasien. Sedangkan 1 pasien menganggap hal tersebut tidak perlu dilakukan.
Keakraban seorang perawat dengan pasien dapat diciptakan melalui komunikasi yang
dilakukan perawat saat melakukan tindakan kepada pasien. Komunikasi tersebut biasa
dikenal dengan komunikasi interpersonal atau komunikasi terpeutik, yaitu suatu proses
komunikasi yang direncanakan dan dilakukan untuk membantu penyembuhan dan
pemulihan pasien (Damaiyanti, 2008). Komunikasi terapeutik diharapkan dapat
mengurangi keraguan serta membantu dilakukannya tindakan yang efektif, mempererat
interaksi kedua pihak, yakni antara pasien dan perawat secara profesional dan
proporsional dalam rangka membantu penyelesaian masalah pasien (Machmud, 2009).
Dari teori tersebut dapat disimpulkan bahwa keakraban antara perawat dan pasien melalui
komunikasi interpersonal atau komunikasi terapeutik sangatlah dibutuhkan dalam
perawatan pasien.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Fidya Faturochman pada tahun 2014
mengenai komunikasi terapeutik perawat pada pasien gangguan kejiwaan dengan metode
wawancara menunjukkan hasil bahwa

Fase atau tahap sebelum bertemu dengan pasien. Kita adakan janjian dengan pasien jam
berapa, tempatnya dimana? Agar komunikasinya terarah kita membuka diri sehingga
tumbuh rasa saling percaya, ungkap Tri Sutianti selaku partisipan penelitian dan ketua
perawat perempuan bangsal Subadra di Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Soerojo Magelang.
Penelitian Fidya tersebut berbeda dengan hasil penelitian yang peneliti lakukan.
Berdasarkan wawancara didapatkan hasil bahwa 2 partisipan mengatakan perawat tidak
melakukan kontrak waktu sebelum melakukan intervensi keperawatan.

Tugas perawat pada tahap pra oritentasi antara lain mengeksplorasi perasaan,
harapan, dan kecemasan, menganalisis kekuatan dan kelemahan sendiri, mengumpulkan
data tentang klien, merencanakan pertemuan yang pertama dengan klien. Pada dasarnya
hubungan perawat dan pasien bersifat professional yang diarahkan pada pencapaian
tujuan (Stuart dan Sundeen, 2003).
Fase orientasi atau perkenalan merupakan fase yang dilakukan perawat pada saat
pertama kali bertemu atau kontak dengan pasien. Tahap perkenalan dilaksanakan setiap
kali pertemuan dengan pasien dilakukan (Faturochman, 2014 ; Stuart dan Sundeen,
2003).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Fidya Faturochman pada tahun 2014 berbeda
dengan hasil penelitian ini. Hasil penelitian ini menunjukkan hasil bahwa dua dari tiga
partisipan menyatakan bahwa perawat tidak memperkenalkan diri sebelum tindakan ke
pasien, perawat tidak mengucapkan salam sebelum tindakan ke pasien, perawat tidak
menyampaikan tujuan pemberian tindakan kepada pasien, perawat tidak menanyakan
ketersediaan pasien sebelum tindakan, perawat tidak menanyakan kabar pasien sebelum
pemberian tindakan, dan mayoritas perawat tidak ramah terhadap pasien.
Tahap orientasi ini perawat dan pasien pertama kali bertemu. Kunci utama dalam
membina hubungan perawat dengan pasien yang harus dilakukan perawat adalah
terbinanya hubungan saling percaya, adanya komunikasi yang terbuka, memahami
penerimaan dan merumuskan kontrak. Sikap ramah dan sopan diperlukan untuk
menunjukkan biar pasien merasa bahwa yang merawat adalah orang yang tepat (tidak
meragukan). Dengan memperkenalkan dirinya berarti perawat telah bersikap terbuka
pada klien dan ini diharapkan akan mendorong klien untuk membuka dirinya. Tujuan
tahap ini adalah untuk memvalidasi keakuratan data dan rencana yang telah dibuat
dengan keadaan klien saat ini, serta mengevaluasi hasil tindakan yang lalu (Faturochman,
2014 ; Stuart dan Sundeen, 2003).
Fase kerja merupakan inti hubungan perawatan klien yang terkait erat dengan
pelaksanaan rencana tindakan keperawatan yang akan dilaksanakan sesuai dengan tujuan
yang akan dicapai.
Dua partisipan mengungkapkan bahwa perawat jarang berinteraksi dengan pasien.
Fase terminasi merupakan akhir dari pertemuan perawat dan pasien. Tahap
terminasi dibagi dua yaitu terminasi sementara dan terminasi akhir. Terminasi sementara
adalah akhir dari tiap pertemuan perawat dan pasien, setelah hal ini dilakukan perawat
dan pasien masih akan bertemu kembali pada waktu yang berbeda sesuai dengan
perjanjian waktu yang telah disepakati bersama (Faturochman, 2014 ; Stuart dan
Sundeen, 2003).
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa satu dari tiga partisipan menyatakan
bahwa perawat tidak menanyakan perasaan pasien setelah tindakan. Satu partisipan
menyatakan bahwa kadang ada kadang juga tidak ada perawat yang menanyakan
perasaan pasien setelah tindakan. Hasil penelitian ini bertentangan dengan hasil penelitian
yang dilakukan oleh Fidya Faturochman pada tahun 2014. Hasil penelitian yang
dilakukan oleh Fidya Faturochman pada tahun 2014 yang diungkapkan oleh Mugi
Rahayu menunjukkan hasil bahwa pada fase kerja khususnya pasien dengan jiwa, kita
ajari cara berinteraksi kepada pasien, berinteraksi dengan orang lain, dan juga kita
dukung aktivitasnya.
Perawat berperan penting dalam memberikan perhatian kepada pasien dalam segala
hal yang mencakup kesehatan pasien. Obat fungsinya mengobati penyakit pasien,
sedangkan perawat fungsinya memberikan semangat, dorongan untuk cepat sembuh,
mengajak pasien bercerita dan bersenda gurau untuk menghibur dan meringankan beban
(penyakit) yang diderita oleh pasien (Faturrochman, 2014). Berdasarkan penelitian yang

dilakukan, 2 dari 3 pasien mengatakan bahwa dirinya nyaman berkomunikasi dengan


perawat ruangan. Meskipun hanya 1 dari 3 pasien yang mengatakan bahwa perawat
mengajak bercerita dan bersendau gurau untuk menghibur pasien.
Perawat melakukan komunikasi dapat dilakukan menggunakan sikap terbuka dan
siap menerima pasien. Selain komunikasi verbal, seperti cara berkomunikasi, cara non
verbal perawat juga perlu untuk digunakan seperti gerakan tubuh termasuk gerakan
tangan, kaki, kepala, ekspresi wajah (tersenyum dan ramah) kepada pasien. seperti yang
disampaikan oleh partisipan bahwa sikap senyum dan ramah masih perlu lebih sering
untuk diterapkan agar pasien merasa lebih nyaman berkomunikasi dengan perawat
(Faturochman, 2014). Melalui tersenyum, gerak tubuh yang ramah, dapat mengurangi
tekanan dibalik kata kasar (Robbins dan Judge, 2008). Pada penelitian ini Tiga partisipan
menyampaikan jawaban berbeda saat berpendapat mengenai sikap perawat. Dua
partisipan menyampaikan pendapat bahwa komunikasi perawat biasa saja. Satu diantara
partisipan tersebut mengatakan bahwa perawat memiliki sikap ramah, lainnya
mengatakan bahwa masih tampak jarang tersenyum. Sedangkan satu partisipan lainnya
menjabarkan mengenai penerapan 3S yang masih kurang dikalangan perawat.
Saat pasien dapat merasa nyaman dengan perawat maka dapat membantu pasien
mengatasi stress yang dapat ditimbulkan karena beradaptasi dilingkungan baru
(Faturochman, 2014). Klien sering menunjukkan kebutuhan berhubungan lebih akrab
yakni terpeutik dengan perawat (Yani, 2008). Komunikasi terapeutik dapat mengatasi
hambatan psikologis yang menghalangi realisasi (Faturochman, 2014) seperti yang juga
diungkapkan oleh ketiga partisipan bahwa komunikasi yang baik dapat berpengaruh
kepada kesembuhannya. Melalui penurunan tingkat stress maka beban pikiran partisipan
tidak bertambah. Seperti yang diungkapkan Loise K dan Brenti dalam Supartini (2004)
bahwa komunikasi terapeutik sebagai segala bentuk komunikasi yang ditujukan untuk
meningkatkan kesejahteraan pasien dan menghilangkan distress psikologis. Selain
berkata baik, partisipan berharap dengan cara berkomunikasi tidak membentak atau
berkata dengan ramah dan tersenyum.
Kesimpulan dan Saran
Kesimpulan
1.
2.

Komunikasi interpersonal perawat dengan pasien dapat diperlihatkan melalui


keakraban antara perawat dan pasien. Dua dari tiga responden menyampaikan bahwa
perawat menjalin keakraban dengan pasien.
Fase-fase komunikasi terapeutik diklasifikasikan menjadi empat tahapan, yaitu fase
pra interaksi, fase orientasi, fase kerja dan fase terminasi. Pada fase pra interaksi
disampaikan bahwa perawat tidak melakukan kontrak waktu terlebih dahulu sebelum
melakukan tindakan. Biasanya perawat langsung melakukan kegiatan tanpa
memberitahukan rencana kegiatannya kepada pasien. Pada fase orientasi
disampaikan bahwa perawat tidak memperkenalkan diri sebelum tindakan ke pasien,
perawat tidak mengucapkan salam sebelum tindakan ke pasien, perawat tidak
menyampaikan tujuan pemberian tindakan kepada pasien, perawat tidak menanyakan
ketersediaan pasien sebelum tindakan, perawat tidak menanyakan kabar pasien
sebelum pemberian tindakan. Pada fase kerja disampaikan bahwa perawat tidak
mengajarkan cara berinteraksi pasien dengan pasien lain atau orang lain serta
perawat jarang berinteraksi dengan pasien, perawat berinteraksi seperlunya saja.
Sedangkan pada fase terminasi disampaikan bahwa perlu ditingkatkannya

kemampuan perawat dalam melakukan evaluasi kepada pasien setelah


dilaksanakannya suatu tindakan atau kegiatan.
3. Terkait tentang teknik komunikasi perawat disampaikan bahwa komunikasi yang
digunakan membuat pasien nyaman ketika menjalankan perawatan.
4. Sikap perawat dalam melakukan komunikasi terapeutik disampaikan bahwa sikap
senyum dan ramah masih perlu lebih sering untuk diterapkan agar pasien merasa
lebih nyaman berkomunikasi dengan perawat.
5. Pentingnya komunikasi terapeutik perawat pada pasien disampaikan bahwa perawat
penting melakukan komunikasi dan bersikap ramah. Pasien akan merasa nyaman
apabila perawat yang mendidik, bersikap baik, dan bertutur kata yang baik serta
halus.
Saran
1. Bagi Rumah Sakit Jiwa
Perlu ditingkatkannya kemampuan perawat dalam menerapkan komunikasi
terapeutik kepada pasien dengan gangguan kejiwaan.
2. Bagi pendidikan keperawatan dan perkembangan ilmu keperawatan
Penelitian ini dapat dijadikan sumber informasi dan masukan bagi instansi
pendidikan tentang komunikasi terapeutik perawat pada pasien dengan gangguan
kejiwaan dengan cara publikasi artikel penelitian.
3. Bagi peneliti selanjutkan
Hasil penelitian dapat digunakan sebagai rujukan peneliti selanjutnya dalam
penelitian yang terkait dengan komunikasi terapeutik perawat.
Ucapan Terimakasih
Terima kasih peneliti sampaikan kepada dosen pembimbing, pembimbing klinik
ruang Arimbi, seluruh pembimbing mahasiswa di RSJD Dr. Amino Gondohutomo ,
partisipan, pasien rawat inap ruang 1, Arimbi, RSJD Dr. Amino Gondohutomo. seluruh
kelompok 1 Profesi Ners Angkatan 26 Jurusan Keperawatan Fakultas Kedokteran
Universitas Diponegoro yang membantu dalam proses penyusunan Karya Tulis Ilmiah
ini.
Daftar Pustaka
Arikunto, S. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. 6th ed. Jakarta: Rieneka
Cipta.
Cangara, Hafied. 2004. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Damaiyanti, Mukhripah. 2008. Komunikasi Terapeutik. Bandung: Refika Aditama.
Djamaludin. 2001. Human Communication: Konteks-konteks Komunikasi. Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya.
Indrawati. 2003. Komunikasi Untuk Perawat. Jakarta: EGC.
Machfoedz, Machmud. 2009. Komunikasi Keperawatan (Komunikasi Terapeutik). Yogjakarta:
Ganbika.
Maulana, Heri. 2009. Promosi Kesehatan. Jakarta : EGC.
Mulyana. 2000. Komunikasi dalam Keperawatan. Jakarta: EGC.
Mundakir. 2006. Komunikasi Keperawatan Aplikasi dalam Pelayanan. Yogyakarta : Graha
Ilmu.
Priyono S. Analisis Data Kesehatan. Depok: Universitas Indonesia; 2007.
Sastroasmoro S. Dasar-dasar Metodologi Penelitian Klinis. Jakarta: Sagung Seto; 2010.
Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: CV. Alfabeta; 2013.
Uripni, Christina Lia. 2002. Komunikasi Kebidanan. Jakarta: EGC.
Yosep, Iyus. 2007. Keperawatan Jiwa. cetakan pertama. Bandung: PT Refika Aditama.

Yosep, Iyus. 2009. Keperawatan Jiwa. cetakan kedua (edisi revisi). Bandung: PT Refika
Aditama.

You might also like