You are on page 1of 13

REVOLUSI KOMUNIKASI

Berita, publik, dan ideologi


(terjemahan dari “The Communications Revolution: News, Public and Ideology “
oleh Alvin W Gouldner dalam McQuail Reader in Mass Communication Theory)

Ada interkoneksi sangat besar antara Era Ideologi—pertumbuhan ideologi pada abad 18
dan 19—dan revolusi komunikasi yang didasari oleh perkembangan percetakan,
teknologi percetakan, dan pertumbuhan produksi barang cetakan. Tahapan-tahapan
perkembangan lintas waktu dan subsistem sosial ini ditunjukkan dengan luar biasa jelas
oleh Morse Peckham:

“Tidak mengejutkan bahwa pada dekade pertama abad ke-19, orang Inggris menyempurnakan mesin
pembuat kertas, menamainya Founrinier, sesuai nama penemunya yang kehilangan kekayaan karena
mengembangkan mesin ini. Peristiwa ini sama pentingnya dengan penemuan mesin cetak. Penemuan ini
melibatkan keseluruhan reaksi berantai.

Di tahun 1830, dunia penerbitan sudah direvolusi. Barang cetakan sudah murah—pertamakalinya dalam
sejarah manusia literasi bisa menjangkau semua lapisan masyarakat. Di Inggris, jumlah penduduk
meningkat hingga mencapai rasio 1: 4; tetapi populasi yang melek huruf tumbuh dengan rasio 1: 32. Tidak
hanya dunia produksi buku yang dipengaruhi, tetapi semua jenis komunikasi dan perekaman yang
melibatkan kertas—majalah, suratkabar, surat menyurat; korespondensi militer, pemerintahan, dan
bisnis. .. Abad ke-19 mengalami sebuah revolusi komunikasi yang, meski merupakan bagian revolusi
industri, bisa jadi merupakan hasil yang paling penting.”

Peckham kemudian menyatakan bahwa revolusi komunikasi memengaruhi penulisan


sejarah modern:
“Teknik yang digunakan sejarawan dikembangkan berabad-abad sebelum revolusi komunikasi. Teknik ini
merupakan produk dari fakta keterbatasan jumlah dokumen. Otak seorang manusia bisa saja “menguasai”
semuanya. Semua dokumen Yunani kuno yang masih bertahan hingga kini bisa dipelajari seluruhnya
hanya dalam beberapa tahun. Karenanya, kita memiliki gambaran yang jelas tentang sejarah Yunani kuno.
Kegamblangan ini adalah bukan hasil pemahaman kita, tetapi semata-mata dampak dari fakta sedikitnya
dokumen yang bisa dipahami. Ketika seorang sejarawan berusaha berurusan dengan dengan periode
manapun setelah dimulainya revolusi komunikasi, dia tersesat dalam tumpukan dokumen. Teknik yang ia
gunakan tak lagi bisa memenuhi kebutuhannya… Dia dipaksa untuk mengakui bahwa sejarah adalah
sebuah construct (teori, konsep); dia tidak lagi bisa membohongi dirinya dengan pemikiran bahwa apa
yang terjadi persis sama dengan apa yang terekam dalam sejumlah kecil dokumen yang ada; dia tidak
bisa keluar dari kesimpulan bahwa construct-nya adalah instrument yang dia gunakan untuk
mengorganisasi dokumen-dokumen tersebut.”

Kemudian, munculllah perkembangan besar dalam informasi disebabkan akselerasi


ketersediaan materi-materi percetakan, koran, dan dokumen-dokumen resmi.
Kemajuan informasi yang pesat menambah masalah pemrosesan informasi, dan
terutama, penjelasan makna informasi. Mendapatkan makna, bukan informasi, menjadi
sangat problematik.

Makin jelaslah bahwa makna tidak terlontar begitu saja dari informasi itu sendiri, bahwa
makna tidak ditentukan oleh jumlah dokumen, oleh fakta-fakta atau potongan-
potongan informasi, tapi bergantung pada, setidaknya sebagian, pada komitmen awal
skema, teori dan konseptual. Perbedaan pemberitaan intra atau internasional atas satu
peristiwa yang sama, contohnya, sangat jelas bagi para pembaca yang bisa
membandingkannya. Makna bisa saja dilihat tergantung kepada kepentingan dan minat
penerbit maupun pembaca. Pertumbuhan informasi dan keragaman laporan terhadap
satu peristiwa menghasilkan problematika publik yang baru: kebutuhan akan makna
yang bisa dibagi secara luas. Perkembangan ideologi-ideologi, era ideologi, merupakan
sebuah respon utama atas revolusi komunikasi baru; ini bisa disebut sebagai sebuah
usaha untuk mensuplai makna di mana suplai informasi publik secara keseluruhan lebih
besar dari sebelumnya.
***

Era ideologi bisa dilihat berdasar perkembangan produksi sistem simbol yang
merupakan reaksi dari meningkatnya pasar makna; dan khususnya untuk makna-makna
yang tersekularisasi, yang sebagian disebabkan melemahnya sistem nilai lama dan
agama yang dikaitkan dengan rezim lama yang sudah mati; sebagian lagi disebabkan
karena struktur sosial baru dan peristiwa-peristiwa revolusioner yang harus
disintesakan; dan sebagian besar dikarenakan meningkatnya persebaran potongan
informasi ke segala arah sejak munculnya revolusi komunikasi.

Selain itu era ideologi memberi respon atas fragmentasi dunia dalam berita, yang sudah
menjadi sifat “berita” , yaitu seperti yang dikatakan Robert E. Park: Berita terkait “….
dengan peristiwa-peristiwa terpisah dan tidak mencari keterkaitan antara satu peristiwa
dan peristiwa lain dalam bentuk sebab akibat atau rentetan peristiwa yang teleologis…
Berita datang pada kita… tidak dalam bentuk cerita bersambung tapi sebagai
serangkaian peristiwa yang berdiri sendiri-sendiri… kecil, komunikasi-komunikasi
bebas”. Fokus pada “kebaruan” (newness) berita, setiap cerita baru cenderung menarik
perhatian ke masa sekarang, dan karenanya menyebabkan hilangnya hubungan dengan
masa lalu, yaitu sejarah, sehingga terjadilah dekonstekstualisasi peristiwa.

Era ideologi tidak hanya memberi respon terhadap fragmentasi berita, tapi juga
berhubungan dengan pengembangan sejarah modern yang menghubungkan peristiwa
lampau dan sekarang, dan mendorong terjadinya interkoneksi subsistem dalam
masyarakat yang (tadinya) berdiri sendiri-sendiri—contohnya penulisan tentang
hubungan antara masalah ekonomi dan politik. Dikaitkannya ekonomi dan politik bisa
disebut sebagai sejenis penyingkapan, dan sejarah bukan lagi rentetan catatan tentang
kerajaan dan kekuasaan semata, terpisah dari masalah lainnya. Sejarah baru,
sebagaimana ideologi-ideologi baru, melakukan rekontekstualisasi ; keduanya mencari
konteks pemberian-makna baru.

Dengan meluasnya literasi, teknologi cetak, dan perkembangan suratkabar modern,


maka muncullah gagasan baru tentang “berita” (news). Kurang lebih antara 1780-1830,
pertumbuhan jurnal, newsletter dan suratkabar di Eropa sangat marak hingga
muncullah fenomena sosial baru: publik pembaca “berita” (news).
Di Jerman, pada awal abad ke-17, suratkabar mulai beredar berdasar beberapa aturan.
Koran Perancis pertama, Gazette de France, muncul di tahun 1631. Antara 1700-1789,
sebanyak 85 jurnal mulai bermunculan di Prancis. London Gazzetter mulai terbit di
tahun 1665, antara lain berisi tulisan Jonathan Swift dan Daniel Defoe, dan pada 1774
sudah ada tujuh harian di London. Di permulaan pertengahan abad ke-18, sekitar 7,5
juta suratkabar terjual di Inggris dan mencapai hampir 25 juta pada tahun 1830. Robert
E. Park menyatakan bahwa “suratkabar pertama di Amerika ….adalah The Boston News
Letter… diterbitkan oleh kepala kantor pos”

Mulanya, publikasi semacam ini lebih menyerupai kombinasi antara tinjauan pustaka
dan “berita”. Tapi, pada tahun 1830, berita mendominasi ketika parlemen dan masalah
politis menyedot banyak perhatian, dam ketika pengembangan pasar ke dalam sistem
nasional dan internasional menyebabkan peristiwa-peristiwa-peristiwa yang terjadi di
tempat yang jauh bisa memengaruhi harga dan suplai barang setempat.

Lalu, media baru muncul dengan ketertarikan pada keragaman pemirsa, salah satunya
media untuk perempuan yang muncul di Leipzig (1725-1726) dan suratkabar untuk kelas
pekerja yang muncul di London dan Paris sekitar tahun 1830. Bahkan pada 1620, Ben
Johnson sudah menyatakan bahwa pelanggan newsletternya sebagai orang-orang “ dari
semua lapisan dan kepercayaan”. Setelah itu, dan dengan munculnya rubrikasi dan fitur-
fitur berbeda dalam satu suratkabar, kertas memperluas jangkauannya ke berbagai
publik yang berbeda (lintas publik) yang dihubungkan dan dipersatukan melalui layout
suratkabar. Tipografi dan layout menjadi cara visual untuk mengorganisasikan makna
dan pembaca.
***

Media massa dan publik saling membantu perkembangan satu sama lain. Publik lahir
ketika terjadi keretakan antara budaya dan pola interaksi sosial. Kelompok-kelompok
tradisional ditandai dengan asosiasi dan dukungan dari kedua elemen tersebut; anggota
kelompok memiliki interaksi sosial yang terpola satu sama lain, yang pada gilirannya
mendorong terjadinya kesepahaman dan minat yang sama, yang pada gilirannya lagi,
menjembatani terjadinya interaksi satu sama lain, dan seterusnya. Sementara “publik”
mengacu kepada sejumlah orang yang terekpose oleh rangsangan sosial yang sama dan
memiliki kesamaan meski tidak ada interaksi di antara mereka. Publik adalah orang-
orang yang tidak perlu “saling hadir” dalam “penglihatan dan pendengaran” satu sama
lainnya.

Dalam masyarakat paling tradisional, pasar dan hari libur mendasari struktur-struktur
dasar khusus yang secara periodik menyebarkan informasi ke komunitas yang lebih
besar, di antara orang asing atau anggota keluarga-yang-berbeda; dan ini dilakukan dari
mulut ke mulut melalui percakapan langsung yang memungkinkan penjelasan atas
umpan balik dan pertanyaan. Pertumbuhan media massa, yang mulanya muncul dalam
bentuk barang cetakan, menyebabkan sejumlah orang terekspose aliran informasi
berkesinambungan pada saat yang kurang lebih sama. Maka terjadilah
dekontekstualisasi informasi. Karenanya informasi harus dibuat sedemikian rupa agar
bisa dipahami, menarik, dan meyakinkan bagi orang-orang dengan beragam latar
belakang dan kepentingan yang tidak saling kenal, bertemu dan berinteraksi satu sama
lain.

Pertumbuhan media massa menjadikan interaksi sosial kurang dibutuhkan dalam


komunalitas budaya. Orang-orang bisa berbagi informasi dan orientasi, fakta dan nilai,
tanpa harus bertatap muka dan berinteraksi secara langsung. Maka muncullah masalah
baru, yaitu bagaimana orang-orang bisa mengevaluasi informasi. Keyakinan bersama
yang dianggap benar dan berharga bisa dikendalikan dari jarak jauh, jauh dan di luar
masyarakat yang berbagi kepercayaan tersebut. Sepanjang kontrol media tersentralisasi
dan luas jangkauannya, persuasi yang rasional pun menjadi kurang dibutuhkan dan
manipulasi dari sumber utama bisa menggantikan persuasi yang tidak memiliki tendensi
apapun.

Ini berarti, secara historis suatu “publik” terdiri dari orang-orang yang biasanya
memperoleh berita dan orientasi dari media massa impersonal yang menyediakan
beragam informasi dan orientasi yang disebarkan oleh para pengusaha atau organisasi
yang saling bersaing, dan keberagaman ini mempertinggi tingkat pembicaraan di antara
mereka yang saling berbagi berita dan mencari konsensus atas makna berita tersebut.
Inilah yang disebut publik borjuis.

Sementara itu, publik sosialis dibentuk dari ketiadaan berita yang dipahami secara
bersama, dari ketidakpercayaan kepada berita-dengan-satu-pendapat, dan dari
besarnya kesulitan untuk menyuarakan perbedaan interpretasi dari interpretasi yang
disetujui secara resmi (oleh negara), karena ketiadaan dukungan terbuka bagi
pandangan yang berbeda.

Jelaslah, publik borjuis membatasi dirinya kepada kepentingan kepemilikan, asumsi


budaya yang dibentuk oleh kelas, dan latar belakang pendidikan; tapi publik ini
mendukung keberagaman.

***
Suratkabar meningkatkan rasionalitas publik dengan beberapa cara. Pertama,
menyediakan suplai informasi yang lebih luas, membawa informasi tentang peristiwa
yang terjadi di tempat yang jauh. Jadi, ia memberi pengaruh “yang bersifat
menduniakan”, memungkinkan orang-orang keluar dari asumsi-asumsi picik dan
kedaerahan, dan karenanya bisa membandingkan kondisi mereka dengan kondisi orang
di belahan dunia lainnya. Berita menjadikan pilihan lainnya dianggap realistis dengan
menunjukkam kondisi-kondisi berbeda yang sudah ada. Berita pun memungkinkan
orang-orang melihat apa yang akan terjadi, seperti ramalan cuaca. Dengan cara-cara
inilah berita bisa meningkatkan rasionalitas.

Kedua, pada awal periode borjuis, berita dan informasi yang berkembang juga
meningkatkan rasionalitas dengan terstrukturnya berita, yaitu melalui pemisahan berita
dan editorial, juga karena koran-koran yang saling bersaing memunculkan laporan
berbeda atas peristiwa yang sama. Kedua kondisi ini dipicu oleh kepentingan mencari
keuntungan dan persaingan bisnis.

Pemisahan berita dari kebijakan editorial, yang sebagian disebabkan pencarian


kebijakan editor suratkabar, bisa menyebabkan ketersinggungan dan membatasi pasar
suratkabar tersebut. Apalagi ketika periklanan tumbuh dan menyebabkan
meningkatkannya perhatian kepada jumlah pembaca, sementara pendapatan dari iklan
jelas berkaitan dengan jumlah pembaca. Inilah, yang kemudian, mengontrol kebijakan
editor, memisahkan penyajian berita dari editorial. Sesungguhnya, inilah yang
menyebabkan berita dan opini editorial tersubordinasi oleh hiburan, penulis-penulis
feature, cerita-cerita “human interest”, kisah romantis untuk kaum perempuan dan
olahraga untuk laki-laki. Ketika dunia hiburan berkembang, suratkabar sebagai sumber
rasionalitas benar-benar dihancurkan. Tetapi, sampai saat dan sepanjang suratkabar
menghadirkan informasi yang membutuhkan interpretasi, ia tetap mendorong
terjadinya diskusi dan dialog rasional.
***

Menurut mazhab Chicago, berita mengkonstruksi suatu publik dengan mendorong


terjadinya dialog tatap muka. Pembicaraan makin ditingkatkan seiring kebutuhan untuk
memecahkan ketidakpastian makna berita yang disebabkan oleh lacuna atau informasi
yang saling berbeda.
Tetapi percakapan semacam itu mendasari munculnya motif-motif klarifikasi. Motif-
motif inilah yang pada gilirannya mendasari kepentingan dalam mengintegrasikan
kepingan-kepingan informasi yang terpisah yang menjadi karakteristik berita; penulisan
berita yang bertentangan, ambigu dan beragam. Sistem tersebut pada hakikatnya
mendasari: ketergantungan penerbit kepada keberhasilan pemasaran produk, yang
berarti ‘harus menarik perhatian pembacanya” dan menghasilkan pasar yang lebih
besar; mengimplikasi adanya suatu sistem yang memungkinkan banyak produsen
percetakan semiotom, penerbitan, outlet dan distributor bebas membeli tulisan dan
penulis yang karyanya bisa menjual dan menjanjikan keuntungan. Ini juga menjadi
alasan bagi para penulis yang bisa menjual karyanya untuk pasar kelas buruh, dan
penulis-penulis yang karenanya bisa lolos sensor satu penerbit dengan menggunakan
penerbit lain yang bersaing.

Rasionalitas borjuis melampaui rasionalitas kuno klasik terutama karena basis teknologi
barunya. Sistem kelas dalam masyarakat perbudakan klasik dan dalam masyarakat
kapitalis membuat bagian-bagian besar masyarakat jauh dari partisipasi dalam dialog
publik yang rasional. Pembatas rasionalitas dalam kedua kelas, sebagian , adalah
kepentingan kepemilikan dan kelas dari kelompok-kelompok yang berkuasa, dalam hal
ini para pemilik budak dan kaum borjuis.

Bangsa Yunani hanya memberi sedikit atau tak satupun bukti pernah menjadikan
perbudakan sebagai institusi problematis yang terbuka untuk diskusi publik, kecuali
ketika itu terkait dengan masalah politik solidaritas bangsa Yunani melawan bangsa
Persi. Sementara itu, masyarakat borjuis dengan sangat cepat membuat kritik publik
atas asumsi-asumsi (gagasan-gagasan) kepemilikan yang paling dasar. Agak berbeda
dengan masyarakat kuno klasik, masyarakat borjuis sangat cepat menanam benih
kehancurannya sendiri. Revolusi Perancis mencapai puncaknya tidak hanya ketika misi
pembebasan kaum ploretar disuarakan, karena sesungguhnya revolusi ini sebagian
telah diantisipasi dan ditandai dengan “konspirasi persamaan” Babeuvian.
Publik-publik menyiratkan perkembangan diskursus rasional ketika mereka
membutuhkan kehadiran ruang yang aman dan bersih dalam masyarakat untuk dialog
tatap muka yang dimotivasi oleh pencarian interpretasi atas berita. Diskursus semacam
ini benar-benar “rasional” dalam arti bersifat kritis. Ini hanya akan terjadi jika orang-
orang bisa berbicara secara terbuka tanpa takut akan pembatasan, i kecuali kepada
mereka yang berbicara tidak berdasar logika dan fakta, dan hanya sepanjang
pembatasan-pembatasan tersebut ditimbulkan oleh kawan-kawan berbicara dalam
kapasitas pribadi mereka. Rasionalitas diskursus publik karenanya bergantung kepada
adanya pemisahan kekuasaan normal dan hak istimewa para pembicara dalam
masyarakat yang lebih luas, khususnya dalam sistem kelas, dan kepada
penetapan/penegasan bahwa kekuasaan dan hak istimewa ini sebagai sesuatu yang tak
relevan dengan kualitas diskursus para pembicara.
***

Percakapan yang didasari berita, sebagai wahana rasionalitas publik, bergantung kepada
ketiadaan mata-mata pemerintah, informan, sensor atau polisi-rahasia pemerintah.

Karenanya, sistem kelas dan negara harus dikeluarkan dari dialog agar publik bisa
mengaktuliasasikan potensinya untuk menghasilkan rasionalitas kritis. Transformasi
sosial sistem kelas itu sendiri akan gagal memperbaiki rasionalitas publik jika pada saat
yang bersamaan ia tidak mencegah negara menjatuhkan sanksi atas percakapan yang
bersifat kontradiktif.

Perkembangan publik dalam masyarakat borjuis jelas melibatkan interaksi antara


pertumbuhan berita, media cetak dan teknologi, dengan ruang yang aman dan bersih
yang memungkinkan terjadinya pembicaraan tatap muka tentang suatu berita dan
maknanya. Perkembangan ini dimulai dalam batasan-batasan masyarakat aristokrat
liberal, sebelum revolusi borjuis. Berawal di dalam salon-salon kaum aristokrat dan ini
nantinya didemokratisasi oleh perkembangan kafe-kafe publik dalam masyarakat borjuis
—tempat di mana satu kelompok terbatas bisa berkumpul dan bercakap rasa takut.
Akan halnya di salon, pembicaraan berkisar pada kondisi publik dalam ruang rumah
tangga dan merupakan bentuk hiburan umum. Seseorang harus diundang, jika tidak ia
tidak bisa terlibat dalam pembicaraan. Ini berarti percakapan dibatasi oleh syarat-syarat
yang tidak diungkap secara eksplisit.

Dengan dibukanya kafe untuk publik (asal bisa membayar uang masuk), maka hanya
tersisa satu pembatas dasar untuk bisa berpartisipasi dalam percakapan, yaitu waktu
luang. Menghabiskan siang hari di kafe menyiratkan bahwa dia adalah seseorang yang
mengatur waktunya sendiri, “master of his own” karena dia seorang pengusaha atau
professional yang independen dan reputable, atau pelajar yang disupport oleh suatu
lembaga. Penting untuk dicatat bahwa pengusaha kaya raya yang mempekerjakan orang
lain bisa jadi tidak berpartispiasi dalam kegiatan semacam ini karena kebutuhan atau
keinginannya untuk mengawasi pegawainya.
***
Menghabiskan waktu di kafe pada malam hari, khususnya, untuk mengobrol juga
mengisyaratkan bahwa seseorang berasal dari kelompok yang didominasi kaum laki-laki.
Kehadiran di kafe mendasari sistem keluarga yang rumahtangganya didominasi oleh
kaum pria di mana mereka bisa pergi dan pulang ke rumah sesuka hati dan tidak ikut
menghabiskan waktu untuk mengasuh anak dan menjaga rumah. Publik borjuis nyatalah
tidak hanya didasari oleh kelas tapi juga sistem keluarga yang patriarkis. Sistem ini
sangat terbuka bagi mereka yang memiliki hak istimewa dari sisi jenis kelamin dan
ekonomi.

Dalam masyarakat borjuis dan kuno klasik, rasionalitas publik didasari hak istimewa
kelas adan dominasi kaum laki-laki dalam keluarga.
Adanya kepemilikan pribadi atas penerbitan juga menghasilkan seperangkat pembatas
yang di dalamnya pembedaaan antara editorial dan berita tidak jelas sama sekali; untuk
itulah pada akhirnya penerbit harus mempekerjakan editorialis dan kepala divisi berita.
Tapi masalah keuntungan menekan batasan-batasannya. Penerbit adalah kapitalis yang
butuh “keuntungan” dan hidup dalam kompetisi. Pertimbangan yang memaksa untuk
mencetak apa yang bisa menjual dan mendatangkan keungtungan akhirnya membuat
penerbit membatasi diri dalam menyuntikkan pandangan ideologisnya sendiri ke dalam
berita.
***
Ideologi memobilisasi pergerakan sosial publik melalui mediasi suratkabar dan media
lainnya. “Pergerakan” merupakan sektor publik yang berkomitmen pada proyek publik
dan identitas sosial umum. “Pergerakan” adalah sektor responsif publik terhadap usaha-
usaha untuk memobilisasi ideologi; mereka membagi ideologi untuk memaknai berita
dan memberi penyadaran atas identitas sosial dari tulisan-tulisan di media berita. Berita
menciptakan identitas-identitas sosial berlandaskan ideologi yang, pada gilirannya kini,
ditetapkan dan dibangun oleh media. Karenanya, pergerakan sosial di dunia modrn
dibangun oleh berita dan ideologi.

Sesungguhnya, di antara penyebaran pergerakan sosial yang terjadi belakangan dan


formulasi ideologi yang terjadi lebih awal, kerap ada campurtangan organisasi dan
produksi suatu suratkabar. Dalam periode konsolidasi kaum borjuis, surat-suratkabar
kerap menjadi instrumen partai; dan partai kerap dimobilisasi dan diorganisasikan
melalui suratkabar. Partai politik modern, yang merupakan organisasi kader dan
pergerakan elite yang bertahan lama, didukung oleh suratkabar serta komitmen dan
kepentingannya; dalam banyak kasus, suratkabar pada dasarnya merupakan bagian
internal suatu partai.

Editor surat kabar kerapkali memiliki jabatan rangkap sebagai editor dan pimpinan
partai. Dengan cara inilah kader partai bisa hidup tenang tanpa memikirkan masalah
ekonomi dan mempunyai waktu untuk terlibat dalam partai secara aktif. V.I Lenin yang
dengan sengaja mengusahakan mobilisasi kader Marxis di Rusia dengan cara
menerbitkan suratkabar Iskra, Cahaya, menggarisbawahi signifikansi mediasinya.
Demikian juga salah satu alasan Marx dan Engels tidak pernah menjadi pimpinan aktif
(tapi hanya menjadi konsultan senior) partai-partai sosialis massa adalah karena mereka
menolak menjadi editor suratkabar partai, meski itu suratkabar kaum sosialis.
***
Makna “publik” berkembang seiring dengan munculnya gagasan tentang “pribadi”.
Hubungan antara keduanya tidak selalu sama di semua negara. Di Perancis, pada abad
18-19, gagasan “pribadi” mendasari gagasan tentang “publik”. Di Inggris, sekolah
“publik” tentu saja tidak terbuka untuk semua orang. Maksud sekolah publik di sini
adalah sekolah yang dijalankan jauh dari rumah keluarga dan karenanya jauh dari
pengawasan orangtua. Publik di sini berarti di luar keluarga dan karenanya sama
dengan pemahaman orang Perancis. Di Jerman, “pribadi” kerap menggantikan “publik”
sebuah tempat untuk berpendapat di mana seseorang bebas mengutarakan pikirannya.

You might also like