You are on page 1of 19

PENGOLAHAN SAMPAH ORGANIK DENGAN SISTEM

VERMICOMPOSTING
Makalah Ilmiah
Tugas Mata Kuliah Bioteknik Hewan

Disusun oleh :
MUHAMMAD ILYAS
G352070181

MAYOR BIOSAINS HEWAN


SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2008

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Masalah sampah dapat diatasi dengan cara mengolahnya menjadi bahan
yang sangat berguna. Pengolahan sampah dapat dilakukan dengan cara mendaur
ulang sampah tersebut sehingga menjadi bahan-bahan yang dapat digunakan lagi..
Pengolahan sampah juga dapat dilakukan dengan cara pengomposan yang dapat
menghasilkan zat hara atau kompos yang sangat berguna bagi kesuburan tanah
serta pertumbuhan dan perkembangan tanaman.
Saat ini, cara pengolahan sampah yang kerap dikembangkan adalah
pengomposan dengan bantuan cacing tanah atau yang lebih dikenal dengan istilah
vermicomposting, karena cara tersebut telah terbukti lebih baik kualitas dan
kuantitasnya daripada pengomposan konvensional. Sejumlah limbah industri telah
diolah secara vermicomposting dan menghasilkan pupuk yang kaya nutrisi
(Sundaravadivel 1995). Selain itu, vermicomposting juga merupakan system
bioteknologi dengan biaya rendah untuk mendegradasi sampah organik (Hand et
al. (1988). Makalah ini ditulis untuk mengetahui cara pengolahan sampah yang
baik dengan system vermicomposting.

A. Sampah organik dan cara pengolahannya


Secara umum, jenis sampah dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu
sampah organik (sampah basah) dan sampah anorganik (sampah kering). Sampah
basah adalah sampah yang berasal dari makhluk hidup, seperti dedaunan, ranting
pohon, kayu, bangkai hewan dan sampah dapur. Sampah jenis ini dapat
terdegradasi secara konvensional. Sebaliknya dengan sampah kering, seperti
kertas, plastik, kaleng, besi, dan kaca tidak dapat terdegradasi secara konvensional.
Sampah atau limbah padat dapat digolongkan menjadi dua kategori, yaitu
garbage dan rubbish (Davis dan Cornwell 1989). Garbage diartikan sebagai
limbah hewan dan tumbuhan yang berasal dari pemeliharaan dan budidaya,
penyiapan dan penjualan makanan. Limbah tersebut mengandung lebih banyak
bahan organik yang mudah membusuk, lembab dan mengandung sedikit cairan.
Garbage terdekomposisi dengan cepat terutama sekali dalam cuaca hangat dan
mengeluarkan bau busuk. Rubbish mengandung aneka ragam limbah padat yang
mudah dibakar atau tidak mudah dibakar, yang berasal dari rumah, pusat
perbelanjaan dan kantor tetapi yang tidak termasuk garbage. Bahan yang mudah
terbakar termasuk kertas, kain, karton, kotak, kayu, papan, ranting pohon dan lain
sebagainya. Bahan yang tidak mudah terbakar dalam mesin pembakaran yaitu
kaleng, logam berat, gelas, balok kayu dan lain sebagainya. Sampah-sampah
tersebut dapat diolah dengan cara pengomposan untuk menghasilkan unsur hara
bagi tanah dan pupuk organik bagi tanaman.
Pengomposan adalah proses pembusukan secara konvensional atau
dekomposisi bahan organik oleh beberapa mikroorganisme pada kondisi yang

terkendali (Misra et al. 2003). Menurut Nunes (1997), proses dekomposisi dibagi
dalam dua bentuk; Anaeorobik dan Aerobik. Anaerobik adalah proses
dekomposisi yang terjadi tanpa oksigen di dalam wadah yang tertutup rapat.
Aerobik adalah proses dekomposisi yang terjadi dengan bantuan mikroorganisme
yang tumbuh subur dengan oksigen. Sebagai hasil akhir dari proses dekomposisi
adalah unsur-unsur hara yang sangat bermanfaat untuk pertumbuhan dan
perkembangan suatu tanaman dan dapat menyuburkan tanah, dikenal dengan
istilah kompos.
Kompos merupakan partikel tanah yang bermuatan negatif sehingga dapat
dikoagulasikan oleh kation-kation dan partikel tanah untuk membentuk granulagranula tanah. Dengan demikian, penambahan kompos dapat memperbaiki
struktur, tekstur dan lapisan tanah sehingga akan memperbaiki pula aerasi,
absorbsi panas, kemampuan daya serap tanah terhadap air serta berguna untuk
mengendalikan erosi tanah (Gaur 1983).

B. Prinsip dasar vermicomposting


Vermicomposting adalah proses pengomposan secara bioteknologi
sederhana yang menggunakan beberapa spesies cacing tanah untuk meningkatkan
proses perombakan limbah dan menghasilkan hasil akhir yang lebih baik (Gandhi
et al. 1997). Hand et al. (1988) mendefinisikan vermicomposting sebagai sistem
teknologi pengomposan dengan biaya yang kecil untuk memproses atau
mendegradasi sampah organik. Hasil akhir vermicomposting adalah vermicast
atau vermikompos. Menurut Edwards (1998) dan Atiyeh et al. (2000)

vermikompos merupakan hasil degradasi bahan organik melalui interaksi antara


cacing tanah dan mikroorganisme tanah. Vermicomposting

berbeda dari

pengomposan konvensional dalam beberapa hal (Gandhi et al. 1997).


Vermicomposting merupakan proses mesofilik, dengan memanfaatkan beberapa
mikroorganisme dan cacing tanah yang aktif pada suhu 10-32oC. Proses ini lebih
cepat dari pada pengomposan konvensional, karena bahan-bahan organik
melewati sistem pencernaan cacing tanah. Vermicomposting mengubah sampah
rumah tangga menjadi kompos (vermikompos) dalam 30 hari, menurunkan rasio
C:N dan menahan N lebih banyak dari pada cara pengolahan kompos tradisional
(Gandhi et al. 1997).
Vermicomposting dan pengomposan konvensional memiliki cara dan hasil
yang berbeda. Hasil penelitian Dominguez et al. (1997) menunjukkan bahwa pada
proses vermicomposting sampah organik dapat didekomposisi dengan cepat oleh
cacing tanah, menghasilkan bahan non toksik yang stabil dengan struktur bagus
yang memiliki nilai ekonomi yang tinggi terhadap kondisi tanah untuk
pertumbuhan tanaman. Subler et al. (1998) membandingkan analisa kimia dan
nutrisi antara kompos konvensional dan vermikompos, hasilnya adalah bahwa
vermikompos cenderung memiliki nilai pH lebih rendah (6,80) daripada kompos
konvensional (7,80), konsentrasi nutrisi lebih tinggi, terutama nitrogen (1,94%)
dibandingkan dengan kompos konvensional (0,80%).

C. Kebutuhan cacing tanah


Cacing tanah merupakan hewan bersegmen tanpa tulang belakang yang
berukuran panjang, tipis, berbentuk silindris, tubuhnya simetri bilateral. Tubuhnya
berwarna cokelat gelap, berkilauan dan dilapisi oleh kutikula halus. Cacing tanah
merupakan hewan biseksual (hermaprodit) dan fertilisasi silang terjadi sesuai
aturan. Kopulasi bisa terjadi selama 1 jam, lalu cacing berpisah. Kemudian
klitelium masing-masing cacing mengeluarkan kokon dimana sel sperma masuk
untuk membuahi sel telur. Lebih dari 3 kokon per cacing per minggu dihasilkan.
Dari setiap kokon

terdapat sekitar 10-12 anak cacing yang muncul. Pada

umumnya jangka waktu hidup seekor cacing tanah sekitar 3-7 tahun tergantung
pada jenis spesies dan keadaan ekologinya (Sinha et al. 2002).
Cacing tanah mengandung air sebanyak 70-95% dari bobot tubuhnya,
sehingga kehilangan air merupakan masalah utama cacing tanah untuk
mempertahankan fungsi-fungsi tubuhnya untuk bekerja secara normal (Minnich
1977).
Menurut Lee (1985), cacing tanah menghendaki kondisi media yang sesuai
dan berkecukupan pakan, terlindung dari cahaya, pH sekitar netral dan sirkulasi
udara dan air yang baik. Untuk mencapai suhu dan kelembaban media yang
optimum perlu dikontrol dengan penyiraman air.
Peranan cacing tanah dalam pengomposan tidak terlepas dari peranannya
yang memanfaaatkan bahan-bahan organik di sekitarnya sebagai bahan
makanannya. Menurut Gaur (1992), peranan cacing tanah dalam penghancuran
bahan organik adalah mempercepat perombakan dengan cara mengaduk bahan

organik, memakan bahan-bahan organik serta membuat liang-liang dalam massa


bahan organik. Interaksi antara cacing tanah dan mikroorganisme merupakan
faktor dominan yang penting dalam proses dekomposisi bahan organik dan
mineralisasi.
Cacing tanah yang sering digunakan untuk pengomposan adalah jenis
Eisenia foetida dan Lumbricus rubellus. Kedua jenis cacing ini termasuk thermo
toleran, yaitu organisme yang dapat bertahan hidup dalam suhu yang panas (Gaur
1983). Cacing tanah yang diletakkan pada suhu media yang sesuai akan memakan
sampah dapur setengah dari berat badannya per hari. Dengan kata lain, dibutuhkan
1 kg cacing untuk 0,5 kg

sampah makanan yang dihasilkan per hari.,

perbandingannya adalah 2:1. Dalam tiap minggu, 1 kg cacing dapat memproses


3,5 kg sampah. Jika kondisi pertumbuhan tidak cocok, maka kecepatan konsumsi
makanan akan menurun (Hebert 2006).
Untuk

dapat

bereproduksi

dengan

baik

sehingga

menghasilkan

vermikompos berkualitas tinggi, cacing tanah membutuhkan lima hal, yaitu:


lingkungan hidup yang sesuai (bedding), sumber makanan, kelembaban dan aerasi
yang cukup serta suhu yang sesuai (Munroe). Bedding adalah bahan yang dapat
dijadikan sebagai habitat oleh cacing tanah. Habitat ini harus memiliki daya
absorbansi yang tinggi sehingga dapat menjaga kelembahan dan suhu media
cacing. Bedding dapat dirancang dengan menambahkan jerami, kertas koran, daun
jagung, daun pisang dan bahan-bahan lainnya yang dapat menjaga kelembaban.
Sumber makanan cacing tanah berupa bahan organik seperti sisa-sisa
tumbuhan, bangkai hewan dan sampah makanan, selain itu dapat juga berupa

kotoran hewan ternak yang telah dikering anginkan selama tujuh hari. Dalam
kondisi yang ideal, cacing dapat mengkonsumsi makanan seberat tubuhnya,
bahkan bisa lebih per hari. Cacing tanah tidak memiliki organ pencernaan khusus
untuk menghancurkan bahan makanannya, jadi bahan makanan harus dipotong
kecil-kecil untuk membantu proses pencernaannya. Semakin kecil partikel
makanan yang diberikan, maka semakin cepat proses pengomposan. Penambahan
dua genggam pasir halus juga dapat membantu proses pencernaannya (Munroe).
Cacing tanah bernapas dengan kulit, maka sangat membutuhkan
kelembaban yang cukup pada medianya untuk dapat bertahan hidup. Menurut
Kevin (1979), kelembaban yang dibutuhkan cacing tanah berkisar antara 50-80%.
Domjnguez et al. (1997) menemukan bahwa kisaran kelembaban yang terbaik
adalah antara 80-90%, dengan kisaran optimum sebesar 85%.. Kebutuhan cacing
tanah akan kelembaban media bervariasi pada berbagai spesies dan daya adaptasi
masing-masing spesies tersebut. Kelembaban media dapat dipertahankan dengan
penambahan air pada media dan menyediakan bahan makanan yang mengandung
banyak air.
Cacing tanah membutuhkan oksigen untuk bernapas dan tidak dapat
bertahan hidup dalam kondisi anaerob. Jika bahan makanan dalam media terlalu
padat maka dapat mengurangi aerasi, sehingga dapat meneyababkan kematian
pada cacing tanah. Masalah aerasi dapat diatasi dengan cara membalik media
secara berkala agar terjadi peningkatan jumlah O2 dan penurunan jumlah CO2
pada media (Munroe)

Suhu media juga harus dikontrol untuk mengoptimalkan proses


vermicomposting. Suhu media sebaiknya tetap dijaga pada kisaran 180C-270C
(Razon et al. 1981). Menurut Munroe kisaran suhu 100C150C efisien untuk
proses vermicomposting, dan 150C250C efisien untuk budidaya cacing tanah.
Sama halnya dengan kelembaban, kebutuhan suhu media berbeda-beda tergantung
dengan jenis cacing tanah dan daya adaptasinya.
Selain dari lima hal tersebut, keberhasilan vermicomposting juga
ditentukan oleh pH media. Untuk meningkatkan pH media perlu ditambah kapur
atau kalsium carbonat (CaCO3). Menurut Waluyo (1993), penambahan kapur
0,3% dari berat campuran media akan menaikkan pH 0,14-0,39 dan pH tertinggi
yang dicapai sebesar 7,91. Penambahan kapur 0,3% menghasilkan 170 butir
kokon, sedangkan tanpa penambahan kapur rata-rata dihasilkan 142 butir kokon
cacing tanah pada minggu keenam.
Proses vermicomposting yang baik juga dipengaruihi oleh media cacing
tanah itu sendiri. Waluyo et al. (1991) berhasil melakukan budidaya cacing tanah
Eisenia foetida dengan media kotoran sapi, kambing dan campuran atara
keduanya. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa berat tubuh cacing tanah
meningkat 79,5% dalam waktu 22 hari. Garg et al. (2005) melaporkan bahwa
berat maksimum cacing tanah diperoleh dalam minggu keenam dengan media
kotoran sapi, domba, kambing dan unta, sedangkan dengan media kotoran keledai,
kuda, dan kerbau secara berturut-turut diperoleh dalam minggu ke 9, 10 dan 13.
Perkembangan klitelum Eisenia foetida dalam media kotoran seluruh hewan
terjadi pada hari ke 21 kecuali dalam media kotoran unta (hari ke 28) setelah

mulai percobaan. Produksi kokon oleh cacing tanah dimulai pada hari ke 28
dalam media kotoran kuda, keledai, domba dan kambing, dan pada hari ke 35
dalam media kotoran sapi, kerbau dan unta. Secara ringkas jumlah kokon yang
dihasilkan per cacing tanah per hari dalam dalam media kotoran yang berbeda
adalah: domba > sapi = kuda = kambing > unta > keledai > kerbau. Selanjutnya
Garg et al. (2005) menyimpulkan bahwa kotoran sapi, kuda, domba dan kambing
mendukung pertumbuhan dan reproduksi cacing Eisenia foetida, oleh karena itu
dapat digunakan sebagai bahan makanan dalam proses vermicomposting sekala
besar.

D. Gangguan dan penyakit


Cacing

tanah

tidak

terserang

penyakit

yang

disebabkan

oleh

mikroorganisme, tetapi oleh predasi yang dilakukan oleh vertebrata tertentu dan
insekta. Berikut ini adalah beberapa hewan yang dapat menyebabkan gangguan
dan penyakit bagi cacing tanah.
Cacing tanah merupakan makanan bagi tkus. Jika tikus mendapat jalan
masuk menuju tempat pembiakannya, maka akan kehilangan banyak cacing
(Gaddie dan Donald 1975). Masalah ini biasanya terjadi pada sistem windrow atau
sistem udara terbuka di lapangan. Hal ini dapat dicegah dengan meletakkan jaring
kawat atau lapisan tanah liat yang bagus di bawah windrow.
Hewan jenis burung atau unggas biasanya tidak menjadi masalah yang
besar bagi cacing tanah, tetapi jika hewan tersebut menemukan tempat pembiakan
cacing, mereka akan datang kembali terus menerus dan memakan cacing (Gaddie

10

dan Donald 1975). Masalah ini dapat diatasi dengan meletakkan penutup diatas
windrow yang terbuat dari plastik atau kain. Penutup ini juga bermanfaat untuk
menjaga kelembaban.
Hewan jenis lipan atau kelabang memakan cacing tanah dan kokonnya.
Masalah ini dapat diatasi dengan membasahi tempat biakan cacing untuk
memaksa predator tersebut keluar menuju permukaan, sehingga dapat
disingkirkan secara langsung (Gaddie dan Donald 1975). Selain daripada itu, jenis
insekta seperti semut lebih bermasalah karena mereka memakan makanan cacing
(Myers 1969). Semut paling suka dengan gula, jadi diusahakan agar makanan
cacing tidak mengandung gula tinggi.
Terdapat sejumlah jenis kutu yang muncul dalam operasi vermikultur dan
vermicomposting, tetapi hanya satu jenis kutu yang sangat berbahaya yang berasal
dari famili Hoplopleuridae, yaitu kutu merah yang bersifat parasit terhadap cacing.
Kutu ini mengisap darah dan cairan tubuh dari cacing dan dapat juga mengisap
cairan dari kokon (Sherman 1997). Pencegahan terbaik untuk masalah ini adalah
dengan menjaga pH tetap netral atau diatasnya dan tingkat kelembaban di bawah
85%.

Gambar 1. Jenis-jenis hewan pengganggu cacing tanah

11

E. Tipe-tipe sistem vermicomposting


Ada tiga tipe dasar sistem vermicomposting, yaitu windrow, bed atau bin
dan flow-through reactor (Munroe). Pada sistem windrow, prinsipnya adalah
penumpukan
dalam

bahan

barisan

yang

yang

dikomposkan

disusun

sejajar.

Makanan cacing (sampah) diletakkan pada


lapisan atas. Tumpukan secara berkala
dibolak-balik untuk meningkatkan aerasi,
menurunkan suhu apabila suhu terlalu tinggi,
dan

menurunkan

kelembaban

kompos,

sistem ini sesuai untuk vermicomposting


skala besar.

Gambar 2. Vermicomposting sistem windrow


(Dokumentasi M. Ilyas)

Sistem bed atau bin adalah sistem vermicomposting yang menggunakan


wadah yang telah dilubangi bagian
bawahnya untuk menjaga aerasi.
Pada sistem ini makanan diletakkan
Bin

di bagian sisi atas bedding dan


secara berkala dibolak-balik seperti
pada sistem windrow.

Gambar 3. Vermicomposting sistem bin


(Dokumentasi M. Ilyas)

Pada sistem flow-through reactor, cacing ditempatkan di kotak yang tinggi,


biasanya berbentuk bujur sangkar dan lebarnya tidak lebih dari tiga meter. Bahan
makanan diletakkan di bagian atas dan hasilnya dipindahkan melalui saluran di
bagian bawah. Istilah flow-through merujuk pada fakta bahwa cacing tidak pernah

12

terganggu di dalam medianya, bahan makanan masuk dari bagian atas kotak,
mengalir melalui reaktor dan keluar dari bawah. Cara untuk mendorong bahan
makanan keluar dari bawah biasanya menggunakan perangkat hidrolik. Tetapi
sistem ini masih belum sering digunakan untuk keperluan vermicomposting
karena membutuhkan teknologi dan biaya tinggi.

Bedding - koyakan kertas, dedaunan


Sampah dapur, kebun, pekarangan
Pengisoliran

Bedding
Sampah
area yang
paling hangat

Engkol
Pemanenan
Vermikompos siap dipanen

Jeruji besi

Area pemanenan

Gambar 4. Vermicomposting sistem flow-through reactor

13

F. Metode pemanenan cacing


Pada umumnya pemanenan cacing dilakukan untuk menjual cacing
kepada pihak yang membutuhkan atau untuk memulai pembudidayaan yang baru.
Untuk melakukannya, maka cacing dipisahkan dari bedding dan vermikomposnya.
Menurut Bogdanov (1996) terdapat tiga metode dasar yang dapat digunakan untuk
memanen cacing tanah dalam proses vermicomposting, yaitu manual, migrasi dan
mekanik.
Metode manual adalah metode yang digunakan oleh para peternak
cacing skala kecil, terutama bagi yang menjual cacing kepada homevermicomposting atau penjual umpan. Pada intinya, metode manual meliputi
hand-sorting atau pemilahan cacing dari kompos secara langsung dengan
menggunakan tangan. Proses ini dapat dipermudah dengan mengambil
keuntungan
bahwa

dari

kenyataan

cacing

menghindari

tanah

cahaya.

Jika

bahan-bahan yang mengandung


cacing

Gambar 5. Pemanenan cacing dengan metode manual


Dokumentasi M. Ilyas

ditumpuk

di

atas

permukaan yang rata dengan


adanya cahaya di bagian atas,

cacing akan masuk dengan cepat ke bawah permukaan untuk menghindari cahaya,
lalu pemanen dapat memindahkan lapisan kompos ke tempat yang lain. Proses ini
dapat diulang beberapa kali sampai seluruh cacing berkumpul di bagian bawah
dan siap untuk dipanen (Bogdanov 1996).

14

Metode migrasi didasarkan pada kecenderungan cacing tanah untuk


berpindah ke bagian yang baru, baik untuk mendapatkan makanan baru maupun
untuk menghindari kondisi yang tidak menguntungkan, seperti kekeringan atau
cahaya. Tidak seperti metode manual, pada metode ini proses pemanenan
dilakukan dengan menggunakan kain kasa dan kotak kecil. Kotak dibentuk
dengan kain kasa di bagian bawahnya (Bogdanov 1996). Ada dua pendekatan
dalam metode ini, yang pertama sistem migrasi ke bawah, yaitu cacing tanah
berpindah ke bagian bawah melewati kain kasa menuju container yang berisi
tanah yang lembab. Setelah seluruh cacing melewati kain kasa, vermikompos di
dalam kotak dipindahkan dan tumpukan cacing tanah dimasukkan ke dalam kotak
yang lain. Pendekatan kedua adalah sistem migrasi ke atas, yaitu kotak yang
berlubang bagian bawahnya diletakkan tepat di atas bedding. Di dalam kotak
tersebut diisi dengan sedikit tanah lembab dan disebarkan makanan cacing seperti
sampah dapur atau kotoran ternak. Kotak tersebut diangkat setelah cacing
berpindah ke bagian atas menuju bahan-bahan makanan.
Metode mekanik adalah metode yang paling cepat dan paling mudah
untuk memisahkan cacing dari vermikompos (Bogdanov 1996). Pemanenan
cacing dilakukan dengan menggunakan silinder berputar. Dinding silinder terdiri
dari bahan-bahan kasa dengan ukuran
lubang yang berbeda. Silinder diputar
dengan

mesin

elektrik

kecil

yang

menempel di salah satu ujung silinder.


Trommel dipasang di bagian sudut, di

Gambar 6. Silinder berputar untuk memanen cacing

15

ujung paling atas trommel yang berputar diletakkan cacing tanah dan beddingnya.
Ketika silinder berputar, kotoran cacing jatuh melalui lubang kasa dan cacing
melintas melewati ujung paling bawah ke dalam gerobak roda. Seiring dengan
pemanenan cacing tanah, vermikompos juga dapat dipanen untuk kemudian
dimanfaatkan sebagai pupuk organik yang mengandung humus yang dibutuhkan
oleh tumbuhan.

16

KESIMPULAN

Vermicomposting adalah proses pengomposan secara bioteknologi


sederhana yang menggunakan beberapa spesies cacing tanah untuk meningkatkan
proses perombakan limbah dan menghasilkan hasil akhir yang lebih baik. Hasil
akhir vermicomposting adalah vermicast atau vermikompos.
Terdapat beberapa macam hewan yang dapat menyebabkan gangguan dan
penyakit bagi cacing tanah, yaitu: tikus, burung/unggas, lipan/kelabang, semut
dan kutu. Dari kelima macam hewan tersebut, lipan/kelabang dan kutu yang
paling berbahaya karena secara langsung dapat menyebabkan kematian pada
cacing tanah.
Ada tiga tipe dasar sistem vermicomposting, yaitu windrow, bed atau bin
dan flow-through reactor (Munroe). Sistem flow-through reactor merupakan
sistem vermicomposting yang paling jarang digunakan karena membutuhkan
teknologi dan biaya tinggi.

17

DAFTAR PUSTAKA

Atiyeh RM, Dominguez J, Subler S, Edwards CA. 2000. Change ini biochemical
properties of cow manure processed by earthworm (Eisenia andreii) and
their effect on plant growth. Pedobiologia 44:709-24
Bogdanov P. 1996. Commercial Vermiculture: How to Build a Thriving Business
in Redworms. Oregon: VermiCo Press.
Davis ML, Cornwell DA. 1989. Introduction to Environmental Engineering. New
York: MC Raw Hill Publ.
Domjnguez J, Edwards CA, Subler S. 1997. A comparison of vermicomposting
and composting. BioCycle 38:57-59.
Edwards CA. 1998. The us of earthworm in the break down and management of
organic wastes. In: Earthworm Ecology. Boca Raton: CRC Press.
Garg VK, Chand S, Chhillar A, Yadav A. 2005. Growth and reproduction of
Eisenia Foetida in various animal wastes during vermicomposting.
Applied Ecology and Environmental Research 3:51-59.
Gaddie R.E. (Sr.) and Donald E.D. 1975. Earthworms for Ecology and Profit.
Volume 1: Scientific Earthworm Farming. Callifornia: Bookworm
Publishing Company.
Gandhi M, Sangwan V, Kapoor KK, Dilbaghi N. 1997. Composting of household
wastes with and without earthworms. Environ Ecol 15:432434.
Gaur AC. 1983. Manual of Rural Composting. FAO. The United Nations, Rome.
Hand P, Hayes WA, Frankland JC, Satchell JE. 1988, The Vermicomposting of
Cow Slurry. Pedobiologia 31:199-209.
Hebert M. 2006. Composting with worms. Cooperative Extension Service 1-4.
Kevin H. 1979. Earthworm for Gardener and Fisherman. Discovery Soil, No 5.
Sydney:.CSIRO Division of Soil. Academic Press.
Lee KE. 1985. Earthworm: Their ecology and relationship with soil and land use.
Sydney: CSIRO Division of Soil Adelaide. Academic Press.
Minnich J. 1977. The Earthworms Book. USA: Rodale Press.

18

Misra RV, Roy RN, Hiraoka H. 2003. On-farm Composting Methods. Food and
Agriculture Organization of The United Nations, Rome.
Munroe G. Manual of On-Farm Vermicomposting and Vermiculture. Organic
Agriculture Centre of Canada.
Myers R. 1969. The ABCs of the Earthworm Business. USA: Shields Publications,
Eagle River.
Nunes, K. 1997. The Good Compost Guide. EcoRecycle Victoria.
Razon, CA, Razon BE. 1981. How to Raise Red Earthworm Profitably. Bereu of
Animal Industry, Philippines.
Sherman R. 1997. Controlling Mite Pest in Earthworm Beds. North Carolina
Cooperative Extension Service, Raleigh, NC.
Sinha RK, Herat S, Agarwal S, Asadi R, Carretero E. 2002. Vermiculture and
waste management: study of action of earthworms Eisenia foetida,
Eudrilus euginae and Perionyx excavatus on biodegradation of some
community wastes in India and Australia. The Environmentalist 22:261268.
Subler S, Edwards C, Metzger J. 1998. Comparing Vermicompost and Compost.
BioCycle 39: 63-66.
Sundaravadivel S, Ismail SA. 1995. Efficacy of biological filter unit in the
treatment of distillery effluents. J Ecotoxicol Environ Mon 5:125-9.
Waluyo D. 1993. Pengaruh Kapur Terhadap Perkembangan Tubuh dan Kliteum
serta Kadar Protein dan Asam Amino pada Cacing Tanah Eisenia foetida
Savigny. Tesis. Program Pascasarjana IPB, Bogor.
Waluyo, Prawasti TS, Hidayat N. 1991. Pemanfaatan Kotoran Kambing, Sapi dan
Ayam untuk Budidaya Cacing Tanah, Serta Koleksi dan Identifikasi
Cacing Tanah di Daerah Bogor dan Sukabumi. Lembaga Penelitian IPB,
Bogor.

19

You might also like