You are on page 1of 6

Kritik Amartya Sen terhadap Pendekatan Behavioral dalam Teori Ekonomi

Wildan Pramudya

PERBINCANGAN mengenai self-interest tetap memikat. Ini karena konsep self-


interest menyeruak ke tengah arena diskursus secara dinamis, dan senantiasa
berada dalam suatu tegangan pro-kontra. Baik itu dalam diskursus filosofis,
sosiologi maupun politik. Dalam filsafat Plato, misalnya, self-interets diposisikan
sebagai sesuatu yang negatif. Dikatakan Plato, self-interest merupakan biang
kejahatan dan dosa. Baginya self-interest hanya akan mendorong individu berlaku
tidak adil terhadap orang lain. Sementara itu, Aristoteles memandang secara
ambigu keberadaan self-interest. Menurutnya, self-interest tidak melulu negatif,
melainkan juga positif. Sebab, menurutnya self-interest pada dasarnya terbagi
menjadi dua: bad self-interest dan good self-interest. Namun demikian, pada
akhirnya, yang disebut good interest menurut Aristotle adalah kepentingan umum
(common interest) yang memungkinkan terbentuknya suatu unanimitas
masyarakat. Lalu dalam pandangan Agustinus, keberadaan self-interest
disubordinasikan kepada kecintaan dan pengabdian kepada Yang Ilahiah. Dengan
kata lain, di mata Agustinus, self-interest merupakan gerak vertikal penghambaan
diri kepada Allah. Sampai di sini, sejatinya, self-interest masih diletakkan sebagai
yang sekunder. Konsep self-interest yang partikular dideduksikan kepada yang
universal, yaitu masyarakat atau Allah, misalnya.

Akan tetapi, di era modern, keberadaan self-interest berada dalam situasi yang
sangat berbeda daripada era-era sebelumnya. Di sini, self-interest seolah betul-
bentul menemukan kediriannya (the self). Sebut saja Bentham yang melihat self-
interest sebagai perkara psikologis individual. Meski – kata Bentham – selain self-
interest terhubung dengan kepentingan masyarakat, namun self-interest dianggap
lebih prioritas. Selanjutnya Nietzsche, yang melihat self interest sebagai afirmasi
diri dari kehendak will to power. Begitu juga dengan Ayn Rand, yang melihat self-
interest sebagai tindakan individu rasional yang penuh integritas.

Penjelasan singkat tentang dinamika self-interest di atas menunjukkan bahwa


konsep self-interest telah menempuh perjalanan filosofis-dialektis yang begitu
panjang. Ini menunjukkan bahwa pada tataran filosofis konsep self-interest masih
merupakan konsep yang selalu terbuka. Akan tetapi tidak demikian di dalam
konteks teori ekonomi. Di dalam ekonomi, pengertian self interest sudah dianggap
barang jadi yang stabil dan tidak bisa diganggu-gugat. Di wilayah ini, self-interest
diyakini sebagai satu-satunya dasar bagi rasionalitas tindakan manusia. Mengutip
Hirschman, di dalam ilmu ekonomi konsep self-interest begitu cepat berkembang
sehingga menjadi suatu paradigma dan doktrin.

Tulisan ini pada dasarnya hendak (1) menjabarkan bagaimana konsep interest
menjadi suatu doktrin yang begitu kuat dalam ilmu ekonomi, (2) menunjukkan
bahwa self-interest tidak cukup memadai untuk menjelaskan tindakan manusia.
Untuk menjelaskan semua itu, penulis akan mengacu pada kritik ekonom Amartya
K. Sen terhadap dasar-dasar asumsi dari teori ekonomi.

Ilmu ekonomi yang egois

Dalam tulisannya, Sen hendak melakukan kritik terhadap dasar-dasar asumsi teori
ekonomi. Dan konsep sentral yang diproblematisasi oleh Sen adalah self-interest,
yang menjadi penyangga bagi aplikasi dari teori ekonomi. Dalam melakukan kritik
ini, sengaja Sen mengangkat pemikiran F.Y. Edgeworth di dalam bukunya
Mathematical Psychics: An Essay on the Application of Mathematics to Moral
Sciences, karena di dalamnya secara eksplisit menerangkan prinsip dasar dari ilmu
ekonomi.

Menurut Sen, ilmu ekonomi pada dasarnya sangat egois. Dikatakan egois karena
dalam ekonomi diasumsikan bahwa tindakan manusia diungkapkan hanya karena
adanya self-interest. Pendapat Sen ini bertolak dari pendapat Edgeword yang
mengatakan begini: the first principle of Economics is that every agent is actuated
only by self-interest. Dikatakan Sen, dalam kenyataannya pendapat ini memang
tidak realistik, karena dalam banyak hal tindakan manusia tidak murni egois,
melainkan kombinasi dengan utilitarian. Artinya pada derajat tertentu manusia akan
selalu memikirkan kepentingan orang banyak.

Namun demikian, nampaknya utilitarianisme tidak juga membantu menutupi


pekatnya egoisme tersebut. Sebab kepentingan semua orang pada dasarnya adalah
penjumlahan dari kepentingan masing-masing (self-interest) atas nama keluarga,
teman, kelas social, dsb.

Pertanyaannya sekarang jika ekonomi mengasumsikan tindakan manusia didasari


self-interest, mengapa ekonomi cenderung mengonsepsikan manusia sebagai
seorang egois yang bertindak demi kepentingan diri sendiri?

Untuk menjawab ini, Sen mencoba mendedah pengandaiaan epistemologis dibalik


konsepsi manusia itu. Menurut Sen, semua itu berawal dari pandangan
behavioralistik yang melihat perilaku rasional manusia dalam kerangka “preferensi”
dan konsistensi untuk mendapatkan pencapaian yang maksimal. Yang dimaksud
dengan preferensi adalah pilihan yang diambil secara sistematik atas dasar
pertimbangan utilitas personal. Dengan konsep self-interest, tindakan manusia
dilihat sebagai tindakan individu yang terisolasi, serta merupakan pilihan bebas dan
rasional dari sekian banyak alternatif tindakan yang ada. Pilihan tindakan ini
dilakukan setelah adanya kalkulasi tentang biaya yang harus dikeluarkan dan
keuntungan yang akan diperoleh dirinya. Sementara biaya dan keuntungan bagi
orang lain serta kolektivitas yang lebih luas, yaitu masyarakat, cenderung
dikesampingkan.

Di luar interpretasi seperti itu, tidak ada lagi konsep yang bisa diterima secara
rasional dan karenanya tidak memadai untuk memahami tindakan manusia. Konsep
yang bisa diterima adalah konsep yang mampu memahami tindakan manusia tidak
saja dalam konteks hari ini, melainkan juga dalam konteks kemungkinannya di
masa depan. Dengan kata lain, konsep yang digunakan haruslah konsep yang
memiliki kemampuan prediktif mengenai perilaku manusia. Dan kemampuan
prediktif itu hanya ada pada konsep kalkulasi yang terpola (perilaku).

Komitmen: melampaui self-interest

Bagaimana mungkin ekonomi yang egoistik ini dapat mencapai kebaikan bersama?
Kalau ekonomi masih diandaikan berpegang pada konsep tindakan manusia rasional
yang bertolak dari self-interest, maka menurut Sen, ekonomi tidak cukup memadai
untuk menjawab pertanyaan di atas. Sekaligus juga, ekonomi tidak cukup kuat
untuk menjelaskan bagiamana suatu tata masyarakat itu terbentuk. Mengapa?
Karena konsep self-interest -- dalam konteks perilaku rasional -- diletakkan sebagai
tindakan manusia yang terisolasi, suatu tindakan yang hanya relevan dengan upaya
pemenuhan kebutuhan privat, sementara di dalam realitasnya ekonomi tidak hanya
berbicara mengenai pemenuhan kebutuhan pribadi, melainkan juga kebutuhan
bersama atau pulik.

Oleh kerana itu, menurut Sen, dalam rangka memenuhi kebutuhan dan mencapai
kebaikan bersama serta membangun tata sosial tertentu, semestinya ada sesuatu
yang melampaui self-interest di dalam ilmu ekonomi. Sesuatu yang melampaui itu
tentu saja adalah sesuatu yang memungkinkan sebuah persentuhan antara diri
individual dengan yang sosial . Sen menyebutkan sesuatu yang memungkinkan
persentuhan self dengan the others, dalam hal ini, adalah simpati dan komitmen.

Meski simpati dan komitmen adalah element yang menghubungkan diri dengan
orang lain, namun di mata Sen keduanya memiliki perbedaan pengertian dan
implikasi fundamental. Diilustrasikan Sen, jika kita mengetahui orang lain disiksa,
lalu kita ikut merasakan sakitnya siksaan itu, inilah yang disebut simpati. Jika
penyiksaan terhadap orang lain, secara personal tidak memberikan dampak buruk
bagi kita, namun kita sadari bahwa penyiksaan itu salah, lalu kita siap untuk
menghentikan tindakan penyiksaan tersebut, maka ini yang disebut komitmen.

Dengan kata lain, simpati merupakan suatu upaya menempatkan perasaan dan
perhatian (diri) kita kepada situasi apa dan bagaimana yang dirasakan orang lain.
Sedangkan komitmen adalah suatu kehendak yang muncul – didorong oleh
pengetahuan kita mengenai situasi orang – untuk melibatkan diri guna melakukan
perubahan positif terhadap situasi orang lain. Dari perbedaan pengertian di atas,
nampak bahwa simpati adalah suatu bentuk tindakan yang “minimalis”, pasif dan
masih membawa nuansa egoistiknya. Sedangkan komitmen merupakan tindakan
aktif, antisipatif dan ada keterlibatan dengan yang lain.

Penyediaan kebutuhan publik, misalnya, bukan lagi merupakan hasil getok tular
antara kepentingan orang per orang, melainkan semacam tugas yang harus
diemban untuk diwujudkan. Dalam konteks tugas, tindakan seorang dokter di suatu
institusi rumah sakit dalam mengobati seorang pasien, komitmen untuk
menyembuhkan pasien lebih utama daripada pertimbangan besaran biaya yang
harus dikeluarkan untuk pengobatannya. Dengan komitmen, keputusan dokter
untuk menyembuhkan melampaui pertimbangan apakah si pasien sebaiknya
dirawat di kelas I atau II, misalnya. Sehingga dengan komitmen ini, kasus penolakan
rumah sakit terhadap seorang pasien karena alasan keterbatasan atau ketiadaan
biaya, misalnya, tidak perlu terjadi.

Pada tingkat ini Sen lebih menetapkan kommitmen – daripada simpati -- sebagai
elemen penting untuk dijadikan salah satu dasar asumsi dalam mengonsepsikan
tindakan manusia. Akan tetapi, lanjut Sen, dalam pendekatan rasional-
behavioralistik, elemen ini tidak dimasukkan sebagai pertimbangan.

Komitmen sebagai preferensi etis

Pendekatan pilihan rasional (rational choice) sebagai turunan pendekatan


behavioral tidak memasukkan komitmen sebagai dasar pertimbangan, karena
secara logis bisa kontraproduktif – yaitu jika dikaitkan dengan preferensi tindakan
dan pencapaian hasil yang maksimal.

Komitmen – dijelaskan Sen – sangat erat kaitannya dengan moralitas tertentu.


Sementaa berbicara mengenai moralitas adalah perkara yang kompleks sehingga
seringkali mengundang banyak perdebatan yang berkepanjangan. Oleh karenanya,
bisa “dipahami” jika ilmu ekonomi dengan pendekatan behavioralistiknya,
memasukkan unsur moralitas adalah sebuah pilihan atau preferensi yang tidak
rasional. Jika moralitas dikaitkan dengan prinsip efisiensi, katakan saja, akan
menjadi faktor penghambat bagi tercapainya keuntungan yang maksimal. Mengenai
ini, nampaknya Sen mengakui bahwa memasukkan komitmen sebagai dasar
pertimbangan preferensi tindakan manusia bisa menorehkan sebuah retakan antara
pilihan pribadi dengan keuntungan pribadi, di mana keduanya merupakan variable
signifikan dalam mengukur konsistensi perilaku manusia.

Kendati demikian, bagi Sen, hal ini tidak bisa dijadikan pembenar bahwa komitmen
yang mengandaikan moralitas tertentu dikeluarkan sebagai dasar asumsi dalam
mengonsepsikan manusia di dalam ilmu ekonomi. Dengan mengutip Harsanyi, Sen
berpendirian bahwa komitmen tetaplah penting dimasukkan sebagai pertimbangan
tindakan rasional manusia, yaitu sebagai preferensi etis. Hanya saja, dengan
preferensi etis ini, Sen tidak mengandaikan bahwa ada suatu tingkatan-tingkatan
moral tertentu, bahwa terdapat suatu moral tertentu yang paling layak dijadikan
dasar bagi manusia bertindak, melainkan sebuah meta-ranking. Meta-ranking di sini
– dalam penggambaran Sen – merupakan suatu struktur diskursif-praktis yang
terbuka, yang lebih kaya, yang memungkinkan adanya upaya mendialogkan ragam
moralitas dan tindakan. Klaim moral sebagai preferensi etis yang dihasilkan dari
struktur ini pun bukan suatu klaim moral yang mapan, akan tetapi suatu klaim
moral yang masih terus berproses. Artinya sangat dimungkinkan terjadinya
perubahan demi terbentuknya preferensi etis yang lebih baik dan tinggi. Pada
gilirannya, dengan adanya struktur yang demikian, maka kita dapat malampaui
pandangan yang mendikotomikan perilaku manusia secara dikotomis, yaitu antara
egoistik dan utilitarianistik, antara self-interest dan other interest.

Penutup

Dalam ilmu ekonomi, self-interest dimaknai sebagai preferensi kalkulatif untung-rugi


untuk mencapai keuntungan maksimal individu. Pengertian konsep ini diakui
sebagai konsep yang sudah teruji dan mapan sehingga konsep ini dijadikan dasar
asumsi teoritik bagi kebanyakan ekonom dalam menganalisis tindakan manusia.
Lebih dari itu self-interest bukan hanya menjadi prinsip konstitutif bagi teori-teori
ekonomi, akan tetapi sekaligus menjadi fokus kajian. Dengan kata lain ilmu ekonomi
pada dasarnya adalah studi mengenai pengembangan self-interest itu sendiri.

Meksi dalam ilmu ekonomi self-interest memperoleh pengertian konseptual yang


terang-benderang, tapi pada saat yang sama perjalanan diskursif yang panjang dari
konsep self-interest seolah mandek di situ. Konsep self interest melulu
diinterpreasikan secara parsimonik sebagai tindakan kalkulatif-individual tentang
untung-rugi tadi.

Kehadiran Amartya Sen seperti kembali memberikan ruang bagi upaya meninjau
kembali konsep self-interest itu, dengan pernyataannya bahwa konsep self-interest
tidak cukup memadai dalam memahami tindakan manusia dan bagaimana sebuah
masyarakat tertata. Bagi Sen, konsep self-interest hanya bisa memadai untuk
menjelaskan tindakan manusia dalam konteks pemenuhan kebutuhan privat.
Sementara untuk pemenuhan kepentingan atau kebutuhan publik, ada yang lebih
penting dari sekedar self-interest, yaitu komitmen. Tidak berlebihan kiranya jika kita
katakan, pemikiran Amartya Sen mengenai komitmen telah memberi pukulan telak
bagi konsep self-interest yang telah berurat-akar dalam teori ekonomi.

Yang menarik dari Sen, meski konsep komitmen dipromosikan sebagai preferensi
etis dalam tindakan manusia, namun tidak membuat Sen terjebak pada moralisme
yang ujung-ujungnya bisa menyeretnya pada dogmatisme moral. Ini terlihat ketika
Sen sendiri menolak pengandaian adanya hierarki moral tertentu untuk dijadikan
preferensi. Sebaliknya, melainkan manawarkan suatu struktur terbuka yang
memungkinkan adanya dialog antara etika dengan self-interest sebagai tindakan
kalkulatif. Struktur terbuka yang dimaksudkan Sen ini kiranya lebih mendekati tepat
kalau diinterprestasikan sebagai demokrasi politik.***

Wildan Pramudya, Aktif di LP3ES Jakarta, serta mengajar di fakultas Psikologi


Universitas Indonusa Esa Unggul, Jakarta.

Kepustakaan:
Force, Pierre, Self-Interest as a first principle, dalam Self-Interest Before Adam
Smith. A Genealogy of Economics Science. (Cambridge: Cambridge University
Press,2003).

Hirschman, Albert O., Passion and Interest. Political Argument for Capitalism before
its Triumph (Princeton: Princeton University Press,(1977) 1977).

Hirschman, Albert O., The Concept of Interest: From Euphemism to Tautology, dalam
Rival Views of Market Society and Other Recent Essays (New York: Elisabeth Sifton
Books, 1986)

Hollis, Martin and Edward J. Nell, Rational Economic Man. A Philosophical critique of
Neo-classical Economics. (London: Cambridge University Press, 1975).

Rogers, Kelly, (ed), Self-Interest. An Anthology of Philosophical Perspective (New


York & London: Routledge, 1997).

Sen, Amartya K., Rational Fools: A Critique of the Behavioral Foundations of


Economics Theory. Philosophy and Public Affairs, Vol.6, No.4 (Summer, 1977).

Sen, Amartya, Development as Freedom (New York: Knoff, 1999).

You might also like