Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
NAPZA merupakan singkatan dari Narkotika, psikotropika dan zat adiktif
lainnya. Hal ini dikenal oleh orang awam sebagai Narkoba. Jenis dari zat ini memiliki
macam-macam efek dengan berbagai mekanisme mempengaruhi system saraf.
Awalnya, obat-obat tersebut tidak dilarang untuk digunakan oleh pemerintah karena
diproduksinya obat tersebut hanya untuk keperluan ilmu pengetahuan dan
pengobatan. Namun, karena efeknya yang mampu menimbulkan euphoria bagi para
penggunanya, maka obat ini mulai disalahgunakan oleh masyarakat.
Berdasarkan efeknya terhadap system saraf pusat (SSP), maka terbagi menjadi
3 golongan, yaitu : Stimulan, Depresan dan Halusinogen. Pemakaian NAPZA ini tidak
mengenal berdasarkan usia, status derajat social, status ekonomi miskin atau kaya,
status pekerjaan, status agama maupun RAS. Semua orang bias terjerumus dan bias
menjadi pengedar obat-obat terlarang tersebut. Banyak factor yang dapat
menyebabkan seseorang terjerumus kedalam penyalahgunaan narkoba yang pada
akhirnya dapat membuat orang tersebut menjadi kacanduan dan ketergantungan
ataupun menjadi pengedar.
Faktor-faktor tersebut yaitu : factor keluarga, pribadi, maupun factor
lingkungan. NAPZA dapat digunakan dengan cara dihirup, disuntikkan ataupun
melalui oral. Menurut beberapa penelitian, laki-laki remaja merupakan golongan yang
terbanyak menjadi pecandu narkoba. Hal ini akan sangat membahayakan bagi tubuh
dan masa depan generasi muda.
B. SKENARIO
LBM IV
Gejala Putus Zat
Seorang laki-laki berusia 17 tahun dating ke praktik dokter bersama teman kosnya
dengan perilaku agresif, cemas, bicara dengan nada cepat dan keras serta tampak
bingung. Teman yang mengantarkan mengatakan bahwa pasien memiliki nafsu makan
yang kurang, sering tampak kelelahan, sulit tidur, tangan gemetar. Di tempat praktik
dokter, pasien sering meminta Pil Favoritnya. Dari pemeriksaan dokter didapatkan
tekanan darah 100/60mmhg, frekuensi nadi 100x/menit, pernapasan 28x/menit, dan
suhu 36,8 oC. Bagi pasien tersebut kebutuhan utamanya pada saat itu tidak ada yang
lain, selain mendapat Pil Favoritnya. Kondisi seperti ini menurut teman pasien
sudah sering terjadi selama beberapa bulan sebelumnya.
C. Terminologi
-
D. Permasalahan
1. Bagaimana gejala, mekanisme, dan gangguan terkait beberapa jenis NAPZA?
2. Bagaimana kemungkinan mekanisme keluhan yang sesuai dengan scenario?
3. Apa diagnosis pasien di scenario?
4. Bagaimana alur penatalaksanaan pasien?
5. Bagaimana pencegahan agar hal tersebut tidak terjadi lagi?
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
tidak dapat memenuhi penyalahgunaan zat untuk suatu zat tertentu bila ia pernah
memenuhi kriteria ketergantungan terhadap zat yang sama.
Kriteria DSM-IV-TR untuk Penyalahgunaan Zat
A. Suatu pola maladaptive penggunaan zat yang menimbulkan hendaya atau
penderitaan yang secara klinis signifikan, seperti dimanifestasikan oleh satu (atau
lebih) hal berikut, yang terjadi dalam periode 12 bulan :
1. Penggunaan zat berulang mengakibatkan kegagalan memenuhi kewajiban
peran utama dalam pekerjaan, sekolah, atau rumah (cth: absen berulang atau
kinerja buruk dalam pekerjaan yang berhubungan dengan penggunaan zat;
absen, skors, atau dikeluarkan dari sekolah terkait zat; penelantaran anak atau
rumah tangga)
2. Penggunaan zat berulang pada situasi yang secara fisik berbahaya (cth:
mengendarai mobil atau mengoperasikan mesin saat sedang mengalami
hendaya akibat penggunaan zat)
3. Masalah hukum berulang terkait zat (cth: penahanan karena perilaku kacau
terkait zat)
4. Penggunaan zat berlanjut meski memiliki masalah social atau interpersonal
yang persisten atau rekuren yang disebabkan atau dieksaserbasi oleh efek zat
(cth: berselisih dengan pasangan tentang konsekuensi intoksikasi, perkelahian
fisik)
B. Gejala tidak memenuhi kriteria ketergantungan zat untuk kelas zat ini
Dari American Psychiatric Association. Diagnostic and Statistical manual of Mental
Disorder. 4th ed. Revisi teks. Washington, DC : American Psychiatric Association;
copyright 2000, dengan izin.
Kriteria DSM-IV-TR untuk Ketergantungan Zat
Suatu pola maladaptive penggunaan zat, yang menimbulkan hendaya atau penderitaan
yang secara klinis signifikan, yang dimanifestasikan oleh tiga (atau lebih) hal berikut,
terjadi dalam periode 12 bulan yang sama:
1) Toleransi, seperti didefinisikan salah satu di bawah ini :
a) Kebutuhan untuk terus meningkatkan jumlah zat untuk mencapai intoksikasi
atau efek yang diinginkan
b) Penurunan efek yang sangat nyata dengan berlanjutnya penggunaan zat dalam
jumlah yang sama
2) Putus zat, seperti dimanifestasikan salah satu hal berikut :
a) Karakteristik sindrom putus zat untuk zat tersebut (mengacu kriteria A dan B
untuk keadaan putus zat dari suatu zat spesifik)
b) Zat yang sama (atau berkaitan erat) dikonsumsi untuk meredakan atau
4
zat
dibanding
pada
gejala
dependensi
fisik.
Sebagaian
besar
ketergantungan
zat
juga
mungkin
memiliki
pola
genetic
dalam
endogen
yang
terlalu
banyak
mungkin
berisiko
mengalami
ketergantungan opioid. Bahkan pada orang dengan fungsi reseptor endogen dan
6
Narkotika
Berdasarkan Undang-Undang Narkotika No. 22/1997, narkotika dibagi menjadi 3
golongan, yaitu :
1. Narkotika Golongan I : hanya digunakan untuk ilmu pengetahuan , tidak untuk
terapi, potesi sangat tinggi untuk menyebabkan ketergantungan (contohnya :
heroin, kokain, ganja)
2. Narkotika golongan II : digunakan untuk terapi pilihan terakhir dan IPTEK,
berpotensi tinggi untuk menyebabkan ketergantungan (contohnya : morfin,
petidin)
3. Narkotika golongan III : digunakan untuk terapi dan IPTEK, berpotensi ringan
kuat
mengakibatkan
sindroma
ketergantungan.
Contoh
dari 60 macam.
Jenis-jenis psikotropika:
1. Psikotropika yang tidak digunakan untuk tujuan pengobatan dengan
potensi ketergantungan yang sangat kuat. Contoh : LSD,MDMA, dan
mascalin.
2. Psikotropika yang berkhasiat tetapi dapat menimbulkan ketergantungan
seperti Amfetamin.
3. Psikotropika dari kelompok hipnotik sedative, seperti Barbiturat. Efek
ketergantungan sedang.
4. Psikotropika yang efek ketergantungannya ringan, seperti Diazepam,
Nitrazepam.
Zat Adiktif Lainnya
Yang termasuk Zat Adiktif lainnya adalah : bahan / zat yang berpengaruh
psikoaktif diluar Narkotika dan Psikotropika, meliputi :
1. Minuman Alkohol : mengandung etanol etil alkohol, yang berpengaruh
menekan susunan saraf pusat, dan sering menjadi bagian dari kehidupan
manusia sehari hari dalam kebudayaan tertentu. Jika digunakan bersamaan
dengan Narkotika atau Psikotropika akan memperkuat pengaruh obat / zat itu
dalam tubuh manusia. Ada 3 golongan minuman beralkohol :
a. Golongan A : kadar etanol 1 5 % ( Bir ).
b. Golongan B : kadar etanol 5 20 % ( Berbagai minuman anggur )
8
Klasifikasi
Tiga kategori utama obat-obatan psikoaktif, yaitu :
1. Golongan depresan (depressant)
Berfungsi mengurangi aktifitas fungsional tubuh. Jenis ini membuat
pemakaiannya merasa tenang, membawa rasa relaksasi, pendiam dan bhakan
membuatnya tertidur dan tidak sadarkan diri. Yang termasuk golongan depresan
yaitu sebagai berikut :
a. Alcohol
Merupakan salah satu zat psikoaktif yang sering digunakan manusia.
Alcohol
terutama
berpengaruh
pada
tubuh
sebagai
depresan
dan
obat
depresan
yang
mengurangi
kecemasan
dan
Opiate
membuat
penggunanya
kecanduan
dan
penghentian
10
Nikotin adalah zat adiktif yang terjadi secara alami dalam tembakau.
Nikotin merupakan bahan aktif dalam asap tembakau. Nikotin ini memiliki
bau tajam dan rasa yang tajam pula. Nikotin didefinisikan sebagai zat yang
beracun, berminyak, berwarna kuning pucat yang berubah warna menjadi
coklat setelah terpapar udara. Dalam bentuk terkonsentrasi, bahan kimia ini
digunakan sebagai insektisida ampuh.
c. Amphetahamine
Bentuknya ada yang berbentuk bubuk warna putih dan keabuan, digunakan
dengan cara dihirup. Sedangkan yang berbentuk tablet biasanya diminum
dengan air. Ada dua jenis amphetamine, yaitu :
1) MDMA( methylene dioxy methamphetamine), dikenal dengan nama
ekstasi. Terdiri dari berbagai macam jenis antara lain : white doft, pink
heart, snow white, petir yang dikemas dalam bentuk pila tau kapsul.
2) Methamfetamin ice, dikenal sebagai shabu. Cara penggunaannya :
diabakar dengan menggunakan kertas aluminium foil dan asapnya dihisap
atau dibakar dengan menggunakan botol kaca yang dirancang khusus.
d. Kokain
Kokain mempunyai dua bentuk, yaitu : kokain hidroklorid dan free base.
Kokain berupa kristal putih. Rasa sedikit pahit dan lebih mudah larut dari free
base. Free base tidak berwarna/ putih, tidak berbau, dan rasanya pahit.
Biasanya dalam bentuk bubuk putih
3. Golongan Halusinogen
Merupakan jenis NAPZA yang dapat menimbulkan efek halusinasi yang
bersifat merubah perasaan dan pikiran dan seringkali menciptakan daya pandang
yang berbeda sehingga seluruh perasaan dapat terganggu. Golongan ini tidak
digunakan dalam terapi medis. Yang termasuk golongan halusinogen, yaitu :
a. Ganja atau mariyuana
Merupakan produk psikoaktif dari tumbuhan Cannabis sativa.
b. LSD (Lysergic Acid Diethylamide)
11
BAB III
PEMBAHASAN
12
DSM-IV-TR
tidak
menggunakan
istilah
itu
karena
tidak
13
sel-sel saraf pusat. Karena sifat adiktifnya itu, maka orang yang meminumnya
lama-kelamaan tanpa disadari akan menambah takaran/dosis sampai pada dosis
keracunan (intoksikasi) atau mabuk. Ganggua mental organic memiliki gejalagejala sebagai berikut :
a. Terdapat dampak berupa perubahan perilaku, misalnya perkelahian dan
tindak kekerasan lainnya, ketidak-mampuan menilai realitas dan gangguan
dalam fungsi social dan pekerjaan (perilaku maladaptive)
b. Terdapat gejala fisiologik sebagai berikut:
1) Pembicaraan cadel (slurred speech)
2) Gangguan koordinasi
3) Cara jalan yang tidak mantap
4) Nistakmus
5) Muka merah
c. Tampak gejala-gejala psikologik sebagai berikut:
1) Perubahan afek dan mood, misalnya euphoria atau disforia
2) Mudah marah dan tersinggung
3) Bicara ngelantur
4) Gangguan konsentrasi
5. Penanganan dan rehabilitasi
a. Intervensi
Pada tahap ini juga disebut dengan konfrontasi, adalah memutus
rasa penyangkalan dan mambantu pasien mengenali konsekuensi simpang
yang akan terjadi jika gangguan ini tidak diobati. Keluarga dapat sangat
membantu dalam intervensi
b. Detoksifikasi
15
(Dexedrine),
metafetamin
(Desoxyn),
campuran
garam
16
Gejala-gejala
a. Gejala psikologik
1) Agitasi psikomotor. Yang bersangkutan berprilaku hiperaktif, tidak
dapat diam selalu bergerak
2) Rasa gembira (elation). Yang bersangkutan dalam suasana gembira
yang berlebihan, seringkali lepas kendali dan melakukan tindakantindakan yang bersifat asusila.
3) Harga diri meningkat
4) Banyak bicara
5) Paranoid
6) Halusinasi penglihatan
17
b. Gejala fisik
1) Jantung berdebar-debar (palpitasi)
2) Dilatasi pupil
3) Hipertensi
4) Kertingat berlebihan atau kedinginan
5) Mual dan muntah
c. Tingkah laku maladaptive, seperti perkelahian
d. Gangguan dilusi (waham) yang ditandai dengan:
1) Waham kejaran yaitu paranoid bahwa dirinya terancam
2) Kecurigaan terhadap lingkungan sekitar menyangkut dirinya sendiri
3) Agresivitas dan sikap bermusuhan
4) Kecemasan dan kegelisahan
5) Agitasi psikomotor
4. Penanganan dan rehabilitasi
Penanganan gangguan terkait amfetamin
18
Reseptor
spesifik
untuk
kanabitol
telah
diidentifikasi,
diklon,
kokain
adalah
iritabilitas,
terganggunya
kemampuan
21
e. Kewaspadaan meningkat
f. Palpitasi
g. Dilatasi pupil
h. Hipertensi
i. Berkeringat berlebihan
j. Mual dan muntah
k. Perilaku maladaptif
sebagian
besar
zat
halusinogenik
bervariasi
efek
22
1. Epidemiologi
WHO memperkirakan terdapat 1 milyar perokok di seluruh dunia dan
mereka merokok 6 triliyun rokok kretek/ tahun. WHO juga memperkirakan
bahwa tembakau membunuh lebih dari 3 juta orang tiap tahun.
2. Neurofarmakologi
Komponen psikoaktif tembakau adalah nikotin, yang mempengaruhi
sistem saraf pusat dengan bekerja sebagai agonis pada reseptor asetilkolin
subtype nikotinik, sekitar 25% nikotin yang dihirup saat merokok mencapai
aliran darah, dan melalui pembuluh darah tersebut nikotin dapat mencapai otak
dalam 15 detik. Waktu paruh nikotin adalah sekitar 2 jam. Nikotin diyakini
mengg]hasilkan sifat penguat positif dan adiktif dengan mengaktivasi jaras
dopaminergic yang berjalan dari areategmental ventrak ke korteks serebri dan
sistem limbik. Selain mengaktivasi sistem rewatd dopamine, nikotin
menyebabkan peningkatan konsentrasi norepineprin dan epineprin yang
bersikulasi meningkatkan vasopressin, endirfin, hormone adrenokortikotropik,
dan kortisol. Hormone-hormon ini dianggap berperan dalam efek stimulatorik
dasar nikotin terhadap SSP.
3. Gambaran klinis
Secara prilaku, efek stimulatorik nikotik menimbulkan peningkatan
atensi, pembelajran, waktu reaksi, dan kemampuan menyelesaikan masalah.
Pengguna tembakau juga melaporkan bahwa merokok kretek meningkatkan
mood, menurunkan ketegangan, dan mengurangi perasaan depresi.hasil studi
tentang efek nikotin pada aliran darah otak menemukan bahwa pajanan
nikotinjangka pendek meningkatkan aliran darah otak tanpa mengubah
metabolism oksigen otak, namun jangka panjang akan menurunkan aliran darah
otak. Bertentangan dengan efek stimulatorik terhadap SSP, nikotin bekerja
sebagai relaksan otot skeletal.
Gangguan terkait opioid
Ketergantungan opioid merupakan suatu kumpulan gejala fisiologi,
perilaku, dan kognitif yang bersama-sama mengindikasikan penggunaan berulang
dan berkelanjutan zat opioid meski masalah signifikan yang berkaitan dengan
penggunaan tersebut. Penyalahgunaan opioid adalah istilah yang digunakan untuk
23
merujuk suatu pola penggunaan zat opioid maladaptive yang mengarah ke hendaya
atau gangguan signifikan secara klinis dan terjadi dalam perode 12 bulan, namun
gejalanya tidak pernah memenuhi kriteria ketegantungan obat.
1. Neurofarmakologi
Reseptor opioid diperantarai reseptor opioid. Reseptor- terslibat dalam
regulasi dan mediasi analgesia, depresi napas, konstipasi, dan ketergantungan,
reseptor opioid- dengan analgesic, diuresis dan sedasi, serta reseptor opioid-
mungkin dengan analgesia. Opioid mempengaruhi endorphin, dan sebagai
dopaminergic dan noradrenergic. Heroin adalah opioid yang paling sering
disalahgunakan dan lebih poten serta larut dalam lemak dibandingkan morfin.
Karena sifat-sifat tersebut, heroin melintasi sawar darah otak lebih cepat
dibandingkan dengan morfin
2. Gambaran klinis
Opioid dapat dikonsumsi per oral, dihirup secara intranasal, dan
diinjeksikan secara IV atau subkutan. Opioid secara subjektif bersifat adiktif
karena melalui sensasi tinggi euforik yang dialami pengguna, terutama mereka
menginsumsi zat secara IV. Gejala tekait mencakup perasaan hangat, rasa berat
di ekstremitas, mulut kering, wajah gatal, dan wajah memerah. Euphoria awal
diikuti oleh periode sedasi, dikenal dalam istilah jalanan sebagai nodding off.
Penggunaan opioid dapat menginduksi disforia, mual, muntah, pada orang yang
belum pernah mengonsumsi opioid sebelumnya. Efek fisik opioid meliputi
depresi napas, konstriksi pupil, kontraksi otot polos (termasuk ureter dan
kandung empedu), konstipasi, perubahan tekanan darah, denyut jantung, dan
suhu tubuh. Efek depresi napas diperantarai pada tingkat batang otak.
Gangguan terkait sedatif, hipnotik, atau ansiolitik
Obat yang dikaitkan dengan kelas gangguan terkait zat ini adalah golongan
benzodiazepine (cth. Diazepam, flunitrazepam, barbiturate) dan zat lir-barbiturat,
yang meliputi metakualon dan meprobamat. Indikasi non-psikiatri utama untuk
obat-obatan ini adalah untuk antiepileptic, relaksan otot, anastetik, dan ajuvan
anestetik. Alcohol dan semua obat dari kelas ini memiliki toleransi silang, dan
efeknya adiktif. Ketergantungan fisik dan psikologis terjadi pada semua jenis obat,
dan semua dikaitkan dengan gejala putus obat.
24
25
sehingga
kinerja
otak
berubah
secara
dinamik
sesuai
dengan
konstalasi
neurotransmitter.
Keberadaan neurotransmitter dapat di pengaruhi pada proses sintesis,
penyimpanan, pelepasan dan metabolism. Semua pust pusat otak di hubungkan oleh
jalur eksitatori dan inhibitori di mana neurotransmitter dari eksitatori yaitu:
Dopamine, Asetilcolin, Norefinefrin, Serotonin, Glutamate , Aspartat,
histami
Serotonin mempengaruhi nafsu makan dan mood. Jika kurang akan membuat
sedih, lemah, malas. Jika berlebihan akan membuat beringas dan hiperaktif.
Asetilkolin
Asetilkolin mempengaruhi kemampuan konsentrasi dan belajar.
3. Diagnosis di skenario
Pasien di skenario berusia 17 tahun, merupakan usia remaja yang cukup rentan
dengan pengaruh dunia luar sehingga pada usia remaja ini, anak perlu diberikan
26
pengertian yang lebih, dan peran keluarga sangatlah penting. Ia datang ke praktik
dokter bersama temannya. Hal ini memberikan petunjuk bahwa keadaannya mulai
gawat. Beberapa keluhan muncul sudah dari beberapa bulan yang lalu dan ketika di
praktik dokter, ia selalu meminta pil favoritnya, seperti orang yang ketagihan. Dari hal
ini, kita dapat mengetahui bahwa orang tersebut bukan baru memakai tetapi sudah
mulai memasuki gejala putus zat atau withdrawal syndrome. Yang perlu kita cari
adalah zat apa yang ia maksud dengan Pil Favoritnya.
Mulai dari kata pil, berarti zat yang berbentuk selain pil akan kami eliminasi
seperti alcohol, rokok, dan juga ganja ataupun kafein. Selanjutnya kita lihat, sesuaikan
dengan kriteria diagnostic yang ada.
Opioid-Related Disorders
Opioid Intoxication
Diagnostic Criteria :
A. Recent ingestion of an opioid
B. Clinically significant problemaic bahavior or phychological changes (e.g.,
initial euphoria followed by apathy, dysphoria, phycomotor agitation or
retardation, impaired jugment) that developed during, or shortly after,
opioid use
C. Pupillary contriction (or pupillary dilation
28
Dari kriteria diagnostic di atas, golongan yang paling dekat dengan scenario
adalah sedatif, hipnotik atau anxiolitik. Hal ini berdasarkan scenario yaitu Di tempat
praktik dokter, pasien meminta Pil Favoritnya. Beberapa obat yang dapat
menyebabkan penyalahgunaan dan ketergantungan seperti golongan barbiturate,
golongan benzodiazepine dan golongan lain.
4. Tatalaksana untuk pasien di scenario
29
Alkohol, barbiturat,
Terapi obat
Terapi non-
Flumazenil 0,2
obat
Support
fungsi vital
penggunaan TCA
sampai max 3 mg
Tidak ada
Support
resiko kejang
sedatif hipnotik
non-benzodiazepin
Opiat
Komentar
fungsi vital
Naloxone 0,4-2,0 mg
Support
IV setiap 3 min
fungsi vital
Kokain dan
stimulan CNS lain
Lorazepam 2-4 mg
-Support
IM setiap 30 min
fungsi vital
- Monitor
perlu
fungsi jantung
Haloperidol 2-5 mg
Halusinogen,
selain opiat
- digunakan jika pasien
agitasi
- digunakan jika pasien
psikotik
- komplikasi
(atau antipsikotik
kardiovaskuler diatasi
scr simptomatis
sampai 6 jam
Sama dgn di atas
Support
30
marijuana
fungsi vital,
talk-down
therapy
Terapi obat
Klordiazepoksid 50 mg 3 x sehari atau
(short acting)
Opiat
tappering
Methadon 20-80 mg p.o, taper dengan
metadon maintanance
program
berikutnya
Barbiturat
Komentar
- Klonidin menyebabkan
hipotensi pantau BP
Mixed-substance
Stimulan CNS
memiliki
afinitas
tinggi
terhadap
reseptor
opioida
berikatandengan reseptor ini lebih kuat daripada agonis opioida penuh. Buprenorfin
juga memiliki afinitas tinggi dan memiliki sifat antagonis pada reseptor k,
sehinggapada keadaan tertentu buprenorfin dosis tinggi dapat menimbulkan sindrom
31
putus obat opioida (opioida withdrawal syndrome) dengan gejala dan tandayang
serupa secara kualitatif tetapi tidak sama secara kuantitatif dibandingkan akibat
antagonis penuh seperti nalokson atau naltrekson. Buprenorfin memberikan beberapa
keuntungan dibandingkan terapi gabung anagonis antagonis yang digunakan dalam
terapi ketergantungan opioida. Keuntungan ini antara lain indeks keamanan yang
lebih besar terhadap terjadinya depresi pernafasan, tandaotonom dari putus obat
opioidayang lebih ringan, dan efek psikomimetik atau disforik yang lebih ringan.
Dengan efek respon opioida ganda maka ketika menghambat efek penggunaan heroin
sampingan, buprenorfin juga mengurangi penggunaan.
Perkembangan Terapi
Withdrawal syndrome adalah gejala-gejala yang timbul karena putusnya
pemakaian NAPZA. Terapinya dapat dilakukan baik secara farmakologi maupun
nonfarmakologi. Banyak penelitian yang menemukan penggunaan obat-obatan baru
sebagai terapi penyakit ini untuk hasil yang lebih baik. Pada salah satu penelitian yang
dilakukan pada tahun 2012 dilakukan perbandingan efikasi dan tingkat keamanan
pada obat yang telah lama digunakan untuk terapi withdrawal syndrome yaitu
methadone dan obat baru yaitu tramadol. Dari hasil penelitian tersebut ditemukan
bahwa tramadol memiliki efek samping yang lebih jarang terjadi daripada methadone
dengan efektivitas yang sama dalam mengontrol gejala withdrawal syndrome
sehingga tramadol dapat dipertimbangkan sebagai pengganti methadone yang
potensial.
Pada penelitian lain yang dilakukan tahun 2011 dengan objek penelitian
berupa ikan zebra dilakukan pengamatan terhadap zat mytraginine dan potensinya
untuk terapi withdrawal syndrome. Mytraginine adalah zat alkaloid yang dapat
ditemukan pada daun tanaman Mytragina sp. yang kemudian digunakan secara luas
untuk meningkatkan pertahanan terhadap kerasnya gejala-gejala withdrawal
syndrome pada saat rehabilitasi dari penggunaan opiat. Hasil penelitian tersebut
menunjukkan bahwa pemberian mytraginine pada pasien dengan gejala withdrawal
syndrome dapat menurunkan kadar produksi kortikotropin dan prodynorphin pada
otak sehingga dapat menekan stress dan kecemasan yang dipengaruhi oleh hormonhormon tersebut.
Selama ini obat-obatan yang digunakan untuk withdrawal syndrome bertujuan
untuk mengurangi stress, namun mayoritas obat tersebut akan berefek menekan
32
kemampuan alami pasien untuk mengatasi stress itu sendiri. Oleh karena itu perlu
dilakukan penelitian untuk mengatasinya. Pada penelitian yang dilakukan di Perancis
tahun 2011 dilakukan pengamatan pada corticotrophin releasing factor (CRF) yang
berhubungan dengan terjadinya stress. Dari penelitian ini ditemukan bahwa
penggunaan reseptor-defisiensi CRF dapat meringankan distress pada masa
withdrawal dari opiat tanpa menimbulkan efek kerusakan pada otak dan organ
neuroendokrin serta tidak mempengaruhi mekanisme stress coping sebagai respons
alami terhadap sindrom ini.
5. Upaya pencegahan yang dapat dilakukan
Upaya pencegahan terhadap penyebaran narkoba dikalangan pelajar, sudah
semestinya menjadi tanggung jaab kita bersama. Dalam hal ini semua pihak, termasuk
orang tua, guru, dan masyarakat harus turut berperan aktif dalam measpadai ancaman
arkoba terhadap anak-anak. Banyak yang masih bisa dilakukan untuk mencegah
remaja atau masyarakat menyalahgunakan narkoba dan membantu remaja yang sudah
terjerumus penyalahgunaan narkoba. Ada tiga tingkat intervensi, yaitu :
1. Primer
Sebelum penyalahgunaan terjadi, biasanya dalam bentuk pendidikan,
penyebaran informasi mengenai bahaya narkoba, pendekatan melalui keluarga, dll.
Instansi pemerintah, seperti halnya BKKBN (Badan Koordinasi Keluarga
Berencana Nasional) lebih banyak berperan pada tahap intervensi ini. kegiatan
dilakukan seputar pemberian informasi melalui berbagai bentuk materi KIE
(komunikasi informasi edukasi) yang ditujukan kepada remaja langsung dan
keluarga.
2. Sekunder
Pada saat penggunaan sudah terjadi dan diperlukan upaya penyembuhan
(treatment). Fase ini meliputi: Fase penerimaan awal (initialintake) antara 1 3
hari dengan melakukan pemeriksaan fisik dan mental, dan Fase detoksifikasi dan
terapi komplikasi medik, antara 1 3 minggu untuk melakukan pengurangan
ketergantungan bahan-bahan adiktif secara bertahap.
3. Tertier
Yaitu upaya untuk merehabilitasi mereka yang sudah memakai dan dalam
proses penyembuhan. Tahap ini biasanya terdiri atas Fase stabilisasi, antara 3 - 12
bulan, untuk mempersiapkan pengguna kembali ke masyarakat, dan Fase sosialiasi
33
34
BAB IV
PENUTUP
KESIMPULAN
Dari hasil pemaparan diatas, dapat disimpulkan bahwa anak tersebut (17 tahun)
mengalami ketergantungan zat terlarang dan mulai muncul gejala putus zat. Hal ini dapat
dibuktikan dengan adanya gejala-gejala yang sesuai dengan kriteria diagnostic DSM V
(Diagnostic and Statistical of Mental Disorders). Anak tersebut mengalami
ketergantungan pada obat sedative, hipnotik atau anticemas. Penggunaannya hanya untuk
keperluan ilmu pengetahuan dan digunakan untuk pengobatan. Rehabilitasi merupakan
salah satu penatalaksanaan yang dilakukan dalam kasus-kasus ketergantungan zat
terlarang. Penurunan dosis secara perlahan dan adanya dukungan dari keluarga serta
terapi psikososial sangat berperan penting dalam proses penyembuhan.
35
DAFTAR PUSTAKA
Elvira, S. D. Hadisukanto, G. (2010). Buku Ajar Psikiatri FK UI. Badan Penerbit FK UI,
Jakarta.
Hawari, Dadang. (2012). Penyalahgunaan & Ketergantungan NAPZA, Edisi II. FK UI (hlm :
37-64), Jakarta.
Kaplan, Sadock. (1997). Sinopsis Psikiatri, Edisi Ketujuh, Jilid 1. Bina rupa aksara, Jakarta.
Kaplan, Sadock. (1997). Sinopsis Psikiatri, Edisi Ketujuh, Jilid 2. Bina rupa aksara, Jakarta.
Maramis, Willy F. (2009). Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa, Edisi II. Airlangga University
Press (hlm :369-383), Surabaya.
Maslim, Rusdi. (2013). Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas PPDGJ III dan DSM
5. Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atma Jaya (hlm : 34), Jakarta.
McKeow,
N.J.
(2010).
Withdrawal
Syndromes.
36