You are on page 1of 21

BAB I

PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang
Kreatinin merupakan produk penguraian keratin. Keratin disintesis
dihati dan terdapat dihampir semua otot rangka yang berikatan dengan
dalam bentuk keratin fosfat (creatin phosphate) suatu senyawa penyimpan
energi. Dalam sintetis ATP (adenosine triphosphate) dari ADP (adenosine
diphosphate), keratin fosfat diubah menjadi keratin dengan katalisasi
enzim keratin kinase (creatin kinase) seiring dengan pemakaian energy,
sejumlah kecil diubah menjadi irreversible menjadi keatinin, yang
selanjutnya difiltrasi oleh glomerulus dan diekskresikan dalam urin.
Jumlah kreatinin yang dikeluarkan oleh seseorang setiap hari lebih
bergantung pada massa otot total daripada aktivitas otot atau tingkat
metabolism protein, walaupun keduanya juga menimbulkan efek.
Pembentukan kreatinin harian umumnya tetap, kecuali jika terjadi cedera
fisik yang berat atau atau penyakit degeneratif yang menyebabkan
kerusakan masif pada otot.
Pemeriksaan ureum dan kreatinindigunakan sebagai parameter tes
fungsi faal ginjal. Ureum merupakan senyawa kimia yang menandakan
fungsi ginjal masih normal. Oleh karena itu, tes ureum selalu digunakan
untuk melihat fungsi ginjal kepada pasien yang diduga mengalami
gangguan organ ginjal.
Kreatinin darah meningkat jika fungsi ginjal menurun. Oleh akrena
itu kreatinin dianggap lebih sensitive dan merupakan indikator khusus
pada penyakit dibandingkan uji kadar nitrogen urea, sedikit peningkatan
kadar

nitrogen

urea

dapat

menandakan

(kekuranagn volume cairan).

terjadinya

hipovolemia

1.2

Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, ada beberapa rumusan masalah,
diantaranya :
1. Apa yang dimaksud dengan kreatinin ?
2. Bagaimana metabolisme kreatinin dalam tubuh ?
3. Faktor apa yang mempengaruhi kadar kreatinin ?
4. Bagaimana metode pemeriksaan kreatinin ?
5. Apa hubungannya ginjal dengan kreatinin ?
6. Bagaimana pemeriksaan kreatinin cara deproteinasi ?
7. Apa manfaat pemeriksaan kreatinin ?
8. Apa golongan obat-obat Kreatinin ?

1.3

Tujuan Makalah
Adapun tujuan makalah ini berdasarkanrumusan masalah diatas,
diantaranya :
1.

Untuk mengetahui yang dimaksud dengan kreatinin ?

2.

Untuk mengetahui bagaimana metabolisme kreatinin dalam


tubuh ?

3.

Untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi kadar kreatinin?

4.

Untuk mengetahui bagaimana metode pemeriksaan kreatinin?

5.

Untuk mengetahui bagaimana hubungannya ginjal dengan


kreatinin ?

6.

Untuk mengetahui bagaimana pemeriksaan kreatinin cara


deproteinasi ?

7.

Untuk mengetahui manfaat pemeriksaan kreatinin ?

8.

Untuk mengetahui golongan obat-obat Kreatinin ?

1.4

Manfaat Makalah
Ada beberapa manfaat dalam penyusunan makalah ini adalah :
Sebagai informasi kepada masyarakat tentang pentingnya menjaga
kesehatan organ tubuh dan memberikan informasi tentang hubungan kadar
kreatinin terhadap ginjal.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1

Pengertian Kreatinin
Kreatinin adalah produk protein otot yang merupakan hasil akhir
metabolisme otot yang dilepaskan dari otot dengan kecepatan yang hampir
konstan dan diekresika dalam urin dengan kecepatan yang sama. Kreatinin
diekresikan

oleh

ginjal

melalui

kombinasi

filtrasi

dan

sekresi,

konsentrasinya relatif konstan dalam plasma dari hari ke hari, kadar yang
lebih besar dari nilai normal mengisyaratkan adanya gangguan fungsi
ginjal (Corwin J.E, 2001).
Peningkatan dua kali lipat kadar kreatinin serum mengindikasikan
adanya penurunan fungsi ginjal sebesar 50%, demikian juga peningkatan
kadar kreatinin tiga kali lipat mengisyaratkan penurunan fungsi ginjal
sebesar 75% (Soeparman dkk, 2001).
2.2

Metabolisme Kreatinin
Kreatinin adalah anhidrida dari kreatin, ia dibentuk sebagian besar
dalam otot dengan pembuangan air dari kreatinfosfat secara tak reversibel
dan non enzimatik. Kreatinin bebas terdapat dalam darah dan urin.
Pembentukan kreatinin rupanya adalah langkah permulaan yang
diperlukan untuk eksresi sebagian besar kreatinin (Harper H.A, 1999).

2.3

Faktor

yang

mempengaruhi

kadar

kreatinin

dalam

darah,

diantaranya adalah :
a. Perubahan massa otot.
b. Diet kaya daging meningkatkan kadar kreatinin sampai beberapa jam
setelah makan.
c. Aktifitas fisik yang berlebihan dapat meningkatkan kadar kreatinin darah.
d. Obat obatan seperti sefalosporin, aldacton, aspirin, da co-trimexazole
dapat mengganggu sekresi kreatinin sehingga meninggikan kadar kreatinin
darah.
4

e. Kenaikan sekresi tubulus dan dekstruksi kreatinin internal.


f. Usia dan jenis kelamin pada orang tua kadar kreatinin lebih tinggi dari
pada orang muda, serta pada laki laki kadar kreatinin dalam darah lebih
tinggi dari pada wanita. (Sukandar E, 1997)
2.4

Metode pemeriksaan kreatinin


Beberapa metode yang sering dipakai untuk pemeriksaan kreatinin
darah adalah :
a. Jaffe reaction
Dasar dari metode ini adalah kreatinin dalam suasana alkalis dengan asam
pikrat membentuk senyawa kuning jingga, menggunakan alat photometer.
b. Kinetik
Dasar dari metode ini relatif sama, hanya dalam pengukuram dibutuhkan
sekali pembacaan. Alat yang digunakan autoanalyzer.
c. Enzimatik Darah
Dasar metode ini adalah adanya substrat dalam sampel bereaksi dengan
enzim membentuk senyawa substrat menggunakan alat photometer.
Dari ketiga metode di atas, yang banyak sekali dipakai adalah
metode Jaffe reaction, dimana metode ini bias menggunakan serum atau
plasma yang telah dideproteinasi dan tanpa deproteinasi. Kedua cara
tersebut mempunyai kelebihan dan kekurangan, salah satunya adalah
untuk deproteinasi cukup banyak memakan waktu yaitu sekitar 30 menit,
sedangkan tanpa deproteinasi hanya memerlukan waktu yang relatif
singkat antara 2 3 menit (Pedoman kerja diagnostic ST. Reagen /
Rajawali Nusindo Diagnostik)

2.5

Hubungan Kreatin dengan ginjal

2.5.1

Fungsi Ginjal
Ginjal mempunyai berbagai fungsi antara lain:

1. Pengeluaran zat sisa organil, seperti urea, asam urat, kreatinin dan produk
penguraian hemoglobin dan hormon.

2. Pengaturan konsentrasi ion-ion penting antara lain ion natrium, kalium,


3.
4.
5.
6.

kalsium, magnesium, sulfat dan fosfat.


Pengaturan keseimbangan asam basa tubuh.
Pengaturan produksi sel darah merah dalam tubuh.
Pengaturan tekanan darah.
Pengendalian terbatas terhadap konsentrasi glukosa darah dan asam amino

darah.
7. Pengeluaran zat beracun dari zat tambahan makanan, obat-obatan atau zat
kimia asing lain dari tubuh (Hudok CM, 1999; Sloane E, 2003; Gibson J,
2002)
2.5.2

Mekanisme filtrasi ginjal


Glomerolus adalah bagian kecil dari ginjal yang melalui fungsi
sebagai saringan yang setiap menit kira-kira 1 liter darah yang
mengandung 500 mL plasma, mengalir melalui semua glomeruli dan
sekitar 100 mL (10%) dan disaring keluar. Plasma yang berisi semua
garam, glukosa dan benda halus lainnya disaring dan tetap tinggal dalam
aliran darah.
Cairan yang disaring yaitu filtrasi glomerolus, kemudian mengalir
melalui tubula renalis dan sel-selnya menyerap semua bahan yang
diperlukan tubuh dan meninggalkan yang tidak diperlukan
Keadaan normal semua glukosa doabsorpsi kembali, kebanyakan
produk sisa buangan dikeluarkan melalui urine, diantaranya kreatinin dan
ureum. Kreatinin sama sekali tidak direabsorpsi di dalam tubulus, akan
tetapi sejumlah kecil kreatinin benar-benar disekresikan ke dalam tubulus
oleh tubulus proksimal sehingga jumlah total kreatinin meningkat kira-kira
20% (Guyton CA, 1995).
Jumlah filtrasi glomerolus yang dibentuk setiap menit pada orang
normal rata-rata 125 mL per menit, tetapi dalam berbagai keadaan
fungsional ginjal normal dapat berubah dari beberapa mililiter sampai 200
mL per menit, jumah total filtrat glomerolus yang terbentuk setiap hari
rata-rata sekitar 180 liter, atau lebih dari pada dua kali berat badan total,

90% filtrat tersebut biasanya direabsorpsi di dalam tubulus, sisanya keluar


sebagai urin (Evelyn C, 1999).
Kreatinin merupakan produk sisa dari kreatinin fosfat, sebuah
senyawa yang dapat ditemukan pada jaringan otot skelet. Substansi ini
dikeluarkan melalui ginjal, Kadar kreatinin dalam darah dapat dipengaruhi
oleh gangguan ginjal. Oleh karena itu, kreatinin sangat berguna dalam
mengevaluasi fungsi ginjal. Peningkatan kadar kreatinin mengindikasikan
penurunan laju filtrasi glomerulus.
Kadar kreatinin normalnya dalam jumlah yang konstan walaupun
pada pasien usia tua. Kadar urea nitrogen / blood urea nitrogen (BUN)
biasa digunakan bersamaan dengan kreatinin untuk menilai fungsi ginjal.
Pemeriksaan kadar keratin dalam darah merupakan salah satu parameter
yang digunakan untuk menilai fungsi ginjal, karena konsentrasi dalam
plasma dan ekskresinya di urin dalam 24 jam relatif konstan. Kadar keratin
darah yang lebih besar dari normal mengisyaratkan adanya gangguan
fungsi ginjal. Nilai keratin normal pada metode jeffe reaction adalah lakilaki 0,8 sampai 1,2 mg/dl, anak anak 0,2 sampai 1,0 mg/dl dan wanita
0,6 sampai 1,1 mg/dl. (Sodeman, 1995).
2.6

Pemeriksaan Kreatinin

2.6.1

Cara Deproteinasi

2.6.1.1 Fisiologi Kreatinin Cara Deproteinasi


Cara ini adalah dengan penambahan TCA (Trichlor Acetic Acid)
1,2 N pada serum sebelum dilakukan pengukuran, setelah diputar dengan
kecepatan tinggi antara 5-10 menit maka protein dan senyawa-senyawa
lain akan mengendap dan filtratnya digunakan untuk pemeriksaan. Tes
linier sampai dengan konsentrasinya 10 mg /dl serum dan 300 mg / dl urin.
Cara deproteinasi ini banyak memerlukan sampel dan waktu yang di
perlukan lama sekitar 30 menit.( Underwood, 1997).
2.6.1.2 Faktor Kelemahan Kreatinin Cara Deproteinasi
7

Ada beberapa faktor kelemahan kreatinin cara deproteinasi :


1. Trichlor acetic acid ( TCA ) terlalu pekat.
2. Konsentrasi TCA salah ( apabila menggunakan TCA 3 N, tidak terdapat
perubahan
warna ).
3. Waktu inkubasi tidak diperhatikan ( 20 menit ).
4. Kekeruhan dalam supernatan setelah deproteinasi ( waktu deproteinasi
endapan diaduk beberapa kali / sebelum centrifuge didiamkan untuk
beberapa menit ).
5. Sampel yang diperlukan telalu banyak dan waktu terlalu lama. TCA pada
suhu kamar mudah terurai maka penyimpanannya di almari es (2-8C).
(Sylvia, 1994).
2.6.1.3 Faktor Keuntungan Kreatinin Cara Deproteinasi
Ada beberapa faktor keuntungan kreatinin cara deproteinasi :
Kandungan nitrogen dalam sampel seperti protein, ureum, dll
sudah terikat dengan TCA sehingga supernatan terbebas dari bahan-bahan
nitogen. (Sylvia, 1994).
2.6.2

Tanpa Cara Deproteinasi

2.6.2.1 Fisiologi Kreatinin Tanpa Cara Deproteinasi


Cara ini adalah fixed time kinetic metoda Jaffe Reaction , yaitu
pengukuran kreatinin dalam suasana alkalis dan konsentrasi ditentukan
dengan ketepatan waktu pembacaan. Tes linier sampai dengan konsentrasi
13 mg / dl serum dan 500 mg per / dl urin. Cara tanpa deproteinasi ini
hanya memerlukan sedikit sampel dan waktu yang diperlukan cukup
singkat sekitar 2 menit. ( Underwood, 1997).
Prinsipnya adalah kreatinin akan bereaksi dengan asam pikrat
dalam suasana alkali membentuk senyawa kompleks yang berwarna
kuning jingga. Intensitas warna yang terbentuk setara dengan kadar
kreatinin dalam sampel, yang diukur dengan Fotometer dengan panjang
gelombang 490 nm.
2.7

Manfaat Pemeriksaan Kreatinin


8

Pemeriksaan kadar kreatinin dalam darah merupakan salah satu


parameter yang digunakan untuk menilai fungsi ginjal, karena konsentrasi
dalam plasma dan ekskresinya di urin dalam 24 jam relatif konstan. Kadar
kreatinin darah yang lebih besar dari normal mengisyaratkan adanya
gangguan fungsi ginjal. Nilai kreatinin normal pada metode jaffe reaction
adalah laki-laki 0,6 sampai 1,1 mg / dL; wanita 0,5 sampai 1,9 mg / dL
(Sodeman, 1995).
Pemeriksaan kreatinin darah dengan kreatinin urin bisa digunakan
untuk menilai kemampuan laju filtrasi glomerolus, yaitu dengan
melakukan tes kreatinin klirens. Selain itu tinggi rendahnya kadar
kreatinin darah juga memberi gambaran tentang berat ringannya gangguan
fungsi ginjal. Hemodialisis dilakukan pada gangguan fungsi ginjal yang
berat yaitu jika kadar kreatinin lebih dari 7 mg / dl serum. Namun
dianjurkan bahwa sebaiknya hemodialisis dilakukan sedini mungkin untuk
memghambat progresifitas penyakit (Sodeman, 1995).
2.8

Obat-Obat Yang Dapat Mempengaruhi Kadar Kreatinin


Obat-obatan yang dapat meningkatkan kadar kreatinin adalah :
Amfoterisin

B,

sefalosporin

(sefazolin,

sefalotin),

aminoglikosid

(gentamisin), kanamisin, metisilin, simetidin, asam askorbat, obat


kemoterapi sisplatin, trimetoprim, barbiturat, litium karbonat, mitramisin,
metildopa, triamteren.
1. Amfoterisin B
Amfoterisin B merupakan antibiotik makrosiklik polyene yang
berasal dari Streptomyces nodosus, diperkenalkan pada tahun 1956 dan
disetujui digunakan sebagai anti jamur pada manusia di tahun 1960.
Amfoterisin B deoxycholate (formula konvensional) digunakan untuk
pengobatan infeksi deep mikosis, pemberian secara parenteral sering
menimbulkan efek toksik terutama pada ginjal / nefrotoksik sehingga
kemudian dikembangkan 3 jenis formula yang kurang toksik terhadap
9

ginjal dengan dasar lemak (lipid-based formulations) yaitu (1) Liposomal


amfoterisin B (AmBisome), obat ini diselubungi dengan phospholipid
yang mengandung liposome. (2) Amfoterisin B lipid kompleks (Abelcet,
ABLC), merupakan suatu kompleks dengan fosfolipid yang membentuk
struktur seperti pita. (3) Amfoterisin B kolloidal dispersion (Amphocil,
Amphotec, ABCD), merupakan suatu kompleks dengan cholesterol
sulphate yang membentuk potongan lemak yang kecil.
Mekanisme kerja :
Amfoterisin B berikatan dengan ergosterol sehingga membran sel
jamur menjadi rentan selanjutnya mengakibatkan fungsi barrier membran
menjadi

rusak,

hilangnya

unsur-unsur

penting

sel,

menggangu

metabolisme dan matinya sel jamur. Efek lain pada membran sel jamur
yaitu amfoterisin B dapat menimbulkan kerusakan oksidatif terhadap sel
jamur.
Interaksi obat :
Amfoterisin B dapat menambah efek nefrotoksik obat lain seperti
antibiotik aminoglikosida, siklosporin, antineoplastik tertentu sehingga
kombinasi obat diatas harus hati-hati. Kombinasi obat amfoterisin B
dengan kortikosteroid atau digitalis glikosid dapat menimbulkan
hipokalemi.
Efek Samping:
Bila diberikan secara parenteral: Anoreksia, nausea, muntah, diare,
sakit perut; demam, sakit kepala, sakit otot dan sendi; anemia; gangguan
fungsi ginjal (termasuk hipokalemia dan hipomagnesemia) dan toksisitas
ginjal; toksisitas kardiovaskuler (termasuk aritmia); gangguan darah dan
neurologis (kehilangan pendengaran, diplopia, kejang, neuropati perifer);
gangguan fungsi hati (hentikan obat); ruam; reaksi anafilaksis.
Dosis:
Oral: untuk kandidiasis intestinal, 100-200 mg tiap 6 jam. Bayi dan
Anak-anak, 100 mg 4 kali sehari. Injeksi intravena: infeksi jamur sistemik,
10

dosis percobaan 1 mg selama 20-30 menit dilanjutkan dengan 250 mcg/kg


bb/hari, pelan-pelan dinaikkan sampai 1 mg/kg bb/hari; maksimum 1,5
mg/kg bb/hari atau selang sehari.
2. Sefalosporin
Sefalosporin merupakan antibiotik spektrum luas yang digunakan
untuk terapi septikemia, pneumonia, meningitis, infeksi saluran empedu,
peritonitis, dan infeksi saluran urin. Aktivitas farmakologi dari
sefalosporin sama dengan penisilin, diekskresi sebagian besar melalui
ginjal. Kemampuan sefalosporin melintas sawar otak sangat rendah
kecuali pada kondisi inflamasi; sefotaksim merupakan sefalosporin yang
baik untuk infeksi sistem saraf pusat (misalnya meningitis). Efek samping
utama dari sefalosporin adalah hipersensitifitas dan sekitar 10% dari
pasien sensitif terhadap penisilin juga akan alergi terhadap sefalosporin.
Mekanisme kerja :
Sefalosporin biasanya bakterisida terhadap bakteri dan bertindak
dengan sintesis mucopeptide penghambat pada dinding sel sehingga
penghalang rusak dan tidak stabil. Mekanisme yang tepat untuk efek ini
belum pasti ditentukan, tetapi antibiotik beta-laktam telah ditunjukkan
untuk mengikat beberapa enzim (carboxypeptidases, transpeptidases,
endopeptidases) dalam membran sitoplasma bakteri yang terlibat dengan
sintesis dinding sel. Afinitas yang berbeda bahwa berbagai antibiotic betalaktam memiliki enzim tersebut (juga dikenal sebagai mengikat protein
penisilin; PBPs) membantu menjelaskan perbedaan dalam spektrum
aktivitas dari obat yang tidak dijelaskan oleh pengaruh beta-laktamase.
Seperti antibiotik beta-laktam lainnya, sefalosporin umumnya dianggap
lebih efektif terhadap pertumbuhan bakteri aktif.
Efek Samping :
1. Reaksi hipersensitifitas dan dermatologi : shock, rash, urtikaria, eritema,
pruritis, udema,
2. Hematologi :

pendarahan,

trombositopenia,

anemia

Hematologi : pendarahan, trombositopenia, anemia hemolitik

11

hemolitik

3. Saluran cerna, terutama penggunaan oral : colitis (darah dalam tinja),


nyeri lambung, diare, rasa tidak enak pada lambung, anoreksia, nausea,
konstipasi.
4. Defisiensi vitamin K : karena sefalosporin menimbulkan efek anti
vitamin K.
5. Efek pada ginjal : meningkatnya konsentrasi serum kreatinin, disfungsi
ginjal dan toksik nefropati.
3. Aminoglikosida
Aminoglikosida adalah golongan antibiotika bakterisidal yang
dikenal toksik terhadap saraf otak VIII komponen vestibular maupun
akustik (ototoksik) dan terhadap ginjal (nefrotoksik). Dan aminoglikosida
merupakan senyawa yang terdiri dari 2 atau lebih gugus gula amino yang
terikat lewat ikatan gliosidik pada inti heksosa (Tanu,I. 2007).
Mekanisme Kerja :
Aminoglikosida berdifusi lewat kanal air yang dibentuk oleh porin
protein pada membran luar dari bakteri gram-negatif masuk ke ruang
periplasmik. Sedangkan transpor melalui membran dalam sitoplasma
membutuhkan energi. Fase transpor yang tergantung energi ini bersifat rate
limiting, dapat di blok oleh Ca++ dan Mg++, hiperosmolaritas, penurunan
pH dan anaerobiosis. Hal ini menerangkan penurunan aktivitas
aminoglikosida pada lingkungan anaerobik suatu abses atau urin asam
yang bersifat hiperosmolar. Setelah masuk sel, aminoglikosida terikat pada
ribosom 30S dan menghambat sintesis protein. Terikatnya aminoglikosida
pada ribosom ini mempercepat transpor aminoglikosida ke dalam sel
diikuti dengan kerusakan membran sitoplasma dan disusul kematian sel.
Yang diduga terjadi adalah salah baca (mis reading) kode genetik yang
mengakibatkan terganggunga sintesis protein (Tanu,I. 2007).
Penurunan kadar kreatinin dapat dijumpai pada : distrofi otot
(tahap akhir), myasthenia gravis. Untuk menilai fungsi ginjal, permintaan
pemeriksaan kreatinin dan BUN hampir selalu disatukan (dengan darah
yang sama). Kadar kreatinin dan BUN sering diperbandingkan. Rasio
12

BUN/kreatinin biasanya berada pada kisaran 12-20. Jika kadar BUN


meningkat dan kreatinin serum tetap normal, kemungkinan terjadi uremia
non-renal (prarenal); dan jika keduanya meningkat, dicurigai terjadi
kerusakan ginjal (peningkatan BUN lebih pesat daripada kreatinin). Pada
dialisis atau transplantasi ginjal yang berhasil, urea turun lebih cepat
daripada kreatinin. Pada gangguan ginjal jangka panjang yang parah, kadar
urea terus meningkat, sedangkan kadar kreatinin cenderung mendatar,
mungkin akibat akskresi melalui saluran cerna.
Rasio BUN/kreatinin rendah (<12)>20) dengan kreatinin normal
dijumpai pada uremia prarenal, diet tinggi protein, perdarahan saluran
cerna, keadaan katabolik. Rasio BUN/kreatinin tinggi (>20) dengan
kreatinin tinggi dijumpai pada azotemia prarenal dengan penyakit ginjal,
gagal ginjal, azotemia pascarenal.

REVIEW JURNAL
PENGARUH EKSTRAK METANOL DAUN KESUM (Polygonum minus
Huds.) TERHADAP PENINGKATAN KADAR KREATININ
DAN UREUM SERUM TIKUS PUTIH GALUR WISTAR
TERINDUKSI SISPLATIN
Michael1, Indri Kusharyanti2*, Isnindar3*
1. Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran Universitas Tanjungpura
2. Bagian Farmasi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Tanjungpura
3. Bagian Biologi Farmasi Fakultas Kedokteran Universitas Tanjungpura
* Pembimbing
ABSTRAK
13

Sisplatin merupakan obat kemoterapi yang memiliki efek samping yaitu


nefrotoksik dengan ditandai meningkatnya kadar ureum dan kreatinin. Kesum
(Polygonum minus Huds.) merupakan salah satu tanaman yang berpotensi untuk
menurunkan ureum dan kreatinin. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui
kandungan senyawa metabolit sekunder ekstrak metanol daun kesum dan aktivitas
penurunan ureum dan kreatinin dimana tikus dikondisikan mengalami nefrotoksik
dengan induksi sisplatin. Ekstraksi daun kesum dilakukan dengan metode
maserasi menggunakan pelarut metanol. Skrining fitokimia dilakukan dengan uji
tabung untuk mendeteksi golongan senyawa pada ekstrak daun kesum. Tikus
percobaan dibagi menjadi 5 kelompok perlakuan yaitu tanpa perlakuan (CMC
1%), kontrol sisplatin (5 mg/kgBB), dosis 1 (8,664 mg/200 grBB), dosis 2 (17,328
mg/200 grBB), dan dosis 3 (34,656 mg/200 grBB). Kadar ureum dan kreatinin
serum diukur pada hari ke 10 setelah perlakuan menggunakan spektrofotometer
UV-Vis. Teknik analisis data menggunakan One Way ANOVA dan Post Hoc Test
Multiple Comparisons-Tukey HSD. Hasil skrining fitokimia menunjukkan ekstrak
metanol daun kesum mengandung alkaloid, polifenol, tanin, flavonoid,
triterpenoid dan saponin. Hasil analisis menunjukkan bahwa dosis 1, dosis 2, dan
dosis 3 mampu menurunkan kadar ureum dan kreatinin sehingga berpotensi
mencengah efek samping dari sisplatin
Kata kunci : Sisplatin, Polygonum minus Huds., Ureum, Kreatinin
Pendahuluan
Sisplatin adalah obat antikanker yang sangat efektif terhadap berbagai
kanker terutama pada kanker serviks1. Namun dapat menyebabkan berbagai efek
samping yang berat. Salah satunya yaitu menyebabkan nefrotoksik. Saat
penggunaan klinis awal, terjadi gagal ginjal akut yang diinduksi sisplatin pada
14% - 100% pasien2. Sisplatin menyebabkan nefrotoksik dengan meningkatnya
Reactive Oxygen Species (ROS) dan TNF-3.
Manifestasi nefrotoksik dapat berupa gagal ginjal akut yang ditandai
dengan meningkatnya kadar kreatinin dan ureum serum. Seiring dengan
meningkatnya penggunaan sisplatin maka dilakukan berbagai usaha untuk

14

mencengah nefrotoksik. Usaha untuk mencegah terjadinya nefrotoksik adalah


dengan menurunkan kadar kreatinin dan ureum serum. Senyawa yang dapat
menurunkan kadar kreatinin dan ureum serum adalah flavonoid, alkaloid dan
fenolik. Salah satu bahan alam yang berpotensi menurunkan kadar kreatinin dan
ureum dalam serum adalah daun kesum (Polygonum minus). Kandungan fenolik
dan flavonoid ekstrak air daun kesum bersifat sebagai antioksidan kuat. Ekspresi
protein TNF- dapat dihambat dengan adanya ekstrak mengkudu yang
mengandung senyawa bioaktif antioksidan dan polifenol sehingga dapat
mencengah nefrotoksik5. Fraksi metanol daun kesum terdapat senyawa golongan
fenolik, steroid, flavonoid dan alkaloid, fraksi etil asetat terdapat senyawa
golongan fenolik dan alkaloid, dan fraksi n-heksana terdapat senyawa fenolik dan
steroid6.
Dengan adanya agen penurun kadar kreatinin dan ureum dalam serum
diharapkan efek samping dari penggunaan sisplatin dapat diminimalisasi.
Berdasarkan hal tersebut diatas, maka peneliti tertarik untuk melakukan uji
pengaruh ekstrak methanol daun kesum (Polygonum minus Huds.) terhadap kadar
kreatinin dan ureum serum tikus putih jantan galur wistar yang meningkat akibat
induksi sisplatin.
Tujuan penelitian ini juga dilakukan untuk mengetahui kandungan
metabolitsekunder yang terdapat dalam ekstrak metanol daun kesum dan pengaruh
terhadap kadar kreatinin dan ureum tikus akibat induksi sisplatin.
2. Bahan dan Metodologi
2.1 Alat
Alat-alat yang digunakan adalah bejana maserasi (wadah kaca), neraca analitik
(Precisa XB 4200 C, Precisa XT 220 A), seperangkat alat kaca, rak tabung
reaksi, pipet tetes, pipet ukur (Pyrex), Ball filler, Hot plate (Schott
Instrument), oven (memmert), mikroskop (Zeiss Primo Star), Waterbath,
desikator, Evaporator (Heidolph), pompa vakum, cawan penguap, sonde (spuit
injeksi p.o), peralatan bedah, mikro pipet, Yellow Tip, microsentrifuge,
Spektrofotometer uvvis (Shimadzu).
15

2.2 Bahan
Bahan-bahan yang digunakan adalah simplisia daun kesum, methanol teknis,
akuades, larutan basa ammonia 1%, Kloroform, HCl, pereaksi Mayer dan
Dragendorf, larutan FeCl3, serbuk magnesium, asam asetat glasial, larutan
H2SO4 pekat, CMC 1%, Sisplatin (Ebewe), Reagen Ureum (Analyticon),
Reagen Kreatinin (Analyticon).
3. Prosedur
3.1 Skrining Fitokimia
Skrining fitokimia menggunakan uji tabung. Adapun uji skrining fitokimia yang
dilakukan meliputi pemeriksaan alkaloid, polifenol, tanin, flavonoid, steroidtriterpenoid dan saponin.
3.2 Perlakuan Pada Hewan Uji
Hewan uji dipisahkan menjadi 5 kelompok dengan masing-masing kelompok
terdiri dari 3 ekor tikus. Kelompok kontrol normal diberikan suspensi CMC 1%
selama 10 hari, kelompok perlakuan dosis diberikan suspensi ekstrak metanol
dalam CMC 1% dengan dosis 1 (8,664 mg/ 200 grBB), dosis 2 (17,328 mg/ 200
grBB dan dosis 3 (34,656 mg/ 200 grBB) selama 10 hari berturut-turut, kelompok
kontrol sisplatin diberikan siplatin 5 mg/ kgBB (Ebewe) pada hari kelima secara
intra-peritoneal. Semua kelompok perlakuan dosis pada hari kelima diberikan
sisplatin secara intraperitoneal dengan dosis 5mg/kgBB. Setelah perlakuan semua
hewan diterminasi pada hari ke-10 dan diambil darahnya. Darah disentrifugasi
pada kecepatan 1300 rpm selama 20 menit dan diambil bagian serum.
3.3 Pengukuran Ureum dan Kreatinin
Pengukuran ureum dan kreatinin dilakukan di Unit Lab Kesehatan Kalimantan
Barat. Reagen ureum dan kreatinin yang digunakan adalah kit reagen produksi
Analyticon@..
3.4 Analisis Data
Hasil data yang diperoleh diolah dengan menggunakan SPSS 17.0 for windows.
Data diuji komparatif menggunakan uji statistik One Way ANOVA menggunakan
Post Hoc Test Multiple Comparisons-Tukey HSD.
16

4. Hasil
1 Skrining Fitokimia
Hasil skrining fitokimia terhadap ekstrak metanol daun kesumditunjukkan bahwa
Alkaloid, Polifenol, Flavonoid, Steroid- Triterpenoid, Saponin. Hasilnya
semuanya positif.
2. Kreatinin
Berdasarkan hasil analisis kadar kreatinin dengan metode Tukey HSD
menunjukkan bahwa kelompok control sisplatin memiliki p < 0.05 dengan
kelompok perlakuan lainnya. Hasil tersebut menunjukkan bahwa kadar kreatinin
serum tikus mempunyai perbedaan bermakna antara control sisplatin dengan
kelompok CMC 1%, dosis1, dosis 2 dan dosis 3. Hal ini menunjukkan bahwa
ketiga variasi dosis ekstrak methanol daun kesum memiliki kemampuan dalam
menurunkan kadar kreatinin pada tikus yang menandakan terjadi perlindungan sel
ginjal akibat pemberian ekstrak daun kesum.
Hasil uji statistik terhadap ketiga variasi dosis tidak menunjukkan adanya
perbedaan kemampuan ekstrak methanol daun kesum dalam menurunkan kadar
kreatinin dan ureum yang ditunjukkan bahwa tidak adanya perbedaan bermakna
antara dosis1, dosis 2 dan dosis 3. Hal ini mungkin dikarenakan oleh terjadinya
reseptor yang telah jenuh pada dosis 2 dan dosis 3 atau terjadi kompetitif reseptor
antara ekstrak dan TNF-. Maka dari itu, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut
menggunakan rentang dosis yang lebih lebar untuk melihat farmakokinetik
ekstrak.
5. Pembahasan
Penelitian dilakukan untuk melihat efek pemberian ekstrak metanol daun kesum
terhadap penurunan kadar kreatinin dan ureum serum tikus putih jantan yang
meningkat

akibat

induksi sisplatin.Pengkondisian

nefroktoksik dilakukan

denganpemberian sisplatin dosis tunggal pada hari ke 5. Pemberian dosis tunggal


sisplatin 5 mg/kg BB dapat menyebabkan nefroktoksik dengan kolerasi
meningkatnya kreatinin dan ureum serum.

17

Analisis biokimia yang dilakukan yaitu kadar kreatinin dan ureum. Bila ginjal
rusak atau kurang baik fungsinya maka kadar ureum darah dapat meningkat dan
meracuni sel-sel tubuh karena terjadi penurunan proses filtrasi glomerulus.
Kreatinin serum secara khusus berguna dalam mengevaluasi fungsi glomerulus.
Kreatinin serum dinilai lebih sensitif dan merupakan indikator penyakit ginjal
yang lebih spesifik. Kreatinin serum ini kemudian meningkat dan tidak di
pengaruhi oleh diet atau masukan cairan8. Data hasil pemeriksaan biokimia
pengujian efek ekstrak metanol daun kesum terlihat bahwa Pengukuran kadar
kreatinin memberikan hasil yang sama dengan kadar ureum, dimana pada
kelompok perlakuan dengan pemberian dosis ekstrak daun kesum, kadar kreatinin
serum mengalami penurunan atau lebih rendah dibanding pada kontrol sisplatin.
Ini menandakan terjadi perlindungan sel ginjal akibat pemberian ekstrak daun
kesum. Kadar kreatinin dosis 1 sebesar 1,07 mg/dl, dosis 2 sebesar 1,07 mg/dl,
dosis 3 sebesar 1,03 mg/dl dan CMC 1% sebesar 1,00 mg/dl. Pada control
sisplatin terjadi peningkatan kadar kreatinin yang tinggi sebesar 1,83 mg/dl jika
dibandingkan dengan kelompok perlakuan dosis maupun CMC 1%. Salah satu
penyebab meningkatnya kadar ureum dan kreatinin adalah radikal bebas. Radikal
bebas merupakan mekanisme nefrotoksik dari sisplatin dan antioksidan dapat
melindungi dari nefrotoksik. Radikal bebas dan ROS (Reactive Oxygen Species)
menginduksi stress oksidatif dalam ginjal1. Peningkatan radikal bebas dan ROS
akan menyebabkan terjadinya kematian sel dimana isi-isi sel yang keluar akan
berikatan dengan protein fibronektin didalam lumen tubular. Hal ini akan
menyebabkan penyumbatan berupa silinder sehingga kreatinin dan ureum tidak
dapat dikeluarkan dengan dengan baik. Penurunan kadar ureum dan kreatinin
diduga dikarenakan efek biologis dari kandungan senyawa metabolit sekunder
yang terkandung di dalam daun kesum.
Mekanisme dari metabolit sekunder dalam menurunkan kadar ureum dan kreatinin
diduga berdasarkan aktivitas antioksidan. Seperti yang dipaparkan dalam hasil
skrining fitokimia ekstrak metanol daun kesum, maka terdeteksi kandungan
flavonoid, alkaloid, polifenol, tanin, saponin dan triterpenoid. Senyawa flavonoid,

18

polifenol dan tanin diduga kuat merupakan senyawa yang bertanggung jawab
terhadap aktivitas antioksidan. Aktivitas antioksidan pada senyawa flavonoid,
fenolik dan tanin dikarenakan ketiga senyawa tersebut adalah senyawa-senyawa
fenol, yaitu senyawa dengan gugus OH yang terikat pada karbon cincin
aromatik. Senyawa fenol ini mempunyai kemampuan untuk menyumbangkan
atom hidrogen.
Kreatinin merupakan suatu metabolit kreatin dan dieskresikan seluruhnya
dalam urin melalui filtrasi glomerulus. Oleh karena itu, meningkatnya kadar
kreatinin merupakan indikasi dari rusaknya fungsi ginjal. Kadar kreatinin sendiri
tidak dipengaruhi oleh asupan makanan atau minuman sehingga dianggap lebih
sensitif dan merupakan indikator khusus penyakit ginjal. Selain itu, sintesis
kreatinin relatif konstan yang dapat menggambarkan pengeluaran kreatinin dari
ginjal. Kadar kreatinin dan ureum bukanlah satu-satunya indikator kerusakan
ginjal, tetapi perlu dikonfirmasi lagi dengan histology jaringan ginjal.

6. Kesimpulan
Kesimpulan hasil penelitian yaitu golongan senyawa yang terdapat didalam
ekstrak metanol daun kesum adalah alkaloid, tanin, saponin, flavonoid,
triterpenoid dan polifenol. Dosis 1 (8,664 mg/200 grBB), dosis 2 (17,328 mg/200
grBB) dan dosis 3 (34,656 mg/200 grBB) merupakan dosis ekstrak metanol yang
dapat menurunkan kadar ureum dan kreatinin serum pada tikus putih jantan galur
wistar yang meningkat akibat induksi sisplatin.

19

BAB III
PENUTUP
3.1

Kesimpulan
Kreatinin merupakan produk protein otot yang merupakan hasil akhir

metabolisme otot yang dilepaskan dari otot dengan kecepatan yang hampir
konstan dan diekresika dalam urin dengan kecepatan yang sama. Kadar kreatinin
yang tinggi dapat mengindikasikan bahwa adanya kerusakan di dalam fungsi
ginjal utamanya didalam glomerulus.

20

DAFTAR PUSTAKA
C. Pearce, Evelyn. 2002. Anatomi Fisiologi untuk Paramedis, Jakarta:
Gramedia.
Guyton, Arthur C. & John E. Hall. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, Edisi
9,

Editor: Irawati Setiawan. Jakarta :EGC.

Soeparman, dkk. 2001. Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Jakarta : Balai Penerbit
FKUI.
Sylvia & Lorraine. 1994. Patofisiologi, Konsep Klinis Proses Penyakit. Jakarta :
Penerbit Buku

Kedokteran, EGC.

21

You might also like