You are on page 1of 16

BAB 1

PENDAHULUAN
Penyebab gangguan nafas pada neonatus dapat dibagi menjadi 2 yaitu penyebab
intrathorakal dan ekstrathorakal. Penyebab ekstrathorakal antara lain kelainan sistem saraf
pusat dan kelainan metabolik. Sementara penyebab intrathorakal yaitu defisiensi surfaktan
paru, pneumonia neonatal, sindroma aspirasi mekoneum dan hernia diafragmatika. (9)
Beberapa kasus distres nafas pada bayi baru lahir dapat memberikan gejala klinis
seperti takipnea, merintih/grunting, nafas cuping hidung, retraksi substernal dan intercostal,
sianosis dan hipoksia. Akan tetapi gejala-gejala ini kurang spesifik untuk penyebab tertentu
dari distress nafas pada neonatus. Oleh karena itu foto Rontgen thoraks terutama berperan
penting dalam membantu menentukan diagnosis awal dan perkembangan penyakit
selanjutnya. (9)
Terkadang ditemukan kesulitan dalam menginterpretasi hasil pemeriksaan radiologis
pada neonatus. Hal ini terjadi karena banyaknya kelainan yang tidak spesifik dan saling
overlapping. Hal ini memudahkan terjadinya kesalahan dalam diagnosis secara radiologis.
Untuk itu perlu selalu ditekankan melihat kembali kondisi klinis pasien. (10)

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Penyebab gangguan nafas menurut masa gestasi

Pada bayi kurang bulan yaitu, HMD (Hyalin Membran Disease)/RDS (Respiratory
Distress Sindrome), Pneumonia, Asfiksia, Kelainan atau malformasi kongenital,
sedangkan pada bayi cukup bulan yaitu, sindroma aspirasi meconium, pneumonia,
transient tachypnea of the newborn (TTN)
2.2 Definisi Respiratory Distress Sindrome
Menurut Petty dan Asbaugh (1971), definisi dan kriteria RDS bila didapatkan sesak
napas berat (dyspnea), frekuensi napas meningkat (tachypnea), sianosis yang menetap
dengan terapi oksigen, penurunan daya pengembangan paru, adanya gambaran infiltrat
alveolar yang merata pada foto thorak dan adanya atelektasis, kongesti vascular,
perdarahan, edema paru, dan adanya hyaline membran pada saat otopsi. Sedangkan
menurut Murray et.al (1988) disebut RDS bila ditemukan adanya kerusakan paru secara
langsung dan tidak langsung, kerusakan paru ringan sampai sedang atau kerusakan yang
berat dan adanya disfungsi organ non pulmoner. Definisi menurut Bernard et.al (1994)
bila onset akut, ada infiltrat bilateral pada foto thorak, tekanan arteri pulmonal
18mmHg dan tidak ada bukti secara klinik adanya hipertensi atrium kiri, adanya
kerusakan paru akut dengan PaO2 : FiO2 kurang atau sama dengan 300, adanya sindrom
gawat napas akut yang ditandai PaO2 : FiO2 kurang atau sama dengan 200, menyokong
suatu RDS . (2)
2.3 Faktor Risiko Respiratory Distress Syndrome
Faktor risiko terjadinya Respiratory Distress Syndrome :
1. Bayi kurang bulan (BKB). RDS didapatkan pada 10% bayi kurang bulan, paru bayi
secara biokimiawi masih imatur dengan kekurangan surfaktan yang melapisi alveoli.
Fungsi surfaktan untuk menjaga agar kantong alveoli tetap berkembang dan berisi
udara, sehingga pada bayi prematur dimana surfaktan masih belum berkembang
menyebabkan daya berkembang paru kurang dan bayi akan mengalami sesak napas.
Gejala tersebut biasanya tampak segera setelah bayi lahir dan akan bertambah berat.
2. Kegawatan neonatal seperti kehilangan darah dalam periode perinatal, aspirasi
mekonium, pneumotoraks akibat tindakan resusitasi,dan hipertensi pulmonal dengan
pirau kanan ke kiri yang membawa darah keluar dari paru.
3. Bayi dari ibu diabetes mellitus. Pada bayi dari ibu dengan diabetes terjadi
keterlambatn pematangan paru sehingga terjadi distress respirasi
4. Bayi lahir dengan operasi sesar. Bayi yang lahir dengan operasi sesar,berapa pun usia
gestasinya dapat mengakibatkan terlambatnya absorpsi cairan paru (Transient
Tachypnea of Newborn).
2

5. Bayi yang lahir dari ibu yang menderita demam, ketuban pecah dini dapat terjadi
pneumonia bakterialis atau sepsis.
6. Bayi dengan kulit berwarna seperti mekonium, mungkin mengalami aspirasi
mekonium.
7. Hal-hal yang menimbulkan stress pada fetus seperti ibu dengan hipertensi / drug
abuse, atau adanya infeksi kongenital kronik. (6)
2.4 Patofisiologi Respiratory Distress Syndrome
Faktor-faktor yang memudahkan terjadinya RDS pada bayi prematur disebabkan
oleh alveoli masih kecil sehingga sulit berkembang, pengembangan kurang sempurna
karena dinding thorax masih lemah, produksi surfaktan kurang sempurna. (2)
Imaturitas paru secara anatomis dan dinding dada yang belum berkembang dengan
baik mengganggu pertukaran gas yang adekuat. Pembersihan cairan paru yang tidak
efisien karena jaringan interstitial paru imatur bekerja seperti spons. Edema interstitial
terjadi sebagai resultan dari meningkatnya permeabilitas membran kapiler alveoli
sehingga cairan dan protein masuk ke rongga alveoli yang kemudian mengganggu fungsi
paru-paru. Selain itu pada neonatus pusat respirasi belum berkembang sempurna disertai
otot respirasi yang masih lemah. (2)
Alveoli yang mengalami atelektasis, pembentukan membran hialin, dan edema
interstitial mengurangi compliance paru-paru; dibutuhkan tekanan yang lebih tinggi untuk
mengembangkan saluran udara dan alveoli kecil. Dinding dada bagian bawah tertarik
karena diafragma turun dan tekanan intratorakal menjadi negatif, membatasi jumlah
tekanan intratorakal yang dapat diproduksi. Semua hal tersebut menyebabkan
kecenderungan terjadinya atelektasis. Dinding dada bayi prematur yang memiliki
compliance tinggi memberikan tahanan rendah dibandingkan bayi matur, berlawanan
dengan kecenderungan alami dari paru-paru untuk kolaps. Pada akhir respirasi volume
toraks dan paru-paru mencapai volume residu, cencerung mengalami atelektasis. (2)
Telah diketahui bahwa surfaktan mengandung 90% fosfolipid dan 10% protein ,
lipoprotein ini berfungsi menurunkan tegangan permukaan dan menjaga agar alveoli tetap
mengembang. Kekurangan surfaktan mengakibatkan kolaps pada alveolus sehingga paruparu menjadi kaku. Hal tersebut menyebabkan perubahan fisiologi paru sehingga daya
pengembangan paru (compliance) menurun 25 % dari normal, pernafasan menjadi berat,
shunting

intrapulmonal meningkat dan terjadi hipoksemia berat, hipoventilasi yang

menyebabkan asidosis respiratorik.(2).


Kurangnya pembentukan atau pelepasan surfaktan, bersama dengan unit respirasi
yang kecil dan berkurangnya compliance dinding dada, menimbulkan atelektasis,
menyebabkan alveoli memperoleh perfusi namun tidak memperoleh ventilasi, yang
3

menimbulkan hipoksia. Berkurangnya compliance paru, tidal volume yang kecil,


bertambahnya ruang mati fisiologis, bertambahnya usaha bernafas, dan tidak cukupnya
ventilasi alveoli menimbulkan hipercarbia. Kombinasi hiperkarbia, hipoksia, dan asidosis
menimbulkan vasokonstriksi arteri pulmonal dan meningkatnkan pirau dari kanan ke kiri
melalui foramen ovale, ductus arteriosus, dan melalui paru sendiri. Aliran darah paru
berkurang, dan jejas iskemik pada sel yang memproduksi surfaktan dan bantalan vaskuler
menyebabkan efusi materi protein ke rongga alveoli. (7)
Pada bayi imatur, selain defisiensi surfaktan, dinding dada compliant, otot nafas
lemah dapat menyebabkan kolaps alveolar. Hal ini menurunkan keseimbangan ventilasi
dan perfusi, lalu terjadi pirau di paru dengan hipoksemia arteri progresif yang dapat
menimbulkan asidosis metabolik. Hipoksemia dan asidosis menimbulkan vasokonstriksi
pembuluh darah paru dan penurunan aliran darah paru. Kapasitas sel pnuemosit tipe II
untuk memproduksi surfaktan turun. Hipertensi paru yang menyebabkan pirau kanan ke
kiri melalui foramen ovale dan duktus arteriosus memperburuk hipoksemia. (4)
Aliran darah paru yang awalnya menurun dapat meningkat karena berkurangnya
resistensi vaskuler paru dan PDA. Sebagai tambahan dari peningkatan permeabilitas
vaskuler, aliran darah paru meningkat karena akumulasi cairan dan protein di interstitial
dan rongga alveolar. Protein pada rongga alveolar dapat menginaktivasi surfaktan. (6)
Berkurangnya functional residual capacity (FRC) dan penurunan compliance paru
merupakan karakteristik HMD. Beberapa alveoli kolaps karena defisiensi surfaktan,
sementara beberapa terisi cairan, menimbulkan penurunan FRC. Sebagai respon, bayi
premature mengalami grunting yang memperpanjang ekspirasi dan mencegah FRC
semakin berkurang.

(5)

2.5 Manifestasi Klinik Respiratory Distress Syndrome


Manifestasi dari RDS disebabkan adanya atelektasis alveoli, edema, dan kerusakan sel
dan selanjutnya menyebabkan bocornya serum protein ke dalam alveoli sehingga
menghambat fungsi surfaktan. (2)
Tanda dari HMD biasanya muncul beberapa menit sesudah lahir, namun biasanya
baru diketahui beberapa jam kemudian di mana pernafasan menjadi cepat dan dangkal (60
x / menit). Bila didapatkan onset takipnea yang terlambat harus dipikirkan penyakit lain.
Beberapa pasien membutuhkan resusitasi saat lahir akibat asfiksia intrapartum atau distres
pernafasan awal yang berat Biasanya ditemukan takipnea, grunting, retraksi intercostal
dan subcostal, dan pernafasan cuping hidung. Sianosis meningkat, yang biasanya tidak
responsif terhadap oksigen. Suara nafas dapat normal atau hilang dengan kualitas tubular

yang kasar, dan pada inspirasi dalam dapat terdengan ronkhi basah halus, terutama pada
basis paru posterior. Terjadi perburukan yang progresif dari sianosis dan dyspnea. (3)
Bila tidak diterapi dengan baik, tekanan darah dan suhu tubuh akan turun, terjadi
peningkatan sianosis, lemah dan pucat, grunting berkurang atau hilang seiring
memburuknya penyakit. Apnea dan pernafasan iregular mucul saat bayi lelah, dan
merupakan tanda perlunya intervensi segera. (3)
Dapat juga ditemukan gabungan dengan asidosis metabolik, edema, ileus, dan
oliguria. Tanda asfiksia sekunder dari apnea atau kegagalan respirasi muncul bila ada
progresi yang cepat dari penyakit. Kondisi ini jarang menyebakan kematian pada bayi
dengan kasus berat. Tapi pada kasus ringan, tanda dan gejala mencapai puncak dalam 3
hari. Setelah periode inisial tersebut, bila tidak timbul komplikasi, keadaan respirasi mulai
membaik. Bayi yang lahir pada 32 33 minggu kehamilan, fungsi paru akan kembali
normal dalam 1 minggu kehidupan. Pada bayi lebih kecil (usia kehamilan 26 28
minggu) biasanya memerlukan ventilasi mekanik. (3)
Perbaikan ditandai dengan diuresis spontan, dan kemampuan oksigenasi pada kadar
oksigen lebih rendah. Kematian jarang terjadi pada 1 hari pertama, biasanya terjadi pada
hari kedua sampai ketujuh, sehubungan dengan adanya kebocoran udara alveoli
(emfisema interstitial, pneumothorax, perdarahan paru atau intraventrikular. (3)
Kematian dapat terjadi setelah beberapa minggu atau bulan

bila

terjadibronchopulmonary displasia (BPD) pada penderita dengan ventilasi mekanik


(HMD berat). (3)
2.6 Diagnosis Respiratory Distress Syndrome
Gejala klinis
Bayi kurang bulan (Dubowitz atau New Ballard Score) disertai adanya
takipneu (>60x/menit), retraksi kostal, sianosis yang menetap atau progresif
setelah 48-72 jam pertama kehidupan, hipotensi, hipotermia, edema perifer, edema
paru, ronki halus inspiratoir.
Manifestasi klinis berupa distress pernafasan dapat dinilai dengan APGAR
score (derajat asfiksia) dan Silverman Score atau Down Score. Bila nilai
Silverman score > 7 berarti ada distress nafas, namun ada juga yang menyatakan
bila nilainya > 2 selama > 24 jam.(3)

Score <4
Score 4-7
Score >7

Score Down
: Tidak ada respiratory distress
: Respiratory Distress
: Ancaman gagal napas

Pemeriksaan Radiologis
Berdasarkan gambaran rontgen, paru-paru dapat memberikan gambaran yang
karakteristik, tapi bukan patognomonik, meliputi gambaran retikulogranular halus
dari parenkim dan gambaran air bronchogram tampak lebih jelas di lobus kiri
bawah karena superimposisi dengan bayangan jantung. Awalnya gambaran
rontgen normal, gambaran yang tipikal muncul dalam 6-12 hari. (2)

Laboratorium
Dari pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan Hb, Ht dan gambaran darah tepi
tidak menunjukan tanda-tanda infeksi. Kultur darah tidak terdapat Streptokokus.
Analisis gas darah awalnya dapat ditemukan hipoksemia, dan pada keadaan lanjut
ditemukan hipoksemia progresif, hipercarbia dan asidosis metabolik yang

bervariasi. (4)
Echocardiografi
Echocardiografi dilakukan untuk mendiagnosa PDA dan menentukan arah dan
derajat pirau. Juga berguna untuk mendiagnosa hipertensi pulmonal dan

menyingkirkan kemungkinan adanya kelainan struktural jantung. (3)


2.7 Tatalaksana Respiratory Distress Syndrome
Terapi respiratory distress syndrome ditujukan untuk mencegah komplikasi dan
memburuknya keadaan yang terjadi akibat penyakit paru-paru pada neonatus, seperti
hipoksemia dan asidemia, sehingga proses penyembuhan dapat berlangsung. Bayi baru
lahir yang mengalami gangguan nafas berat harus dirawat di ruang rawat intensif untuk
neonatus (NICU), bila tidak tersedia bayi harus segera dirujuk ke rumah sakit yang
memiliki fasilitas NICU.14Sebelum dirujuk atau dipindahkan ke NICU, penatalaksanaan
yang tepat sejak awal sangat diperlukan untuk mencapai keberhasilan perawatan. (6)
2.8 Komplikasi Respiratory Distress Syndrome
6

Komplikasi jangka pendek ( akut ) dapat terjadi :


1. Ruptur alveoli : Bila dicurigai terjadi

kebocoran

udara

(pneumothorak,

pneumomediastinum, pneumopericardium, emfisema intersisiel ), pada bayi dengan


RDS yang tiba2 memburuk dengan gejala klinis hipotensi, apnea, atau bradikardi atau
adanya asidosis yang menetap.
2. Dapat timbul infeksi yang terjadi karena keadaan penderita yang memburuk dan
adanya perubahan jumlah leukosit dan thrombositopeni. Infeksi dapat timbul karena
tindakan invasiv seperti pemasangan jarum vena, kateter, dan alat2 respirasi.
3. Perdarahan intrakranial dan leukomalacia periventrikular : perdarahan intraventrikuler
terjadi pada 20-40% bayi prematur dengan frekuensi terbanyak pada bayi RDS
dengan ventilasi mekanik.
4. PDA dengan peningkatan shunting dari kiri ke kanan merupakan komplikasi bayi
dengan RDS terutama pada bayi yang dihentikan terapi surfaktannya.
Komplikasi jangka panjang dapat disebabkan oleh toksisitas oksigen, tekanan
yang tinggi dalam paru, memberatnya penyakit dan kurangnya oksigen yang menuju
ke otak dan organ lain.
Komplikasi jangka panjang yang sering terjadi :
1. Bronchopulmonary Dysplasia (BPD): merupakan penyakit paru kronik yang
disebabkan pemakaian oksigen pada bayi dengan masa gestasi 36 minggu. BPD
berhubungan dengan tingginya volume dan tekanan yang digunakan pada waktu
menggunakan ventilasi mekanik, adanya infeksi, inflamasi, dan defisiensi vitamin A.
Insiden BPD meningkat dengan menurunnya masa gestasi.
2. Retinopathy prematur Kegagalan fungsi neurologi, terjadi sekitar 10-70% bayi yang
berhubungan dengan masa gestasi, adanya hipoxia, komplikasi intrakranial, dan
adanya infeksi. (8)
2.9 Pemeriksaan Radiologis pada Neonatus
Pemeriksaan radiologis yang paling sering dan diutamakan pada neonatus adalah foto
rontgen toraks. Foto X-Ray Toraks terutama berperan penting dalam membantu
menentukan diagnosis awal dan perkembangan penyakit selanjutnya. Terkadang
ditemukan kesulitan dalam menginterpretasi hasil pemeriksaan radiologis pada neonatus.
Hal ini terjadi karena banyaknya kelainan yang tidak spesifik dan saling overlapping. Hal
ini memudahkan terjadinya kesalahan dalam diagnosis secara radiologis. Untuk itu perlu
selalu ditekankan melihat kembali kondisi klinis pasien.
Jenis pemeriksaan radiologi meliputi pemeriksaan konvensional sederhana sampai
canggih. Pemeriksaan tersebut antara lain foto thorax supine / lateral decubitus, USG, CT7

scan dan yang paling canggih adalah MRI. Akan tetapi Modalitas radiologi yang dipilih
harus tepat sesuai kasus.
Foto thoraks merupakan pemeriksaan yang paling sering dilakukan. Pada neonatus
foto toraks dilakukan dengan mengambil proyeksi Anteroposterior (AP) dengan posisi
pasien supine atau lateral supine/horizontal beam. Sedangkan posisi PA dan lateral tegak
sulit dilakukan pada neonatus. Perlu diingat bahwa selama pemeriksaan foto toraks pada
bayi baru lahir, bayi harus selalu ditempatkan dalam inkubator untuk mencegah terjadinya
hipotermia.
Hal-hal penting yang perlu diperhatikan selama proses pemeriksaan radiologis pada bayi
baru lahir antara lain :
Proteksi radiasi

: perlindungan terhadap organ gonad dan luas lapangan

pemotretan.
Pencegahan terhadap hipotermi : bayi tetap diletakkan dalam inkubator
atau dilakukan foto toraks menggunakan mobile X-ray di ruang neonatus,

sehingga bayi tidak perlu dipindahkan dari infant warmer.


Oksigenasi untuk mencegah hipoksia.
Immobilisasi agar posisi foto simetris dan hindarkan kepala bayi
menengok.

Foto toraks pada neonatus secara normal akan memberikan gambaran sebagai berikut:

Bentuk toraks silindris.


Costae lebih horizontal.
Level diafragma kanan setinggi costae 7-9 posterior.
Cardio-thoracic ratio (CTR) bisa sampai 65%.
Ukuran thymus bervariasi, biasanya berbentuk segitiga, dan bila tidak ada
pembesaran tidak akan menimbulkan kompresi/pergeseran organ-organ

mediastinum.
Artefak : bisa menimbulkan misinterpretasi. Contoh : lipatan kulit sering

salah diartikan sebagai pneumotoraks.


Evaluasi tube line.

Sedangkan gambaran pola radiologis yang sering muncul pada bayi baru lahir dengan
gangguan nafas adalah sebagai berikut :

Normal
Granuler
Streaky atau wet lung
Patchy infiltrate
8


2.10

Focal (9)

Gambaran Radiologis Respiratory Distress Syndrome


Hal penting yang harus ditemukan pada foto toraks RDS yaitu :
Gambaran granuler homogen yang difus
Ground glass appearance
Air bronchogram abnormal
hipoaerasi(9)
Gambaran rontgen HMD dapat dibagi jadi 4 tingkat :

Stage I : Gambaran reticulogranular

Gambar 1.
RDS Stage I : Reticulogranuler pattern(3)

Stage II : Stage I disertai air bronchogram di luar bayangan jantung/meluas ke


perifer

Gambar 2.
Stage III : Stage II disertai kesukaran menentukan batas jantung.
RDS Stage II : air bronchogram abnormal(3)

Gambar 3.
RDS Stage III : Batas jantung sulit ditentukan(3)

Stage IV : Stage III disertai kesukaran menentukan batas diafragma dan thymus.
Gambaran white lung.

Gambar 4.
2.11

Diagnosis Banding Respiratory Distress


Syndrome
RDS
stage IV : white lung(3)
1. Neonatal Pneumonia
Dalam diagnosis banding, sepsis akibat Streptococcus grup B kurang bisa
dibedakan dengan HMD. Pada pneumonia yang muncul saat lahir, gambaran

10

rontgen dada dapat identik dengan HMD, namun ditemukan coccus gram
positif dari aspirat lambung atau trakhea, dan apus buffy coat. Tes urin untuk
antigen streptococcus positif, serta adanya netropenia. (3) Gambaran radiologis
yang sering muncul pada kasus neonatal pneumonia antara lain :
Normal
Infiltrat multipel (lobar, segmental, bercak)
Densitas streaky
Infiltrat ground glass diffuse + air bronchogram
Pneumatokel dapat muncul pada infeksi staphylococcus(9)

Gambar 5.
Gambaran Pneumatokel pada bayi prematur dengan
Pneumonia akibat infeksi Pseudomonas dan sepsis
Staphylococcus(9)

2. Transient Tachypnea of Newborn (TTN)


Takipnea sementara dapat disingkirkan karena gejala klinisnya pendek dan
ringan. Hiperaerasi adalah ciri khas TTN (kebalikan dari RDS
hipoaerasi). Densitas retikulogranular bilateral akan hilang bilang diberi
ventilasi, sementara pada RDS gambaran opak menetap minimal 3 4 hari. (3)
11

Gambar 6.
Gambaran foto toraks pada pasien TTN. 6 jam setelah lahir masih tampak overaerasi dan
streaky dan opasitas interstitial paru bilateral. Dua hari kemudian abnormalitas parenkim paru
berkurang akan tetapi opasitas perihiler yang streaky masih tampak. (9)

Gambaran radiologis yang muncul pada kasus TTN adalah :


Prominent pulmonary interstitial marking
Cairan pada fissura interlobaris & cavum pleura
Inflasi paru normal/ hiperaerasi
Jika parah gambaran edema pulmonum
Penyembuhan dimulai dari perifer ke sentral
Gambaran paru kembali normal dalam 48 72 jam(9)

3. Sindroma Aspirasi Mekoneal


Terlihat adanya air trapping, gambaran opak noduler kasar difus, serta
area emfisema fokal. Berbeda dengan gambaran opak granuler halus pada
RDS. Paru-paru biasanya hiperaerasi. (3)
12

Gambar 7.
Sindroma Aspirasi Mekoneal(9)

BAB IV
KESIMPULAN
Respiratory Distress Syndrome (penyakit membran hialin) merupakan penyebab
terbanyak dari angka kesakitan dan kematian pada bayi prematur. Hal ini disebabkan adanya
defisiensi surfaktan yang menjaga agar kantong alveoli tetap berkembang dan berisi udara,
sehingga pada bayi prematur dimana surfaktan masih belum berkembang menyebabkan daya
13

berkembang paru kurang dan bayi akan mengalami sesak napas. Pemberian surfaktan
merupakan salah satu terapi rutin yang diberikan pada bayi prematur dengan RDS.
Chest X-Ray masih merupakan modalitas imejing paling utama pada assesment bayi
baru lahir dengan distress pernafasan. Sementara banyak temuan radiologis yang secara
relatif kurang spesifik, integrasi dari temuan klinis dan gambaran pada X-ray akan membantu
para klinisi sampai pada diagnosis yang tepat. (9)
Melakukan observasi intensif dan perhatian pada bayi baru lahir beresiko tinggi
dengan segera akan mengurangi morbiditas dan mortalitas akibat HMD dan penyakit
neonatus akut lainnya. Hasil yang baik bergantung pada kemampuan dan pengalaman
personel yang menangani, unit rumah sakit yang dibentuk khusus, peralatan yang memadai,
dan kurangnya kmplikasi seperti asfiksia fetus atau bayi yang berat, perdarahan intrakranial,
atau malformasi kongenital. Terapi surfaktan telah mengurangi mortalitas 40 %.
Mortalitas dari bayi dengan berat lahir rendah yang dirujuk ke ICU menurun dengan
pasti, 75 % dari bayi dengan berat <> 2.500 gr bertahan. Meski 85 90 % bayi yang selamat
setelah medapat bantuan respirasi dengan ventilator adalah normal, penampakan luar lebih
baik pada yang berta badannya > 1.500 gr, sekitar 80 % dari yang beratnya
Pemberian surfaktan merupakan salah satu terapi rutin yang diberikan pada bayi
prematur dengan RDS. Sampai saat ini ada dua pilihan terapi surfaktan, yaitu natural
surfaktan yang berasal dari hewan dan surfaktan sintetik bebas protein, dimana surfaktan
natural secara klinik lebih efektif. Adanya perkembangan di bidang genetik dan biokimia,
maka dikembangkan secara aktif surfaktan sintetik. (2)
Surfaktan paru merupakan pilihan terapi pada neonatus dengan RDS dan merupakan
campuran antara fosfolipid, lipid netral, dan protein yang berfungsi menurunkan tegangan
permukaan pada air-tissue interface . Semua surfaktan derivat binatang mengalami berbagai
proses untuk mengeluarkan SP-A dan SP-D, menurunkan SP-B dan SP-C, dan merubah
fosfolipid sehingga berbeda dengan surfaktan binatang.(2) Hasil dari studi meta analisis
dengan

Randomised Control Trial

(Soll,2003) menunjukkan bahwa hampir 40%

menurunkan angka kematian dan 30-70% menurunkan insiden pneumothorax pada RDS ,
akan tetapi surfaktan yang diberikan pada komplikasi prematur ( chronic lung disease ,
patent ductus arteriosus , retinopathy premature ) memberikan efek yang tidak memuaskan.
(11)

Berdasarkan penelitian,surfaktan merupakan terapi yang penting dalam menurunkan


angka kematian dan angka kesakitan bayi prematur. Disebut terapi profilaksis bila surfaktan
diberikan pada waktu pertolongan pertama pada bayi prematur yang baru lahir melalui
endotrakheal tube. Sampai saat ini masih ada perbedaan pendapat tentang waktu pemberian
14

surfaktan, apakah segera setelah lahir (pada bayi prematur) atau setelah ada gejala
Respiratory Distress Syndrome. Alasan yang dikemukakan sehubungan dengan pemberian
profilaksis berhubungan dengan epithel paru pada bayi prematur akan mengalami kerusakan
dalam beberapa menit setelah pemberian ventilasi.

DAFTAR PUSTAKA
1. Pusponegoro TS. Penggunaan Surfaktan pada Sindrom Gawat Nafas Neonatal.
Continuing Education Ilmu Kesehatan Anak no 27, Nopember 1997; 89-96 1
2. Nur A., Etika R., Damanik SM., Indarso F., Harianto A. Pemberian Surfaktan pada Bayi
Prematur Dengan Respiratory Distress Syndrome.Buletin Bagian/SMF Ilmu Kesehatan
Anak FK Unair, 2006, April. Diunduh dari : http://old.pediatrik.com/isi03.php?
page=kategori&hkategori=Buletin
3. Malloy, JL, Veldhuizen RA, McCormack FX, Korfhagen TR, Whitsett JA, and Lewis JF.
Pulmonary surfactant and inflammation in septic adult mice: role of surfactant protein A.
J Appl Physiol 2002;92:809-16.

15

4. Gomella TL, Cunningham.MD, Eyal.FG, Eds. Hyaline Membran Disease

(Respiratory

Distress Syndrome) .Dalam Neonatology-Management, Procedures, On-Call Problems,


Diseases, and Drugs; Edisi 5. McGraw-Hill.Co,2004;539-43.
5. Warman FI., Satrio WS., Romadhon M. 2013. Respiratory Distress Syndrome. Diunduh
dari : http://id.scribd.com/doc/97547993/Respiratory-Distress-Syndrome
6. Pramanik.A.MD.
2002.
Respiratory
Distress
Syndrome.
Diunduh

dari

:http://www.emedicine.com/topic
7. Tobing R. Kelainan Kardiovaskular pada Sindrom Gawat Nafas Neonatus. Sari Pediatri,
2004, Juni; 6(1): 40-46.
8. Mardiana WF. 2010. Peran Radiologi Dalam Gangguan Nafas Pada Neonatus. Diunduh
dari : http://id.scribd.com/doc/97547993/Peran Radiologi Dalam Gangguan Nafas
Pada Neonatus
9. Arthur R. The Neonatal Chest X-Ray. Paediatric Respiratory Reviews. 2001; Vol.2
(Series : Imaging) : 311-323. Diunduh dari : http://www.idealibrary.com
10. Wright Jo. 2003. Pulmonary surfactant: a front line of lung host defense. Diunduh dari :
http://www.pediatrics.com/
11. David S. 2003. Textbook of Radiology and Imaging Vol 1, ed 7.

16

You might also like