Professional Documents
Culture Documents
Sindrome ini pertama kali dideskripsikan oleh Hans De Selye pada tahun 1920. GAS menggambarkan
tiga tahap reaksi terhadap stres. Stres pada manusia termasuk stres fisik, seperti kelaparan, karena
tertabrak mobil, atau penderitaan melalui cuaca buruk. Selain itu, manusia dapat menderita stres
emosional atau mental, seperti kehilangan orang yang dicintai, ketidakmampuan untuk memecahkan
masalah, atau bahkan mengalami hari yang sulit di tempat kerja.
Merupakan tahap pertama dari tahapan GAS. Ini adalah reaksi langsung ke penyebab stress. Pada tahap
awal stres, manusia memperlihatkan respon "melawan atau lari" (fight or flight response) , yang
menyebabkan seseorang harus siap untuk kegiatan fisik. Otot-otot tegang, jantung berdetak lebih cepat,
pernapasan dan keringat meningkat, mata membesar, perut mengejang. Namun, respons awal ini juga
dapat mengurangi efektivitas sistem imun, membuat orang lebih rentan terhadap penyakit selama fase
ini. Jika penyebab stres hilang, tubuh akan kembali normal.
dapat juga dinamakan tahap adaptasi, bukan tahap perlawanan. Selama fase ini, jika stres terus
berlanjut, tubuh menyesuaikan dengan tekanan itu terkena. Perubahan di berbagai tingkatan dilakukan
untuk mengurangi efek stres. Tubuh mengeluarkan lebih hormon yang meningkatkan kadar gula darah
untuk mempertahankan energi dan meningkatkan tekanan darah. Kelenjar adrenal (cortex)
menghasilkan hormon yang disebut kortikosteroid untuk kebutuhan reaksi resistensi ini. Penggunaan
mekanisme pertahanan tubuh yang berlebihan dalam fase ini akhirnya menyebabkan penyakit. Jika fase
adaptasi ini berlanjut untuk jangka waktu lama tanpa periode relaksasi dan istirahat untuk mengimbangi
respons stres, penderita menjadi rentan terhadap kelelahan, gangguan konsentrasi, lekas marah dan
kelelahan.
Pada tahap ini, stress telah berlangsung selama beberapa waktu. Ketahanan tubuh terhadap stres dapat
secara bertahap berkurang, atau mungkin runtuh dengan cepat. Umumnya, yang dimaksud dengan
ketahanan ini adalah sistem kekebalan tubuh dan kemampuan tubuh untuk melawan penyakit. Bahkan
mungkin imunitas ini hamper hilang sama sekali. Pasien yang mengalami stres jangka panjang dapat
terkena serangan jantung atau infeksi berat karena mengurangi kekebalan mereka. Sebagai contoh,
seseorang dengan pekerjaan stres mungkin mengalami stres jangka panjang yang dapat mengakibatkan
tekanan darah tinggi dan akhirnya serangan jantung.
2. Brain-Gut Axis:
Model Brain-Gut axis ini sering digunakan untuk menjelaskan penyebab dari Irritable Bowel Syndrome
(IBS). Penelitian IBS modern berfokus pada pentingnya hubungan antara kejadian-kejadian yang
mempengaruhi fungsi sistem saraf pusat (otak) dan pengaruh faktor-faktor tersebut (pada akhirnya)
terhadap fungsi usus melalui sistem saraf enterik khusus untuk usus (The Brain Gut Axis).
Skema berikut ini merupakan kesimpulan dari banyak temuan eksperimental dilaporkan dalam dekade
terakhir oleh peneliti ibs internasional.
Dalam keadaan normal, pada tahap saat otot polos usus kontraksi, isinya didorong melalui usus (gerak
peristaltik). Tindakan dari sekitar otot polos usus dikontrol oleh sistem saraf enterik khusus. Hal ini, pada
gilirannya, terhubung ke sistem saraf pusat (otak) oleh interkoneksi sistem saraf otonom.
Pada IBS, gejala terjadi baik karena kelainan motilitas usus atau karena kelainan sensasi, atau
merupakan kombinasi dari keduanya. Pada orang normal, distensi dari usus akan memicu serabut saraf
yang melapisi usus untuk mengirimkan sinyal ke pusat di otak yang bertanggung jawab untuk mengatur
(menimbulkan) sensasi rasa sakit. Pada penderita IBS, rasa sakit timbul pada tingkat distensi yang lebih
rendah. Hal ini dikenal sebagai 'hipersensitif usus’ (hyperalgesia).
3. Hypothalamic-Pituitary-Thyroid Axis
Hormon tiroid-tiroksin (T4, sebagai hormon penyimpanan) dan triiodothyronine (T3, yang merupakan
hormon aktif) tidak hanya berperan dalam kesehatan metabolik endokrin, syaraf dan sistem kekebalan
tubuh saja. Hormon ini juga memiliki peran penting dalam kesehatan dan fungsi optimal otak, termasuk
fungsi kognitif, suasana hati, kemampuan untuk berkonsentrasi, memori, rentang perhatian, dan emosi.
Pada websitenya, Christiane Northrup, MD menyatakan bahwa T3 sebenarnya merupakan
neurotransmiter poten yang mengatur aksi serotonin, norepinefrin, dan GABA (gamma aminobutyric
acid), sebuah neurotransmiter inhibisi yang penting untuk meredakan kegelisahan." Dia juga
menyatakan bahwa "Jika Anda tidak punya cukup T3, atau jika tindakan tersebut akan diblokir, seluruh
kaskade dari kelainan neurotransmitter dapat terjadi kemudian dan dapat menyebabkan perubahan
suasana hati dan energi, termasuk depresi."
Hipotiroid digambarkan pada literatur atas beberapa gejala, mulai dari mudah lelah (fatigue), kulit
kering, rambut rontok, menstruasi yang tidak teratur, dan konstipasi. Gejala lain yang dapat dikenali juga
adalah suara serak, bradikardi, edem non pitting, bicara lambat, reaksi lambat dari reflex tendon dalam.
Sebagai tambahan, gangguan psikiatri juga dapat timbul pada kasus hipotiroid. Dalam pemeriksaan
status mental pada pasien hipotiroid dapat ditemukan disfungsi dalam spektrum yang luas, gangguan
perhatian yang ringan sampai kegelisahan yang signifikan (significant agitated delirium) atau psikosis.
Daftar Pustaka:
http://changingminds.org/explanations/brain/gas.htm
http://www.holisticonline.com/stress/stress_GAS.htm
http://www.ibsresearchupdate.org/IBS/brain1ie4.html
http://gut.bmj.com/cgi/content/extract/47/suppl_4/iv5
http://www.stopthethyroidmadness.com/thyroid-depression-mental-health/
http://www.psychiatrist.com/pcc/pccpdf/v05n06/v05n0603.pdf
http://en.wikipedia.org/wiki/Hypothalamic-pituitary-thyroid_axis
http://images.google.co.id/images?hl=en&q=hypothalamic-pituitary-thyroid+axis&um=1&ie=UTF-
8&ei=lHqtSoOtJ8mDkAW4j-iVBg&sa=X&oi=image_result_group&ct=title&resnum=1
http://www.wrongdiagnosis.com/s/somatoform_disorders/symptoms.htm#symptom_list