You are on page 1of 5

Pada saat ini tak dapat dipungkiri terjadi globalisasi ekonomi yang dapat

mengakibatkan masuknya modal asing ke suatu negara. Modal asing yang masuk ke suatu
negara selain adanya modal dalam negeri itu sendiri diharapkan dapat membantu menopang
kegiatan perekonomian negara tersebut. Namun, tidak selamanya kegiatan penanaman
modal membawa dampak positif. Ada pula dampak negatif yang ditimbulkan bila ternyata
dalam praktiknya si penanam modal tidak dapat mematuhi aturan yang berlaku di negara
tersebut.
Dalam kerangka WTO (World Trade Organization), pengaturan mengenai
penanaman modal terdapat dalam Agreement on Trade-Related Investment Measures
(TRIMs). Teks perjanjian TRIMs memuat upaya-upaya penanaman modal yang dilarang,
jangka waktu transisi untuk negara-negara anggota untuk menghapus praktik-praktik yang
dilarang. TRIMs juga mengakomodasi kepentingan negara sedang berkembang. TRIMs
membolehkan negara berkembang untuk tidak menerapkan ketentuan-ketentuan yang ada
dalam TRIMs untuk sementara waktu.
Di negara Indonesia, aturan mengenai penanaman modal terdapat dalam UU Nomor
25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal yang mulai berlaku pada tanggal 26 April 2007.
Undang-undang ini dibentuk untuk menghadapi perubahan perekonomian global dan
keikutsertaan Indonesia dalam berbagai kerja sama internasional sehingga perlu diciptakan
iklim penanaman modal yang kondusif, promotif, memberikan kepastian hukum, keadilan,
dan efisien dengan tetap memperhatikan kepentingan ekonomi nasional.
Sebagai instrumen yang sama-sama mengatur mengenai kegiatan penanaman
modal, TRIMs yang berlaku secara internasional dan UU Nomor 25 Tahun 2007 yang
berlaku secara nasional memiliki beberapa keterkaitan antara ketentuan yang satu dengan
yang lain.
Preambul Perjanjian TRIMs memuat dan menegaskan putusan mandat Deklarasi
Punta Del Este bahwa beberapa upaya penanaman modal tertentu dapat menyebabkan
rintangan terhadap perdagangan dan berakibat yang merugikan (can cause trade-restrictive
and distorting effects).
Pasal 1 TRIMs menyatakan bahwa perjanjian hanya terkait dengan perdagangan di
bidang barang (yang terkait dengan penanaman modal). Pasal ini dengan jelas menyatakan
keinginan negara sedang berkembang yang menginginkan agar pengaturan di bidang
penanaman ini tidak memuat aturan baru atau tambahan. Dalam UU Nomor 25 Tahun
2007, pengertian modal tercantum dalam pasal 1 angka 7 sebagai berikut: “Modal adalah
aset dalam bentuk uang atau bentuk lain yang bukan uang yang dimiliki oleh penanam
modal yang mempunyai nilai ekonomis.” Dalam pasal 2 UU Nomor 25 Tahun 2007,
dinyatakan bahwa ketentuan peraturan perundang-undangan ini berlaku bagi penanaman
modal langsung dan tidak termasuk penanaman modal tidak langsung atau portofolio.
Pada pokoknya isi perjanjian TRIMS ini merupakan penegasan kembali prinsip-
prinsip pokok, yaitu the National Treatment (Pasal III) (National Treatment on Internal
Taxation and Regulation) dan larangan penggunaan restriksi kuantitatif (kuota) Pasal XI
(General Elimination of Quantitative Restrictions). Asas penanaman modal di Indonesia
berdasarkan pasal 3 UU Nomor 25 Tahun 2007 menerapkan prinsip National Treatment
yang diatur dalam GATT. Hal ini dapat dilihat dalam satu asas yaitu asas perlakuan yang
sama dan tidak membedakan asal negara. Selain itu, dalam pasal 4 ayat (2) huruf a
dinyatakan bahwa pemerintah memberi perlakuan yang sama bagi penanam modal dalam
negeri dan penanam modal asing dengan tetap memperhatikan kepentingan nasional.
Penerapan prinsip National Treatment juga dapat ditemukan dalam pasal 6 UU Nomor 25
Tahun 2007.
Pasal 3 TRIMs menyatakan bahwa semua pengecualian yang termuat dalam GATT
(GATT 1994) akan tetap berlaku terhadap ketentuan pasal-pasal Perjanjian TRIMs, seperti
misalnya moral masyarakat, perlindungan lingkungan, keamanan nasional, perlindungan
paten, dan lainnya. UU Nomor 25 Tahun 2007 mengatur hal ini dalam beberapa pasal,
yaitu:
1. Pasal 12 tentang bidang usaha yang diperbolehkan dan tidak diperbolehkan bagi
penanam modal. Ayat (3) berbunyi sebagai berikut: “Pemerintah berdasarkan
Peraturan Presiden menetapkan bidang usaha yang tertutup untuk penanaman
modal, baik asing maupun dalam negeri, dengan berdasarkan kriteria kesehatan,
moral, kebudayaan, lingkungan hidup, pertahanan, dan keamanan nasional,
serta kepentingan nasional lainnya.”. Dan ayat (5) berbunyi: “Pemerintah
menetapkan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan berdasarkan kriteria
kepentingan nasional, yaitu perlindungan sumber daya alam, perlindungan,
pengembangan usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi, pengawasan
produksi dan distribusi, peningkatan kapasitas teknologi, partisipasi modal
dalam negeri, serta kerja sama dengan badan usaha yang ditunjuk Pemerintah.”
2. Pasal 15 yang memuat tentang kewajiban setiap penanam modal.
3. Pasal 16 diatur mengenai tanggung jawab penanam modal yang berbunyi
sebagai berikut:
“Setiap penanam modal bertanggung jawab:
a. menjamin tersedianya modal yang berasal dari sumber yang tidak
bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
b. menanggung dan menyelesaikan segala kewajiban dan kerugian jika
penanam modal menghentikan atau meninggalkan atau menelantarkan kegiatan
usahanya secara sepihak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan;
c. menciptakan iklim usaha persaingan yang sehat, mencegah praktik monopoli,
dan hal lain yang merugikan negara;
d. menjaga kelestarian lingkungan hidup;
e. menciptakan keselamatan, kesehatan, kenyamanan, dan kesejahteraan
pekerja; dan
f. mematuhi semua ketentuan peraturan perundang-undangan.”
UU Nomor 25 Tahun 2007 memegang prinsip transparansi seperti yang termuat
dalam pasal 6 TRIMs. Hal ini dapat dilihat dalam salah satu asas yang dianut dalam UU
Nomor 25 Tahun 2007, yaitu keterbukaan (pasal 3). Selain itu dalam pasal 30 UU nomor
25 Tahun 2007, penyelenggaraan urusan penanaman modal dilaksanakan baik oleh
pemerintah pusat maupun pemerintah daerah dengan prinsip keterbukaan.
Ketentuan dalam UU Nomor 25 Tahun 2007 tidak seluruhnya berhasil menerapkan
dan menuangkan prinsip-prinsip dalam GATT secara umum dan TRIMs secara khusus.
Ada pula ketentuan dalam UU Nomor 25 Tahun 2007 yang tidak sesuai dengan prinsip-
prinsip dalam GATT dan TRIMs.
Hal ini dapat dilihat dalam pasal 7 yang berbunyi:
“(1) Pemerintah tidak akan melakukan tindakan nasionalisasi atau pengambilalihan hak
kepemilikan penanam modal, kecuali dengan undang-undang.
(2) Dalam hal Pemerintah melakukan tindakan nasionalisasi atau pengambilalihan hak
kepemilikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah akan memberikan
kompensasi yang jumlahnya ditetapkan berdasarkan harga pasar.
(3) Jika diantara kedua belah pihak tidak tercapai kesepakatan tentang kompensasi atau
ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penyelesaiannya dilakukan melalui
arbitrase.”
Dalam ketentuan TRIMs tidak diperbolehkan melakukan nasionalisasi atau
pengambilalihan hak kepemilikan karena hal tersebut melanggar ketentuan dalam lampiran
daftar tambahan yang dilarang dalam TRIMs.
Lampiran TRIMs memuat daftar ilustasi TRIMs yang tidak sesuai dengan Pasal III
(4) dan Pasal XI (1) GATT 1994. Lampiran ini sifatnya memaksa dan mengikat baik
berdasarkan hukum (substantif GATT) atau aturan-aturan administratif.
Berikut adalah daftar ilustrasi yang dilarang berdasarkan Perjanjian TRIMs:
(i) berdasarkan perlakuan nasional yang dikeluarkan untuk memperoleh suatu keuntungan
dalam hal penerapan:
(a) persyaratan untuk membeli atau kewajiban untuk menggunakan produk-produk
lokal oleh perusahaan (local content requirement); atau
(b) pembelian atau penggunaan suatu produk impor yang dikaitkan dengan jumlah
atau nilai dari produk lokal yang diekspor (trade balancing requirement);
(ii) TRIMs yang tidak sesuai dengan kewajiban Pasal XI ayat 1, yakni:
(a) import produk hingga jumlah tertentu yang dikaitkan dengan jumlah atau nilai
produk yang diekspor (trade balancing);
(b) impor produk dengan membatasi akses perusahaan kepada nilai mata uang asing
hingga sejumlah masuknya jumlah mata uang ke perusahaan tersebut (foreign
exchange restrictions); atau
(c) ekspor suatu produk yang dikaitkan dengan nilai produk lokal (domestic sales
requirement).
Pasal 10 UU Nomor 25 Tahun 2007 yang mensyaratkan adanya alih teknologi juga
merupakan salah satu hal yang bertentangan dengan ketentuan dalam lampiran daftar
tambahan yang dilarang dalam TRIMs.
Namun dalam hal pemberian fasilitas kepada penanam modal asing maupun dalam
negeri, UU Nomor 25 Tahun 2007 dengan secara seksama mengatur dalam pasal 18 – 24
tanpa adanya pembedaan perlakuan bagi penanam modal dalam negeri maupun penanam
modal asing. Kemudahan fasilitas perizinan impor diberikan kepada perusahaan penanam
modal tanpa memberikan adanya larangan atau pembatasan kuota. Pembatasan hanya
diberikan sesuai dengan perkecualian khusus yang juga dianut dalam GATT.
TRIMs dibentuk dan diberlakukan untuk mengurangi atau menghapus segala
kebijakan investasi yang dapat menghambat kegiatan perdagangan dan meningkatkan
kebebasan kegiatan investasi. UU Nomor 25 Tahun 2007 dapat membuat keadaan yang
kondusif bagi perekonomian Indonesia dengan kegiatan penanaman modal dan hal tersebut
tak lepas dari dipegangnya prinsip-prinsip yang berlaku dalam GATT secara umum dan
TRIMs secara khusus. Indonesia sebagai negara berkembang mampu menunjukkan dengan
UU Nomor 25 Tahun 2007 bahwa kepastian hukum di bidang investasi mulai terwujud.

You might also like