Professional Documents
Culture Documents
Universitas
Indonesia
Tugas Abstraksi Makalah Akhir untuk Mata Kuliah Dinamika Kawasan Amerika
Nama : Erika
NPM : 0706291243
Selagi banyak pihak membicarakan mengenai kemungkinan terwujudnya sebuah area pasar bebas
Amerika dan keuntungan yang akan mereka dapatkan dari area pasar bebas Amerika, kelompok lainnya
justru menentang pembentukan area pasar bebas Amerika. Kelompok ini adalah kelompok para buruh.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa kelompok buruh cenderung resisten dan menentang pembentukan
perjanjian Free Trade Area (FTA), karena itu berarti negara akan dibanjiri produk impor berharga murah
yang dapat mengancam kelangsungan industri domestik dan karenanya, kelangsungan hidup para buruh. Di
sisi lain, perjanjian-perjanjian FTA yang dibuat dengan negara-negara di kawasan Amerika Tengah dan
Amerika Latin seringkali tidak memasukkan klausul perlindungan buruh, karena perlindungan buruh belum
menjadi perhatian dari negara-negara maju yang mengajukan usul perjanjian FTA. Sebagian besar wilayah
di Benua Amerika masih merupakan negara berkembang; perekonomian mereka tidak begitu maju dan
kesejahteraan buruh di sana cenderung rendah. Hal ini sangat memprihatinkan.
Sejarah pembentukan perjanjian FTA di Benua Amerika masih menunjukkan kurang
diperhatikannya sektor buruh dalam hubungan perdagangan negara-negara di Benua Amerika. Pada
perjanjian North American Free Trade Agreement (NAFTA) yang resmi berlaku pada 1994, misalnya,
petani Meksiko mengalami kerugian besar karena mereka belum siap berkompetisi dengan produk jagung
impor dari AS. Kerugian ini diperparah dengan tidak adanya safety net, baik dari pemerintah maupun dari
perjanjian NAFTA itu sendiri, yang menjadikan para petani itu tidak mendapat prioritas yang semestinya ia
dapatkan.1
Hal yang sama terjadi di Chile, ketika FTA antara Chile dan AS kemudian tidak mendatangkan
keuntungan bagi masyarakat dan para pekerja Chile. Mengenai hal ini, Claudio Lara Cortés mengatakan
bahwa FTA Chile-Amerika seperti mengeksklusikan konsumer dan para pekerja Chile. 2 Akan tetapi seiring
dengan perkembangan jaman, faktor perlindungan buruh mulai mendapat perhatian. Berbagai perjanjian
FTA seperti misalnya CAFTA telah memasukkan klausul perlindungan buruh di dalamnya 3, hanya saja
1
Manuel Trujillo, COHA Research Associate, Council on Hemispheric Affairs, Peru, Yes; Colombia? Free Trade Agreements:
Lessons from Latin America’s Recent Past, http://www.coha.org/peru-yes-colombia-free-trade-agreements-v
lessons-from-latin-america’s-recent-past/, diakses pada 21 April 2010, pukul 21.37.
2
Ibid.
3
Office of the US Trade Representative (USTR), “U.S. and Central American Countries Conclude Free Trade Agreement”.
Erika . 0706291243 . Jurusan Ilmu Hubungan Internasional . Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik . Universitas
Indonesia
apakah klausul perlindungan buruh dalam CAFTA tersebut sesuai dengan tuntutan kaum buruh masih
diperdebatkan oleh banyak pihak. Yang jelas, sektor perlindungan buruh mulai mendapat perhatian dalam
perjanjian-perjanjian FTA dengan Amerika Tengah dan Amerika Latin. Hal ini tidak terlepas dari lobi-lobi
yang dilakukan kelompok buruh dan NGO yang sangat kuat.
Makalah ini kemudian akan membahas bagaimana akhirnya sektor buruh mulai mendapat perhatian
dalam perjanjian FTA dengan negara-negara Amerika Tengah dan Amerika Latin hingga melahirkan suatu
fenomena yang dinamakan “social regionalism”, dengan menitikberatkan analisa pada peran NGO dan
kelompok buruh sebagai kelompok yang melakukan lobi dengan pemerintah, sampai akhirnya klausul
perlindungan buruh dapat dikeluarkan. Dalam menjelaskan hal tersebut, makalah ini akan menggunakan
salah satu model analisis konseptual yang diajukan Graham T. Allison dalam mengkaji kebijakan luar negeri
suatu negara yaitu model bureaucratic politics4 di mana model ini akan mengkonsentrasikan diri kepada
intergroup bargaining, balances of power, dan jalur yang telah ditentukan dalam konteks politik birokrasi.
Menurut model ini, keputusan lahir melalui konfrontasi dan bargaining dari berbagai pemain. Hasil
kebijakan luar negeri merupakan hasil dari negosiasi dari pemimpin-pemimpin tersebut di mana model ini
secara langsung menolak asumsi ide pemerintah yang tunggal. Penulis mengambil model ini berdasarkan
asumsi bahwa tindakan pemerintah terkait dengan keputusan kebijakan luar negerinya, lahir dari
kepentingan dan perilaku dari berbagai kelompok dan individu di masyarakat Amerika itu sendiri.5 Politik
domestik di negara-negara Amerika Tengah dan Latin, perilaku publik, dan lingkungan internasional
sama-sama berperan untuk membentuk tindakan dan keputusan yang akhirnya dihasilkan pemerintah.
http://pdq.state.gov/scripts/cqcgi.exe/@rware70.env?CQ_SESSION_KEY=ZJPFF OFESMGD&
4
Graham T. Allison, “Conceptual Models and the Cuban Missile Crisis”, dalam S. John Ikenberry. American Foreign Policy,
Theoretical Essays (3rd edition), (New York: Longman, 1994), hal. 437-443.
5
Morton H. Halperin, Bureaucratic Politics and Foreign Policy, (Washington DC:. The Brookings Institution, 1974), hal. 4.