You are on page 1of 19

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Keberadaan pemimpin dalam suatu organisasi memiliki peran yang sangat


penting terlebih dalam situasi dimana terjadi ambiguitas peran. Fungsi pemimpin
tidak hanya sekedar membimbing dan mengarahkan anak buah, namun yang
terpenting adalah bagaimana pemimpin mampu memberikan visi dan misi atau arah
yang jelas kemana organisasi akan dibawa. Dalam era dimana terjadi pergeseran
budaya, maka tidak bisa dipungkiri lagi bahwa dibutuhkan seorang pemimpin yang
memiliki kepekaan dan intuisi yang tajam sehingga anak buah tahu ke arah mana
mereka hendak menuju. Pemimpin yang baik belum tentu memiliki kualitas yang
sama, tapi biasanya mereka memiliki tiga karakter, yaitu empati (kemampuan untuk
menempatkan diri dalam posisi orang lain), kesadaran diri sendiri, dan objektivitas
dalam menghadapi orang lain. Banyak pemimpin besar mempunyai karakter lain,
seperti keberanian, kemampuan untuk mengilhami orang lain, penuh semangat,
komitmen, fleksibilitas, inovatif, dan kemauan untuk bereksperimen. Dalam
kenyataannya para pemimpin dapat mempengaruhi moral dan kepuasan kerja,
keamanan, kualitas kehidupan kerja dan terutama tingkat prestasi suatu organisasi.
Para pemimpin juga memainkan peranan kritis dalam membantu kelompok,
organisasi atau masyarakat untuk mencapai tujuan mereka. Mereka juga harus berani
menantang kondisi status quo dari perusahaan dan membantu pihak lain untuk
menghadapi tantangan adaptif dari dunia kerja dewasa ini. Tantangan adaptif adalah
situasi dimana perusahaan harus dengan cepat menyesuaikan diri untuk menjaga
kelangsungan hidupnya. Gaya kepemimpinan terbaik yang diterapkan seringkali
tergantung pada budaya perusahaan, sistem dasar, kepercayaan, dan nilai yang dianut.
Semua hal seperti filosofi manajerial, jaringan komunikasi, serta lingkungan dan

1
praktek kerja dapat mempengaruhi budaya perusahaan. Budaya perusahaan biasanya
dibentuk oleh para pemimpin yang mendirikan dan mengembangkan perusahaan serta
oleh para penerus mereka. Satu generasi karyawan meneruskan budaya organisasi
kepada karyawan baru.

1.2 Permasalahan

Era pembangunan telah berjalan sedemikian pesat dan hal ini tanpa dapat
dipungkiri telah membawa pada sejumlah dampak, baik dampak yang bersifat positif
maupun negatif. Budaya yang pada dasarnya merupakan nilai-nilai, kebiasaan, ritual,
mitos maupun praktek-praktek yang terus berlanjut dalam kehidupan bermasyarakat
merupakan nafas yang menjiwai dan mengarahkan perilaku para anggota (Robbins,
1996 ) semestinya mendasari setiap gerak kehidupan bermasyarakat. Dalam hal ini
budaya tidak hanya sekedar sebagai dasar, namun yang terpenting adalah budaya
tersebut memiliki peran sebagai pemberi identitas dan “normative glue”. Pemimpin
dalam konteks ini memiliki andil yang sangat besar terhadap bagaimana budaya
tersebut dapat dihayati dengan sungguh-sungguh oleh para anggotanya. Namun
kenyataan justru menunjukkan bahwa peran pemimpin dalam hal ini menjadi sangat
tidak jelas sehingga anggota-anggotanya menjadi kehilangan kepercayaan dan pada
akhirnya kehidupan organsasi menjadi kehilangan keseimbangan. Jika kepercayaan
telah menipis, maka akibat yang timbul adalah nilai-nilai kebersamaan hilang dan
masing-masing individu berusaha menyelamatkan diri masing-masing dalam situasi
yang sangat rumit dan ambigu. Hal inilah yang perlu menjadi suatu bahan refleksi
bersama: bagaimana sebenarnya peran pemimpin terhadap perusahaan? Bagaimana
peran pemimpin dalam penanaman budaya organisasi? Kepemimpinan yang seperti
apa yang dinilai efektif pada suatu perusahaan? Berdasar pertanyaan-pertanyaan
itulah, maka makalah ini disusun agar kita dapat memahami lebih dalam peran
seorang pemimpin dan keterkaitannya dengan budaya di suatu perusahaan.

2
BAB II
ISI

Akhir-akhir ini banyak orang membicarakan masalah krisis kepemimpinan.


Konon sangat sullt mencari kader-kader pemimpin pada berbagai tingkatan. Orang
pada zaman sekarang cenderung mementingkan diri sendiri dan tidak atau kurang
peduli pada kepentingan orang lain, kepentingan lingkungannya. Krisis
kepemimpinan ini disebabkan karena makin langkanya keperdulian pada kepentingan
orang banyak, kepentingan lingkungannya. Sekurang-kurangnya terlihat ada tiga
masalah mendasar yang menandai kekurangan ini. Pertama adanya krisis komitmen.
Kebanyakan orang tidak merasa mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk
memikirkan dan mencari pemecahan masalah kemaslahatan bersama, masalah
harmoni dalam kehidupan dan masalah kemajuan dalam kebersamaan. Kedua, adanya
krisis kredibilitas. Sangat sulit mencari pemimpin atau kader pemimpin yang mampu
menegakkan kredibilitas tanggung jawab. Kredibilitas itu dapat diukur misalnya
dengan kemampuan untukmenegakkan etika memikul amanah, setia pada
kesepakatan dan janji, bersikap teguh dalam pendirian, jujur dalam memikul tugas
dan tanggung jawab yang dibebankan padanya, kuat iman dalam menolak godaan dan
peluang untuk menyimpang. Ketiga, masalah kebangsaan dan kehidupan
bermasyarakat dan bernegara. Saat ini tantangannya semakin kompleks dan rumit.
Kepemimpinan sekarang tidak cukup lagi hanya mengandalkan pada bakat atau
keturunan. Pemimpin zaman sekarang harus belajar, harus membaca, harus
mempunyai pengetahuan mutakhir dan pemahamannya mengenai berbagai soal yang
menyangkut kepentingan orang-orang yang dipimpin. Juga pemimpin itu harus
memiliki kredibilitas dan integritas, dapat bertahan, serta melanjutkan misi
kepemimpinannya. Kalau tidak, pemimpin itu hanya akan menjadi suatu karikatur
yang akan menjadi cermin atau bahan tertawaan dalam kurun sejarah di kelak di
kemudian hari. Fungsi pemimpin tidak hanya sekedar membimbing dan mengarahkan

3
anak buah, namun yang terpenting adalah bagaimana pemimpin mampu memberikan
visi dan misi atau arah yang jelas kemana organisasi akan dibawa. Dalam era dimana
terjadi pergeseran budaya, maka tidak bisa dipungkiri lagi ahwa dibutuhkan seorang
pemimpin yang memiliki kepekaan dan intuisi yang tajam sehingga anak buah tahu
ke arah mana mereka hendak menuju. Tanpa adanya seorang pemimpin maka tujuan
organisasi yang dibuat tidak akan ada artinya karena tidak ada orang yang bertindak
sebagai penyatu terhadap berbagai kepentingan yang ada.
Jerome Want telah bertemu dengan CEO dari perusahaan layanan besar
untuk berbicara mengenai tantangan-tantangan yang dialami olehnya dan perusahaan
tersebut. CEO tersebut telah direkrut dari perusahaan layanan lain pada tahun
sebelumnya pada saat ia masih menjadi COO. Perusahaannya yang sebelumnya
memiliki reputasi sebagai perusahaan layanan besar yang menghasilkan pertumbuhan
keuangan yang stabil, dan ia sangat mengagungkan budaya perusahaannya. Di
perusahaan yang baru, kondisinya berbeda. Terdapat banyak masalah di mana-mana,
sebagian besar tidak dapat dikaitkan dengan masalah operasional. Pada satu titik
dalam suatu percakapan, Want meminta CEO tersebut untuk menggambarkan budaya
perusahaannya yang baru. Setelah beberapa saat memikirkannya, ia menjawab: "Ada
seekor gorilla seberat delapan ratus pound yang duduk di luar pintu". Itu merupakan
tanggapan yang dikatakan secara jujur. Want hanya ingin pemimpin perusahaan
lainnya dapat berterus terang. Ketika ditanya tentang budaya perusahaan, pegawai
lainnya memberi tanggapan, "Budaya perusahaan itu akan terpelihara dengan
sendirinya" dan "Anda harus berbicara dengan sumber daya manusia, hal itu tidak
dalam wilayah saya". Di eBay, satu pegawai senior berkomentar kepada Want: "Di
eBay, kami benar-benar tidak berpikir tentang budaya", yang menunjukkan bahwa
budaya bukan masalah yang benar-benar penting bagi perusahaan. Ketika berhadapan
dengan subyek budaya perusahaan, Want telah menemukan bahwa pemimpin
perusahaan jatuh ke dalam salah satu dari tiga kategori berikut:

1. Saya tidak tahu.


2. Saya tidak tahu bagaimana.
3. Saya tidak peduli.

4
2.1 Kepemimpinan yang Salah dan Konsekuensinya

Terdapat beberapa alasan mengapa pemimpin memiliki kesulitan saat


berhubungan dengan budaya perusahaan, termasuk: tekanan yang kuat (oleh para
dewan) untuk menyampaikan tujuan keuangan jangka pendek secara berturut-turut;
peningkatan ukuran dan kompleksitas organisasi bisnis saat ini; keinginan dan
kebutuhan dalam mengelola krisis yang berulang; dan kurangnya pemahaman tentang
cara memimpin seluruh organisasi. Dalam beberapa tahun terakhir, para pemimpin
perusahaan bisnis dari semua ukuran telah diidentifikasi lebih dekat dengan hal
memperkaya diri dan penyalahgunaan kekuasaan daripada memperkaya dan
memajukan organisasi bisnis yang mereka pimpin. Pemimpin juga kadangkala
memiliki pengetahuan yang kurang tentang pekerjaan teknis dan sering bersikap kritis
terhadap perubahan-perubahan.
Kita telah melihat terlalu banyak CEO yang telah memperlakukan
perusahaan publik mereka sendiri seolah-olah mereka adalah satu-satunya pemilik
pribadi perusahaan tersebut. Dalam hal demikian, mereka membagi-bagi dan
menghancurkan perusahaan melalui kepemimpinan yang salah dan mengubah
perusahaan menjadi tidak lebih dari rekening pribadi mereka sendiri. Mantan CEO
seperti Al Dunlap dari Scott Paper dan Sunbeam, Joseph Nacchio dari Qwest
Communications, Bernie Ebbers dari WorldCom, Dennis Kozlowski dari Tyco, dan
John Rigas dan anak-anaknya dari Adelphia Cable, menjadi Gordon Gekkos yang
nyata pada dunia bisnis. Dalam beberapa kasus, kepemimpinan pribadi mereka
sebenarnya telah membawa perusahaan kepada kehancuran keuangan. Hanya dalam
waktu enam bulan, antara Desember 2001 dan Juni 2002, nilai saham Tyco hilang
75%. Bernie Ebbers merusak MCI, yang pada saat itu merupakan budaya bisnis New
Age yang mengkombinasikan praktek bisnis inovatif dengan layanan pelanggan yang
luar biasa yang telah mengubah industri telekomunikasi. Alfred Taubman, pimpinan
dari rumah lelang Sotheby's, dan rekannya di Christie's, Sir Anthony Tennant,
berkonspirasi untuk memperbaiki komisi pelelangan: Pada tahun 1990-an mereka
menipu penjual seni lebih dari $ 400 juta untuk komisi. Rupanya, tidak cukup bahwa
kedua rumah lelang tersebut telah mengendalikan 90 persen pasar. Taubman akhirnya
divonis melakukan penipuan bersama dengan CEO, Diana D. Brooks. John Rigas,

5
pendiri Adelphia, juga merupakan penyebab kehancuran perusahaannya. Di bawah
kepemimpinan CEO Joseph Nacchio, Qwest Communications kehilangan 70 persen
nilai sahamnya antara tahun 2001 dan 2002 dan perusahaan telah didenda $ 43 juta
oleh berbagai komisi utilitas publik negara bagian atas layanan pelanggannya yang
buruk. Pada saat yang sama, Nacchio diduga telah mengambil puluhan juta dolar dari
perusahaan untuk dirinya sendiri (ia sekarang di bawah dakwaan). Yang terakhir
adalah Ken Lay, divonis berbagai tuduhan penipuan, dan tampaknya tidak memahami
bahwa tindakannya telah membunuh entitas bisnis yang unik yang telah ia buat.
Beberapa pemimpin perusahaan yang telah disebutkan diatas merupakan
para pemimpin yang telah menghancurkan perusahaan mereka sendiri.
Kepemimpinan yang salah telah memberikan dampak negatif yang sangat fatal bagi
perusahaannya. Kadangkala peran seorang pemimpin sering disalahartikan, banyak
yang beranggapan bahwa pemimpin memiliki kewenangan penuh dan satu-satunya
orang yang berhak mengambil keputusan tanpa mengkomunikasikannya terlebih
dahulu dengan pihak-pihak lainnya yang terlibat di dalam perusahaan. Mereka
bertindak diluar wewenang mereka yang seharusnya. Ketidakmampuan para
pemimpin dalam memahami perannya telah membuat pemimpin-pemimpin tersebut
melakukan tindakan-tindakan yang dinilai tidak benar dan telah menghancurkan
perusahaan melalui berbagai kejahatan dan penyalahgunaan kekuasaan yang mereka
lakukan. Selain itu, para pemimpin tersebut dinilai lalai dalam menerapkan budaya
perusahaan, bahkan mengabaikannya. Diantara para CEO yang secara efektif
memimpin dan berinvestasi pada budaya bisnis perusahaan mereka dan para CEO
yang mengkhianati budaya oganisasi mereka, terdapat zona abu-abu yang besar bagi
kebanyakan pemimpin perusahaan lainnya. Para pemimpin ini menolak untuk
berurusan dengan bisnis sebagai suatu organisasi, dan mereka tidak terlalu berani
untuk melihat budaya perusahaan mereka secara mendalam. Ivan Seidenberg dari
Verizon, Brian Roberts dari Comcast, Tony Nicely dari Geico, Dick Notebaert dari
Qwest, Jay Johnson dari Dominion Resources, dan Edward Whitaker, pimpinan dan
CEO AT&T (mantan SBC), menjadi contoh CEO yang paling tahu bahwa adalah
budaya perusahaan mereka terlalu birokratis, lambat untuk berinovasi, pemecah
masalah yang buruk, dan tidak responsif terhadap pasar. Mereka adalah CEO yang
mengatakan "Saya tidak peduli" terhadap cara mereka menjalankan perusahaan, dan

6
mereka adalah CEO yang selalu bertanya-tanya mengapa mereka tidak dapat
menghasilkan margin keuntungan yang lebih besar atau mengurangi omset
pelanggan.

2.2 Kepemimpinan yang Tepat

Kepemimpinan yang paling tepat tergantung pada fungsi seorang pemimpin,


bawahan, dan situasi yang dihadapi. Beberapa pemimpin tidak cocok dengan
tingginya partisipasi para bawahan dalam pengambilan keputusan. Beberapa
karyawan telah kehilangan kemampuan atau keinginan untuk bertanggung jawab.
Kadang-kadang pemimpin harus menangani masalah yang membutuhkan solusi
segera tanpa berkonsultasi dengan para karyawan. Dalam situasi yang berbeda dan
tanpa adanya tekanan waktu, pengambilan keputusan partisipatif mungkin berjalan
lebih baik untuk orang yang sama. Para pemimpin yang demokratis seringkali
meminta saran dan pendapat dari karyawannya, tetapi tetap mengambil keputusan
sendiri. Apabila konfigurasi kepemimpinan terbangun dari tiga unsur yang
interdependensial, yaitu pemimpin, kondisi masyarakat termasuk orang-orang yang
dipimpin, dan perkembangan lingkungan nasional dan internasional yang senantiasa
mengalami perubahan, maka adalah valid jika kita mempertanyakan kualifikasi
kepemimpinan atau persyaratan yang diperlukan bagi adanya kepemimpinan yang
efektif dalam menghadapi kompleksitas perkembangan dan dinamika perubahan
lingkungan bisnis.
Suatu persyaratan penting bagi efektivitas atau kesuksesan pemimpin
(kepemimpinan) dalam mengemban peran, tugas, fungsi, ataupun tanggung jawabnya
masing-masing adalah kompetensi. Konsep mengenai kompetensi untuk
pertamakalinya dipopulerkan oleh Boyatzis (1982) yang didefinisikan kompetensi
sebagai “kemampuan yang dimiliki seseorang yang nampak pada sikapnya yang
sesuai dengan kebutuhan kerja dalam parameter lingkungan organisasi dan
memberikan hasil yang diinginkan”. Kompetensi merupakan karakteristik atau
kepribadian (traits) individual yang bersifat permanen yang dapat mempengaruhi
kinerja seseorang. Adapun ciri khas pemimpin yang dikagumi sehingga para bawahan
bersedia mengikuti perilakunya adalah, apabila pemimpin tersebut memiliki sifat

7
jujur, memandang masa depan, memberikan inspirasi, dan memiliki kecakapan
teknikal maupun manajerial. Pemimpin yang berkualitas tidak puas dengan “status
quo” dan memiliki keinginan untuk terus mengembangkan dirinya. Beberapa kriteria
kualitas kepemimpinan pemimpin yang baik antara lain, memiliki komitmen
organisasional yang kuat, visionary, disiplin diri yang tinggi, tidak melakukan
kesalahan yang sama, antusias, berwawasan luas, kemampuan komunikasi yang
tinggi, manajemen waktu, mampu menangani setiap tekanan, mampu sebagai
pendidik atau guru bagi bawahannya, empati, berpikir positif, memiliki dasar spiritual
yang kuat, dan selalu siap melayani.
Seorang pemimpin sejati tidak cukup hanya memiliki hati atau karakter
semata, tetapi juga harus memiliki serangkaian metoda kepemimpinan agar dapat
menjadi pemimpin yang efektif. Banyak sekali pemimpin memiliki kualitas dari
aspek yang pertama, yaitu karakter dan integritas seorang pemimpin, tetapi ketika
menjadi pemimpin formal, justru tidak efektif sama sekali karena tidak memiliki
metoda kepemimpinan yang baik. Hal ini karena mereka tidak memiliki metoda
kepemimpinan yang diperlukan untuk mengelola mereka yang dipimpinnya. Tidak
banyak pemimpin yang memiliki kemampuan metoda kepemimpinan ini. Karena hal
ini tidak pernah diajarkan di sekolah-sekolah formal. Oleh karena itu seringkali dalam
berbagai kesempatan mendorong institusi formal agar memperhatikan ketrampilan
seperti ini yang disebut dengan softskill atau personal skill. Kepemimpinan (dalam
hal ini metoda kepemimpinan) dapat diajarkan sehingga melengkapi mereka yang
memiliki karakter kepemimpinan. Ada tiga hal penting dalam metoda kepemimpinan,
yaitu: Kepemimpinan yang efektif dimulai dengan visi yang jelas.Visi ini merupakan
sebuah daya atau kekuatan untuk melakukan perubahan, yang mendorong terjadinya
proses ledakan kreatifitas yang dahsyat melalui integrasi maupun sinergi berbagai
keahlian dari orang-orang yang ada dalam organisasi tersebut. Bahkan dikatakan
bahwa nothing motivates change more powerfully than a clear vision. Visi yang jelas
dapat secara dahsyat mendorong terjadinya perubahan dalam organisasi. Seorang
pemimpin adalah inspirator perubahan dan visioner, yaitu memiliki visi yang jelas
kemana organisasinya akan menuju. Kepemimpinan secara sederhana adalah proses
untuk membawa orang-orang atau organisasi yang dipimpinnya menuju suatu tujuan
yang jelas. Tanpa visi, kepemimpinan tidak ada artinya sama sekali. Visi inilah yang

8
mendorong sebuah organisasi untuk senantiasa tumbuh dan belajar, serta berkembang
dalam mempertahankan survivalnya sehingga bisa bertahan sampai beberapa
generasi. Ada dua aspek mengenai visi, yaitu visionary role dan implementation role.
Artinya seorang pemimpin tidak hanya dapat membangun atau menciptakan visi bagi
organisasinya tetapi memiliki kemampuan untuk mengimplementasikan visi tersebut
ke dalam suatu rangkaian tindakan atau kegiatan yang diperlukan untuk mencapai visi
itu. Seorang pemimpin yang efektif adalah seorang yang sangat responsif. Artinya dia
selalu tanggap terhadap setiap persoalan, kebutuhan, harapan dan impian dari mereka
yang dipimpinnya. Selain itu selalu aktif dan proaktif dalam mencari solusi dari setiap
permasalahan ataupun tantangan yang dihadapi organisasinya. Seorang pemimpin
yang efektif adalah seorang pelatih atau pendamping bagi orang-orang yang
dipimpinnya (performance coach). Artinya dia memiliki kemampuan untuk
menginspirasi, mendorong dan memampukan anak buahnya dalam menyusun
perencanaan (termasuk rencana kegiatan, target atau sasaran, rencana kebutuhan
sumber daya, dan sebagainya), melakukan kegiatan sehari-hari (monitoring dan
pengendalian), dan mengevaluasi kinerja dari anak buahnya.

2.3 Studi Kasus

[STUDI KASUS]
Mengubah Budaya Face Time

Bisnis hotel merupakan bisnis yang kejam. Kami harus menyediakan


layanan 24/7 dan 365 hari setahun, dan setiap hari sama pentingnya dengan yang lain.
Sehingga ketika timbul masalah pada akhir Jumat sore, seseorang harus
menyelesaikan masalah tersebut pada malam harinya atau pada sisa akhir pekan.
Manajer yang memiliki sikap "Saya akan melakukannya pada hari Senin" tidak akan
bertahan lama di industri kami. Tidak mengherankan, Marriott, yang membanggakan
dirinya dengan memberikan layanan pelanggan yang sangat baik, selama bertahun-
tahun memiliki budaya “face time” yang sangat melekat, lebih banyak waktu yang
anda sediakan, akan semakin baik. Pekan kerja khusus melebihi 50 jam bagi para

9
manajer kami. Filosofi bahwa "melihat dan dilihat" telah efektif dalam melayani
pelanggan, namun ada harga yang harus dibayar: Pada pertengahan tahun 1990-an,
kami telah menemukan bahwa ternyata semakin sulit untuk merekrut orang berbakat,
dan beberapa manajer terbaik kami telah pergi, karena mereka sering ingin
menghabiskan lebih banyak waktu dengan keluarga mereka. Karyawan merupakan
dasar dari setiap bisnis, tetapi tidak ada tempat yang lebih tepat daripada di industri
perhotelan. Produk kami satu-satunya adalah layanan yang kami berikan untuk
keluarga dan wisatawan bisnis. Jika kami kehilangan kemampuan kami untuk
menarik dan mempertahankan manajer dan staf terbaik, mungkin kami akan berada
dalam masalah. Sehingga kami tahu bahwa perhatian kami pada face time harus terus
berlanjut. Pada awal 2000, Marriott melaksanakan program percobaan yang disebut
Manajemen Fleksibilitas pada tiga hotel perusahaan di daerah timur laut. Tujuan dari
enam bulan uji coba ini adalah untuk membantu manajer Marriott dalam mencapai
keseimbangan yang lebih baik antara kehidupan pribadi dan profesional mereka,
semua itu dilakukan sambil tetap menjaga kualitas layanan pelanggan kami dan
bottom line dari hasil keuangan kami. Kami menemukan banyak perbaikan cepat
dengan menghapuskan pertemuan yang berlebihan dan prosedur lainnya yang tidak
efisien. Tugas yang lebih berat adalah memeriksa secara seksama dasar pemikiran
tentang cara kami bekerja. Mentransformasi budaya perusahaan akan lebih sulit
daripada mengubah hal yang lain; kecenderungan alami orang-orang adalah untuk
terus bergantung pada apa yang terasa familiar bagi mereka, walaupun ada alternatif
yang lebih baik. Karena program uji coba, para manajer di tiga hotel tersebut
sekarang bekerja sekitar kurang dari lima jam perminggu. Lebih penting lagi, mereka
merasakan perubahan yang pasti pada budaya kami, dengan kurangnya perhatian
yang dibayar pada jam kerja dan lebih menekankan pada tugas-tugas yang dicapai.
Selanjutnya, melalui survei dan bukti yang bersifat anekdot, kami mengetahui bahwa
para manajer yang kurang pengalaman secara signifikan mengalami stres pekerjaan.
Karena kesuksesan yang terlalu cepat ini, Marriott menerapkan Manajemen
Fleksibilitas di hotel yang berada di wilayah barat, selatan pusat dan Atlantik tengah,
dan perusahaan merencanakan pembangunan yang lebih luas pada tahun 2002.
Selama enam bulan program uji coba, kami telah meninjau manajer dan
karyawan lainnya untuk melacak bagaimana hal itu terjadi. Kami juga melakukan

10
survei, yang menyatakan bahwa telah ada beberapa perbaikan secara dramatis.
Misalnya, manajer melaporkan bahwa sebelum uji coba mereka menghabiskan sekitar
11,7 jam per minggu pada pekerjaan yang "rendah nilai" yang telah ditetapkan
sebagai hal-hal yang mereka perlukan untuk menambahkan sedikit nilai ke bisnis
Marriott - seperti harus menghadiri rapat tertentu, meskipun berarti mereka harus
datang di luar jadwal kerja mereka. Pada akhir pengujian di bulan Agustus 2000,
waktu yang dihabiskan manajer pada perkerjaan yang rendah nilai telah berkurang
hampir setengahnya yaitu 6,8 jam per minggu. Secara keseluruhan, para manajer di
tiga hotel mengatakan bahwa mereka bekerja rata-rata sekitar kurang dari lima jam
setiap minggunya, dengan waktu yang paling banyak dihabiskan di departemen
pemasaran dan penjualan; grup melaporkan bahwa rata-rata pengurangan hampir
tujuh jam per minggu per manager.
Mungkin yang lebih penting lagi adalah perubahan sikap. Sebelum program
uji coba, 77% manajer merasa bahwa pekerjaannya sangat menuntut sehingga mereka
tidak bisa memperhatikan tanggung jawab pribadi dan keluarga mereka masing-
masing. Pada akhir uji coba, jumlah tersebut telah berkurang hingga 36%. Selain itu,
persentase manajer yang merasa bahwa tekanan di Marriott adalah pada jam kerja dan
tidak pada pencapaian pekerjaan turun dari 43% menjadi 15%.
Salah satu hal terpenting yang kita pelajari dari proyek uji coba adalah orang
bisa menjadi produktif - dan kadang-kadang bahkan lebih - ketika waktu kerja
mereka lebih sedikit. Bagaimana bisa? Karena ketika waktu kerja mereka lebih
sedikit, mereka lebih termotivasi untuk menyelesaikan pekerjaan itu, dan mereka
tidak membuang-buang waktu dalam melakukan apa yang mereka perlu lakukan.
Sepanjang program uji coba, kami sangat hati-hati dalam memantau kualitas layanan
pelanggan untuk memastikan standar-standar kami tidak terabaikan. Untungnya,
Marriott telah memiliki sistem masukan yang tepat: kuesioner yang diisi oleh tamu
kami secara rutin. Kantor pusat perusahaan kami mengumpulkan data (sekitar 70-80
tanggapan setiap bulan) dan mengirimkan laporannya kepada kami. Hasilnya
menunjukkan tidak ada perubahan dalam kualitas, yang kami yakin bahwa, sejauh
tamu kami peduli maka Manajemen Fleksibilitas itu berpengaruh tetapi tidak terlihat.
Kami juga memonitor dampak keuangan dari program uji coba dan lega saat
mengetahui bahwa hal itu tidak mempengaruhi bottom line secara merugikan.

11
Walaupun kami tidak ada tambahan pengeluaran modal (misalnya, penyediaan
komputer dan akses internet bagi beberapa manajer), biaya tersebut lebih diimbangi
oleh keuntungan dalam produktivitas (misalnya, manajer penjualan dapat
memperoleh tambahan pelanggan). Pesan penting yang bisa diambil dari uji coba
adalah bahwa manajemen hendaknya tidak mendikte orang yang melakukan sesuatu
yang tidak masuk akal; karyawan yang melakukan pekerjaannya tiap hari seringkali
tahu cara terbaik untuk menemukan cara-cara yang efisien dalam melakukan
pekerjaan mereka. Setelah itu, ide-ide yang terbaik tidak selalu datang dari para
pemimpin dalam suatu organisasi, dan sangat mudah bagi setiap perusahaan untuk
terperosok pada kebiasaan buruk dalam melakukan sesuatu hanya karena cara itu
yang selalu dilakukan.
Pada kasus diatas dapat disimpulkan bahwa Marriott ingin mengubah
budaya perusahaan mereka dengan melakukan program uji coba. Pada awalnya,
Marriott menerapkan budaya face time dimana hal yang menjadi filosofi budaya ini
adalah semakin banyak waktu yang anda habiskan di tempat kerja akan semakin baik.
Namun menurut para senior, budaya tersebut telah membuat para manajer dan
karyawan tidak memiliki cukup banyak waktu untuk kehidupan mereka diluar kantor.
Tidak adanya keseimbangan antara kehidupan pribadi dan kehidupan kantor telah
membuat dampak negatif yang secara tidak langsung mempengaruhi produktivitas
manajer dan karyawan. Dari kasus tersebut, telah dibuktikan bahwa produktivitas
seseorang tidak dapat diukur dari seberapa banyak waktu yang ia habiskan selama
bekerja. Kadangkala mereka hanya membuang-buang waktu padahal pekerjaannya
mereka dapat dikatakan telah terselesaikan. Kebijakan perusahaan merupakan
penyebab utama. Perusahaan kadangkala menetapkan batas waktu kapan karyawan
seharusnya pulang, biasanya karyawan tersebut telah menyelesaikan pekerjaan
mereka jauh sebelum waktu yang telah ditetapkan untuk pulang tersebut berakhir.
Marriott telah membuktikan bahwa budaya face time tidak lagi dapat memberikan
dampak yang baik bagi perusahaan, sehingga budaya tersebut diubah. Hal itu terbukti
dengan hasil yang dicapai pada saat program uji coba tersebut dilakukan. Salah satu
pencapaiannya adalah para karyawan yang lebih produktif dengan lebih sedikitnya
waktu kerja mereka sehingga mereka lebih termotivasi untuk menyelesaikan
pekerjaannya itu.

12
2.4 Peran Pemimpin dalam Mengubah Budaya

Keberadaan pemimpin dalam suatu organisasi memiliki peran yang sangat


penting terlebih dalam situasi dimana terjadi ambiguitas peran. Fungsi pemimpin
tidak hanya sekedar membimbing dan mengarahkan anak buah, namun yang
terpenting adalah bagaimana pemimpin mampu memberikan visi dan misi atau arah
yang jelas kemana organisasi akan dibawa. Dalam era dimana terjadi pergeseran
budaya, maka tidak bisa dipungkiri lagi bahwa dibutuhkan seorang pemimpin yang
memiliki kepekaan dan intuisi yang tajam sehingga anak buah tahu ke arah mana
mereka hendak menuju. Budaya yang pada dasarnya merupakan nilai-nilai,
kebiasaan, ritual, mitos maupun praktek-praktek yang terus berlanjut dalam
kehidupan bermasyarakat merupakan nafas yang menjiwai dan mengarahkan perilaku
para anggota semestinya mendasari setiap gerak kehidupan bermasyarakat. Dalam hal
ini budaya tidak hanya sekedar sebagai dasar, namun yang terpenting adalah budaya
tersebut memiliki peran sebagai pemberi identitas dan ”normative glue”. Pemimpin
dalam konteks ini memiliki andil yang sangat besar terhadap bagaimana budaya
tersebut dapat dihayati dengan sungguh-sungguh oleh para anggotanya. Sewaktu
melakukan konsultasi selama bertahun-tahun, Jerome Want telah menemukan bahwa
pemimpin yang efektif dari budaya perusahaan menunjukkan kumpulan kualitas dan
kepercayaan yang secara jelas memberi keuntungan bagi budaya perusahaan serta
kinerja bisnis secara keseluruhan. Mereka tidak hanya mencakup CEO tetapi juga
para manajer senior lainnya serta manajer Frontline dan manajer tengah yang
mengelola dan mengembangkan budaya pada suatu organisasi. Namun demikian,
para CEO memiliki keuntungan yang tidak dapat dilakukan oleh siapapun didalam
perusahaan. Termasuk memiliki posisi unik dalam perusahaan untuk memerintahkan
perhatian setiap orang serta komitmen mereka untuk mengubah budaya. CEO juga
dapat mengatur agenda dan menyediakan sumber daya yang dibutuhkan dengan
proses. Mereka juga dapat membantu menciptakan koalisi, menghilangkan hambatan,
dan, yang paling penting, menginspirasi orang.
Dalam hal ini peran pemimpin sangat besar karena dialah yang harus
mensosialisasikan nilai-nilai yang ada atau menyatukan nilai-nilai yang berbeda
karena didasari oleh kepentingan yang berbeda sehingga akan tercipta nilai-nilai yang

13
dihayati bersama. Mampu tidaknya seseorang tampil sebagai pemimpin tidak terlepas
pada filsafat hidup yang dimiliki serta komitmen yang jelas terhadap orang lain.
Bagian terpenting dari tugas seorang pemimpin adalah bertanggung jawab dalam
pembentukan dan pengembangan budaya perusahaan, yang dilakukan dengan jalan:
mengidentifikasi dan mengkomunikasikan nilai-nilai dan prinsip dasar yang
memandu jalannya perusahaan dan pembentukan keputusan organisasi, menetapkan
perilaku yang menjadi contoh dari nilai-nilai dan prinsip organisasi dengan memberi
teladan, serta menguasai budaya perusahaan secara keseluruhan, mengenal dengan
baik segi positif dan negatifnya dan memperkuat nilai-nilai pada hal-hal yang
diharapkan oleh organisasi. Oleh karena itu seorang pemimpin hendaknya memiliki
visi yang jelas, wawasan yang luas, pandangan yang jernih terhadap situasi yang
dihadapi, dengan demikian ia dapat membuat suatu keputusan yang didasari oleh
keinginan untuk mencapai kesejahteraan bersama. Dengan visi yang jelas, ia dapat
mempengaruhi orang lain agar dapat memaksimalkan pengembangan pribadi dan
organisasi. Kesemua ini tidak terlepas dari personal mastering yang dimiliki oleh
seorang pemimpin yang akan tercantum dengan jelas dalam agenda pribadinya.
Pemimpin yang dapat menjadi pemimpin adalah seseorang yang memiliki personal
philosophy yang teguh. Ia tidak akan mudah terpengaruh oleh situasi yang ada di
sekitarnya. Meskipun lingkungannya berubah demikian cepat, namun ia tetap punya
komitmen dan konsisten tanpa kehilangan arah yang hendak dituju. Personal
philisophy ini tidak begitu saja dimiliki oleh seorang pemimpin, namun tumbuh
melalui proses belajar, memiliki kemauan melakukan inovasi, dan paling akhir adalah
keberanian untuk mengambil keputusan yang didasari oleh kedua hal di atas. Hal-hal
di atas hanya dapat dilaksanakan jika ia memiliki kesabaran, konsisten terhadap
prinsip-prinsip yang dimiliki, serta memiliki motivasi intrinsik. Dengan falsafah
hidup inilah, maka anggota-anggota akan dapat menilai kekuatan karakter yang
dimiliki pemimpinnya sehingga mereka tidak akan segan-segan mengikuti
pemimpinnya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ada hubungan yang sangat
vital antara budaya dan kepemimpinan. Keberhasilan seorang pemimpin justru akan
dilihat dalampengaruh mereka secara langsung terhadap budaya organisasi. Pada
dasarnya pemimpin berperan dalam pembentukan budaya, budaya membantu
membentuk anggota-anggotanya.

14
Selain itu ada beberapa hal yang harus dilakukan oleh pemimpin dalam
mengubah budaya:
1. Menjadi murid dari budaya itu sendiri
Budaya perusahaan tidak dimiliki oleh setiap orang dan tentunya juga tidak
dimiliki oleh CEO. Budaya tersebut merupakan produk dari begitu banyak kontribusi
selama bertahun-tahun, terutama melalui perilaku, komitmen, dan nilai-nilai
masyarakat; praktek bisnis perusahaan, kebijakan, misi, dan sejarah; dan kondisi
lingkungan industri. Jika budaya perusahaan tidak dibentuk dan dikembangkan pada
saat perusahaan itu berdiri, budaya tersebut akan lebih sulit untuk diubah. Setiap
orang didalam budaya perlu menjadi murid dari budaya itu sebelum mencoba untuk
mengubahnya dan orang itu termasuk CEO.
2. Pembaharuan
CEO secara unik memposisikan dirinya untuk menciptakan budaya sebagai
suatu proses pembaharuan. Dengan memperbaharui budaya perusahaan, komitmen
dan bakat seseorang telah membangkitkan kembali kekuatan perusahaan. Tidak ada
downsizing, perbaikan operasi, perekayasaan ulang bisnis, atau restrukturisasi yang
memiliki efek memperbaharui di dalam suatu perusahaan.
3. Komunikasi
Para CEO harus memastikan adanya komunikasi terbuka di seluruh bagian
organisasi. Komunikasi terbuka juga akan memberikan ruang bagi para karyawan
untuk dapat bertukar ide-ide dan sumber daya. CEO juga harus menguasai
komunikasi yang efektif terhadap para karyawannya. Mempelajari bagaimana
menjadi pendengar yang aktif juga merupakan sasaran khusus yang penting bagi para
pemimpin yang ingin melakukan perubahan budaya. Komunikasi yang dilakukan
CEO juga dapat digunakan untuk membangkitkan organisasi yang lebih besar.
Adanya komunikasi yang efektif berarti bahwa antar individu yang ada dalam
organisasi memiliki keterbukaan, empati, dukungan, sikap positif, serta kesetaraan
yang pada akhirnya juga mendukung kinerja. Menurut definisinya komunikasi adalah
proses pemindahan suatu informasi, ide, pengertian dari seseorang kepada orang lain
dengan harapan orang lain tersebut dapat menginterprestasikannya sesuai dengan
tujuan yang dimaksud. Maka keterbukaan komunikasi dapat disimpulkan sebagai
keterbukaan dalam hubungan kerja antara atasan dan bawahan, bawahan dengan

15
rekan sekerjanya. Keterbukaan dalam komunikasi dapat juga didefiniskan sebagai
suatu proses penyampaian pesan secara terbuka dalam hubungan kerja sehingga
terjadi saling pengertian, penghayatan mengenai kebijakan yang diambil, sehingga
akan tercipta kesadaran dan kesediaan melebur keinginan individu demi terpadunya
kepentingan bersama dengan tujuan menghasilkan integrasi yang cukup kokoh,
mendorong kerjasama yang produktif dan kreatif untuk mencapai sasaran atau tujuan
bersama Keterbukaan komunikasi dalam suatu organisasi merupakan hal yang tidak
dapat dielakkan. Melalui keterbukaan komunikasi individu dapat mentransfer pikiran
atau informasi yang ia miliki ke individu lain.
4. Inclusiveness
CEO harus menjelaskan pada organisasi bahwa membangun budaya
merupakan proses yang inklusif dan seharusnya tidak ditetapkan untuk tidak
melibatkan orang-orang (kecuali mereka yang memperlihatkan ketidakinginan untuk
mendukung proses tersebut) tetapi harus menjangkau seluruh tenaga kerja
berdasarkan ide-ide dan komitmen. Manfaat utama adalah hal tersebut berkembang
seiring waktu untuk merangkul orang-orang. Pemimpin baru harus menerima proses
tersebut untuk mengungkapkan ide-ide baru dan rekomendasi, dan juga ide-ide yang
berbeda.
5. Kepercayaan
CEO harus menanamkan rasa percaya di antara para peserta dalam proses
pembangunan budaya. Orang-orang itu harus merasa aman untuk menyuarakan
pendapat dan perbedaan mereka tentang budaya baru dan cara mengelola proses itu.
Ketika timbul masalah kepercayaan, maka CEO, bukan seorang konsultan, yang akan
menjadi orang yang terbaik untuk mengatasi masalah itu.
6. Akuntabilitas
Tidak ada satu orangpun yang memiliki posisi yang lebih baik untuk
menampung orang-orang yang bertanggung jawab selain CEO. Hanya CEO
(bertindak atas nama dewan) yang dapat menentukan apakah proses perubahan
budaya berjalan pada arah yang tepat dan mencapai tujuannya yang sebenarnya.

16
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Dalam praktek sehari-hari, seseorang diartikan sama antara pemimpin dan


kepemimpinan, padahal pengertian tersebut berbeda. Pemimpin adalah orang yang
tugasnya memimpin, sedang kepemimpinan adalah bakat dan atau sifat yang harus
dimiliki seorang pemimpin. Setiap orang mempunyai pengaruh atas pihak lain,
dengan latihan dan peningkatan pengetahuan maka pengaruh tersebut akan bertambah
dan berkembang. Kepemimpinan membutuhkan penggunaan kemampuan secara aktif
untuk mempengaruhi pihak lain dan dalam mewujudkan tujuan organisasi yang telah
ditetapkan lebih dahulu. Dewasa ini kebanyakan para ahli beranggapan bahwa setiap
orang dapat mengembangkan bakat kepemimpinannya dalam tingkat tertentu.
Kepemimpinan adalah kekuasaan untuk mempengaruhi seseorang, baik dalam
mengerjakan sesuatu atau tidak mengerjakan sesuatu. Masalah yang selalu terdapat
dalam membahas fungsi kepemimpinan adalah hubungan yang melembaga antara
pemimpin dengan yang dipimpin menurut rules of the game yang telah disepakati
bersama. Seseorang pemimpin selalu melayani bawahannya lebih baik dari
bawahannya tersebut melayani dia. Pemimpin memadukan kebutuhan dari
bawahannya dengan kebutuhan organisasi dan kebutuhan masyarakat secara
keseluruhannya. Dari batasan kepemimpinan sebagaimana telah disebutkan di atas
seorang dikatakan pemimpin apabila dia mempunyai pengikut atau bawahan. peran
pemimpin sangat besar karena dialah yang harus mensosialisasikan nilai-nilai yang
ada atau menyatukan nilai-nilai yang berbeda karena didasari oleh kepentingan yang
berbeda sehingga akan tercipta nilai-nilai yang dihayati bersama. Mampu tidaknya
seseorang tampil sebagai pemimpin tidak terlepas pada filsafat hidup yang dimiliki
serta komitmen yang jelas terhadap orang lain. Bagian terpenting dari tugas seorang

17
pemimpin adalah bertanggung jawab dalam pembentukan dan pengembangan budaya
perusahaan, yang dilakukan dengan jalan: mengidentifikasi dan mengkomunikasikan
nilai-nilai dan prinsip dasar yang memandu jalannya perusahaan dan pembentukan
keputusan organisasi, menetapkan perilaku yang menjadi contoh dari nilai-nilai dan
prinsip organisasi dengan memberi teladan, serta menguasai budaya perusahaan
secara keseluruhan, mengenal dengan baik segi positif dan negatifnya dan
memperkuat nilai-nilai pada hal-hal yang diharapkan oleh organisasi.

3.2 Saran

Pemimpin adalah sekelompok kecil orang yang terpilih dari berjuta orang
karena potensi dan kemampuan yang mereka miliki. Tanpa dapat dipungkiri peran ini
membawa sejumlah tantangan yang harus diatasi karena di pundak mereka tujuan
kelompok diletakkan. Meskipun demikian keberhasilan dan kegagalan organisasi
tidak semata-mata tergantung pada pemimpin, dalam hal ini partisipasi dan keinginan
berkorban dari anggota memiliki andil yang tidak sedikit. Suatu organisasi hanya
akan dapat berjalan sejauh nilai-nilai kebersamaan yang dimiliki sungguh-sungguh
diinternalisasi dan budaya yang menjadi pondasi bagi keberlangsungan hidup
organisasi benar-benar mempengaruhi setiap tindakan anggota. Dalam hal ini peran
pemimpin tidak kecil dalam mensosialisasikan budaya yang dimiliki. Oleh karena itu
seorang pemimpin hendaknya memiliki visi yang jelas, wawasan yang luas,
pandangan yang jernih terhadap situasi yang dihadapi, dengan demikian ia dapat
membuat suatu keputusan yang didasari oleh keinginan untuk mencapai kesejahteraan
bersama.

18
DAFTAR PUSTAKA

Boone, Louis E. & Kurtz, David L. 2000. Pengantar Bisnis Jilid 2. Jakarta: Erlangga.

Rivai, Prof. DR. Veitzhal, MBA.2004. Kiat Memimpin dalam Abad ke-21. Jakarta:
PT. RajaGrafindo Persada.

Want, Jerome. 2007. Corporate Culture: Illuminating The Black Hole. New York: St.
Martin’s Press.

www.wikipedia.com

19

You might also like