You are on page 1of 36

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
NAPZA merupakan singkatan dari Narkotika, psikotropika dan zat adiktif
lainnya. Hal ini dikenal oleh orang awam sebagai Narkoba. Jenis dari zat ini memiliki
macam-macam efek dengan berbagai mekanisme mempengaruhi system saraf.
Awalnya, obat-obat tersebut tidak dilarang untuk digunakan oleh pemerintah karena
diproduksinya obat tersebut hanya untuk keperluan ilmu pengetahuan dan
pengobatan. Namun, karena efeknya yang mampu menimbulkan euphoria bagi para
penggunanya, maka obat ini mulai disalahgunakan oleh masyarakat.
Berdasarkan efeknya terhadap system saraf pusat (SSP), maka terbagi menjadi
3 golongan, yaitu : Stimulan, Depresan dan Halusinogen. Pemakaian NAPZA ini tidak
mengenal berdasarkan usia, status derajat social, status ekonomi miskin atau kaya,
status pekerjaan, status agama maupun RAS. Semua orang bias terjerumus dan bias
menjadi pengedar obat-obat terlarang tersebut. Banyak factor yang dapat
menyebabkan seseorang terjerumus kedalam penyalahgunaan narkoba yang pada
akhirnya dapat membuat orang tersebut menjadi kacanduan dan ketergantungan
ataupun menjadi pengedar.
Faktor-faktor tersebut yaitu : factor keluarga, pribadi, maupun factor
lingkungan. NAPZA dapat digunakan dengan cara dihirup, disuntikkan ataupun
melalui oral. Menurut beberapa penelitian, laki-laki remaja merupakan golongan yang
terbanyak menjadi pecandu narkoba. Hal ini akan sangat membahayakan bagi tubuh
dan masa depan generasi muda.

B. SKENARIO

LBM IV
Gejala Putus Zat
Seorang laki-laki berusia 17 tahun dating ke praktik dokter bersama teman kosnya
dengan perilaku agresif, cemas, bicara dengan nada cepat dan keras serta tampak
bingung. Teman yang mengantarkan mengatakan bahwa pasien memiliki nafsu makan
yang kurang, sering tampak kelelahan, sulit tidur, tangan gemetar. Di tempat praktik
dokter, pasien sering meminta Pil Favoritnya. Dari pemeriksaan dokter didapatkan
tekanan darah 100/60mmhg, frekuensi nadi 100x/menit, pernapasan 28x/menit, dan
suhu 36,8 oC. Bagi pasien tersebut kebutuhan utamanya pada saat itu tidak ada yang
lain, selain mendapat Pil Favoritnya. Kondisi seperti ini menurut teman pasien
sudah sering terjadi selama beberapa bulan sebelumnya.
C. Terminologi
-

D. Permasalahan
1. Bagaimana gejala, mekanisme, dan gangguan terkait beberapa jenis NAPZA?
2. Bagaimana kemungkinan mekanisme keluhan yang sesuai dengan scenario?
3. Apa diagnosis pasien di scenario?
4. Bagaimana alur penatalaksanaan pasien?
5. Bagaimana pencegahan agar hal tersebut tidak terjadi lagi?

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. Ketergantungan dan penyalahgunaan zat


Pada tahun 1964, World Health Organization meyimpulkan bahwa istilah
kecanduan bukan lagi merupakan terminology ilmiah dan direkomendasikan untuk
menggantikan istilah ketergantungan obat. Konsep ketergantungan zat telah
memiliki banyak makna yang lazim digunakan dan diakui secara resmi selama
beberapa decade. Terdapat dua konsep yang digunakan untuk mendefinisikan aspek
ketergantungan : perilaku dan fisik. Ketergantungan secara perilaku menekankan
pada aktivitas mencari zat dan bukti terkait tentang pola penggunaan patologis,
sementara ketergantungan fisik merujuk kepada efek fisik (fisiologis) dari episode
multiple penggunaan zat. Pada definisi yang menekankan ketergantungan fisik, ide
tentang toleransi atau keadaan putus zat muncul dalam kriteria klasifikasi.
Istilah yang juga berhubungan dengan ketergantungan adalah kata
kecanduan dan pecandu. Kata pecandu telah memperoleh kotonasi buruk, tidak
tepat, dan jelas berbeda dengan kata asalnya yang mengabaikan konsep
penyalahgunaan zat sebagai suatu gangguan medis. Kecanduan juga telah
disepelekan dalam penggunaan popular, seperti frasa kecanduan TV dan kecanduan
unag. Meski konotasi ini telah membantu nomenklatur yang telah disepakati secara
resmi untuk menghindari penggunaan kata kecanduan, mungkin terdapat sejumlah
substrat neurokimiawi dan neuroanatomis di antara semua jenis kecanduan, apakah
itu terhadap zat atau berjudi, seks, mencuri, atau makan. Berbagai kecanduan ini
mungkin memeiliki efek serupa terhadap aktivitas area kepuasan pada otak, seperti
area tegmental ventral, lokus serules, dan nucleus akumbens.
DSM IV-TR memungkinkan klinisi menentukan apakah terdapat gejala
ketergantungan penyalahgunaan fisiologis. Ada atau tidaknya ketergantungan
fisiologis tidak perlu dibedakan dengan ketergantungan fisik dan psikologis.
Pembedaan semacam itu sejalan dengan pembedaan organic-fungsional yang salah
kaprah; ketergantungan psikologis atau perilaku tak pelak mencerminkan
perubahan fisiologis pada pusat perilaku di otak. DSM-IV-TR juga memungkinkan
klinisi mengkaji keadaan terkini ketergantungan zat dengan menyediakan daftar
penjelas perjalanan penyakit. Ketergantungan psikologis, disebut juga sebagai
habituasi, ditandai dengan kecanduan kontinu, atau intermitten terhadap zat untuk
mencegah keadaan disforik. DSM-IV-TR mendefiniskan penyalahgunaan zat
ditandai oleh adanya paling sedikit satu gejala spesifik yang mengindikasikan
bahwa penggunaan zat telah mengganggu kehidupan orang tersebut. Seseorang
3

tidak dapat memenuhi penyalahgunaan zat untuk suatu zat tertentu bila ia pernah
memenuhi kriteria ketergantungan terhadap zat yang sama.
Kriteria DSM-IV-TR untuk Penyalahgunaan Zat
A. Suatu pola maladaptive penggunaan zat yang menimbulkan hendaya atau
penderitaan yang secara klinis signifikan, seperti dimanifestasikan oleh satu (atau
lebih) hal berikut, yang terjadi dalam periode 12 bulan :
1. Penggunaan zat berulang mengakibatkan kegagalan memenuhi kewajiban
peran utama dalam pekerjaan, sekolah, atau rumah (cth: absen berulang atau
kinerja buruk dalam pekerjaan yang berhubungan dengan penggunaan zat;
absen, skors, atau dikeluarkan dari sekolah terkait zat; penelantaran anak atau
rumah tangga)
2. Penggunaan zat berulang pada situasi yang secara fisik berbahaya (cth:
mengendarai mobil atau mengoperasikan mesin saat sedang mengalami
hendaya akibat penggunaan zat)
3. Masalah hukum berulang terkait zat (cth: penahanan karena perilaku kacau
terkait zat)
4. Penggunaan zat berlanjut meski memiliki masalah social atau interpersonal
yang persisten atau rekuren yang disebabkan atau dieksaserbasi oleh efek zat
(cth: berselisih dengan pasangan tentang konsekuensi intoksikasi, perkelahian
fisik)
B. Gejala tidak memenuhi kriteria ketergantungan zat untuk kelas zat ini
Dari American Psychiatric Association. Diagnostic and Statistical manual of Mental
Disorder. 4th ed. Revisi teks. Washington, DC : American Psychiatric Association;
copyright 2000, dengan izin.
Kriteria DSM-IV-TR untuk Ketergantungan Zat
Suatu pola maladaptive penggunaan zat, yang menimbulkan hendaya atau penderitaan
yang secara klinis signifikan, yang dimanifestasikan oleh tiga (atau lebih) hal berikut,
terjadi dalam periode 12 bulan yang sama:
1) Toleransi, seperti didefinisikan salah satu di bawah ini :
a) Kebutuhan untuk terus meningkatkan jumlah zat untuk mencapai intoksikasi
atau efek yang diinginkan
b) Penurunan efek yang sangat nyata dengan berlanjutnya penggunaan zat dalam
jumlah yang sama
2) Putus zat, seperti dimanifestasikan salah satu hal berikut :
a) Karakteristik sindrom putus zat untuk zat tersebut (mengacu kriteria A dan B
untuk keadaan putus zat dari suatu zat spesifik)
b) Zat yang sama (atau berkaitan erat) dikonsumsi untuk meredakan atau
4

menghindari gejala putus zat


3) Zat sering dikonsumsi dalam jumlah lebih besar atau dalam periode yang lebih
lama daripada seharusnya
4) Terdapat keinginan persisten atau ketidakberhasilan upaya untuk mengurangi atau
mengendalikan penggunaan zat
5) Menghabiskan banyak waktu melakukan aktivitas yang diperlakukan untuk
memeroleh zat (cth: mengunjungi banyak dokter atau berkendara jarak jauh),
menggunakan zat (cth: merokok seperti kereta api), atau untuk pulih dari
efeknya
6) Mengorbankan atau mengurangi aktivitas rekreasional, pekerjaan, atau social
yang penting karena penggunaan zat
7) Penggunaan zat berlanjut meski menyadari masalah fisik atau psikologis rekuren
yang dialami mungkin disebabkan atau dieksaserbasi zat tersebut (cth: saat ini
menggunakan kokain walau menyadari adanya depresi terinduksi kokain atau
minum berkelanjutan meski mengetahui bahwa ulkus akan menjadi lebih parah
dengan konsumsi alcohol)
Tentukan apakah :
Dengan ketergantungan fisiologis : bukti adanya toleransi atau putus zat
(adanya item 1 atau 2)
Tanpa ketergantungan fisiologis: tidak adanya bukti toleransi atau putus zat
(item 1 atau 2 tidak terpenuhi)
Penentu perjalanan waktu:
Remisi penuh dini
Remisi parsial dini
Remisi penuh berkelanjutan
Remisi parsial berkelanjutan
Dalam terapi agonis
Dalam lingkungan terkontrol
Dari American Psychiatric Association. Diagnostic and Statistical manual of Mental
Disorder. 4th ed. Revisi teks. Washington, DC : American Psychiatric Association;
copyright 2000, dengan izin.
Etiologi
1. Factor Psikodinamik

Kisaran teori psikodinamik tentang penyalahgunaan zat mencerminkan


berbagai teori popular selama 100 tahun terakhir. Menurut teori klasik,
penyalahgunaan zat merupakan ekivalen masturbasi, defense terhadap impuls
ansietas atau manifestasi regresi oral (dependensi). Formulasi psikodinamik terkini
menghubungkan penggunaan zat dengan depresi atau menangani penggunaan zat
sebagai refleksi fungsi ego yang terganggu (ketidakmampuan mengatasi
kenyataan)
2. Teori Perilaku
Beberapa model perilaku penyalahgunaan zat memfokuskan pada perilaku
mencari

zat

dibanding

pada

gejala

dependensi

fisik.

Sebagaian

besar

penyalahgunaan zat menimbulkan pengalaman positif setelah penggunan pertama,


dan oleh karena itu, zat tersebut bertindak sebagai penguat positif perilaku mencari
zat.
3. Factor Genetic
Bukti kuat dari penelitian terhadap anak kembar, anak adopsi, dan saudara
kandung yang dibesarkan secara terpisah mengindikasikan bahwa kausa
penyalahgunaan alcohol memiliki komponen genetic. Tipe lain penyalahgunaan zat
atau

ketergantungan

zat

juga

mungkin

memiliki

pola

genetic

dalam

perkembangannya. Para peneliti baru-baru ini menggunakan pembatasan


polimorfisme panjang fragmen dalam studi mengenai penyalahgunaan zat dan
ketergantungan zat, dan baru sedikit laporan keterkaitan pembatasan polimorfisme
panjang fragmen yang dipublikasikan.
4. Factor Neurokimiawi
a. Reseptor dan system reseptor
Dengan pengecualian alcohol, para peneliti telah mengidentifikasi
neurotransmitter atau reseptor neurotransmitter terentu yang terlibat dengan
sebagian besar zat yang disalahgunakan. Sejumlah peneliti mendasarkan studi
mereka pada hipotesis tersebut: sebagai contoh, opiod, bekerja sebagai reseptor
opiod. Seseorang dengan aktivitas opioid endogen yang terlalu sedikit
(contohnya konsentrasi endorphin yang rendah) atau dengan aktivitas antagonis
opiod

endogen

yang

terlalu

banyak

mungkin

berisiko

mengalami

ketergantungan opioid. Bahkan pada orang dengan fungsi reseptor endogen dan
6

konsentrasi neurotransmitter yang benar-benar normal, penyalahgunaan jangka


panjang suatu zat tertentu pada akhirnya mungkin akan memodulasi system
reseptor di otak sehingga zat eksogen dibutuhkan untuk mempertahankan
homeostatis. Proses pada tingkat reseptor semacam itu mungkin menjadi
mekanisme untuk membentuk toleransi di dalam system saraf pusat. Namun,
untuk menunjukkan adanya modulasi pelepasan neurotransmitter dan fungsi
reseptor neurotransmitter terbukti sulit, dan penelitian terkini memfokuskan
efek zat pada sistem second messenger dan pada regulasi gen.
b. Jaras dan neurotransmitter
Neurotranmiter utama yang mungkin terlibat dalam perkembangan
penyalahgunaan dan ketergantungan zat adalah opioid, katekolamin
(terutama dopamine), dan sistem asam - aminobutirat. Neuron yang
terutama penting adalah neuron dopaminergic pada area tegmental ventral.
Neuron ini berproyeksi ke region kortikal dan limbik, terutama nucleus
akumbens. Jaras ini mungkin terlibat dalam sensasi akan penghargaan dan
mungkin menjadi mediator utama efek zat seperti amfetamin dan kokain.
Lokus seruleus, kelompok neuron adrenergic terbesar, mungkin memerantai
efek opiate dan opioid. Jaras ini secara kolektif disebut sebagai sirkuit
penghargaan otak.

2. Jenis Jenis NAPZA :

Narkotika
Berdasarkan Undang-Undang Narkotika No. 22/1997, narkotika dibagi menjadi 3
golongan, yaitu :
1. Narkotika Golongan I : hanya digunakan untuk ilmu pengetahuan , tidak untuk
terapi, potesi sangat tinggi untuk menyebabkan ketergantungan (contohnya :
heroin, kokain, ganja)
2. Narkotika golongan II : digunakan untuk terapi pilihan terakhir dan IPTEK,
berpotensi tinggi untuk menyebabkan ketergantungan (contohnya : morfin,
petidin)
3. Narkotika golongan III : digunakan untuk terapi dan IPTEK, berpotensi ringan

untuk menyebabkan ketergantungan (contohnya : kodein).


Psikotropika
Terdiri dari 4 golongan :
7

1. Golongan I : Psikotropika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan ilmu


pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi kuat
mengakibatkan sindroma ketergantungan. Contoh : Ekstasi. Zat psikotropika
golongan I terdiri dari 26 macam
2. Golongan II : Psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan dapat digunakan
dalan terapi dan / atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai
potensi

kuat

mengakibatkan

sindroma

ketergantungan.

Contoh

Amphetamine. Zat psikotropika golongan II terdiri dari 14 macam.


3. Golongan III : Psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan banyak
digunakan dalam terapi dan / atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta
mempunyai potensi sedang mengakibatkan sindroma ketergantungan. Contoh :
Phenobarbital. . Zat psikotropika golongan III terdiri dari 9 macam.
4. Golongan IV : Psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan sangat luas
digunakan dalam terapi dan / atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta
mempunyai potensi ringan mengakibatkan sindroma ketergantungan. Contoh :
Diazepam, Nitrazepam ( BK, DUM). Zat psikotropika golongan IV terdiri
-

dari 60 macam.
Jenis-jenis psikotropika:
1. Psikotropika yang tidak digunakan untuk tujuan pengobatan dengan
potensi ketergantungan yang sangat kuat. Contoh : LSD,MDMA, dan
mascalin.
2. Psikotropika yang berkhasiat tetapi dapat menimbulkan ketergantungan
seperti Amfetamin.
3. Psikotropika dari kelompok hipnotik sedative, seperti Barbiturat. Efek
ketergantungan sedang.
4. Psikotropika yang efek ketergantungannya ringan, seperti Diazepam,

Nitrazepam.
Zat Adiktif Lainnya
Yang termasuk Zat Adiktif lainnya adalah : bahan / zat yang berpengaruh
psikoaktif diluar Narkotika dan Psikotropika, meliputi :
1. Minuman Alkohol : mengandung etanol etil alkohol, yang berpengaruh
menekan susunan saraf pusat, dan sering menjadi bagian dari kehidupan
manusia sehari hari dalam kebudayaan tertentu. Jika digunakan bersamaan
dengan Narkotika atau Psikotropika akan memperkuat pengaruh obat / zat itu
dalam tubuh manusia. Ada 3 golongan minuman beralkohol :
a. Golongan A : kadar etanol 1 5 % ( Bir ).
b. Golongan B : kadar etanol 5 20 % ( Berbagai minuman anggur )
8

c. Golongan C : kadar etanol 20 45 % ( Whisky, Vodca, Manson House,


Johny Walker ).
2. Inhalasi ( gas yang dihirup ) dan solven ( zat pelarut ) mudah menguap berupa
senyawa organik, yang terdapat pada berbagai barang keperluan rumah tangga,
kantor, dan sebagai pelumas mesin. Yang sering disalahgunakan adalah : Lem,
Tiner, Penghapus Cat Kuku, Bensin.
3. Tembakau : pemakaian tembakau yang mengandung nikotin sangat luas di
masyarakat.Dalam upaya penanggulangan NAPZA di masyarakat, pemakaian
rokok dan alkohol terutama pada remaja, harus menjadi bagian dari upaya
pencegahan, karena rokok dan alkohol sering menjadi pintu masuk
penyalahgunaan NAPZA lain yang berbahaya.

3. Pembagian lainnya menurut efek bagi tubuh :

Klasifikasi
Tiga kategori utama obat-obatan psikoaktif, yaitu :
1. Golongan depresan (depressant)
Berfungsi mengurangi aktifitas fungsional tubuh. Jenis ini membuat
pemakaiannya merasa tenang, membawa rasa relaksasi, pendiam dan bhakan
membuatnya tertidur dan tidak sadarkan diri. Yang termasuk golongan depresan
yaitu sebagai berikut :
a. Alcohol
Merupakan salah satu zat psikoaktif yang sering digunakan manusia.
Alcohol

terutama

berpengaruh

pada

tubuh

sebagai

depresan

dan

memperlambat aktivitas otak. Diperoleh dari proses fermentasi madu, gula,


sari buah, dan umbi-umbian. Dari proses fermentasi diperoleh alcohol dengan
kadar tidak lebih dari 15%, dengan proses penyulingan di pabrik dapat
dihasilkan kadar alcohol yang lebih tinggi bahkan mencapai 100%.
b. Barbiturate
Merupakan obat depresan yang mengurangi aktivitas system saraf
pusat. Barbitura sebelumnya merupakan resep untuk membantu tidur. Dalam
dosis tinggi, barbitura dapat mengakibatkan kerusakan ingatan dan
pengambilan keputusan. Ketika dikombinisakina dengan alcohol, barbiturate
9

dapat mematikan. Inilah alasan barbiturate merupakan obat yang paling


digunakan dalam usaha bunuh diri. Penghentian penggunaannya secara
mendadak dapat menyebabkan kejang-kejang. Contoh : nembuta dan seconal
c. Penenang (tranquilizer)
Merupakan

obat

depresan

yang

mengurangi

kecemasan

dan

menyebabkan relaksasi. Penenang biasanya diresepkan untuk menenangkan


individu yang cemas dan gugup. Obat ini menghasilkan gejala-gejala menarik
diri bila penggunaan dihentikan. Contoh : valium dan xanax
d. Opiate
Merupakan obat yang memengaruhi sinaps otak yang menggunakan
endorphin sebagai neurotransmitternya. Ketika obat-obatan ini telah mengalir
keluar dari otak, sinaps-sinaap yang terpengaruh menjadi kurang terangsang.
Selama beberapa jam setelah mengonsumsi opiate, pengguna akan merasa
bahagia dan bebas dari rasa sakit dan meningkatkan selera makan dan juga
seks.

Opiate

membuat

penggunanya

kecanduan

dan

penghentian

penggunaannya yang menyakitkan bila obat tidak tersedia.


2. Golongan stimulant
Efek dari kerja obat ini bias mengakibatkan kerja organ tubuh seperti
jantung dan otak lebih cepat dari biasanya sehingga mengakibatkan penggunanya
lebih bertenaga serta cenderung membuatnya lebih senang dan gembira untuk
sementara waktu. Yang termasuk golongan stimulant yaitu:
a. Kafein
Kafeina atau lebih populernya kafein, ialah senyawa alkaloid xantina
berbentuk Kristal dan berasa pahit yang bekerja sebagai obat perangsang
psikoaktif dan diuretic ringan. Kafeina merupakan obat perangsang system
saraf pada manusia dan dapat mengusir rasa kantuk secara sementara.
Minuman yang megandung kafein, seperti kopi, the, dan minuman ringan
sangat digemari. Kafein merupakan zat psikoaktif yang paling banyak
dikonsumsi di dunia. Tidak seperti zat psikoaktif lainnya, kafein legal dan
tidak diatur oleh hukum di hampir seluruh yuridiksi dunia.
b. Nikotin

10

Nikotin adalah zat adiktif yang terjadi secara alami dalam tembakau.
Nikotin merupakan bahan aktif dalam asap tembakau. Nikotin ini memiliki
bau tajam dan rasa yang tajam pula. Nikotin didefinisikan sebagai zat yang
beracun, berminyak, berwarna kuning pucat yang berubah warna menjadi
coklat setelah terpapar udara. Dalam bentuk terkonsentrasi, bahan kimia ini
digunakan sebagai insektisida ampuh.
c. Amphetahamine
Bentuknya ada yang berbentuk bubuk warna putih dan keabuan, digunakan
dengan cara dihirup. Sedangkan yang berbentuk tablet biasanya diminum
dengan air. Ada dua jenis amphetamine, yaitu :
1) MDMA( methylene dioxy methamphetamine), dikenal dengan nama
ekstasi. Terdiri dari berbagai macam jenis antara lain : white doft, pink
heart, snow white, petir yang dikemas dalam bentuk pila tau kapsul.
2) Methamfetamin ice, dikenal sebagai shabu. Cara penggunaannya :
diabakar dengan menggunakan kertas aluminium foil dan asapnya dihisap
atau dibakar dengan menggunakan botol kaca yang dirancang khusus.
d. Kokain
Kokain mempunyai dua bentuk, yaitu : kokain hidroklorid dan free base.
Kokain berupa kristal putih. Rasa sedikit pahit dan lebih mudah larut dari free
base. Free base tidak berwarna/ putih, tidak berbau, dan rasanya pahit.
Biasanya dalam bentuk bubuk putih
3. Golongan Halusinogen
Merupakan jenis NAPZA yang dapat menimbulkan efek halusinasi yang
bersifat merubah perasaan dan pikiran dan seringkali menciptakan daya pandang
yang berbeda sehingga seluruh perasaan dapat terganggu. Golongan ini tidak
digunakan dalam terapi medis. Yang termasuk golongan halusinogen, yaitu :
a. Ganja atau mariyuana
Merupakan produk psikoaktif dari tumbuhan Cannabis sativa.
b. LSD (Lysergic Acid Diethylamide)

11

Termasuk dalam golongan halusinogen, bentuk yang bias didapatkan


seperti kertas berukuran kotak kecil sebesar seperempat perangko dalam
banyak warna dan gambar, ada juga yang berbentuk pil, kapsul.

BAB III
PEMBAHASAN

1. Beberapa gangguan berdasarkan beberapa jenis NAPZA


Gangguan terkait alkohol

12

Meski penyalahgunaan dan ketergantungan alcohol biasanya disebut


alkoholisme,

DSM-IV-TR

tidak

menggunakan

istilah

itu

karena

tidak

menggambarkan definisi yang tepat.


1. Epidemiologi
Kurang lebih 30 sampai 45 persen semua orang dewasa di Amerika
Serikat pernah mengalami sedikitnya satu episode singkat permasalahan terkait
alcohol, umumnya suatu episode amnesik terinduksi alcohol seperti blackout,
mengendarai sepeda motor saat terintoksikasi, atau membolos sekolah atau
kerja karena minum berlebihan.
2. Komorbiditas
Diagnostic psikiatri yang paling sering dikaitkan dengan gangguan
terkait alcohol adalah gangguan terkait zat lainnya, gangguan kepribadian
antisosial, gangguan mood, fan gangguan ansietas. Meski datanya agak
kontroversial, sebagian besar menyatakan bahwa orang dengan gangguan
terkait alcohol memiliki angka bunuh diri yang secara nyata lebih tinggi
dibandingkan populasi umum.
a. Gangguan kepribadian antisosial
Hubungan antara gangguan kepribadian antisosial dan gangguan
terkait alcohol telah sering dilaporkan.
b. Gangguan mood
Sekitar 30-40 persen orang dengan gangguan terkait alcohol
memnuhi kriteria gannguan depresi mayor pada suatu waktu dalam
hidupnya. Beberapa studi menunjukkan bahwa orang dengan diagnosis
gangguan terkait alcohol sekaligus gangguan depresi memiliki konsentrasi
metabolit dopamine (asam homovanilat) dan asam -aminobutirat (GABA)
pada cairan serebrospinal.
c. Gangguan ansietas
Banyak orang menggunakan alcohol untuk khasiatnya meredakan
ansietas. Sejumlah data mengindikasikan bahwa alcohol mungkin
digunakan sebagai upaya mengobati sendiri gejala agoraphobia atau fobia

13

social, namun suatu gangguan terkait alcohol mungkin mendahului


timbulnya gangguan panic atau gangguan ansietas menyeluruh.
d. Bunuh diri
Faktor yang dikaitkan dengan bunuh diri di antara orang dengan
gangguan terkait alcohol mencakup adanya episode depresi mayor, sistem
pendukung psikososial yang lemah, kondisi medis serius yang terjadi
bersamaan, pengangguran, dan tinggal sendiri.
3. Efek Alkohol
Istilah alcohol merujuk pada suatu kelompok besar molekul organic
yang memiliki gugus hidroksil melekat pada atom karbon jenuh. Etil alcohol,
disebut juga dengan etanol, merupakan bentuk alcohol yang paling lazim,
biasanya disebut dengan alcohol minuman.
a. Absorpsi
Sekitar 10 persin alcohol yang dikonsumsi diabsorbsi melalui
lambung, sisanya melalui usus halus. Sekali diabsorbsi dalam aliran darah,
alcohol akan didistribusikan ke seluruh jaringan tubuh. Karena alcohol
secara menyeluruh terlarut dalam cairan tubuh, jaringan yang mengandung
proporsi yang tinggi mendapat alcohol dalam konsentrasi tinggi.
b. Metabolisme
Sekitar 90 persen alcohol yang diabsorbsi dimetabolisme melalui
oksidasi di hepar; 10 persen sisanya dieksresi tanpa mengalami perubahan
oleh ginjal dan paru. Alcohol dimetabolisme oleh dua enzim; alcohol
dehydrogenase (ADH) dan aldehid dehydrogenase.
c. Efek pada otak
d. Efek perilaku
e. Efek tidur
4. Gambaran gangguan mental dan perilaku
Penyalahgunaan alcohol dapat menimbulkan gangguan mental organic
yaitu gangguan dalam fungsi berfikir, berperasaan, dan berprilaku. Gangguan
mental organic ini disebabkan reaksi langsung alcohol pada neurotransmitter
14

sel-sel saraf pusat. Karena sifat adiktifnya itu, maka orang yang meminumnya
lama-kelamaan tanpa disadari akan menambah takaran/dosis sampai pada dosis
keracunan (intoksikasi) atau mabuk. Ganggua mental organic memiliki gejalagejala sebagai berikut :
a. Terdapat dampak berupa perubahan perilaku, misalnya perkelahian dan
tindak kekerasan lainnya, ketidak-mampuan menilai realitas dan gangguan
dalam fungsi social dan pekerjaan (perilaku maladaptive)
b. Terdapat gejala fisiologik sebagai berikut:
1) Pembicaraan cadel (slurred speech)
2) Gangguan koordinasi
3) Cara jalan yang tidak mantap
4) Nistakmus
5) Muka merah
c. Tampak gejala-gejala psikologik sebagai berikut:
1) Perubahan afek dan mood, misalnya euphoria atau disforia
2) Mudah marah dan tersinggung
3) Bicara ngelantur
4) Gangguan konsentrasi
5. Penanganan dan rehabilitasi
a. Intervensi
Pada tahap ini juga disebut dengan konfrontasi, adalah memutus
rasa penyangkalan dan mambantu pasien mengenali konsekuensi simpang
yang akan terjadi jika gangguan ini tidak diobati. Keluarga dapat sangat
membantu dalam intervensi
b. Detoksifikasi

15

Sebagian besar orang dengan ketergantungan alcohol memiliki


gejala yang relative ringan bila berhenti minum. Jika kondisi kesehatan
pasien relative baik, maka sindrom putus obat hanya berupa flu ringan.
Gangguan terkait amfetamin
Amfetamin adalah salah satu obat terlarang. Inikasi yang disetujui saat ini
oleh food and drug administration (FDA) untuk amfetamin terbatas pada gangguan
pemusatan perhatian/hiperaktivitas dan narkolepsi. Amfetamin juga digunakan
untuk penanganan obesitas, depresi, distimia, sindrom kelelahan kronik, AIDS, dan
neurasthenia sebagai terapi ajuvan untuk depresi yang reisten terapi obat.3
Amfetamin utama saat ini tersedia dan digunakan di AS adalah
dekstroamfetamin

(Dexedrine),

metafetamin

(Desoxyn),

campuran

garam

dekstroamfetamin-amfetamin (Adderall), dan metilfenidat (Ritalin). Obat-obat ini


memiliki nama jalanan seperti, es, Kristal, crystal meth, dan speed. Sebagai suatu
kelas umum, golongan amfetamin juga disebut analeptic, simpatomimetik,
stimulant, dan psikostimulan. Amfetamin biasa digunakan untuk meningkatkan
kinerja dan membangkitkan perasaan euphoria, contohnya pada pelajar yang
menghadapi ujian, supir truk, pembisnis dengan waktu yang padat, serta atlet
dalam kompetisi. Meski efek adiktifnya tidak seperti kokain, amfetamin kurang
lebih dapat disebut obat adiktif.
1. Neurofarmakologi
Amfetamin klasik (dekstroamfetamin, metamfetamin, dan metilfenidat)
yang digunakan secara intra vena menimbulkan efek primer dengan
menyebabkan pelepasan katekolamin, terutama dopamine, dari terminal
prasinaptik. Efeknya terutama paten untuk neuron dopaminergic yang berjalan
dari area tegmental ventral ke korteks serebri dan area limbik. Jaras ini disebut
sebagai jaras sirkuit reward dan aktivitasnya mungkin menjadi mekanisme
adiktif utama untuk amfetamin.
Amfetamin desainer (cth: MDMA, MDEA, MMDA, dan DOM)
menyebabkan pelepasan katekolamin (dopamine dan norepineprin) serta
serotonin, neurotransmitter yang dianggap sebagai jaras neurokimiawi utama
untuk halusinogen. Oleh karena itu, efek klinis amfetamin desainer merupakan
campuran efek amfetamin klasik dan halusinogen.
2. Ketergantungan amfetamin dan penyalahgunaan amfetamin

16

Kriteria DSM-IV-TR untuk ketergantungan dan penyalahgunaan dapat


diterapkan pada amfetamin dan zat terkait. Ketergantungan amfetamin dapat
mengakibatkan penurunan spiral yang cepat dari kemampuan seseorang untuk
menghadapi kewajiban dan stress yang berkaitan dengan keluarga dan
pekerjaan. Seseorang yang menyalahgunakan amfetamin membutuhkan dosis
tinggi amfetamin yang semakin meningkat untuk memeroleh rasa tinggi (high)
yang biasa, dan tanda fisik penyalahgunaan amfetamin (contohnya penurunan
berat badan dan ide paranoid) hamper selalu timbul dengan diteruskannya
penyalahgunaan.
3. Gambaran klinis
Pada orang yang sebelumnya tidak pernah menginsumsi amfetamin,
dosis tunggal 5 mg meningkatkan perasaan sehat dan menginduksi elasi,
euphoria, dan rasa bersahabat. Dosis kecil umumnya memperbaiki atensi dan
meningkatkan kinerja pada tugas tertulis, oral, dan penampilan. Juga terdapat
penurunan kelelahan, induksi anoreksia, dan peningkatan ambang nyeri yang
dikaitkan dengan hal ini. Efek tak diinginkan timbul akibat penggunaan dosis
tinggi dalam periode lama.

Gejala-gejala
a. Gejala psikologik
1) Agitasi psikomotor. Yang bersangkutan berprilaku hiperaktif, tidak
dapat diam selalu bergerak
2) Rasa gembira (elation). Yang bersangkutan dalam suasana gembira
yang berlebihan, seringkali lepas kendali dan melakukan tindakantindakan yang bersifat asusila.
3) Harga diri meningkat
4) Banyak bicara
5) Paranoid
6) Halusinasi penglihatan
17

b. Gejala fisik
1) Jantung berdebar-debar (palpitasi)
2) Dilatasi pupil
3) Hipertensi
4) Kertingat berlebihan atau kedinginan
5) Mual dan muntah
c. Tingkah laku maladaptive, seperti perkelahian
d. Gangguan dilusi (waham) yang ditandai dengan:
1) Waham kejaran yaitu paranoid bahwa dirinya terancam
2) Kecurigaan terhadap lingkungan sekitar menyangkut dirinya sendiri
3) Agresivitas dan sikap bermusuhan
4) Kecemasan dan kegelisahan
5) Agitasi psikomotor
4. Penanganan dan rehabilitasi
Penanganan gangguan terkait amfetamin

bersama dengan gangguan

terkait kokain sama-sama mengalami kesulitan dalam membantu pasien untuk


tetap abstinensi dari zat, yang sangat memperkuat dan menginduksi ketagihan.
Situasi rawat inap dan penggunaan metode terapeutik multiple (psikoterapi
individual, keluarga, dan kelompok) biasanya dibutuhkan untuk mencapai
abstinensi seterusnya. Penanganan gangguan spesifik terinduksi amfetamin
seperti gangguan psikotik. Antipsikotik dapat diresepkan untuk beberapa hari
pertama. Bila tidak ada psikosis, diazepam berguna untuk menangani agitasi
dan hiperaktivitas pasien.
Gangguan terkait kanabis (ganja)
1. Neurofarmakologi

18

Reseptor

spesifik

untuk

kanabitol

telah

diidentifikasi,

diklon,

dikarakterisasi. Resptor kanabinoid ditemukan dalam konsentrasi tinggi di


ganglia basalis, hipokampus, dan serebelum, dengan konsentrasi rendah di
korteks serebri, kanabis tidak ditemukan di batang orak, fakta yang konsisten
dengan efek minimal kanabis terhadap fungsi respirasi dan kardiak.
2. Diagnosis dan gambaran klinis
Efek fisik kanabis paling sering adalah dilatasi pembuluh darah
konjungtiva (mata merah) dan takikardi ringan. Pada dosis tinggi, hipotensi
ortostatik dapat timbul. Peningkatan nafsu makan, mulut kering merupakan
efek lazim intoksikasi kanabis. Fakta bahwa tidak pernah ada kasus kematian
akibat intoksikasi kanabis yang tedokumentasi dengan jelas mencerminkan
kurangnya efek zat terhadap laju respirasi. Efek simpang potensial paling serius
penggunaan kanabis adalah yang disebabkan penghirupan hidrokarbon
karsinogenik yang sama dengan yang ada pada tembakau konvensional, dan
beberapa data mengindikasikan bahwa pengguna berat kanabis berisiko
mengalami penyakit repsiratori kronik dan kanker paru.
Banyak laporan mengindikasikan bahwa penggunaan kanabis jangka
panjang menyebabkan atrofi serebri, kerentanan terhadap kejang, kerusakan
kromosom, defek lahir, reaktivitas imun terganggu, perubahan konsentrasi
testosterone, dan disregulasi siklus menstruasi.
3. Ketegantungan kanabis dan penyalahgunaan kanabis
DSM-IV-TR nenyertakan diagnosis ketergantungan kanabis dan
penyalahgunaan kanabis. Data eksperimental jelas menunjukkan adanya
toleransi terhadap berbagai efek kanabis, namun data tersebut kurang
mendukung eksistensi ketergantungan fisik. Ketergantungan psikologis
terhadap penggunaan kanabis dapat timbul pada pengguna jangaka panjang.
4. Gejala
a. Jantung berdebar-debar
b. Gejala psikologik
1) Euphoria
2) Halusinasi dan delusi
19

3) Perasaan waktu berlalu lambat


4) Apatis
c. Gejala fisik
1) Mata merah
2) Nafsu makan bertambah
3) Mulut kering
4) Perilaku maladaptif

Gangguan terkait kokain


Kokain adalah alkaloid yang didapatkan dari semak Erythroxylon coca, asli
dari Amerika Latin. Zat ini masih digunakan untuk anastesi local, terutama untuk
pembedahan mata, hidung, dan tenggorok, karena efek vasokonstriktif dan
analgesic yang bermanfaat. Pada tahun 1914, efek sampingnya dan adiktifnya
diketahui, kokain diklasifikasikan sebagai narkotika bersama dengan morfin dan
heroin.
1. Komorbiditas
Seperti gangguan terkait zat lain, gangguan terkait kokain sering dosertai
gangguan psikiatri tambahan. Timbulnya gangguan mood dan gangguan terkait
alcohol biasanya menyertai awitan gangguan terkait kokain, sementara
gangguan ansietas, gangguan kepribadian antisosial, dan gangguan pemusatan
perhatian dianggap mendahului timbulnya gangguan terkait kokain.
2. Neurofarmakologi
Aksi farmakodinamik utama kokain yang berkaitan dengan efek-nya
terhadap perilaku adalah blockade kompetitif reuptake dopamine oleh
transporter dopamine. Blockade ini meningkatkan konsentrasi dopamine di
celah sinap dan menyebabkan peningkatan reseptor dopamine.
Meskipun efek perilaku terutama disebabkan blockade reuptake
dopamine, kokain juga menghambat reuptake katekolamin utama lain,
norepineprin serta serotonin, efek perilaku yang berkaitan dengan aktivitas ini
semakin mendapat perhatian dan literature ilmiah. Hasil dari sebagian besar
20

studi secara umum menunjukkan bahwa kokain dikaitkan dengan penurunan


aliran darah serebri dan mungkin disertai munculnya area penurunan konsumsi
glukosa yang berbercak
3. Diagnosis dan gambaran klinis
DSM-IV-TR mendaftar banyak gangguan terkait kokain tapi hanya
merinci kriteria diagnosis intoksikasi kokain dan keadaan putus kokain.
Kriteria diagnosis untuk gangguan terkait kokain lain terdapat dalam bagian
DSM-IV-TR yang memfokuskan pada gejala utama-sebagai contoh, gangguan
mood terinduksi kokain pada bagian gangguan mood.
4. Ketergantungan dan penyalahgunaan kokain
Secara klinis dan praktis, ketergantungan kokain dan penyalahgunaan
kokain dapat dicurigai pada pasien yang menunjukkan perubahan kepribadian
yang tidak dapat dijelaskan. Perubahan umum yang disebabkan oleh
penggunaan

kokain

adalah

iritabilitas,

terganggunya

kemampuan

berkonsentrasi, perilaku kompulsif, indomnia berat dan pernurunan berat


badan.kolega di tempat kerja dan anggota keluarga dapat mengenali
ketidakmampuan seseorang yang semakin meningkat untuk mengerjakan tugas
yang diharapkan yang berhubungan dengan kehidupan keluarga atau pekerjaan.
Pasien mungkin menunjukkan bukti baru meningkatnya hutang atau
ketidakmampuan membayar tihan tepat waktu karena besarnya jumlah uang
yang digunakan untuk membeli kokain. Penyalahgunaan kokain sering menarik
diri dari situasi social atau pekerjaan tiap 30-60 menit untuk mencari tempat
tersembunyi untuk menghirup lebih banyak kokain. Oleh karena vasokonstriksi
kokain, pengguna hamper selalu mengalami kongesti nasal, yang mungkin
diobati sendiri dengan semprotan dekongestan.
5. Gejala-gejala
a. Agitasi psikomotor
b. Rasa gembira
c. Rasa harga diri yang meningkat (over confidence)
d. Banyak bicara

21

e. Kewaspadaan meningkat
f. Palpitasi
g. Dilatasi pupil
h. Hipertensi
i. Berkeringat berlebihan
j. Mual dan muntah
k. Perilaku maladaptif

Gangguan terkait halusinogen


Halusinogen adalah zat alami dan sintetik yang disebut dengan berbagai
istilah psikedelik atau psikotomimetik karena, selain menginduksi halusinasi,
halusinogen juga menyebabkan hilangnya kontak dengan realitas dan suatu
pengalaman kesadaran yang meluas dan meningkat.halusinogen diklasifikasikan
sebagai Golongan I. Halusinogen klasik terdapat secara alamiah adalah psilocybin
(dari semacam jamur) dan mescaline ( dari kaktus). Halusinogen sintetik klasik
dalah asam lisergat dietilamid (LSD).
1. Neurofarmakologi
Meskipun

sebagian

besar

zat

halusinogenik

bervariasi

efek

farmakologisnya, LSD dapat berfungi sebagai prototype halusinogenik. Efek


farmakodinamik LSD masih kontroversial, meskipun disepakati secara umum
bahwa obat tersebut bekerja pada sistem serotonergic, baik sebagai antagonis
maupun agonis. Data saat ini menunjukkan bahwa LSD bekerja sebagai agonis
pasrsial pada resptor serotonin pascasinap.
2. Ketergantungan halusinogen dan penyalahgunaan halusinogen
Penggunaan halusinogen jangka panjang jarang terjadi. Meski
ketergantungan psikologis terjadi, hal tersebut jarangm sebagian karena tiap
pengalaman LSD berbeda dan sebagian karena tidak ada euphoria yang yang
dapat diandalkan.
Gangguan terkait nikotin

22

1. Epidemiologi
WHO memperkirakan terdapat 1 milyar perokok di seluruh dunia dan
mereka merokok 6 triliyun rokok kretek/ tahun. WHO juga memperkirakan
bahwa tembakau membunuh lebih dari 3 juta orang tiap tahun.
2. Neurofarmakologi
Komponen psikoaktif tembakau adalah nikotin, yang mempengaruhi
sistem saraf pusat dengan bekerja sebagai agonis pada reseptor asetilkolin
subtype nikotinik, sekitar 25% nikotin yang dihirup saat merokok mencapai
aliran darah, dan melalui pembuluh darah tersebut nikotin dapat mencapai otak
dalam 15 detik. Waktu paruh nikotin adalah sekitar 2 jam. Nikotin diyakini
mengg]hasilkan sifat penguat positif dan adiktif dengan mengaktivasi jaras
dopaminergic yang berjalan dari areategmental ventrak ke korteks serebri dan
sistem limbik. Selain mengaktivasi sistem rewatd dopamine, nikotin
menyebabkan peningkatan konsentrasi norepineprin dan epineprin yang
bersikulasi meningkatkan vasopressin, endirfin, hormone adrenokortikotropik,
dan kortisol. Hormone-hormon ini dianggap berperan dalam efek stimulatorik
dasar nikotin terhadap SSP.
3. Gambaran klinis
Secara prilaku, efek stimulatorik nikotik menimbulkan peningkatan
atensi, pembelajran, waktu reaksi, dan kemampuan menyelesaikan masalah.
Pengguna tembakau juga melaporkan bahwa merokok kretek meningkatkan
mood, menurunkan ketegangan, dan mengurangi perasaan depresi.hasil studi
tentang efek nikotin pada aliran darah otak menemukan bahwa pajanan
nikotinjangka pendek meningkatkan aliran darah otak tanpa mengubah
metabolism oksigen otak, namun jangka panjang akan menurunkan aliran darah
otak. Bertentangan dengan efek stimulatorik terhadap SSP, nikotin bekerja
sebagai relaksan otot skeletal.
Gangguan terkait opioid
Ketergantungan opioid merupakan suatu kumpulan gejala fisiologi,
perilaku, dan kognitif yang bersama-sama mengindikasikan penggunaan berulang
dan berkelanjutan zat opioid meski masalah signifikan yang berkaitan dengan
penggunaan tersebut. Penyalahgunaan opioid adalah istilah yang digunakan untuk
23

merujuk suatu pola penggunaan zat opioid maladaptive yang mengarah ke hendaya
atau gangguan signifikan secara klinis dan terjadi dalam perode 12 bulan, namun
gejalanya tidak pernah memenuhi kriteria ketegantungan obat.
1. Neurofarmakologi
Reseptor opioid diperantarai reseptor opioid. Reseptor- terslibat dalam
regulasi dan mediasi analgesia, depresi napas, konstipasi, dan ketergantungan,
reseptor opioid- dengan analgesic, diuresis dan sedasi, serta reseptor opioid-
mungkin dengan analgesia. Opioid mempengaruhi endorphin, dan sebagai
dopaminergic dan noradrenergic. Heroin adalah opioid yang paling sering
disalahgunakan dan lebih poten serta larut dalam lemak dibandingkan morfin.
Karena sifat-sifat tersebut, heroin melintasi sawar darah otak lebih cepat
dibandingkan dengan morfin
2. Gambaran klinis
Opioid dapat dikonsumsi per oral, dihirup secara intranasal, dan
diinjeksikan secara IV atau subkutan. Opioid secara subjektif bersifat adiktif
karena melalui sensasi tinggi euforik yang dialami pengguna, terutama mereka
menginsumsi zat secara IV. Gejala tekait mencakup perasaan hangat, rasa berat
di ekstremitas, mulut kering, wajah gatal, dan wajah memerah. Euphoria awal
diikuti oleh periode sedasi, dikenal dalam istilah jalanan sebagai nodding off.
Penggunaan opioid dapat menginduksi disforia, mual, muntah, pada orang yang
belum pernah mengonsumsi opioid sebelumnya. Efek fisik opioid meliputi
depresi napas, konstriksi pupil, kontraksi otot polos (termasuk ureter dan
kandung empedu), konstipasi, perubahan tekanan darah, denyut jantung, dan
suhu tubuh. Efek depresi napas diperantarai pada tingkat batang otak.
Gangguan terkait sedatif, hipnotik, atau ansiolitik
Obat yang dikaitkan dengan kelas gangguan terkait zat ini adalah golongan
benzodiazepine (cth. Diazepam, flunitrazepam, barbiturate) dan zat lir-barbiturat,
yang meliputi metakualon dan meprobamat. Indikasi non-psikiatri utama untuk
obat-obatan ini adalah untuk antiepileptic, relaksan otot, anastetik, dan ajuvan
anestetik. Alcohol dan semua obat dari kelas ini memiliki toleransi silang, dan
efeknya adiktif. Ketergantungan fisik dan psikologis terjadi pada semua jenis obat,
dan semua dikaitkan dengan gejala putus obat.

24

Sedative adalah obat yang mengurangi ketegangan subjektif dan


menginduksi ketenangan mental. Hipnotik adalah obat yang digunakan untuk
menginduksi tidur
1. Neurofarmakologi
Obat ini memiliki efek primer terhadap kompleks reseptor GABA, yang
memuat kanal ion klorida, situs pengikat GABA. Efek dari obat ini adalah
meningkatkan afinitas reseptor GABA dan meningkatkan aliran ion klorida
melalui kanal ke dalam neuron. Influx dari ion klorida yang bermuatan
negative ke dalam neuron bersifat inhibitorik, dan menyebabkan hiperpolarisasi
neuron secara relative terhadap ruangan ekstraseluler.
2. Gejala
a. Gejala psikologik
1) Emosi labil
2) Hilangnya hambatan seksual
3) Mudah tersinggung dan marah
4) Bica melantur
b. Gejala neurologic
1) Pembicaraan cadel
2) Gangguan koordinasi
3) Cara jalan yang tidak mantap
4) Gangguan perhatian dan daya ingat
c. Efek perilaku maladaptive

2. Mekanisme keluhan di skenario


Pada dasarnya mekanisme kerja NAPZA adalah mempengaruhi proses
elektrofisiologi mebran saraf, mengubah keberadaan konstalasi neurotransmitter dan
berperan sebagai agonis atau antagonis neurotransmitter pada pasangan reseptor

25

sehingga

kinerja

otak

berubah

secara

dinamik

sesuai

dengan

konstalasi

neurotransmitter.
Keberadaan neurotransmitter dapat di pengaruhi pada proses sintesis,
penyimpanan, pelepasan dan metabolism. Semua pust pusat otak di hubungkan oleh
jalur eksitatori dan inhibitori di mana neurotransmitter dari eksitatori yaitu:
Dopamine, Asetilcolin, Norefinefrin, Serotonin, Glutamate , Aspartat,

histami

sedangkan inhibitori yaitu GABA, Glisin.


Di kedua jalur ini tempat bekerjanya NAPZA contohnya seperti golongan
depresan dapat berikatan dengan reseptor inhibitori dan menekan neurotransmitter
eksitatori akibatnya inhibitori lebih dominan sehingga terjadi homeostasis, ketika obat
anti depresan tidak di gunakan lagi akan menyebabkan kenaikan drastic
neurotransmitter eksitatori seperti:

Serotonin berfungsi untuk mengatur nafsu makan, tidur, memori dan


pembelajaran, suhu, mood, perilaku, kontraksi otot, dan fungsi sistem
kardiovaskular dan sistem endokrin, serotonin adalah neurotransmitter
monoamina. Kebanyakan diproduksi oleh dan ditemukan di usus (sekitar 90%),
dan sisanya di pusat neuron sistem saraf.

Dari peneltian terbaru juga didapatkan bahwa serotonin bersama-sama dengan


asetilkolin dan norepinefrin akan bertindak sebagai neurotransmitter yang
dilepaskan pada ujung-ujung saraf enteric. Kebanyakan nuclei rafe akan
mensekresi serotonin yang membantu dalam pengaturan tidur normal. Pada
penggunaan napza ini terganggu sehingga pola tidur juga terganggu

Serotonin mempengaruhi nafsu makan dan mood. Jika kurang akan membuat

sedih, lemah, malas. Jika berlebihan akan membuat beringas dan hiperaktif.
Asetilkolin
Asetilkolin mempengaruhi kemampuan konsentrasi dan belajar.

Dopamin dan Neropinefrin


Dopamin dan Neropinefrin menjaga agar tetap bersemangat, waspada,
termotivasi, dan kuat menjalani aktivitas.

3. Diagnosis di skenario
Pasien di skenario berusia 17 tahun, merupakan usia remaja yang cukup rentan
dengan pengaruh dunia luar sehingga pada usia remaja ini, anak perlu diberikan
26

pengertian yang lebih, dan peran keluarga sangatlah penting. Ia datang ke praktik
dokter bersama temannya. Hal ini memberikan petunjuk bahwa keadaannya mulai
gawat. Beberapa keluhan muncul sudah dari beberapa bulan yang lalu dan ketika di
praktik dokter, ia selalu meminta pil favoritnya, seperti orang yang ketagihan. Dari hal
ini, kita dapat mengetahui bahwa orang tersebut bukan baru memakai tetapi sudah
mulai memasuki gejala putus zat atau withdrawal syndrome. Yang perlu kita cari
adalah zat apa yang ia maksud dengan Pil Favoritnya.
Mulai dari kata pil, berarti zat yang berbentuk selain pil akan kami eliminasi
seperti alcohol, rokok, dan juga ganja ataupun kafein. Selanjutnya kita lihat, sesuaikan
dengan kriteria diagnostic yang ada.
Opioid-Related Disorders
Opioid Intoxication
Diagnostic Criteria :
A. Recent ingestion of an opioid
B. Clinically significant problemaic bahavior or phychological changes (e.g.,
initial euphoria followed by apathy, dysphoria, phycomotor agitation or
retardation, impaired jugment) that developed during, or shortly after,
opioid use
C. Pupillary contriction (or pupillary dilation

due to anoxia from severe

overdose) and one (or more) of the following signs or symptoms


developing during, or shortly after, alcohol use:
a. Drowsiness or coma
b. Slurred speech
c. Impairment in attention or memory
D. The signs or symptoms are not attributable to another medical condition
and are not better explained by another mental disorder, including
intoxication with another substance.
292.89 (F11.129) : Opioid Intoxication, Without perceptual disturbances, With
use disorder, Mild
292.89 (F11.229) : Opioid Intoxication, Without perceptual disturbances, With
use disorder, moderate/severe
292.89 (F11.929) : Opioid Intoxication, Without perceptual disturbances,
Without use disorder
27

292.89 (F11.122) : Opioid Intoxication, Without perceptual disturbances, With


use disorder, Mild
292.89 (F11.222) : Opioid Intoxication, Without perceptual disturbances, With
use disorder, moderate/severe
292.89 (F11.922) : Opioid Intoxication, Without perceptual disturbances,
Without use disorder
Opioid Withdrawal
Diagnostic Criteria :
A. Presence of either of the following:
1. Cessation of (or reduction in) opioid use that has been heavy and
prolonged (i.e., several weeeks or longer)
2. Administration of an opioid antagonist after a period of opioid use
B. Three (or more) of the following develoving within minutes to several days
after Cretaion A:
1. Dysphoria mood
2. Nausea or vomiting
3. Mescle aches
4. Lacrimation or rhinorrhea
5. Pupillary dilation, piloerection, or sweating.
6. Diarrhea
7. Yawning
8. Fever
9. Insomnia
C. The signs or symptoms in Criterion B cause clinically significant distress or
impaiment in social, occupational, or other important areas of functioning
D. The signs or symptoms are not attributable to another medical condition and
are not better explained by another mental disorder, including intoxication
with another substance.
292.0 (F11.23) : Opioid Withdrawal
--o-- (--o--)
: Other Opioid-Induced Disorder
292.9 (F11.99) : Unspecified Opioid-Related Disorder

28

Sedative, Hypnotic, or Anxiolytic Withdrawal


Diagnostic Criteria :
A. Cessation of (or reduction in) sedative, hypnotics, or anxiolytic uses that has
been prolonged
B. Two or more of the following developing within several hours to few days
after cessation (or reduction in) sedative, hypnotics, or anxiolytic use
described in criterion A:
1. Automatic Hyperactivity (e.g. sweating or pulse rate greater than 100
bmp).
2. Hand tremor
3. Insomnia
4. Nausea or vomiting
5. Transient visual, tactile, or auditrory hallucination or illusion.
6. Psycomotor agitation
7. Anxiety
8. Generalized tonic-clonic seizures
C. The sign or symptoms are the Criterion B cause clinically significant distress
on impairment in social, occupational, or importance areas of functioning
D. The sign or symptom are not attributable to another medical conditions and
are not better explained by another mental disorder, including intoxication or
withdrawal from another substance.
292.0 (F13.239) : Sedative, Hypnotic, or Anxiolytic Withdrawal, without
perceptual disturbances
292.0 (F13.232) : Sedative, Hypnotic, or Anxiolytic Withdrawal, without
perceptual disturbances

Dari kriteria diagnostic di atas, golongan yang paling dekat dengan scenario
adalah sedatif, hipnotik atau anxiolitik. Hal ini berdasarkan scenario yaitu Di tempat
praktik dokter, pasien meminta Pil Favoritnya. Beberapa obat yang dapat
menyebabkan penyalahgunaan dan ketergantungan seperti golongan barbiturate,
golongan benzodiazepine dan golongan lain.
4. Tatalaksana untuk pasien di scenario

29

Pengatasan penyalahgunaan obat memerlukan upaya-upaya yang terintegrasi,


yang melibatkan pendekatan psikologis, sosial, hukum, dan medis. Kondisi yang perlu
diatasi secara farmakoterapi pada keadaan ketergantungan obat ada dua, yaitu kondisi
intoksikasi dan kejadian munculnya gejala putus obat (sakaw). Dengan demikian,
sasaran terapinya bervariasi tergantung tujuannya:
1. Terapi pada intoksikasi/over dosis tujuannya untuk mengeliminasi obat dari
tubuh, menjaga fungsi vital tubuh
2. Terapi pada gejala putus obat tujuannya untuk mencegah perkembangan gejala
supaya tidak semakin parah, sehingga pasien tetap nyaman dalam menjalani
program penghentian obat
Tabel 1. Ringkasan Tentang Terapi Intoksikasi
Kelas obat
Benzodiazepin

Alkohol, barbiturat,

Terapi obat

Terapi non-

Flumazenil 0,2

obat
Support

Kontraindikasi jika ada

mg/min IV, ulangi

fungsi vital

penggunaan TCA

sampai max 3 mg
Tidak ada

Support

resiko kejang

sedatif hipnotik
non-benzodiazepin
Opiat

Komentar

fungsi vital
Naloxone 0,4-2,0 mg

Support

Jika pasien tidak

IV setiap 3 min

fungsi vital

responsif sampai dosis 10


mg mungkin ada OD

Kokain dan
stimulan CNS lain

Lorazepam 2-4 mg

-Support

IM setiap 30 min

fungsi vital

sampai 6 jam jika

- Monitor

perlu

fungsi jantung

Haloperidol 2-5 mg

Halusinogen,

selain opiat
- digunakan jika pasien
agitasi
- digunakan jika pasien
psikotik
- komplikasi

(atau antipsikotik

kardiovaskuler diatasi

lain) setiap 30 min

scr simptomatis

sampai 6 jam
Sama dgn di atas

Support
30

marijuana

fungsi vital,
talk-down
therapy

Tabel 2. Ringkasan Tentang Terapi Untuk Mengatasi Withdrawal Syndrome


Obat
Benzodiazepin

Terapi obat
Klordiazepoksid 50 mg 3 x sehari atau

(short acting)

lorazepam 2 mg 3 x sehari, jaga dosis

Long acting BZD

utk 5 hari, kmd tappering


Sama, tapi tambah 5-7 hari utk

Alprazolam paling sulit dan

Opiat

tappering
Methadon 20-80 mg p.o, taper dengan

butuh wkt lebih lama


- jika metadon gagal

5-10 mg sehari, atau klonidin 2 mg/kg

metadon maintanance

tid x 7 hari, taper untuk 3 hari

program

berikutnya
Barbiturat

Komentar

- Klonidin menyebabkan
hipotensi pantau BP

Test toleransi pentobarbital, gunakan


dosis pada batas atas test, turunkan

Mixed-substance
Stimulan CNS

dosis 100 mg setiap 2-3 hari


Lakukan spt pada long acting BZD
Terapi supportif saja, bisa gunakan
bromokriptin 2,5 mg jika pasien
benar-benar kecanduan, terutama pada
kokain

Terapi ketergantungan opioida yang efektif menurut WHO (2003) adalah


terapiabstinensia dan terapi substitusi. Ada 3 bentuk terapi substitusi, yaitu :
agonisopioida (metadon), antagonis opioida (naltrekson) dan parsial agonis
opioida(buprenorfin). Buprenorfin adalah salah satu semi-sintetik opioida yang
telahdiketemukan sejak tahun 1965 dengan melalui berbagai penelitian telah
diapprovedoleh FDA pada tahun 2002 dan mendapat izin edar di Indonesiapada akhir
tahun yang sama.
Buprenorfin

memiliki

afinitas

tinggi

terhadap

reseptor

opioida

berikatandengan reseptor ini lebih kuat daripada agonis opioida penuh. Buprenorfin
juga memiliki afinitas tinggi dan memiliki sifat antagonis pada reseptor k,
sehinggapada keadaan tertentu buprenorfin dosis tinggi dapat menimbulkan sindrom
31

putus obat opioida (opioida withdrawal syndrome) dengan gejala dan tandayang
serupa secara kualitatif tetapi tidak sama secara kuantitatif dibandingkan akibat
antagonis penuh seperti nalokson atau naltrekson. Buprenorfin memberikan beberapa
keuntungan dibandingkan terapi gabung anagonis antagonis yang digunakan dalam
terapi ketergantungan opioida. Keuntungan ini antara lain indeks keamanan yang
lebih besar terhadap terjadinya depresi pernafasan, tandaotonom dari putus obat
opioidayang lebih ringan, dan efek psikomimetik atau disforik yang lebih ringan.
Dengan efek respon opioida ganda maka ketika menghambat efek penggunaan heroin
sampingan, buprenorfin juga mengurangi penggunaan.
Perkembangan Terapi
Withdrawal syndrome adalah gejala-gejala yang timbul karena putusnya
pemakaian NAPZA. Terapinya dapat dilakukan baik secara farmakologi maupun
nonfarmakologi. Banyak penelitian yang menemukan penggunaan obat-obatan baru
sebagai terapi penyakit ini untuk hasil yang lebih baik. Pada salah satu penelitian yang
dilakukan pada tahun 2012 dilakukan perbandingan efikasi dan tingkat keamanan
pada obat yang telah lama digunakan untuk terapi withdrawal syndrome yaitu
methadone dan obat baru yaitu tramadol. Dari hasil penelitian tersebut ditemukan
bahwa tramadol memiliki efek samping yang lebih jarang terjadi daripada methadone
dengan efektivitas yang sama dalam mengontrol gejala withdrawal syndrome
sehingga tramadol dapat dipertimbangkan sebagai pengganti methadone yang
potensial.
Pada penelitian lain yang dilakukan tahun 2011 dengan objek penelitian
berupa ikan zebra dilakukan pengamatan terhadap zat mytraginine dan potensinya
untuk terapi withdrawal syndrome. Mytraginine adalah zat alkaloid yang dapat
ditemukan pada daun tanaman Mytragina sp. yang kemudian digunakan secara luas
untuk meningkatkan pertahanan terhadap kerasnya gejala-gejala withdrawal
syndrome pada saat rehabilitasi dari penggunaan opiat. Hasil penelitian tersebut
menunjukkan bahwa pemberian mytraginine pada pasien dengan gejala withdrawal
syndrome dapat menurunkan kadar produksi kortikotropin dan prodynorphin pada
otak sehingga dapat menekan stress dan kecemasan yang dipengaruhi oleh hormonhormon tersebut.
Selama ini obat-obatan yang digunakan untuk withdrawal syndrome bertujuan
untuk mengurangi stress, namun mayoritas obat tersebut akan berefek menekan
32

kemampuan alami pasien untuk mengatasi stress itu sendiri. Oleh karena itu perlu
dilakukan penelitian untuk mengatasinya. Pada penelitian yang dilakukan di Perancis
tahun 2011 dilakukan pengamatan pada corticotrophin releasing factor (CRF) yang
berhubungan dengan terjadinya stress. Dari penelitian ini ditemukan bahwa
penggunaan reseptor-defisiensi CRF dapat meringankan distress pada masa
withdrawal dari opiat tanpa menimbulkan efek kerusakan pada otak dan organ
neuroendokrin serta tidak mempengaruhi mekanisme stress coping sebagai respons
alami terhadap sindrom ini.
5. Upaya pencegahan yang dapat dilakukan
Upaya pencegahan terhadap penyebaran narkoba dikalangan pelajar, sudah
semestinya menjadi tanggung jaab kita bersama. Dalam hal ini semua pihak, termasuk
orang tua, guru, dan masyarakat harus turut berperan aktif dalam measpadai ancaman
arkoba terhadap anak-anak. Banyak yang masih bisa dilakukan untuk mencegah
remaja atau masyarakat menyalahgunakan narkoba dan membantu remaja yang sudah
terjerumus penyalahgunaan narkoba. Ada tiga tingkat intervensi, yaitu :
1. Primer
Sebelum penyalahgunaan terjadi, biasanya dalam bentuk pendidikan,
penyebaran informasi mengenai bahaya narkoba, pendekatan melalui keluarga, dll.
Instansi pemerintah, seperti halnya BKKBN (Badan Koordinasi Keluarga
Berencana Nasional) lebih banyak berperan pada tahap intervensi ini. kegiatan
dilakukan seputar pemberian informasi melalui berbagai bentuk materi KIE
(komunikasi informasi edukasi) yang ditujukan kepada remaja langsung dan
keluarga.
2. Sekunder
Pada saat penggunaan sudah terjadi dan diperlukan upaya penyembuhan
(treatment). Fase ini meliputi: Fase penerimaan awal (initialintake) antara 1 3
hari dengan melakukan pemeriksaan fisik dan mental, dan Fase detoksifikasi dan
terapi komplikasi medik, antara 1 3 minggu untuk melakukan pengurangan
ketergantungan bahan-bahan adiktif secara bertahap.
3. Tertier
Yaitu upaya untuk merehabilitasi mereka yang sudah memakai dan dalam
proses penyembuhan. Tahap ini biasanya terdiri atas Fase stabilisasi, antara 3 - 12
bulan, untuk mempersiapkan pengguna kembali ke masyarakat, dan Fase sosialiasi
33

dalam masyarakat, agar mantan penyalahguna narkoba mampu mengembangkan


kehidupan yang bermakna di masyarakat. Tahap ini biasanya berupa kegiatan
konseling, membuat kelompok-kelompok dukungan, mengembangkan kegiatan
alternatif, dll.
6.

34

BAB IV
PENUTUP

KESIMPULAN
Dari hasil pemaparan diatas, dapat disimpulkan bahwa anak tersebut (17 tahun)
mengalami ketergantungan zat terlarang dan mulai muncul gejala putus zat. Hal ini dapat
dibuktikan dengan adanya gejala-gejala yang sesuai dengan kriteria diagnostic DSM V
(Diagnostic and Statistical of Mental Disorders). Anak tersebut mengalami
ketergantungan pada obat sedative, hipnotik atau anticemas. Penggunaannya hanya untuk
keperluan ilmu pengetahuan dan digunakan untuk pengobatan. Rehabilitasi merupakan
salah satu penatalaksanaan yang dilakukan dalam kasus-kasus ketergantungan zat
terlarang. Penurunan dosis secara perlahan dan adanya dukungan dari keluarga serta
terapi psikososial sangat berperan penting dalam proses penyembuhan.

35

DAFTAR PUSTAKA

Elvira, S. D. Hadisukanto, G. (2010). Buku Ajar Psikiatri FK UI. Badan Penerbit FK UI,
Jakarta.
Hawari, Dadang. (2012). Penyalahgunaan & Ketergantungan NAPZA, Edisi II. FK UI (hlm :
37-64), Jakarta.
Kaplan, Sadock. (1997). Sinopsis Psikiatri, Edisi Ketujuh, Jilid 1. Bina rupa aksara, Jakarta.
Kaplan, Sadock. (1997). Sinopsis Psikiatri, Edisi Ketujuh, Jilid 2. Bina rupa aksara, Jakarta.
Maramis, Willy F. (2009). Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa, Edisi II. Airlangga University
Press (hlm :369-383), Surabaya.
Maslim, Rusdi. (2013). Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas PPDGJ III dan DSM
5. Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atma Jaya (hlm : 34), Jakarta.
McKeow,

N.J.

(2010).

Withdrawal

Syndromes.

http://emedicine.medscape.com/article/819502-overview . Diakses pada 10 Maret


2015.
Sadock, Benjamin J. (2010). Kaplan & Sadock Buku Ajar Psikiatri Klinis, Edisi II. EGC (hlm
: 86-146), Jakarta.
Suryono siswanto. (2001). Penanggulangan bahaya Narkoba : Media informasi dan edukasi
penyalahgunaan Narkoba. Kemitraan Peduli Penanggulangan Bahaya Narkoba,
Jakarta.

36

You might also like