Professional Documents
Culture Documents
VERMICOMPOSTING
Makalah Ilmiah
Tugas Mata Kuliah Bioteknik Hewan
Disusun oleh :
MUHAMMAD ILYAS
G352070181
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Masalah sampah dapat diatasi dengan cara mengolahnya menjadi bahan
yang sangat berguna. Pengolahan sampah dapat dilakukan dengan cara mendaur
ulang sampah tersebut sehingga menjadi bahan-bahan yang dapat digunakan lagi..
Pengolahan sampah juga dapat dilakukan dengan cara pengomposan yang dapat
menghasilkan zat hara atau kompos yang sangat berguna bagi kesuburan tanah
serta pertumbuhan dan perkembangan tanaman.
Saat ini, cara pengolahan sampah yang kerap dikembangkan adalah
pengomposan dengan bantuan cacing tanah atau yang lebih dikenal dengan istilah
vermicomposting, karena cara tersebut telah terbukti lebih baik kualitas dan
kuantitasnya daripada pengomposan konvensional. Sejumlah limbah industri telah
diolah secara vermicomposting dan menghasilkan pupuk yang kaya nutrisi
(Sundaravadivel 1995). Selain itu, vermicomposting juga merupakan system
bioteknologi dengan biaya rendah untuk mendegradasi sampah organik (Hand et
al. (1988). Makalah ini ditulis untuk mengetahui cara pengolahan sampah yang
baik dengan system vermicomposting.
terkendali (Misra et al. 2003). Menurut Nunes (1997), proses dekomposisi dibagi
dalam dua bentuk; Anaeorobik dan Aerobik. Anaerobik adalah proses
dekomposisi yang terjadi tanpa oksigen di dalam wadah yang tertutup rapat.
Aerobik adalah proses dekomposisi yang terjadi dengan bantuan mikroorganisme
yang tumbuh subur dengan oksigen. Sebagai hasil akhir dari proses dekomposisi
adalah unsur-unsur hara yang sangat bermanfaat untuk pertumbuhan dan
perkembangan suatu tanaman dan dapat menyuburkan tanah, dikenal dengan
istilah kompos.
Kompos merupakan partikel tanah yang bermuatan negatif sehingga dapat
dikoagulasikan oleh kation-kation dan partikel tanah untuk membentuk granulagranula tanah. Dengan demikian, penambahan kompos dapat memperbaiki
struktur, tekstur dan lapisan tanah sehingga akan memperbaiki pula aerasi,
absorbsi panas, kemampuan daya serap tanah terhadap air serta berguna untuk
mengendalikan erosi tanah (Gaur 1983).
berbeda dari
umumnya jangka waktu hidup seekor cacing tanah sekitar 3-7 tahun tergantung
pada jenis spesies dan keadaan ekologinya (Sinha et al. 2002).
Cacing tanah mengandung air sebanyak 70-95% dari bobot tubuhnya,
sehingga kehilangan air merupakan masalah utama cacing tanah untuk
mempertahankan fungsi-fungsi tubuhnya untuk bekerja secara normal (Minnich
1977).
Menurut Lee (1985), cacing tanah menghendaki kondisi media yang sesuai
dan berkecukupan pakan, terlindung dari cahaya, pH sekitar netral dan sirkulasi
udara dan air yang baik. Untuk mencapai suhu dan kelembaban media yang
optimum perlu dikontrol dengan penyiraman air.
Peranan cacing tanah dalam pengomposan tidak terlepas dari peranannya
yang memanfaaatkan bahan-bahan organik di sekitarnya sebagai bahan
makanannya. Menurut Gaur (1992), peranan cacing tanah dalam penghancuran
bahan organik adalah mempercepat perombakan dengan cara mengaduk bahan
dapat
bereproduksi
dengan
baik
sehingga
menghasilkan
kotoran hewan ternak yang telah dikering anginkan selama tujuh hari. Dalam
kondisi yang ideal, cacing dapat mengkonsumsi makanan seberat tubuhnya,
bahkan bisa lebih per hari. Cacing tanah tidak memiliki organ pencernaan khusus
untuk menghancurkan bahan makanannya, jadi bahan makanan harus dipotong
kecil-kecil untuk membantu proses pencernaannya. Semakin kecil partikel
makanan yang diberikan, maka semakin cepat proses pengomposan. Penambahan
dua genggam pasir halus juga dapat membantu proses pencernaannya (Munroe).
Cacing tanah bernapas dengan kulit, maka sangat membutuhkan
kelembaban yang cukup pada medianya untuk dapat bertahan hidup. Menurut
Kevin (1979), kelembaban yang dibutuhkan cacing tanah berkisar antara 50-80%.
Domjnguez et al. (1997) menemukan bahwa kisaran kelembaban yang terbaik
adalah antara 80-90%, dengan kisaran optimum sebesar 85%.. Kebutuhan cacing
tanah akan kelembaban media bervariasi pada berbagai spesies dan daya adaptasi
masing-masing spesies tersebut. Kelembaban media dapat dipertahankan dengan
penambahan air pada media dan menyediakan bahan makanan yang mengandung
banyak air.
Cacing tanah membutuhkan oksigen untuk bernapas dan tidak dapat
bertahan hidup dalam kondisi anaerob. Jika bahan makanan dalam media terlalu
padat maka dapat mengurangi aerasi, sehingga dapat meneyababkan kematian
pada cacing tanah. Masalah aerasi dapat diatasi dengan cara membalik media
secara berkala agar terjadi peningkatan jumlah O2 dan penurunan jumlah CO2
pada media (Munroe)
mulai percobaan. Produksi kokon oleh cacing tanah dimulai pada hari ke 28
dalam media kotoran kuda, keledai, domba dan kambing, dan pada hari ke 35
dalam media kotoran sapi, kerbau dan unta. Secara ringkas jumlah kokon yang
dihasilkan per cacing tanah per hari dalam dalam media kotoran yang berbeda
adalah: domba > sapi = kuda = kambing > unta > keledai > kerbau. Selanjutnya
Garg et al. (2005) menyimpulkan bahwa kotoran sapi, kuda, domba dan kambing
mendukung pertumbuhan dan reproduksi cacing Eisenia foetida, oleh karena itu
dapat digunakan sebagai bahan makanan dalam proses vermicomposting sekala
besar.
tanah
tidak
terserang
penyakit
yang
disebabkan
oleh
mikroorganisme, tetapi oleh predasi yang dilakukan oleh vertebrata tertentu dan
insekta. Berikut ini adalah beberapa hewan yang dapat menyebabkan gangguan
dan penyakit bagi cacing tanah.
Cacing tanah merupakan makanan bagi tkus. Jika tikus mendapat jalan
masuk menuju tempat pembiakannya, maka akan kehilangan banyak cacing
(Gaddie dan Donald 1975). Masalah ini biasanya terjadi pada sistem windrow atau
sistem udara terbuka di lapangan. Hal ini dapat dicegah dengan meletakkan jaring
kawat atau lapisan tanah liat yang bagus di bawah windrow.
Hewan jenis burung atau unggas biasanya tidak menjadi masalah yang
besar bagi cacing tanah, tetapi jika hewan tersebut menemukan tempat pembiakan
cacing, mereka akan datang kembali terus menerus dan memakan cacing (Gaddie
10
dan Donald 1975). Masalah ini dapat diatasi dengan meletakkan penutup diatas
windrow yang terbuat dari plastik atau kain. Penutup ini juga bermanfaat untuk
menjaga kelembaban.
Hewan jenis lipan atau kelabang memakan cacing tanah dan kokonnya.
Masalah ini dapat diatasi dengan membasahi tempat biakan cacing untuk
memaksa predator tersebut keluar menuju permukaan, sehingga dapat
disingkirkan secara langsung (Gaddie dan Donald 1975). Selain daripada itu, jenis
insekta seperti semut lebih bermasalah karena mereka memakan makanan cacing
(Myers 1969). Semut paling suka dengan gula, jadi diusahakan agar makanan
cacing tidak mengandung gula tinggi.
Terdapat sejumlah jenis kutu yang muncul dalam operasi vermikultur dan
vermicomposting, tetapi hanya satu jenis kutu yang sangat berbahaya yang berasal
dari famili Hoplopleuridae, yaitu kutu merah yang bersifat parasit terhadap cacing.
Kutu ini mengisap darah dan cairan tubuh dari cacing dan dapat juga mengisap
cairan dari kokon (Sherman 1997). Pencegahan terbaik untuk masalah ini adalah
dengan menjaga pH tetap netral atau diatasnya dan tingkat kelembaban di bawah
85%.
11
bahan
barisan
yang
yang
dikomposkan
disusun
sejajar.
menurunkan
kelembaban
kompos,
12
terganggu di dalam medianya, bahan makanan masuk dari bagian atas kotak,
mengalir melalui reaktor dan keluar dari bawah. Cara untuk mendorong bahan
makanan keluar dari bawah biasanya menggunakan perangkat hidrolik. Tetapi
sistem ini masih belum sering digunakan untuk keperluan vermicomposting
karena membutuhkan teknologi dan biaya tinggi.
Bedding
Sampah
area yang
paling hangat
Engkol
Pemanenan
Vermikompos siap dipanen
Jeruji besi
Area pemanenan
13
dari
kenyataan
cacing
menghindari
tanah
cahaya.
Jika
ditumpuk
di
atas
cacing akan masuk dengan cepat ke bawah permukaan untuk menghindari cahaya,
lalu pemanen dapat memindahkan lapisan kompos ke tempat yang lain. Proses ini
dapat diulang beberapa kali sampai seluruh cacing berkumpul di bagian bawah
dan siap untuk dipanen (Bogdanov 1996).
14
mesin
elektrik
kecil
yang
15
ujung paling atas trommel yang berputar diletakkan cacing tanah dan beddingnya.
Ketika silinder berputar, kotoran cacing jatuh melalui lubang kasa dan cacing
melintas melewati ujung paling bawah ke dalam gerobak roda. Seiring dengan
pemanenan cacing tanah, vermikompos juga dapat dipanen untuk kemudian
dimanfaatkan sebagai pupuk organik yang mengandung humus yang dibutuhkan
oleh tumbuhan.
16
KESIMPULAN
17
DAFTAR PUSTAKA
Atiyeh RM, Dominguez J, Subler S, Edwards CA. 2000. Change ini biochemical
properties of cow manure processed by earthworm (Eisenia andreii) and
their effect on plant growth. Pedobiologia 44:709-24
Bogdanov P. 1996. Commercial Vermiculture: How to Build a Thriving Business
in Redworms. Oregon: VermiCo Press.
Davis ML, Cornwell DA. 1989. Introduction to Environmental Engineering. New
York: MC Raw Hill Publ.
Domjnguez J, Edwards CA, Subler S. 1997. A comparison of vermicomposting
and composting. BioCycle 38:57-59.
Edwards CA. 1998. The us of earthworm in the break down and management of
organic wastes. In: Earthworm Ecology. Boca Raton: CRC Press.
Garg VK, Chand S, Chhillar A, Yadav A. 2005. Growth and reproduction of
Eisenia Foetida in various animal wastes during vermicomposting.
Applied Ecology and Environmental Research 3:51-59.
Gaddie R.E. (Sr.) and Donald E.D. 1975. Earthworms for Ecology and Profit.
Volume 1: Scientific Earthworm Farming. Callifornia: Bookworm
Publishing Company.
Gandhi M, Sangwan V, Kapoor KK, Dilbaghi N. 1997. Composting of household
wastes with and without earthworms. Environ Ecol 15:432434.
Gaur AC. 1983. Manual of Rural Composting. FAO. The United Nations, Rome.
Hand P, Hayes WA, Frankland JC, Satchell JE. 1988, The Vermicomposting of
Cow Slurry. Pedobiologia 31:199-209.
Hebert M. 2006. Composting with worms. Cooperative Extension Service 1-4.
Kevin H. 1979. Earthworm for Gardener and Fisherman. Discovery Soil, No 5.
Sydney:.CSIRO Division of Soil. Academic Press.
Lee KE. 1985. Earthworm: Their ecology and relationship with soil and land use.
Sydney: CSIRO Division of Soil Adelaide. Academic Press.
Minnich J. 1977. The Earthworms Book. USA: Rodale Press.
18
Misra RV, Roy RN, Hiraoka H. 2003. On-farm Composting Methods. Food and
Agriculture Organization of The United Nations, Rome.
Munroe G. Manual of On-Farm Vermicomposting and Vermiculture. Organic
Agriculture Centre of Canada.
Myers R. 1969. The ABCs of the Earthworm Business. USA: Shields Publications,
Eagle River.
Nunes, K. 1997. The Good Compost Guide. EcoRecycle Victoria.
Razon, CA, Razon BE. 1981. How to Raise Red Earthworm Profitably. Bereu of
Animal Industry, Philippines.
Sherman R. 1997. Controlling Mite Pest in Earthworm Beds. North Carolina
Cooperative Extension Service, Raleigh, NC.
Sinha RK, Herat S, Agarwal S, Asadi R, Carretero E. 2002. Vermiculture and
waste management: study of action of earthworms Eisenia foetida,
Eudrilus euginae and Perionyx excavatus on biodegradation of some
community wastes in India and Australia. The Environmentalist 22:261268.
Subler S, Edwards C, Metzger J. 1998. Comparing Vermicompost and Compost.
BioCycle 39: 63-66.
Sundaravadivel S, Ismail SA. 1995. Efficacy of biological filter unit in the
treatment of distillery effluents. J Ecotoxicol Environ Mon 5:125-9.
Waluyo D. 1993. Pengaruh Kapur Terhadap Perkembangan Tubuh dan Kliteum
serta Kadar Protein dan Asam Amino pada Cacing Tanah Eisenia foetida
Savigny. Tesis. Program Pascasarjana IPB, Bogor.
Waluyo, Prawasti TS, Hidayat N. 1991. Pemanfaatan Kotoran Kambing, Sapi dan
Ayam untuk Budidaya Cacing Tanah, Serta Koleksi dan Identifikasi
Cacing Tanah di Daerah Bogor dan Sukabumi. Lembaga Penelitian IPB,
Bogor.
19