You are on page 1of 16

Perkembangan Teknologi Pupuk Organik dan

Pupuk Hayati untuk Antisipasi terhadap


Perubahan Iklim di Perkebunan

Darmono Taniwiryono

Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia


Jl. Taman Kencana No. 1, Bogor 16151

Abstrak
Perubahan iklim yang merupakan dampak dari meningkatnya jumlah dan
aktifitas manusia, tidak bisa dielakkan lagi. Dampaknya terhadap dunia
pertanian sudah cukup nyata dirasakan khususnya yang terkait terjadinya
kenaikan suhu bumi. Timbulnya kemarau panjang, kebakaran lahan pertanian,
meningginya permukaan air laut, terjadinya badai yang semakin sering terjadi
merupakan ujud nyata dari terjadinya perubahan iklim yan berdampak negaif
terhadap pertanian termasuk perkebunan di Indonesia. Penggunaan pupuk
organik dan pupuk hayati berkontribusi besar dalam upaya menekan dampak
negative perubahan iklim tersebut. Bahasan secara rinci mengenai manfaat
bahan organik dan agensia hayati dalam meningkatkan kapasitas tanah
menyimpan air dan dalam meningkatkan ketahanan tanaman terhadap cekaman
kekeringan disampaikan pada tulisan ini.

[Kata kunci: pupuk organik, pupuk hayati, cekaman kekeringan, perubahan


iklim, El-Nino]

Pendahuluan
Perubahan iklim dunia utamanya disebabkan oleh kenaikan suhu udara
secara global (global warming). Kenaikan suhu udara yang berlangsung secara
teratur dari waktu ke waktu banyak dikaitkan dengan terbentuknya gas rumah
kaca sebagai akibat terakumulasinya gas metan dan karbon dioksida di
atmosfer. Radiasi matahari yang masuk ke bumi menembus lapisan atmosfer
sebagian dipantulkan kembali ke atmosfer. Radiasi yang dipantulkan kembali
tersebut sebagian tertahan oleh gas-gas rumah kaca (GRK) di atmosfer.
Akumulasi radiasi yang terperangkap di atmosfer itulah yang menyebabkan
suhu di bumi semakin hangat. Peristiwa ini dikenal sebagai efek rumah kaca.
Dampak perubahan iklim dunia terhadap usaha perkebunan sangat besar, di
antaranya berupa: a). Gagal panen karena ledakan hama penyakit dan atau
karena musim kemarau yang panjang; b). Tidak dapat diprediksikannya
kuantitas dan kualitas produk perkebunan karena terjadinya pola pergeseran
musim yang tidak menentu; dan c). Kebakaran lahan perkebunan.

Perubahan iklim dunia tidak dapat dihindari karena kekuatan dan energy
yang mendorong bagi terjadinya perubahan tersebut sangat besar. Penurunan
laju perubahan dan penekanan intensitas dampak yang ditimbulkan memerlukan
kebersamaan dan komitmen yang tinggi bagi seluruh komponen masyarakat
dunia, termasuk para pelaku usaha perkebunan. Sementara kebersamaan tidak
terbangun dan komitmen tidak terimplementasikan dalam bentuk aksi,
pemanasan global akan tetap berlanjut. El-Nino juga akan tetap kembali sesuai
dengan siklusnya.

Pemanasan suhu udara dan kejadian El-Nino tidak bisa dihadapi dengan
mengimplemantasikan cara sepertihalnya yang dilakukan oleh pemadam
kebakaran. Antisipasi untuk menghadapi perubahan iklim harus dilakukan
secara terencana, dimplentasikan secara konsisten dan berkesinambungan dan
terukur. Pemanasan global dan El-Nino berdampak terhadap terjadinya
kekeringan lahan perkebunan dan lahan pertanian pada umumnya. Kekeringan
erat sekali hubungannya dengan air. Air sangat dibutuhkan oleh tanaman dan
makhluk hidup lainnya. Dengan demikian, antisipasi yang tepat untuk
menghadapi pemanasan global dan El-Nino adalah melalui konservasi air.
Aplikasi pupuk organik dan pupuk hayati pada lahan perkebunan secara
terencana, konsisten, berkesinambungan dan terukur merupakan cara yang
harus ditempuh untuk tujuan konservasi air.

Pupuk merupakan bahan yang digunakan untuk meningkatkan kesuburan


lahan. Pupuk organik adalah penyubur lahan yang bahan bakunya berasal dari
material organik. Pupuk hayati adalah penyubur lahan yang bahan bakunya
mikroba. Pupuk hayati dalam aplikasinya memerlukan ketersediaan bahan
organik, tetapi sebaliknya pupuk organik dalam aplikasinya tidak memerlukan
penambahan mikroba. Bahan organik merupakan sumber kehidupan mikroba
yang membuthkan karbon untuk pertumbuhan dan perkembangbiakannya.

Ancaman perubahan iklim bagi Indonesia


Ancaman perubahan iklim bagi Indonesia sangat nyata. Hal tersebut
diungkapkan oleh Kantor Meteorologi Hadley Center baru-baru ini (The Jakarta
Post, 26 Oktober 2009, Halaman 1). Berdasarkan peta yang berhasil dibuat dan
disebut “4 Degrees World Map”, kenaikan suhu permukaan bumi rata-rata 40C,
tidak akan menimpa setiap negara di permukaan bumi, tetapi Negara-Negara di
Asia Tenggara “khususnya” Indonesia akan terkena dampak perubahan iklim
yang berat (Gambar 1). Pada peta terlihat Indonesia dilewati oleh lingkaran-
lingkaran No. 1 (warna ungu, menunjukkan akan terjadinya kenaikan permukaan
air laut sampai dengan 80 cm), No. 2 (warna abu-abu, menunjukkan akan
terjadinya badai siklon dengan daya rusak yang dahsyat), dan No. 3 (warna biru
muda, menunjukkan akan terjadinya musim kemarau panjang dua kali lebih
sering dari yang berlangsung sekarang). Hasil kajian ADB yang tercantum
dalam dokumen “Asian Development Bank – Regional Review of he Economic
of Climate Change in South East Asia 2009 mengemukakan bahwa nilai
kerugian ekonomi di empat negara terkena dampak perubahan iklim terparah
(Indonesia, Filipina, Thailand, dan Vietnam) setara 6.7% per tahun dari GDP
pada tahun 2100, dua kali lebih besar dari kehilangan rata-rata secara global.

Gambar 1. Peta prakiraan dampak kenaikan suhu 40C terhadap kondisi iklim di
Indonesia (Kantor Meteorologi Hadley Center – Inggris, 2009).

Dampak perubahan iklim sebenarnya sudah mulai dirasakan Indonesia.


Badan konservasi dunia dalam publikasinya yang berjudul -Climate Change in
Indonesia – Implications for Humans and Nature- menyatakan bahwa curah
hujan di kawasan Indonesia rata-rata sudah turun 2-3%. Pencairan es di kutup-
kutup bumi akan dapat meningkatkan permukaan air laut yang pada akhir
gilirannya akan berdampak langsung terhadap kehidupan nelayan dan petani
Indonesia yang memiliki bentangan pantai sepanjang 80.000 km di lebih dari
17.500 pulau (www.global-greenhouse-warming.com/climate-change-in-
Indonesia.html).
Pergeseran musim di Indonesia dengan pola yang tidak menentu juga
merupakan dampak dari perubahan iklim global. Maju mundurnya musim tanam,
musim panen, waktu pemupukan, dan praktek-praktek pertanian lainnya
nampak terkait erat dengan intensitas dan waktu datangnya El-Nino yang juga
merupakan pengejawantahan dinamika iklim global. Tabel 1 menunjukkan pola
kejadian El-Nino di Indonesia dengan tingkat intensitas tinggi, menengah dan
sedang.

Tabel 1. Pola kejadian El-Nino di Indonesia dari tahun 1957 s/d 2007 (Sumber:
NOAA)

Anom ali suhu permukaan laut


El- Nino ( 0C) Intensitas
Pasifik Tengah Indonesia
JAS 1951 - NDJ 1951/52 + 0.8 Lemah
MA M 1957 – MJJ 1958 + 1.7 Moderat
JJA 1963 – DJF 1963/64 + 1.0 Lemah
MJJ 1965 – MA M 1966 + 1.6 Moderat
OND 1968 – MJJ 1969 + 1.0 Lemah
ASO 1969 – DJF 1969/70 + 0.8 Lemah
AMJ 1972 – FMA 1973 + 2.1 -0.4 (dingin) Kuat
ASO 1976 – JFM 1977 + 0.8 Lemah
ASO 1977 - DJF 1977/78 + 0.8 Lemah
AMJ 1982 – MJJ 1983 + 2.3 -0.5 (dingin) Kuat
JAS 1986 – JFM 1988 + 1.6 Moderat
AMJ 1991 – JJA 1992 + 1.8 Moderat
AMJ 1994 – FMA 1995 + 1.3 Moderat
AMJ 1997 – AMJ 1998 + 2.7 – 3.2 -0.2 (dingin) Kuat
AMJ 2002 – FMA 2003 + 1.5 0.2 (hangat) Moderat
MJJ 2004 – JFM 2005 + 0.9 Lemah
JAS 2006 - DJF 2006/07 + 1.1 0.0 (netral) Moderat
AMJ 2009 +0.8 +0.5 (hangat) Lemah

Dari pengalaman yang ditunjukkan selama ini, perubahan iklim yang mengikuti
siklus 2-3 tahunan pasti akan terjadi. Hal tersebut senada seperti yang
diungkapkan oleh Menteri Pertanian RI bahwa El-Nino akan semakin sering
terjadi (Kompas, 4 Agustus 20090.

Tahun 1997 Indonesia mengalami kekeringan panjang sebagai dampak


El Nino dengan intensitas kuat. Sawah, sungai, dan badan air mengering, hutan
gambut terbakar di Sumatera dan Kalimantan. Selain itu, El Nino saat itu
mengakibatkan ratusan orang tewas ketika musim kering yang dahsyat melanda
berbagai wilayah Asia dan Australia, sementara hujan lebat dan banjir
merendam kawasan Amerika Selatan.

Memahami pentingnya air dan bahan organik di dalam tanah

Tanah, menurut konsep komposisi dasarnya tersusun dari beberapa


bagian yang terintegrasi secara holistik, saling mempengaruhi saling kait
menjadi satu kesatuan sistem utuh yang seolah tidak dapat terpisahkan dengan
sifat dan ciri tertentu secara spesifik. Komposisi dasar tanah meliputi air (25%),
udara (25%), bahan mineral (45%) dan bahan organik (5%). Masing-masing
komponen seperti air, udara, mineral dan bahan organik ini mempunyai peran
yang khas dan tidak dapat saling menggantikan. Artinya keberadaannya adalah
mutlak harus ada, agar fungsi-fungsi dan peran-perannya ada pada sistem
tanah tersebut (Dian Kusumanto, komunikasi pribadi).

Kandungan mineral tanah, yang sudah tersedia di alam sedemikia rupa,


kurang banyak terpengaruh oleh perubahan iklim khususnya suhu kecuali jika
terjadi erosi, aberasi, longsor, ledakan gunung berapi, dan semburan
lumpur/gas dari dalam tanah. Udara tersedia secara melimpah dan tidak banyak
terpengaruh oleh perubahan iklim. Bagaimanapun juga ketersediaan udara di
dalam tanah sangat tergantung kepada perlakuan kita terhadap tanah itu
sendiri. Komponen air dan bahan organik terkait erat dengan antisipasi kita
dalam menyongsong perubahan iklim dunia.

Air diperlukan sebagai media untuk aktifitas metabolisme dalam tubuh


tanaman dengan fungsi yang kompleks. Selain itu fungsi air di dalam tanah
adalah sebagai media pembawa hara dan oksigen sehingga dapat diserap oleh
tanaman dan mikroba yang ada di bahan organik. Ketersediaan air bagi semua
tanaman perkebunan adalah mutlak. Jumlah air yang optimum di dalam tanah
adalah yang sesuai dengan persentase tersebut di atas. Jika ketersediaannya
berlebihan atau kekurangan, air akan menjadi masalah. Konservasi air mutlak
diperlukan dan harus mulai diupayakan mulai saat ini juga pada biaya
berapapun. Oleh karena ini merupakan kepentingan nasional, maka selayaknya
biaya konservasi sebagian ditanggung oleh pemerintah. Pembuatan kumbung-
kumbung air atau tendon-tandon air yang wadahnya terbuat dari karet alam
merupakan antisipasi yang tepat untuk dilakukan. Ide penggunaan tangki dari
karet alam yang bersifat elastic dan dapat dibenam di dalam tanah dikemukakan
oleh Kepala Badan Litbang Pertanian dalam sambutannya membuka
International Rubber Conference di Bogor, 26 Oktober 2009.

Bahan organik merupakan bagian yang terkecil dari penyusun tanah.


Meskipun demikian kecil proporsinya (kecuali organosol), justru menjadi kunci
bagi berlangsungnya dinamika kehidupan di dalam tanah, atau dapat dikatakan
bahan organik (BO) merupakan kunci bagi dinamika kesuburan tanah. Dalam
kaitannya dengan antisipasi terhadap perubahan iklim aplikasi bahan organik
baik dalam bentuk pupuk organik atau mulsa merupakan keharusan dan
sebaiknya menjadi salah satu program utama revitalisasi pertanian di Indonesia.
Aplikasi bahan organik tidak diarahkan dulu untuk menghasilkan produk-produk
organik tetapi diarahkan untuk meningkatkan kesehatan dan daya dukung lahan
yang sudah sejak beberapa puluh tahun mengalami proses degradasi.

Degradasi lahan dimulai ketika perilaku dan sikap petani berubah dari
yang semula sebelum tahun 1970 mengandalkan penggunaan bahan organik
menjadi mengandalkan pupuk anorganik setelah diimplementasikan program
BIMAS. Ketergantungan terhadap pupuk instan (anorganik) dari tahun ke tahun
semakin meningkat. Konsumsi pupuk anorganik meningkat dari 0.6 juta ton
pada tahun 1976 menjadi 7 juta ton pada tahun 2006, yang berarti dalam kurun
waktu 30 tahun meningkat lebih dari 1100% (Alimoeso, 2007). Selama kurun
waktu tersebut, penggunaan pupuk organik sama sekali ditinggalkan, kecuali
untuk bberapa jenis tanaman sayuran. Akibatnya kesehatan dan daya dukung
lahan terus menurun. Kandungan bahan organik di dalam tanah di Indonesia
saat ini rata-rata hanya 2% sedangka yang ideal lahan pertanian produktif
mempunyai kandungan bahan organik sekitar 4% (Alimoeso, 2007) atau lebih
baik jika 5% seperti yang dikemukakan di atas. Rendahnya kandungan bahan
organik lahan pertanian di Indonesia, mengindikasikan bahwa pertanian di
Indonesia sangat rentan terhadap pengaruh perubahan iklim global.

Peranan bahan organik dalam konservasi air


Untuk mengurangi dampak kekeringan, tanah harus mampu menyerap
dan menyimpan air hujan sebanyak-banyaknya kemudian melepas kembali
sesuai dengan yang dibutuhkan oleh tanaman. Kemampuan tanah menyimpan
dan melepas air tergantung beberapa factor yaitu termasuk tekstur tanah,
kedalaman tanah, arsitektur tanah (struktur fisik tanah dengan pori-porinya),
kandungan bahan organi, dan aktivitas hayati di dalamnya. Bahan organik di
permukaan tanah berperan dalam mencegah permukaan tanah menjadi keras
dan kedap air sehingga air hujan dapat mudah terserap ke dalam tanah.
Peningkatan efisiensi ilfitrasi air ke dalam tanah melalui aplikasi bahan organik
juga terjadi melalui peningkatan porositas dan agregasi tanah sebagai akibat
dari peningkatan aktifitas mikrofauna tanah termasuk bakteri dan cendawan
serta cacing tanah.

Beberapa jenis bahan organik dapat menyimpan air sebanyak 20 kali


berat bahan organik tersebut. Hudson (1994) mengungkapkan bahwa setiap
peningkatan 1% kandungan bahan organik, kemampuan tanah menyimpan air
meningkat 3.7 persen. Di samping meningkatkan kemampuan menyimpan air,
penggunaan bahan organik pada lahan pertanian juga terbukti menghemat
kebutuhan air irigasi sampai dengan 40% (Amir Hartono, 2009, seperti yang
diungkapkannya di Media Indonesia). Pada lahan padi konvensional, untuk
penggenangan lahan diperlukan 5-10 cm air, sedang pada lahan organik hanya
diperlukan 1 cm air. Pertanyaan yang sering diajukan oleh para pelaku usaha
pertanian adalah sampai seberapa banyak bahan organik dapat ditambahkan ke
dalam tanah?. Gambar 2 menunjukkan bahwa semakin besar jumlah bahan
organik yang ditambahkan ke dalam tanah, semakin besar pula nilai tukar kation
yang dihasilkan. Bahasan terkait dengan manfaat lain penambahan bahan
organik ke dalam tanah sudah banyak di bahas.

Gambar 2. Hubungan antara kandungan bahan organik yang ditambahkan ke


dalam tanah dengan peningkatan nilai kapasitas tukar kation (KTK).

Pilihan antara sebagai pupuk organik atau mulsa


Semua jenis bahan organik akan terdegradasi secara alami oleh mikroba
dan insekta. Waktu yang diperlukan untuk terdegradasi secara sempurna
tergantung kepada kandungan serat dan lignin, kondisi lingkungan, dan jenis
mikroba serta insekta yang ada. Bahan dengan kandungan serat dan lignin
yang tinggi biasanya memerlukan waktu degradasi yang lebih lama. Degradasi
akan berjalan lambat jika kondisinya terlalu basah atau terlalu kering dalam
waktu yang lama. Keberadaan mikroba perombak lignin dan selulosa dalam
jumlah yang memadahi akan sangat membantu proses degradasi. Percepatan
degradasi dapat dilakukan melalui proses pengomposan dengan bantuan
bioaktivator. Gambar 3 menunjukkan perbedaan waktu yang diperlukan antara
degradasi TKKS secara alami dan degradasi TKKS yan dipercepat melalui
proses pengomposan.
Gambar 3. Proses perubahan TKKS menjadi kompos yang terjadi secara alami
dan yang dipercepat melalui pengomposan dengan bioaktivator

Dari ilustrasi yang ditunjukkan pada Gambar 3 dapat dilihat bahwa


dikomposkan atau tidak dikomposkan, TKKS akhirnya akan menjadi kompos
dan nutrisi yang terkandung akhirnya akan dimanfaatkan juga oleh tanaman.
Pilihan antara dikomposkan atau tidak, sangat tergantung kepada fungsi utama
yang diharapkan. Kalau tujuannya akan digunakan sebagai mulsa, maka
pengomposan tidak diperlukan. Namun jika akan digunakan sebagai pupuk
organik maka pengomposan mutlak diperlukan.

Untuk daerah-daerah dengan musim kemarau panjang, bahan organik


sebaiknya diaplikasikan sebagai mulsa dengan tujuan untuk mencegah
evaporasi atau menguapnya air dari dalam tanah. Sedangkan untuk daerah-
daerah dengan curah hujan merata sepanjang tahun, pemakaian bahan organik
dalam bentuk kompos dianggap lebih tepat, namun juga tidak mutlak harus
sudah berbentuk kompos. Untuk tanaman perkebunan yang sudah
menghasilkan, pemakaian pupuk organik dengan nilai C/N ratio yang tinggi tidak
bermasalah. Namun untuk keperluan aplikasi di pembibitan dan di lubang
tanam, bahan organik yang digunakan harus betul-betul matang, meskipun C/N
ratio awalnya sudah rendah (Lihat Bab berikutnya).

Untuk mencegah terjadinya infestasi hama dan penyakit, bahan organik


baik yang berupa mulsa maupun pupuk organik harus dilindungi dengan
mikroba anti hama dan penyakit. Sebaiknya mikroba yang digunakan juga
memiliki keunggulan lain seperti mampu memicu pertumbuhan tanaman,
melepaskan unsur hara terikat tanah, dan mampu memfiksasi nitrogen dari
udara. Mikroba terseleksi unggul tersebut harus diaplikasikan sedini mungkin.
Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia (BPBPI) telah
mengembangkan teknologi inokulasi bahan organik secara dini untuk TKKS
(Gambar 4).

Gambar 4. Otomatik sprayer untuk aplikasi mikroba anti Ganoderma dan


Oryctes pada TTKS.

Rasio kandungan karbon:nitrogen pupuk organik


Sampai saat ini rasio kandungan karbon: nitrogen tau yang lebih dikenal
dengan sebutan C/N ratio masih sering dijadikan acuan yang “ketat” oleh
kalangan praktisi apalagi sesudah ditetapkan dalam bentuk aturan pemerintah.
Bagaimanapun juga aturan pemerintah perlu diikuti bagi para pelaku bisnis
pupuk organik, namun pengetahuan pengguna tentang C/N ratio terkait dengan
pembuatan pupuk organik untuk kebutuhan sendiri perlu terus ditingkatkan.
Tabel 2 menunjukkan variasi C/N ratio bahan organik mentah. Dari data yang
ditunjukkan pada Table 1 tersebut, kualitas pupuk organik tidak serta merta
ditentukan oleh nilai C/N ratio seperti yang tercantum pada SNI karena
beberapa produk bahan organik mentah (belum dikomposkan) sudah rendah
(dibawah 30) bahkan banyak di antaranya di bawah 20.

Nilai C/N ratio bahan organik mentah sebelum dikomposkan atau digunakan
langsung sebagai mulsa dapat diatur dengan mencampurkan dua bahan atau
lebih. Campuran bahan organik mentah yang tepat untuk diproses menjadi
Tabel 2. Kandungan karbon dan nitrogen beberapa bahan baku pembuatan
kompos (berdasarkan berat basah).

%
Material %Nitrogen
Karbon
Pelet Alfalfa 40.5 2.7 15
Pakan dari darah (blood meal) 43 13 3
Pakan dari biji kapas (cottonseed meal) 42 6 7
Pakan dari kedelai (soybean meal) 42 6 7
Pakan kering daun kacangan (legume hay, dry) 40 2.0-2.5 16-20
Pakan kering daun bukan kacangan (nonlegume hay, 27-40
40 1.0-1.5
dry
Kotoran sapi segar (fresh manure, cow) 12-20 0.6-1.0 12-20
Kotoran kuda segar (fresh manure, horse) 20-35 0.5-1.0 35-40
Kotoran ayam petelur segar (fresh manure, laying 7
10.5-20 1.5-3.0
chickens)
Kotoran ayam broiler segar (fresh manure, broiler 15-16
20-32.5 1.3-2.0
chickens)
Jerami gandum atau oat kering (wheat or oat straw, 96
48 0.5
dry)
Potongan rumput (grass clippings, fresh) 10-15 1-2 8-10
Rontokan daun (fallen leaves) 20-35 0.4-1.0 35-50
Kertas Koran/ kardus kering (newspaper or 400
40 0.1
cardboard, dry)
Serpihan kayu atau serbuk gergaji (wood chips or 250-
25-50 0.1
sawdust) 500
Tepung kopi (coffee grounds) 25 1.0 25
Sisa daun sayuran segar (vegetable wastes, fresh, 10
10 1.0
leafy)
Sisa daun sayuran berpati (vegetable wastes, starchy) 15 1.0 15
Limbah dapur (kitchen scraps) 10-20 1-2 10
Sisa buah-buahan (fruit wastes) 8 0.5 16
Rumput laut segar (seaweed, fresh) 10 1.0 10
Daun gulma (weeds, fresh) 10-20 1-4 5-10
pupuk organik adalah ang memiliki nilai C/N ratio antara 25 sampai dengan 35.
Cara menghitung nilai C/N ratio bahan organik mentah hasil pencampuran dapat
dilakukan sebagai berikut.

1. Hitung berat karbon dari masing-masing bahan yang sudah diketahui


beratnya (persen karbon x berat bahan), kemudian jumlahkan.
2. Lakukan hal yang sama untuk nitrogen.
3. Bagi total berat karbon dengan total berat nitrogen untuk mendapatkan
nilai C/N ratio.

Contoh:
Perhitungan nilai C/N ratio campuran bahan baku berupa 50 kg pakan dari daun
bukan kacangan, 10 kg limbah dapur, dan 2 kg serbuk kopi adalah sebagai
berikut:

Perhitungan berat karbon:

• Kandungan pada pakan: 50 kg x 40% = 20 kg karbon


• Kandungan pada limbah dapur: 10 kg x 10% = 1 kg karbon
• Kandungan pada serbuk kopi: 2 kg x 25% = 0.5 kg karbon
• Total karbon = 20 + 1 + 0.5 =21.5

Perhitungan berat nitrogen:

• Kandungan pada pakan: 50 kg x 1% = 0.5 kg nitrogen


• Kandungan pada limbah dapur: 10 kg x 1% = 0.1 kg nitrogen
• Kandungan pada serbuk kopi: 2 kg x 1% = 0.02 kg nitrogen
• Total nitrogen = 0.5 + 0.1 + 0.02 = 0.62

Perhitungan nilai C/N ratio bahan baku: 21.5/0.62 = 34.7

Meskipun C/N ratio untuk kotoran sapi sudah di bawah 20, namun bahan
tersebut tetap perlu dikomposkan jika ingin diaplikasikan pada tanaman
semusim atau pada bibit tanaman tahunan termasuk tanaman perkebunan dan
kehutanan. Beberapa alasan kenapa kotoran ternak harus dikomposkan dapat
dikemukakan sebagai berikut:

• Meskipun sudah melewati perut ternak dan berubah bentuk, nutrisi yang
terkandung di dalam kotoran ternak belum siap untuk diserap oleh
tanaman karena masih terikat di dalam molekul yang kompleks. Proses
pengomposan akan memperecepat ketersediaan nutrisi bagi tanaman.
• Tumpukan kotoran ayam yang tidak dikomposkan sering menjadi sarang
belatung dan lalat yang dapat menyebarkan penyakit pada manusia.
Kompos yang sudah jadi tidak lagi menjadi sumber belatung dan lalat.
• Kotoran ternak diketahui berpotensi mengandung bakteri Salmonela sp.
dan E. coli yang berbahaya terhadap kesehatan manusia. Kedua jenis
bakteri berbahaya tersebut mati ketika kotoran ternak dikomposkan.
• Biji gulma sering tidak mati setelah melewati perut ternak. Oleh karena
itu, kotoran ternak yang tidak dikomposkan berpotensi besar sebagai

Teknologi pembuatan pupuk organik limbah perkebunan


Pengomposan adalah proses perombakan bahan organik segar menjadi
kompos dengan bantuan mikroba pendegradasi lignin dan selulosa. Selama
proses pengomposan berlangsung, air, panas dan CO2 akan terlepas ke udara
(Gambar 5). Paling tidak sekarang telah tersedia dua teknik pengomposan
lmbah perkebunan yaitu dengan pembalikan dan tanpa pembalikan. Pihak
pengguna dapat memilih mana di antara dua cara tersebut yang sesuai dengan
kebutuhannya.

Gambar 5. Diagram proses pengomposan bahan organik padat limbah


perkebunan.

a. Pengomposan dengan pembalikan


Cara ini dilakukan dengan melibatkan pembalikan 2-3 hari sekali dan
melibatkan penggunaan limbah cair sebagai pengkaya dan sumber mikroba
pengompos yang didominasi oleh jenis bakteri. Pembalikan dilakukan dengan
menggunakan mesin. TKKS yang akan dikomposkan harus dicacah atau dipres
terlebih dahulu sebelum ditumpuk memanjang (Gambar 6a). Pencahan TKKS
diperlukan guna meningkatkan luas permukaan bahan organik. Karena tidak
dilakukan penutupan, turun-naiknya suhu dan kelembaban sangat dipengaruhi
oleh kondisi lingkungan setempat. Pada kondisi terbuka, penguapan air bisa
mudah terjadi di siang hari yang terik, namun di lain hal pembasahan dengan air
berlebih mudah terjadi di saat hari-hari hujan. Pembalikan bahan dalam waktu 2-
3 hari sekali memang diperlukan karena siklus biologis kebanyakan bakteri
memang sekitar 48 jam. Jika tidak dibalik bakteri akan mati. Bakteri yang
digunakan pada proses pengomposan dengan system ini mengandalkan yang
terdapat di limbah cair secara alami. Jenis dan jumlahnya tentu berbeda antara
daerah yang satu dengan lainnya. Untuk meningkatkan efisiensi pelapukan
lignin dan selulase perlu dieksplorasi bakteri dengan kemampuan mendegradasi
lignin dan selulosa yang tinggi.
Biaya yang diperlukan untuk pengomposan menggunakan cara ini di
antaranya: biaya pembuatan lantai pengomposan, biaya pembelian mesin
pembalik, biaya penumpukan TKKS cacaha/press dengan loader, biaya operasi
mesin pembalik 2-3 hari sekali, biaya pengocoran limbah cair 2-3 hari sekali,
biaya pemanenan pupuk organik. Salah satu keunggulan teknk ini adalah
pengkayaan nutrisi dari limbah cair dapat dilakukan secara optimum. Warna
hitam seperti yang ditunjukkan pada Gambar 6a, sebagian diakibatkan oleh
pewarnaan yang dilakukan oleh limbah cair.

b. Pengomposan tanpa pembalikan


Cara ini dilakukan dengan bantuan mikroba terseleksi dari golongan
jamur. Selama proses pengomposan tidak dilakukan pembalikan sehingga
hemat bahan bakar, dan tenaga kerja. Tanpa pembalikan yang dimaksud di sini
adalah tanpa pembalikan selama proses biologis berlangsung, yaitu 2 mingg
sekali. Pada kondisi ini demikian, penggunaan mesin pembalik bisa tidak
diperlukan. Penggunaan mikroba dari golongan jamur didasarkan kepada
kenyataan bahwa perombak lignin dan selolosa yang paling efisien adalah dari
golongan jamur atau cendawan. Kebanyakan limbah padat perkebunan
memiliki kandunan lignin dan selulosa yang tinggi. Fakta menunjukkan bahwa di
lapang tidak pernah dijumpai tanaman berkayu batangnya dilapukkan oleh
bakteri, tetapi selalu oleh jamur atau cendawan.
Selama proses pengomposan dilakukan penutupan dengan
menggunakan terpal palstik tahan UV (Gambar 6b). Penutupan dilakukan agar
kelembaban dan suhu bisa lebih kendalikan sehingga aktifitas mikroba pelapuk
lignin dan selulosa dalam menghasilkan enzim lignoselulase tetap tinggi.
Penutupan dengan terpal plastic tidak berarti prosesnya menjadi aerob, buktinya
mikroba aerob yan digunakan sebagai bioaktivator berkembangbiak dan
beraktifitas dengan sempurna. Analoginya bisa ditarik dari proses pembuatan
tempe yang dibngkus plastic atau daun pisang. Jamur tempe, Rhizopus sp.
yang bersifat aerob justru terganggu aktivitasnya jika pembungkusnya sering
dibuka atau kedelainya diacak-acak setelah dibungkus. Sepertihalnya
Untuk tujuan efisiensi, jamur pelapuk yang digunakan sekaligus dipilih
yang mampu mengendalikan Ganoderma dan Oryctes atau manfaat lainnya.
Dengan cara demikian, dua hal dilakukan sekaligus yaitu pengomposan dan
perbanyakan biopestisida. Teknologi yang dikembangkan BPBPI ini telah
diterapkan di berbagai komoditas pertanian.

Gambar 7. Produksi kompos dan atau mulsa dengan bantuan mikroba terseleksi

Aplikasi agensia Hayati untuk pengurangan dampak kekeringan


Peran agensia Hayati dalam meningkatkan ketahanan tanaman terhadap
kekeringan dan dalam membantu memperbaiki struktur tanah sehingga tanah
memiliki kapasitas menyimpan air yang tinggi sudah banyak dilaporkan. Untuk
perihal yang kedua tersebut ditunjukkan oleh aktifitas cacing tanah. Dalam
aktifitasnya di dalam tanah cacing tanah membuat terowongan-terowongan
yang memudahkan air hujan cepat meresap ke dalam tanah. Cacing
mengeluarkan lendir yang bermanfaat bagi kehidupan mikroba di dalam tanah
dan juga bagi tanaman.

Tanah pada dasarnya merupakan tempat di mana sebagian besar


mikroba hidup. Dari seluruh bakteri yang ada, 99%-nya berada di dalam tanah.
Untuk jamur, persentasenya juga tinggi yaitu mencapai 83%. Dari sekian banyak
mikroba dan insekta yang ada di lingkungan kita, diperkirakan hanya 2 % di
antaranya bersifat merugikan, sisanya 98% menguntungkan atau tidak
berdampak sama sekali. Perlakuan pupuk kimia yang berlebihan akan dapat
mematikan sebagian besar mikroba yang berada di dalam tanah itu sendiri.
Beberapa pupuk kimia mengandung asam yang tinggi, khususnya asam sulfat
dan asam hidrokhlorat. Ketika tanah menjadi masam, bakteri penambat N akan
terbunuh. Padahal sebagian besar N disediakan oleh bakteri penambat N.

Di samping penting dalam penyediaan nutrisi, beberapa jenis bakteri juga


mampu meningkatkan ketahanan tanaman dari cekaman kekeringan seperti
yang ditunjukkan oleh beberapa bakteri pemacu pertumbuhan tanaman (plant
growth promoting bacteria, disingkat PGPB) seperti Achromobacter piechaudii
AR V8 (Mayak et al., 2004). Dari hasil percobaan pada tanaman tomat dan cabe,
keberadaan bakteri tersebut menyebabkan tanaman tetap tumbuh dengan baik
meskipun berada pada kondisi kurang air. Keberadaan bakteri tersebut juga
menyebabkan percepatan pemulihan tanaman menjadi segar kembali setelah
mengalami cekaman kekeringan. Bakteri akar pemacu pertumbuhan tanaman
(plant growth promoting rhizob acteria, disingkat PGPR) belakangan diketahui
menginduksi sifat toleran terhadap cekaman kekeringan secara sistemik
(induced systemic tolerance) pada tanaman (Yang et al., 2009).

Beberapa jenis jamur atau cendawan atau fungi, juga menunjukkan


kemampuan seperti yang ditunjukkan oleh bakteri. Tanaman yang
perakarannya dilindungi jamur vesicular-arboscular micorrhizae (VAM)
menunjukkan kemampuannya dala mempertahankan konduktan stomata
(stomatal conductance) dan ketersediaan air pada daun (leaf water potential).
Respon yang sama juga ditunjukkan oleh bibit tanaman kakao yang
diperlakukan dengan Trichoderma hamatum. Ketahanan tanaman terhadap
cekaman kekeringan juga ditunjukkan oleh tanaman yang di dalam jaringannya
terhadap cendawan endofit. Piriformospora indica adalah cendawan endofit
yang banyak mengkoloni system perakaran. Cendawan ini meningkatkan
toleransi tanaman Arab idopsis, yang ternyata berkaitan dengan terekspresinya
beberapa gen cekaman kekeringan pada daun (Sherameti et al, 2008).

Beberapa produk pupuk Hayati yang mengandung beberapa jenis


mikroba yang mampu menngkatkan toleransi tanaman terhadap cekaman
kekeringan kini telah tersedia. Satu hal yan perlu diperhatikan adalah bahwa
dalam aplikasinya di lapang, agensia Hayati yang terkandung harus diberi
kondisi yang menguntungkan agar dapat tumbuh dan berkembangbiak dan
memberika peran seperti yang kita harapkan.
Penutup
Informasi yang disampaikan melalui tulisan ini merupakan bahasan ilmiah
semata dan sudah barang tentu jauh dari sempurna. Namun seberapapun
sederhananya tulisan ini disiapkan, diharapkan dapat memberikan pencerahan
kepada pelaku usaha perkebunan khususnya dalam mengantisipasi ancaman
perubahan iklim yang tidak bakal bisa kita elakkan. Statistika memang boleh
menjadi pegangan dalam menetapkan kebijakan apapun, namun signifika
secara statistic belum tentu signifikan secara biologis.

Daftar pustaka
Alimoeso, S. 2007. Kebijakan Departemen Pertanian dalm Pemanfaatan dan
Pengembangan Pupuk Organik. Seminar Teknologi Pengolahan
Sampah. Puspitek Serpong: 11 Desember 2007.
Jungwook Yang, Joseph W. Kloepper and Choong-Min Ryu. 2009. Rhizosphere
bacteria help plants tolerate abiotic stress. Trends in Plant Science
14(1):1-4.

Kusumanto, D. Kumpulan Tip dan Kesehatan Go Organic. http://sehat-


organik.com/peluang-bisnis/memahami-kesuburan-tanah.html

Naeth, M.A. and Bailey, A.W. and Chanasyk, D.S. and Pluth, D.J. 1991. Water
holding capacity of litter and soil organic matter in mixed prairie and
fescue grassland ecosystems of Alberta. Journal of Range Management,
44:13-17

Shimon Mayak, Tsipora Tirosh and Bernard R. Glick. 2002. Plant growth-
promoting bacteria that confer resistance to water stress in tomatoes and
peppers. Plant Science, 166(2): 525-530.

Shermeti, I; Tripathi, S. ; Varma, A ; Oelmuller, R. 2008. The Root-Colonizing


Endophyte Pirifomospora indica Confers Drought Tolerance in
Arabidopsis by Stimulating the Expression of Drought Stress-Related
Genes in Leaves. Molecular plant-microbe interactions, 21(6): 799-807.

You might also like