You are on page 1of 110

SOSOK NILAI BUDAYA JAWA:

SEBUAH REKONSTRUKSI NORMATIF

OLEH:
DJOKO SARYONO

1
2

BAB 1
PENGERTIAN NILAI BUDAYA JAWA

HARUS DIAKUI, MEMANG CUKUP SULIT MERUMUSKAN


pengertian nilai budaya Jawa (selanjutnya disingkat NBJ) yang luas,
komprehensif, dan holistis yang mampu mengatasi, meliputi, atau
merangkum segenap sendi historisitas, geopolitik, dan geokultural
budaya Jawa. Kesulitan atau ketidakmudahan ini minimal
disebabkan oleh tiga hal. Hal pertama adalah bahwa pendukung
atau pemangku budaya Jawa — yang disebut etnis atau manusia
Jawa — sekarang tersebar luas secara keruangan [spasial] dan sosial
karena perkembangan dan perubahan demografis, spasial, sosial,
ekonomi, dan politik. Berkat adanya transmigrasi, migrasi,
urbanisasi, persebaran pertumbuhan ekonomi, dan kebijakan politik
lain dari pemerintah kolonial Belanda dan negara-bangsa Indonesia,
misalnya, mereka [baca: pendukung budaya Jawa] sudah menyebar
ke berbagai daerah Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Irian Jaya, dan
lain-lain. Mereka sudah tidak sepenuhnya mengartikan falsafah
mangan ora mangan kumpul secara fisikal-skriptural, melainkan
lebih secara rohaniah-hermeneutis, sehingga — misalnya — tradisi
mudik berkembang pesat di kalangan manusia Jawa. Maka,
akibatnya, pengertian yang bertolak dari historisitas, geopolitik, dan
geokultural Jawa tertentu sudah tidak mampu merangkum
seluruhnya. Sebagai contoh, pengertian yang bertolak dari sejarah,
geopolitik, dan geokultural Kerajaan Mataram-Islam atau
Yogyakarta-Solo sudah tidak mampu merangkum dan menampung
seluruh fenomena budaya Jawa – yang sekarang sudah demikian
njelimet. Hal kedua adalah bertahan dan kuatnya pandangan yang
melihat budaya Jawa menurut satuan waktu tertentu dan satuan
wilayah tertentu; satuan historis dan satuan geokultural tertentu. Hal
ini mengakibatkan timbulnya pandangan bahwa yang dimaksudkan
dengan budaya Jawa terbatas pada budaya yang berkembang
sebelum terbentuknya negara-bangsa Indonesia di wilayah-wilayah
utama atau lingkaran konsentris (bekas) kerajaan Mataram. Maka,
akibatnya, budaya yang berkembang di wilayah Pesisir dan di
kalangan manusia Jawa yang memeluk Islam [juga agama lain]
secara sungguh-sungguh (atau — meminjam jargon istilah Orde
Baru — secara murni dan konsekuen), sebagai contoh, jarang
dipandang sebagai sebuah sosok budaya Jawa; tidak sah sebagai
budaya Jawa. Hal ketiga adalah bahwa secara real atau das sein, in
concreto, budaya Jawa terus-menerus berproses, berdialektika,
berdinamika, dan atau berubah sosok, bentuk, format, dan atau
strukturnya sampai sekarang seiring dengan perubahan dan
perkembangan spasial, demografis, sosial, ekonomi, wilayah, dan
politik masyarakat Jawa. Maka, setiap pengertian budaya Jawa yang
dirumuskan pada dasarnya merupakan konstruk teoretis atau
normatif yang sangat bergantung pada dasar atau sosok-bentuk-
format-struktur fenomena budaya yang ditangkapnya.
Rumusan-rumusan pengertian NBJ yang sekarang ada sudah
tentu kebanyakan bersifat terbatas dan atomistis. Sebagai contoh,
pengertian yang dikemukakan oleh Magnis-Suseno dalam Etika
Jawa dalam Tantangan (1983) dan Etika Jawa (1984) tampak
bersifat terbatas dan atomistis karena NBJ hanya diartikan dengan
rujukan keraton Solo-Yogya (mandala negarigung) dan semangat
pra-Islam [baca: Hindu-Budha]. Apa yang berada di luar lingkaran
konsentris ciptaan penguasa Mataram dan semangat sesudah Islam
tampak kurang dipertimbangkan oleh Magnis-Suseno. Hampir sama
dengan Magnis-Suseno, pengertian yang dikemukakan oleh
Hadiwijono dalam Konsepsi tentang Manusia dalam Kebatinan
Jawa (1983) terbatas dan atomistis juga karena NBJ hanya diartikan
dengan rujukan Solo-Yogya (mandala negarigung) dan semangat
pra-Islam (semangat Hindu-Budha dan animistis) dan — apa yang
biasa disebut — Islam nominal ( Islam Abangan). Demikian juga
pengertian yang dikemukakan oleh Hardjowiraga dalam Manusia
Jawa (1984). Hal yang sama juga dikemukakan oleh Mulder dalam
4

buku Kebatinan dan Hidup Sehari-hari Orang Jawa:


Kelangsungan dan Perubahan Kulturil (1983) dan Pribadi dan
Masyarakat di Jawa (1985). Pengertian-pengertian ini hanya dapat
menjangkau (bekas pusat kerajaan Mataram (atau biasa disebut
dengan lingkaran konsentris mandala negarigung) dan hanya
mewadahi sebagian fenomena budaya etnis Jawa karena hanya
golongan tertentu — dalam hal ini golongan priyayi — yang
dijadikan rujukan utama. Kemudian pengertian yang dikemukakan
oleh Moertono dalam Negara dan Usaha Bina-Negara di Jawa
Masa Lampau (1985) dan Laksono dalam Tradisi dalam Struktur
Masyarakat Jawa: Kerajaan dan Pedesaan (1985) — meskipun
sudah sedikit lebih luas daripada pengertian di atas — terpusat pada
wilayah utama atau inti lingkaran konsentris (bekas) kerajaan
Mataram yang lazim disebut daerah Kejawen (yang hanya meliputi
daerah Banyumas, Bagelan, Madiun, Kediri, Yogyakarta, dan
Surakarta) atau yang oleh Belanda disebut vorstenlanden.
Selanjutnya, meskipun modelnya sudah banyak mendapat
kritik, pengertian yang dikemukakan oleh Geertz dalam Abangan,
Santri, dan Priyayi dalam Masyarakat Jawa (The Religion of Java)
(1960; 1983) relatif lebih luas dibandingkan dengan pengertian-
pengertian di atas. Pengertian (Clifford) Geertz tentang NBJ sudah
merangkum pelbagai kalangan religiokultural dan sosiokultural
serta menjangkau wilayah di luar lingkaran pusat kerajaan Mataram
(dalam hal ini wilayah yang biasa disebut mandala mancanagari
atau sabrang wetan). Pengertian yang relatif sama dikemukakan
oleh (Hildred) Geertz dalam Keluarga Jawa (The Javanese Family)
(1960; 1983). Demikian juga pengertian yang dipakai oleh
Anderson dalam Gagasan tentang Kekuasaan dalam Kebudayaan
Jawa (The Idea of Power in Javanese Culture) (1972), Ali dalam
Refleksi Paham “Kekuasaan Jawa” dalam Indonesia Modern
(1986), dan Burger dalam Perubahan-perubahan Struktur dalam
Masyarakat Jawa (1983). Meskipun sudah cukup luas dan lebih
komprehensif, harus dinyatakan di sini bahwa pengertian-
pengertian tersebut belum sebanyak-banyaknya dan seluas-luasnya
menang-kap dan menampung kemungkinan variasi (keberagaman)
regional-geografis, historis, sosiologis, dan kultural yang pada
dasarnya merupakan manifestasi, artikulasi, dan eksternalisasi
budaya Jawa yang diidealkan, dicitrakan, dan dicitakan oleh
segenap manusia Jawa.
Pengertian NBJ yang dipakai oleh Ricklefs dalam Sejarah
Modern Indonesia (1991) sudah relatif luas dan menyeluruh
walaupun Ricklefs tidak menyatakannya secara eksplisit – hanya
tersirat dalam cakupan dan paparan bukunya. Begitu juga
pengertian NBJ yang dipakai oleh Kartodirdjo dalam Pengantar
Sejarah Indonesia Baru I: Dari Emporium sampai Imperium (1992)
dan Pengantar Sejarah Indonesia Baru II: Dari Kolonialisme
Sampai Nasionalisme (1993) tergolong luas karena sudah mencoba
memasukkan variasi regional, historis, dan sosiologis. Pengertian
yang relatif sama juga dikemukakan oleh Simuh dalam Sufisme
Jawa: Transformasi Tasawuf Islam ke Mistik Jawa (1995) karena
variasi-variasi historis dan religiokultural sudah dipertimbangkan.
Meskipun demikian, ketiga pengertian tersebut belum menampung
sebagian besar variasi regional-geografis, historis, sosiologis, dan
religiokultural budaya Jawa yang secara real ada. Pengertian yang
mencoba menampung dan memasukkan variasi regional, historis,
sosiologis, dan religiokultural sekaligus telah dicoba dikemukakan
oleh Koentjaraningrat dalam Kebudayaan Jawa (1984) dan
Lombard dalam Nusa Jawa: Silang Budaya, Batas-Batas
Pembaratan [Jilid I] (1996), Nusa Jawa: Silang Budaya, Jaringan
Asia [Jilid II] (1996a), dan Nusa Jawa: Silang Budaya, Warisan-
warisan Kerajaan Konsentris [Jilid III] (1996b). Meskipun
didasarkan pada konsepsi Redfield, di sini Koentjaraningrat
meng(k)onsepsikan budaya Jawa sebagai budaya yang (i) secara
regional berasal dan berkembang di wilayah yang sekarang disebut
Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan sebagian Jawa Barat
(mandala negarigung, mancanagari, tanah sabrang wetan,
6

surabaya, pesisir wetan, pesisir kilen, dan banyumasan), (ii) secara


historis merangkum masa pra-Hindu-Budha, masa Hindu-Budha,
masa Kerajaan Islam, masa Kolonialisme, dan masa Negara-bangsa
Indonesia, dan (iii) secara [sosio dan religio]kultural mencakupi
santri, abangan, priyayi, dan orang kecil (wong cilik) yang secara
perenial bisa dikatakan memiliki — apa yang diistilahkan oleh
Smith (1985) dalam filsafat perenialnya (philosophia perennis atau
perennial philosophy) — pesan dasar atau visi dasar (the common
vision) yang relatif sama. Uraian secara lebih terperinci dan luas,
meskipun dengan peristilahan dan penataan gagasan berbeda, telah
dikemukakan oleh Lombard. Pada dasarnya, Lombard berpendapat
bahwa BJ merupakan sebuah budaya yang selama dua ribu tahun
memperoleh warisan-warisan kerajaan konsentris, (pengaruh)
jaringan Asia (India dan Cina), dan pengaruh oksidentalisasi yang
berpusat di Pulau Jawa. Kendati umum, konsepsi ini dapat
dikatakan sudah relatif luas dan menyeluruh serta berimbang yang
sudah menangkap dan bisa menampung serta memasukkan
sebanyak-sebanyaknya, seluas-luasnya, dan sedalam-dalamnya
fenomena budaya Jawa.
Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa NBJ
adalah :

(a) NB yang dipangku, dipeluk, dan diikuti oleh manusia Jawa


(etnis Jawa) dalam pengertian seluas-luasnya;
(b) yang secara genealogis-regional tumbuh dan berkembang di
wilayah (yang sekarang disebut) Jawa Tengah, Yogyakarta,
Jawa Timur, dan sebagian Jawa Barat serta wilayah-wilayah
lain di luar Jawa;
(b) dan yang secara historis mencakup masa sebelum Hindu-Budha
sampai dengan masa Negara-bangsa Indonesia sekarang.

NBJ tersebut dipangku, dipeluk, dan diikuti baik oleh golongan


santri dan abangan maupun oleh golongan priyayi dan orang kecil
yang bertempat tinggal di pedesaan dan di perkotaan. Di samping
itu, NBJ tersebut dipangku, dipeluk, dan diikuti oleh orang Jawa
yang berasal dari berbagai agama [Hindu, Budha, Islam, Katolik,
dsb.], strata sosial [kelas atas, kelas menengah, dan kelas bawah],
dan tempat tinggal [perdesaan, perkampungan, dan perkotaan].
Pengertian luas, menyeluruh, dan “longgar” ini perlu diberi dua
buah catatan. Catatan pertama adalah bahwa pengertian tersebut
mengimplikasikan adanya variasi-variasi NBJ. Lebih lanjut, hal ini
berarti bahwa in concreto atau das sein dalam kehidupan sehari-hari
terdapat kemajemukan atau keragaman NBJ sebagai wujud-wujud
subkultur NBJ. Meskipun demikian, variasi-variasi atau keragaman
itu semuanya berfungsi menyangga dan mendukung keberadaan
dunia Jawa (pandangan dunia, mitologi, dan kosmologi Jawa)
karena secara perenial memuat pesan dasar yang sama. Dengan kata
lain, secara perenial – meminjam konsep dalam filsafat perenial –
semua variasi NBJ baik variasi historis, sosiologis maupun kultural
relatif sama pada tingkat pesan dasar atau visi terdalam BJ.
Dikatakan demikian karena pesan dasar atau visi terdalam BJ
merupakan common platform bagi NBJ. Catatan kedua adalah
bahwa NBJ yang dipangku, dipeluk, dan diikuti oleh manusia Jawa
yang sekarang sudah keluar dari wilayah asal-usul budaya Jawa
masih dapat disebut atau digolongkan sebagai NBJ selama memiliki
substansi yang relatif sama dengan NBJ pada umumnya. Maka,
nilai budaya yang diikuti oleh orang Jawa di Tondano, di Suriname,
dan di berbagai daerah transmigrasi di Indonesia masih dapat
disebut NBJ. Oleh berbagai peneliti pun nilai-nilai mereka masih
dianggap NBJ di perantauan. Oleh karena itu, keberadaan dan sosok
NBJ tidak harus didasarkan atas kenyataan geokultural dan regional
semata-mata, tetapi pertama-tama perlu didasarkan atas
karakteristik umum yang secara sistemis dan sistematis melekat
padanya yang pada dasarnya merupakan pesan dasar atau visi
terdalam BJ. Hal ini dapat diketahui dengan melihat BJ dari
perspektif perenial atau berdasarkan paradigma filsafat perenial.
8

BAB 2
SUMBER PEMBENTUKAN NILAI BUDAYA JAWA

URAIAN IHWAL SUMBER PEMBENTUKAN NBJ INI didasarkan


pada perspektif sekarang. Artinya, tempat dan waktu sekarang
dijadikan dasar mempersepsi dan melihat sumber pembentukan
NBJ. Secara teoretis, sumber pembentukan NBJ ini bisa berasal dari
dalam (sumber internal) dan bisa dari luar (sumber eksternal) BJ.
Sumber internal merupakan hasil penemuan (discovery), penciptaan
(invention), dan pembaharuan (inovation) sistem nilai, sistem sosial,
dan sistem material baru. Akan tetapi, hampir-hampir tidak ada atau
tidak tersedia dokumen atau wacana yang dapat memberikan
petunjuk adanya penemuan dan penciptaan dalam BJ sehingga BJ
terkesan tidak mempunyai kreativitas dan inovasi atau invensi
budaya secara internal. Yang banyak adalah dokumen atau wacana
yang memberikan petunjuk adanya pencerahan dan pembaharuan
dalam budaya Jawa untuk menyambut, menjawab, dan menanggapi
sesuatu yang datang dari luar, misalnya buku Nusa Jawa: Silang
Budaya yang ditulis oleh Lombard yang terdiri atas tiga jilid.
Sementara itu, sumber eksternal merupakan hasil masuknya suatu
budaya, agama, dan lain-lain ke dalam BJ yang kemudian disaring,
disuling, disesuaikan, dan diserasikan sedemikian rupa sehingga
terpadu dengan BJ (simak Lombard, 1996; Simuh, 1995). Jadi,
sumber eskternal itu mengalami baik akulturasi, inkulturasi,
maupun sinkretisasi dalam NBJ.
Baik sumber internal maupun eksternal setidak-tidaknya dapat
berupa (i) alam semesta, (ii) kebajikan dan ajaran pribadi manusia
tertentu, (iii) mistisisme atau kepercayaan dan kebatinan, (iv) agama
tertentu, (v) sistem budaya tertentu. Penggolongan ini hanya
merupakan pembedaan, bukan pemisahan. Sebabnya, kelima
golongan sumber tersebut bisa saling berhubungan, bahkan saling
bercampur. Misalnya, sistem budaya tertentu masuk ke dalam BJ
bersama dengan agama tertentu, misalnya sistem budaya India
datang ke Jawa dibawa oleh Hindu; mistisisme tertentu datang ke
BJ bersama agama tertentu: tasawuf Islam datang ke Jawa bersama
dengan agama Islam; kebajikan dan ajaran pribadi tertentu
menjelma menjadi NBJ karena terlembaga ke dalam aliran
kepercayaan-kebatinan: kebajikan dan ajaran R.P.S. Sastrosuwigyo
(Rama Resi Pran-Suh) melembaga ke dalam aliran kepercayaan
agama PranSuh sehingga kemudian menjelma menjadi NBJ.
Meskipun demikian, dengan tidak melihat cara datangnya ke Jawa
atau asal-usulnya dan prosesnya, kelima sumber tersebut dapat
dibedakan atau digolongkan secara berbeda. Demikian juga kadar,
taraf, kuantitas, dan intensitas pemanfaatan dan pemungsian kelima
sumber tersebut sebagai sumber pembentukan NBJ tidaklah sama
karena berbagai faktor historis, demografis, sosial, kultural,
(geo)politis, dan geografis. Di samping itu, kelima sumber tersebut
tidaklah hierarkis, kronologis, dan hiponimis, tetapi dapat pula
koordinatif dan paralel atau sejajar. Kelima sumber tersebut
diuraikan lebih lanjut berikut ini.

ALAM SEMESTA

Bagi orang (manusia) Jawa, alam semesta merupakan dunia


keseluruhan yang mencakup konsep dunia dan alam (Mardimin,
1994:66). Alam semesta ini disikapi dan disifati oleh manusia Jawa
secara berbeda-beda, bergantung orientasi nilai dan keyakinan
komunitasnya, misalnya komunitas orang Jawa beragama Islam,
komunitas orang Jawa beragama Hindu, komunitas orang Jawa
beragama Kristen Jawi Wetan, komunitas orang Jawa berkeyakinan
Kejawen, berpenghayat kepercayaan kepada Tuhan Yang Mahaesa,
dan lain-lain. Tetapi, semua komunitas orang Jawa pada dasarnya
berpandangan bahwa alam semesta bersifat spiritual, bahkan
kadang-kadang sakral dan transeden. Bagi orang Jawa, alam
10

semesta ini merupakan lingkungan hidupnya (Ciptoprawiro, tanpa


tahun). Menurut Ciptoprawiro, sesuai dengan dimensi manusia
Jawa yang meliputi (i) dimensi raga, (ii) dimensi jiwa, dan (iii)
dimensi jiwa [suksma], dalam BJ, alam semesta diklasifikasikan
menjadi (i) alam lahir (material), (ii) alam batin, dan (iii) alam gaib.
Alam lahir terdiri atas (i) alam benda dan alam biologi yang dapat
ditangkap oleh panca indera, berupa benda tumbuh-tumbuhan dan
hewan, dan (ii) alam sesama manusia atau sosial yang diawali dari
kehidupan keluarga sampai dengan kehidupan masyarakat.
Kemudian alam batin merupakan penghayatan psikologis Aku-
manusia terhadap kekuatan-kekuatan di dalam dirinya, yang dapat
terdiri atas nafsu-nafsu naluriah, pelbagai keinginan, rasa diri,
kemampuan cipta-rasa-karsa, dan suara batin. Selanjutnya, alam
gaib yang spiritual merupakan alam di luar jangkauan panca indera,
yang meliputi adanya Tuhan, dewa-dewa, malaikat, jin-jin, roh-roh,
dan sejenisnya. Alam lahir dan alam gaib dapat disejajarkan dengan
makrokosmos (jagad gedhe, brahman), sedangkan alam batin dapat
disejajarkan dengan mikrokosmos (jagad cilik, atman). Jadi, alam
diartikan secara luas oleh manusia Jawa, tidak hanya terbatas hal-
hal fisik (material), tetapi juga hal-hal nonfisik (nonmaterial).
Alam semesta dalam arti seluas-luasnya tersebut merupakan
salah satu sumber yang penting bagi pembentukan NBJ. Terlepas
dari mana asal-muasalnya atau genealogisnya — apakah berasal
dari sumber internal ataukah dari sumber eksternal — watak, sifat,
tabiat, dan perilaku alam semesta tampak jelas diteladani dan
didulang oleh BJ untuk dijadikan NBJ. Hal ini dapat terjadi karena
— menurut Kayam (1987:23) — pada manusia Jawa ada rasa
keheranan, kekaguman, ketakjuban, dan bahkan ketidakberdayaan
melihat keteraturan, ketertiban, dan keajekan fenomena alam.
Keteraturan, ketertiban, dan keajekan fenomena alam membuat
manusia Jawa memaklumkan diri sebagai bagian alam semesta
sehingga membuat (BJ) NBJ lebih bersifat kosmosentris daripada
antroposentris. Penghormatan dan perlindungan (penjagaan)
terhadap alam semesta kemudian berkembang sangat kuat dalam
BJ. Perusakan, penodaan, penjarahan, dan lain-lain alam semesta
harus dihindari oleh manusia Jawa. Oleh karena itu, manusia Jawa
memiliki keterikatan, bahkan ketergantungan yang sangat kuat
terhadap alam semesta. Ungkapan memayu hayuning bawana, aja
nggege mangsa, dan sadhumuk bathuk sanyari bumi yen prelu den
tohi pati yang berasal dari masa agraris Jawa [menjaga keselamatan
dunia, jangan mendahului musim, dan sejengkal tanahpun kalau
perlu dibela sampai mati], misalnya, menyiratkan keterikatan atau
kelekatan manusia Jawa terhadap alam semesta karena alam
semesta merupakan salah satu sumber pembentukan NBJ-nya.
Demikian juga tradisi “pengobatan” Jawa yang menekankan konsep
jamu (jampi) [yang berkonotasi-antropologis alam] dan bukan obat
[yang berkonotasi-antropologis kimia], misalnya jamune opo,
jamonono, dan dijamoni dan bukan obate opo, obatono, dan
diobati, menyiratkan keterikatan manusia Jawa terhadap alam
semesta.
Oleh manusia Jawa, watak, sifat, tabiat, dan perilaku alam lahir
cukup banyak dimanfaatkan untuk sumber pembentukan NBJ baik
substansi NBJ maupun ekspresinya yang terdapat dalam
kepercayaan-kepercayaan, ritual-ritual, ritus-ritus, dan lain-lain.
Sebagai contoh, nilai-nilai etis dan filosofis untuk kepemimpinan
Jawa yang termuat dalam Asthabrata bersumberkan watak, sifat,
dan tabiat unsur-unsur alam lahir: matahari, bulan, api, bumi,
angin, bintang, dan air [Asthabrata ini sering juga disebut atau
dinyatakan berasal dari agama Hindu dan merupakan perlambangan
dewa-dewa Hindu, yang kemudian juga diserap oleh Islam-Jawa]
(simak Amir, 1991:101-102; Sudewo, 1992:531-552). Demikian
juga nilai etis bagi manusia jawa ada yang bersumber pada watak,
sifat, dan tabiat binatang. Di sini perlambangan [simbolisme]
binatang ditransformasikan sebagai nilai etis untuk watak, sifat, dan
tabiat manusia Jawa. Dalam buku Horoskop Jawa: Misteri Pranata
Mangsa karya Doyodipuro, 1995:574-576) disebutkan bahwa kera
12

melambangkan watak keras dan cemburuan, anjing melambangkan


sifat setia, tetapi rakus, kucing melambangkan sifat selalu
waspada, tikus melambangkan sifat cerdik, macan melambangkan
hati yang mudah terbakar, kambing melambangkan sifat penurut
yang sering ribut, dan sapi melambangkan sifat selalu siap
membantu orang lain. Demikian juga nilai filosofis dan etis BJ
lainnya disumberi oleh watak, sifat, dan tabiat alam lahir.
Pengetahuan-pengetahuan Jawa (Ngelmu Jawi atau Horoskop Jawa)
yang memuat aspek filosofis dan etis berbagai segi hidup dan
kehidupan manusia Jawa, misalnya rahasia kelahiran manusia Jawa,
ambisi manusia Jawa, kesuksesan karier manusia Jawa, rezeki
manusia Jawa, perjodohan manusia Jawa, perwatakan manusia
Jawa, dan kesehatan manusia Jawa, juga berhulu atau bersumber
pada alam lahir. Hal ini dapat disimak antara lain dalam buku Kitab
Primbon Betaljemur Adammakna dan Lukmanakim Adammakna
karya anonim serta Horoskop Jawa: Misteri Pranata Mangsa
susunan Ki Hudoyo Doyodipuro, 1995].
Di samping alam lahir, alam batin juga menyumberi
pembentukan NBJ. Pelbagai watak, sifat, dan tabiat unsur-unsur
alam batin — yang bisa berupa nafsu-nafsu, keinginan, rasa diri,
kemampuan cipta-rasa-karsa, dan suara batin telah menjadi sumber
pembentukan berbagai jenis NBJ. Penghayatan manusia Jawa akan
berbagai nafsu dalam dirinya mendorong terbentuknya nilai
filosofis dan nilai etis Jawa tertentu beserta dengan lambang dan
ritualnya. Kitab Primbon Betaljemur Adammakna dan Lukmanakim
Adammakna, misalnya, menunjukkan bagaimana penghayatan dan
pemahaman manusia Jawa atas unsur-unsur dirinya telah
mendorong terbentuknya pelbagai norma dan etiket yang
bersangkutan dengan perwatakan manusia, perilaku manusia, dan
sejenisnya. Demikian juga penggunaan kemampuan cipta-rasa-karsa
manusia Jawa, misalnya, telah membuahkan kesadaran
pancainderawi (aku), kesadaran hening, kesadaran suksma sejati
atau ingsun, dan kesadaran ilahi pada manusia Jawa. Kesadaran-
kesadaran ini kemudian membentuk nilai religius Jawa dan filosofis
Jawa; sebagaimana terungkap pada ungkapan dat kang tan kena
kinayangapa, cedhak tanpa senggolan adoh tanpa wangenan,
manunggal cipta-rasa-karsa, kawruh sangkan paran, mulih mula-
mula-nira, ngudi kasampurnan, dan ngudi kawicaksanan (Tuhan
sebagai zat yang tidak terbayangkan seperti apapun, yang dekat
tanpa tersentuh, dan yang jauh tanpa berbatas, kebersatuan atau
kemanunggalan cipta-rasa-karsa, pengetahuan ihwal keberangkatan
dan kepulangan manusia, pulang kepada pusat asal-mula
(keberangkatan) manusia, pencarian kesempurnaan, dan pencarian
kebijaksanaan). Demikianlah, alam batin manusia Jawa telah
menjadi sumber terbentuknya nilai tertentu baik substansinya
maupun ekspresinya dalam NBJ.
Selanjutnya, alam gaib yang bisa berisi jin, lelembut, roh halus,
roh cikal bakal pendiri desa, danyang, dan sejenisnya dipercayai
adanya dan peranannya oleh manusia Jawa. Alam gaib ini
merupakan bagian jagad gedhe manusia Jawa. Hal ini kemudian
menimbulkan “kepercayaan-kepercayaan” spiritual tertentu di
kalangan masyarakat Jawa. Lebih lanjut, “kepercayaan” ini
membuahkan nilai-nilai, lambang-lambang, ritual-ritual, dan
strategi-strategi tertentu di kalangan manusia Jawa. Lambang, ritual,
dan strategi pada dasarnya merupakan ekspresi, aktualisasi,
artikulasi, dan eksternalisasi nilai-nilai. Nilai religius, filosofis, dan
etis Jawa beserta ekspresinya bisa muncul dan berkembang
berdasarkan sumber alam gaib ini. Sebagai contoh, manusia Jawa di
sekitar Gunung Merapi yang mempercayai dan menghayati alam
gaib telah “membentuk atau mengkonstruksi” nilai religius,
filosofis, dan etis Jawa tertentu. Dijelaskan dalam buku Manusia
Jawa dan Gunung Merapi: Persepsi dan Sistem Kepercayaannya
(Triyoga, 1991) bahwa manusia Jawa di sekitar Merapi
mempercayai adanya dan peranan makhluk-makhluk halus, roh
cikal bakal pendiri desa-desa di sekitar Merapi, tempat-tempat
angker, dan binatang-binatang sakral. “Kepercayaan” dan
14

penghayatan ini membuahkan nilai religius, nilai filosofis, dan nilai


etis Jawa tertentu, antara lain nilai keadikrodatian atau
kesempurnaan, sangkan paraning dumadi [asal tujuan keberadaan],
keselarasan, kebersamaan, kebijaksanaan, dan kearifan. Nilai
religius, nilai filosofis, dan nilai etis Jawa ini termanifestasi,
teraktualisasi, terartikulasi, dan tereksternalisasi dalam pelbagai
tindakan atau perilaku ritual dan lambang, misalnya slametan,
labuhan, grebeg (Mulud) dan bersih desa serta pola adaptasi
terhadap Gunung Merapi. Contoh lain yang relatif sama juga
dikemukakan oleh Geertz (1983) dan Koentjaraningrat (1990b)
tentang kepercayaan terhadap alam gaib beserta segenap ritual dan
lambangnya. Jadi, demikianlah, alam gaib yang ditanggapi,
dipersepsi, dan “dipercayai” oleh manusia Jawa telah mendorong
terbentuknya NBJ tertentu (Ihwal NBJ ini diuraikan dalam bagian
di belakang).

KEBAJIKAN DAN AJARAN MANUSIA TERTENTU

Kebajikan dan ajaran hidup yang dikemukakan, diajarkan, dan


diteladankan oleh pribadi manusia (Jawa) tertentu bisa juga menjadi
sumber pembentukan NBJ. Kebajikan dan ajaran hidup banyak
pribadi tokoh “pe-ngembang dan pemekar hati dan jiwa” di Jawa,
misalnya guru, empu, ustadz (ustadzah), alim-ulama, pujangga,
pemimpin tertentu, dan penyebar agama di Jawa, dijadikan NBJ.
Pelbagai nilai religius, filosofis, etis, dan estetis Jawa, sebagai
contoh, bersumberkan kebajikan dan ajaran tokoh-tokoh semacam
ini. Kebajikan yang disampaikan oleh Empu Tantular yang
terungkap dalam ungkapan Bhinneka tunggal ika tan hana dharma
mangrwa (Berbeda nama dalam kesatuan itu tidak ada jalan atau
Tuhan yang dua) telah menjelma menjadi nilai religius Jawa dan
nilai etis Jawa, bahkan nilai etis Indonesia meskipun frasa tan hana
dharma mangrwa-nya telah hilang (dihilangkan?) (simak Sujamto,
1992:11-12). Kebajikan yang disampaikan oleh R.M. Sosrokartono,
kakak lain ibu Raden Ajeng Kartini, yang terungkap dalam
ungkapan sugih tanpa bandha, nglurug tanpa bala, menang tanpa
ngasorake (kaya tanpa harta, mendatangi tanpa laskar, menang
tanpa merendahkan martabat pihak yang kalah) telah menjelma
menjadi nilai filosofis Jawa dan nilai etis Jawa (simak
Sosrokartono, tanpa tahun; Kuntowijoyo, 1994:239-240). Pelbagai
kebajikan dan teladan H. Ahmad Dahlan dan KH Hasyim Asy'ari
telah menjelma menjadi pelbagai nilai religius, filosofis, dan etis
Jawa. Demikian juga kebajikan yang disampaikan oleh Ki Hadjar
Dewantoro yang terungkap dalam ungkapan ing ngarso sung
tulodho, ing madya mangun karso, tut wuri handayani, waspada
purba waseso [di depan memberi teladan, di tengah membangun
prakarsa, di belakang ikut mendampingi, waspada terhadap segala
bahaya] telah menjelma menjadi nilai etis Jawa, bahkan nilai etis
Indonesia (meskipun dalam konteks Indonesia frasa waspada purba
waseso yang mengunci keseluruhan ungkapan tersebut
sesungguhnya penting sekali keberadaannya justru telah hilang —
entah siapa yang telah menghilangkan).
Untuk mempertegas hal tersebut dikemukakan tiga contoh
sebagai berikut. Pertama, ajaran dan teladan yang disampaikan oleh
Ki Ageng Suryamentaram telah mendorong terbentuknya nilai
filosofis dan nilai etis BJ; sebagaimana tampak pada adanya
perkumpulan Suryamentaraman yang berusaha mengamalkan
pelbagai ajaran filosofis dan etis Ki Ageng Suryamentaram (simak
Adimassana, 1986). Demikian juga — contoh kedua — ajaran dan
teladan yang disampaikan oleh Walisongo telah menumbuhkan
pelbagai NBJ beserta lambang dan ritualnya. Sebagaimana
dijelaskan dalam buku Mengislamkan Tanah Jawa: Telaah atas
Metode Dakwah Walisongo karya Saksono (1995), di samping
menyebarkan agama Islam, para Walisongo juga menyampaikan
ajaran dan teladan kultural. Mereka menciptakan kitab-kitab falak,
kitab-kitab didaktis, dan bentuk-bentuk kesenian, antara lain Widya
Praddana, Nujum Ramal, Ngelmu Firasat, Pananggalaning
16

Ngelmu, dan puitika tembang macapat (sinom, maskumambang,


dandang-gula, pangkur, dan pucung). Selain itu, mereka mencipta
karya sastra yang berisi ajaran-ajaran religius, filosofis, dan etis,
misalnya Suluk Wujil karya Sunan Bonang. Semua ini kemudian
berkembang menjadi nilai religius Jawa, nilai filosofis Jawa, nilai
etis Jawa, dan nilai estetis Jawa. Selanjutnya, contoh ketiga, ajaran
dan teladan yang disampaikan oleh Kiai Sadrach juga telah ikut
membentuk NBJ yang dipeluk oleh kelompok tertentu orang Jawa
-- dalam hal ini kelompok orang Jawa yang memeluk Kristen Jawi
Wetan. Sebagai-mana diriwayatkan dalam buku Kiai Sadrach:
Riwayat Kristenisasi di Jawa karya Guillot (1985), Kiai Sadrach
merupakan orang pribumi Jawa pertama yang menjadi penyampai
agama Kristen di Jawa. Akan tetapi, ajaran dan teladan yang
diberikannya bukan murni [pure] Kristen, tetapi sebenarnya
merupakan ‘ramuan’ antara ajaran dan teladan Kristen, Jawa, Islam,
dan Hindu sehingga membuahkan ajaran dan teladan Jawa
kekristenan, misalnya Yesus adalah Ratu Adil, orang sakit harus
dibakari kemenyan dalam suatu upacara, dan penyembuhan orang
sakit dengan mantra. Pengikutnya yang sebagian besar petani Jawa
yang kurang mengenyam pendidikan formal menaati dan mengikuti
hal-hal yang diajarkan dan diteladankan Sadrach. Hal ini kemudian
membentuk nilai religius Jawa, nilai filosofis Jawa, dan nilai etis
Jawa di kalangan masyarakat petani pengikut Sadrach. Dikatakan
demikian sebab substansi ajaran dan teladan Sadrach lebih kuat
kejawaannya daripada kekristenannya sehingga Guillot
menyebutnya ajaran Kejawen Sadrach [bukan ajaran Kristen
Sadrach] (simak Guillot, 1985: 197-200). Berdasarkan contoh-
contoh ini dapatlah disimpulkan di sini bahwa kabajikan dan ajaran
pribadi tertentu manusia Jawa bisa menjadi sumber terbentuknya
pelbagai NBJ baik nilai religius Jawa, nilai filsosofis Jawa ataupun
nilai etis Jawa dan nilai estetis Jawa (Ihwal NBJ ini diuraikan dalam
pasal di belakang).
MISTISISME DAN ALIRAN KEPERCAYAAN-KEBATINAN

Ada berbagai pandangan tentang pengertian mistisisme,


kepercayaan, dan kebatinan. Pandangan pertama adalah pandangan
yang menganggap ketiganya sebagai mistisisme sebab ketiganya
bersubstansi dan bersangkutan dengan olah kerohanian dan
kejiwaan. Dalam buku Perkembangan Tasawuf dari Abad ke Abad
(1966), Hamka berpandangan demikian. Akan tetapi, pada
umumnya pemeluk kebatinan tidak mau disebut mistisisme atau
kepercayaan. Demikian juga pengikut mistisisme tertentu, misalnya
tasawuf Islam, tidak mau digolongkan ke dalam kepercayaan atau
kebatinan. Kemudian pandangan kedua adalah pandangan yang
menganggap ketiganya sebagai kebatinan. Hadiwijono adalah salah
seorang yang berpandangan demikian dalam buku Konsepsi tentang
Manusia dalam Kebatinan Jawa (1983). Dalam buku ini
Hadiwijono menggolongkan mistisisme Hindu-Jawa, mistisisme
Islam-Jawa, dan kebatinan masa kini (misalnya, Sapta Darma,
Paguyuban Sumarah, SUBUD, dan PANGESTU) ke dalam
pengertian kebatinan. Para penganut mistisisme Islam atau tasawuf
tidak setuju dengan pandangan ini karena tasawuf telah
dianggapnya sebagai salah satu jalan pemahaman dan pelaksanaan
agama Islam. Pandangan ketiga adalah pandangan yang
menyamakan kebatinan dengan kepercayaan pada satu pihak dan
pada pihak lain juga membedakan mistisisme dengan kepercayaan.
Subagya merupakan salah seorang yang berpandangan demikian
dalam Kepercayaan dan Agama (1990) [anehnya, dalam buku ini
dia justru selalu menggunakan istilah kebatinan, bukan kepercayaan
sebagai tertera dalam judulnya]. Selanjutnya, pandangan keempat
adalah pandangan yang membedakan ketiganya karena mistisisme,
kepercayaan, dan kebatinan me-miliki nuansa perbedaan-perbedaan
di samping beberapa kesamaan. El Hafidy dan Kartapradja
termasuk orang yang berpandang-an demikian sebagaimana terlihat
dalam bukunya, yaitu Aliran-aliran Kebatinan dan Kepercayaan di
18

Indonesia (1977) dan Aliran Kebatinan dan Kepercayaan di


Indonesia (1986).
Dalam risalah ini diikuti pandangan ketiga yang membedakan
pengertian mistisisme dengan aliran kepercayaan dan kebatinan
pada satu pihak dan pada pihak lain menyatukan pengertian
kepercayaan dengan kebatinan. Hal ini didasari oleh dua alasan.
Alasan pertama adalah bahwa pembedaan pengertian istilah
mistisisme dan kepercayaan serta kebatinan bisa mengurangi
kekaburan pengertian kelompok-kelompok olah batin dan olah jiwa
yang semuanya bersistem. Alasan kedua adalah bahwa istilah
mistisisme memang masih mungkin dibedakan pengertiannya
secara tajam dan ketat dengan aliran kepercayaan dan kebatinan
sehingga masing-masing bisa menjadi jelas keberadaan dan
sosoknya. Dengan dua alasan tersebut, di sini mistisisme diartikan
sebagai sistem paham yang mengajarkan cara-cara berhubungan
dengan Tuhan Yang Mahaesa secara langsung yang (mengklaim)
bertumpu pada agama tertentu secara jelas dan langsung, misalnya
mistisisme Kristen dan mistisisme Islam atau tasawuf beserta
segenap varian/alirannya, mistik Islam Kejawen; sedangkan aliran
kepercaya-an dan kebatinan disatukan karena pada mulanya istilah
kepercayaan memang dipakai untuk menggantikan istilah kebatinan
meskipun secara intuitif sering dirasakan berbeda. Di sini aliran
kepercayaan-kebatinan diartikan sebagai sistem paham yang
menghayati kepercayaan kepada ketuhanan yang mahaesa yang
sumber ajarannya datang dari manapun. Dengan kata lain,
mistisisme merupakan sistem paham kerohanian yang mengklaim
sebagai ekspresi pemahaman dan pelaksanaan ajaran agama
tertentu, misalnya Islam, sedangkan aliran kepercayaan-kebatinan
merupakan sistem paham kerohanian yang mengklaim
mempercayai dan menghayati Tuhan Yang Mahaesa tanpa
mengaitkan diri dengan agama tertentu. Jadi, istilah mistisisme di
sini dipakai untuk menunjuk tarekat Naqsyahbandiyah, Qodariah,
Kalwatiyah, dan sejenisnya yang berakar dan tumbuh di Jawa,
sedangkan istilah aliran kepercayaan-kebatinan dipakai untuk
menunjuk SUBUD, Ngelmu Sejati, Paguyuban Sumarah, dan
sejenisnya yang merupakan kreativitas lokal manusia Jawa atau
fenomena lokal BJ.
Mistisisme telah diketahui menjadi salah satu sumber andal
pembentukan NBJ. Mistisisme Hindu-Budha baik yang panteistis
maupun monistis — antara lain tantrisme (tantrayana) — telah
memberikan sumbangan besar bagi pembentukan NBJ. Dalam buku
Kalangwan: Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang (1983), dan
Manunggaling Kawula Gusti: Pantheisme dan Monisme dalam
Sastra Suluk Jawa (1991), Zoetmulder menguraikan sumbangan
mistisisme Hindu bagi pembentukan NBJ secara panjang lebar.
Demikian juga Pigeaud dalam buku Literature of Java (1967),
Hadiwijono dalam buku Konsepsi Manusia dalam Kebatinan Jawa
(1983) dan Simuh dalam buku Mistik Islam Kejawen Raden
Ngabehi Ranggawarsita (1986). Dalam hubungan ini, tasawuf
Islam baik yang panteistis maupun yang monistis justru telah
memberikan sumbangan yang sangat besar bagi pembentukan NBJ.
Hal ini sudah diuraikan oleh Zoetmulder dan Hadiwijono dalam
buku yang disebutkan di atas. Simuh dalam Sufisme Jawa:
Transformasi Tasawuf Islam ke Mistik Jawa (1995), Ardani dalam
buku Al-Quran dan Sufisme Mangkunegoro IV: Studi Serat-serat
Piwulang (1995), van Bruinessen dalam buku Kitab Kuning:
Pesantren dan Tarekat (1995), Sobary dalam buku Kebudayaan
Rakyat: Dimensi Politik dan Agama (1996), dan Florida dalam
Pada Tembok Keraton Ada Pintu: Unsur Santri dalam Dunia
Kapujanggan “Klasik” di Keraton Surakarta (1996) juga
menjelaskan secara panjang lebar dan mendalam ihwal sumbangan
besar tasawuf bagi pembentukan NBJ beserta segenap aspek
artikulasi dan eksternalisasinya. Dikemukakan oleh para ahli
tersebut bahwa tasawuf Islam (yang ortodoksi dan ortopraksis)
berkembang sangat suburnya baik di lingkungan pesantren maupun
di lingkungan keraton dan di masyarakat umum. Ciri ortodoksi
20

tasawuf Islam berkembang di lingkungan pesantren atau santri


secara menonjol sebagaimana tampak pada tarekat-tarekat di bawah
NU yang disebut Jam’iyah Ahl Al-Thariqah Al-Mu’tabarah Al-
Nahdliyah, tarekat Naqsyahbandiyah, tarekat Qadiriah, tarekat
Kubrawiyah, tarekat Sidiqqiyah, dan tarekat lokal lain. Sedang ciri
ortopraksis tasawuf Islam (sehingga disebut mistik Islam Kejawen
atau disebut Sufisme Jawa oleh Simuh) berkembang di lingkungan
keraton dan masyarakat umum (tanpa harus terlembaga dalam suatu
tarekat). Ini tampak antara lain tampak pada kepustakaan Jawa
karya Yasadipura II, Pakubuwono IV, Mangkunegoro IV,
Ronggowarsito, dan karya-karya anonim yang bertajuk mujarobat,
misalnya Serat Chentini, Serat Darmogandul, Serat Wedhatama,
serat Wirid Hidayat Jati, Suluk Saloka Jiwa, Serat Pamoring
Kawula Gusti, Serat Sabdajati, Serat Jatimurti, Majmu Mujarobat
Lengkap Asli Kesembuhan, Kumpulan Mujarobat Kesembuhan, dan
Rahasia Mujarobat Lengkap. Jika dicermati secara seksama, dalam
karya-karya tersebut akan tampak ciri ortopraksis tasawuf Islam
dalam budaya Jawa. Semua ini kemudian mendorong dan memberi
andil terbentuknya pelbagai nilai religius Jawa, nilai filosofis Jawa,
nilai etis Jawa, dan bahkan nilai estetis Jawa beserta segenap
eskspresi dan artikulasinya.
Seperti halnya tasawuf Islam, aliran kepercayaan-kebatinan
juga memberi andil besar bagi terbentuknya pelbagai nilai dalam
BJ. Bahkan hal ini diakui oleh sebagian besar peneliti dan pengamat
budaya Jawa. Sebagaimana diketahui, aliran kepercayaan-kebatinan
dapat tumbuh (muncul) dan berkembang di Jawa dengan baik
sekali. Di antara lebih dari dua ratus aliran kepercayaan-kebatinan
yang ada (dan diakui secara yuridis) di Indonesia, sebagian besar
diciptakan dan dikembangkan di Jawa oleh manusia Jawa. Dalam
Aliran-aliran Kepercayaan dan Kebatinan di Indonesia (1977)
karya El Hafidy, Konsepsi tentang Manusia dalam Kebatinan Jawa
(1983) karya Hadiwijono, Kebatinan dan Pembangunan
Masyarakat Modern (1985) karya Trimurti, Aliran Kebatinan dan
Kepercayaan di Indonesia (1986) karya Kartapradja, dan
Kepercayaan (Kebatinan, Kerohanian, Kejiwaan) dan Agama
(1990) karya Subagya — sebagai contoh — sudah dijelaskan secara
panjang lebar ihwal asal-usul atau sejarah, konsepsi, karakteristik,
dan perkembangan aliran-aliran kepercayaan-kebatinan. Pada
intinya, dijelaskan dalam buku-buku tersebut, di Jawa telah muncul,
tumbuh, dan berkembang dengan baik sekali (perkumpulan) aliran
kepercayaan-kebatinan, antara lain adalah agama Pran Soeh, agama
Jawa Asli Republik Indonesia (ADARI), agama Adam Ma’rifat,
agama Sapta Darma, Susila Budi Dharma (SUBUD), Paguyuban
Sumarah, Ilmu Sejati, Ngelmu Begja, dan Aliran Samin. Aliran-
aliran ini mengajarkan ihwal ketuhanan, kemanusiaan, kepribadian
manusia, dan kehidupan kemasyarakatan beserta segenap ritual dan
lambangnya. Ajaran-ajaran ini — baik yang dituangkan dalam buku
pegangan masing-masing maupun dalam teladan dan contoh —
tidak hanya didekati dengan rasio, tetapi terutama dengan hati dan
roso serta laku. Aliran-aliran beserta ajaran-ajarannya ini dianut
oleh pelbagai kelompok sosial Jawa — baik priyayi maupun wong
cilik, baik pegawai swasta maupun pegawai negeri, dan baik yang
mengaku beragama maupun tidak — sehingga sudah terlembaga
(terinstitusionalisasi), tercerna dalam hati (terinternalisasi), dan
berterima. Oleh karena itu, ajaran-ajaran pelbagai aliran
kepercayaan-kebatinan tersebut kemudian menjadi, memperkuat,
dan memperkaya pelbagai nilai religius Jawa, nilai filosofis Jawa,
dan nilai etis Jawa (Ihwal NBJ ini diuraikan dalam pasal di
belakang).

AGAMA TERTENTU

Ada berbagai agama yang hidup dan berkembang di Jawa dan


bahkan dipeluk dan dihidupi oleh orang Jawa. Secara dikotomis,
Subagya (1981) membedakan agama di Jawa menjadi (i) agama asli
dan (ii) agama yang datang dari luar. Agama asli oleh Pritchard
22

(1984) disebut juga sebagai agama primitif; oleh Dhavamony


(1995) disebut sebagai bentuk primitif agama; dan oleh Said (1981)
disebut sebagai agama purba. Agama asli Jawa yang paling banyak
dikemukakan orang adalah animisme, dinamisme, dan deisme.
Sementara itu, yang dimaksud dengan agama yang datang dari luar
adalah agama yang berasal atau asal-muasalnya dari luar Jawa yang
kemudian hidup dan berkembang di Jawa sehingga juga ikut
membentuk identitas kejawaan. Agama dari luar Jawa yang tumbuh
dan berkembang di Jawa yang paling banyak disebut orang adalah
agama Hindu, agama Budha, agama Islam, agama Nasrani (Kristen,
Katolik, Protestan). Dengan baik dan terperinci hal ini sudah
diuraikan oleh Lombard dalam Nusa Jawa: Silang Budaya, Batas-
Batas Pembaratan, Volume I (1996) dan Nusa Jawa: Silang
Budaya, Jaringan Asia, Volume II (1996a). Tanpa
memperhitungkan proses terbentuknya — yang menurut Geertz
(1960), Bachtiar (1973), dan Koentjaraningrat (1984) mengambil
pelbagai unsur animisme, dinamisme, agama Hindu, agama Budha,
dan agama Islam — tidak dapat dilupakan di sini adalah apa yang
lazim disebut agama Jawa (Javanism, Javaneseness, istilah Niels
Mulder) atau Kejawen menurut orang Jawa sendiri. Atau disebut
juga agami Jawi (bentuk krama bahasa Jawa) oleh Koentjaraningrat
(1984). Dalam banyak hal, sistem agama Jawa ini — sebagaimana
diakui dan dijelaskan oleh berbagai ahli antara lain Geertz, Mulder,
Suparlan, Bachtiar, dan Koentjaraningrat — memang berbeda
dengan agama-agama yang sudah disebut di atas. Meskipun
demikian, perlu ditambahkan di sini, bahwa pada dasarnya sistem
agama Jawa bukanlah agama dalam arti sebenarnya (din) walaupun
menimbulkan praktik-praktik keagamaan tertentu di kalangan orang
Jawa (simak Mulder, 1988:59-70). Praktik-praktik keagamaan yang
ditimbulkan-nya inilah yang membuatnya biasa disebut agama
Jawa.
Pelbagai agama yang disebut di atas tumbuh dan berkembang di
(dalam budaya dan kalangan orang) Jawa sampai sekarang.
Pertumbuhan dan perkembangan itu pada dasarnya merupakan —
meminjam istilah Nurcholis Madjid (1995) — kontekstualisasi
doktrin universal agama-agama dalam sejarah lingkungan budaya
lokal (Jawa) sekarang sehingga menumbuhkan dan
mengembangkan — apa yang disebut oleh Bachtiar (1985) dan
Kuntowijoyo (1994) — (sistem) budaya agama. Dengan kata lain,
pelbagai agama tersebut telah mendorong terbentuknya budaya
agama (di) Jawa. Budaya agama ini, menurut Kuntowijoyo
(1994:232), memberikan sumbangan penting di bidang spiritualitas,
etika, dan lambang-lambang. Dengan cara dan kadar masing-
masing, memang, agama-agama purba, agama Hindu, agama
Budha, agama Islam, dan agama Nasrani (Kristen, Katolik, dan
Protestan) yang ada di Jawa ini telah memberikan sumbangan bagi
terbentuknya sosok spiritualitas Jawa, etika Jawa, dan lambang-
lambang Jawa, bahkan sosok mentalitas Jawa. Sebagai contoh,
sebagaimana dijelaskan oleh Lombard (1996a:84-205), Islam antara
lain telah membentuk kesadaran historis orang Jawa, pandangan
dunia “yang nyata” (bukan “yang maya”), persepsi ruang yang
geografis orang Jawa, dan orientasi waktu yang linier orang Jawa.
Islam juga membentuk spiritualitas dan moralitas orang Jawa.
Hindu-Budha antara lain telah menanamkan tradisi aksara dan
tradisi kesenian ke dalam BJ. Kristen antara lain memperkenalkan
dan menanamkan gagasan-gagasan humanitarian pada orang Jawa.
Spiritualitas, etika, lambang-lambang, bahkan estetika dan
mentalitas ini kemudian mengembangkan, memperkuat, dan
memperkaya pelbagai nilai religius Jawa, nilai filosofis Jawa, nilai
etis Jawa, dan nilai estetis Jawa (ihwal NBJ ini diuraikan lebih
lanjut dalam pasal di belakang).

SISTEM BUDAYA TERTENTU

Dalam sepanjang sejarah BJ, semenjak dulu sampai sekarang,


sistem budaya tertentu telah menjadi sumber yang penting bagi
24

pembentukan NBJ (simak Lombard, 1996; 1996a; 1996b). Sistem


budaya yang dimaksud adalah (i) sistem budaya India, (ii) sistem
budaya Cina, (ii) sistem budaya Asia Barat (Timur Tengah), (iii)
sistem budaya Barat (Belanda, Inggris, Portugis, dan Amerika), dan
(iv) sistem budaya nasional Indonesia (yang sedang dibentuk dan
dikembangkan). Sistem budaya ini datang dan berkembang di Jawa
memang tidak selalu secara langsung. Sistem budaya India datang
dan berkembang bersama-sama dengan agama Hindu-Budha.
Sistem budaya Cina datang dan berkembang bersama dengan
perniagaan dan migrasi orang Cina di Jawa. Kemudian sistem
budaya Asia Barat (Timur Tengah) Islam bersama dengan agama
Islam setelah melalui Sumatra. Sistem budaya Barat-Belanda-
Inggris-Portugis datang dan berkembang di Jawa bersama dengan
perdagangan dan kolonialisme. Selanjutnya, sistem budaya Barat-
Amerika datang dan berkembang bersama dengan perdagangan,
komunikasi, politik, dan lain-lain. Dan, sistem budaya (nasional)
Indonesia (meskipun belum jelas benar sosok empirisnya) datang
dan berkembang di Jawa bersama dengan politik, ekonomi,
birokrasi, dan lain-lain. Datang dan berkembangnya sistem-sistem
budaya tersebut dengan baik dan luasnya diuraikan oleh Lombard
dalam Nusa Jawa: Silang Budaya, Volume I, II, dan III, sebuah
historiografi Jawa yang paling mutakhir dan komprehensif setelah
History of Java karya Raffles. Bagaimanapun cara datang dan
berkembangnya di Jawa, sekarang sistem budaya-budaya tersebut
telah mempengaruhi, memperbaharui, dan memperkaya, bahkan
mencerahkan NBJ termasuk lambang-lambang BJ.
Sistem budaya India telah memperkenalkan dan menanamkan
intelektualitas, tradisi aksara dan tulis-menulis, ke dalam BJ
meskipun terbatas pada kalangan tertentu, tidak massal. Kemudian
sistem budaya Asia Barat memperkenalkan dan menanamkan
spiritualitas, teohumanitas, tradisi sejarah, kesadaran ruang, dan
semangat pembebasan-pemerdekaan. Sistem budaya Barat
memperkenalkan, menyumbangkan, dan menanam-kan
antroposentrisme, humanitarianisme, intelektualitas, tradisi cetak-
mencetak secara massal, dan ekonomisme ke dalam BJ (simak
Khudori, 1995:140-142; Lombard, 1996; 1996a). Selanjutnya,
sistem budaya Indonesia memperkenalkan dan menanamkan
kesadaran kebangsaan, persepsi ruang baru, kosmologi baru, dan
lain-lain. Sistem-sistem budaya lokal lain, misalnya sistem budaya
Melayu dan sistem budaya Sunda, sebenarnya juga ikut
memperkaya sistem budaya Jawa karena sistem budaya lokal sering
menjadi perantara masuknya sistem budaya asing. Sebagai contoh,
sistem budaya Asia Barat yang membawa agama Islam dan tasawuf,
pada mulanya masuk ke Jawa melalui sistem budaya Melayu dan
sistem budaya Aceh [sebelum ada kontak langsung Jawa de-ngan
Asia Barat atau Timur Tengah] (simak Azra, 1995). Masukan-
masukan dari sistem budaya tersebut disaring, disuling, diolah, dan
dipribumikan sedemikian rupa oleh BJ dengan prosedur dan
mekanismenya sendiri sehingga kemudian dapat dipergunakan
untuk memperbaharui, mencerahkan, dan memperkaya NBJ. Harus
diakui, memang, penyaringan, penyulingan, pengolahan, dan
pemribumian ini tidak selalu mulus dan lancar sehingga kadar
sumbangan sistem budaya tersebut bagi pemben-tukan NBJ tidaklah
sama (simak Lombard, 1996; 1996a; 1996b).
26
Bab 4
Karakteristik Nilai Budaya Jawa

NBJ IDEALISTIS BERKENAAN DENGAN SUBSTANSI (baik bentuk-


substansi maupun isi-substansi) NBJ. NBJ idealistis ini —
meminjam istilah filsafat perenial dari Huston Smith (1986)—
merupakan pesan dasar atau visi terdalam NBJ yang sistemis.
Meskipun mendapat masukan dan perkayaan, bahkan pencerahan
dari berbagai sumber internal dan eksternal sebagaimana diuraikan
dalam Bab 2 di muka, pesan dasar atau visi terdalam NBJ relatif
sama atau berpola tetap – kalau toh berkurang atau bertambah
memerlukan waktu sangat lama. Sumber internal dan eksternal
memperkaya dan mempercanggih serta mempercerah NBJ idealistis
khususnya aktualisasi, artikulasi, dan eksternalisasi NBJ idealistis
sehingga NBJ selalu fungsional untuk menjalani, melangsungkan,
mempertahankan, dan mengembangkan hidup dan kehidupan
manusia Jawa. Baik sumber internal maupun sumber eksternal
justru merupakan wahana melakukan — apa yang menurut istilah
filsafat Zaman Baru (New Age) dari John S. Dunne (dalam
Munawar-Rachman, 1996:76) — passing over (perantauan) untuk
kemudian coming back (pulang) ke fitrah NBJ dengan kesegaran
dan kecerahan baru sehingga manusia Jawa bukan hanya mampu
menjalani dan mempertahankan hidup dan kehidupannya,
melainkan juga mengembangkan dan menyempurnakan hidup dan
kehidupannya di tengah dialektika budaya Jawa. Passing over dan
coming back di sini tentu saja berlangsung pada tingkat common
vision dalam pengertian Huston Smith; dalam arti pada tingkat
pandangan dasar. Dalam konteks inilah berbagai macam masukan
dan perkayaan — atau biasanya disebut pengaruh — Hindu-Budha,
Konfusianisme, Islam, Barat, dan lain-lain tidak perlu dipersoalkan
asli tidaknya, murni tidaknya, dan benar salahnya dalam NBJ.
28

Dikatakan demikian karena pada tingkat common vision semuanya


berada dalam akar pandangan yang sama (scientia sacra menurut
istilah Swami Vivekananda [1994] atau sophia perennis menurut
istilah Hossein Nasr [1993]). Akar pandangan yang sama ini
merupakan titik pertemuan (common platform) atau — meminjam
istilah Nurcholis Madjid (1992; 1995) — kalimatun sawa’ (asas
ajaran yang sama) bagi variasi-variasi NBJ. Dengan perkataan lain,
pelbagai variasi NBJ baik variasi regional, geokultural,
sosiokultural, religiokultural maupun historis dan sosiologis akan
berada pada titik pertemuan yang sama pada tingkat common vision
NBJ. Dengan perspektif filsafat perenial seperti inilah karakterisik
idealistis NBJ dapat dideskripsikan tanpa terjebak pada persoalan-
persoalan eksistensial yang pada dasarnya merupakan persoalan
historis, sosiologis, dan kultural.
Sejalan dengan uraian di atas, karakteristik idealistis NBJ dapat
dibedakan secara dimensional menjadi (i) karakteristik idealistis
nilai religius Jawa (selanjutnya disingkat NRJ), (ii) karakteristik
idealistis nilai filosofis Jawa (selanjutnya disingkat NFJ), (iii)
karakteristik idealistis nilai etis Jawa (selanjutnya disingkat NEJ),
dan (iv) karakteristik idealistis nilai estetis Jawa (selanjutnya
disingkat NTJ). Meskipun dibedakan, keempat jenis nilai tersebut
tidak terpisahkan, antara yang satu dan yang lain saling berkaitan
dan saling menunjang secara sistemis (bandingkan Magnis-Suseno,
1984). Pembedaan tersebut tidak berarti pemisahan, hanya
pemberian penekanan atau penggarisbawahan secara dimensional
atas fenomena NBJ. Dikatakan demikian karena menurut BJ
semuanya dalam kepaduan dan kesatuan yang serasi dan selaras
dalam dimensi yang berbeda. Karakteristik idealistis keempat
macam NBJ ini diuraikan berdasarkan perspektif filsafat perenial
sehingga hanya berkenaan dengan pesan dasar atau visi terdalam
yang menjadi ‘kalimatun sawa’ NBJ. Dengan kata lain, uraian
ihwal karakteristik idealistis empat macam NBJ ini kerkenaan
dengan substansi-substansi NBJ, tanpa banyak memusatkan
perhatian pada dimensi lambang, ritual, ritus, upacara, dan lain-lain
dari NBJ. Diharapkan uraian karakteristik idealistis ini bersifat
longgar, terbuka, dan lentur sehingga lebih banyak menyentuh
bentuk-substansi daripada isi-substansi NBJ. Hal ini dimaksudkan
agar secara substantif seluruh karakteristik historis, sosiologis, dan
kultural tercakup, tertampung, dan terangkum dalam karakteristik
idealistis ini.
Agar lebih jelas, karakteristik idealistis NBJ tersebut dapat
dilihat dalam Tabel 3.1 berikut ini.
30

KARAKTERISTIK NILAI RELIGIUS JAWA

Yang dimaksud dengan nilai religius Jawa (selanjutnya


disingkat NRJ) di sini adalah nilai kudus dan suci yang berkenaan
dengan kemungkinan sejati atau ultim (ultimate) manusia Jawa atau
kemungkinan paling akhir [sangkan paran, Jw] manusia Jawa yang
mengatasi segala ruang dan waktu duniawi dalam pandangan
manusia Jawa. Bagi manusia Jawa, kemungkinan ultimnya adalah
kembali (pulang) kepada Realitas Absolut, Tradisi Primordial, atau
Tuhan Yang Mahaesa karena hanya dari Dialah manusia Jawa
berasal atau berawal-mula. Hal ini setidak-tidaknya terungkap,
misalnya, dalam konsep sangkan paraning hurip, sangkan
paraning dumadi, mulih menyang (ana) ngarsaning (Gusti)
Pengeran, sangkan paraning manungsa, dumadining manungsa,
Gusti kang murbeng dumadi, Gusti kang akaryo jagad, Gusti kang
akaryo agesang, warongko manjing curigo (curigo manjing
warongko), aja lali marang asale, mulih mula mulanira, urip iku
saka Pengeran; bali marang Pengeran, Gusti Allah mboten sare,
nggih kersaning Allah, (n)dilalah kersaning Allah, dan kawruh
(ngelmu, wikan) sangkan paran atau pangawikan sangkan paran
yang sangat penting dan utama bagi manusia Jawa. Sangkan
paraning hurip berarti bahwa Tuhan menjadi asal-muasal dan arah-
tujuan hidup manusia Jawa; sangkan paraning dumadi berarti
Tuhan menjadi asal-muasal dan arah-tujuan, bahkan sumbu
keberadaan [eksistensi] manusia Jawa; mulih menyang ana
ngarsaning Gusti Pengeran berarti pulang ke haribaan Tuhan
Junjungan Makhluk; sangkan paraning manungsa berarti Tuhan
menjadi asal-muasal dan arah pulang manusia; dumadining
manungsa berarti Tuhanlah tempat kejadian manusia; Gusti kang
murbeng dumadi berarti Tuhanlah yang satu-satunya menguasai
kejadian; Gusti kang akaryo jagad berarti Tuhanlah yang
menciptakan dunia seisinya; Gusti kang akaryo gesang berarti
Tuhanlah yang menciptakan dan menguasai kehidupan; warongko
manjing curigo (curigo manjing warongko) berarti bungkus
bertemu isi (isi bertemu bungkus) yang maksudnya makhluk
bertemu Khalik (Khalik bertemu makhluk); aja lali marang asale
berarti janganlah manusia lupa akan asalnya dari Tuhan; mulih
mula mulanira berarti manusia pulang ke asal-usul primordialnya
yang tak lain adalah Tuhan; urip iku saka Pengeran berarti hidup
itu berasal dari Tuhan; bali marang Pengeran berarti setiap
manusia pasti kembali kepada Tuhan; Gusti Allah mboten sare
berarti Tuhan mahahadir atau senantiasa hadir (omnipresent); nggih
kersaning Allah berarti demikianlah kehendak Tuhan; (n)dilalah
kersaning Allah berarti memang demikian kehendak Tuhan; dan
kawruh (ngelmu, wikan) sangkan paran atau pangawikan sangkan
paran berarti pengetahuan asal-muasal dan arah pulang manusia.
Konsep-konsep ini menunjukkan bahwa NRJ selalu berkenaan
dengan keterikatan, kelengketan, ke-tak-bisa-berpaling-an, dan
kebergantungan sejati manusia Jawa dengan Tuhan Yang
Mahasegala (simak Dojosantoso, 1986:3) sehingga Dialah sumbu
segala sumbu bagi manusia Jawa. Keterikatan, kelengketan, dan
kebergantungan ini lebih bersangkutan dengan dimensi (dalam)
kepercayaan dan keyakinan yang berhulu pada hati nurani manusia,
bukan peraturan resmi (formal) agama yang melembaga (simak
Mangunwijaya, 1988; 11-12). Hal ini selalu menjadi pusat dan
sumber segenap ucapan, tindakan, perbuatan, dan perilaku manusia
Jawa sehingga — menurut Sujamto (1992) — BJ berciri religius.
Pada umumnya, keterikatan, kelengketan, ke-tak-bisa-
berpaling-an, dan kebergantungan tersebut oleh manusia Jawa
diterjemahkan dan diartikan sebagai pertemuan, bahkan persatuan
dengan Tuhan Yang Mahaesa. Hal ini tampak, misalnya, pada
konsep ungkapan dan ajaran yang sekaligus menjadi keyakinan
akan adanya manunggaling kawula-Gusti, pamoring kawula-Gusti,
jumbuhing kawula-Gusti, woring kawula-Gusti, Pamoring Suksma,
Roroning (A)Tunggal, dan mati sajroning urip (urip sajroning
32

mati) [kemanunggalan makhluk dengan Khalik, bercampurnya


makhluk dengan Khalik, tidak bisa dibedakannya antara makhluk
dan Khalik, bersatunya Khalik, dua yang satu, dan mati di dalam
hidup] yang sedemikian penting di kalangan orang Jawa. Konsep-
konsep tersebut mengekspresikan lokus makna pertemuan atau
persatuan persaksian dan persatuan wujud antara manusia dan
Tuhan. Meskipun demikian, pada umumnya juga disadari oleh
manusia Jawa bahwa pertemuan atau persatuan itu tidak mudah,
bahkan tidaklah mungkin terjadi secara nyata atau sesungguhnya.
Hal ini tampak pada ungkapan (sekaligus keyakinan bahwa Tuhan
adalah) Dat tan kena kinayangapa, Dat kang adoh tanpa
wangenan, dan Dat kang cedhak tanpa senggolan. Dat tan kena
kinayangapa berarti Tuhan merupakan zat yang tidak mungkin
teraih atau tersatukan dengan zat apapun; Dat kang adoh tanpa
wangenan berarti Tuhan merupakan zat yang jauh dari segala
imajinasi manusia; dan Dat kang cedhak tanpa senggolan berarti
Tuhan merupakan zat yang sangat dekat dengan manusia kendati
tanpa pernah dapat disentuh manusia. Kadang-kadang juga
dinyatakan bahwa “Tunggal tan tunggal lawan ing pasti, loro pan
tan loro, lire jiwa tinon lawan ragane, katon tunggal katinggal
kakalih, mangke awak marmi, lawan Gustingsun” [Kita adalah satu,
tetapi bukan satu secara pasti, dua tetapi bukan dua secara pasti,
laksana jiwa dengan badannya, dikatakan satu terlihat dua,
begitulah diri kita, dengan Tuhan] (simak Simuh, 1995:168-169).
Dalam sebuah kitab Jawa yang merupakan transformasi Tuhfah Al
Mursalah yang cukup tersebar luas di kalangan orang Jawa juga
dikemukakan sebagai berikut.
Ananing sawiji-wiji,
iya iku ananing Yang,
arah saking hakekate,
kadi umpamaning ombak,
iku lawan samodra,
den wruh tunggal bedanipun,
ombak kalawan samodra.

Lir pendah uruh ing warih kang aneng


luhuring tirta,
den sami wruh perbedane,
ing uruh kalwan tirta,
lir kemandang lan swara,
lir Kresna kalawan Visnu: den wruh
katunggalan sira!

Keberadaan setiap wujud,


adalah keberadaan Tuhan,
dipandang berdasarkan hakikatnya,
ibarat ombak, dan samudra,
ketahuilah persatuan dan perbedaan,
antara samudra dan ombak.

Bagai buih dalam air,


yang ada di atas air itu,
ketahuilah perbedaannya,
antara buih dan air,
bagai antara gema dan suara,
bagai Kresna dan Visnu, ketahuilah
persatuanmu!

Dalam khazanah syi’iran (atau singiran dalam bahasa Jawa) yang


berkembang luas di kalangan pesantren atau santri, terdapat syi’ir
berjudul Sangkan Paraning Dumadi yang menyatakan sebagai
berikut.

Awak-awak wangsulana,
pita-konku marang sira,
saka ngendi sira iku,
34

menyang ngendi tujuanmu

Mula coba wangsulana,


jawaban kelawan cetha,
aneng ngendi urip sira,
saiki sedina-dina.

Kula gesang tanpa nyana,


kula mboten gadhag seja,
mung kersane kang kuwasa,
gesang kula mung saderma.

Gesang kula sakmenika,


inggih wonten ngalam donya,
donya ngalam keramean,
isine apus-apusan.

Yen sampun dumugi mangsa,


nuli sowan kang kuwasa,
siang dalu sinten nyana,
jer manungsa mung saderma

Wahai manusia jawablah,


pertanyaanku kepadamu,
dari manakah asalmu,
ke manakah tujuanmu.

Cobalah jawab,
jawablah dengan jelas,
di manakah hidupmu,
sehari-hari sekarang.

Saya hidup tanpa duga,


saya tidak punya sengaja,
hanyalah kehendak Yang Mahakuasa,
saya sekadar menjalani hidup.
Hidup saya sekarang,
ada di alam dunia,
dunia adalah alam keramaian,
isinya hanyalah semu belaka.

Jika sudah tiba waktunya,


akan menghadap Yang Mahakuasa,
siang malam tidak ada yang bisa menduga,
manusia hanyalah menjalani.

Hal ini menunjukkan kepercayaan dan keyakinan manusia Jawa


akan tempatnya selalu di sisi (bertemu dengan), bahkan di dalam
(bersatu dengan) Tuhan. Lebih dari itu, hal ini sesungguhnya
menunjukkan keyakinan manusia Jawa tentang wahdat al syuhud
dan wahdat al wujud atau Tuhan yang transenden sekaligus imanen
(bandingkan Wahid, 1993: xiv; Ardani, 1995:98; Supandjar,
1996:172). Perlu ditambahkan di sini persatuan transenden dan
persatuan imanen atau wujud tidaklah berarti persatuan zat sebab
bagaimanapun zat Tuhan sebagai Khalik tidak mungkin bersatu
dengan zat manusia Jawa sebagai makhluk.
Sejalan dengan itu, orang Jawa selalu membayangkan orang
(Jawa) lain —baik yang masih hidup maupun yang sudah mati —
selalu berada di sisi (bertemu dengan) Tuhan Yang Mahaesa.
Ungkapan swargi X (X adalah nama orang, misalnya swargi mbah
buyut....) untuk menyebut orang yang dibicarakan (yang sudah mati)
menyiratkan kepercayaan atau keyakinan orang Jawa bahwa orang
yang sudah mati selalu berada di tempat yang menenteramkan dan
membahagiakan karena swargi atau swarga memiliki makna
leksikal surga. Demikian juga, tidak mengherankan, manusia Jawa
selalu bercita-cita dan berusaha bertemu (berjumpa), bahkan bersatu
36

dengan Tuhan Yang Mahaesa melalui bermacam-macam jalan,


misalnya jalan tasawuf dan kepercayaan-kebatinan. Intisari ajaran
tasawuf Jawa dan aliran kepercayaan-kebatinan Jawa selalu terpusat
pada Ketuhanan Yang Mahaesa khususnya pertemuan dan
persatuan manusia Jawa dengan Tuhan. Kemampuan atau
kesanggupan bertemu, bahkan bersatu ini memprasyaratkan
kapatuhan atau ketundukan total kepada Tuhan Yang Mahaesa
(pasrah dan narima ing pandum, panduming dumadi) (bandingkan
Hardjowirogo, 198465). Menurut BJ, manusia yang sanggup atau
mampu bertemu (mendatangi), bahkan bersatu (menyatu) dengan
Tuhan Yang Mahaesa adalah manusia yang selamat dan sempurna
(tiyang slamet/sugeng/widada dan tiyang sampurna). Manusia yang
selamat dan sempurna dalam pertemuan dan atau persatuan
persaksian atau wujud dengan Tuhan Yang Mahaesa, menurut Serat
Jatimurti, adalah manusia yang mampu mencapai keadaan atau
kehidupan sejati atau ultim (kahanan jati, alam kajaten). Di sini
manusia selalu diliputi rasa tenteram, bahagia, nikmat, dan
bermakna; terbebas dari penderitaan, kesengsaraan, dan kejahatan
(simak Suryamentaram, 1985:183-190). Oleh karena itu, dapat
dikatakan, NRJ terpusat pada keselamatan dan kesempurnaan
manusia sehingga nilai keselamatan dan nilai kesempurnaan —
dapat dikatakan — menjadi intisari NRJ. Jadi, dengan kata lain,
intisari NRJ adalah nilai keselamatan dan nilai kesempurnaan
manusia.

Nilai Keselamatan Manusia Jawa

Sebagai intisari NRJ, nilai keselamatan berdimensi duniawi dan


surgawi atau akherati. Maksudnya, manusia Jawa selalu mencita-
citakan, mendambakan, dan atau mengharapkan keselamatan baik
pada hidup di dunia maupun hidup sesudah mati; baik lahir
(jasmaniah) maupun batin (rohaniah) (bandingkan Geertz, 1987:58-
60). Dalam Serat Nitisruti (1994:10) ditegaskan bahwa keselamatan
dunia perlu dijunjung tinggi (Widada ing kadunyan supadi, bangkit
dadya ruhuning darajad, mrih kapraptan sakajate), sedangkan
dalam siklus slametan diisyaratkan bahwa keselamatan sesudah
hidup di dunia perlu diutamakan. Dalam (ke)rangka inilah konsep
slamet, sugeng, dan atau widada menjadi sangat penting bagi
manusia Jawa. Ucapan, tindakan, perbuatan, dan perilaku simbolis
dan ritual manusia Jawa selalu dalam rangka (memperoleh) slamet,
sugeng, dan atau widada ini. Konsep mamayu [angayu] jagad
puniki angreksa kang parahita, yang kemudian berkembang
menjadi mamayu [mangayu] hayuning bawana, memayu
hayuningrat, memayu hayuning bebrayan agung
(menjaga/melindungi keselamatan atau kesejahteraan dunia seisinya
— bukan sekadar menghiasi keindahan dunia sebagaimana
pemahaman umum) mengimplikasikan bahwa keselamatan manusia
harus dibersamai dan dipersyarati oleh keselamatan dunia (simak
Kamajaya, 1995:94-96). Ritus slametan atau sering juga disebut
sugengan (wilujengan) — yang jenisnya sangat beragam — yang
sangat menarik para pemerhati dan peneliti budaya Jawa merupakan
manifestasi dan artikulasi konsep dan arti slamet dan sugeng yang
menjadi intisari (galih) nilai keselamatan (bandingkan Geertz, 1983;
1987; Magnis-Suseno, 1985; Woodward, 1994; 1999). Slametan
kematian, sebagai contoh, pada umumnya dimaksudkan untuk
mengirim doa (kirim donga) bagi orang Jawa yang sudah meninggal
agar selamat (slamet) di alam sesudah mati. Slametan kelahiran,
sebagai contoh lain, pada dasarnya dimaksudkan untuk
menunjukkan rasa syukur (tasyakuran) atas keselamatan ibu dan
bayi yang baru lahir. Demikian juga slametan pindah rumah
dimaksudkan oleh yang pindah rumah untuk memperoleh
keselamatan (supaya [ben] slamet).
Di samping itu, ucapan dan tindakan seperti mugo-mugo [mugi-
mugi] Pengeran paring slamet, njaluk (nyuwun) slamet, (mbah
mung bisa) nyangoni slamet (aweh slamet), ngaturaken sugeng,
sing penting pada slamet kabeh, do-nga slamet, muga-muga kabeh
38

slamet, sluman slumun slamet, dan pokoke slamet menunjukkan


aktualisasi dan artikulasi nilai keselamatan yang rohani-ah,
spiritual, dan transendental; bukan sekadar jasmaniah, sosial, dan
seku-lar. Demikian pula sapaan sugeng (selamat) dan jawaban
pangestunipun (begitulah kebenaran-nya) — misalnya, seseorang
menyapa orang lain Sugeng? dan orang lain itu menjawab dengan
Pangestunipun — mengekspresikan sangat berartinya nilai
keselamatan bagi orang Jawa. Penting dan berartinya nilai
keselamatan yang rohaniah, spiritual, profetis, dan transendental
tersebut juga ditegaskan oleh banyak kitab mujarobat, primbon,
serat, suluk, dan babad, misalnya Mujarobat Kesembuhan,
Primbon Betaljemur Adamakna, Primbon Ajimantrawara, Primbon
Yogabrata, Primbon Rajahyogamantra, Serat Wedhatama, Serat
Centhini, Suluk Saloka Jiwa, Suluk Pesisiran [Suluk Wragul, Suluk
Tuhu Linglung, Suluk Besi, Suluk Jalma Lewi, dan Suluk
Selobrangti], dan Babad Demak. Selain itu, penting dan berartinya
keselamatan bagi manusia Jawa juga tampak pada berbagai
wejangan (wewarah) dan larangan (pepacuh) serta pantangan Jawa
(wewaler) yang dimaksudkan sebagai tuntunan menuju ke
keselamatan. Oleh sebab itu, sejalan dengan pendapat Pugiarto
(1993:19), dapat dikatakan di sini bahwa keselamatan atau slamet
(sugeng) merupakan puncak kriterium keberhasilan masyarakat
atau manusia Jawa.
Keselamatan manusia Jawa — baik sewaktu hidup di dunia
maupun hidup sesudah mati — dapat dicapai dengan eneng, ening,
dan awas-eling. Dalam Serat Wirid Hidayat Jati diterangkan secara
jelas bahwa dalam eneng terletak iman, dalam ening terletak tauhid,
dan dalam awas-eling terletak takwa (simak Ciptoprawiro, 1986;
Simuh, 1988). Maka dari itu, ketauhidan, keimanan, dan ketakwaan
menjadi nilai yang penting sekali bagi manusia Jawa untuk meraih
atau mencapai keselamatan. Ketauhidan, keimanan, dan ketakwaan
ini menjadi nilai yang tidak terpisahkan karena ketiganya
berpangkal pada kesadaran ketuhanan (bukan sekadar kepercayaan
kepada Tuhan). Jadi, kesadaran ketuhananlah yang menurunkan
nilai ketauhidan, keimanan, dan ketakwaan manusia Jawa sehingga
manusia Jawa dapat mencapai keselamatan dunia dan akherat.
Nilai ketauhidan manusia Jawa merupakan intisari keimanan
sekaligus bentuk kesadaran manusia Jawa akan keesaan Tuhan.
Menurut Serat Wirid Hidayat Jati (yang menurut Simuh kuat
dipengaruhi oleh Bidayatul Hidayah karya al-Ghazali), tokid utawa
ening iku muhung sawiji, pasrah marang iradat: karsa tokid (tauhid
atau ening merupakan kesadaran akan ketuhanan dan kepasrahan
kepada iradat atau kehendak Tuhan). Dalam NRJ hal ini terlihat,
misalnya, dalam konsep ungkapan (yang sekaligus menjadi ajaran)
bhinneka tunggal ika tan hana dharma mangrwa; Pengeran iku siji,
ana ing ngendi papan, langgeng, sing nganakake jagad iki saisine;
Sang Hyang Tunggal, Yang Widhi, Sang Hyang Wenang (Manon),
Gusti kang Mahakuwaos, Suksma Sejati, dan Suksma Kawekas
[berbeda nama bersatu substansi karena tidak ada Tuhan yang dua,
Allah itu satu, ada di manapun, langgeng, yang menciptakan dunia
seisinya, Tuhan Yang Mahaesa, Tuhan Yang Mahakehendak, Tuhan
Yang Mahakuasa, Sukma Sejati, dan Sukma Ultim]. Ungkapan-
ungkapan tersebut jelas sekali menunjukkan kesadaran ketuhanan
atau kesadaran akan kemahahadiran Tuhan — baik berupa
kesadaran tauhid zati maupun tauhid sifati — di kalangan manusia
Jawa. Hal yang relatif sama juga tampak tegas dalam suluk-suluk
pesisiran. Misalnya, dalam Suluk Besi (Habsyi?) bait delapan belas
dikemukakan (yang bila diindonesiakan) bahwa

Dan Tuan menjadi penghulu,


Bukan diangkat oleh diri Tuan sendiri,
Maka raja tidaklah ada,
Sesungguhnya hanya Allah yang betul-
betul Raja

Yang mengangkatmu menjadi Qadhi,


40

Jika engkau yang shalat,


Diikuti oleh umat,
Bukan engkau yang shalat,
Jika engkau mengaku demikian,
Niscaya batal sembahyang.

Kutipan ini dengan jelas menyiratkan kesadaran akan keesaan


Tuhan yang menjadi lokus (inti) nilai ketauhidan pada manusia
Jawa.
Kemudian nilai keimanan manusia Jawa — sebagai bentuk
utuh kesadaran ketuhanan — termanifestasi dan teraktualisasi pada
keharusan manusia Jawa untuk secara diam-diam selalu sadar,
ingat, percaya, patuh, dan cermat (eneng-eling, pracaya, mituhu)
terhadap Tuhan beserta seluruh ciptaannya sehingga — dengan
demikian — dia selalu bersandar kepada Tuhan (eneng-eling). Hal
ini terungkap, misalnya, dalam ajaran tansah awas lan eling, awas
lan emut, eling lan waspada, meneng, wening, lan eling, eneng,
ening, lan eling, eling-pracaya-mituhu, dan yitna yuwana lena kena
(bandingkan Sujamto, 1992:63). Dikemukakan oleh Pugiarto
(1993:24-25) bahwa “Gusti iku dumunung ana jeneng sira pribadi,
dene patemon sira kalawan Gusti lamun sira tansah eling” (Tuhan
itu berada dalam dirimu sendiri, dan pertemuan dengan Tuhan akan
terjadi bilamana engkau selalu ingat). Dikemukakan oleh
Ranggawarsita dalam salah satu pupuh Kalatidha bahwa “...
Ndilalah kersa Allah, begja-begjane kang lali, luwih beja kang
eling lawan waspada” (Atas takdir Allah juga, betapapun bahagia
atau untung orang yang lupa, masih lebih berbahagia atau beruntung
orang yang ingat dan cermat terhadap Tuhan) atau “... iktiyar iku
yekti pamilihe reh rahayu, sinambi budidaya, kanthi awas lawan
eling, kang kaesthi antuka parmaning Suksma...” (...sesungguhnya
ikhtiar itu untuk memilih [jalan] keselamatan, dilakukan sambil
bekerja, dengan awas dan ingat, yang dikendaki memperoleh kasih
sayang Tuhan...). Demikian juga dikemukakan oleh Mangkunegoro
IV dalam Serat Wedhatama bahwa

Mangka kanthining tumuwuh,


salami mung awas eling,
eling lukitaning alam,
dadi wiryaning dumadi,
supadi lir ing sangsaya,
yeku pangreksaning urip

Dene awas tegesipun,


weruh warananing urip,
miwah wisesaning Tunggal,
kang atunggil rina wengi,
kang mukitan ing sakarsa,
gumelar alam sakalir

Kawan hidup sesungguhnya,


selamanya hanyalah awas dan ingat,
ingat tanda-tanda alam,
menjadi selamatlah hidup asalinya,
agar bebas dari kesengsaraan,
itulah berarti memelihara kesejahteraan
hidupnya
Adapun awas itu berarti,
mengetahui tabir dalam hidup,
dan kekuasaan Tuhan Yang Mahatunggal,
yang bersatu dalam diri siang-malam,
yang meliputi segala kehendak alam,
terbentang dengan segenap isinya.

Pelbagai suluk dan syi’ir, misalnya Suluk Pesisiran dan Syi’iran


Kiai-Kiai juga mengajarkan betapa sentralnya nilai keimanan bagi
42

manusia Jawa sebagai bentuk religiositas manusia Jawa. Tentu saja,


nilai keimanan yang terpantul dalam suluk-suluk Pesisiran dan
syi'ir-syi'ir Kiai bertumpu pada tasawuf, ajaran Islam Jawa, dan
ajaran Islam umumnya.
Selanjutnya, nilai ketakwaan manusia Jawa — sebagai bentuk
kesadaran akan kehadiran Tuhan dalam seluruh hidup dan
kehidupan manusia (omnipresent) — antara lain termanifestasi dan
terartikulasi pada keharusan manusia Jawa untuk berbudi luhur atau
berakhlak mulia karena — menurut Nurcholis Madjid (1992:45) —
takwa berkorelasi langsung dengan budi luhur. Maksudnya, kualitas
takwa manusia Jawa terlihat pada kualitas budi atau akhlaknya.
Maka dari itu, manusia Jawa selalu berusaha mencapai
kaluhuraning budi atau luhur ing pambudi, keluhuran budi manusia
(simak Hardjowirogo, 1984:64; Moertono, 1986: 157). Hal ini
terungkap, misalnya, pada pelbagai ajaran kebatinan Jawa, tasawuf
Islam-Jawa, dan ungkapan-ungkapan masyarakat Jawa. Dalam
aliran Sapta Darma dan Ngelmu Begja dikatakan bahwa
kebudiluhuran mengekspresikan ketakwaan kepada Tuhan Yang
Mahaesa (simak Kartapradja, 1986). Dalam tasawuf Islam-Jawa,
misalnya, ajaran budi luhur sangat ditekankan oleh Serat
Wedhatama, Serat Nitisruti, Serat Wulangreh,dan Serat Chentini.
Syi’ir-syi’ir (pepujian) yang berkembang luas di pesantren, kawasan
sekitar masjid dan musala, dan terutama di desa-desa Jawa juga
banyak mengajarkan budi luhur (ahlaqul karimah). Syi’ir Cita-cita
Luhur, misalnya, mengajarkan cara mencapai budi luhur dalam
suasana dunia Jawa modern:

Anak Islam kudu cita-cita luhur,


ben donya akherate bisa makmur

Cukup ilmu umume lan agamane,


cukup donya kanthi bekti pangerane
Bisa mimpin sadulure lan bangsane,
tumuju mring raharja lan kamulyane

Iku kabeh ora gampang laksanane,


lamun ora kawit cilik tacitane

Cita-cita kudu dikanthi gumergut,


ngudi ilmu sarta pakerti kang patut

Ora kena ora kita mesthi muwa,


lamun kita padha ketekan sejane

Ora liwat sira kabeh pemimpine,


negaramu butuh mentri butuh mufti

Butuh dokter butuh mister ingkang pinter,


ilmu agama kang nuntun laku bener

Butuh guru lan kyai kang linangkung,


melu ngatur negarane ora kaitung

Iku kabeh sapa maneh kang ngayahi,


lamun ora anak kita kang nyaguhi

Kejaba yen sira kabeh rida ambuntut,


salawase angon wedus nyekel pecut
Nabi kita kala timur pangon menda,
ing tembene pangon jalma kang sembada

Abu Bakar Siddiq iku bakul pasar,


nanging nata masyarakat ora sasar

Ali Abu Tholib bakul kayu bakar,


44

nanging tangkas yen dadi panglima besar

Wahid Hasyim santri pondok gak sekolah,


dadi mentri karo liyani ora kalah

Kabeh mau gumantung ing seja luhur,


kanthi ngudi ilmu serta laku jujur.

Pesan dasar kutipan di atas adalah betapa pentingnya dan sangat


vitalnya budi luhur bagi manusia Jawa yang memeluk Islam. Di
samping itu, ungkapan-ungkapan seperti pandam-pandom-
panduming dumadi, narima ing pandum, emut marang Gustine,
kawula namung dermi nglampahi kersanipun Gusti, Gusti Allah
mboten sare, sepi ing pamrih rame ing gawe, mesu budi, marsudi
sudaning hawa lan nepsu, suradira jayadiningrat lebur dening
pangastuti, dan sejenisnya juga mengekspresikan ajaran budi luhur
sebagai cermin nilai ketakwaan kepada Tuhan Yang Mahaesa.
Pandam-pandom-panduming dumadi berati Tuhan menjadi pusaran,
pusat, dan sentral kejadian manusia; narima ing pandum berarti
manusia Jawa harus menerima pembagian Tuhan; emut marang
Gustine berarti manusia Jawa harus ingat kepada junjungannya;
kawula namung dermi nglampahi kersanipun Gusti berarti manusia
Jawa sebagai hamba hanyalah menjalani kehendak Tuhan; Gusti
Allah mboten sare berarti Tuhan mahahadir, tidak pernah tidur; sepi
ing pamrih rame ing gawe berarti manusia Jawa harus menghindari
pamrih dengan cara meningkatkan perkejaan; mesu budi berarti
membersihkan budi; marsudi sudaning hawa lan nepsu berarti
manusia harus berupaya mengurangi kobaran hawa nafsu; suradira
jayadiningrat lebur dening pangastuti berarti segala bentuk
kemungkaran atau kepalsuan niscaya hancur oleh kebenaran.
Setiap manusia Jawa dituntut untuk berusaha secara maksimal
untuk mencapai nilai ketakwaan yang berupa luhur ing pambudi ini
agar dia selamat dunia-akherat.
Nilai Kesempurnaan Manusia Jawa

Nilai kesempurnaan mendukung atau menyangga nilai


keselamatan. Dikatakan demikian karena — bagi manusia Jawa —
manusia yang memiliki kualitas sempurna atau kesempurnaan
secara relatif menjadi manusia selamat. Di samping itu, manusia
yang berkualitas sempurna akan mampu memperoleh pengetahuan
keselamatan (ngelmu slamet). Dalam BJ, menurut Ciptoprawiro
(1986), kesempurnaan berarti wikan sangkan paran, mulih mula
mulanira, manunggal, sebagai ciptaan kembali kepada Sang
Pencipta. Dalam pada itu, menurut Serat Jatimurti (1980:53),
kesempurnaan berarti awas marang kang ngrasa, ora korup
marang rasane, luwih-luwih marang kang dirasa (awas kepada
yang empunya merasa, tulus-bersih kepada perasaannya, lebih-lebih
kepada yang dirasakan). Pengertian tersebut mengandaikan
kesempurnaan sebagai manusia akan mengantarkan manusia Jawa
menuju ke keselamatan. Di sini kesempurnaan manusia (secara
relatif) menjadi semacam conditio sine quanon untuk meraih
keselamatan: bahwa manusia Jawa tidak akan selamat bertemu dan
atau bersatu dengan Tuhannya jika dia tidak menjadi manusia
sempurna. Maka, manusia Jawa selalu mengusahakan tercapainya
kesempurnaan hidup dan kehidupan betapun sukarnya. Hal ini
tampak jelas pada konsep yang sekaligus menjadi ajaran tentang
ngudi kasampurnan, insan kamil, dan sampurnaning ngaurip.
Manusia Jawa diharuskan melakukan ngudi kasampurnan,
(h)anggayuh kasampurnaning (nga)urip, ngunduh wohing
panggawe, dan ngunduh wohing pakarti agar dapat mencapai
kualitas sebagai manusia sempurna (manungsa
paripurna/sempurna).
Pencapaian kesempurnaan ini sangat ditekankan oleh ajaran-
ajaran dalam BJ (bandingkan Sujamto, 1992:38-39). Pelbagai
tarekat, aliran kebatinan, organisasi keislaman Jawa, dan sejenisnya
46

mengajarkan kesempurnaan. Demikian juga pelbagai kitab syi’ir,


serat, suluk, wayang atau seni pertunjukan, dan sejenisnya pada
umumnya mengemukakan dan atau mengajarkan pengertian
kesempurnaan, taraf-taraf kesempurnaan, jalan-jalan menuju
kesempurnaan, dan teladan-teladan kesempurnaan. Dalam Serat
Wulangreh, misalnya, dikemukakan bahwa

Sasmitaning ngaurip puniki,


mapan ewuh yen nora weruha,
tan jumeneng ing uripe, akeh kang aku-aku,
pangrasane sampun udani,
tur durung wruh ing rasa,
rasa kang satuhu,
rasaning rasa punika,
upayanen darapon sampurna ugi ing
kuuripanira

Tanda-tanda hidup ini,


akan membingungkan bila tidak tahu,
tidak dilekatkan
diterapkan) dalam hidupnya,
banyak yang mengaku,
menurutnya sudah paham,
lagi pula belum mengetahui rasa,
rasa yang sebenarnya,
intisari rasa itu,
upayakanlah sampai kepada
kesempurnaan diri,
dalam kehidupanmu.

Demikian juga dalam Serat Wedhatama, dikemukakan bahwa

Sapa antuk wahyuning Allah,


gya dumilah mangulah ngelmu bangkit,
bangkit mikat reh mangukut,
kukutaning jiwangga,
yen mangkono kena sinebut wong sepuh,
liring sepuh sepi hawa, awas roroning
atunggal

Barang siapa mendapat Wahyu Allah,


lekas menguasai ilmu,
bangkit merebut kekuasaan,
akan kesempurnaan dirinya,
bila demikian dapat disebut orang tua,
arti tua adalah terhindar dari kemurkaan,
sadar (paham) akan dwitunggal

Selanjutnya, dalam pembukaan Serat Wirid Hidayat Jati diberi


keterangan: pratikele engetrapake paraboting Ngelmu
Kasampurnan kang kineker kalarangan dening para Wali
samengko kawedharake kabeh Contoh lainnya, puitika tembang
macapat (sekar alit) — yang konon karya Walisongo — tidak
jarang ditakwilkan sebagai tahap-tahap perjalanan manusia Jawa
mencapai kesempurnaan: mijil (keluar, lahir), sinom (masa muda),
maskumambang (penuh purba diri), asmaradana (dana asmara, olah
asmara), dhandhanggula (mendendangkan kemanisan iman/hidup),
durma (mengundur-kan diri), pangkur (meninggalkan hal-ihwal
duniawi, mungkur), gambuh (mengetahui/memahami benar),
pucung (dipocong), dan akhirnya megatruh (memisahkan roh) serta
yang tertinggal kinanthi (amalan manusia) (simak Supandjar,
1996:167-168).
Manusia sempurna (atau yang sanggup mencapai kualitas
kesempurnaan) adalah manusia yang utama, utuh tanpa cacat, tajam
penglihatan batin, dan tanpa pamrih. Dalam BJ, hal ini terartikulasi
antara lain dalam konsep manungsa utama, manungsa kang
48

utuh/gambleng/gumolong, manungsa kang waskitha, manungsa


kang sepi ing pamrih/pasrah. Manungsa utama berari manusia
utama; manungsa kang utuh/gambleng/gumolong berarti manusia
Jawa yang utuh/lengkap/paripurna; manungsa kang waskitha berarti
manusia Jawa yang tajam penglihatan batinnya; dan manungsa
kang sepi ing pamrih berarti manusia Jawa yang sepi dari segala
pamrih. Oleh karena itu, dalam budaya Jawa, nilai kesempurnaan
manusia termanifestasikan atau terartikulasikan ke dalam nilai
keutamaan, keutuhan, kewaskitaan, dan ketanpapamrihan hidup dan
kehidupan manusia Jawa.
Nilai keutamaan manusia Jawa (kotamaning urip) yang
berkenaan dengan kesanggupan dan kemampuan manusia Jawa
untuk tidak (pernah sekalipun) merugikan dan menyusahkan, tetapi
justru menguntungkan dan menyenangkan manusia lain sangat
penting dalam BJ. Buktinya, kitab serat, suluk, syi’ir, seni
pertunjukan, folklor lisan, timang-timang anak, dan sebagainya
selalu menceritakan, mengajarkan, dan menekankan keutamaan
hidup supaya menjadi manusia utama. Misalnya, Serat Dewaruci
menceritakan ihwal pencarian keutamaan agar mencapai
kesempurnaan; sekaligus perjalanan menjadi manusia utama.
Kemudian dalam Serat Tripama dikemukakan tentang perlunya
manusia Jawa meneladani manusia utama bernama Patih Suwanda,
Kumbakarno, dan Adipati Karna agar mencapai keutamaan hidup
dan menjadi manusia utama. Dalam bait terakhir Serat Tripama
diungkapkan sebagai berikut.

Katri mangka sudarseneng Jawi,


pantes sagung kang para prawiro,
amirito sakadare, ing lelabuhanipun,
aywa kongsi buang palupi,
menawa esthinipun,
sanajan tekading buda,
tan pradeba budi panduming dumadi,
marsudi ing kotaman

Ketiganya perlu diteladani orang Jawa,


khususnya semua perwira,
tirulah sekadarnya,
atas jasa pengabdiannya,
jangan sampai mengabaikan teladan,
kelak akan menjadi nista,
walaupun niatnya suci,
tidak berbeda budinya bagi sesama,
mencapai keutamaan hidup

Menurut ajaran BJ, keutamaan hidup antara lain dicirikan oleh


kesukaan mengheningkan cipta, kesucian jiwa, kebersihan hati,
kemampuan mawas diri untuk mulat sarira, ketinggian budi bawa
leksana, kelogisan pikiran yang mantap (menep), kepandaian
bergaul, kebenaran bertutur dan berlaku, dan kemampuan memikat
dan menyenangkan hati sesama. Dalam kaitan ini, Sujamto
(1992:63) menyatakan bahwa “... yang merupakan watak kautaman
limang prakara (lima watak keutamaan), yaitu rila (rela), narima
(ikhlas), temen (jujur), sabar (sabar), dan budi luhur. Sementara itu,
dalam Serat Wedhatama dikemukakan bahwa ciri-ciri manusia
utama adalah sebagai berikut.

Mangkono janma utama,


tuman tumanem ing sepi,
ing saben rikala mangsa,
mangsa amasuh budi,
lahire den tetepi,
ing reh kasa-triyanipun,
susila anoraga,
wigya met tyasing sasami,
yeku aran wong barek berag agama
50

Demikian manusia utama,


suka merenung dalam sepi,
dalam setiap saat,
mengasah dan membersihkan budi,
memenuhi keadaannya,
sebagai manusia ksatria,
penuh santun dan ramah-tamah,
pandai merebut hati sesama,
yaitu disebut orang menguasai agama.

Untuk mencapai derajat keutamaan dan manusia utama, manusia


Jawa harus menguasai ngelmu kasampurnan dan melaksanakan
laku utama. Maka dari itu, terutama para orang tua selalu
menekankan pentingnya penguasaan ngelmu kesampurnan dan
pelaksanaan laku utama.
Nilai keutamaan tersebut “didampingi” oleh nilai keutuhan
karena mustahil keutamaan dalam hidup dan kehidupan dapat
dicapai tanpa keutuhan dalam hidup dan kehidupan. Nilai keutuhan
manusia Jawa ini berkenaan dengan keadaan sempurna
sebagaimana adanya atau sebagaimana mulanya (bandingkan
Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1993:100). Hal ini berhubungan
dengan ketidakberubahan, ketidakrusakan, ketidakcacatan,
ketidakkurangan, kebulatan, ketetapan, kelengkapan, dan keaslian
sesuatu dalam hidup dan kehidupan (ora molah-malih, ora plintat-
plintut, ora esuk dhele sore tempe, ora rusak, ora ciri, ora bentet,
ora cacat, ora kurang ora luwih, bunder seser, tetep pinasthi,
genep, jangkep, lan pancen ngono anane). Dalam BJ, keutuhan
sudah merupakan fitrah atau kodrat segala sesuatu. Misalnya, fitrah
jagad cilik, jagad gedhe, dan hubungan jagad cilik dengan jagad
gedhe adalah utuh. Demikian juga keutuhan lahir-batin dan
jasmani-rohani sudah merupakan fitrah manusia (Jawa). Keutuhan
ini harus dijaga dan dilindungi oleh manusia Jawa. Di samping itu,
keutuhan perlu diteladani oleh manusia Jawa agar dia menjadi
manusia utuh (manungsa kang utuh/gambleng/gumolong). Untuk
itu, setiap manusia Jawa perlu memiliki rasa-pangrasa (kepekaan)
tentang keutuhan supaya benar-benar mampu menjaga dan
melindungi keutuhan. Berdasarkan rasa-pangrasa ini, ucapan,
tindakan, perbuatan, dan perilakunya harus dapat mencerminkan
dan menunjang tercapainya keutuhan segala sesuatu. Bahkan
dirinya pun harus diusahakan mencapai kualitas utuh. Sebagai
contoh, manusia Jawa belum atau tidak dapat disebut utuh
(mencapai keutuhan) jika hanya mementingkan ngadi sarira,
nandhing sarira, lan ngukur sarira (yang sifatnya fisikal) tanpa
disertai dan ditinggikan menjadi tepa sarira, mulat sasrira
(hangrasawani), lan mawas diri (yang sifatnya spiritual)
(bandingkan Jatman, 1996:123). Laki-laki yang hanya mengunggul-
unggulkan kebagusannya (nandhing sarira) bukanlah manusia utuh;
dia harus mencapai kebersihan dan kesucian batin (mulat sarira)
untuk dapat disebut manusia utuh.
Nilai keutamaan dan nilai keutuhan perlu ditopang dan ditapis
oleh nilai kewaskitaan karena keutamaan dan keutuhan dapat
terwujud dengan baik apabila ditopang dan ditapis oleh kewaskitaan
(bandingkan Trimurti, 1985:43). Nilai kewaskitaan manusia Jawa
di sini bersangkutan dengan ketajaman dan kedalaman penglihatan
batin, pembauan, pendengaran, dan percakapan terhadap segala
sesuatu atau segala fenomena (alam garis, alam lumah, lan alam
jirim — menurut Serat Jatimurti), bahkan noumena (alam kajaten
lan alam pramana — menurut Serat Jatimurti) (bandingkan
Trimurti, 1985:43) Setiap manusia Jawa dituntut memiliki
kewaskitaan dan menjadi manusia waskita (manungsa kang
waskitha/gambleng/gumolong/wasis) dalam hidup dan
kehidupannya, sebagaimana terungkap di dalam ungkapan dadio
wong sing waskitha, dadi wong iku sing waskitha, sing waskitha
marang urip, sing waskhita nglakoni urip, dan wong kang wasis/
winasis. Oleh karena itu, seperti halnya keutamaan dan keutuhan,
52

kewaskitaan sangat penting dalam BJ. Untuk mencapai derajat


kewaskitaan dan manusia waskita ini, manusia Jawa perlu tanggap
ing sasmita (kemampuan menangkap dan memahami segenap
perlambang) dan menguasai sasmitaning urip (perlambang hidup).
Dengan tanggap ing sasmita dan menguasai sasmitaning urip,
manusia Jawa akan mampu mengelola suasana-keadaan dan tidak
mendahului suasana-keadaan (bisa among mangsa, ora nggege
mangsa). Di samping itu, dia juga mencapai kemampuan weruh
sakdurunge winarah (mengetahui sesuatu yang belum maujud atau
manifes). Dalam lingkungan pesantren, kemampuan ini sering
disebut ilmu laduni. Dalam BJ, kawruh tanggap ing sasmita (weruh
sakdurunge winarah) atau ilmu laduni ini sangat populer,
diidamkan, dan didambakan. Berbagai wejangan, ajaran, dan
teladan — yang terkandung dalam serat, syi’ir, wayang, folklor
lisan, dan sejenisnya — menegaskan perlunya manusia Jawa
menguasai dan mahir among mangsa (bukan nggege mangsa),
tanggaping sasmita dan ilmu laduni karena dengan demikian
manusia Jawa mencapai derajat kewaskitaan. Tidak mengherankan,
dalam BJ terkenal ungkapan wong Jawa nggone rasa, wong Jawa
nggone semu yang maksudnya bahwa rasa orang Jawa cepat
menangkap isyarat terselubung dan cepat menangkap tanda-tanda
atau gelagat. Meskipun demikian, tidak semua atau sembarang
orang bisa memiliki ilmu laduni atau kawruh weruh sakdurunge
winarah.
Adapun nilai ketanpapamrihan atau kepasrahan manusia Jawa
bersang-kutan dengan kemampuan dan ketangguhan diri-pribadi
untuk tidak tergoda dan tidak terjerumus ke dalam maksud-maksud,
kepentingan-kepentingan, dan keinginan-keinginan pribadi demi
kemanfaatan dan keuntungan diri sendiri baik duniawi maupun
ukhrawi (bandingkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1993:640;
Magnis-Suseno, 1991:61; Mardimin, 1994:71; Partokusumo, 1995;
Pugiarto, 1993:28). Nilai ketanpapamrihan ini melandasi, bahkan
memprasyarati nilai keutamaan, keutuhan, dan kewaskitaan.
Dikatakan demikian karena manusia Jawa hanya bisa mencapai
derajat keutamaan, keutuhan, dan kewaskitaan apabila sudah
mencapai derajat ketanpapamrihan. Manusia Jawa hanya dapat
mencapai derajat utama, utuh, dan waskita dengan bersih-suci diri,
sepi ing pamrih, dan beramal saleh bagi orang lain, rame ing gawe.
Di sini ketanpapamrihan berarti terhindarinya egoisme dan sifat
egoistis diri pada satu pihak dan pada pihak lain tertanamnya
teohumanisme dan sifat humanistis-altruistis-filantropis. Nilai
ketanpapamrihan, ke-sepi-ing-pamrih-an, ini penting sekali dalam
BJ atau bagi manusia Jawa (simak Magnis-Suseno, 1991;
Mardimin, 1994; Partokusuma, 1995; Pugiato, 1993). Oleh karena
itu, setiap manusia Jawa harus berusaha sedapat-dapatnya mencapai
atau meraih derajat ketanpapamrihan, ke-sepi-ing-pamrih-an, agar
dia menjadi manusia tanpa pamrih atau manusia zuhud. Untuk itu,
manusia Jawa harus dapat terbuka hati, batin, dan pikiran
(tinarbuka), harus dapat menahan hawa nafsu dan emosionalitasnya
(ora ngoyo lan ngongso-ongso), harus sabar dan santai (sabar,
sareh lan semeleh), harus pasrah atas segala yang terjadi (pasrah,
sumarah, ririh, rereh), harus menerima bagian yang ditetapkan
dengan penuh syukur (narima ing panduming dumadi), harus selalu
merasa beruntung (ngelmu untung), harus percaya bahwa
kepentingan atau keinginan selalu terlekati kealpaan (melik
nggendong lali), harus percaya bahwa pangkat, drajat, semat,
rejeki, jodoh, urip, lan pati sudah diatur oleh Gusti kang akaryo
gesang, harus merasa memiliki dunia seisinya (melu handarbeni),
dan giat menjaga kehidupan bersama dan keselamatan dunia
(memayu hayuning bebebrayan agung, me-mayu hayuning
bawana). Di samping itu, dia juga tidak boleh meri, drengki, dan
srei, tidak boleh mengumbar segala hawa nafsu (ora ngumbar hawa
nepsu) baik berupa nafsu mau menang sendiri, merasa paling benar
maupun nafsu memperhatikan kebutuhan sendiri (nepsu menange
dhewe, nepsu benere dhewe, nepsu butuhe dhewe). Dalam
hubungan ini, menurut Magnis-Suseno (1991:82), manusia Jawa
54

juga jangan bersikeras pada hak atau kehendak atau pendapat, harus
bersedia merelatifkan sikap dan pendirian sendiri dengan
memperhatikan sikap dan pendirian semua pihak, tahu diri dan
sadar akan batas diri sendiri, mampu merelakan atau mengikhlaskan
pendirian sendiri, dan mampu menyesuaikan diri. Jika manusia
Jawa memiliki kesanggupan merealisasikan hal-hal tersebut, maka
dia dapat dikatakan sudah mencapai derajat ketanpapamrihan dan
menjadi manusia tanpa pamrih.
Agar lebih jelas, NRJ yang sudah diuraikan di atas dapat dilihat
dalam Tabel 3.2 berikut ini.
KARAKTERISTIK NILAI FILOSOFIS JAWA

Nilai filosofis Jawa (NFJ) bertumpu pada rasa (rasa sejati)


yang dipercayai di dalamnya sudah terkandung akal budi.
Dikatakan demikian karena filsafat Jawa lebih condong sebagai
panduan praksis hidup [phylosophy of being] daripada sebagai olah
nalar yang intelektual semata-mata [phylosophy of doing] (simak
Sudarminta, 1991:170-172). Menurut Sutrisno (1993), filsafat Jawa
sebagai filsafat Timur memang mau menawarkan jalan menca-pai
tujuan hidup manusia: jalan keselamatan dan kesempurnaan
manusia, bukan menjawab persoalan-persoalan teknologis di dalam
masyarakat modern. Dengan kata lain, filsafat Jawa menawarkan
suatu pedoman hidup, bukan menjawab persoalan hidup. Maka,
menurut Ciptoprawiro (1986:25), filsafat Jawa dicirikan oleh
berpikir menggalih yang totalistis-holistis, bukan berpikir radikal
yang analitis seperti filsafat Barat. Berpikir menggalih ini
dimungkinkan oleh rasa sejati atau rasa budi, sedangkan berpikir
radikal dimungkinkan oleh akal pikiran. Tidak seperti filsafat Barat
yang membagi-bagi atau memilah-milah secara tegas antara yang
rasional dan bukan rasional, di sini filsafat Jawa tidak membagi-
bagi atau memilah-milah secara tegas mana yang rasional dan mana
yang bukan rasional.
Sehubungan dengan itu, filsafat Jawa tidak hanya berbicara
perkara yang bener (benar secara esensial-substantif-ontologis yang
rasional), tetapi juga berbicara perkara yang pener atau leres (tepat-
benar dalam praksis kontekstual yang sekaligus rasional dan bukan
rasional). Dalam budaya Jawa, bener dan pener merupakan
kesatuan utuh yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Segala sesuatu
tidak hanya ditafsirkan dan dinilai berdasarkan benarnya — bener-
nya —, tetapi juga berdasarkan tepatnya — pener-nya — karena
56

sesuatu yang bener belum tentu pener dan sebaliknya. Sesuatu yang
bener dan pener sekaligus disebut (wis) pas, (g/m)athuk, cocog,
trep, atau mathis (sudah pas dan cocok) oleh manusia Jawa. Dengan
kata lain, ke-ma-thuk-kan atau ke-ganthuk-an yang berisi ke-bener-
an dan ke-pener-an menjadi kaidah filosofis segala sesuatu,
misalnya formula (yang secara tersurat tampak paradoksal),
misalnya ngono yo ngono ning ojo ngono, luhur datan ngungkul-
ungkuli an-dap tan kena inungkulan, kang kena iwake aja kongsi
butek banyune, me-rupakan ekspresi kaidah ke-bener-an yang
esensial (yaitu frasa ngono yo ngono, luhur datan ngungkul-
ungkuli, kang kena iwake) dan kaidah ke-pener-an yang kontekstual
(yaitu ning mbok ojo ngono, andap tan kena inungkulan, aja kongsi
butek banyune). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa NFJ
merupakan nilai yang bersangkutan dengan keterikatan pada
kebenaran dan ketepatan (ke-bener-an dan ke-pener-an) segala
sesuatu yang diperlukan oleh manusia Jawa untuk mencapai derajat
keselamatan dan kesempurnaan hidup dan kehidupan. Segala
sesuatu di sini dapat berupa seluruh fenomena diri manusia maupun
alam semesta, misalnya pikiran, pandangan, ucapan, dan perilaku
manusia atau keadaan dan sifat alam semesta.
Bagi manusia Jawa, segala sesuatu yang sudah benar dan tepat
atau sudah sesuai dengan ukuran kebenaran dan ketepatan adalah
sesuatu yang mapan, selaras, dan bersama (wis mapan, wis laras,
wis mathon, wis gathuk, wis jumbuh, lan wis jodho). Sesuatu yang
belum dan atau tidak mapan, tidak selaras, dan tidak bersama
dipandang sebagai sesuatu yang belum dan atau tidak benar dan
tidak tepat. Sebagai contoh, sikap-perilaku orang kaya yang kikir
dan loba dipandang tidak benar dan tidak tepat karena
menggambarkan atau memancarkan ketidakmapanan,
ketidakselarasan, dan ketidakbersamaan. Di samping itu, hal
tersebut juga melanggar kaidah normatif ngono yo ngono ning
mbok ojo ngono yang selanjutnya dapat mengganggu kemapanan,
keselarasan, dan kebersamaan. Meskipun demikian, menurut BJ,
menjadi kaya dianggap benar, bener, tetapi jika kemudian menjadi
kikir dan loba dianggap tidak tepat, (ng)gak pener; yang tepat,
pener, adalah menjadi dermawan dan baik hati. Hal terakhir ini
sesuai dengan kaidah normatif ngono yo ngono ning mbok ojo
ngono yang selanjutnya akan dapat menjaga dan melindungi
kemapanan, keselarasan, dan kebersamaan. Di sinilah dapat
dikatakan bahwa kebenaran dan ketepatan menurut pandangan
filosofis Jawa adalah kemapanan, keselarasan, dan kebersamaan.
Lebih lanjut, kemapanan, keselarasan, dan kebersamaan ini akan
memungkinkan dicapainya keselamatan dan kesempurnaan hidup
dan kehidupan manusia Jawa. Berdasarkan hal tersebut, dapat
disimpulkan bahwa intisari NFJ terpusat pada nilai kemapanan,
keselarasan, dan kebersamaan.

Nilai Kemapanan Manusia Jawa

Sebagai intisari NFJ, nilai kemapanan manusia Jawa berkenaan


dengan kemantapan segala sesuatu sesuai dengan tempatnya,
ukurannya, hak-kewa-jibannya, kehadirannya, usahanya, dan
sejenisnya di alam semesta dalam arti seluas-luasnya. Dalam BJ, hal
ini terpancar dalam ungkapan seperti urip mapan, wis (durung)
mapan, papakno neng panggonane, dan ben mapan dhisik
(bandingkan Kartomihardjo, 1984). Menurut perspektif BJ,
kemapanan ini merupakan fitrah atau kodrat segala sesuatu. Hal ini
berarti bahwa segala sesuatu baik manusia maupun bukan manusia
memiliki kemapanan masing-masing sekaligus selalu berada dalam
kemapanan masing-masing. Misalnya, unsur-unsur kosmos, jagad
gedhe dan jagad cilik [makro-kosmos dan mikrokosmos] selalu
berada dalam kemapanan masing-masing. Manusia, tumbuh-
tumbuhan, batuan, sungai, lelembut, roh halus, dan roh para cikal
bakal pendiri desa sebagai unsur-unsur jagad gedhe — sebagai
contoh — sudah berada dalam kemapanan masing-masing secara
kodrati. Demikian juga jasmani, batin, diri, dan rasa manusia
58

sebagai unsur-unsur jagad cilik manusia Jawa sudah berada dalam


kemapanan masing-masing. Berhubung kemapanan sudah
merupakan fitrah atau kodrat, maka kemapanan ini tidak
(diper)boleh(kan) diganggu, dilanggar, apalagi diguncang dan
dirusak oleh setiap manusia (Jawa). Sebaliknya, justru setiap
manusia (Jawa) harus selalu berusaha menjaga, melindungi,
mempertahankan, bahkan harus selalu mengupayakan secara terus-
menerus dan berkesinambungan sebuah kemapanan (bandingkan
Kayam, 1987:103). Jadi, setiap manusia (Jawa) berkewajiban
mendukung terpertahankannya dan terpeliharanya kemapanan.
Nilai kemapanan ini tidak berarti meniadakan perubahan dan
pergeseran. Dalam perspektif BJ, perubahan dan pergeseran diakui
keberadaannya sebagaimana tampak pada adanya konsep cokro
manggilingan, wolak-waliking jaman, owah gingsire zaman, mulur-
mungkret, bisa ngowahi kahanan iku beda karo wani ngowahi
kahanan jalaran bisa durung mesti wani, dan tunggak jarak mrajak
tunggak jati mati. Bahkan perubahan dan pergeseran ditoleransi dan
diakomodasi sejauh (selama/asalkan) tidak menghancurkan atau
merusak tatanan kemapanan. Untuk itu, setiap manusia Jawa perlu
mengetahui dan menyadari kemapanan masing-masing (dampar
kamukten, lengser kalenggahan masing-masing) agar tidak
mengganggu atau merusak tatanan kemapanan yang ada. Dengan
kata lain, perubahan dan pergeseran ditoleransi dan diakomodasi
sejauh dalam (ke)rangka (ruang) kemapanan. Di sini berarti bahwa
perubahan dan pergeseran yang diperbolehkan harus diorientasikan
dan ditujukan untuk meningkatkan dan menyempurnakan
kemapanan, bukan untuk merusak dan menggantikan kemapanan.
Implikasinya, perubahan dan pergeseran harus tetap terkendali.
Evolusi menjadi pilihan, bukan revolusi. Dalam BJ, yang dikenal
memang hanya evolusi, sedangkan revolusi tidak dikenal sebab
evolusi mengandaikan perubahan dan pergeseran setahap demi
setahap secara teratur yang tidak merusak dan menghancurkan
tatanan (kemapanan) yang ada; sedangkan revolusi mengandaikan
perubahan dan pergeseran total secara cepat, radikal, dan
fundamental yang merusak dan menghancurkan tatanan
(kemapanan) yang ada untuk kemudian digantikan oleh tatanan
(kemapanan) baru. Oleh sebab itu, konsep bekerja (makaryo),
berusaha (ngupoyo, ambudi daya), dan berupaya mencari nafkah
(pangupo-jiwo) yang bersifat material tetap penting dalam BJ
sebagaimana tampak pada pelbagai pesan kesenian dan kitab.
Dalam sebuah lagu Jawa disampaikan ajakan untuk bekerja
bersama-sama:

Lesung jumengglung
yo pada makarya
nuli mbal-imbalan.

Demikian juga dalam Serat Pitutur Jati (simak Sujamto, 1992:170-


171) dikemukakan bahwa setiap manusia wajib bekerja sesuai
dengan keinginan masing-masing

manungsa urip puniku


wajib padha angupadi
sandang pangan asarana
nambut sabarang pekerti
karya iku rupa-rupa
endi ingkang den senengi

manusia hidup itu


wajib berupaya
mencari sandang pangan
dengan menjaga pekerti
kerja itu bermacam-macam
carilah yang engkau senangi
60

Meskipun demikian, patut dipahami di sini bahwa bekerja dan


berupaya di sini harus diarahkan untuk mencapai keselamatan dan
kesempurnaan hidup dan kehidupan bersama, bukan untuk bekerja
itu sendiri atau mencari nafkah material semata-mata. Dengan
demikian, kemapanan tetap terpelihara dan terlestarikan.
Dalam BJ, kemapanan dicirikan atau ditandai oleh adanya
kepastian, keteraturan, dan keajekan. Dikatakan demikian karena
segala sesuatu yang sudah pasti, teratur, dan ajek berarti mapan;
demikian juga segala sesuatu yang mapan selalu dipersepsi pasti,
teratur, dan ajek. Dalam NBJ, hal ini terungkap antara lain dalam
konsep pinesthi, pepesthen, ajeg, lumintu, dan mapan. Misalnya,
peredaran tata surya yang merupakan unsur jagad gedhe yang sudah
pasti, teratur, dan ajek dapat dikatakan mapan atau berada dalam
kemapanan. Demikian juga orang tertentu yang sudah jelas
kerjanya, penghasilannya, dan kedudukannya disebut mapan atau
berada dalam kemapanan (urip mapan). Orang Jawa pada dasarnya
mencari hidup dan kehidupan yang pasti, teratur, dan ajek. Oleh
sebab itu, dapat dikatakan bahwa nilai kemapanan terartikulasikan
dan termanifestasi-kan ke dalam nilai kepastian, nilai keteraturan,
dan nilai keajekan.
Nilai kepastian manusia Jawa di sini bersangkutan dengan
ketetapan, kejelasan, dan ke(ter)tentuan segala sesuatu dalam hidup
dan kehidupan manusia Jawa. Segala sesuatu di sini mencakup
unsur-unsur jagad gedhe dan jagad cilik (alam semesta dan
manusia). Menurut pandangan BJ, segala sesuatu — baik unsur-
unsur alam semesta maupun unsur-unsur manusia yang pribadi,
sosial, dan spiritual — sudah memiliki kepastian yang tetap dan
jelas sebagaimana tampak pada konsep atau adagium tetep,
pepesthen, pinasthi, wis pestine, wis dadi pepesten, dan wis dadi
kersane Gusti Kang Maha Kuwasa. Hal ini tidak bisa ditolak atau
dihindari oleh siapapun atau apapun. Siang-malam, kemarau-
penghujan, gelap-terang, edar matahari-bulan, dan lain-lain
fenomena alam semesta sudah memiliki kepastian aturannya
masing-masing. Demikian juga lahir-hidup-mati, sedih-gembira,
kaya-miskin, rezeki-musibah, dan lain-lain fenomena hidup dan
kehidupan manusia Jawa sudah memiliki kepastian saatnya masing-
masing. Bahkan kekuasaan pun sudah pasti atau tetap — tidak
bertambah juga tidak berkurang — yang memang sudah demikian
adanya (simak Anderson, 1986:51). Segenap kepastian alam
semesta dan manusia Jawa ini terangkum dalam konsep dan ajaran
tentang pranata mangsa. Pranata mangsa ini merupakan cerminan
atau pantulan kaidah-kaidah kepastian jagad gedhe dan jagad cilik.
Semua manusia Jawa harus meyakini, menghormati, menaati,
menunaikan, dan menjaga kepastian dan pranata mangsa ini.
Dengan demikian, nilai kepastian terjaga dan terpelihara.
Nilai kepastian manusia Jawa tersebut disertai atau
“didampingi” oleh nilai keteraturan manusia Jawa, yaitu kerapian,
keberesan, dan atau keberturut-turutan secara tetap segala sesuatu
yang bersangkutan dengan (keadaan, kegiatan, proses, dan
sebagainya) jagad gedhe dan jagad cilik Jawa (bandingkan Amir,
1991:147-151; Anderson, 1986:89; Kamus Besar Bahasa Indonesia,
1993:56). Dikatakan demikian karena kepastian mengandaikan,
menyiratkan, dan mengimplikasikan keteraturan. Tidak mungkin
ada kepastian apabila tidak ada keteraturan; dan juga tidak mungkin
ada keteraturan apabila tidak ada kepastian. Dalam pandangan BJ,
segala sesuatu yang berkenaan dengan jagad gedhe dan jagad cilik
sudah teratur atau berada dalam keteraturan karena sudah ada
pengaturnya (kabeh wis bares amarga wis ana sing ngatur).
Misalnya, hal ini tampak pada konsep jangkaning zaman,
pandoming jagad, keblat papat lima pancer ,dan desa mawa cara
negara mawa tata yang menyiratkan makna keteraturan unsur-
unsur jagad gedhe. Dalam kaitan ini, unsur-unsur jagad cilik
dituntut untuk meneladani keteraturan unsur-unsur jagad gedhe
sehingga manusia baik sebagai makhluk pribadi, sosial, maupun
spiritual-religius dituntut meneladani keteraturan alam semesta.
Implikasinya, segenap pikiran, pandangan, keyakinan, ucapan,
62

tindakan, perbuatan, dan perilaku manusia harus mendukung,


menjaga, melindungi, dan meningkatkan keteraturan unsur alam
semesta dan manusia Jawa. Tidak diperbolehkan manusia Jawa
untuk mengganggu, merusak, dan menghancurkan keteraturan ini.
Mengganggu, merusak, dan atau menghancurkan keteraturan berarti
mengacaukan tatanan yang sudah teratur sehingga hal itu
menimbulkan kekacauan (chaos). Oleh sebab itu, setiap manusia
Jawa wajib meyakini, menaati, dan menunaikan keteraturan dalam
hidup dan kehidupannya.
Selanjutnya, nilai kepastian dan nilai keteraturan manusia
Jawa tersebut disertai atau ditapis oleh nilai keajekan manusia
Jawa, yaitu kelangsungan, kemalaran, dan atau keterus-menerusan
(kontinuitas) secara tetap, beraturan, berkelanjutan, dan berpola
segala sesuatu yang berkenaan dengan unsur alam semesta dan
manusia Jawa. Dikatakan demikian karena keajekan menyiratkan,
mengimplikasikan, dan atau membutuhkan adanya kepastian dan
keteraturan; demikian juga sebaliknya, kepastian dan keteraturan
memerlukan keajekan. Di sini berarti keajekan bersimbiose
mutualistsis dengan kepastian dan keteraturan. Nilai keajekan ini
antara lain terartikulasi pada konsep ajeg, lumintu, mili, dan
semulur yang relatif penting dalam BJ. Peredaran unsur alam
semesta, misalnya bumi, bulan, matahari, siang, malam, kemarau,
dan penghujan yang beraturan dan berpola disebut ajeg, wis ajeg.
Rezeki orang, misalnya nafkah, keuntungan, dan uang, yang didapat
secara beraturan, berpola, dan berkelanjutan disebut lumintu; orang
Jawa sering mengatakan sing penting lumintu untuk menyebut
keuntungan yang diperoleh secara tetap meskipun sedikit jumlahnya
atau nilainya. Sering pula berkah, rezeki, nikmat, dan keuntungan
yang diperoleh secara tetap, beraturan, dan terus-menerus disebut
(kaya banyu) mili. Dalam pada itu, rezeki, nikmat, dan keuntungan
yang diperoleh secara beraturan dan terus-menerus sehingga makin
lama makin meningkat sering disebut semulur; misalnya Si X yang
memperoleh uang secara terus-menerus sehingga makin lama makin
perolehan uangnya sering disebut rejekine semulur. Dalam
pandangan BJ, keajekan-keajekan ini sudah ada yang mengatur
(yaitu kekuatan adikodrati) sehingga manusia Jawa tidak boleh
mengganggu, merusak, apalagi menghancurkannya. Oleh sebab itu,
semua manusia Jawa harus menerima, menghormati, menaati, dan
menunaikan nilai keajekan dengan penuh rasa optimis dan rasa
syukur (krasa bathi, krasa untung, narima). Segenap ucapan,
tindakan, perbuatan, dan perilaku manusia Jawa — baik sebagai
makhluk pribadi, sosial maupun spiritual-transendental — harus
dalam kerangka keajekan sehingga dengan demikian keajekan
terlindungi dan terpelihara, tidak terganggu.
Nilai Keselarasan Manusia Jawa
Nilai keselarasan manusia Jawa berkenaan dengan keterpaduan,
keserasian dan keseimbangan segala sesuatu yang berhubungan
dengan unsur alam semesta dan manusia Jawa (bandingkan Kayam,
1987; Magnis-Suseno, 1991; Pugiarto, 1993). Nilai keselarasan ini
mendukung atau menopang nilai kemapanan yang sudah diuraikan
di atas karena keselarasan dapat membuahkan (menghasilkan)
kemapanan pada satu pihak dan pada pihak lain kemapanan
memerlukan sekaligus dapat menghasilkan keselarasan. Dalam BJ,
keselarasan ini terlihat dan terpancar antara lain dalam konsep
babag, imbang, laras, elok, edi, peni, edipeni, dan nglaras roso.
Orang Jawa percaya bahwa segala sesuatu baik berupa unsur alam
semesta maupun unsur manusia beserta segenap hubungannya
secara alamiah dalam keadaan laras, imbang, dan babag; jadi,
keselarasan merupakan fitrah (simak Kayam, 1987: 102). Misalnya,
fitrah hubungan siang-malam, kemarau-penghujan, mata-hari-bumi-
bulan, dan lain-lain unsur jagad gedhe selalu selaras, laras, atau
berada dalam keselarasan sehingga tatanan alam (tertib kosmos)
berjalan sebagaimana mestinya atau kodratnya. Demikian juga
hubungan jasmani-rohani, badan-batin, dan lain-lain unsur jagad
cilik harus selalu selaras atau berada dalam keselarasan supaya
hidup dan kehidupan manusia Jawa dapat berjalan sebagaimana
64

mestinya mencapai keselamatan dan kesempurnaan. Jadi, menurut


pandangan atau persepsi BJ, pada mulanya segala sesuatu sudah
selaras atau berada dalam keselarasan.
Hal tersebut diakui oleh berbagai pemerhati dan peneliti BJ.
Para pemerhati dan peneliti BJ berpendapat bahwa keselarasan ini
merupakan teras nilai yang sangat mendasar dalam BJ (simak
Geertz, 1983; Geertz, 1985; Kayam, 1987; Magnis-Suseno, 1983;
1984; 1991; Mulder, 1983; 1984). Clifford Geertz dalam The
Religion of Java (Abangan, Santri, dan Priyayi dalam Masyarakat
Jawa) (1960; 1983) menegaskan bahwa keselarasan menjadi ciri
utama BJ. Demikian pula Hindred Geertz dalam Keluarga Jawa
(1985) menyatakan bahwa keselarasan merupakan nilai
kemasyarakatan Jawa yang paling penting. Magnis-Suseno dalam
berbagai tulisannya, di antaranya Etika Jawa dalam Tantangan
(1983), Etika Jawa (1985), dan Wayang dan Panggilan Manusia
(1991) menganggap keselarasan sebagai nilai paling dasar dari BJ.
Selanjutnya, keselarasan juga dianggap sebagai suatu filsafat atau
pandangan dunia manusia Jawa oleh Kayam dalam tulisan
Keselarasan dan Kebersamaan (1987). Bahkan oleh Lombard
(1996b:96-141), keselarasan dipandang sebagai poros nilai, struktur
sosial budaya, dan struktur fisikal ruang Jawa. Semua anggapan dan
pandangan ini ada benarnya: keselarasan atau keadaan laras
memang termasuk salah satu NBJ yang sangat penting (bandingkan
Kayam, 1987:102; Magnis-Suseno, 1991:72-73). Dengan kata lain,
keselarasan atau keadaan laras merupakan teras nilai filosofis Jawa.
Keselarasan atau keadaan laras perlu dipertahankan dan
diupayakan kelestariannya. Setiap manusia Jawa dilarang
mengganggu, merusak, apalagi menghancurkan-nya. Sebaliknya,
setiap manusia Jawa wajib menjaga, melindungi, memelihara, dan
mendorong lestarinya keselarasan atau keadaan laras. Dalam
konteks inilah segenap ucapan, tindakan, perbuatan, dan perilaku
manusia Jawa baik sebagai makhluk pribadi, makhluk sosial
maupun makhluk spiritual-transendental tidak boleh mengakibat-
kan terganggu atau terancamnya keselarasan; sebaliknya, harus
mendorong tercapainya dan lestarinya keselarasan atau keadaan
laras. Untuk itu, ucapan, tindakan, perbuatan, dan perilaku manusia
Jawa tidak boleh sembarangan, sembrono, dan seenaknya sendiri,
melainkan harus selalu jatmika, rukun, hormat, dan anggun [elegan,
elegance] (jatmika, rukun, (k/h)urmat, lan edipeni). Dengan kata
lain, keselarasan dapat dipertahankan dan ditingkatkan dengan
kejatmikaan, kerukunan, kehormatan, dan keanggunan. Hal ini
mengimplikasikan bahwa nilai keselarasan terealisasikan dan
terartikulasikan dalam nilai kejatmikaan, kerukunan, kehormatan,
dan keanggunan (bandingkan Geertz, 1983, Geertz, 1985;
Koentjaraningrat, 1984; Magnis-Suseno, 1985; 1991).
Sebagai nilai instrumental, nilai kejatmikaan manusia Jawa di
sini ber-kenaan dengan kesimpatikan, keempatian, kemenarikan,
dan keramahan segenap ucapan, tindakan, perbuatan, dan perilaku
manusia Jawa terhadap alam semesta dan (terutama) manusia
(simak Kayam, 1987:107; ban-dingkan Kamus Besar Bahasa
Indonesia, 1993). Menurut pandangan BJ, agar keselarasan
terjamin, terjaga, dan terpelihara, pertama-tama manusia Jawa
bukan harus hormat, melainkan harus jatmika — suatu nilai yang
tampaknya luput dari perhatian para peneliti dan pemerhati BJ
(simak Kayam 1987). Dalam hidup dan kehidupan manusia Jawa,
keharusan ini tampak pada adanya konsep sekaligus ajaran
mengenai jatmika, grapyak, semanak, blater, sumeh, merak ati, dan
seneng aruh-aruh. Hal tersebut harus direalisasikan dan
diartikulasikan oleh setiap manusia Jawa di dalam ucapan, tindakan,
perbuatan, dan perilaku mereka tanpa memandang kedudukan,
kelas, dan status sosial ekonomi. Di sini berarti keegaliteran
ditekankan sebab ke-jatmika-an, ke-grapyak-an, ke-semanak-an, ke-
blater-an, ke-sumeh-an, ke-merak-ati-an, dan ke-seneng-aruh-aruh-
an mencerminkan sekaligus menuntut keegaliteran (simak
Soewandi, 1979:53-73). Dengan terealisasi dan terartikulasikannya
hal tersebut diharapkan tercipta dan tumbuh keterbukaan,
66

kepahaman, keramahan, keluwesan, kekompakan, kesaling-


mengenalan, keeratan, dan kebersatuan sehingga tercapai keadaan
batin orang Jawa dan keadaan sosial yang sreg dan kepenak yang
selanjutnya akan menjamin kelestarian keselarasan. Untuk
menunjang realisasi dan artikulasi hal tersebut, setiap manusia Jawa
perlu menghindari sikap dan perilaku adigang, adigung, lan
adiguna, dumeh (sugih, kuwoso, gedhe), aji mumpung, dan
sejenisnya sebab hal-hal tersebut hanya akan menimbulkan
kekikukan, kecongkakan, dan kesombongan (yang menurut
pandangan BJ tidak benar dan tidak tepat). Sebaliknya, perlu
dikembangkan oleh setiap manusia Jawa sikap dan perilaku momot,
momor, mamangkat, pangerten, dan sejenisnya. Dengan semua itu
diharapkan keadaan jatmika menjadi kukuh dan mantap yang
selanjutnya mampu menopang dan menjamin keadaan laras.
Nilai kejatmikaan manusia Jawa tersebut perlu didampingi oleh
nilai kerukunan manusia Jawa sebab keduanya bersimbiose
mutualistis atau saling mendukung. Nilai kerukunan manusia Jawa
di sini berkenaan dengan kekomunalan, kekompakan, kedamaian,
ketenangan, ke-adem-an, ke-ayem-an, kesepakatan,
ketidakbertengkaran, ketidakberselisihan, dan ke-tiada-persoalan-
an. Menurut Kayam (1987:108), kerukunan atau keadaan rukun
merupakan “... keadaan damai, bersatu, bersama, dan ora padudon
(tidak bertengkar) antara anggota masyarakat”, sedangkan menurut
Mulder (1983) yang disepakati juga oleh Magnis-Suseno (1985:39),
kerukunan atau keadaan rukun berarti “... berada dalam keadaan
selaras, tenang dan tentram, tanpa perselisihan dan pertentangan,
dan bersatu dalam maksud untuk sa-ling membantu”. Kerukunan
atau keadaan rukun ini sangat ditekankan dalam BJ dan
diartikulasikan antara lain dalam ungkapan sekaligus ajaran rukun,
urip sing padha rukun, rukun agawe santoso, crah agawe bubrah,
dan adem ayem tentrem kadyo sininaram banyu ayu sewindu
lawase. Setiap orang Jawa dituntut untuk menjaga, melindungi, dan
mengusahakan secara terus-menerus kerukunan atau keadaan rukun
(bandingkan Kayam, 1987; Magnis-Suseno, 1984; 1991). Untuk itu,
segala sesuatu yang dapat mengganggu dan mengancam kerukunan
harus dihindari, dikendalikan, dan dikelola oleh setiap orang Jawa,
misalnya dengan menaati dan merealisasikan ungkapan sekaligus
ajaran aja congkrah, aja padudon, aja sengit karo liyan, aja
genthing karo liyan, aja brangasan, aja njaluk menange dhewe, aja
sastru/jothakan, aja grusa-grusu, dan sejenisnya dalam hidup dan
kehidupan sehari-hari. Di samping itu, setiap orang Jawa perlu
menaati, menunaikan, dan mengembangkan segala sesuatu
menjamin dan melestarikan keadaan rukun, misalnya dengan
menaati dan merealisasikan ungkapan sekaligus ajaran mangan ora
mangan waton kumpul, roso kepenak, roso adem ayem tentrem, jer
basuki mawa bea, sabar, rila, narima, legawa, trapsila, dan
sejenisnya dalam hidup dan kehidupan baik pribadi maupun sosial.
Dengan demikian, diharapkan kerukunan atau keadaan rukun
terjamin dan terpelihara.
Selanjutnya, untuk menjamin keselarasan secara mantap, nilai
kejatmi-kaan dan nilai kerukunan manusia Jawa tersebut perlu
disertai dan dilengkapi dengan nilai kehormatan. Nilai kehormatan
manusia Jawa di sini berkenaan dengan ketakziman, kekhidmatan,
keharkatan, dan keberhargan unsur-unsur manusia dan alam
semesta beserta segenap hubungannya (bandingkan Mulder, 1984).
Menurut para pemerhati dan peneliti BJ, nilai kehormataan atau
keadaan hormat ini sangat diutamakan oleh manusia Jawa (simak
Geertz, 1983; Geertz, 1984; Kayam, 1987; Magnis-Suseno, 1983;
1984; 1991; Mulder, 1983; 1984). Dalam pelbagai serat, suluk, dan
wayang, misalnya, keadaan hormat memang sangat ditekankan dan
diutamakan. Setiap manusia Jawa dituntut untuk selalu
mengutamakan terjaganya, terlindunginya, dan terpeliharanya
secara terus-menerus kehormatan atau keadaan hormat dalam hidup
dan kehidupan mereka. Ucapan, tindakan, perbuatan, dan perilaku
mereka harus selalu dalam kerangka keadaan hormat agar
kehormatan atau keadaan hormat terjamin. Kerangka keadaan
68

hormat di sini bersifat hierarkis karena memperhatikan kedudukan


sosial budaya, kelas sosial, dan status sosial ekonomi (simak
Soewandi, 1979:53-73). Untuk itu, setiap orang Jawa antara lain
harus dapat aji/ngajeni, kurmat/ngormati, pekewet, sungkan,
lingsem, isin/ngerti isin, ajrih/wedi, empan papan, ngerti papane,
bawa-wibawa-pangaribawa, bisa rumangsa, bisa njaga praja,
dalam hidup dan kehidupan sehari-hari. Dengan demikian,
kehormatan atau keadaan hormat tetap terjamin dan terpelihara.
Adapun nilai keanggunan (edipeni) manusia Jawa (keeleganan)
berkenaan dengan keapikan, kebagusan, keindahan, dan keelokan
segenap unsur jagat cilik dan atau unsur jagad gedhe beserta
berbagai hubungannya (bandingkan Kayam, 1987: 108). Meskipun
hampir-hampir tidak pernah disinggung dan dibicarakan secara
sungguh-sungguh oleh pemerhati dan peneliti BJ, nilai keanggunan
ini termasuk penting karena melengkapi nilai kejatmikaan, nilai
kerukunan, dan nilai kehormatan untuk mendukung dan
mempertahankan nilai keselarasan (bandingkan Geertz, 1984;
Magnis-Suseno, 1983; 1984; 1991; Mulder, 1984). Dalam
pandangan BJ, keselarasan segala sesuatu tidak hanya terealisasi
dan terartikulasi dalam keadaan penuh jatmika, rukun, dan hormat,
tetapi juga keadaan anggun (edipeni, elok, endah). Kayam
(1987:108) mengemukakan bahwa jagat yang ideal dalam BJ —
terutama jagat aristokrat Jawa — adalah jagat yang tidak hanya
seimbang dan laras, melainkan juga indah, edi atau adi. Hal ini
menunjukkan bahwa konsep edipeni, elok, endah, dan adiluhung
yang dapat dirangkum dalam keanggunan atau keadaan anggun di
sini ditarik sedemikian jauh dalam hampir semua segi kehidupan
sehingga tidak hanya dikonotasikan dengan kesenian, tetapi hampir
pada semua penampilan sikap. Dalam BJ, keanggunan atau keadaan
anggun ini terartikulasi antara lain dalam bahasa, tari, kriya, dan
manusia. Ragam-ragam dan tingkat tutur bahasa Jawa
memancarkan keanggunan tertentu. Tari Jawa — terutama di
lingkungan keraton — juga selalu mencitrakan keanggunan tertentu.
Seni-seni kriya, misalnya keris dan batik, juga demikian. Oleh
karena itu, setiap manusia Jawa juga harus dapat merealiasikan dan
mengartikulasikan ke-edipeni-an, ke-adiluhung-an, ke-elok-an,dan
ke-endah-an dalam ucapan, tindakan, perbuatan, dan perilaku
mereka sehingga — dengan demikian — keselarasan (yang
diandaikan sudah ada) dapat dipertahankan, dijaga, dan dipelihara.

Nilai Kebersamaan Manusia Jawa

Nilai kebersamaan [kekolektifan] tidak terpisahkan dengan nilai


kemapanan dan keselarasan (bandingkan Wiryamartana, 1993:113).
Dikatakan demikian karena kemapanan dan keselarasan
mengimplikasikan kebersa-maan pada satu pihak dan pada pihak
lain kebersamaan dapat menopang dan mempertahankan
kemapanan dan keselarasan; jadi, ketiganya bersimbiose mutualistis
(bandingkan Kayam, 1987; Magnis-Suseno, 1984; 1991). Nilai
kebersamaan manusia Jawa di sini berkenaan kekomunalan,
keterpaduan, keseiringan, kebarengan, ke-seia-sekataan, ke-
sekalian-an, dan ke-tidakberlainan-an segala sesuatu — baik unsur
jagat besar maupun jagat ke-cil — di alam semesta dalam arti
seluas-luasnya (bandingkan Kamus Besar Bahasa Indonesia,
1993:773-774). Dalam BJ, unsur-unsur alam semesta, jagad gedhe,
misalnya planet-planet dalam tata surya, dipersepsi selalu bekerja
serentak, seiring, dan bareng secara serasi dan seimbang, tidak
berlain-lainan, sehingga tercipta kebersamaan. Dengan meneladani
kebersamaan unsur alam semesta, demikian juga kehidupan sosial
manusia Jawa dipersepsi harus selalu berlangsung secara seiring,
seia-sekata, dan sekalian, masing-masing individu tidak berlainan,
supaya kebersamaan tetap dapat dipertahankan. Orang Jawa percaya
bahwa kebersamaan ini merupakan fitrah keberadaan dan
kehidupan segala sesuatu. Menurut persepsi orang Jawa,
keindividualan yang tidak diorientasikan dan diabdikan bagi
70

tercapainya dan terpertahankannya kebersamaan merupakan hal


yang tidak benar dan tidak tepat sebab hal tersebut mencerminkan
sikap dan perilaku sak karepe dhewe, benere dhewe, dan penake
dhewe (semaunya sendiri, mau benar sendiri, dan seenaknya
sendiri) yang hanya akan mengganggu dan merusak kebersamaan.
Lagi pula, menurut persepsi orang Jawa, tidak mungkin sesuatu
dapat bertahan jika sendirian tanpa bergantung [terikat] dengan
yang lain atau tidak merasa menjadi satu keluarga.
Sejalan dengan itu, nilai kebersamaan ini dianggap sangat
penting dan dihargai tinggi dalam BJ. Hal ini telah ditekankan oleh
pelbagai kitab, folklor, dan tradisi lisan (simak Partokusumo,
1995:84). Ungkapan-ungkapan Jawa yang populer di kalangan
masyarakat Jawa juga banyak yang menekankan pentingnya
kebersamaan dalam hidup dan kehidupan, misalnya urip sing
guyub, mangan ora mangan kumpul, alon-alon waton kelakon,
sayuk saeko proyo tancut tali wondo, dan akeh anak akeh rejeki.
Kebiasaan dan adat tradisi kerja bakti, bersih desa, melayat
(takziah), dan membangun rumah bersama — sebagai contoh —
juga mencerminkan pentingnya dan berharganya kebersamaan.
Demikian juga tindakan-tindakan pribadi untuk mengalah,
menenteramkan diri, tolong-menolong, dan tidak menonjolkan diri
demi kepentingan bersama mencermin-kan pentingnya dan
berharganya kebersamaan. Kebersa-maan dipentingkan dan dihargai
oleh manusia Jawa karena oleh manusia Jawa kebersamaan diyakini
dapat membawanya ke kemapanan dan keselarasan, yang
selanjutnya akan mengantarkannya ke keselamatan dan
kesempurnaan.
Sehubungan dengan itu, setiap manusia Jawa tidak boleh
mengganggu, mengancam, apalagi merusak kebersamaan.
Sebaliknya, dia harus menjaga, memperta-hankan, memantapkan,
dan mengusahakan secara terus-menerus kebersamaan. Untuk itu,
setiap manusia Jawa harus selalu merasa menjadi satu keluarga
dengan yang lain (dadi sanak, sedulur), selalu siap dan bersedia
tolong-menolong (tulung-tinulung karo liyan), selalu siap dan
bersedia bergotong royong (gotong royong, gugur gunung), dan
selalu merasa tenteram dan damai dengan keadaan dan kenyataan
yang ada (adem ayem tentrem). Hal ini mencerminkan bahwa
kebersamaan terartikulasikan dan tereksternalisasikan ke dalam
kekeluargaan, ketolong-menolongan, kegotongroyongan, dan
ketenteramdamaian (bandingkan Herusatoto, 1987:42-44; Pugiarto,
1993:7). Ucapan, tindakan, perbuatan, dan perilaku manusia Jawa
harus dapat menjaga, melindungi, mempertahankan, dan
memantapkan nilai kekeluargaan, ketolongmenolongan,
kegotongroyong-an, dan ketenteramdamaian ini sehingga
kebersamaan terjaga dan terpelihara.
Nilai kekeluargaan manusia Jawa di sini berkenaan dengan
kebersatuan, keberkumpulan, kebersaudaraan, dan kesalingterikatan
baik unsur alam semesta maupun manusia sebagaimana layaknya
keluarga atau berada dalam satu keluarga besar (bandingkan Kamus
Besar Bahasa Indonesia, 1993; Herusatoto, 1987:42)). Orang Jawa
percaya bahwa segenap unsur alam semesta dan manusia pada
dasarnya berada dalam satu keluarga besar. Hal ini tampak,
misalnya, pada konsep sedulur papat lima pancer untuk menyebut
unsur-unsur dalam diri manusia; ungkapan/sapaan ki sanak untuk
menyapa orang lain yang belum dikenal; ungkapan rugi sathak
bathi sanak untuk menggambarkan keuntung-an memperoleh
keluarga meskipun rugi harta; konsep mangan ora mangan
(angger/pokoke) kumpul untuk mengungkapkan pentingnya
kebersamaan dalam satu keluarga; dan konsep paseduluran untuk
mengungkapkan pentingnya kekeluargaan. Setiap manusia Jawa
berkewajiban menjaga, melindungi, mempertahankan, dan
memantapkan kekeluargaan ini. Untuk itu, setiap manusia Jawa
perlu selalu berusaha melindungi orang lain (tega larane ora tega
patine), senasib sepenangungan (sepikul segendongan, jer basuki
mawa bea), dan merasa sama rasa sama bahagia atau satu untuk
semua, semua untuk satu (simak Herusatoto, 1987: 104-105;
72

Partokusomo, 1995:84). Selain itu, setiap manusia Jawa perlu


mengembangkan ucapan, tindakan, perbuatan, dan perilaku
sapadha-padha, srawung, ora derengki srei, ora medhit/serakah,
dan sejenisnya. Dengan demikian, kekeluargaan diharapkan dapat
menopang, menjamin, dan mempertahankan kebersamaan.
Sementara itu, nilai ketolong-menolongan manusia Jawa di sini
berkenaan dengan kesalingbutuhan, kekerjasamaan,
kesalingterikatan, kesalingbergantungan, dan kesaling-membantuan
segenap unsur alam semesta dan unsur manusia demi kemantapan
keberadaan atau kehadiran masing-masing (bandingkan Kamus
Besar Bahasa Indonesia, 1993; Kartodirdjo, 1987:90-105; Laksono,
1985; Mulder, 1986:37-38). Ketolongmenolongan yang terkait
dengan kekeluargaan ini tampak pada ajaran sekaligus tradisi
tulung-tinulung, sak dulur kudu tulung-tinulung, nempil,
nggendong indit, sambatan/sambat-sinambat, mbiyada, njurung,
sinoman, melekan/lek-lekan, dan tetulung layat. Orang Jawa
percaya bahwa keberadaan segala sesuatu — baik unsur alam
semesta maupun unsur manusia — menjadi mantap dan lestari
karena tolong-menolong ini. Tanpa tolong-menolong, kemantapan
dan kelestarian keberadaan unsur alam semesta dan manusia
terganggu, goyah, bahkan terancam. Oleh karena itu, tidak
mengherankan, dalam berbagai kitab, folklor, dan tradisi BJ, tolong-
menolong sangat ditekankan (simak Herusatoto, 1987; Kartodirdjo,
1987; Partokusumo, 1995). Segenap ucapan, tindakan, perbuatan,
dan perilaku setiap manusia Jawa harus mencerminkan tolong-
menolong. Dan, tanpa kecuali, setiap manusia Jawa berkewajiban
menjaga, mempertahankan, dan mengupayakan secara terus-
menerus ketolong-menolongan atau keadaan tolong-menolong ini,
antara lain dengan senang membantu orang lain, senang ikut
meringankan beban/kerja orang lain, senang ikut menemani orang
lain yang memiliki beban/kerja tertentu, dan tidak mementingkan
diri sendiri. Dengan demikian, diharapkan ketolong-menolongan
atau keadaan tolong-menolong dapat dipertahankan dan
dikembangkan.
Selanjutnya, nilai kegotongroyongan manusia Jawa di sini
berkenaan dengan kekawanan, kekelompokan, kepartisipasian,
kesalinghubungan, kesalingbutuhan, dan
kesalingbertanggungjawaban manusia Jawa demi keterja-gaan dan
keterpeliharaan alam semesta dan manusia Jawa (bandingkan
Kartodirdjo, 1987:90-109; Koentjaraningrat, 1992:56-61; Mulder,
1986:40-41). Kegotong-royongan ini berhubungan secara
mutualistis dengan kekeluargaan dan ketolongmenolongan dalam
usaha mempertahan-kan dan memelihara kebersamaan.
Kegotongroyongan ini terartikulasi terutama pada konsep sekaligus
tradisi gotong royong orang Jawa (simak Kartodirdjo, 1987:90-
109). Selain itu, kegotongroyongan juga terartikulasi pada tradisi
rembug desa, kerja bakti, gugur gunung, kerigan, kerig desa, dan
(ng)ranting yang pada umumnya disertai ungkapan penyemangat
(pengobar semangat) holopis kuntul baris dan atau rawe-rawe
rantas malang-malang putung. Menurut berbagai pemerhati dan
pengamat BJ, pelbagai kitab (serat, syi’ir) Jawa, seni pertunjukan
Jawa, dan folklor Jawa (lisan, setengah lisan, dan bukan lisan) juga
menekankan pentingnya kegotongroyongan, bahkan
menganggapnya sebagai salah satu karakteristik BJ (simak
Koentjaraningrat, 1992:56-67; Partokusumo, 1995:85-86). Dalam
persepsi/pandangan BJ, kegotongroyongan dapat membawa
masyarakat atau kehidupan bersama ke dalam keadaan serba
makmur, sejahtera, dan selamat sebagaimana terartikula-sikan pada
adagium panjang-punjung pasir wukir loh jinawi gemarh ripah tata
tentrem kerta tur raharja. Berhubung dengan itu, setiap manusia
Jawa berkewajiban menjaga, menaati, menunaikan,
mempertahankan, dan mengusahakan secara terus-menerus
keterlaksanaan dan kemantapan kegotong-royongan dalam hidup
dan kehidupan manusia Jawa. Segenap ucapan, tindakan, perbuatan,
dan perilaku manusia Jawa perlu diarahkan, dihulukan, dan
74

dimuarakan kepada keterpeliharaan kegotongroyongan. Untuk itu,


pada satu sisi, manusia Jawa tidak boleh egoistis, tidak boleh
mementingkan diri sendiri, dan tidak boleh mengutamakan
kemauan sendiri (karepe dhewe, penake dhewe, butuhe dhewe,
menange dhewe); pada sisi lain, manusia Jawa harus selalu rela
berkorban secara sosial demi kepentingan bersama, bersemangat
mengerjakan kepentingan bersama, giat bekerja demi kemaslahatan
bersama, dan siap sedia memberikan tenaga, pikiran, dan lain-lain
demi keperluan orang banyak (jer basuki mawa bea, hurub
hambangun praja, sepi ing pamrih rame ing gawe, sayuk saeko
praya tancut taliwondo, urun pikir lan rembug). Dengan demikian,
kegotongroyongan diharapkan dapat dipertahankan dan dipelihara.
Adapun nilai kenteramdamaian manusia Jawa (adem ayem
tenteram, tata tentrem) di sini berkenaan dengan ketenangan,
keamanan, kenyamanan, kebersihan, keopti-misan,
ketidakbermusuhan, dan ketidakresahan lahir dan batin manusia
Jawa supaya hidup dan kehidupan dapat mencapai kebersamaan
(bandingkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1993; Partokusumo,
1995; Pugiarto, 1993). Ketenteram-damaian ini menunjang dan
menopang kekeluargaan, ketolongmenolongan, dan
kegotongroyong-an dalam mewujudkan kebersamaan. Dikatakan
demikian karena kekeluargaan, ketolongmenolongan, dan
kegotongroyongan dapat tercipta, terjaga, dan terpelihara apabila
ada ketenteramdamaian atau keadaan tenteram damai. Manusia
Jawa percaya bahwa ketenteramdamaian merupakan prasyarat atau
dasar terciptanya kebersamaan yang makmur sejahtera. Maka dari
itu, dalam BJ, keadaan tenteram damai ini sangat ditekankan,
sebagaimana terartikulasi dan tereksternalisasi pada konsep
sekaligus ajaran urip tansah tentrem, urip adem ayem tentrem kerto
raharjo kadyo siniram banyu ayu sewindu lawase, tentrem iku
sarane urip aneng donya, kamulyaning urip iku dumunung ana ing
tentreming ati. Di samping itu, ajaran ketenteramdamaian
terartikulasi juga pada adagium negara bisa tentrem lamun murah
sandhang kalawan pangan, marga para kawula padha seneng
nyambut karya, lan ana panguwasa kang darbe sipat berbudi
bawaleksana, panguwasa iku kudu gawe tentrem para kawulane
marga yen ora mangkono bisa kawula ngrebut negara (simak
Partokusumo, 1995; Pugiarto, 1993; Satoto, 1984). Pada zaman
revolusi, terkenal pula adagium yang mengartikulasikan keinginan
tenteram damai manusia Jawa, yaitu adagium adem ayem tentrem
kerta raharja kadyo siniram banyu ayu sewindu lawase, yang biasa
diucapkan oleh Bung Karno. Hal ini harus dapat diwujudkan,
dipertahankan, dan dikembangkan oleh setiap manusia Jawa. Untuk
itu, pada satu sisi, setiap manusia Jawa harus dapat mengontrol atau
mengerem hawa nafsu, melepaskan egoisme atau pamrih,
mengembangkan perbuatan baik, menempatkan diri sesuai dengan
waktu dan tempat, senantiasa prihatin dan bersyukur terus-menerus
atas segala keuntungan yang diperolehnya (nggandholi [cegah]
hawa nepsu, sepi ing pamrih, prehaten, cegah dhahar, cegah
bantal guling, empan papan, untung). Pada sisi lain, setiap manusia
Jawa dilarang [tidak boleh] berucap, bertindak, berbuat, berperilaku
mentang-mentang, mau menang sendiri, dan mumpung (dumeh,
menange dhewe, mumpung). Dengan demikian, ketenteremdamaian
dapat dipertahankan dan dipelihara sehingga kelestarian
kebersamaan dapat dicapai dan dipelihara.
Agar lebih jelas, NFJ yang telah diuraikan di atas dapat dilihat
dalam Tabel 3.3 berikut ini.
76

KARAKTERISTIK NILAI ETIS JAWA

Berbeda dengan dalam dunia Barat, dalam BJ, etika sebagai


kajian (ilmu) kritis yang menelaah secara sistematis dan logis asas-
asas moral dan susila tidak berkembang (ethics of doing) sama
sekali. Yang sangat berkembang adalah etika sebagai pedoman atau
panduan praksis hidup dan kehidupan (ethics of being) (bandingkan
Magnis-Suseno, 1983; 1984; Sudarminta, 1991; Sutrisno, 1993).
Pelbagai kitab, folklor, dan seni pertunjukan Jawa, misalnya serat-
serat dan wayang Jawa, menekankan pentingnya etika sebagai
praksis hidup dan kehidupan (simak Ardani, 1995). Dalam
kedudukan dan keberadaan inilah, konsep etika dalam BJ harus
dibaca dan dipahami sebagai etiket dan moralitas. Dengan kata lain,
dalam BJ, yang berkembang adalah etiket dan moralitas, bukanlah
etika sebagai ilmu kritis, sehingga nilai menjadi sesuatu yang
kongkret dan nyata, bukan abstrak dan konseptual. Oleh karena itu,
nilai etis Jawa (NEJ) harus dipahami dan dimengerti dalam
kaitannya dengan etiket dan moralitas. Etiket dan moralitas Jawa ini
terangkum terutama dalam konsep wis (n)Jawa, gak (n)Jawa atau
durung (n)Jawa; jadi, konsep wis (n)Jawa, (n)Jawa, atau durung
(n)Jawa merupakan superordinat etiket dan moralitas Jawa. Orang
Jawa yang disebut atau dikatakan wis (n)Jawa atau wis ngerti
berarti sudah mengerti dan menguasai etiket dan moralitas Jawa,
sedangkan orang Jawa yang disebut atau dikatakan gak (n)Jawa dan
durung (n)Jawa [durung ngerti] berarti tidak dan belum mengerti
dan menguasai serta menggunakan etiket dan moralitas Jawa
(bandingkan Geertz, 1983; Geertz, 1984; Magnis-Suseno, 1983;
1984; Lombard, 1996b). Terhadap orang yang gak (n)Jawa, durung
(n)Jawa atau durung ngerti ini, setiap orang Jawa diseyogyakan
untuk memakluminya, pangerten, bukan mengumpat atau
mengutuknya meskipun semua itu tidak sesuai dengan moralitas
yang diidealkan. Dengan demikian, dapatlah disimpulkan bahwa
superordinat NEJ adalah konsep wis (n)Jawa dan gak (n)Jawa serta
durung (n)Jawa, yaitu keadaan hati nurani (karsa) yang sudah,
belum, dan tidak sesuai dengan tuntutan dan tuntunan etiket dan
moralitas Jawa (bandingkan Magnis-Suseno, 1983; Lombard,
1996b).
Etiket lebih berbicara tentang kesopansantunan-
ketidaksopansantunan, sedangkan moralitas lebih berbicara tentang
kebaikan-keburukan. Hal ini mengimplikasikan bahwa etiket dan
moralitas Jawa berbicara tentang kesopansantunan dan kebaikan
menurut persepsi manusia Jawa atau pandangan manusia Jawa.
Ungkapan becik ketitik ala ketara, aja tumindak ala, wong sing
ngerti unggah-ungguh, ngunduh wohing pakarti, wong temen
tinemu wong salah seleh,dan unggah-ungguhing basa, misalnya,
78

merupakan contoh artikulasi dan eksternalisasi etiket dan moralitas


Jawa. Di sini menjadi jelas bahwa NEJ tidak hanya mempersoalkan
kebaikan-keburukan (becik, apik, ala), tetapi juga kesopan-
santunan-ketidaksopan-santunan atau kepantasan-ketidakpantasan
(unggah-ungguh, pakarti, pantes, totokromo). Kebaikan di sini
lebih berkenaan dengan aspek standar moral tertentu yang
substantif-ontologis, sedangkan kesopansantunan atau kepantasan
berkenaan dengan aspek perwujudan atau praksis standar moral
tersebut ke dalam etiket yang proporsional-kontekstual-performatif.
Ucapan, tindakan, perbuatan, dan perilaku etis orang Jawa harus
selalu dalam koordinat kebaikan dan kepantasan ini: misalnya,
orang Jawa tidak cukup hanya bertindak dan berbuat baik, tetapi
juga harus bertindak dan berbuat pantas. Orang yang sudah bisa
bertindak dan berbuat baik dan pantas ini dapat dikategorikan orang
yang sudah Jawa, wis (n)Jawa. Dalam hidup dan kehidupan, setiap
manusia Jawa harus menguasai asas-asas dan kaidah-kaidah
kebaikan dan kepantasan (menurut persepsi BJ) ini agar dapat
disebut wis (n)Jawa. Di samping itu, dia harus dapat menjaga,
melindungi, mempertahankan, dan mengusahakan terus-menerus
kemantapan dan keterpeliharaan asas-asas dan kaidah-kaidah
kebaikan dan kepantasan tersebut.
Dalam budaya Jawa, ucapan, tindakan, perbuatan, dan perilaku
yang dianggap baik dan pantas adalah yang bijaksana dan penuh
kasih sayang (wicaksana, asih ing sesami [welas asih]). Orang
Jawa yang wicaksana [memiliki kawicaksanan] dan asih ing sesami
[memiliki welas asih] pada umumnya disebut orang baik dan
santun-pantas. Sebaliknya, orang disebut tidak baik dan tidak
santun-pantas jika tidak mengedepankan atau menampilkan
kawicaksanan dan asih ing sesami. Tidak mengherankan, dalam
budaya Jawa terdapat tuntutan kepada setiap manusia Jawa untuk
mencari kebijaksanaan (ngudi kawicaksanan) dan mengembangkan
kekasihsayangan (nguri-uri asih ing sesami/welas asih). Dengan
kebijaksanaan dan kekasihsayangan yang dimilikinya, diharapkan
setiap manusia Jawa akan mampu atau dapat bersikap, berucap,
bertindak, berbuat, dan berperilaku dengan baik dan pantas. Di
sinilah dapat dinyatakan bahwa kebaikan dan kepantasan menurut
pandangan etis Jawa adalah kebijaksanaan dan kekasihsayangan.
Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa koordinat NEJ adalah nilai
kebijaksanaan dan kekasihsayangan sebagai manusia.

Nilai Kebijaksanaan Manusia Jawa

Nilai kebijaksanaan manusia Jawa di sini berkenaan dengan


kearifan, kebajikan, kecermatan, kecakapan, kecendekiaan, dan
kepandaian budi ma-nusia Jawa dalam hidup dan kehidupannya.
Dalam BJ, kebijaksanaan ini terartikulasi dan tereksternalisasi
antara lain dalam agadium atau konsep ngudi kawicaksanan, wasis-
winasis, tri winasis, ber budi bawaleksana, sabda pandito ratu tan
kena wola-wali, dan ujaran dalang-dalang wayang kulit Jawa yang
berbunyi: Dene lelabuhaning nata, paring sandhang wong kawud-
an, asung pangan wong kaluwen... (Adapun kebijaksanaan raja,
memberi pakaian orang telanjang, memberi makan orang
kelaparan ...). Dalam BJ dipercayai bahwa kebijaksanaan
merupakan hulu atau sumber bagi tercapainya kedewasaan jiwa
manusia (kadewasan jiwo), yang selanjutnya bisa membawa
manusia Jawa ke dalam hidup bersama, selaras, mapan, sempurna,
dan selamat. Kadewasan jiwo ini meliputi madubasa, madurasa,
dan madubrata [kedewasaan pribadi, kedewasaan sosial, dan
kedewasaan spiritual] (simak Haryanto, 1992:175). Orang Jawa
memang percaya bahwa kebijaksanaan merupakan sumber atau
hulu hidup dan kehidupan yang sempurna dan selamat (bandingkan
Ciptoprawiro, 1987; Partokusumo, 1995; Pugiarto, 1993). Hal ini
telah dikemukakan oleh pelbagai serat, kitab, folklor lisan, wayang
kulit, dan seni pertunjukan Jawa (simak Ardani, 1995; Fanani,
1996; Herusatoto, 1987; Kuntowijoyo, 1987; Magnis-Suseno, 1983;
80

Partokusumo, 1995). Oleh karena itu, kebijaksanaan dipandang


sangat penting dalam BJ.
Sehubungan dengan itu, merupakan keharusan setiap manusia
Jawa untuk menguasai kebijaksanaan. Konsekuensi logisnya, setiap
manusia Jawa harus ngudi kawicaksanan, mengupayakan
kebijaksanaan. Tanpa kecuali, baik orang biasa maupun raja, harus
mengupayakan kebijaksanaan agar menjadi manusia bijaksana
(manungsa wicaksana) (simak Amir, 1991; Fanani, 1996; Magnis-
Suseno, 1983; Moertono, 1986; Partokusumo, 1995). Manusia Jawa
bijaksana adalah manusia yang ora samar obahing kahanan (simak
Amir, 1991:157). Untuk menjadi manusia bijaksana, setiap manusia
Jawa harus mengembangkan kedewasaan jiwa (kadewasan jiwa)
dengan cara olah rasa dan olah budi. Taraf kedewasaan jiwa akan
menentukan taraf kebijaksanaan manusia Jawa. Agar dapat dicapai
taraf kedewasaan jiwa yang tinggi, manusia Jawa antara lain harus
mampu mengendalikan atau menguasai hawa nafsunya
(mupus/mepes hawa nepsu, nutupi babahan hawa songo),
meningkatkan mutu nafsu (supiah, lawwamah, amarah,
mutmainah), mengembangkan mutu kepribadian atau budi (mesu
budi), dan meningkatkan mutu hidup agar terhindar dari aral dan
menjadi suci (bekaning ngaurip lan tapaning ngaurip) dengan
berbagai pengetahuan dan jalan, misalnya tarak brata, tapa brata,
dan manekung. Dengan demikian, setiap manusia Jawa akan
mampu bersungguh hati atau bertepat janji (ber-budi bawaleksana,
temen), bersikap dan bertindak adil atau tidak pilih kasih (sama
beda dana dhendha), mengerti orang lain (pangerten), merasakan
orang lain (bisa rumangsa), berlapang dada (lega, lila, legawa),
bersikap dan berlaku rendah hati (andap asor), dan bertenggang
rasa dengan orang lain (tepa salira, mulat sarira, mawas diri). Di
sinilah dapat dikatakan bahwa nilai kebijaksanaan terjabarkan atau
tereksternalisasi menjadi nilai ketepatjanjian, keadilan atau
ketakpilihkasihan, kemengertian, kebisame-rasaan, kelapang-
dadaan, kerendahhatian, dan ketenggangrasaan.
Nilai ketepatjanjian atau kesungguhhatian manusia Jawa di
sini berke-naan dengan kekonsekuenan, kejituan, ke-kenabenar-an
atau ke-mengena-an, dan keterlaksanaan janji yang telah dinyatakan
oleh setiap manusia Jawa dalam hidup dan kehidupannya. Dalam
pandangan etis BJ, ketepatjanjian atau kesungguhhatian ini
sangatlah penting sehingga harus dimiliki oleh setiap manusia Jawa.
Setiap manusia Jawa harus dapat memegang teguh janji, menepati
janji, dan bersungguh-sungguh hati dalam melaksanakan janji yang
telah dinyatakannya. Semua itu harus dapat diwujudkan oleh baik
pemimpin maupun rakyat Jawa (simak Partokusumo, 1995:88;
Sujamto, 1993:16). Keharusan tersebut terartikulasi antara lain pada
konsep sekaligus sabda pandhita ratu tan kena wola-wali,
(berbudi) bawaleksana, netepi ilat, ulat, lan ulah, temen, tenan(an).
Para pemimpin Jawa, misalnya raja, harus dapat sabda pandhita
ratu tan kena wola-wali dan (berbudi) bawaleksana. Masyarakat
awam harus dapat netepi ilat, ulat, lan ulah, temen, dan tenanan.
Baik pemimpin maupun masyarakat awam tidak boleh (m)blenjani
janji, plintat-plintut, abang-abang lambe, dan esok dele sore tempe
(mengingkari janji yang telah dinyatakan). Jika ada orang
(m)blenjani janji, maka orang yang diberi janji boleh, bahkan harus
nagih janji (menagih janji kepada pemberi janji) dengan berbagai
jalan yang telah ditentukan. Dengan demikian, nilai ketepatjanjian
atau kesungguhhatian manusia Jawa dapat dipertahankan dan
dipelihara secara terus-menerus.
Sementara itu, nilai keadilan atau ketidakpilihkasihan manusia
Jawa berkenaan dengan keberimbangan, keproporsionalan
(kesesuaian proporsi) , kesepatutan, kewajaran, ketidaksewenang-
wenangan, ketidakberat-sebelahan, dan ketidakmemihakan segenap
ucapan, tindakan, perbuatan, dan perilaku (ilat, ulat, ulah) manusia
Jawa (simak Amir, 1991:131-133; Koentjaraningrat, 1986:137;
Partokusumo, 1995:88). Dalam pandangan BJ, keadilan atau
ketidakpilihkasihan ini terartikulasi dan tereksternalisasi antara lain
dalam adagium sekaligus ajaran adil tan pilih sih, aja pilih kasih,
82

adil paramarta, ambeg paramarta, dan sama beda dana dhendha


[adil tanpa pilih kasih, jangan pilih kasih, adil bagi semua, tindakan
adil bagi semua, dan adil tanpa membedakan manusia di depan
hukum]. Keadilan atau ketidak-pilihkasihan ini dianggap penting
dalam BJ sehingga setiap manusia Jawa — baik pemimpin maupun
masyarakat — harus menjunjung tinggi dan merealisasikan keadilan
atau ketakpilihkasihan dalam hidup dan kehidupannya. Para
pemimpin Jawa harus dapat ambeg paramarta, sama beda dana
dhendha, dan adil tan pilih sih (berucap dan bertindak adil, tidak
membeda-bedakan orang di depan hukum, dan adil tanpa pilih
kasih). Demikian juga masyarakat awam harus adil tan pilih sih,
aja pilih kasih, aja mban cinde mban ciladan (adil tanpa pilih kasih,
tidak pilih kasih). Oleh karena itu, setiap manusia Jawa harus
mempertahankan dan mengupayakan secara terus-menerus
keadilan. Untuk itu, dia harus menaati hukum, aturan, ketentuan,
dan adat tradisi yang mengatur tentang keadilan; bertindak dan
berbuat hati-hati penuh pertimbangan baik (deduga, prayoga); tidak
boleh bertindak sewenang-wenang (adigang, adigung, adiguna),
mentang-mentang (dumeh kuwoso, pinter, kuat lan gagah, sugih,
menang), dan serba mumpung (mumpung kuat lan gagah, pinter,
kuwoso, sugih, lan menang). Dengan demikian, keadilan atau
ketakpilihkasihan dapat ditegakkan dan diupayakan dengan mantap.
Nilai keadilan (ketidakpilihkasihan) manusia Jawa tersebut
ditunjang dan “didampingi” oleh nilai kemengertian manusia Jawa.
Nilai kemengertian manusia Jawa di sini berkenaan dengan
kemampuan orang Jawa dalam menangkap, memahami, menyelami,
dan merasakan perasaan, pikiran, dan hati orang lain. Konsep kunci
sekaligus superordinat kemengertian ini adalah pangerten (menjadi
mengerti). Dalam BJ, hal ini sangat penting sehingga setiap
manusia Jawa diharuskan pangerten. Dibandingkan dengan pinter
dan wasis (pandai dan cerdas), pangerten lebih diutamakan atau
dikedepankan. Dikatakan demikian karena — menurut pandangan
etis Jawa — pinter dan wasis merupakan dasar pangerten. Orang
Jawa tidak cukup hanya pinter dan wasis karena ke-pinter-annya
dan ke-wasis-annya akan bisa digunakan untuk minteri liyan dan
tuminak keblinger serta sembrana nerak wewaler yang notabene
merupakan sikap dan tindakan adigung, adiguna, dumeh (dumeh
pinter, tumindake keblinger), dan mumpung (mumpung pinter, njur
sembrana nerak wewaler), yang dalam pandangan etis Jawa tidak
baik dan tidak pantas (simak Magnis-Suseno, 1983:72-73;
Herusatoto, 1987:82-83). Setiap orang Jawa harus dapat mencapai
derajat pangerten karena dengan pangerten-nya dia akan bisa
mengerti orang lain, ngerti liyan atau mangerteni liyan. Untuk
menjadi pangerten, setiap orang Jawa perlu mencari pengetahuan
dan menjalani laku utama, ngangsu kawruh, ngelmu [tuwo, sepuh],
laku utomo [tarak brata, tapa brata, manekung], yang bersangkutan
dengan budi manusia.
Kemengertian makin mantap apabila ditunjang oleh
kelapangdadaan atau kelapanghatian. Hal ini menunjukkan bahwa
nilai kemengertian didu-kung oleh nilai kelapangdadaan atau
kelapanghatian manusia Jawa. Nilai kelapangdadaan atau
kelapanghatian manusia Jawa di sini berkenaan dengan keikhlasan,
kerelaan, kesabaran, kesyukuran, kesediaan, keberasalegaan, dan
keberasa-senangan hati, pikiran, dan perasaan dalam menghadapi,
menerima, dan menyelesaikan segala kejadian, peristiwa, dan
kenyataan hidup dan kehidupan (bandingkan Kamus Besar Bahasa
Indonesia, 1993:498; Herusatoto, 1987:79-81; Sutrisno, 1993:42-
44). Dalam BJ, kelapangdada-an ini termanifestasi atau terartikulasi
dalam konsep sekaligus ajaran eklas, lega, lila, rila, legawa, sabar,
rereh, ririh, sareh, saleh, momot, dan narima (nriman). Orang Jawa
menganggap kelapangdaaan atau kelapanghatian ini sebagai nilai
yang penting (simak Ardani, 1995:175). Oleh sebab itu, tanpa
kecuali, setiap manusia Jawa berkewajiban menjaga,
mempertahankan, dan mengupayakan secara terus-menerus
kelapangdadaan atau kelapanghatian. Di samping itu, setiap
manusia Jawa diharuskan menguasai dan menunaikan
84

kelapangdadaan atau kelapanghatian dalam hidup dan kehidupan


karena kelapangdadaan atau kelapanghatian akan menjadikan
manusia Jawa bijaksana. Untuk itu, ucapan, tindakan, perbuatan,
dan perilaku setiap manusia harus bisa luwes beradaptasi (manjing
ajur ajer), berbesar hati, tidak memberontak, tidak menyesal
kehilangan (lila lamun kelangan nora gegetun, kata Wedhatama),
penuh pertimbangan hati, dan menahan diri. Di kalangan priyayi,
semua itu lazim disebut sebagaui piwulang yang berfungsi sebagai
pengendali etis kekuasaan priyayi. Dalam pada itu, di kalangan
orang kecil semua itu lebih sebagai metode atau strategi
mempertahankan sekaligus menjalani hidup dan kehidupan agar
selamat. Dengan demikian, kelapangdadaan atau kelapanghatian
dapat terjaga dan terpelihara.
Selanjutnya, nilai kerendahhatian manusia Jawa di sini
berkenaan dengan kesewajaran, keproporsionalan, ketundukan,
kekhidmatan, ketakziman, ketidaksombongan, ketidakangkuhan,
ketidakcongkakan, dan ketidakminderan manusia Jawa dalam hidup
dan kehidupan (bandingkan Geertz, 1983:326-328; Kamus Besar
Bahasa Indonesia, 1993:740; Kartodirdjo dkk., 1987:116-117).
Konsep kunci yang sekaligus menjadi superordinat kerendahhatian
ini adalah andhap asor atau tawaduk (di kalangan santri). Andhap
asor di sini berkaitan dengan luhur ing pambudi; maksudnya,
derajat andhap asor manusia Jawa hanya bisa atau mungkin dicapai
apabila manusia Jawa memiliki luhur ing pambudi (bandingkan
Ardani, 1995:158). Tanpa luhur ing pambudi, manusia Jawa akan
ke jatuh ke dalam asor bebudene [bodho, ala, nista] (simak
Koentjaraningrat, 1986: 157). Bagi penguasa Jawa, misalnya, hal
tersebut harus benar-benar dicamkan sebab penguasa dituntut untuk
selalu luhur ing pambudi agar tidak asor bebuden. Hal ini
menunjukkan bahwa kerendahhatian berhubungan saling
menunjang dengan keluhuran budi. Dalam hubungan inilah
kerendahhatian dianggap penting dalam BJ, sebagaimana banyak
dikemukakan dalam kitab [misalnya Wedhatama], seni pertunjukan,
dan folklor lisan (simak Ardani, 1995:158). Mengingat pentingnya
kerendahhatian dalam BJ, maka setiap manusia Jawa diharuskan
mengusai dan menunaikan serta melaksanakan kerendahhatian, ke-
andhap-asor-an, dalam hidup dan kehidupannya. Di samping itu,
setiap manusia Jawa berkewajiban menjaga, mempertahankan, dan
mengupayakan secara terus-menerus kemantapan dan
keterpeliharaan kerendahhatian ini. Untuk itu, manusia Jawa tidak
boleh merendahkan orang lain (ngrendhahake liyan), tidak boleh
merendahkan diri-sendiri (asor bebuden), tidak boleh mentang-
mentang (aja dumeh), dan pandai-pandai menempatkan diri (empan
papan) serta tanggap akan situasi-dan-kondisi (tanggap ing
sasmita). Serat Darmawirja (simak Kartodirdjo dkk., 1987:117),
sebuah kitab di lingkungan priyayi, menegaskan bahwa ke-andhap-
asoran dapat ditegakkan dengan

anyingkiri sumangkeyan
dir angunggulaken sarira
sumenggah kumalungkung
kuminter lan kumasura
sosongaran anggunggung badan pribadi
ladak angicak-icak

Kutipan di atas mengamanatkan agar manusia Jawa, dalam hal ini


priyayi, menghindari tinggi hati, menyombongkan diri, merasa diri
pintar, dan merasa kelebihan pada satu sisi dan pada sisi lain agar
manusia Jawa mengedepankan kerendahhatian.
Adapun nilai ketenggangrasaan atau ketoleranan manusia
Jawa di sini berkenaan dengan kemampuan menghormati,
menghargai, dan menjaga keberadaan (diri, pikiran, dan perasaan)
sesama manusia Jawa sehingga masing-masing sama-sama leluasa,
sama-sama bahagia, tidak dirugikan, tidak menjadi susah, tidak
menjadi tersinggung, tidak merasa dipaksa dan ditekan, dan tidak
menanggung beban (bandingkan Kamus Besar Bahasa Indonesia,
86

1993:933; Magnis Suseno, 1983:55-57; Mulder, 1983:40-41;


Sujamto, 1992:37). Dalam pandangan etis Jawa, ketenggangrasaan
atau ketoleranan ini termanifestasi dan terartikulasi ke dalam
konsep kunci tepa sarira atau tepa salira (simak Jatman, 1996:122-
123). Ucapan-ucapan seperti sedaya agami punika sae, sedaya
agami punika sami, ngaten nggih kenging, ngono yo oleh/bisa,
mborong kersa, monggo kersa, sak kersa panjenengan, pasrah
bongkokan [semua agama itu baik, semua agama itu sama,
demikian juga boleh, begitu juga boleh, terserah kemauan Anda,
terserah kemauan Anda, pasrah sepenuhnya] dan manut [menurut]
merupakan cerminan tepa salira ini karena ucapan-ucapan tersebut
berkonotasi memberikan keleluasaan, tidak memaksa, tidak
menekan orang lain, dan menuruti atau menyetujui kehendak orang
lain. Keadaan tepa salira ini dapat dicapai apabila ada keadaan
mulat sarira. Jika yang ada hanya ngukur salira (mengukur diri)
dan nandhing salira (membandingkan diri), maka yang dapat
dicapai hanyalah ngadi salira (merawat diri). Padahal, meskipun
tidak ditolak atau dilarang, ngadi salira hanya merupakan salah satu
jalan mencapai tepa salira atau mulat salira. Tepa salira-lah yang
paling inti dari nilai ketoleranan atau ketenggangrasaan manusia
Jawa, sebagaimana juga diakui dan dikemukakan oleh para
pemerhati dan peneliti BJ (simak Magnis-Suseno, 1983:49-51;
Mulder, 1983:40—41; Sujamto, 1992:33; 1993:118). Dalam
hubungan inilah, maka setiap manusia Jawa diharuskan mampu
menguasai tepa salira, bukan hanya ngadi salira. Di samping itu,
setiap manusia Jawa juga berkewajiban menjaga, menjamin,
mempertahankan, dan mengupayakan secara terus-menerus
kemantapan tepa salira. Untuk itu, manusia Jawa perlu
mengembangkan diri, mulat salira, dengan berbagai jalan
pengetahuan dan laku. Dengan demikian, nilai ketenggangrasaan
manusia Jawa dapat difungsionalkan, dipertahankan, dan dipelihara.

Nilai Kekasihsayangan Manusia Jawa


Nilai kebijaksanaan manusia Jawa tidak dapat dipisahkan
dengan nilai kekasihsayangan manusia Jawa. Dikatakan demikian
karena nilai kebijaksanaan dengan pelbagai ragam manifestasinya
tidak dapat berkembang apabila tidak berkembang nilai
kekasihsayangan pada satu pihak dan pada pihak lain nilai
kekasihsayangan mempersyaratkan tumbuhnya nilai kebijaksanaan;
jadi, keduanya saling menunjang dalam membentuk sosok nilai etis
Jawa. Nilai kekasihsayangan manusia Jawa di sini berkenaan
dengan kefilantropisan, kealtruistisan, dan kehumanistisan ucapan,
tindakan, perbuatan, dan perilaku manusia Jawa dalam hidup dan
kehidupan (simak Amir, 1991:165; Fanani dkk., 1996:85-86)).
Dalam BJ, superordinat kekasihsayang-an ini termanifestasi dalam
konsep asih ing sesami dan welas asih (simak Sujamto, 1993:38).
Adagium asah-asih-asuh menunjang konsep ini. Orang Jawa
percaya bahwa asih ing sesami dan welas asih ini merupakan jalan
untuk menjadi manusia inklusif yang tidak chauvinis (jembar atine,
padang pikire). Dengan menjadi manusia inklusif, manusia Jawa
menjadi tidak egoistis atau mementingkan diri sendiri pada satu
pihak dan pada pihak lain bisa menerima, menghargai,
menghormati, dan memperhatikan pihak lain (momot, memangkat).
Ungkapan memayu hayuning dhiri, memayu hayuning bangsa, dan
memayu hayuning bawana merupakan cerminan keinklusif-an
manusia Jawa (simak Amir, 1991:166). Pada dasarnya, keinklusifan
ini merupakan ciri khas nilai kekasihsayangan manusia Jawa.
Nilai kekasihsayangan ini dianggap penting dalam pandangan
etis BJ. Buktinya, pelbagai kitab, seni pertunjuk-an Jawa, dan
folklor Jawa, misalnya serat, wayang kulit, dan sastra lisan, banyak
menekankan ihwal kekasihsa-yangan dalam hidup dan kehidupan
(simak Amir, 1991:167; Fanani dkk., 1996:86; Kartodirdjo dkk.,
1987:117). Menurut berbagai kitab, seni pertunjukan, dan folklor
Jawa, setiap manusia Jawa perlu mengasihsayangi keluarga
(istri/suami, anak-anak, orangtua, dan sebagainya), anggota-anggota
88

masyarakat, dan sebagainya (simak Ardani, 1995:146; Sujamto,


1992:40). Oleh karena itu, manusia Jawa dilarang mengganggu atau
merusak kekasihsa-yangan atau keadaan penuh kasih sayang.
Sebaliknya, menjadi keharusan setiap manusia Jawa untuk selalu
mewujudkan, menjaga, mempertahankan, dan mengupayakan
kekasihsa-yangan atau keadaan penuh kasih sayang dalam hidup
dan kehidupan manusia Jawa. Hal ini dapat ditunaikan dengan jalan
antara lain selalu mencintai sesama (tresna, remen, ngajeni),
bersikap dan bertindak manusiawi (nguwongke, ora ngelek-elek
liyan), dan melindungi sesama manusia tanpa pandang bulu (ayom
[ngayomi], among [ngemong], asuh [ngasuh]). Atas dasar hal ini
dapat dikatakan bahwa nilai kekasihsayangan manusia Jawa
termanifestasi ke dalam nilai kecintaan, nilai kemanusiawian, dan
nilai kemelindungian manusia Jawa.
Nilai kecintaan manusia Jawa di sini berkenaan dengan
kemampuan dan kesediaan manusia Jawa untuk menaruh dan
“mewujudkan” kesukaan, kesenangan, kepercayaan, kehargadirian,
dan ketulusan kepada sesama manusia, masyarakat atau bangsa,
bahkan kepada alam semesta beserta isinya (bandingkan Kamus
Besar Bahasa Indonesia, 1993:168-169; Koentjaraning-rat,
1984:252; Sujamto, 1992:40). Dalam BJ, kecintaan ini terartikulasi
dan termanifestasi antara lain di dalam konsep asih (welas asih,
asih ing sesami), tresna (katresnan), sengsem, remen (remenan),
seneng, dan (ati) bungah. Di dalam pelbagai kitab, seni
pertunjukan, dan folklor lisan Jawa konsep-konsep tersebut sering
disebut dan diajarkan. Hal ini merupakan tanda pentingnya
kecintaan dalam moralitas Jawa. Berhubung dengan hal itu, setiap
manusia Jawa perlu memiliki kecintaan kepada sesama manusia
(diri, keluarga), masyarakat atau bangsa, dan alam semesta,
sebagaimana tampak pada adagium memayu hayuning dhiri,
memayu hayuning bebrayan agung, memayu hayuning bangsa,
memayu hayuning bawana, melu handarbeni wajib hangrungkebi,
asih ing sesami, asih marang sapadha-padha, dan lain-lain. Di
samping itu, setiap manusia Jawa berkewajiban mempertahankan,
melindungi, dan mengupayakan secara terus-menerus kecintaan
dalam hidup dan kehidupan sehari-hari agar keberbedaan dan
kesejukan suasana kehidupan dapat dijaga dengan baik (simak
Sujamto, 1992:39). Untuk itu, manusia Jawa antara lain tidak boleh
iri hati, tidak boleh tinggi hati atau egoistis, dan tidak boleh melukai
orang lain (aja drengki srei, aja sakkarpe dhewe, aja gawe alaning
liyan, aja gawe ala). Sebaliknya, manusia Jawa antara lain perlu
berbuat baik-baik, mendukung sesuatu yang positif, menghormati
segala sesuatu (gawe becik, mangayu bagyo, ngajeni). Dengan cara
demikian, kecintaan sebagai moralitas Jawa dapat dipertahankan
dan dipelihara.
Nilai kecintaan tersebut ditunjang dan “didampingi” oleh nilai
kemanusiawian sebab kecintaan ditandai oleh adanya
kemanusiawian pada satu pihak dan pada pihak lain kemanusiawian
memprasyaratkan kecintaan. Nilai kemanusiawian manusia Jawa di
sini berkenaan dengan kemampuan dan kesanggupan manusia Jawa
untuk menjunjung dan menghormati harkat dan martabat manusia
lain (bandingkan Hardjowirogo, 1984:102; Kamus Besar Bahasa
Indonesia, 1993:569; Magnis-Suseno, 1991:95). Intisari atau lokus
nilai kemanusiawian Jawa ini terletak pada konsep sekaligus ajaran
kamanungsan dan nguwongake. Menurut pandangan etis Jawa,
kedudukan dan peranan kamanungsan dan nguwongake ini sangat
penting dalam etiket dan moralitas Jawa (simak Hardjowirogo,
1984:104). Setiap manusia dituntut untuk memiliki dan menguasai
roso kamanungsan. Dengan roso kamanungsan itu, manusia Jawa
akan mampu dan sanggup mengorangkan atau memanusiakan,
nguwongke, siapa saja dalam hidup dan kehidupan sehari-hari.
Kemampuan dan kesanggupan nguwongke ini ditandai oleh sikap
dan tindakan tidak menjelek-jelekkan orang lain, tidak membuat
malu orang lain di muka umum, tidak membuka aib orang di muka
umum, dan tidak menjatuhkan [mencelakakan, menjerumuskan]
orang lain (ora gawe eleke liyan, ora ngelek-eleke liyan, ora gawe
90

isine liyan, ora ngisin-isin liyan, ora marake kelangan rai, njaga
prajane liyan). Selain itu, roso kamanungsan dan nguwongake
ditandai oleh sikap dan tindakan membantu derita orang lain,
melindungi orang lain, dan menjaga [melindungi] harga diri orang
lain (bandingkan Hardjowirogo, 1984:104). Dengan demikian,
diharapkan nilai kemanusiawian, roso kamanungsan dan
nguwongake, dapat difungsionalkan, dipertahankan, dan dipelihara.
Selanjutnya, nilai ke-melindungi-an manusia Jawa di sini
berkenaan dengan kesedian dan kesanggupan manusia Jawa untuk
menjaga, merawat, memelihara, dan bahkan menyelamatkan
manusia lain dalam hidup dan ke-hidupan (bandingkan Kamus
Besar Bahasa Indonesia, 1993:526). Nilai kemelindungian ini
merupakan konsekuensi logis nilai kecintaan dan kemanusiawian
manusia Jawa. Dikatakan demikian karena kecintaan dan kema-
nusiawian menyiratkan kesanggupan melindungi, tidak
mencelakakan orang lain; jadi, kecintaan dan kemanusiawian
membayangkan ke-melindungi-an. Dalam BJ, intisari (lokus) ke-
melindungi-an ini termanifestasi dan tereks-ternalisasi dalam
konsep sekaligus ajaran ayom [ngayomi], among [ngemong], dan
asuh [ngasuh]. Setiap manusia Jawa hendaknya mampu mere-
alisasikan ayom, among, dan asuh dalam hidup dan kehidupan
sehari-hari (mampu mengayomi, mengemong, dan mengasuh).
Seorang pemimpin Jawa, misalnya, harus mampu mengayomi
(ngayomi) atau memberikan peng-ayom-an kepada rakyatnya. Di
samping itu, setiap manusia juga harus dapat merasa diayomi, dan
diemong oleh pemimpin. Dengan kata lain, setiap manusia Jawa
hendaknya merasakan suasana penuh ayom, among, dan asuh pada
satu pihak dan pada pihak lain hendaknya selalu menjaga,
mempertahankan, dan mengupayakan secara terus-menerus
terpeliharanya suasana tersebut dalam hidup dan kehidupan sehari-
hari. Untuk itu, setiap manusia Jawa perlu memperhatikan orang
lain, ringan tangan menolong orang lain, dan mampu “mengelola”
keadaan bersama (among mangsa). Dengan demikian, ke-
melindungi-an dapat diwujudkan, difungsionalkan, dan
dipertahankan untuk melestarikan kekasihsayangan.
Agar lebih jelas, NEJ yang telah diuraikan di atas dapat dilihat
dalam Tabel 3.3 berikut ini.

KARAKTERISTIK NILAI ESTETIS JAWA

Nilai estetis Jawa (NTJ) di sini berkenaan dengan keterikatan


rasa dan emosi manusia Jawa dengan yang indah dan elok, endah
lan elok. Di sinilah dapat dikatakan bahwa NTJ adalah nilai yang
berkenaan dengan keindahan dan keelokan dalam pandangan
manusia Jawa atau menurut rasa manusia Jawa (bandingkan Kamus
Besar Bahasa Indonesia, 1993:256; Lombard, 1996:210; Sudewo,
1991:23-30; Teeuw, 1984:253-256; Wiryamartana, 1986:208-211;
1990:355; Quinn, 1995:260-268). Dalam pandangan BJ, NTJ ini
tidak terlepas dari NRJ, NFJ, dan NEJ; jadi, keindahan dan
keelokan tidak pernah terlepas dari kekudusan, kesucian, kebenaran,
ketepatan, kebaikan, dan kesopansantunan (simak Amir, 1991;
Magnis-Suseno, 1984:212-214; Sudewo, 1991:23-34; Sutarjo,
1992:95-97; Wiryamartana, 1986:208-211; 1990:335). Oleh karena
itu, NTJ (keindahan dan keelokan) tidak (diper)-boleh-(kan)
berbenturan dengan NRJ (kekudusan dan kesucian), NFJ
(kebenaran dan ketepatan), dan NEJ (kebaikan dan
kesopansantunan); justru masing-masing harus saling mendukung
dan menghargai, misalnya pengalaman keindahan (estetis)
mendukung tercapainya pengalaman religius; saat (momen) estetis
mendorong ke saat (momen) religius (simak Driyarkara, 1980). Hal
ini menunjukkan bahwa aspek astetis berpadu erat dengan aspek
etis, filosofis, dan religius; demikian pula sebaliknya (simak
Dewantara, 1967:214; Magnis-Suseno, 1984:212-214; Teeuw,
1984:354-356; Wiryamartana, 1986:116-117).
Menurut Wiryamartana (1986:116), secara ontologis aspek
estetis Jawa mengandung tiga taraf, yaitu taraf imaterial/transenden,
92

taraf imaterial-material/transenden-imanen, dan taraf


material/imanen. Berdasarkan hal inilah dapat dikatakan bahwa
keindahan dan keelokan dalam BJ berciri holistis-totalistis, tidak
bercorak seni untuk seni, l’art pour l’art, dan tidak mementingkan
atau menganut paham kebebasan puitika, licentia poetica.
Tampaknya, masalah dikotomi seni untuk seni dan seni untuk
masyarakat tidak relevan dialamatkan kepada estetika Jawa karena
estetika Jawa justru memanunggalkan keduanya, dalam arti setiap
keindahan harus selalu fungsional. Oleh karena itu, tidak
mengherankan, karya estetis yang berpusat dan berwahanakan
bahasa disebut sastra/susastra/ kasusastran dan secara umum
disebut kagunan basa atau kagunan saja dalam BJ (simak
Dwidjosoemarto, 1957:3; Mangunwijaya, 1986:6; 1988:51-54;
Padmosoekotjo, 1953:6; Subalidinata, 1994:1; Teeuw, 1984:23-24).
Bahkan Padmosoekotjo (1953:6), seorang penulis Jawa dan ahli
budaya Jawa, secara tegas menyatakan sebagai berikut.

... saperanganing kabudayan kang isi kaendahan,


diarani kagunan adiluhung utawa kagunan edipeni,
kala-kala mung kasebut “kagunan” bae”.

... aspek budaya yang berisi keindahan disebut


kagunan adiluhung atau kagunan edipeni, kadang-
kadang hanya disebut kagunan.

Demikian juga Dwidjosumarto (1957:1-3) menegaskan sebagai


berikut.

... sadaja kagunan punika mengku kaendahan...


basa punika raos ingkang kawedhar; wedharing raos
ingkang awudjud andharan ingkang sarwa endah
kawastanan kagunan utawi kasusastran.
... semua kagunan itu berisi keindahan...bahasa itu
merupakan rasa yang berpengetahuan; pengetahuan
rasa yang berwujud paparan yang serba indah disebut
kagunan atau kesusastraan.

Berbeda dengan keindahan dan keelokan dalam NBB yang


sangat mementingkan jarak (distansi) estetis, keindahan dan
keelokan manusia Jawa dalam NBJ tersebut justru tidak
menekankan, bahkan tidak mengenal jarak estetis. Yang ditekankan
atau dikenal adalah peluluhan atau peleburan subjek yang
merasakan dan objek yang dirasakan, sebagaimana tampak pada
konsep jumbuhing rasa lan kang dirasake (simak Quinn, 1995:256).
Puncak (pengalaman) keindahan dan keelokan — menurut
pandangan BJ — terjadi ketika ada/terjadi jumbuhing rasa lan kang
dirasake. Dalam Kasusastran Djawi, Dwidjosumarto (1957:3-4)
menyebutnya manunggaling suraos lan wangun. Lebih lanjut,
Dwidjo-sumarto menjelaskan sebagai berikut.

Sadjatosipun bab kaendahaning kasusastran punika


boten pisah kalijan suraosipun.... Kasusastran ingkang
endah lan mentes suraosipun kenging kaumpamekaken
putri endah ingkang renengga ing busana. Anggitan
ingkang wudjud sekar utawi gantjaran ingkang kebak
rerenggan nanging sepen suraos punika kados
upamanipun rerenggan mas inten ingkang ginelar
salebeting lemantun katja, pating gletak datan mobah
lan mosik boten gadhah pangawasa utawi daya
prabawa babar pisan.... Rerengganing kasusastran
punika boten madeg pribadi utawi boten misah nanging
nunggil suraos, kadosdene manunggaling sekar lan
wanginipun.
94

Sesungguhnya perihal keindahan kesusas-traan


selalu terkait dengan rasa.... Kesusastraan yang
mengandung rasa sedemi-kian indah dan bernas dapat
diibaratkan putri jelita yang berhiaskan busana.
Karangan yang berwujud tembang atau prosa yang
penuh hiasan (olahan) tetapi kering rasa dapat
diibaratkan hiasan emas berlian yang diletakkan di
dalam almari kaca tanpa bergerak dan berubah karena
tidak memiliki kekuasaan atau daya sama sekali. Hiasan
kesusastraan itu tidak berdiri sendiri, tetapi bersatu rasa,
bagaikan kemanggulan bunga dengan wanginya.

Di samping itu, keindahan dan keelokan dalam NBB menekankan


keragaman (variasi), sedangkan keindahan dan keelokan NBJ
menekankan keintensifan (intensitas) dan keberulangan
(keformulaikan) yang selaras (simak Dewantara, 1967:230-231;
Dwidjosumarto, 1957:2; Teeuw, 1994:3-4). Sebagai contoh, musik
Barat menekankan suara yang bervariasi, sedangkan musik Jawa
justru menekankan ritme/irama intensif dan formulaik atau wirama
(simak Dewantara, 1967:230). Ditegaskan oleh Dwidjosumarto
(1957:2) sebagai berikut.

sadjatosipun kaendahaning sadaja kagunan punika


mapanipun wonten ing wirama. Rehning kasusastran
punika inggih panunggilanipun kagunan, mila
mapaning kaendahanipun inggih wonten ing wirama”

sesungguhnyalah keindahan segala kagunan terletak


pada wirama. Berhubung sastra merupakan salah satu
wujud kagunan, maka letak keindahannya juga ada pada
wirama
Jika rasa pencipta dan atau penikmat jumbuh dengan kang
dirasakake (objek estetis), maka akan terhidang keindahan dan
keelokan yang luar biasa. Atau jika suraos pencipta atau penikmat
manunggal dengan wangun, maka terhidang keindahan dan
keelokan. Inilah puncak pengalaman estetik menurut pandangan BJ.
Hal tersebut dimungkinkan apabila norma-norma estetik atau
kaidah-kaidah estetik Jawa yang ada ditaati, dituruti, atau diikuti.
Norma-norma atau kaidah-kaidah estetik Jawa ini harus ditaati atau
diikuti oleh baik seniman (sastrawan) maupun penikmat seni
(sastra). Konsekuensi logisnya, kestabilan (ketertiban, kelengkapan,
ketetapan, keteraturan) norma-norma atau kaidah-kaidah estetik
Jawa diutamakan atau dinomorsatukan (bandingkan Dewantara,
1967:216). Penyimpangan yang sekaligus berarti pemberontakan
dan pembaharuan norma-norma estetik tidak diperboleh-kan apabila
dilakukan secara radikal dan mengejutkan. Misalnya, baik
penggubah maupun penikmat macapat tidak diperbolehkan
menyimpangi dan memberontaki norma-norma estetik macapat
secara radikal dan mengejutkan. Yang diperbolehkan, bahkan
diharapkan adalah penyesuaian yang sekaligus berarti pematuhan
dan penyelarasan karya seni dan penikmatan seni Jawa. Kualitas
atau bobot kesesuaian, kepatuhan, dan keselarasan inilah puncak
keindahan dan keelokan; dan bukan kemenyimpangan,
keberontakan, dan kebaruan seperti halnya estetik Barat
(bandingkan Teeuw, 1984: 360-361). Ditegaskan oleh
Dwidjosumarto dalam Kasusastraan Djawi (1957:2-3) sebagai
berikut

... kaendahan punika wewudjudan ingkang sarwa


laras; wewudjudan ingkang sarwa laras wau tumanduk
ing djiwa ladjeng mahanani raos seketja utawi trenjuh.
Kasusastran endah punika kasusastran ingkang saged
mahanani raos seketja utawi trenjuh; ingkang saged
mahanani raos seketja utawi trenjuh punika andharan
96

ingkang saged nudju prana; andharan ingkang saged


nudju prana punika andharan ingkang suraosipun
laras, basanipun mathuk sarta embating wiramanipun
seketja.

... keindahan itu berwujud sesuatu yang serba


selaras; sesuatu yang serba selaras itu di dalam jiwa
membangkitkan rasa enak atau terenyuh. Kesusastraan
indah itu merupakan kesusastraan yang mampu
membangkitkan rasa enak atau terenyuh; yang mampu
mem-bangkitkan rasa senak atau terenyuh itu komposisi
yang mampu membawa ke arah prana; komposisi yang
mampu membawa ke arah prana itu adalah komposisi
yang rasanya selaras, bahasanya serba cocok serta
pemenggalan iramanya terasa enak.

Lebih lanjut, Dwidjosumarto (1957:4) menegaskan sebagai berikut.

Basa ingkang mengku suraos lebet, mawa wangun


ingkang matuk, wirama lan embat seketja sarta
tetembunganipun laras, amudjuk-aken kasusastran
endah.

Bahasa yang memangku rasa mendalam, dengan


bentuk yang serba cocok, irama dan persajakan enak
serta pemilihan kata yang serba selaras mewujudkan
kesusastraan yang indah.

Jadi, bobot keselarasan yang bisa membuat terenyuh dan prana


menjadi intisari keindahan NTJ.
Meskipun demikian, pergeseran atau perubahan norma-norma
atau kaidah-kaidah estetik Jawa tetap dimungkinkan sejauh
berlangsung evolutif dan hanya variasi kecil, tidak radikal dan tidak
mengejutkan (simak Sudewo, 1991:12-35; Teeuw, 1984:359-361).
Para penulis macapat, misalnya, dengan rendah hati biasa--nya
menginformasikan bahwa perubahan atau pergeseran norma atau
kaidah tersebut bukan kesengajaan penulis, melainkan
ketidakmampuan penulis mengikuti norma atau kaidah. Sepanjang
sejarah sastra Jawa yang terentang seribu tahun lebih, sebagai
contoh, terbukti telah terjadi berbagai pergeseran secara evolutif
norma-norma estetis atau kaidah-kaidah estetik sastra Jawa (simak
Sudewo, 1991; Rass, 1985; Zoetmulder, 1983; Laginem dkk.,
1996; Mardianto dkk., 1996). Dengan meminjam pendapat Jurij
Lotman (dalam Teeuw, 1983:28-29; 1984:360-361), di sinilah dapat
dikatakan bahwa NTJ merupakan ekspresi estetika persamaan
(aesthetik der identitat), sedangkan nilai estetis Barat merupakan
ekspresi estetika pertentangan (aesthetik de gegenuberstellung).
Dapat pula dikatakan bahwa NTJ merupakan ekspresi estetika
kemapanan-keselarasan-kebersamaan sesuai dengan pendapat
Dwidjosumarto (1957:2) yang menyatakan bahwa

... kaendahan punika wewudjudan ingkang sarwa


laras; wewudjudan ingkang sarwa laras wau tumanduk
ing djiwa ladjeng mahanani raos saketja utawi tenjuh.

... keindahan itu berwujud segala sesuatu yang serba


selaras; segala sesuatu yang serba selaras di dalam jiwa
membangkitkan rasa enak atau terenyuh.

Dalam pada itu, berbeda dengan nilai estetik Jawa, nilai estetik
Barat merupakan manifestasi atau ekspresi estetika kedinamikan-
kemajuan-keindividualan. Maksudnya, unsur dinamika yang
individual dan maju yang diutamakan dalam nilai estetik Barat.
Sebagai ekspresi estetika persamaan atau estetika kemapanan-
keselarasan-kebersamaan yang tidak mengedepankan jarak estetis,
yang diutamakan dalam NTJ atau keindahan dan keelokan menurut
98

rasa manusia Jawa bukanlah tegangan — seperti halnya estetika


pertentangan atau estetika Barat — melainkan keleburan atau
keluluhan yang menimbulkan kenikmatan tanpa pamrih. Dari sini
jelaslah bahwa tegangan menjadi dasar estetika pertentangan atau
estetika Barat, sedang keluluhan atau keleburan menjadi dasar
estetika persamaan atau estetika Jawa (bandingkan Teeuw, 1983:26-
35; 1984:357-359). Implikasinya, keadaan luluh atau lebur dalam
puncak kenikmatan keindahan dan keelokan (jumbuhing rasa lan
kang dirasakake atau manunggaling suraos lan wangun) menjadi
teras NTJ. Keadaan luluh atau lebur ini terekspresikan dan
terartikulasikan dalam pelbagai konsep, antara lain adalah konsep
endah, elok, apik, edi, peni, edipeni, sengsem, resik, alus, luhur,
bening, laras, trenyuh, enak/seketja, lango, kalangon, lengeng, dan
lengleng (simak Dewantara, 1967:214; Zoetmulder, 1983;
Wiryamartana, 1986; 1986a). Pada dasarnya, konsep-konsep ini
menyiratkan makna keadaan luluh atau luber dalam nikmat
keindahan dan keelokan yang sangat memesonakan diri (endah,
apik, resik, bening, sengsem, laras, lango, dan lain-lain) dan
menghanyutkan diri (raos prana, kalangon, lengeng, lengleng, dan
lain-lain). Hal ini berarti, keadaan luluh dan luber tersebut
merupakan keterpesonaan dan keterhanyutan atau keadaan
terpesona dan terhanyut secara tidak tepermanai dan tanpa pamrih
oleh seni Jawa — yang menurut Lombard (1996:201) dan juga
Quinn (1995:265) — dicirikan oleh adanya stilisasi dan idealisasi
serta simetri yang demikian kuat-tegas (bandingkan Sudjiman,
1990:39); stilisasi dan idealisasi serta simetri ini malah dianggap
Lombard dan Quinn merupakan asas estetik Jawa yang
membangkitkan keterpesonaan dan keterhanyutan. Oleh karena itu,
dapat dikatakan di sini bahwa koordinat normatif NTJ adalah nilai
keterpesonaan dan nilai keterhanyutan yang tidak tepermanai dan
tanpa pamrih yang disebabkan oleh adanya stilisasi dan idealisasi
sesuatu yang disebut seni (baca: seni Jawa).
Nilai Keterpesonaan Manusia Jawa

Nilai keterpesonaan manusia Jawa di sini berkenaan


ketertarikan, keterpikatan, dan bahkan keterpanaan rasa manusia
Jawa pada waktu berhu-bungan dan bertemu dengan sesuatu yang
distilisasi dan diidealisasi yang disebut kesenian Jawa sehingga
dirinya mengalami keadaan luluh atau lebur ke dalam keindahan
dan keelokan (bandingkan Kamus Besar Bahasa Indonesia,
1993:678; Quinn, 1995:264-265). Manusia Jawa yang dalam
keadaan tertarik, terpikat, dan terpana oleh sesuatu yang sudah
distilisasi dan diidealisasi (baca: seni Jawa) sehingga berada di
puncak kenikmatan dapat disebut berada dalam keadaan terpesona.
Di sini berarti, keadaan terpesona berkenaan dengan rasa
kenikmatan yang tidak tepermanai, yang terbebas dari kepentingan
instrumental, dan yang sublimatif. Dalam BJ, keadaan terpesona ini
teraktualisasi dan terartikulasi antara lain dalam konsep endah,
elok, apik, resik, edi, peni, lango, dan alango. Endah berarti indah
yang memikat; elok berarti bagus yang memikat; edipeni berarti
anggun yang memanakan; lango berarti indah yang menjelma; dan
alango berati indah yang sangat memesonakan.
Keadaan endah, elok, apik, resik, edi, peni, lango, dan alango
tersebut dapat terwujud atau tercipta bilamana terdapat kesesuaian
dan keselarasan antara seniman, penikmat seni, dan karya seni
dengan norma-norma estetik Jawa atau kaidah-kaidah estetik Jawa.
Dengan kata lain, keterpesonaan manusia Jawa akan keindahan dan
keelokan berlangsung ketika tercipta keserasian dan keselarasan
seniman dengan norma-norma estetik Jawa, karya seni Jawa dengan
norma-norma estetik Jawa, dan penikmat seni Jawa dengan norma-
norma estetik Jawa. Dalam NBJ, keserasian dan keselarasan yang
melahirkan ketertiban, keteraturan, dan kemapanan akan
menimbulkan kenikmatan rasa manusia Jawa yang memesonakan;
di sinilah manusia Jawa berada dalam keterpesonaan.
Penyimpangan, pemberon-takan dan pembaharuan (terutama secara
100

radikal dan mengejutkan) yang melahirkan keberbedaan individual


yang dilakukan oleh seniman, yang terdapat dalam karya seni, dan
yang terdapat dalam horison harapan penikmat seni tidak akan
membangkitkan keterpesonaan, tetapi justru kerusakan karena
mengganggu keterpesonaan manusia Jawa.
Keterpesonaan manusia Jawa tersebut timbul dan bangkit
bilamana manusia Jawa berhubungan dan bertemu dengan hal-hal
yang menakjubkan, menegangkan, merangsang, dan lucu dari
kesenian Jawa. Perlu ditambah-kan di sini bahwa hal-hal yang
menakjubkan, menegangkan, merangsang, dan lucu tersebut tentu
saja masih dalam kerangka keserasian dan keselarasan dengan
norma-norma estetik Jawa. Dalam NBJ, hal-hal yang menakjubkan
itu terartikulasikan antara lain dalam konsep ngeh, gayeng, gumun
regu, dan elok (tenanan). Hal-hal yang menegangkan
terartikulasikan antara lain dalam konsep greget, wah, dan eram.
Hal-hal yang merangsang atau menggairahkan terartikulasikan
antara lain dalam konsep sem, gemes, wijang, dan renggep.
Selanjutnya, hal-hal yang lucu terartikulasikan antara lain dalam
konsep lucu, cucut, dan banyol. Jika manusia Jawa (pekerja seni
dan penikmat seni) sampai/mampu menemui dan mengalami ngeh,
gayeng, gumun, regu, greget, sem, gemes, lucu, cucut, dan banyol,
maka dapat dikatakan dia terpesona atau mengalami keterpesonaan
(simak Damono, 1993:221-223; Haryanto, 1992:174). Karena itu,
dapat dikatakan bahwa nilai keterpesonaan manusia Jawa
tereksternalisasi atau terjabar ke dalam nilai ketakjuban, nilai
ketegangan, nilai ke(me)rangsangan atau kegairahan, dan nilai
kelucuan (bandingkan Teeuw, 1984:362-377).
Nilai ketakjuban manusia Jawa di sini berkenaan dengan
kekaguman, keheranan, kesuntukan, keterpukauan, dan keterpanaan
manusia Jawa pada waktu berjumpa dan atau bersatu dengan objek
estetis, yang dalam hal ini kesenian Jawa. Dalam NBJ, hal ini
terartikulasikan dan tereksternalisasikan dalam konsep ngeh,
gayeng, edi, peni, resik, bening, gumun, regu, dan elok. (simak
Dewantara, 1967:210). Dalam tradisi kakawin konsep ketakjuban
terartikulasi dalam adbhuta (simak Wiryamartana, 1990: 356)
Konsep-konsep ini memancarkan makna perjumpaan dan atau
persatuan “subjek” dan “objek” yang membang-kitkan kekaguman,
keheranan, kesuntukan, keterpukauan, dan keterpanaan. Ngeh pada
umumnya diartikan sebagai memasuki kekaguman dan keheranan
yang tidak terperi dan tidak tepermanai akibat berjumpa dan atau
bersatu dengan lukisan, sastra, dan kesenian lain. Gayeng lazim
diartikan mengalami kesuntukan dan keterpanaan yang tidak terperi
dan tidak tepermanai akibat berjumpa dan bersatu dengan objek
estetis kesenian Jawa. Edi biasa diartikan indah luar biasa. Peni
biasa diartikan indah yang berharga. Resik biasa diartikan bersih
yang memukau. Bening biasa diartikan jernih yang memikat hati.
Kemudian gumun lazim diartikan mengalami keheranan yang tidak
terkatakan dan tidak terlukiskan akibat bertemu dengan objek
estetis. Selanjutnya, regu diartikan keterpukauan oleh kesesuaian
rasa dan waktu. Adapun elok lazim diartikan sebagai mengalami
keterpukauan dan keterpanaan batiniah yang tidak terperi dan tidak
tepermanai akibat bersatu dengan objek estetis kesenian Jawa
(simak Damono, 1993:221-223; Haryanto, 1992:173-174;
Wiryamartana, 1986:209-210). Perlu ditambahkan di sini, bahwa
ngeh, gayeng, gumun, regu, dan elok tersebut bisa bangkit pada
waktu berjumpa dan atau bersatu dengan objek estetis yang bisa
material (misalnya rupa, wadah, gerak), material-imaterial
(misalnya, bahasa), dan imaterial (misalnya, isi atau makna). Dalam
tari Jawa, misalnya, objek estetis itu — yang sekaligus
mencerminkan nilai estetis — bisa berupa irama gerak dan makna
gerak (wirama, wirasa, wiraga). Dalam seni pertunjukan Jawa,
misalnya wayang kulit, objek estetis itu bisa berupa isi cerita
(misalnya, renggep), bentuk cerita (misalnya, gending, suluk), dan
penampilan cerita (misalnya, sanggit, sabetan) (simak Damono,
1993:210; Haryanto, 1992:174). Dalam macapat Jawa, sebagai
contoh lain, objek estetis — yang sekaligus mencerminkan nilai dan
102

norma estetis — bisa berupa bahasa (sasmi-taning tembang,


sandiasma, cangdrasengkala), bentuk (titilaras, guru gatra, guru
wilangan, guru lagu), dan isi (titi, tutur, wulang) (simak Saputro,
1992; Laginem dkk., 1996).
Di samping nilai ketakjuban di atas, nilai keterpesonaan
manusia Jawa juga terartikulasi ke dalam nilai ketegangan. Nilai
ketegangan manusia Jawa di sini berkenaan dengan
ke(ter)cekaman, “kengerian”, dan ke-rasa-tak-sabar-an batiniah
manusia Jawa pada waktu berjumpa dan atau bersatu dengan objek
estetis, yang dalam hal ini kesenian Jawa (bandingkan Damono,
1993:234-238; Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1993:912-913).
Orang Jawa yang merasakan nikmatnya tercekam, ngeri, dan rasa
tak sabar pada waktu berjumpa dengan (pertunjukan) wayang kulit,
misalnya, dapat dikatakan sedang mengalami ketegangan. Dalam
NBJ, ketegangan estetis ini terartikulasikan dan tereksternalisasikan
terutama dalam konsep greget atau dalam tradisi kakawin Jawa
Kuno terartikulasikan dalam konsep bibhatsa, krodha, dan
bhayanaka. Dalam wayang kulit Jawa, misalnya, konsep greget
menurut Ki Soetarsa (dalam Damono, 1993:234) adalah, jika
sedang “keras” harus bersungguh-sungguh; maksudnya, apabila
dalang sedang memainkan adegan yang tegang (misalnya marah),
penonton harus benar-benar menjadi tegang. Menurut Siswoharsojo
(dalam Damono, 1993:234), tegang di sini diartikan bisa
membangkitkan rasa tidak sabar menunggu apa yang terjadi
berikutnya, sedangkan menurut Brandon (dalam Damono,
2993:234) tegang diartikan kemampuan dalang untuk membuat
penonton tercekam dalam menantikan akhir cerita (lakon). Dalam
novel-novel Jawa modern (akhir Abad XIX sampai dengan
sekarang), menurut kajian Damono (1993:234-238), Pardi dkk.
(1996), dan Mardianto dkk. (1996), keberadaan greget sebagai
satuan nilai estetis tetap penting. Berdasarkan kajian Damono
(1993: 234-238) diketahui bahwa greget dalam novel-novel Jawa
modern dicapai dengan perkelahian dan cakapan kejengkelan-
kemarahan-ejekan. Oleh sebab itu, konsep greget ini sangat penting
sebagai satuan estetis dalam NBJ. Menurut pandangan BJ, kesenian
yang tidak membangkitkan atau menimbulkan ketegangan batiniah,
greget, kurang indah dan elok sehingga dapat dinyatakan di sini
bahwa greget merupakan nilai yang perlu ada (conditio sine
quanon) dalam setiap jenis kesenian Jawa.
Nilai ketakjuban dan ketegangan, ngeh dan greget, tersebut
“didampingi oleh nilai ke(me)rangsangan atau kegairahan. Nilai
ke(me)rangsangan atau kegairahan manusia Jawa di sini
berkenaan dengan kegemasan, kebernafsuan, kebirahian, keerotisan,
dan keberasacintaan manusia Jawa pada waktu berjumpa dan atau
bersatu dengan objek estetis, yang dalam hal ini kesenian Jawa
(bandingkan Damono, 1993:221; Kamus Besar Bahasa Indonesia,
1993:727). Di sini berarti, manusia Jawa yang bangkit nafsu, birahi,
erotika, dan atau rasa cintanya pada waktu berjumpa dan atau
bersatu dengan jenis tertentu kesenian Jawa dapat disebut
mengalami ke(me)rangsangan, yang selanjutnya juga berarti
mengalami keterpesonaan. Ke(me)rangsangan ini sudah dianggap
sebagai satuan nilai estetis yang tidak dapat dipisahkan dari
kesenian Jawa. Dalam NBJ sekarang, ke(me)rangsangan ini
terartikulasi dan tereksternalisasi terutama dalam konsep sem dan
gemes; dalam tradisi kakawin Jawa Kuno, yang dipengaruhi oleh
tradisi estetik India, ke(me)rangsangan terartikulasi dalam konsep
srngara dan rati. Sem dalam wayang kulit biasa diartikan sebagai
kekuatan susunan kata-kata atau tindak-tanduk yang mampu
memikat penonton dalam hubungannya dengan adegan (bernuansa)
percintaan (simak Damono, 1993:221). Gemes dalam wayang kulit
biasa diartikan kekuatan rasa sayang-kasih-cinta yang bercampur
dengan rasa sebal-jengkel-geregetan. Baik sem maupun gemes tetap
menjadi satuan nilai estetis dalam sastra Jawa modern khususnya
novel Jawa modern (simak Damono, 1993:240-243; bandingkan
Quinn, 1995:260-268). Sementara itu, srngara biasa diartikan rasa
birahi atau asmara yang cerah, cantik, dan murni dalam jiwa, yang
104

selanjutnya berpuncak pada rati, yaitu keadaan jiwa kekal bernama


kasih (simak Bharata, 1987:258). Hal ini menunjukkan bah-wa
ke(me)rangsang-an, sem dan gemes atau srngara dan rati,
merupakan satuan NTJ yang penting dalam kesenian Jawa. Oleh
karena itu, aspek-aspek kesenian Jawa (gerak, bahasa, isi, dan
sebagainya) dituntut untuk “mengandung” satuan sem dan atau
gemes agar dapat disebut indah dan elok menurut estetik Jawa.
Selanjutnya, nilai keterpesonaan manusia Jawa juga
terartikulasi dan tereksternalisasi dalam nilai kelucuan. Nilai
kelucuan manusia Jawa di sini berkenaan dengan kejenakaan,
kehumoran, kegelihatian, ketertawaan, dan ketersenyuman manusia
Jawa pada waktu berjumpa dan atau bersatu de-ngan objek estetis,
yang dalam hal ini kesenian Jawa (bandingkan Bharata, 1987:260;
Damono, 1993:221-222; Kamus Besar Bahasa Indonesia,
1993:534). Dalam NBJ, kelucuan ini terartikulasi dan
tereksternalisasi terutama dalam konsep lucu, banyol, dan cucut.
Dalam tradisi Jawa Kuno, dalam hal ini tradisi kakawin, kelucuan
ini terartikulasi dan tereksternalisasi dalam konsep hasa dan hasya.
Lucu biasa diartikan keadaan jenaka atau humor. Dalam wayang
kulit — juga dalam novel-novel Jawa modern — banyol biasa
diartikan keadaan geli hati dan tertawa yang sesuai dengan tempat
dan waktu (empan papan) (simak Damono, 1993:221-222).
Demikian juga cucut biasa diartikan daya yang membuat orang
tertawa atau tersenyum (simak Haryanto, 1992:174). Selanjutnya,
hasa diartikan keadaan penuh humor dan hasya lazim diartikan
keadaan jiwa kekal yang menimbulkan keadaan komik atau tertawa
(simak Bharata, 1987:260-261; Wiryamartana, 1990: 356). Setiap
seniman Jawa dituntut untuk menguasai lucu, banyol, cucut dan
atau hasya supaya karya ciptanya dianggap memesona, yang
sekaligus berarti indah dan elok (simak Damono, 1993:221;
Poedjosoedarmo, 1986: 10). Begitu pula suatu karya seni Jawa
dituntut untuk mengandung atau membangkitkan rasa lucu, banyol,
cucut, hasa dan atau hasya agar dapat disebut karya seni yang
memesona, yang sekaligus berarti indah dan elok. Perlu
ditambahkan di sini bahwa lucu (lelucon), banyol (banyolan,
lawakan), cucut dan atau hasya harus sesuai tempat dan keadaan
(empan papan) sehingga tidak mengganggu dimensi etis, filosofis,
dan religius NBJ. Dengan kata lain, semua itu harus diletakkan
dalam keserasian dan keselarasan agar menunjang atau mendukung
dimensi etis, filosofis, dan religius NBJ. Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa nilai lucu, banyol, cucut dan atau hasya
merupakan satuan nilai keterpesonaan (nilai estetis) yang
keberadaannya relatif penting, tetapi keberadaannya itu harus tetap
diserasikan dan diselaraskan dengan aspek-aspek NBJ lainnya.

Nilai Keterhanyutan Manusia Jawa


Nilai keterpesonaan tersebut tidak dapat dipisahkan dengan
nilai keter-hanyutan. Bahkan dapat dikatakan, nilai keterhanyutan
merupakan dimensi yang lebih sublim dan spiritual daripada nilai
keterpesonaan sehingga ia bisa disebut tahap estetis yang lebih
tinggi. Nilai keterhanyutan manusia Jawa di sini berkenaan dengan
kemengaliran, keterbawaan, dan atau kelaratan rasa manusia Jawa
pada waktu berjumpa atau bersatu dengan objek estetis sehingga
rasa itu terangkat, lebur, dan atau luluh ke dalam situasi dan
keadaan penuh keindahan dan keelokan yang sublim, spiritual, dan
atau transenden (bandingkan Kamus Besar Bahasa Indonesia,
1993:296-297). Hal ini berarti, manusia Jawa yang mengalir,
terbawa, dan atau larat pada waktu bersatu dengan kesenian Jawa
sehingga dia lebur atau luluh dengan situasi dan keadaan indah dan
elok yang sublim dan transeden dapat disebut manusia terhanyut
atau dalam keterhanyutan. Sebagai contoh, jika orang Jawa
menikmati wayang kulit atau macapat hingga dia bisa mengalami
sublimasi dan transendensi, maka dia dapat disebut terhanyut oleh
keindahan dan keelokan, yakni manunggal dengan keindahan dan
keelokan wayang kulit atau macapat tersebut.
106

Dalam NBJ, nilai keterhanyutan tersebut terartikulasi dan


termanifestasi terutama dalam konsep lengeng, lengleng, kalangon,
kalangwan, jalal, jamal, kamil, kamal, enges, dan nges. Konsep
lengeng, lengleng, kalangwan, dan kalangon, yang merupakan
warisan berharga estetika India, berarti terbenam atau tenggelam ke
dalam keindahan dan keelokan yang sublim dan transenden-
spiritual (simak Teeuw, 1984:355-366; Wiryamartana, 1986:208-
209; 1990: 358; Zoetmulder, 1983:203-204). Kemudian konsep
jalal, jamal, kamil, dan kamal, yang merupakan warisan sangat
berharga (dari estetika) Islam, berarti keagungan, keindahan,
kesempurnaan, dan sempurnanya kemanung-galan keagungan dan
keindahan yang tiada tepermanai dan tiada terperi (simak Murata,
1996:103-112; Teeuw, 1984:354; Wiryamartana, 1986:206-207).
Selanjutnya, konsep enges atau nges, yang boleh dikatakan local
genius BJ, berarti keharuan yang mengalirkan dan atau membawa
manusia Jawa ke dalam situasi dan keadaan yang tidak tepermanai,
dan yang bebas dari kepentingan instrumental atau yang sublimatif.
Dalam wayang kulit Jawa, pertunjukan dan dalang yang baik adalah
pertunjukan dan dalang yang enges atau nges, bisa menimbulkan
keharuan yang sublimatif kepada penonton (simak Damono, 1993:
221; Poedjosoerdarmo, 1986:11). Dalam novel-novel Jawa modern,
menurut kajian Damono (1993:238-239), enges atau nges tetap
penting sebagai satuan nilai estetis novel Jawa. Novel-novel Jawa
modern tetap memanfaatkan enges atau nges untuk membangun
bobot estetik. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa nilai
kehanyutan manusia Jawa dapat dijabarkan ke dalam nilai keharuan
dan nilai ketenggelaman akan keindahan dan keelokan.
Sebagaimana sudah disinggung di atas, nilai keharuan manusia
Jawa di sini berkenaan dengan rasa keterpakuan, kerawanan,
keterpanaan, ketakbisa-berpalingan, keterba-waan, dan atau
keturutan hati manusia Jawa pada waktu bertemu dan atau bersatu
dengan objek estetis, yang dalam hal ini kesenian Jawa (bandingkan
Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1993:299; Poedjosoedarmo ddk.,
1986:11; Quinn, 1995:264-265). Objek estetis Jawa yang
memungkinkan penikmatnya terpaku, rawan hati, jatuh hati, tak
bisa berpaling, dan atau turut dapat disebut mengandung bobot
(kualitas) keharuan, yang sekaligus indah. Dalam konteks ini
penikmat benar-benar dapat turut serta merasakan segala yang ada
di dalam objek estetis (bandingkan Poedjosoerdarmo dkk, 1986:10).
Demikian juga seniman Jawa yang mampu membuat penikmatnya
(pembaca, penonton, dan pendengar) rawan hati, terpadu, dan atau
tidak bisa berpaling melalui karyanya dapat disebut seniman yang
membangkitkan keharuan sekaligus keindahan. Keharuan ini bisa
bersifat sublimatif ataupun transenden. Keharuan sublimatif
terartikulasi dan tereksternalisasi dalam konsep enges atau nges,
sedang keharuan transenden terartikulasi dan tereksternalisasi dalam
konsep jalal dan jamal (bandingkan Sudewo, 1991; Wiryamartana,
1986). Agar dapat disebut indah, karya seni Jawa setidak-tidaknya
harus mengandung bobot enges atau nges, lebih-lebih lagi bila
mengandung bobot jalal dan jamal. Begitu juga, agar dapat disebut
seniman baik atau unggul, seniman Jawa harus mampu menciptakan
bobot enges atau nges, lebih-lebih bobot jalal dan jamal, dalam
karya seninya. Karya seni Jawa yang tidak mengandung bobot
enges, nges, jalal, dan atau jamal bukanlah karya seni yang indah
dan baik; demikian pula seniman yang tidak mampu menciptakan
bobot enges, nges, jalal, dan atau jamal dalam karyanya tidak dapat
disebut seniman yang baik, bagus, dan unggul. Oleh karena itu,
Quinn (1995:264-265), yang mengutip pendapat Panudju, seorang
penulis Jawa, menyatakan bahwa nilai keharuan (baik enges, nges,
jalal maupun jamal) merupakan aspek penting dari indah dalam
NBJ.
Keharuan yang sedemikian intens, sublim, kontemplatif,
transenden, dan “dahsyat tiada terperi” dapat membawa atau
mendorong manusia Jawa ke dalam ketenggelaman sehingga bisa
dikatakan bahwa nilai ketenggelaman merupakan pencerahan lanjut
nilai keharuan manusia Jawa. Nilai ketenggelaman manusia Jawa di
108

sini berkenaan dengan keterserapan, ketersedotan, keterbenaman,


kekaraman di dasar, “kelenyapan”, dan atau ketakmauberpalingan
rasa (batin) manusia Jawa pada waktu berjumpa atau bersatu
dengan objek estetis, yang dalam hal ini kesenian Jawa (bandingkan
Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1993:925; Wiryamartana,
1986:209; 1990: 357; Zoetmulder, 1983:202-203). Di dalam
ketenggelaman inilah, manusia Jawa membiarkan dan merelakan
rasa batinnya terserap, tersedot, terbenam, karam, dan atau lenyap
ke dalam objek estetis sehingga dia berasa menyatu dengan objek
estetis itu. Dalam tradisi kakawin Jawa Kuno, ketenggelaman ini
disebut lengeng, lengleng, dan kalangon (simak Wiryamartana,
1986:209; Zoetmulder, 1983:203). Lengeng dan lengleng berarti
tenggelam tiada daya dalam keindahaan, sedang kalangon berarti
tenggelam dalam keindahan transenden, bahkan keindahanan
religius. Dalam tradisi kesenian Islam Jawa, misalnya manakiban,
barjanjen, slawatan, dibaan, dan srokal, ketenggelaman ini dapat
disebut jamal (keindahan yang menghanyutkan atau membuat orang
“ekstase’) dan terutama kamal (keindahan-keagungan yang paling
mahasempurna) (simak Kuntowijoyo, 1987:62-63). Dalam tradisi
kesenian Jawa modern pada umumnya, tampaknya tidak terdapat
istilah atau konsep yang menjadi pusat nilai ketenggelaman. Istilah
Jawa modern yang mendekati istilah-istilah tersebut adalah
nglangut dan nglangen (klangen, klangenan); keadaan nglangut dan
nglangen membawa, menyerap, dan menyedot manusia ke dalam
keindahan tidak tepermanai. Bobot lengleng, lengeng, kalangon,
jamal, kamal, nglangut, dan atau nglangen tersebut dapat dikatakan
merupakan puncak nilai estetis Jawa, yang melewati atau mengatasi
bobot ngeh, greget, banyol, sem, nges, dan sebagainya, sebab dalam
bobot ini manusia Jawa (baik seniman maupun penikmat) tergulung
dan “lenyap” ke dalam keindahan dan keelokan agung yang benar-
benar tidak tepermanai, yakni keindahan yang sudah berpadu
dengan nilai filosofis dan religius yang transenden. Jika suatu karya
seni Jawa mampu mengandung bobot lengeng, lengleng, kalangon,
jamal, kamal, nglangut, dan atau klangen, maka karya seni itu dapat
disebut sebagai karya yang indah dan elok sekali. Demikian juga
jika seniman Jawa mampu menciptakan karya yang mampu
membuat dirinya dan penikmatnya berada dalam keadaan lengeng,
lengleng, kalangon, jamal, kamal, nglangut, dan atau klangen, maka
seniman itu dapat disebut seniman yang baik, hebat, bahkan unggul.
Perlu ditambahkan di sini bahwa pencapaian nilai ketenggelaman
tersebut tidak mudah sehingga jarang seniman Jawa dan karya seni
Jawa mencapai bobot nilai ketenggelaman. Akan tetapi, patut
dipahami, setiap opus magnum karya seni Jawa selalu mengandung
bobot ketenggelaman dan setiap seniman empu, master, mampu
menciptakan karya yang berbobot nilai ketenggelaman tersebut.
Agar lebih jelas, NTJ yang telah diuraikan di atas dapat dilihat
dalam Tabel 3.5 berikut ini.

EPILOG
110

You might also like