You are on page 1of 2

SENGKETA INTERNASIONAL

INDONESIA-TIMOR LESTE
Kupang - Penyelesaian sengketa tapal batas antara Indonesia dengan Timor Leste, harus
merujuk pada regulasi hukum internasional, yakni perjanjian bilateral maupun trilateral
antara Indonesia-Timor Leste-Australia, selain pendekatan budaya.

"Pendekatan budaya ini hanya bersifat sementara dan tidak untuk kepentingan jangka
panjang, sehingga proses penyelesaiannya harus merujuk pada regulasi hukum
internasional," kata pengamat hukum internasional, Yohanes Bernando Seran, Minggu
(11/10).

Ketika dikonfirmasi melalui telepon genggamnya dari Kupang ke Atambua di Kabupaten


Belu, wilayah perbatasan Nusa Tenggara Timur (NTT) dengan Timor Leste, Sabtu,
Bernando Seran mengatakan, posisi geopolitik dan geostrategis antara RI-Timor Leste
sangat ambivalen.

"Karena posisi geopolitik dan geostrategis yang ambilaven, sehingga paradigma


penanganan masalah ini harus menggunakan pendekatan hukum internasional," katanya
terkait sengketa tapal batas di Natuka, Desa Netemnanu Utara, Kecamatan Amfoang
Timur, Kabupaten Kupang, NTT, yang diduduki warga Oecusse, Timor Leste saat ini.

Kandidat doktor dari Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta itu menambahkan,
Indonesia dan Timor Leste harus segera membuat hukum efektif berlaku (treaty contract)
dan hukum masa depan (law making treaties) untuk menjamin kedaulatan dan hak-hak
berdaulat kedua negara.

Dalam hubungan dengan penyelesaian masalah perbatasan ini, kata dia, Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono harus menetapkan persoalan perbatasan antarnegara sebagai
proritas penyelesaian.

"Bila lamban penanganannya maka persoalan ini akan terus muncul dan menganggu
stabilitas dua negara ini. Ini yang kita khawatirkan, katanya menambahkan.

Menurut dia, pola penyelesaian yang digunakan Bupati Kupang, Ayub Tutu Eki yang
akan melakukan pendekatan budaya dengan melibatkan pihak gereja dan tokoh adat bisa
dilakukan, namun hanya bersifat temporer.

Pendekatan ini, kata Bernando Seran, memang baik karena berada dalam satu komunitas
Timor (atoin meto), namun tidak akan efektif karena hanya berlaku sementara waktu.

Menurut dia, secara sosial budaya, orang Kupang, Timor Tengah Selatan (TTS) dan
Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) adalah orang Oecusee dan sebaliknya yang
dibuktikan dengan adanya kesamaan bahasa dan budaya.
"Masyarakat dari tiga daerah ini adalah satu dan hanya dibatasi oleh kepentingan dua
negara, Meskipun demikian, pendekatan di zona batas dua negara itu harus tetap
menggunakan pola hukum internasional," ujarnya.

Artinya, klaim Oecusee atas daerah Amfoang dan sebaliknya, harus diselesaikan dengan
merujuk pada kualitas "effective occupation" (penempatan/pendudukan efektif) masing-
masing pihak, karena sudah dikualifikasi dalam sengketa internasional (international
disputes), katanya.

You might also like