You are on page 1of 27

BAB I

PENDAHULUAN
Bahasa adalah fungsi luhur yang paling utama bagi manusia selain fungsi
daya mengingat, persepsi, kognisi, dan emosi. Kerusakan atau kelainan di otak
dapat menimbulkan gangguan kemampuan berbahasa yang disebut afasia. Afasia
adalah gangguan kemampuan berbahasa seseorang (baik lisan maupun tulis) yang
disebabkan oleh gangguan atau kerusakan di otak (Kusumoputro, 1999:22).
Kerusakan otak itu sendiri dapat disebabkan oleh berbagai macam penyakit, tetapi
yang paling sering oleh penyakit gangguan peredaran darah di otak dan cedera
otak (strok dan trauma).
Afasia adalah suatu gangguan berbahasa yang diakibatkan oleh kerusakan
otak dimana gangguan tersebut bukan merupakan penyakit yang herediter, tidak
disebabkan oleh gangguan pendengaran, gangguan penglihatan atau kelemahan
motorik. Afasia tidak meliputi kelainan perkembangan berbahasa atau disfasia,
gangguan motorik berbahasa seperti gagap, apraksia berbahasa, atau disartria, dan
bukan gangguan berbahasa yang diakibatkan oleh gangguan berpikir seperti pada
pasien skizofrenia.
Di Amerika, afasia banyak dijumpai pada 20% penderita stroke. Namun
tidak menutup kemungkinan, afasia juga terjadi pada mereka yang mengalami
cedera otak, tumor, dan terutama pasien neurodegeneratif. Afasia seringkali masih
salah diagnosis atau dianggap remeh, karena afasia seringkali hanya merupakan
penyakit penyerta dari sebuah penyakit yang lebih nyata. Padahal, diagnosis afasia
merupakan hal yang penting karena membutuhkan terapi yang khusus.
Afasia dapat memperburuk kualitas hidup pasien karena pada afasia pasien
menjadi kesulitan untuk memahami lingkungan sekitarnya dan pasien tidak dapat
mengekspresikan dirinya, membuat pasien seolah terisolasi dari lingkungannya.
Pasien dengan ketidakmampuan untuk mengerti lingkungan dan mengekspresikan
diri juga memberikan sebuah waspada kepada dokter yang menangani karena
setiap penyakit yang terdapat pada pasien menjadi tidak dapat terdiagnosis dengan
baik dan dokter tidak dapat mengedukasi pasien dalam proses terapi. Untuk itu,

pemahaman akan afasia adalah poin yang penting bagi setiap tenaga medis.
Melalui tulisan ini diharapkan kewaspadaan masyarakat terhadap afasia dapat
meningkat dan penderita afasia dapat diterapi spesifik sedini mungkin.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian
Afasia adalah gangguan atau ketidakmampuan dalam berbahasa yang
disebabkan oleh gangguan pada otak, dimana gangguan tersebut bukan
merupakan penyakit yang herediter, tidak disebabkan oleh gangguan pendengaran,
gangguan penglihatan, atau kelemahan motorik. Afasia tidak meliputi kelainan
perkembangan berbahasa atau disfasia,

gangguan motorik berbahasa seperti

gagap, apraksia berbahasa, atau disartria, dan bukan gangguan berbahasa yang
diakibatkan oleh gangguan berpikir seperti pada pasien skizofrenia.
2.2 Fisiologi berbicara

Gambar 1. Speech pathway

Pada korteks serebri ada beberapa daerah luas yang tidak termasuk dalam
pembagian area sensorik-motorik primer dan sekunder pada umumnya. Area
tersebut dinamakan area asosiasi karena menerima dan menganalisis sinyal-sinyal
secara bersamaan dari berbagai regio baik dari korteks motorik maupun korteks
sensorik dan juga dari struktur subkortikal. Area asosiasi yang paling penting
diantaranya area asosiasi parieto-oksipito-temporal, area asosiasi prefrontal, dan
area asosiasi limbik.
Area asosiasi parieto-oksipito-temporal terletak dalam ruang kortikal
parietal dan oksipital yang besar yang dibatasi oleh korteks somatosensorik bagian
anterior, korteks pengelihatan bagian posterior, dan korteks pendengaran bagian
lateral. Area ini memberi tafsiran derajat tinggi untuk mengartikan sinyal-sinyal
dari seluruh area sensorik sekitarnya. Area asosiasi parieto-oksipito-temporal ini
memiliki sub area fungsionalnya sendiri.
Area utama untuk pemahaman bahasa disebut area Wernicke dan terletak
di belakang korteks auditorik primer pada bagian posterior girus temporalis di
lobus temporalis. Regio ini merupakan regio yang paling penting di seluruh otak
untuk fungsi intelektual yang lebih tinggi karena hampir semuanya didasarkan
pada bahasa.
Pada bagian posterior area pemahaman bahasa, terutama terletak di regio
anterolateral pada lobus oksipitalis, terdapat area asosiasi pengelihatan yang
mencerna informasi pengelihatan dari kata-kata yang dibaca ke dalam area
Wernicke, yakni area pemahaman bahasa. Girus yang disebut girus angularis
diperlukan untuk mengartikan kata-kata yang diterima secara visual. Bila area ini
tidak ada, seseorang masih dapat memiliki pemahaman bahasa yang sangat baik
dengan cara mendengar tetapi tidak dengan cara membaca.
Di daerah paling lateral dari lobus oksipitalis anterior dan lobus temporalis
posterior terdapat area untuk memberi nama suatu objek. Nama-nama ini terutama
dipelajari melalui input pendengaran sedangkan sifat fisik suatu objek dipelajari
terutama melalui input visual. Selanjutnya nama-nama penting untuk pemahaman
bahasa visual dan pendengaran dimana fungsi yang dilakukan oleh area Wernicke
4

terletak tepat di superior regio penamaan auditoris dan di anterior dari area
pemrosesan kata visual.
Area asosiasi prefrontal fungsinya berkaitan erat dengan korteks motorik
untuk merencanakan pola-pola yang kompleks dan berurutan dari gerakan
motorik. Untuk membantu fungsi tersebut, area ini menerima input melalui berkas
subkortikal masif dari serabut-serabut saraf yang menghubungkan area asosiasi
parieto-oksipito-temporal dengan area asosiasi prefrontal. Melalui berkas ini,
korteks prefrontal menerima banyak informasi sensorik yang belum dianalisis,
khususnya informasi mengenai keserasian tubuh secara spasial yang diperlukan
untuk merencanakan gerakan-gerakan yang efektif. Kebanyakan output dari area
prefrontal ini masuk ke dalam sistem pengatur motorik yang berjalan melalui
bagian kaudatus dari lintasan umpan balik ganglia basalis-talamus guna
melakukan perencanaan motorik yang menghasilkan banyak komponen
rangsangan gerakan yang berurutan dan bersifat paralel.
Regio khusus pada korteks frontalis yang disebut area Broca memiliki
lintasan saraf untuk pembentukan kata. Area ini sebagian terletak di korteks
prefrontal bagian posterior lateral dan sebagian lagi terletak di area premotorik. Di
area ini rancangan dan pola motorik untuk menyatakan kata-kata atau bahkan
kalimat pendek dicetuskan dan dilaksanakan. Area ini bekerja sama dengan area
Wernicke di korteks asosiasi temporal.
Area asosiasi somatik, visual, dan auditorik semuanya saling bertemu satu
sama lain di bagian posterior lobus temporalis superior. Daerah pertemuan dari
berbagai area interpretasi sensorik ini terutama berkembang pada sisi otak yang
dominan (sisi kiri pada hampir semua orang yang bertangan kanan). Area ini
sangat berperan pada fungsi pemahaman otak yang lebih tinggi (fungsi luhur)
dalam setiap bagian korteks serebri. Fungsi ini disebut intelegensia. Oleh karena
itu, daerah ini sering disebut dengan berbagai nama yang menyatakan bahwa area
tersebut memiliki kepentingan menyeluruh. Namun area ini lebih dikenal dengan
nama area Wernicke sesuai dengan nama penemunya.
Perangsangan listrik area Wernicke pada seseorang yang sadar kadangkadang menimbulkan pikiran yang sangat kompleks. Hal ini terutama terjadi

apabila elektroda perangsangnya dimasukkan cukup dalam di otak sehingga


mencapai area talamus yang berkaitan dengan area Wernicke. Dengan alasan ini
dianggap bahwa aktivasi area Wernicke dapat memanggil kembali pola ingatan
yang rumit, yang melibatkan lebih dari satu modalitas sensorik, walaupun
sebagian besar ingatan individual disimpan di daerah mana saja. Hal ini dianggap
sesuai dengan kepentingan area Wernicke dalam menginterpretasikan arti yang
rumit dari bermacam-macam pengalaman sensorik.
Girus angularis merupakan bagian lobus parietalis posterior yang paling
inferior, terletak tepat di belakang area Wernicke dan di sebelah posterior
bergabung dengan area visual lobus oksipitalis. Bila daerah ini mengalami
kerusakan sedangkan area Wernicke di lobus temporalis tetap utuh, pasien masih
dapat

menginterpretasikan

pengalaman

auditoriknya

namun

rangkaian

pengalaman visual yang berjalan dari korteks visual ke area Wernicke benar-benar
terhambat. Oleh karena itu pasien mungkin masih mampu melihat kata-kata dan
bahkan tahu mengenai kata-kata itu tetapi tidak dapat menginterpretasikan arti
dari kata-kata itu. Keadaan ini disebut disleksia atau buta kata-kata (word
blindness)
2.3 Etiopatofisiologi
Afasia terjadi akibat kerusakan pada area pengaturan bahasa di otak. Pada
manusia, fungsi pengaturan bahasa mengalami lateralisasi ke hemisfer kiri otak
pada 96-99% orang yang dominan tangan kanan (kinan) dan 60% orang yang
dominan tangan kiri (kidal). Pada pasien yang menderita afasia, sebagian besar
lesi terletak pada hemisfer kiri.
Afasia paling sering muncul akibat stroke, cedera kepala, tumor otak, atau
penyakit degeneratif. Kerusakan ini terletak pada bagian otak yang mengatur
kemampuan berbahasa, yaitu area Broca dan area Wernicke. Area Broca atau area
44 dan 45 Broadmann, bertanggung jawab atas pelaksanaan motorik berbicara.
Lesi pada area ini akan mengakibatkan kersulitan dalam artikulasi tetapi penderita
bisa memahami bahasa dan tulisan.

Area Wernicke atau area 41 dan 42 Broadmann, merupakan area sensorik


penerima untuk impuls pendengaran. Lesi pada area ini akan mengakibatkan
penurunan hebat kemampuan memahami serta mengerti suatu bahasa. Secara
umum afasia muncul akibat lesi pada kedua area pengaturan bahasa di atas. Selain
itu lesi pada area disekitarnya juga dapat menyebabkan afasia transkortikal. Afasia
juga dapat muncul akibat lesi pada fasikulus arkuatus, yaitu penghubung antara
area Broca dan area Wernicke.

Gambar 2. Synopsis of the areas delineated by syndrome-, modality- and specific symptom-based
analyses. Note that there is no substantial overlap between anterior (Broca) and
posterior (Wernicke) syndromes, pointing to the vascular origin of this differentiation.
On the contrary areas corresponding to modality- or symptom-specific impairment
show substantial overlap and are not clearly confined to either vascular territory.

Afasia dapat terjadi karena degenerasi atau kerusakan pada otak yang
melibatkan hemisfer serebri kiri. Kebanyakan afasia dan kelainan yang berkaitan
diakibatkan oleh stroke, kerusakan pada bagian kepala, tumor serebri, atau
penyakit degeneratif. Neuroanatomi dari komprehensi dan produksi bahasa
merupakan proses yang kompleks meliputi input auditori dan pengkodean bahasa
di lobus temporalis superior, analisis di lobus parietalis, dan ekspresi di lobus
frontalis, turun melalui traktus kortikobulbaris menuju kapsula interna dan batang
otak, dengan efek modulasi dari basal ganglia dan serebelum.

2.4 Epidemiologi
Di Indonesia, data epidemiologi penduduk yang menderita afasia tidak
diketahui. Data insidensi di Amerika Serikat pun terbatas. Namun berdasarkan
data tersebut, stroke merupakan penyebab tersering dari afasia. Dikatakan dari
20% pasien stroke terdapat pula afasia. Di setiap tahunnya, terdapat sekitar
170.000 kasus afasia baru yang berkaitan dengan stroke. Jumlah pasien dengan
gangguan berbahasa yang diakibatkan oleh trauma otak, tumor otak, maupun lesi
lain pada otak tidak sepenuhnya diketahui. Penyebab tersering kedua dari afasia
ialah penyakit degeneratif seperti alzeimer atau demensia dengan prevalensi
alzeimer per tahun di Amerika ialah 5.000.000 kasus.
2.5 Klasifikasi
Afasia diklasifikasikan beragam, diantaranya ada yang berdasarkan :
1. Manifestasi Klinis (alur bicara)
2. Distribusi dari lesi yang bertanggung jawab bagi defek
3. Jenis Kemampuan
Pada klasifikasi berdasarkan manifestasi klinik, dibagi berdasarkan
lancarnya berbicara. Pada klasifikasi ini didapatkan afasia yang berbentuk :

1. Lancar
Pada afasia ini penderita bicara lancar, artikulasi dan irama baik, tetapi isi
bicara tidak bermakna dan tidak dapat dimengerti artinya. Penderita tidak dapat
mengerti bahasa sehingga tidak dapat berbicara kembali. Gambaran klinisnya
ialah:
Keluaran bicara yang lancar
Panjang kalimat normal
Artikulasi dan irama bicara baik
Terdapat parafasia
Kemampuan memahami pendengaran dan membaca buruk
Repetisi terganggu
Menulis lancar tadi tidak ada arti
Seorang afasia yang non-fluen mungkin akan mengatakan dengan tidak
lancar dan tertegun-tegun: mana rokok beli. Sedangkan seorang afasia
fluen mungkin akan mengatakan dengan lancar: rokok beli tembakau kemana
situ tadi gimana dia toko jalan.

2. Tidak lancar
Pada afasia ini, output atau keluaran bicara terbatas. Penderita
menggunakan kalimat pendek dan bicara dalam bentuk sederhana. Sering disertai
artikulasi dan irama bicara yang buruk.
Gambaran klinisnya ialah:
Pasien tampak sulit memulai bicara
Panjang kalimat sedikit (5 kata atau kurang per kalimat)
Gramatika bahasa berkurang dan tidak kompleks
Artikulasi umumnya terganggu
Irama bicara terganggu
Pemahaman cukup baik, tapi sulit memahami kalimat yang lebih kompleks
Pengulanan (repetisi) buruk
Kemampuan menamai, menyebut nama benda buruk

10

11

Berdasarkan distribusi anatomi dari lesinya, afasia dibedakan menjadi :


1. Afasia wernicke
Pemahaman terganggu terutama pada bahasa yang didengar dan dilihat,
baik untuk 1 kata maupun pada 1 kalimat utuh. Bahasa dapat diucapkan dengan
lancar namun sangat parafasik dan sirkumlokusius. Kecenderungan kesalahan
parafasik sangat tinggi hingga terkadang disebut neologisme, yang disebut juga
jargon afasia. Pembicaraan biasanya mengandung banyak kata sifat namun
sedikit mengandung kata benda atau kata kerja. Pembicaraan banyak, namun
tanpa arti.
Penggunaan bahasa tubuh tidak banyak membantu komunikasi. Pasien
tampak mengerti bahwa pembicaraannya tidak dapat dimengerti oleh orang lain
sehingga pasien tampak marah dan tidak sabar ketika pemeriksa tidak dapat
mengerti maksud dari pembicaraannya. Pada pasien dengan afasia wernicke
dapat disertai dengan agitasi motorik dan perilaku paranoid. Pasien dengan afasia
wernicke tidak dapat mengekspresikan pemikiran mereka melalui kata-kata yang
sesuai dan tidak dapat memahami arti dari setiap kata yang masuk. Lesi ini
terletak di area wernicke
Bila area Wernicke pada hemisfer dominan seorang dewasa mengalami
kerusakan, normalnya pasien akan kehilangan hampir seluruh fungi intelektual
yang berhubungan dengan bahasa atau imbolisme verbal seperti kemampuan
membaca, kemampuan memecahkan perhitungan matematika, dan bahkan
kemampuan untuk berpikir melalui problem yang logis. Bila area Wernicke
mengalami kerusakan yang parah, pasien mungkin masih dapat mendengar
dengan sempurna dan bahkan masih dapat mengenali kata-kata namun tetap tak
mampu menyusun kata-kata ini menjadi suatu pikiran yang logis. Demikian juga,
pasien masih mampu membaca kata-kata tertulis namun tidak mampu mengenali
gagasan yang disampaikan.
Oleh karena itu pasien yang mengalami afasia Wernicke atau afasia global
tidak mampu memformulasikan buah pikirannya untuk dikomuikasikan. Atau
bila lesinya tidak terlalu parah, pasien masih mampu memformulasikan

12

pikirannya namun tak mampu menyusun kata-kata yang sesuai secara berurutan
dan bersama-sama untuk mengekspresikan pikirannya.
Etiologi paling sering dari afasia wernicke adalah emboli dari arteri serebri
media. Etiologi lain bisa berasal dari perdarahan intraserebral, trauma kepala
berat, dan tumor. Adanya hemianopia kanan atau quadrantanopia superior dan
pendataran sudut nasolabial kanan dapat mempertegas adanya lesi di area
wernicke.
2. Afasia broca
Pembicaraan tidak lancar, memerlukan usaha, dan banyak diinterupsi oleh
jeda yang dibuat pasien dalam rangka mencari kata-kata, serta seringkali pasien
juga menderita disartria. Pengeluaran kata-kata sangat terbatas sehingga
terkadang pasien hanya mau menjawab dengan kata ya atau tidak. Penamaan
benda dan kemampuan merepetisi terganggu. Meski begitu, pemahaman bahasa
masih intak kecuali untuk kalimat yang sulit yang diucapkan dengan suara yang
pelan atau tanpa intonasi. Kemampuan membaca juga dipertahankan namun
seskali pasien kesulitan membaca kata imbuhan atau tata bahasa yang rumit.
Kadang pasien mampu menentukan apa yang ingin dikatakannya namun tak
dapat mengatur sistem vokalnya untuk menghasilkan kata-kata selain suara ribut.
Efek ini disebut afasia motorik yang disebabkan oleh kerusakan pada area bicara
Broca di regio fasial prefrontal dan premotorik korteks serebri. Oleh karena itu,
pola keterampilan motorik yang dipakai untuk mengatur laring, bibir, mulut,
sistem respirasi, dan otot-otot lainnya yang dipakai untuk bicara dimulai dari
daerah ini. Terkadang, sekalipun pasien menderita disartria, pasien dapat
bernyanyi dengan baik. Hal inilah yang sedang diuji coba dalam terapi afasia
broca.
Defisit neurologis yang sering menyertai meliputi kelemahan pada wajah
bagian kanan, hemiparesis atau hemiplegia, dan buccofasial apraksia. Penyebab
paling sering ialah infark yang disebabkan oleh sumbatan pada arteri serebri
media.

13

3. Afasia global
Pengeluaran kata tidak lancar dan pemahaman juga terganggu. Penamaan,
repetisi, membaca, dan menulis juga terganggu. Sindrom ini menyatakan adanya
disfungsi dari broca dan wernicke. Sindrom ini juga dapat menjadi gejala awal
dari afasia wernicke yang kemudian berkembang menjadi afasia wernicke yang
klasik.
4. Afasia Konduktif
Pengeluaran kata-kata lancar namun parafasik, pemahaman bahasa masih
baik, namun repetisi sangat terganggu. Penamaan dan penulisan juga sangat
terganggu. Jika pasien diminta untuk membaca dengan suara keras, pasien akan
mengalami kesulitan, namun pasien dapat mengerti apa yang dibacanya.
5. Afasia Anomik
Pada afasia jenis ini, fungsi yang terganggu yakni penamaan. Artikulasi,
pemahaman, dan repetisi masih baik namun pasien tidak dapat menyebutkan
nama dari benda-benda dan pasien kesulitan dalam mengeja kata-kata. Seringkali
output bahasa pasien parafasik, sirkumlokusius, dan tidak bermakna. Kelancaran
bahasa terganggu ketika pasien berusahan menyebutkan nama benda-benda.
Afasia anomik banyak ditemui pada kasus trauma kepala, ensefalopati metabolik,
dan penyakit alzheimer.
Berdasarkan jenis kemampuannya, afasia dibedakan menjadi :
1. Afasia Motorik
2. Afasia Sensorik
a) Afasia Korteks
b) Afasia Subkorteks
c) Afasia Transkortikal

Afasia transkortikal motorik


Ciri-ciri yang nampak pada afasia transkortikal motorik menyerupai afasia

broca namun repetisi masih baik dan pasien cenderung menghindari


14

penggunaan tata bahasa. Pemeriksaan neurologis lain biasanya normal. Lesi


pada afasia transkortikal motorik biasanya melibatkan area perbatasan antara
arteri serebri anterior dan media.

Afasia transkortikal sensori


Afasia transkortikal sensori dicirikan dengan gejala yang menyerupai
afasia wernicke namun repetisi masih dapat dilakukan dengan baik. Pada
afasia ini lesi memutuskan area bahasa dari area asosiasi temporoparietal
selain area khusus bahasa.
Jenis
Sensorik
Ganggua
n
Korteks
Subkorte
ks
Transkor

Afasia Motorik

Afasia Sensorik

Ekspresif

Perseptif

Gangguan verbal dan


isyarat totalis
Murni gangguan verbal
Pure word dumbness
Membeo

tikal

15

Gangguan verbal dan


isyarat totalis
Murni gangguan verbal
Word deafness
Gangguan verbal dan
isyarat
Word deafness
Agrafia,
akalkulia,
aleksia

2.6 Gejala Afasia

16

Tipe Afasia

Pembicaraan Komprehensia Repetisi

Broca

Tidak lancar, Tetap baik


butuh
banyak
usaha dalam
berbicara,
kurangnya
suku kata,
kurangnya
output
namun dapat
mencetuskan
ide

Gejala yang
berkaitan

Terganggu Kelemahan
pada tangan
dan wajah
bagian kanan

Lokasi lesi
Frontal
suprasylvian

Wernicke
Afasia

Lancar, fasih Sangat


Tidak
Hemi- atau
Temporal,
berbicara,
terganggu
dapat
quadrantanopia, infrasylvian
artikulasi
dilakukan
tidak
termasuk girus
Karakteristik respon
dari pasien dengan afasia
pada lokasi
lesiada
yang spesifik
baik, tapi
paresis
angular dan
(Pasien diminta
menyebutkan
kata chair)
tanpa
arti
supramarginal

Konduksi
Lancar
Tipe afasia dan
lokasi lesi Baik

Tidak
Biasanya
Gejala pada
pasien tidak Supramarginal
dapat
dapat dilakukan gyrus atau
dilakukan
insula
Afasia motorik (Area Broca)
"Tssair"
Global
Sedikit,
Sangat
Tidak
Hemiplegia
Sebagian
Afasia sensoritidak
(arealancar
Wernicke)
"Stool" atau "choss" (neologisme)
terganggu
dapat
besar
dilakukan
Afasia sensori (area 40, 41, and 42; Afasia "Flair . . . err, swair . . . tair."perisylvian
atau lesi
konduktif)
terpisah pada
Anomik (Girus angularis)
"Saya tahu apa itu . . . sayafrontal
punyadan
banyak
temporal
di rumah."
Transkortikal Tidak lancar Baik
Sangat
Bervariasi
Anterior atau
motorik
baik
superior area
Broca
Transkortikal Lancar
sensori

Tidak dapat
Sangat
dilakukan
baik
seperti halnya
pada
Wernicke

Bervariasi

Area di sekitar
Wernicke

Tuli kata
murni

Sedikit
Terganggu
parafasik
atau normal

Terganggu Quadrantanopia Bilateral (atau


atau tidak ada bagian kiri
sama sekali
saja) bagian
tengah
superior
temporal
gyrus

Buta kata
murni
(aleksia
tanpa
agrafia)

Normal tapi Normal


tidak dapat
bersuara
keras

Normal

Mutisme kata Tak bersuara Normal


(afemia)
tapi mampu
menulis
Anomic
afasia

Kesulitan
mencari
kata-kata

Normal

Hemianopia
Girus
kanan; tidak
kalkarina dan
dapat membaca girus angularis
tulisan tangan
sendiri

Tidak ada Tidak ada


17
Normal

Bervariasi

Sebagian dari
area Broca
Lobus
temporalis
bagian dalam

2.7 Diagnosis
a. Anamnesis
Afasia muncul secara mendadak pada pasien dengan stroke atau cedera
kepala. Pasien dengan penyakit neurodegeneratif atau lesi tumor dapat menderita
afasia secara perlahan. Tanda-tanda awal yang mencirikan lesi atau defisit yang
berasal dari area korteks atau jaras yang berdekatan dengan posisi area berbahasa
harus diwaspadai. Tanda-tanda tersebut meliputi hemianopia, defisit dari fungsi
motorik maupun sensori, atau defisit neurobehavioral seperti alexia, agrafia,
akalkulia, atau apraksia. Pada pasien harus ditanyakan riwayat kejang atau
episode afasia sebelumnya. Terkadang, sekalipun insidensinya rendah, afasia
dapat diakibatkan oleh ensefalitis herpes simpleks. Ciri dari penyakit ini meliputi
riwayat demam, kejang, nyeri kepala, dan perubahan perilaku.
Riwayat nyeri kepala baik akut maupun kronik dapat menjadi petunjuk
penting untuk mendiagnosa kondisi tertentu seperti tumor otak maupun
malformasi arteri vena. Pada pasien harus ditanyakan tentang riwayat gangguan
pada memori atau riwayat gangguan dalam melakukan kegiatan sehari-hari
karena gangguan berbahasa bisa hanya merupakan satu bagian dari kondisi
neurodegeneratif yang menyeluruh seperti demensia. Perlu ditanyakan juga
apakah pasien kidal atau tidak, riwayat hipertensi, perdarahan otak sebelumnya,
penyakit jantung, penyakit vaskular otak, atau amiloid angiopati.
b. Pemeriksaan berbicara spontan
Langkah pertama dalam menilai berbahasa adalah mendengarkan
bagaimana pasien berbicara spontan atau bercerita. Pasien dapat diminta untuk
menceritakan hal-hal yang terjadi dalam waktu dekat, misalnya bagaimana ia
sampai dirawat di rumah sakit. Yang dinilai ialah apakah bicaranya pelo, cadel,
tertegun, diprosodik (irama, ritme, intonasi terganggu) dan apakah ada afasia,
kesalahan sintaks, salah menggunakan kata, dan perseverasi.

18

Parafasia ialah kegiatan mensubstitusi kata. Ada dua jenis parafasia.


Parafasia semantik atau verbal berarti mensubstitusi satu kata dengan kata yang
lainnya. Parafasia fonemik berarti mensubstitusi suatu bunyi dengan bunyi lain
yang biasanya berbunyi cukup mirip.
c. Pemeriksaan kelancaran berbicara
Seseorang disebut lancar berbicara bila bicara spontannya lancar, tanpa
terbata-bata. Kelancaran berbcara verbal ini merupakan refleksi dari efisiensi
menemukan kata. Bila kemampuan ini diperiksa secara khusus dapat dideteksi
masalah berbahasa yang ringan pada lesi otak yang ringan atau demensia dini.
Defek yang ringan dapat dideteksi melalui tes kelancaran, menemukan kata yaitu
jumlah kata tertentu yang dapat diproduksi selama jangka waktu yang terbatas.
Sebagai contoh pasien diminta untuk menyebutkan sebanyak-banyaknya nama
jenis hewan atau menyebutkan kata-kata yang dimulai dengan huruf tertentu
selama jangka waktu satu menit. Tidak lupa pula kesalahan yang timbul dicatat
untuk melihat adanya parafasia atau tidak.
Usia merupakan salah satu faktor yang berpengaruh secara bermakna
dalam pemeriksaan ini. Orang normal di bawah usia 69 tahun mampu
menyebutkan kira-kira 20 nama hewan dengan baik. Kemampuan ini menurun
pada orang berusia sekitar 70 tahun (17 nama) dan terus menurun seiring dengan
bertambahnya usia. Pada usia 85 tahun, skor 10 mungkin merupakan batas normal
bawah. Orang normal umumnya dapat menyebutkan 36-60 kata yang berawalan
dengan huruf tertentu, tergantung dari tingkat intelegensi, usia, dan tingkat
pendidikan. Kemampuan yang hanya sampai 12 kata atau kurang untuk setiap
huruf merupakan petunjuk adanya penurunan kelancaran berbicara verbal namun
perlu diperhatikan pada pasien dengan tingkat pendidikan yang tidak lebih dari
sekolah menengah pertama.
d. Pemeriksaan pemahaman (komprehensi) bahasa lisan
Pemeriksaan pemahaman bahasa lisan seringkali sulit dinilai. Pemeriksaan
klinis pada pasien rawat inap yang biasa dilakukan di samping tempat tidur pasien

19

dapat memberikan hasil yang menyesatkan. Langkah yang digunakan untuk


mengevaluasi pemahaman secara klinis meliputi cara konversasi, suruhan,
pertanyaan tertutup (ya atau tidak), dan menunjuk.

Konversasi
Dengan mengajak pasien bercakap-cakap dapat dinilai kemampuannya
dalam memahami pertanyaan dan suruhan yang diberikan olh pemeriksa.

Suruhan : Serentetan suruhan, mulai dari yang sederhana (satu langkah)


sampai pada yang sulit dapat digunakan untuk menilai kemampuan pasien
dalam memahami perintah. Mula-mula pasien dapat disuruh bertepuk
tangan, kemudian tingkat kesulitan dinaikkan misalnya mengambil benda
dan meletakkan benda tersebut pada lokasi yang lain. Perlu diperhatikan
bahwa perintah tipe ini tidak dapat dilakukan pada pasien dengan
kelemahan motorik dan apraksia. Pasien juga dapat diminta untuk
menunjuk ke beberapa benda, mula-mula satu benda dan ditingkatkan
menjadi sebuah perintah berantai untuk menunjuk ke beberapa benda
secara berurutan. Pasien dengan afasia mungkin hanya mampu menunjuk
sampai 1-2 objek saja.

Ya atau Tidak : Kepada pasien dapat juga diberikan pertanyaan tertutup


dengan bentuk jawaban ya atau tidak. Mengingat kemungkinan salah
adalah 50%, jumlah pertanyaan yang diberikan minimal 6 pertanyaan
misalnya Apakah anda bernama Budi?, Apakah AC di ruangan ini
mati?, Apakah ini Rumah Sakit?, Apakah di luar sedang hujan?,
Apakah saat ini malam hari?.

Menunjuk : Pasien diminta untuk menunjuk mulai dari benda yang mudah
dipahami kemudian berlanjut ke benda yang lebih sulit. Contohnya :
tunjukkan lampu kemudian tunjukkan gelas yang ada di samping
televisi. Pemeriksaan sederhana ini dapat dilakukan di samping tempat
tidur pasien. Sekalipun kurang mampu menilai kemampuan pemahaman

20

dengan baik sekali, pemeriksaan ini dapat memberikan gambaran kasar


mengenai gangguan serta beratnya.
e. Pemeriksaan repetisi
Kemampuan mengulang dinilai dengan menyuruh pasien mengulang
mula-mula kata yang sederhana (satu patah kata) kemudian ditingkatkan menjadi
banyak (satu kalimat). Pemeriksa harus memperhatikan apakah pada tes repetisi
ini didapatkan parafasia, salah tatabahasa, kelupaan, atau penambahan. Orang
normal umumnya dapat mengulang kalimat yang mengandung 19 suku kata.
Banyak pasien afasia mengalami kesulitan dalam mengulang, namun ada juga
yang menunjukkan kemampuan yang baik dalam mengulang, bahkan lebih baik
daripada berbicara spontan. Bila kemampuan mengulang terpelihara, maka
kelainan patologis sangat mungkin tidak berada di area perisylvii. Umumnya
daerah ekstrasylvian yang terlibat dalam kasus afasia tanpa defek repetisi terletak
di daerah perbatasan vaskuler (watershed area)
f. Pemeriksaan menamai dan menemukan kata
Kemampuan menamai objek merupakan salah satu dasar fungsi berbahasa.
Hal ini sedikit-banyak terganggu pada semua penderita afasia. Dengan demikian,
semua tes yang dilakukan untuk menilai afasia mencakup penilaian terhadap
kemampuan ini. Kesulitan menemukan kata erat kaitannya dengan kemampuan
menyebut nama (menamai) atau disebut anomia.
Penilaian harus mencakup kemampuan pasien menyebutkan nama objek,
bagian dari objek, bagian tubuh, warna, dan bila perlu gambar geometrik, simbol
matematik, atau nama dari suatu tindakan. Dalam hal ini, perlu digunakan bendabenda yang sering digunakan sampai ke benda-benda yang jarang ditemui atau
digunakan. Banyak penderita afasia yang masih mampu menamai objek yang
sering ditemui atau digunakan dengan cepat dan tepat, namun lamban dan
tertegun dengan melukiskan kegunaannya atau parafasia pada objek yang jarang
dijumpainya. Bila pasien tidak mampu atau sulit menamai, dapat dibantu dengan
memberikan suku kata pemula atau dengan menggunakan kalimat penuntun. Yang

21

penting ialah sampainya pasien kepada kata yang dibutuhkan, yakni kita nilai
kemampuan pasien dalam menamai objek. Ada pula pasien yang mengenal objek
dan mampu melukiskan kegunaannya namun tidak dapat menamainya.
Pertama-tama terangkan kepada pasien bahwa ia akan disuruh
menyebutkan nama beberapa objek juga warna dan bagian dari objek tersebut.
Kita dapat menilai dengan memperlihatkan misalnya arloji, bolpoin, kaca mata,
kemudian bagian dari arloji, lensa kaca mata. Objek atau gambar yang dapat
digunakan misalnya meja, kursi, lampu, pintu, jendela. Bagian dari tubuh
misalnya mata, hidung, gigi, ibu jari, lutut. Warna misalnya merah, biru, hijau,
kuning, kelabu. Bagian dari objek contohnya jarum jam, sol sepatu, kepala ikat
pinggang, bingkai kaca mata. Perhatikanlah apakah pasien dapat menyebutkan
nama objek dengan cepat atau lamban, atau tertegun, atau menggunakan
sirkumlokusi, parafasia, neologisme, dan apakah ada perseverasi. Di samping
menggunakan objek, dapat pula digunakan gambar objek.
Bila pasien tidak mampu menyebutkan nama objek, perlu diperhatikan
apakah pasien dapat memilih nama objek tersebut dari beberapa pilihan nama
objek. Pada pemeriksaan ini perlu digunakan kurang lebih 20 nama objek sebelum
menentukan bahwa tidak didapatkan gangguan.
g. Pemeriksaan sistem bahasa
Evaluasi sistem bahasa harus dilakukan secara sistematis. Perlu
diperhatikan bagaimana pasien berbicara spontan, komprehensi, repetisi, maupun
menamai. Selain itu kemampuan membaca dan menulis harus dinilai pula. Tidak
lupa evaluasi dilakukan untuk memeriksa sisi otak mana yang dominan dengan
melihat penggunaan tangan.
Dengan melakukan penilaian yang sistematis biasanya dalam waktu yang
singkat dapat diidentifikasi adanya afasia serta jenisnya. Pasien yang afasia selalu
agrafia dan sering aleksia, untuk itu pemeriksaan membaca dan menulis dapat
dipersingkat. Namun pada pasien yang tidak afasia, pemeriksaan membaca dan

22

menulis harus dilakukan sepenuhnya karena aleksia, agrafia, atau keduanya dapat
terjadi secara terpisah.
h. Pemeriksaan penggunaan tangan
Penggunaan tangan dan sisi otak yang dominan mempunyai kaitan yang
erat. Sebelum menilai bahasa perlu ditanyakan pada pasien apakah ia kidal atau
menggunakan tangan kanan. Banyak orang kidal telah diajarkan untuk menulis
dengan tangan kanan, oleh karena itu observasi cara menulis saja tidak cukup
untuk mennetukan apakah ia seorang yang kidal atau kandal. Pasien dapat juga
diminta memperagakan gerakan tangan yang digunakan untuk memegang pisau,
melempar bola, dan sebagainya.

Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada pasien afasia bergantung pada penyebab dari

sindrom afasia itu sendiri. Penanganan terhadap stroke akut seperti pemberian rPA
pada pasien stroke iskemik, terapi intervensi intra-arterial, stenting dan
endarterectomy karotid, atau kontrol dari tekanan darah dapat meringankan defisit
yang dialami. Pembedahan pada subdural hematoma atau tumor serebri juga
memberikan hasil yang cukup memuaskan. Pada afasia yang disebabkan oleh
infeksi seperti herpes simpleks dapat diberikan terapi antivirus.
Terapi berbicara dan berbahasa merupakan terapi utama dalam afasia.
Waktu dan teknik pelaksanaan intervensi pada pasien afasia bervariasi luas karena
penelitian yang dilakukan sangat minim. Namun dalam beberapa penelitian telah
terbukti bahwa teapi berbicara dan berbahasa dapat meningkatkan prognosis
pasien afasia. Kesulitan yang dialami pasien dalam menjalani terapi ini sangat
beragam karena berbeda dari individu ke individu.
Beberapa hal yang harus diperhatikan saat melakukan terapi pada pasien
afasia :

23

Banyak pasien afasia menderita depresi oleh karena itu pasien afasia
memerlukan dukungan psikologis. Ketepatan diagnosis, terapi, dan
dukungan emosional dapat sangat berguna bagi pasien.

Terdapat beberapa teknik terapi khusus untuk pasien dengan masalah


artikulasi, masalah kosa kata, minimnya ilmu kalimat, dan kurangnya
intonasi. Dalam kata lain, terapi pada pasien afasia dapat divariasi agar
sesuai dengan kebutuhan pasien

Terapi farmaka pada afasia masih bersifat eksperimental. Penggunaan


dopaminerjik, cholinerjik, dan obat-obatan stimulan belum memberikan
hasil yang jelas. Namun penggunaan terapi farmaka sebagai pendamping
dari terapi berbicara telah menunjukkan hasil yang baik.

Teknologi baru yang dinamakan stimulasi magnetik transkranial sedang


diuji coba pada pasien afasia dan sejauh ini menunjukkan hasil yang baik.

24

Prognosis
Prognosis pada pasien afasia sangat bergantung pada penyebabnya. Pada

afasia yang disebabkan oleh stroke, penanganan utama stroke dan kesembuhannya
sangat berpengaruh terhadap kesembuhan dari afasia itu sendiri. Mengingat
penyembuhan dari stroke memakan waktu lama dan biasanya meninggalkan bekas
defisit neurologis, kesembuhan afasia dari pasien stroke sangat tidak menentu.
Pada pasien afasia yang disebabkan oleh infeksi herpes simpleks misalnya,
kesembuhan dapat segera terjadi dengan memberikan terapi antiviral yang sesuai.
Prognosis kesembuhan kemampuan berbahasa bervariasi, tergantung pada
ukuran lesi dan umur serta keadaan umum pasien. Secara umum, pasien
dengan tanda klinis yang lebih ringan memiliki kemungkinan sembuh yang lebih
baik. Afasia Broca secara fungsional memiliki prognosis yang lebih baik
daripada afasia Wernicke. Terakhir, afasia akibat penyakit yang tidak dapat atau
sulit disembuhkan, misalnya tumor otak, memiliki tingkat prognosis yang buruk.

25

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Afasia merupakan penyakit penyerta dari berbagai penyakit neurologis

lain seperti stroke, cedera kepala, tumor otak, dan penyakit neurodegeneratif.
Dengan gejala kurangnya pemahaman bahasa dan ketidakmampuan dalam
mengungkapkan kata-kata, afasia sangat berpengaruh bagi kualitas hidup pasien.
Afasia dapat mempersulit baik diagnosis maupun terapi dari berbagai penyakit
lain karena minimnya komunikasi yang dapat dilakukan bagi pasien.
Diagnosis dini dari afasia sangat penting untuk memulai terapi afasia baik
bagi pasien maupun pendamping pasien agar defisit yang dialami tidak makin
berat. Untuk itu, seorang dokter harus dapat mendiagnosa afasia dengan tepat,
baik dari segi pembuatan diagnosis afasia maupun dari segi mengklasifikasikan
afasia tersebut karena setiap jenis afasia dapat membutuhkan penatalaksanaan
yang berbeda. Sebelum itu, seorang dokter harus dapat melakukan pemeriksaan
diagnosis afasia dengan tepat, yakni meliputi anamnesa, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang untuk melihat penyebab dan lokasi lesi afasia.
Terapi utama dari afasia adalah terapi berbicara. Terapi ini biasa dilakukan
oleh tenaga rehabilitasi medik dan dipantau oleh ahli syaraf. Tingkat kebrhasilan
dari terapi ini sangat bergantung kepada penyebab dari afasia itu sendiri. Oleh
karena itu, afasia tidak boleh dibiarkan serta tidak boleh diterapi tunggal
melainkan biasanya digunakan terapi kombinasi.

26

DAFTAR PUSTAKA

American
Speech
Language
Hearing
Association
(2012).
http://www.asha.org/PRPSpecificTopic.aspx?folderid=8589934663
(diakses April 7, 2016)
Barrett, Kim E, Susan M Barman, Scott Boitano, dan Heddwen Brooks. Ganong's
Review of Medical Physiology. United States of America: McGraw Hill,
2010.
Guyton, Arthur C, dan John E Hall. Textbook of Medical Physiology. Singapore:
Elsevier, 2008.
Howard, Kirshner dan Jacobs DH. eMedicine Neurology Specialties: Aphasia.
2012.
http://emedicine.medscape.com/article/1135944-clinical#showall
(diakses April 7, 2016).
Longo, Dan L, Anthony S Fauci, Dennis L Kasper, dan Stephen L Hauser.
Harrison's Principles of Internal Medicine. United States of America:
McGraw Hill, 2012.
Lumbantobing, S M. Neurologi Klinik : Pemeriksaan Fisik dan Mental. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI, 2010.
Ropper, Allan H, dan Martin A Samuels. Adams and Victor's Principles of
Neurology. United States of America : McGraw Hill, 2009.
Simon, Roger P, A David Greenberg, dan J Michael Aminoff. Lange : Clinical
Neurology 7e. United States of America: McGraw Hill, 2009.

27

You might also like