You are on page 1of 2

SAMBUNGAN

PEMIKIRAN BAPAK BANGSA DAN PERJUANGAN JURNALIS


Dewa Putu Adi Wibawa
Revolusi Perancis dianggap sebagai momentum kelahiran konsep
demokrasi barat, sekaligus pula pertanda kemenangan politik klas borjuis
Perancis (penguatan kapitalisme).
Berkenaan dengan demokrasi barat ini, Sukarno mengilustrasikannya
secara apik: rakyat dapat menjadi raja di parlemen, namun pada saat
itu juga ia sendiri bisa diusir dari pabrik di mana ia bekerja dengan upah
kokoro (Sukarno: 1927). Hak-hak politik dikedepankan namun abai pada
persoalan kesejahteraan. Konsep demikian dianggap tidak tepat bila
diterapkan dalam alam Indonesia merdeka, diperkenalkan lah gagasan
sosio-demokrasi atau demokrasi sosial dalam kosa kata Hatta. Gagasan
yang memberi pengakuan pada kedaulatan rakyat atas sumber-sumber
daya ekonomi. Individualisme menurut Hatta tidak memperoleh tempat
dalam gagasan ini, sebagai alternatifnya diperkenalkan prinsip
kekeluargaan. Sehingga, tepat apa yang disampaikan oleh Mubyarto
bahwa demokrasi ekonomi tersusun atas elemen kekeluargaan dan
kerakyatan.
Pers sendiri disebut-sebut sebagai salah satu pilar dari demokrasi.
Kebebasan pers menjadi salah satu syarat vital terwujudnya demokrasi
liberal. Artinya adalah pers dapat menjadi kekuatan kontrol atas penguasa
ketika memperoleh jaminan untuk merdeka dari kooptasi pemerintah.
Faktanya, pers memang telah memegang peran signifikan dalam proses
demokratisasi.
Siginifikansi
demikian
dapat
diperoleh
akibat
kedudukannya yang strategis sebagai medium informasi praktik
penyelenggaraan kekuasaan sehingga mempermudah rakyat dalam
menjangkaunya.
Kehormatan demikian tinggi yang dimiliki oleh lembaga pers tentu tidak
berarti apa-apa bila tidak menyentuh persoalan fundamental rakyat dan
bahkan para jurnalis sendiri, yaitu problem kesejahteraan. Sukarno
sempat menyinggung prihal ini, menurutnya, katakan lah demokrasi barat
berhasil menjamin secara sempurna hak-hak sipil dan politik serta
terdapat kesetaraan politik, namun dalam praktiknya di tengah-tengah
realitas ketimpangan ekonomi akibat kuasa kapitalisme, akses atas
kekuasaan politik dan nasib hukum tetap didominasi oleh mereka yang
memiliki kontrol terhadap sumber saya ekonomi (kapitalis). Hal ini berarti
bahwa prinsip kesetaraan politik dan hukum sangat sulit diwujudkan
dalam suasana ketimpangan sehingga pula kebebasan individu pun
menjadi tidak berarti apa-apa.

Persoalan kesejahteraan kalangan jurnalis terindikasi dari program


tuntutan Aliansi Jurnalis Independen yang tidak dapat lepas dari isu
kesejahteraan para jurnalis. Sama halnya dengan perkara di atas,
kesejahteraan dalam dimensi kepentingan jurnalis bersinggungan dengan
problem kapitalisme. Secara faktual, di Indonesia saja terdapat 12
kelompok media besar yang masing-masing berada di bawah kontrol
pemilik modal. Secara umum, para jurnalis terikat dalam suatu relasi kerja
dengan pemilik (modal) perusahaan media tempat di mana mereka
bekerja. Sebagaimana kedudukan kaum pekerja dalam relasi kapitalistik,
tidak ada kemerdekaan dalam aspek kesejahteraan.
Pembicaraan tentang kesejahteraan jurnalis tidak linear dengan anggapan
bahwa jaminan atas kebebasan pers berbanding lurus dengan
perlindungan hukum atas aktivitas jurnalis. Dari data yang dilansir oleh
AJI, sepanjang 5 tahun terakhir setidaknya terjadi 228 kasus kekerasan
terhadap jurnalis. Di mana setiap tahun berkisar di angka yang sama,
yakni 40-51 kekerasan. Tingkat kekerasan yang relatif tinggi tersebut
memberi sinyalemen adanya persoalan dalam aspek penegakan hak-hak
normatif para jurnalis. Meski demikian, perjuangan demokratis (politik)
saja tidak lah memadai untuk memperkuat kedudukan rakyat sebagai
pemegang kedaulatan. Dalam alam kapitalisme, perjuangan demokratis
memang harus dikombinasikan dengan perjuangan kesejahteraan dalam
rupa demokratisasi di bidang ekonomi. Di mana hal tersebut
mensyaratkan kerjasama multi sektor (kelompok-kelompok sosial yang
terekspolitasi) untuk mengembalikan sumber daya ekonomi ke tangan
rakyat banyak (kepemilikan kolekrif) sebagai pemiliknya yang sah
sebagaimana semangat Pasal 33 UUD 1945 sebelum perubahan.

You might also like