You are on page 1of 26

c c

   


Ketuban pecah dini atau ketuban pecah sebelum proses persalinan berlangsung, terjadi
pada 2,7 ± 17% kehamilan dan 60% diantaranya terjadi pada usia kehamilan aterm.

Selaput ketuban normalnya pecah pada akhir kala I atau permulaan kala II persalinan.
Jika ketuban belum pecah, tidak jarang ketuban harus dipecahkan ketika pembukaan hampir atau
telah lengkap. Apabila ketuban telah pecah sebelum proses persalinan berlangsung, maka hal
tersebut disebut sebagai ketuban pecah dini (KPD) atau premature rupture of the membrane
(PPROM).

Penyebab KPD adalah multifaktorial. Kondisi-kondisi yang menyebabkan distensi


berlebihan pada uterus, seperti kehamilan multiple dan polihidramnion dapat merupakan factor
predisposisi terjadinya KPD. Infeksi juga memegang peranan penting, karena bakteri dapat
menurunkan kekuatan dan elastisitas membrane. Selaput ketuban pada KPD memiliki perbedaan
seperti berkurangnya ketebalan dan elastisitas, berkurangnya produksi kolagen, serta
meningkatnya kolagenolisis dibandingkan dengan selaput ketuban yang tidak mengalami pecah
dini.

Ketuban pecah dini merupakan masalah penting dalam obstetri berkaitan dengan penyulit
kelahiran prematur dan terjadinya infeksi khorioamnionitis sampai sepsis, yang meningkatkan
morbiditas dan mortalitas ibu dan janin. Oleh karena itu, upaya yang cepat dan tepat untuk
penanganan KPD sangat diperlukan, dimana penanganan tersebut memerlukan pertimbangan
usia gestasi, adanya infeksi dan komplikasi pada ibu dan janin, dan tanda-tanda persalinan.

Kejadian KPD pada wanita hamil aterm sekitar 8-10%. Bila tidak dilakukan induksi
persalinan, sekitar 70% akan mengalami persalinan spontan dalam 24 jam dan lebih dari 95%
terjadi persalinan spontan dalam 72 jam.

 
c c





 


Ketuban pecah dini (KPD) atau Spontaneous/early/premature rupture of membrane


(PROM) adalah pecahnya ketuban sebelum inpartu, yaitu bila pembukaan kurang dari 3 cm
(pada primipara) atau kurang dari 5 cm (pada multipara). Dengan keluarnya cairan berupa air-air
dari vagina setelah kehamilan berusia 20 minggu. Definisi lain menyebutkan bahwa KPD adalah
pecahnya ketuban sebelum terdapat tanda persalinan mulai dan ditunggu 1 jam belum terjadi
inpartu.

Pecahnya selaput ketuban dapat terjadi pada kehamilan preterm maupun kehamilan
aterm, yang dibagi menjadi dua, yaitu :

- PROM (premature rupture of membrane), pecahnya selaput ketuban pada usia kehamilan
> 37 minggu.
- PPROM (preterm premature ruptur of membran), pecahnya selaput ketuban pada
kehamilan < 37 minggu. Kondisi ini dibagi lagi atas :
 Ketuban pecah dini pada usia kehamilan 32-36 minggu (u    

  
 Ketuban pecah dini pada usia kehamilan 23-31 minggu ( u    
  
 Ketuban pecah pada usia kehamilan kurang dari 23 minggu hu 
  
Bila proses persalinan segera berlangsung sesudahnya maka akan terjadi kematian
neonatus.
Terjadinya ketuban pecah biasanya diikuti oleh proses persalinan. Periode laten dari
pecahnya selaput ketuban hingga persalinan berkurang secara berlawanan dengan bertambahnya
usia gestasi. Contohnya, pada usia gestasi 20-26 minggu periode latennya 12 hari sedangkan
pada usia gestasi 32-34 minggu hanya 4 hari. Pada kehamilan aterm, 70% wanita mulai
persalinan dalam 24jam dan 95% dalam 72 jam setelah pecahnya selaput ketuban.

    
 
   c 

SELAPUT KETUBAN

Selaput ketuban terdiri atas amnion dan korion yang saling berdekatan. Keduanya
mengandung bermacam-macam sel, termasuk sel epitel dan sel-sel trofoblas, yang melekat pada
matriks kolagen. Selaput ini menahan cairan amnion, mengeluarkan zat-zat ke dalam cairan
amnion dan selanjutnya ke uterus dan melindungi janin dari infeksi asenden dari saluran genital.

Amnion tidak mengandung darah atau syaraf dan kebutuhan nutrisinya diperoleh dari
cairan ketuban. Amnion terdiri dari 5 lapisan yang berbeda yaitu epitel, membran dasar, lapisan
kompakta, lapisan fibroblast dan lapisan spongiosa/intermediate. Lapisan epitel mensekresi
glikoprotein non kolagen (laminin, nidogen dan fibrolectin) dari membran basalis, lapisan
amnion disebelahnya.

Lapisan kompakta merupakan jaringan konektif yang melekat pada membrane basalis
yang membentuk kerangka fibrosa dari amnion. Kolagen pada lapisan kompakta ini disekresi
oleh sel-sel mesenkim pada lapisan fibroblast. Lapisan fibroblast merupakan lapisan amniotik
yang paling tebal terdiri atas sel-sel mesenkimal dan makrofag(bakteriostatik) di antara matriks
seluler. Kolagen pada jaringan ini membentuk jaringan longgar dari glikoprotein non
kolagenosa.    
 
 

 h   
    
    
 

  
u
  u

    u

   

 

 
 
  
 
  . Berdasarkan tipenya kolagen-kolagen interstitial terbagi atas kolagen
interstitial tipe I, tipe II, tipe III dan tipe IV. Kolagen tipe I adalah kolagen interstitial utama di
jaringan-jaringan yang memiliki daya regang tinggi, contohnya tulang dan tendon. Kolagen tipe
III adalah kolagen interstitial yang berfungsi meningkatkan ekstensibilitas serta daya regang,
sehingga kolagen tipe I dan III mendominasi serta membentuk pararel bundles yang
mempertahankan integritas mekanika amnion. Kolagen tipe V dan VI membentuk koneksi
filamentosa antara kolagen interstitial dan membran basalis epitel. Tidak ada interposisi dari
materi yang menyusun fibril kolagen pada jaringan konektif amniotik sehingga amnion dapat
mempertahankan tensile strength (daya regangan) selama stadium akhir kehamilan normal.

Lapisan spongiosa/intermediate yang terletak diantara amnion dan korion. Lapisan ini
banyak mengandung hydrated proteoglycan dan glikoprotein yang memberikan sifat ´spongy´
pada gambaran histologinya. Lapisan ini mengandung nonfibrillar meshwork yang terdiri
sebagian besar dari kolagen tipe III. Lapisan ini mengabsorbsi stress fisik yang terjadi. Selain itu
selaput amnion juga menghasilkan zat vasoaktif yaitu endotelin-1 (vasokonstriktor) dan PHRP
(parathyroid hormone related protein) merupakan suatu vasorelaksan. Dengan demikian selaput
amnion mengatur peredaran darah dan tonus pembuluh lokal.

Korion lebih tebal daripada amnion namun amnion memiliki kekuatan regang(tensile
strength) yang lebih besar. Korion terdiri dari membran epitelial tipikal dengan polaritas
langsung menuju desidua maternal. Pada proses kehamilan, villi trofoblastik diantara lapisan
korionik dari membran fetal (bebas plasenta) mengalami regresi. Di bawah lapisan sitotrofoblast
(dekat janin) merupakan membran basalis dan jaringan konektif korionik yang kaya akan serat
kolagen. Membran fetal memperlihatkan variasi regional. Walaupun tidak ada bukti yang
menunjukan adanya titik lemah dimana membran akan pecah, observasi harus dilakukan untuk
menghindari terjadinya perubahan struktur dan komposisi membran yang memicu terjadinya
ketuban pecah dini.

o   

 u  
 

 

 


    
  
 

  
    

 u    

u u    u  
 
 u  

 


  
u
 


u
u
 

 

u 

AIR KETUBAN ( !"#$ )

Didalam ruang yang diliputi oleh selaput janin yang terdiri dari lapisan amnion dan
korion terdapat likuor amnii/ air ketuban. Air ketuban/ cairan amnion mempunyai ciri-ciri
sebagai berikut:

a) Volume air ketuban pada kehamilan cukup bulan kira-kira 1000 ± 1500 cc.
b) Air ketuban berwarna putih keruh, berbau amis, dan berasa manis.
c) Reaksinya agak alkalis atau netral, dengan dengan berat jenis 1,008.
d) Komposisinya terdiri atas 98% air, sisanya albumin, urea, asam urik, kreatinin, sel-sel
epitel, rambut lanugo, verniks kaseosa, dan garam anorganik. Kadar protein kira-kira
2,6% g perliter, terutama albumin. Juga ditemukan lesitin dan sfingomielin.

Dijumpainya lesitin dan sfingomielin dalam air ketuban amat berguna untuk mengetahui
apakah paru-paru janin sudah matang, sebab peningkatan kadar lesitin merupakan tanda bahwa
permukaan paru-paru (alveolus) diliputi oleh zat surfaktan. Ini merupakan syarat bagi paru-paru
untuk berkembang dan bernapas. Bila persalinan berjalan lama atau ada gawat janin atau janin
letak sungsang, maka akan kita jumpai warna air ketuban yang keruh kehijauan karena telah
bercampur dengan mekonium.

Fungsi air ketuban:

1. Untuk proteksi janin (melindungi janin terhadap trauma dari luar)
2. Mencegah perlekatan janin dengan amnion
3. Agar janin dapat bergerak bebas
4. Regulasi terhadap panas dan perubahan suhu
5. Mungkin untuk menambah suplai cairan janin, dengan cara ditelan atau diminum,
yang kemudian dikeluarkan melalui kencing janin.
6. Menjaga keseimbangan suhu dan lingkungan asam basa (pH) dalam rongga amnion,
untuk suasana lingkungan yang optimal bagi janin.
7. Peredaran air ketuban dengan darah ibu cukup lancar dan perputarannya cepat, kira-
kira 350-500cc
8. Membersihkan jalan lahir(jika ketuban pecah) dengan cairan yang steril, dan
mempengaruhi keadaan di dalam vagina, sehingga bayi kurang mengalami infeksi

Asal air ketuban :

 Kencing janin(fetal urine)


 Transudasi dari darah ibu
 Sekresi dari epitel amnion

Air ketuban untuk diagnosis :

Akhir-akhir ini air ketuban banyak menarik perhatian peneliti, terutama untuk
memonitor perkembangan janin dalam kandungan yaitu antara lain :

 Jenis kelamin bayi


 Aolongan darah ABO
 Rhesus iso imunisasi
 Maturitas janin
 Pemeriksaan tentang penyakit-penyakit genetik
Untuk itu diperlukan analisa air ketuban yang diambil dengan cara amniosintesis
transvaginal atau amniosintesis transabdominal
PEMBENTUKAN AMNION dan KORION

Bila nidasi terjadi, mulailah diferensiasi sel-sel blástula. Sel- sel yang lebih kecil
membentuk entoderm dan   
, sedangkan sel-sel yang besar menjadi ektoderm dan
membentuk ruang amnion. Dengan ini di dalam blastula terdapat suatu  
 u
 yang
terbentuk antara amnion dan yolk sac.

Sel-sel fibroblas mesodermal tumbuh disekitar embrio dan melapisi sebelah dalam
trofoblas. Dengan demikian, terbentuk chorionic membrane yang nantinya akan menjadi korion.
Pada minggu-minggu pertama perkembangan, villi/jonjot meliputi seluruh lingkaran permukaan
korion. Dengan berlanjutnya kehamilan maka vili korialis yang berhubungan dengan desidua
basalis tumbuh dan bercabang-cabang dengan baik, disisni korion disebut korion frondosum.
Sedangkan vili yang berhubungan dengan desidua kapsularis kurang mendapat makanan
sehingga lambat laun menghilang, korion ini disebut korion laeve.

Pertumbuhan embrio terjadi dari embryonal plate yang selanjutnya terdiri atas tiga unsur
lapisan, yakni sel-sel ektoderm, mesoderm dan entoderm. Sementara itu ruang amnion tumbuh
dengan cepat dan mendesak eksoselom sehingga akhirnya dinding ruang amnion mendekati
korion. Mesoblas antara ruang amnion dan embrio menjadi padat, dinamakan body stalk, dan
merupakan hubungan antara embrio dan dinding trofoblas. Pada perkembangan selanjutnya,
body stalk menjadi tali pusat sedangkan yolk sac dan alantois pada manusia tidak tumbuh terus.
Pada tali pusat yang berasal dari body stalk, terdapat pembuluh-pembuluh darah sehingga
ada yang dinamakan vascular stalk. Dari perkembangan ruang amnion dapat dilihat bahwa
bagian luar tali pusat berasal dari lapisan amnion. Antara membran korion dangan membran
amnion terdapat rongga korion. Dengan berlanjutnya kehamilan, rongga tertutup akibat
persatuan membran amnion dengan membran korion. Selaput janin selanjutnya disebut sebagai
membran korion-amnion (amniochorionic membrane). Kavum uteri juga terisi oleh konsepsi
sehingga tertutup persatuan chorion leave dengan desidua parietalis
  

Menurut Eastman, insiden PROM kira-kira 12 % dari semua kehamilan. Hanya sekitar 20
% kasus adalah PPROM. Dan PPROM inilah yang menyebabkan kira-kira 34% pada seluruh
kasus kelahiran prematur.

Kematian perinatal meningkat 2 kali, bila jarak pecahnya ketuban dan partus dalam 24
jam. Sementara itu jika terjadi dalam 48 jam, kematian perinatal meningkat 3 kali.

  

 c !"#$%%&'(#' !&)*)+

1. Kehamilan multiple : kembar dua ( 50%) , kembar tiga ( 90 %).

2. Riwayat persalinan preterm sebelumnya : risiko 2-4x

3. Tindakan koitus : tidak berpengaruh kepada risiko, kecuali jika hygiene buruk , predisposisi
terhadap infeksi.

4. Sefalopelvik disproportion. Kepala janin tidak masuk pintu atas panggul sehingga selaput
bagian bawah menggembung dan mudah pecah.
5. perdarahan pervaginam : trimester pertama ( risiko 2x ) , trimester kedua/ketiga ( 20x )
6. Pengaruh dari luar yang melemahkan ketuban:
- Infeksi genitalia
- Meningkatnya enzim proteolitik
- Bakteriuria (resiko 2x)
7. PH vagina di atas 4,5 : risiko 32% ( vs. 16%)
8. Servix tipis / kurang dari 39 mm : risiko 25% ( vs 7%)
9. Flora vagina abnormal : risiko 2-3x
10. Fibronectin > 50 mg/ml : risiko 83% ( vs 19% )
11. Kadar CRH ( corticotropoin releasing hormone ) maternal tinggi misalnya pada stress
psikologis , dsb. Dapat menjadi stimulasi persalinan preterm
12. Faktor genetik.
13. Kadar Vitamin C yang rendah.
14. Trauma dan tekanan intra abdominal.
15. Selaput ketuban terlalu tipis ( Kelainan ketuban)

  

Sebab-sebab terjadinya ketuban pecah dini, dapat dijabarkan sebagai berikut:

1. Faktor umum


a. Infeksi seksual transmited disease: infeksi vagina, khorioamnionitis
b.Faktor sosial : perokok, peminum, keadaan sosial ekonomi rendah
2. Faktor keturunan
a. Kelainan genetik
b.Kadar vitamin C dan ion Cu yang rendah di dalam serum
3. Faktor obstetrik, antara lain;
a. Overdistensi uterus pada kehamilan kembar dan polihidramnion
b.Serviks inkompetensi
c. Serviks konisasi/menjadi pendek
d.Terdapat sefalopelvik disproporsi;
- Kepala janin belum masuk PAP
- Kelainan letak janin, sehingga ketuban bagian terendah langsung menerima
tekanan intrauteri yang dominan
- grandemultipara
4. Tidak diketahui penyebabnya;
Dikemukakan bahwa kejadian ketuban pecah dini sekitar 5-8%. 5% diantaranya segera
diikuti oleh persalinan dalam 5-6 jam, sekitar 95% diikuti oleh persalinan dalam 72-95 jam
dan selebihnya memerlukan tindakan konservatif atau aktif dengan menginduksi persalinan
atau operatif
   
 

Menurut Taylor, patofisiologi KPD berhubungan dengan adanya faktor predisposisi :

a. Faktor infeksi


Pada infeksi, terjadi peningkatan aktifitas interleukin ± 1 (IL-1) dan prostaglandin.
Peningkatan ini menghasilkan kolagenase jaringan, sehingga terjadi depolimerasi kolagen
pada selaput korion/ amnion, yang menyebabkan selaput ketuban tipis, lemah dan mudah
pecah spontan.

b. Faktor trauma dan tekanan intra abdominal


Adanya stress maternal dan fetal, menyebabkan peningkatan pelepasan kadar CRH
(Cortikotropin releasing hormon), sehingga terjadi pembentukan enzim matriks
metalloproteinase (MMP), yang menyebabkan ketuban pecah.

c. Faktor selaput ketuban


Membran ketuban memiliki kemampuan material viscoelastis, dimana jika ada tekanan
internal saat persalinan dan juga adanya infeksi membuat membran menjadi lemah dan
rentan M membran pecah

Patogenesis

1. Adanya hipermotilitas rahim yang sudah lama terjadi sebelum ketuban pecah dan
terjadi bersamaan dengan penyakit-penyakit pielonefritis, sistitis, servisitis dan
vaginitis.
2. Ketuban terlalu tipis (kelainan ketuban)
3. Infeksi (amnionitis dan khorioamnionitis)
4. Faktor-faktor lain merupakan predisposisi yaitu multipara, malposisi, disproporsi
servik inkompeten dan lain-lain
Ketuban pecah dini juga berhubungan dengan kelemahan menyeluruh membrane fetal
akibat kontraksi uteri dan peregangan berulang. Membran mengalami rupture premature ini
tampak memiliki defek fokal dibandingkan kelemahan menyeluruh. Daerah dekat tempat
pecahnya membran ini di sebut ´ restricted zone of extreme altered morphology ´ yang ditandai
dengan adanya pembengkakan dan kerusakan jaringan kolagen fibrilar pada lapisan kompakta,
fibroblast maupun spongiosa. Daerah ini akan muncul sebelum ketuban pecah dini dan
merupakan daerah breakpoint awal. Patogenesis terjadinya ketuban pecah dini secara singkat
ialah akibat adanya penurunan kandungan kolagen dalam membrane sehingga memicu terjadinya
ketuban pecah dini dan ketuban pecah dini preterm terutama pada pasien resiko tinggi.

%,"*#$ )' '$$' !&)+

 Tempat pecahnya selaput ketuban


Pada suatu penelitian, disimpulkan bahwa tempat terjadinya ruptur adalah membran
diatas servik yang tidak ditunjang oleh desidua, apalagi setelah kehamilan makin besar. Pada
kasus PPROM usia gestasi 30-34 minggu didapatkan berkurangnya lapisan epitel dan berubah
menjadi sel nekrotik, korion hanya mengandung sedikit sel yang dilindungi fibrin dan desidua
biasanya tidak ada.

 Mekanik
Peningkatan tekanan intraamnion karena kontraksi uterus merupakan ancaman bagi
integritas membran. Tekanan sebesar 58-68mmHg cukup untuk memecahkan selaput ketuban
dengan dilatasi servik 3-4cm. Hal ini menerangkan terjadinya ruptur membran pada proses
persalinan. Regangan dan kontraksi uterus yang berulang-ulang akan menyebabkan kerapuhan
dan kerusakan lokal pada membran sehingga toleransi membran terhadap tekanan juga
berkurang sehingga memicu ruptur membran.

Ruptur membran yang terjadi pada kehamilan preterm(prematur) dengan dilatasi servik
yang yang lebih kecil atau tanpa dilatasi servik, membutuhkan tekanan yang lebih besar.
Disamping itu, faktor lain yang juga berpengaruh adalah elastisitas dan viskositas membran.
Ruptur membran prematur secara umum terlihat rusak, dibandingkan daerah lainya. Daerah di
sekitar tempat terjadinya sobekan selaput ketuban tampak sebagai daerah yang terdiri atas sel-
sel fibrillar kolagen yang bersatu dengan fibroblast dan lapisan spongiosa. Ketuban pecah dini
pada kehamilan preterm dapat disebabkan karena infeksi

 Perubahan pada kolagen yang terjadi akibat infeksi

Perubahan pada kolagen yang membentuk jaringan penghubung juga berperan dalam
melemahnya membran korioamnionik. Jumlah kolagen berkurang sesuai dengan
bertambahnya usia kehamilan. Suatu penelitian membuktikan bahwa kolagen tipe III
berkurang pada pasien PROM , kolagen ini berperan dalam mempertahankan elastisistas
membran. Kolagenase dan protease lain yang terdapat pada cairan amnion normal, sekret
servik atau yang merupakan produk metabolisme bakteri dapat melemahkan membran
amnion.

Identifikasi mikroorganisme patogen segera setelah pecahnya selaput ketuban


mendukung konsep bahwa infeksi bakteri memegang peranan dalam terjadinya kerusakan
selaput ketuban. Dari data-data epidemiologi disimpulkan bahwa adanya kolonisasi bakteria
traktus genitalia dari Streptokokus grup B, Chlamydia Trakhomatis, Neisseria Aonorrhoeae
dan mikroorganisme penyebab bakterial vaginosis (Aardnerrela vaginosis, Mobiluncus Sp dan
Mycoplasma genitalis). Selanjutnya dapat dilihat bahwa penggunaan antibiotik yang ternyata
secara bermakna menurunkan resiko terjadinya pecah ketuban pada wanita dengan infeksi
seperti yang di atas tersebut. Infeksi intrauterin dapat menjadi faktor predisposisi terjadinya
ketuban pecah dini, dengan berbagai mekanisme, yang masing-masing menginduksi proses
degradasi dari matrik ekstraseluler.

Beberapa organisme yang umum merupakan flora normal yang dapat meningkat karena
keadaan-keadaan tertentu termasuk Streptokokus grup B, Staphylokokus aureus, Trichomonas
vaginalis mensekresikan protease yang akan mendegradasikan kolagen dan merusak
membran. Pada proses infeksi yang terjadi dapat terbentuk sitokin, matriks metalloproteinase
dan prostaglandin.

Infeksi bakterial dan respon infeksi itu sendiri juga merangsang produksi prostaglandin
yang menyebabkan degradasi kolagen. Strain tertentu dari bakteri vaginal memproduksi
fosfolipase A2 yang melepaskan prostaglandin prekursor asam arakibonat dari membran
fosfolipase ke dalam amnion. Respon imun terhadap infeksi bakteri termasuk produksi sitokin
dari monosit yang teraktivasi akan meningkatkan prostaglandin E2 yang diproduksi oleh sel-
sel korionik. Rangsang sitokin dari prostaglandin E2 oleh amnion dan korion menyebabkan
induksi dari siklooksigenasi II, enzim yang merubah asam arakidonat menjadi prostaglandin.
Bagaimanapun juga, prostaglandin (terutama PAE2 dan PAF2) dapat merupakan mediator
dari persalinan pada binatang mamalia.
 Teregangnya selaput ketuban
Overdistensi uterus baik akibat polihidramnion dan kehamilan kembar akan
merangsang regangan pada selaput ketuban dan meningkatkan resiko ketuban pecah dini.
Peregangan ini meningkatkan prostaglandin E2 dan interleukin-8 serta meningkatkan aktivitas
MMP. PAE2 meningkatkan iritabilitas uterus dan IL-8 yang diproduksi oleh sel amnion dan
korion merupakan kemotaktik terhadap neutrofil dan merangsang aktivitas kolagen.

Produksi dari IL-8 dapat ditemukan dalam konsentrasi terendah pada cairan amnion
selama trimester II, tetapi konsentrasi lebih tinggi dapat ditemukan pada kehamilan usia
lanjut. Produksi ini dihambat oleh progesteron. Produksi amnion berupa IL-8 dan PAE2
menunjukan adanya perubahan biokimia pada membran yang mungkin ditandai oleh daya
fisik (regangan membran) dan secara biokimiawi merangsang terjadinya ruptur membran.

Sumber lain menyebutkan, mekanisme terjadinya KPD :

1. Terjadinya pembukaan prematur serviks


2. Membran/ selaput ketuban, terkait dengan pembukaan, terjadi :
a. Devaskularisasi
b. Nekrosis dan dapat diikuti pecah spontan
c. Jaringan ikat yang meyangga membran ketuban, makin berkurang
d. Melemahnya daya tahan ketuban dipercepat dengan infeksi yang mengeluarkan enzim
proteolitik dan kolagenase.


  





1. Anamnesis

- Keluar cairan ketuban (berwarna jernih/ kuning/ putih keruh/ kehijauan/ kecoklatan)
sedikit demi sedikit atau sekaligus banyak.
- Bau cairan ketuban yang khas (terutama jika sudah terjadi infeksi)
2. Pemeriksaan status generalis

- Suhu normal bila tidak terjadi infeksi


- Tanda-tanda terjadinya infeksi intra uterin :
a. Suhu ibu > 380 C
b. Takikardi ibu (> 100 denyut permenit)
c. Takikardi janin (> 160 detak permenit)
d. Air ketuban yang keruh/ hijau/ berbau
e. Leukositosis pada pemeriksaan darah tepi (>15.000 /mm3 )
f. Pemeriksaan penunjang lain :
 Leukosit esterase (LEA) + 3
 CRP meningkat / > 2 mg menunjukan infeksi chorioamnionitis.
g. Nyeri abdomen, nyeri tekan uterus

3. Pemeriksaan status obstetri

Pemeriksaan luar :

- Nilai DJJ dengan stetoskop laenec, fetal phone, doppler, atau dengan CTA.
- Janin mudah dipalpasi karena air ketuban sedikit.

Inspekulo :

- Nilai apakah cairan keluar melalui ostium uteri eksternum atau terkumpul difoniks
posterior.
- Tes lakmus (nitrazin). Jika kertas lakmus berubah menjadi biru, menunjukan adanya
cairan ketuban. Jika kertas tetap merah, menunjukan bukan air ketuban (mungkin urin)

Pemeriksaan dalam :

- Selaput ketuban tidak ada, air ketuban sudah kering. Jika ketuban pecah, jangan sering
periksa dalam, awasi terjadinya tanda-tanda infeksi

4.Pemeriksaan penunjang

a. Laboratorium
Bila leukosit > 15.000 / mm3 atau tes LEA +3, mungkin ada infeksi.
b. Tes nitrazin
PH vagina berkisar antara 4,5 ± 5,5, sedangkan cairan amnion berkisar 7,0 ± 7,5. PH> 6,5
konsisten dengan ketuban pecah. Kertas nitrazin akan segera berubah warna menjadi biru
jika cairan vagina berubah menjadi alkali. Tes positif palsu dapat terjadi jika terdapat
kontaminasi dengan darah, semen, bakterial vaginosis atau cairan antiseptik. Sedangkan
tes negatif palsu dapat terjadi jika cairan yang dianalisa sangat sedikit.

c. Tes evaporasi


Cairan endoservik dipanaskan hingga kandungan airnya menguap, jika yang terlihat
adalah residu berwarna putih, berarti telah terjadi ketuban pecah. Namun jika residu
berwarna coklat berarti selaput ketuban masih intak.

d. Fluorescein atau pewarna intraamniotik


Dengan menyuntikan sodium fluorescein atau pewarna seperti evans blue, methylene
blue, indigo carmine atau fluorescein ke dalam kantung amnion melalui amniosintesis,
jika zat tersebut kemudian ditemukan pada tampon yang dipasang di vagina, maka
diagnosis ketuban pecah dapat ditegakkan.

e. Tes diamin oksidase


Diamin oksidase adalah enzim yang diproduksi oleh desidua yang berdifusi ke dalam
cairan amnion. Pengukuran diamin oksidase pada vagina merupakan diagnosis akurat
ketuban pecah.

f. Fibronektin fetal


Fibronektin fetal merupakan glikoprotein yang banyak ditemukan pada cairan amnion.
Zat ini dapat dideteksi pada endoservik atau vagina dengan pemeriksaan ELISA.

g. Tes Alfa fetoprotein


Alfa Feto protein (AFP) terdapat dalam konsentrasi tinggi di dalam cairan amnion,
sehingga ditemukannya AFP pada cairan vagina merupakan diagnosis akurat untuk
ketuban pecah.

h. Tes pakis


Dengan meneteskan air ketuban pada gelas objek dan dibiarkan mengering. Pemeriksaan
mikroskopik menunjukan kristal cairan amnion dan gambaran daun pakis.

i. USA
Membantu dalam menentukan usia kehamilan, letak janin, berat janin, letak dan derajat
maturasi plasenta dan indeks cairan amnion (jumlah air ketuban). USA bukan merupakan
alat utama untuk mendiagnosa ketuban pecah. Namun jika pada pemeriksaan USA
ditemukan cairan ketuban yang sedikit atau tidak ada, pikirkan kemungkinan telah terjadi
ketuban pecah.

j. Kardiotokografi (CTA)


Bila ada infeksi intra uterin atau peningkatan suhu tubuh ibu, maka akan terjadi takikardi
janin.

  



c 

- Kehamilan dengan fistula vesikovaginal


- Kehamilan dengan stress inkontinensia
- Hydrorrhoe gravidarum (pengeluaran cairan yang berlebihan karena sekresi kelenjar
desidua yang berlebihan)

-     c./ .   


 

a. Pengaruh KPD pada kehamilan dan persalinan

Jarak antara pecahnya ketuban dan permulaan persalinan disebut periode laten / LP/ Lag
Period. Makin muda umur kehamilan, makin memanjang LPnya, makin tinggi kemungkinan
infeksi, dan makin sulit upaya pemecahannya tanpa menimbulkan morbiditas janin.

Pengaruh KPD pada persalinan adalah memperpendek lamanya persalinan. Pada


primigravida 10 jam dan multigravida 6 jam.
b. Pengaruh KPD terhadap janin

Walaupun ibu belum menunjukan gejala infeksi, tetapi janin mungkin sudak terkena
infeksi, karena infeksi intrauterin lebih dahulu terjadi (mis: amnionitis) sebelum gejala pada ibu
dirasakan, sehingga akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas perinatal.

c. Pengaruh KPD terhadap ibu

Karena jalan telah terbuka, maka dapat terjadi infeksi intrapartal, apalagi jika terlalu
sering diperiksa dalam. Selain itu dapat dijumpai infeksi puerpuralis, peritonitis, septikemia,
serta dry labor. Ibu akan merasa lelah karena terbaring di tempat tidur, partus akan menjadi lama,
maka suhu badan akan naik, nadi cepat dan timbul gejala-gejala infeksi. Hal tersebut akan
meningkatkan angka mortalitas dan morbiditas ibu.

-   
 

1. Konservatif
Tindakan :

a. Rawat di RS (bed rest)


b. Umur kehamilan kurang dari 32 ± 34 minggu, dirawat selama air ketuban masih keluar
atau sampai air ketuban tidak keluar lagi.
c. Pada usia kehamilan 32 ± 34 minggu dimana air ketuban masih tetap keluar, maka dapat
dipertimbangkan untuk mengakhiri kehamilan pada usia 35 minggu ( hal ini sangat
tergantung dari kemampuan melakukan perawatan terhadap bayi premature)
d. Pada usia kehamilan 32 ± 34 minggu dapat diberikan steroid untuk memacu pematangan
paru janin serta dilakukan pemeriksaan kadar lesitin & sfingomielin jika memungkinkan.
e. Bila KPD lebih dari 6 jam, diberikan antibiotik ( golongan penisilin seperti ampisilin atau
amoksisilin, atau eritrosin jika tidak tahan terhadap penisilin)
f. Jika tidak ada infeksi dan kehamilan kurang dari 37 minggu:
- Antibiotik untuk mengurangi morbiditas ibu dan janin : Ampisilin 4 x 500 mg selama
7 hari ditambah eritromisin peroral 3 x 250 mg perhari selama 7 hari.
- Kortikosteroid pada ibu, untuk memperbaiki kematangan paru janin.
M Dexamethasone 6 mg IM dalam 4 dosis setiap 6 jam, atau

M Betamethasone 12 mg IM dalam 2 dosis setiap 12 jam.

- Lakukan persalinan pada kehamilan 37 minggu


- Jika terdapat his dan lendir darah, kemungkinan telah terjadi persalinan preterm
- Jika sudah inpartu, berikan tokolitik untuk mengurangi kontraksi uterus, atau
mencegah partus preterm. Dan kortikosteroid untuk pematangan paru janin.
g. Jika tidak terdapat infeksi dan kehamilan lebih dari 37 minggu :
- Jika ketuban telah pecah > 18 jam, berikan antibiotik profilaksis untuk mengurangi
resiko infeksi streptokokus grup B. :
M Ampisilin 2 g IV setiap 6 jam.

M Penisilin A 2 juta unit IV setiap 6 jam sampai persalinan

M Jika tidak ada infeksi pasca persalinan, hentikan pemberian antibiotik.

- Nilai serviks :
M Jika serviks sudah matang, lakukan induksi persalinan dengan oksitosin.

M Jika serviks belum matang, matangkan serviks dengan prostaglandin dan infus
oksitosin atau lahirkan secara SC

h. Jika ada tanda-tanda infeksi, berikan antibiotik sama halnya jika terjadi amnionitis, yaitu :
- Berikan antibiotik kombinasi sampai persalinan
M Ampisilin 2 gr IV setiap 6 jam, ditambah gentamisin 5 mg/ kgbb IV setiap 24 jam.

M Jika persalinan pervaginam, hentikan antibiotik pasca persalinan.

M Jika persalinan dengan SC, lanjutkan antibiotik dan berikan metronidazol 500 mg
IV setiap 8 jam sampai bebas demam selama 48 jam.

- Nilai serviks
M Jika serviks matang, lakukan induksi dengan oksitosin.

M Jika serviks belum matang, matangkan dengan prostaglandin dan infus oksitosin
atau lakukan SC.
i. Vitamin C 1000 mg / hari
2. Aktif, dilakukan jika janin sudah viable (> 36 minggu) :
a. Kehamilan > 36 minggu, atau TBJ >2500 gr, induksi dengan oksitosin, dan bila gagal,
lakukan SC
b. Pada keadaan letak lintang, CPD, bokong, dilakukan SC
c. Bila janin hidup dan terdapat prolaps tali pusat, pasien dirujuk dengan posisi panggul
lebih tinggi dari badannya, bila mungkin dengan posisi bersujud, Kalau perlu kepala janin
didorong ke atas dengan 2 jari agar tali pusat tidak tertekan kepala janin. Tali pusat di
vulva dibungkus kain hangat yag dilapisi plastik.
d. Bila ada demam atau dikhawatirkan terjadi infeksi saat rujukan atau ketuban pecah lebih
dari 6 jam, berikan antibiotik seperti penisilin prokain 1,2 juta IU intramuskular dan
ampisilin 1g peroral. Bila pasien tidak tahan ampisilin, berikan eriromisin 1g peroral.
e. Bila keluarga pasien menolak dirujuk, pasien disuruh istirahat dalam posisi berbaring
miring, berikan antibiotik penisilin prokain 1,2 juta IU intramuskular dan ampisilin 1g
peroral diikuti 500mg tiap 6jam atau eritromisin dengan dosis yang sama.
f. Jika ada tanda-tanda infeksi, berikan antibiotik dosis tinggi dan persalinan diakhiri :
M Bila pelvic skor < 5, akhiri persalinan dengan SC.

M Bila pelvic skor > 5, induksi persalinan, partus pervaginam.

M bila ada infeksi berat, lakukan SC.


%!0

È Konservatif : Sangat tergantung pada usia kehamilan, lamanya KPD serta KU pasien
(apakah terjadi infeksi atau tidak)

È Aktif : 3 ± 4 hari untuk partus pervaginam & 4-5 hari untuk SC

!%'*)

È Partus pervaginam sekitar 40 hari

È Pada SC sekitar 3 bulan

'!'

È Sembuh total,

È Infeksi, sepsis s/d meninggal

-  


%!* c' $

*  Antepartum : Sepsis jarang terjadi karena pemberian


-Khorioamnionitis 30-60% Antibiotik dan resusitasi
-Solusio plasenta
Trauma tindakan operasi:
 Intrapartum: trauma persalinan akibat
induksi/operatif (trias komplikasi) yaitu infeksi, trauma
 Kemungkinan retensio dari plasenta tindakan, perdarahan

 Postpartum:
-Trauma tindakan operatif
-Infeksi masa nifas
-Perdarahan postpartum

'

Pada ibu :

- Partus lama
- Infeksi s/d sepsis. Peritonitis khususnya dilakukan pada pembedahan
- Atonia uteri
- Perdarahan pospartum atau infeksi nifas.
- Kematian ibu karena septikemia.
Pada janin :

- IUFD (intra uterine fetal death)


- Asfiksia
- Prematuritas
-
- 



Ditentukan dari cara penatalaksanaan dan komplikasi-komplikasinya yang timbul, serta


umur dari kehamilan.
c c


 

KPD adalah pecahnya ketuban secara spontan pada saat pasien belum inpartu. Dimana
penyebab dari KPD tidak atau masih belum jelas. Diagnosis berdasarkan anamnesis, dan
pemeriksaan fisik. Sebagai penunjang dilakukan pemeriksaan laboratorium, tes pakis, USA,
CTA, tes nitrazin, tes evaporasi, fluorescein, tes diamin oksidase, fibronektin fetal, serta tes alfa
feto protein.

Penatalaksanaan KPD dilakukan secara konservatif dan aktif, tergantung dari usia
kehamilan dan komplikasi yang terjadi, serta indikasi-indikasi obstetrik lainnya. Manajemen
ketuban pecah dini pada kehamilan aterm berupa manajemen aktif, dimana dilakukan upaya
untuk mempercepat persalinan sehingga mengurangi resiko infeksi. Indikasi tindakan SC pada
kasus ketuban pecah dini sama seperti indikasi SC pada kasus lain. Sedangkan prognosis
tergantung dari cara pelaksanaannya dan komplikasi-komplikasi yang mungkin timbul serta usia
dari kehamilannya.

Komplikasi yang dapat terjadi :

Pada ibu : Partus lama, infeksi, atonia uteri, perdarahan post partum atau infeksi nifas hingga
kematian karena septikemia.

Pada janin : IUFD, asfiksia dan prematuritas.


  
  

1. Chen Peter, M.D. Premature Rupture of Membranes. Obstetri and Aynecology, University
of Pennsylvania Scool of Medicine. Available from
www.umm.edv/pregnancy/labordelivery/articles/membranebreaks.html. Review data : June
29, 2001.
2. Endjun JJ. Standar pelayanan Medis Sub Bag Fetomaternal, Dept. Obstetri dan ginekologi
RSPAD Aatot Subroto. Hal 49-52.
3. Aede IB. Kapita Selekta Penatalaksanaan Rutin Obstetri Ainekologi dan KB. Penerbit Buku
Kedokteran EAC. Jakarta 2001. Hal 221-225.
4. Mansjoer A. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi Ketiga Jilid I. Media Aesculapius FKUI.
Jakarta 2001. Hal 310-313.
5. Marjono AB. Catatan kuliah Obstetri Ainekologi Plus. Edisi pertama. Hal 112-113.
6. Mochtar R, Lutan D, Editor. Sinopsis Obstetri : Obstetri fisiologi, Obsteri patologi edisi II
jilid I. Penerbit buku kedokteran EAC. Jakarta 1998. Hal 251-258.
7. Obstetri. Obsgin FKUI. Jakarta 1996. Hal 49-52.
8. Saifuddin AB. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Yayasan
Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo. Jakarta 2002. Hal 112-115.
9. Saifuddin AB. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Yayasan
Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo. Jakarta 2002. Hal 218-220.
10.Standar Pelayanan Medik Obstetri dan Ainekologi Bagian I. Pengurus besar perkumpulan
Obstetri dan Ainekologi Indonesia. Jakarta 1991.
11.Prawiroharjo S. Ilmu Kebidanan. Edisi ketiga. Cetakan keenam. Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawiroharjo. Jakarta 2002. Hal 180-191.
12.www.healthatoz.com/healthatoz/atoz/ency/prematureruptureofmembranes.jps
13.Wiknojosastro H. Ilmu Bedah Kebidanan, Edisi pertama. Cetakan keenam. Yayasan Bina
Pustaka Sarwono Prawiroharjo. Jakarta 2005. Hal 74-76.


You might also like