Professional Documents
Culture Documents
OLEH:
DJOKO SARYONO
1
2
BAB 1
PENGERTIAN NILAI BUDAYA JAWA
BAB 2
SUMBER PEMBENTUKAN NILAI BUDAYA JAWA
ALAM SEMESTA
AGAMA TERTENTU
Awak-awak wangsulana,
pita-konku marang sira,
saka ngendi sira iku,
34
Cobalah jawab,
jawablah dengan jelas,
di manakah hidupmu,
sehari-hari sekarang.
juga jangan bersikeras pada hak atau kehendak atau pendapat, harus
bersedia merelatifkan sikap dan pendirian sendiri dengan
memperhatikan sikap dan pendirian semua pihak, tahu diri dan
sadar akan batas diri sendiri, mampu merelakan atau mengikhlaskan
pendirian sendiri, dan mampu menyesuaikan diri. Jika manusia
Jawa memiliki kesanggupan merealisasikan hal-hal tersebut, maka
dia dapat dikatakan sudah mencapai derajat ketanpapamrihan dan
menjadi manusia tanpa pamrih.
Agar lebih jelas, NRJ yang sudah diuraikan di atas dapat dilihat
dalam Tabel 3.2 berikut ini.
KARAKTERISTIK NILAI FILOSOFIS JAWA
sesuatu yang bener belum tentu pener dan sebaliknya. Sesuatu yang
bener dan pener sekaligus disebut (wis) pas, (g/m)athuk, cocog,
trep, atau mathis (sudah pas dan cocok) oleh manusia Jawa. Dengan
kata lain, ke-ma-thuk-kan atau ke-ganthuk-an yang berisi ke-bener-
an dan ke-pener-an menjadi kaidah filosofis segala sesuatu,
misalnya formula (yang secara tersurat tampak paradoksal),
misalnya ngono yo ngono ning ojo ngono, luhur datan ngungkul-
ungkuli an-dap tan kena inungkulan, kang kena iwake aja kongsi
butek banyune, me-rupakan ekspresi kaidah ke-bener-an yang
esensial (yaitu frasa ngono yo ngono, luhur datan ngungkul-
ungkuli, kang kena iwake) dan kaidah ke-pener-an yang kontekstual
(yaitu ning mbok ojo ngono, andap tan kena inungkulan, aja kongsi
butek banyune). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa NFJ
merupakan nilai yang bersangkutan dengan keterikatan pada
kebenaran dan ketepatan (ke-bener-an dan ke-pener-an) segala
sesuatu yang diperlukan oleh manusia Jawa untuk mencapai derajat
keselamatan dan kesempurnaan hidup dan kehidupan. Segala
sesuatu di sini dapat berupa seluruh fenomena diri manusia maupun
alam semesta, misalnya pikiran, pandangan, ucapan, dan perilaku
manusia atau keadaan dan sifat alam semesta.
Bagi manusia Jawa, segala sesuatu yang sudah benar dan tepat
atau sudah sesuai dengan ukuran kebenaran dan ketepatan adalah
sesuatu yang mapan, selaras, dan bersama (wis mapan, wis laras,
wis mathon, wis gathuk, wis jumbuh, lan wis jodho). Sesuatu yang
belum dan atau tidak mapan, tidak selaras, dan tidak bersama
dipandang sebagai sesuatu yang belum dan atau tidak benar dan
tidak tepat. Sebagai contoh, sikap-perilaku orang kaya yang kikir
dan loba dipandang tidak benar dan tidak tepat karena
menggambarkan atau memancarkan ketidakmapanan,
ketidakselarasan, dan ketidakbersamaan. Di samping itu, hal
tersebut juga melanggar kaidah normatif ngono yo ngono ning
mbok ojo ngono yang selanjutnya dapat mengganggu kemapanan,
keselarasan, dan kebersamaan. Meskipun demikian, menurut BJ,
menjadi kaya dianggap benar, bener, tetapi jika kemudian menjadi
kikir dan loba dianggap tidak tepat, (ng)gak pener; yang tepat,
pener, adalah menjadi dermawan dan baik hati. Hal terakhir ini
sesuai dengan kaidah normatif ngono yo ngono ning mbok ojo
ngono yang selanjutnya akan dapat menjaga dan melindungi
kemapanan, keselarasan, dan kebersamaan. Di sinilah dapat
dikatakan bahwa kebenaran dan ketepatan menurut pandangan
filosofis Jawa adalah kemapanan, keselarasan, dan kebersamaan.
Lebih lanjut, kemapanan, keselarasan, dan kebersamaan ini akan
memungkinkan dicapainya keselamatan dan kesempurnaan hidup
dan kehidupan manusia Jawa. Berdasarkan hal tersebut, dapat
disimpulkan bahwa intisari NFJ terpusat pada nilai kemapanan,
keselarasan, dan kebersamaan.
Lesung jumengglung
yo pada makarya
nuli mbal-imbalan.
anyingkiri sumangkeyan
dir angunggulaken sarira
sumenggah kumalungkung
kuminter lan kumasura
sosongaran anggunggung badan pribadi
ladak angicak-icak
isine liyan, ora ngisin-isin liyan, ora marake kelangan rai, njaga
prajane liyan). Selain itu, roso kamanungsan dan nguwongake
ditandai oleh sikap dan tindakan membantu derita orang lain,
melindungi orang lain, dan menjaga [melindungi] harga diri orang
lain (bandingkan Hardjowirogo, 1984:104). Dengan demikian,
diharapkan nilai kemanusiawian, roso kamanungsan dan
nguwongake, dapat difungsionalkan, dipertahankan, dan dipelihara.
Selanjutnya, nilai ke-melindungi-an manusia Jawa di sini
berkenaan dengan kesedian dan kesanggupan manusia Jawa untuk
menjaga, merawat, memelihara, dan bahkan menyelamatkan
manusia lain dalam hidup dan ke-hidupan (bandingkan Kamus
Besar Bahasa Indonesia, 1993:526). Nilai kemelindungian ini
merupakan konsekuensi logis nilai kecintaan dan kemanusiawian
manusia Jawa. Dikatakan demikian karena kecintaan dan kema-
nusiawian menyiratkan kesanggupan melindungi, tidak
mencelakakan orang lain; jadi, kecintaan dan kemanusiawian
membayangkan ke-melindungi-an. Dalam BJ, intisari (lokus) ke-
melindungi-an ini termanifestasi dan tereks-ternalisasi dalam
konsep sekaligus ajaran ayom [ngayomi], among [ngemong], dan
asuh [ngasuh]. Setiap manusia Jawa hendaknya mampu mere-
alisasikan ayom, among, dan asuh dalam hidup dan kehidupan
sehari-hari (mampu mengayomi, mengemong, dan mengasuh).
Seorang pemimpin Jawa, misalnya, harus mampu mengayomi
(ngayomi) atau memberikan peng-ayom-an kepada rakyatnya. Di
samping itu, setiap manusia juga harus dapat merasa diayomi, dan
diemong oleh pemimpin. Dengan kata lain, setiap manusia Jawa
hendaknya merasakan suasana penuh ayom, among, dan asuh pada
satu pihak dan pada pihak lain hendaknya selalu menjaga,
mempertahankan, dan mengupayakan secara terus-menerus
terpeliharanya suasana tersebut dalam hidup dan kehidupan sehari-
hari. Untuk itu, setiap manusia Jawa perlu memperhatikan orang
lain, ringan tangan menolong orang lain, dan mampu “mengelola”
keadaan bersama (among mangsa). Dengan demikian, ke-
melindungi-an dapat diwujudkan, difungsionalkan, dan
dipertahankan untuk melestarikan kekasihsayangan.
Agar lebih jelas, NEJ yang telah diuraikan di atas dapat dilihat
dalam Tabel 3.3 berikut ini.
Dalam pada itu, berbeda dengan nilai estetik Jawa, nilai estetik
Barat merupakan manifestasi atau ekspresi estetika kedinamikan-
kemajuan-keindividualan. Maksudnya, unsur dinamika yang
individual dan maju yang diutamakan dalam nilai estetik Barat.
Sebagai ekspresi estetika persamaan atau estetika kemapanan-
keselarasan-kebersamaan yang tidak mengedepankan jarak estetis,
yang diutamakan dalam NTJ atau keindahan dan keelokan menurut
98
EPILOG
110