You are on page 1of 5

Gambaran umum peran politik perempuan di masyarakat saat ini adalah:

perempuan sebagai anggota MPR, DPR atau DPRD; bupati, gubernur, menteri
atau presiden. Selain itu, ada juga gambaran aktivitas perempuan sebagai anggota
atau pengurus partai politik sebagai bentuk persiapan atau sekedar batu loncatan
untuk mendapatkan kedudukan di badan legislatif maupun eksekutif. Ini tentu saja
merupakan gambaran yang keliru.

Kekeliruan utama dari gambaran tersebut adalah bahwa ia diadopsi kaum


Muslim dari Barat, sementara, pada saat yang sama, kaum Muslim mengimani
kesempurnaan Islam; sebagaimana firman Allah SWT:

“Pada hari ini, Aku telah menyempunakan agama kalian, menyempurnakan


nikmat-Ku, dan meridloi Islam sebagai agama kalian” (QS al-Maidah [5]: 3)

Mengapa harus mengambil gambaran dari orang lain kalau sudah


mempunyai gambaran yang sEmpurNa..? Mengapa pula ada sebagaian dari
kalangan umat Islam yang berani mengambil sesuatu yang lain, padahal Allah dan
Rasul-Nya telah menetapkan keputusan tertentu bagi umat Islam..? Allah SWT
berfirman:

Surat 33 ayat 36

Peran Politik Perempuan: Dari Gagasan Hingga Aksi


Syaikh an-Nabhani, dalam Mahahim as-Siyasah, mendefinisikan politik
sebagai pemeliharaan urusan umat dalam dan luar negeri berdasarkan syariat
Islam. Pemeliharaan urusan umat pastilah berlangsung dalam suatu sistem politik
tertentu. Sistem politik Islam sangat bertentangan dengan sistem politik demokrasi
seperti yang sekarang diterapkan pada negeri-negeri kaum Muslim. Peran politik
perempuan dalam sistem politik Islam juga bertentangan dengan peran poltik
perempuan dalam sistem demokrasi.

Sistem politik Islam tegak di atas prinsip bahwa kedaulatan (as-Siyadah)


ada di tangan Allah. Ini artinya, kehendak yang harus dijalankan adalah kehendak
Allah. Allah SWT berfirman:

(TQS al-An’am [6]: 57)

Oleh karena itu, segala produk hukum dalam sistem politik Islam harus
merujuk pada al-Quran, as-Sunnah, serta yang ditunjuk oleh keduanya; yaitu
Ijma’ shahabat dan qiyas syar’i. karena kehendak yang dijalankan adalah
kehendak sang Pencipta; Zat Yang Mneciptakan laki-laki dan peremmpuan, tidak
seharusnya muncul kekhawatiran bahwa kehendak itu hanya akan menguntungkan
sekelompok orang tertentu saja. Dijalankannya pengaturan perekonomian bebas
riba, misalnya, bukanlah karena kehendak laki-laki dan perempuan, namun itu
adalah kehendak Allah (Lihat QS al-Baqarah [2]: 275). Demikian juga diterapkan
hukum qishash terhadap pembunuh; bukan pula karena mayoritas masyarakat
menghendakinya; melainkan Allah yang menghendakinya (Lihat QS al-Baqarah
[2]: 178)
Sistem politik Islam dicirikan dengan adanya penguasa yang menerapkan
hukum-hukum yang bersumber dari wahyu Allah untuk mengatur rakyatnya
(Lihat QS al-Maidah [5]: 48-49) dan adanya rakyat yang memilih dan mengontrol
penguasanya. Akan tetapi, dalam hal ini, Rasulullah Saw mengharamkan wanita
menjadi penguasa. Dalam hadist yang dituturkan dari Abu Bakrah disebutkan
bahwa Rasulullah Saw bersabda:

“Tidak akan beruntung suatu kaum yang urusannya diserahkan kepada seorang
perempuan” (HR Bukhari)

Penguasa dalam sistem Islam adalah Khalifah/Imam/Amirul Mukminin,


Para Mu’awwin (Mu’awwin Tafwidl dan Mu’awwin Tanfidz), Wali (pemimpin
wilayah/setingkat gubernur), dan Amil (kepala daerah/setingkat bupati). Karena
adanya larangan untuk jadi penguasa, peran politik perempuan tidak berkaitan
dengan peran penguasa., tetapi berhubungan dengan peran rakyat dalam memilih
dan mengontrol penguasanya. Aktivitas politik perempuan dalam sistem politik
Islam adalah sebagai berikut:

1. Memilih dan membai’at Khalifah.


Kekuasaan untuk memilih khalifah ada di tangan rakyat. Rakyat dengan
sukarela dan tanpa paksaan memilih seseorang yang mereka yakini akan
menerapkan hukum Allah atas mereka, akan memimpin mereka dengan adil, dan
akan mampu membawa mereka ke dalam kehidupan yang sejahtera dalam
keridloan Allah SWT.

Sahnya pengangkatan seorang khalifah adalah dengan adanya bai’at.


Bai’at adalah pernyataan dari kaum Muslim kepada seorang Muslim, bahwa
mereka rela mengangkat dan taat kepada orang tersebut untuk memimpin mereka
serta memberlakukan hukum-hukum Allah di atas muka bumi. Apabila telah ada
sekelompok kaum Muslim yang melakukan bai’at, maka sah seseorang yang telah
dibai’at menjadi khalifah bagi kaum Muslimin. Bai’at ini dikenal sebagai bai’at
in’iqad. Setelah kekhalifahan dipandang sah, kaum Muslim lain yang tidak
berkesempatan melakukan bai’at in’iqad akan melakukan bai’at taat kepada
khalifah yang baru diangkat.

Islam memberi hak dan kewajiban bai’at kepada perempuan, sebagaimana


juga kepada laki-laki. Ini dapat dilihat dari hadist-hadist mengenai bai’at wanita,
di antaranya dari Ayyub dari hafshah, dan dari Ummu ‘Athiyyah yang berkata:

“Kami membai’at Rasulullah Saw, lalu beliau membacakan kepadaku, Janganlah


kalian menyekutukan Allah dengan sesuatu, dan melarang kami melakukan
niyahah (histeris menangisi mayat). Karena itulah, seorang perempuan dari kami
menarik tangannya lalu perempuan itu berkata, seorang (perempuan) telah
membuatku bahagia dan aku ingin (terlebih dahulu) membalas jasanya. Ternyata
Rasulullah Saw tidak berkata apa-apa. Lalu perempuan itu pergi, dan kemudian
kembali” (HR. Bukhari)
2. Memilih dan dipilih menjadi anggota majelis ummat.
Dalam riwayat shahih dari Ibn Hisyam, dari Ka’ab Ibn Malik, disebutkan
bahwa setelah tujuh puluh orang laki-laki dan dua orang perempuan dari suku
‘Aus dan Khajroj melakukan bai’at ‘Aqobah II, maka Rasul berkata kepada
mereka, “datangkanlah dua belas wakil dari kalian yang ada pada mereka
tanggung jawab atas kabilahnya masing-masing…”

Seruan dari Rasulullah ini ditujukan kepada laki-laki dan perempuan.


Artinya, Rasul memberi hak memilih wakil rakyat kepada laki-laki dan
perempuan. Selain itu, Rasul juga tidak menentukan bahwa wakil yang dipilih itu
harus laki-laki. Oleh karena itu, ada hak yang sama bagi laki-laki dan perempuan
untuk menjadi wakil rakyat.

Wakil-wakil rakyat berkumpul dalam sebuah lembaga yang dikenal


dengan majelis ummat. Berbeda dengan parlemen atau badan perwakilan rakyat
dalam sistem demokrasi yg merupakan lembaga kekuasaan; lembaga ini bukan
merupakan lembaga kekuasaan. Badan ini berwenang memberi pendapat dan
nasihat kepada Khalifah tapi tidak bersifat mengikat khalifah.

3. Menasihati dan mengoreksi penguasa


Seperti juga kepada laki-laki, Allah mensyariatkan kepada perempuan
untuk memberi nasihat. Rasulullah Saw bersabda:

“Agama itu nasihat. Ditanyakan, kepada siapa, Ya Rasulullah..? Kepada Allah,


Rasul-Nya, para pemimpin kaum Muslim dan rakyat mereka” (HR. Bukhari)

Apabila penguasa menetapkan suatu aturan yang melanggar hukum syariat


atau ada kebutuhan rakyat yang luput dari perhatian penguasa, maka setiap
Muslim berkewajiban untuk menasihati penguasa agar ia dapat memperbaiki
kesalahannya. Nasihat ini bisa disampaikan langsung kepada penguasa melalui
anggota majelis ummat atau lewat suara partai politik.

4. Melakukan aktivitas dalam partai politik


Partai politik dalam Islam berdiri untuk memenuhi kewajiban yang
diserukan Allah SWT:

“TQS Ali ‘Imran [3]: 104”

Partai politik menasihati atau mengoreksi penguasa jika penguasa


melakukan sesuatu yang bertentangan dengan ketetapan Allah pada saat ia
mengurusi kepentingan umat. Selain itu, partai politik membina kesadaran politik
masyarakat dengan mengajarkan kepada mereka ketetapan Allah mengenai hak
dan kewajiban penguasa terhadap rakyatnya. Dengan adanya pembinaan
kesadaran politik ini diharapkan masyarakat akan ‘melek’ hukum. Mereka tidak
akan diam saja jika dizalimi penguasa dengan cara-cara yang telah ditetapkan
dalam Islam.
Perempuan dalam partai politik dapat saja ikut menasihati penguasa,
namun aktivitasnya yang lebih menonjol adalah aktivitas membina kesadaran
politik kaum perempuan. Perempuan dikenal sebagai tiang Negara. Negara akan
lemah jika kaum perempuannya buta politik. Sebaliknya, Negara bisa kuat jika
kaum perempuannya mempunyai kesadaran politik yang tinggi. Demikianlah
gambaran peran politik perempuan dalam sistem politik Islam.

Saat ini, yakni ketika kaum Muslimin tidak berada dalam sistem politik
Islam, bukan berarti perempuan tidak terikat dengan larangan untuk menduduki
jabatan-jabatan kekuasaan. Ini karena hadist yang melarang perempuan menjadi
penguasa berlaku umum untuk semua jabatan kekuasaan, tidak khusus untuk
jabatan khalifah saja. Ini>>>?
Sebaliknya, walaupun saat ini tidak ada sistem politik Islam, bukan berarti
perempuan tidak bisa melakukan aktivitas politik apapun. Walalupun memang
aktivitas memilih dan membai’at khalifah serta aktivitas sebagai anggota majelis
ummat belum bisa dilakukan saat ini, aktivitas dalam partai politik Islam tetap
bisa dilakukan. Hal ini karena seruan dalam quran surat Ali ‘Imran ayat 104
berlaku sepanjang masa, tidak terikat apakah kaum Muslim sedang berada dalam
sistem politik Islam atau tidak. Para Muslimah harus segera mempersiapkan diri
agar dapat bergabung dengan partai politik Islam yang berjuang untuk
mengembalikan pemerintahan Islam. Bersama-sama dalam sebuah partai politik
Islam, Muslimah mengokohkan akidah umat, terutama kaum Muslimah, sehingga
mereka hanya mau tunduk pada hukum Allah saja, tidak pada yang lain.
Muslimah mengajarkan bagaimana sebenarnya hak dan kewajiban penguasa serta
hak dan kewajiban rakyat sesuai dengan ketetapan Allah, memperjuangkan
tegaknya sistem politik Islam bersama-sama dengan partai politik Islam,
mempelajari hukum politik Islam dan kemudian secara terkoordinasi
mengajarkannya kepada umat. Demikianlah seharusnya aksi politik perempuan
saat ini.

Perempuan Dalam Politik Demokrasi: Quo Vadis..?


Saat ini tengah marak propaganda untuk meningkatkan peran politik
perempuan dalam sistem demokrasi. Disampaikanlah tuntutan-tuntutan kuota
kursi unutk perempuan pada badan perwakilan rakyat. Demikian juga kuota untuk
jabatan-jabatan pada lembaga eksekutif. Dikatakan, misalnya, jika perempuan ikut
serta mengambil keputusan politik, aspirasi mereka akan terpenuhi serta keadilan
dan kedamaian dalam masyarakat akan tercapai.

Kaum Muslim sudah seharusnya tidak ikut terpengaruh atau bahkan ikut
aktif dalam propaganda tersebut, karena:

1. Propaganda tersebut tentu saja tidak benar. Hasil propaganda tersebut


hanyalah sekedar seimbangnya jumlah laki-laki dan perempuan dalam
lembaga eksekutif dan legislatif, padahal sesungguhnya yang mereka
inginkan tidak sekedar itu. Adanya perempuan dalam kedua lembaga itu
bukanlah jaminan bagi terpenuhinya aspirasi kaum perempuan. Apabila
dua orang perempuan bertemu, belum tentu keduanya mempunyai
keinginan yang sama. Bisa jadi keinginan perempuan yang satu justru
sama dengan keinginan seorang laki-laki. Lalu, apa jaminan terpenuhinya
aspirasi perempuan dengan adanya perempuan dalam lembaga eksekutif
dan legislatif..? telah terbukti bahwa ketika Megawati menjadi presiden, ia
tetap berbeda aspirasi dengan sebagian perempuan di Aceh dan Papua
yang menginginkan kemerdekaan. Telah terbukti pula bahwa Megawati
tidak memiliki aspirasi yang sama dengan sebagian kaum Muslimah yang
menginginkan pemutusan hubungan politik dengan AS dan menginginkan
penerapan syariat Islam dalam kehidupan bernegara. Demikian pula ketika
Nursyahbani menjadi anggota MPR, ternyata aspirasi yang ia perjuangkan
adalah menghilangkan kepemimpinan laki-laki dalam keluarga, sementara
masih banyak kaum permepuan yang mengakui dan mengharuskan adanya
kepemimpinan laki-laki dalam keluarga.

2. Kalau perempuan sibuk dengan keinginannya sendiri, laki-laki akan


terdorong juga untuk sibuk dengan keinginannya sendiri. Keadilan
menurut perempuan bisa jadi dianggap ketidakadilan bagi laki-laki.
Perdamaian menurut permepuan bisa jadi dianggap tantangan berperang
oleh laki-laki. Lalu, apakah yang terbaik adalah membuat masyarakat
perempuan dan masyarakat laki-laki yang terpisah..?

3. Yang lebih mendasar: laki-laki dan perempuan tidak hidup di dunia untuk
memuaskan keinginan diri mereka masing-masing. Laki-laki dan
perempuan hidup di dunia untuk beribadah kepada Allah, artinya hidup
untuk menjalankan perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-
larangan Allah.

“(TQS adz-Dzariyat [51]: 56)”

Jika demikian persoalannya, lalu mengapa perempuan harus


memperjuangkan aspirasi mereka semata, bukannya memperjuangkan tegaknya
hukum Allah di muka bumi..?

Ikut dalam propaganda ini jelas tidak hanya mendorong Muslimah


melakukan maksiat karena menduduki jabatan-jabatan kekuasaan, tetapi juga
makin mengokohkan sistem demokrasi sekuler di tengah-tengah kaum Muslim,
yang berarti akan semakin menjauhkan kaum Muslim dari sistem kehidupan Islam
yang merupakan rahmat bagi alam semesta.

Wallahua’lam

You might also like