You are on page 1of 11

REFLEKSI KRITIS

BIROKRASI LEGAL-RASIONAL MAX WEBER


PADA PEMERINTAHAN INDONESIA

1. PENDAHULUAN

Apa yang lazim dimaklumkan sebagai “birokrasi” merupakan bagian


strategis dari setiap sistem administrasi negara-bangsa modern. Ia dikembangkan
guna mewujudkan tujuan suatu bangsa, sekaligus wahana perjuangan
mewujudkan cita-cita dan tujuan suatu bangsa dalam bernegara. Lebih lagi,
pengembangan sistem administrasi negara, termasuk birokrasi, senantiasa
didasarkan pada konstitusi negara bangsa bersangkutan. Di Indonesia, Sistem
Administrasi Negara Kesatuan Republik Indonesia (SANKRI) didasarkan pada
dan merupakan penjabaran dari UUD 1945. (Mustopadidjaja; 2002).

Menurut Martin Albrow (Agus Bandono; 2001), istilah birokrasi


digunakan sejak tahun 1745. Kala itu, ia digunakan oleh Vincent de Gounnay
untuk menerangkan pemerintahan Prusia. Istilah ini lahir tatkala pemeliharaan
ketertiban dan ketenteraman, serta upaya mencapai tujuan yang telah ditetapkan,
menjadi prioritas utama penyelenggara negara.

Secara etimologis, kata birokrasi berasal dari kata “bureau” dan “cratos”.
Kata “bureau” merupakan kosakata bahasa Prancis yang berarti meja atau kantor.
Sementara “cratos” merupakan kosakata bahasa Yunani yang berarti kekuasaan.
Dengan itu, birokrasi —sepintas lalu, dapat dijelaskan sebagai kekuasaan di meja
atau kantor. Atau secara umum, birokrasi juga dapat dimenegrti sebagai “meja”
atau “kantor” penyelenggara tugas pemerintahan atau kekuasaan.
(Mustopadidjaja; 2002).

Dalam diskursus birokrasi, Max Weber (1864-1920) merupakan sosok


besar yang memperoleh perhatian spesial dari sarjana-sarjana sesudahnya.
Pasalnya, karyanya yang bertajuk “Bureaucracy”, atau biasa dikenal juga dengan

1
“Weber’s Theory of Bureaucracy”, merupakan karya yang “melahirkan-kembali”
dikursus birokrasi menjadi lebih mapan, serta merasionalisasikan diskursus
tersebut dari “ketakrasionalannya”. Atas alasan ini, Weber merupakan “tokoh
kunci” diskursus birokrasi. Sebab itu, dia penting diketengahkan untuk dikaji.

Max Weber adalah kelahiran Prusia tahun 1864. Dia belajar di


Universitas Heidelberg di Berlin, dan memperoleh gelar profesor penuh dalam
bidang ekonomi-hukum, dan menjadi seorang sosiolog besar yang sangat
menguasai seluruh pengetahuan pada zamannya. Max Weber tak ubahnya jenius
universal terakhir dalam ilmu-ilmu sosial yang menguasai dengan benar dan tepat
hukum ekonomi, sosiologi politik, logika ilmu sosial, ilmu alam dan ilmu sosial,
sosiologi agama, teori kekuasaan, teori ilmu politik, rasionalisasi dan kebebasan
serta filsafat tentang politik dan sejarah dunia.

Sebuah gagasan utama Weber dalam diskursus birokrasi ialah konsep


birokrasi legal-rasional. Melalui gagasannya ini, Weber sejatinya bermaksud
mengatasi praktek birokrasi yang ada di masanya, serta mengevaluasi konsep-
konsep birokrasi yang ada sebelumnya. Dalam gagasannya ini, tesis mendasar
Weber ialah, birokrasi adalah operasi-organisasi yang legal lagi rasional. Birokrasi
adalah operasi-organisasi yang beraturan serta bisa dipahami, dipelajari, dan
dijelaskan.

Pada gilirannya, konsep Weber mengenai “birokrasi legal-rasional” itu


memengaruhi penataan dan pengelolaan birokrasi-birokrasi di hampir semua
negara-bangsa (nation-state) modern. Dalam hal ini, tak terkecuali ialah
Indonesia; pengelolaan birokrasi Indonesia sarat dipengaruhi oleh konsep yang
lumrah dikenal sebagai birokrasi legal-rasional ini. Sebagaimana nanti terlihat,
rangka-bangun birokrasi Indonesia diorganisir menuruti konsep Weber tersebut.
Sebab itu, telaah kritis konsep birokrasi legal-rasional Weber di rangka-bangun
birokrasi Indonesia, kiranya merupakan sebuah hal yang menarik lagi penting.

2
2. BIROKRASI LEGAL-RASIONAL WEBER

Sebenarnya, Max Weber sendiri tidak pernah secara definitif


menyebutkan makna Birokrasi. Weber menyebut begitu saja konsep ini lalu
menganalisis ciri-ciri apa yang seharusnya melekat pada birokrasi. Gejala
birokrasi yang dikaji Weber sesungguhnya birokrasi-patrimonial. Birokrasi-
Patrimonial ini berlangsung di waktu hidup Weber, yaitu birokrasi yang
dikembangkan pada Dinasti Hohenzollern di Prusia.

Oleh Weber, birokrasi-patrimonial tersebut dianggap tidak rasional.


Sebab, banyak pengangkatan pejabat mengacu pada political-will pimpinan
Dinasti Hohenzollern. Akibatnya, banyak pengangkatan jabatan yang “salah
orang”, serta pekerjaan negara yang mengalami “salah-urus” atau tidak mencapai
hasil secara maksimal. Atas dasar “ketidakrasionalan” inilah, Weber kemudian
merumuskan ideal typhus, atau model ideal sebuah birokrasi. Dan, inilah yang
lumrah disebut birokrasi rasional. (Martin Albrow, terj.; 2004).

Lebih dari itu, Weber memandang bahwa birokrasi adalah sistem


kekuasaan (system of power). Konsekuensi logisnya, pemimpin adalah super-
ordinat, sementara bawahan atau “anak-buah” adalah sub-ordinat. Pemimpin
harus mempraktekkan kontrol atas bawahan, sebaliknya bawahan harus selalu
dalam kontrol pemimpin. Sebagai titik-pijak dari sistem kekuasaan tersebut,
Weber menekankan “disiplin.” Bagi Weber, disiplin mesti menjadi landasan
utama operasi birokrasi. Dengan disiplin ini, sistem kekuasaan baru akan bisa
berjalan seperti yang diharapkan.

a. Enam Dalil Birokrasi

Dalam bukunya tersebut, yakni “Weber’s Theory of Bureaucracy”,


Weber menegaskan ideal thypus dari birokrasi ke dalam enam dalilnya. (Vouke
Pepah; 2009). Pertama, tugas-tugas organisasi dibagi ke posisi-posisi resmi, dan

3
masing-masing posisi ini mempunyai pembagian kerja yang jelas, sehingga
memungkinkan spesialisasi tingkat tinggi. Pada gilirannya, spesialisasi ini akan
meningkatkan keahlian staf, serta memungkinkan organisasi untuk
mempekerjakan karyawan atas dasar kualifikasi teknis mereka.

Kedua, posisi-posisi atau kantor diorganisasikan ke dalam struktur


otoritas hierarkis. Dalam kasus umum, hierarki ini mengambil bentuk piramida.
Dalam piramida otoritas hierarkis ini, pejabata (setiap orang di dalam jabatannya)
bertanggung jawab atas keputusan dan tindakan bawahannya. Serta, dia juga
mempertanggungjawabkan keputusan dan tindakannya sendiri kepada atasannya
di dalam piramida itu. Dalam piramida otoritas hierarkis ini, setiap pejabat
memiliki otoritas atas orang-orang di bawahnya.

Ketiga, sistem aturan dan regulasi yang ditetapkan secara formal


mengatur keputusan dan tindakan setiap pejabat. Pada prinsipnya kerja dalam
organisasi administratif semacam itu melibatkan aplikasi peraturan-peraturan
umum untuk kasus-kasus khusus. Peraturan menjamin keseragaman operasi, dan
bersama dengan struktur otoritas, memungkinkan koordinasi dari berbagai
aktifitas. Tak hanya itu, peraturan juga menjamin kelangsungan operasi sekalipun
ada perubahan-perubahan personil, sehingga stabilitas organisasi masih tetap
terjaga.

Keempat, terdapat staf administrasi khusus yang tugasnya menjaga


organisasi dan jalur-jalur komunikasi di dalamnya. Level terendah dalam aparatur
administrasi terdiri atas staf tata usaha yang bertugas menyimpan catatan-catatan
tertulis atau file-file organisasi, yang mencakup semua keputusan dan tindakan
yang resmi.

Kelima, para pejabat diharapkan memiliki orientasi impersonal dalam


kontak mereka dengan klien dan dengan para pejabat lain. Klien harus
diperlakukan sebagai kasus, dimana para pejabat diharapkan mengesampingkan
semua pertimbangan personal serta melepaskan ikatan emosional, dan bawahan
diperlakukan juga dalam cara impersonal.

4
Keenam, pekerjaan yang telah diberikan organisasi merupakan karir bagi
pejabat. Secara tipikal seorang pejabat adalah karyawan penuh dan menginginkan
karir seumur hidup di kantor.

b. Aturan Dasar Birokrasi

Juga dalam buku tersebut, lebih labjut lagi Weber menjelaskan sepuluh
aturan dasar sebuah birokrasi legal-rasional. (Martin Albrow, terj.; 2004).
Pertama, para anggota staf bersifat bebas secara pribadi, dalam arti hanya
menjalankan tugas-tugas impersonal sesuai dengan jabatan mereka. Kedua,
terdapat girarki jabatan yang jelas. Ketiga, fungsi-fungsi jabatan ditentukan secara
tegas. Keempat, para pejabat diangkat berdasarkan suatu kontrak.

Kelima, para pejabat dipilih berdasarkan kualifikasi profesional, idealnya


didasarkan pada suatu diploma (ijazah) yang diperoleh melalui ujian. Keenam,
para pejabat memiliki gaji dan biasanya juga dilengkapi hak-hak pensiun. Gaji
bersifat berjenjang menurut kedudukan dalam hirarki. Pejabat dapat selalu
menempati posnya, dan dalam keadaan-keadaan tertentu, pejabat juga dapat
diberhentikan.

Ketujuh, pos jabatan adalah lapangan kerja yang pokok bagi para pejabat;
kedelapan, suatu struktur karir dn promosi dimungkinkan atas dasar senioritas dan
keahlian (merit) serta menurut pertimbangan keunggulan (superior). Kesembilan,
pejabat sangat mungkin tidak sesuai dengan pos jabatannya maupun dengan
sumber-sumber yang tersedia di pos terbut. Dan kesepuluh, pejabat tunduk pada
sisstem disiplin dan kontrol yang seragam.

5
3. SEMANGAT BIROKRASI WEBERIAN DI INDONESIA

Apa yang dimaksud Weber sebagai ideal typus birokrasi, atau yang
lumrah dikenal sebagai birokrasi legal-rasional, ternyata kentara sekali pada
sisitem pemerintahan Indonesia. Harus diakui, bahwa sistem pemerintahan
Republik Indonesia ditata berdasarkan semangat Weberian: bahwa birokrasi
adalah system of power (sistem kekuasaan). Sistem pemerintahan (eksekutif)
Republik Indonesia dipimpin oleh seorang kepala pemerintahan, yakni presiden
berikut wakil presiden. Sementara, dalam menjalankan fungsinya, kepresidenan
ini dibantu oleh bawahan-bawahan, berupa menteri-menteri, pejabata-pejabat
departemen, dan lain-lain.

Di sana, nyata bahwa presiden adalah super-ordinat, sementara jajaran-


jajaran struktural di bawah presiden adalah sub-ordinat. Presiden selaku super-
ordinat mempraktekkan kontrol atas bawahan secara penuh. Dia adalah yang
memimpin dan mengorganisir segenap bawahannya dalam menjalankan tugas-
tugas. Sebaliknya, segenap bawahan presiden selaku sub-ordinat juga
berkesadaran “dalam kontrol pemimpin”; setiap apa yang dilakukan oleh
bawahan, sekurang-kurangnya selalu dikoordinasikan bersama presiden, selaku
pemimpin.

Di samping itu, enam dalil birokrasi yang digariskan Weber juga terlihat
pada sistem pemerintahan Republik Indonesia. Pasalnya, dalam pemerintahan
Republik Indonesia dipraktekkan enam dalil birokrasi Weber tersebut. Pertama,
tugas-tugas organisasi dibagi ke posisi-posisi resmi yang mempunyai pembagian
kerja jelas. Hal ini nampak jelas misalnya dalam penataan para menteri, selaku
pembantu yang berposisi langsung di bawah presiden; mereka dibagi ke dalam
posisi-posisi tertentu dengan kerja-kerja yang jelas bagi masing-masing posisi.

Kedua, posisi-posisi diorganisasikan ke dalam struktur otoritas hierarkis.


Hal ini nampak juga dalam sistem kementerian Republik Indonesia. Masing-
masing menteri diorganisir ke dalam struktur otoritas hierarkis. Di mana, setiap
menteri mempunyai pembantu-pembantu yang secara hierarkis berada di

6
bawahnya. Sekaligus, setiap menteri merupakan struktur hierarkis di bawah
presiden.

Ketiga, ada aturan yang ditetapkan secara formal guna mengatur


kebijakan setiap pejabat. Dalam sistem pemerintahan Republik Indonesia, semua
jabatan, mulai dari presiden sampai staf yang paling bawah, atau mulai
pemerintah pusat sampai pemerintah daerah, pasti mempunyai aturan formal yang
wajib dianut. Aturan resmi ini misalnya berupa kode etik, tata-tertib, dan lain-lain.

Keempat, terdapat staf administrasi khusus yang tugasnya menjaga


organisasi dan jalur-jalur komunikasi di dalamnya. Dalam sistem pemerintahan
Republik Indonesia, yang paling nampak sebagai staf khusus penjaga organisasi
dan jalur-jalur komunikasi organisasi ialah Menteri Pemberdayaan Aparatur
Negara berikut jajarannya. Kementerian ini secara khusus bertugas untuk menjaga
agar birokrasi pemerintahan Republik Indonesia dapat berjalan sesuai dengan
tugas-tugasnya.

Kelima, para pejabat diharapkan memiliki orientasi impersonal dalam


kontak mereka dengan klien dan dengan para pejabat lain. Dalam sistem
pemerintahan Republik Indonesia, setiap pejabat senantiasa ditekan untuk
berorientasi publik, terlebih pada masa pasca-Reformasi. Setiap pejabat dituntut
untuk selalu mempunyai semangat “pelayan publik”. Kalaupun secara das-sein,
memang banyak pejabat yang tidak berorientasi publik, namun setidaknya secara
das-sollen, pemerintahan Republik Indonesia diharuskan berorientasi publik.

Keenam, pekerjaan yang telah diberikan merupakan karir bagi pejabat.


Dalam sistem pemerintahan Republik Indonesia, dalil keenam ini terutama
tampak dalam sistem pegawai negeri sipil (PNS). Di sini, setiap jabatan
kepegawaian yang dipangku oleh seseorang adalah karirnya. Dengan jabatan
kepegawaiaannya itu, dia bisa berkarir dan menapak ke jabatan yang lebih tinggi
lagi.

7
Dengan demikian, nyata bahwa enam dalil birokrasi yang digariskan
Weber terpraktek kuat pada sistem pemerinatahan Republik Indonesia.
Sebagaimana terlihat dalam penjelasan di atas, enam dalil tersebut dapat ditelusuri
wujud-konkritnya dalam sistem pemerintahan Republik Indonesia.

Namun tak hanya itu, sepuluh aturan dasar birokrasi Weber juga terdapat
dalam sistem pemerintahan Republik Indonesia. Pasalnya, pertama, setiap pejabat
dalam pemerintaha Republik Indonesia adalah bersifat bebas secara pribadi.
Dalam sistem pemerintahan Republik Indonesia, setiap pejabat hanya
menjalankan tugas-tugas sesuai dengan jabatannya. Kedua, dalam sistem
pemerintahan Republik Indonesia terdapat hierarki jabatan yang jelas, dengan
presiden sebagai kepala pemerintahan. Ketiga, dalam sistem pemerintahan
Republik Indonesia, setiap jabatan mempunyai fungsi yang jelas dan tegas.

Keempat, dalam sistem pemerintahan Republik Indonesia para pejabat


diangkat berdasarkan suatu kontrak. Hal ini nyata sekali, misalnya, ketika
seseorang mulai masuk sebagai pegawai negeri sipil; orang ini diharuskan
menyepakati kontrak sebelum dia resmi duduk dalam sebuah jabatan. Kelima,
dalam sistem pemerintahan Republik Indonesia, para pejabat dipilih berdasarkan
kualifikasi profesional. Memang harus diakui, bahwa saat-saat ini pemerintahan
Republik Indonesia belum mampu mempraktekkan profesionalitas ini secara
sempurna. Namun, semakin ke sini, profesionalitas dalam pemerintahan Republik
Indonesia semakin menunjukkan perbaikan ke arah profesionalitas kepegawaian.

Keenam, dalam sistem pemerintahan Republik Indonesia, setiap pejabat


negara memiliki gaji sekaligus dilengkapi tunjangan-tunjangan dan hak-hak
pensiun. Ketujuh, dalam sistem pemerintahan Republik Indonesia, setiap pos
jabatan adalah lapangan kerja pokok bagi para pejabat. Dalam hal ini, setiap PNS
di Indonesia dilarang mempunyai pekerjaan pokok di samping pekerjaannya
sebagai pegawai negara.

Kedelapan, dalam sistem pemerintahan Republik Indonesia,


perkembangan karir setiap pejabat berlangsung atas dasar senioritas, keahlian dan

8
pertimbangan keunggulan (superiority). Kesembilan, dalam sistem pemerintahan
Republik Indonesia, pejabat sangat mungkin tidak sesuai dengan pos jabatannya
maupun dengan sumber-sumber yang tersedia di pos terbut. Dan kesepuluh, dalam
sistem pemerintahan Republik Indonesia, setiap pejabat tunduk pada sisstem
disiplin dan kontrol yang seragam, yang secara formal diakui negara.

9
4. CATATAN AKHIR

Melalui konsep yang dikenal sebagai birokrasi legal-rasional, Weber


berhasil membuat seperangkat kaidah agar sebuah organisasi, tegasnya birokrasi,
dapat disebut sebagai ideal typhus birokrasi. Pada ini, Weber harus berhasil
membuat pondasi bahkan plat-form bagi organisasi yang modern. Tesis Weber
jelas, bahwa birokrasi adalah legal dan rasional. Birokrasi adalah legal, karena
birokrasi tunduk pada aturan-aturan tertulis yang dapat disimak oleh siapapun.
Dan birokrasi adalah rasional rasional, karena birokrasi dapat dipahami, dipelajari,
dan dijelaskan sebab-akibat serta duduk-perkaranya.

Dengan tapa menafikan kekurangan-kekurangannya, harus diakui bahwa


konsep Weber tersebut sangat bersemangatkan modern. Lantaran ini, dalam
negara-bangsa (nation-state) modern, sistem birokrasi yang banyak dianut ialah
konsep Weber dimaksud ini. Tak terkecuali dalam kesimpulan ini ialah sistem
pemerintahan Republik Indonesia.

Dari narasi-narasi pembahasan di atas, nyata bahwa penataan birokrasi


Indonesia adalah bersemangatkan konsep birokrasi legal-rasional a-la Max
Weber. Nampak jelas, penataan pemerintahan Republik Indonesia berdasarkan
semangat birokrasi Weberian bahwa “birokrasi adalah system of power (sistem
kekuasaan)”. Di samping itu, enam dalil birokrasi yang digariskan Weber juga
terpraktek dalam birokrasi Indonesia. Tak hanya itu, sepuluh aturan dasar
birokrasi yang ditetapkan Weber ternyata juga berlaku sebagai prinsip-prinsip
yang berusaha diratifikasi sekaligus diejawentahkan di jagad birokrasi
pemerintahan Republik Indonesia.

Wallâh A‘lam bi il-Shawâb.

10
DAFTAR PUSTAKA

Albrow, Martin. Birokrasi, terj. Yogyakarta: Tiara Wacana, Cet.3, 2004.

Bandono, Agus. Birokrasi dan Pelayanan Publik. Suara Karya: 28 September


2001.

Pepah, Vouke. Dalil-dalil Max Weber Tentang Birokrasi. Manado Pos: 20


Februaru 2009.

Mustopadidjaja. Format Birokrasi NKRI Bagi Percepatan Pemulihan dan


Pembangunan Nasional; Makalah disampaikan pada Diskusi dan
Launcing IBSW (Indonesian Bureaucracy & Service Watch). Jakarta, 17
April 2002.

11

You might also like