Professional Documents
Culture Documents
Darmono Taniwiryono
Abstrak
Perubahan iklim yang merupakan dampak dari meningkatnya jumlah dan
aktifitas manusia, tidak bisa dielakkan lagi. Dampaknya terhadap dunia
pertanian sudah cukup nyata dirasakan khususnya yang terkait terjadinya
kenaikan suhu bumi. Timbulnya kemarau panjang, kebakaran lahan pertanian,
meningginya permukaan air laut, terjadinya badai yang semakin sering terjadi
merupakan ujud nyata dari terjadinya perubahan iklim yan berdampak negaif
terhadap pertanian termasuk perkebunan di Indonesia. Penggunaan pupuk
organik dan pupuk hayati berkontribusi besar dalam upaya menekan dampak
negative perubahan iklim tersebut. Bahasan secara rinci mengenai manfaat
bahan organik dan agensia hayati dalam meningkatkan kapasitas tanah
menyimpan air dan dalam meningkatkan ketahanan tanaman terhadap cekaman
kekeringan disampaikan pada tulisan ini.
Pendahuluan
Perubahan iklim dunia utamanya disebabkan oleh kenaikan suhu udara
secara global (global warming). Kenaikan suhu udara yang berlangsung secara
teratur dari waktu ke waktu banyak dikaitkan dengan terbentuknya gas rumah
kaca sebagai akibat terakumulasinya gas metan dan karbon dioksida di
atmosfer. Radiasi matahari yang masuk ke bumi menembus lapisan atmosfer
sebagian dipantulkan kembali ke atmosfer. Radiasi yang dipantulkan kembali
tersebut sebagian tertahan oleh gas-gas rumah kaca (GRK) di atmosfer.
Akumulasi radiasi yang terperangkap di atmosfer itulah yang menyebabkan
suhu di bumi semakin hangat. Peristiwa ini dikenal sebagai efek rumah kaca.
Dampak perubahan iklim dunia terhadap usaha perkebunan sangat besar, di
antaranya berupa: a). Gagal panen karena ledakan hama penyakit dan atau
karena musim kemarau yang panjang; b). Tidak dapat diprediksikannya
kuantitas dan kualitas produk perkebunan karena terjadinya pola pergeseran
musim yang tidak menentu; dan c). Kebakaran lahan perkebunan.
Perubahan iklim dunia tidak dapat dihindari karena kekuatan dan energy
yang mendorong bagi terjadinya perubahan tersebut sangat besar. Penurunan
laju perubahan dan penekanan intensitas dampak yang ditimbulkan memerlukan
kebersamaan dan komitmen yang tinggi bagi seluruh komponen masyarakat
dunia, termasuk para pelaku usaha perkebunan. Sementara kebersamaan tidak
terbangun dan komitmen tidak terimplementasikan dalam bentuk aksi,
pemanasan global akan tetap berlanjut. El-Nino juga akan tetap kembali sesuai
dengan siklusnya.
Pemanasan suhu udara dan kejadian El-Nino tidak bisa dihadapi dengan
mengimplemantasikan cara sepertihalnya yang dilakukan oleh pemadam
kebakaran. Antisipasi untuk menghadapi perubahan iklim harus dilakukan
secara terencana, dimplentasikan secara konsisten dan berkesinambungan dan
terukur. Pemanasan global dan El-Nino berdampak terhadap terjadinya
kekeringan lahan perkebunan dan lahan pertanian pada umumnya. Kekeringan
erat sekali hubungannya dengan air. Air sangat dibutuhkan oleh tanaman dan
makhluk hidup lainnya. Dengan demikian, antisipasi yang tepat untuk
menghadapi pemanasan global dan El-Nino adalah melalui konservasi air.
Aplikasi pupuk organik dan pupuk hayati pada lahan perkebunan secara
terencana, konsisten, berkesinambungan dan terukur merupakan cara yang
harus ditempuh untuk tujuan konservasi air.
Gambar 1. Peta prakiraan dampak kenaikan suhu 40C terhadap kondisi iklim di
Indonesia (Kantor Meteorologi Hadley Center – Inggris, 2009).
Tabel 1. Pola kejadian El-Nino di Indonesia dari tahun 1957 s/d 2007 (Sumber:
NOAA)
Dari pengalaman yang ditunjukkan selama ini, perubahan iklim yang mengikuti
siklus 2-3 tahunan pasti akan terjadi. Hal tersebut senada seperti yang
diungkapkan oleh Menteri Pertanian RI bahwa El-Nino akan semakin sering
terjadi (Kompas, 4 Agustus 20090.
Degradasi lahan dimulai ketika perilaku dan sikap petani berubah dari
yang semula sebelum tahun 1970 mengandalkan penggunaan bahan organik
menjadi mengandalkan pupuk anorganik setelah diimplementasikan program
BIMAS. Ketergantungan terhadap pupuk instan (anorganik) dari tahun ke tahun
semakin meningkat. Konsumsi pupuk anorganik meningkat dari 0.6 juta ton
pada tahun 1976 menjadi 7 juta ton pada tahun 2006, yang berarti dalam kurun
waktu 30 tahun meningkat lebih dari 1100% (Alimoeso, 2007). Selama kurun
waktu tersebut, penggunaan pupuk organik sama sekali ditinggalkan, kecuali
untuk bberapa jenis tanaman sayuran. Akibatnya kesehatan dan daya dukung
lahan terus menurun. Kandungan bahan organik di dalam tanah di Indonesia
saat ini rata-rata hanya 2% sedangka yang ideal lahan pertanian produktif
mempunyai kandungan bahan organik sekitar 4% (Alimoeso, 2007) atau lebih
baik jika 5% seperti yang dikemukakan di atas. Rendahnya kandungan bahan
organik lahan pertanian di Indonesia, mengindikasikan bahwa pertanian di
Indonesia sangat rentan terhadap pengaruh perubahan iklim global.
Nilai C/N ratio bahan organik mentah sebelum dikomposkan atau digunakan
langsung sebagai mulsa dapat diatur dengan mencampurkan dua bahan atau
lebih. Campuran bahan organik mentah yang tepat untuk diproses menjadi
Tabel 2. Kandungan karbon dan nitrogen beberapa bahan baku pembuatan
kompos (berdasarkan berat basah).
%
Material %Nitrogen
Karbon
Pelet Alfalfa 40.5 2.7 15
Pakan dari darah (blood meal) 43 13 3
Pakan dari biji kapas (cottonseed meal) 42 6 7
Pakan dari kedelai (soybean meal) 42 6 7
Pakan kering daun kacangan (legume hay, dry) 40 2.0-2.5 16-20
Pakan kering daun bukan kacangan (nonlegume hay, 27-40
40 1.0-1.5
dry
Kotoran sapi segar (fresh manure, cow) 12-20 0.6-1.0 12-20
Kotoran kuda segar (fresh manure, horse) 20-35 0.5-1.0 35-40
Kotoran ayam petelur segar (fresh manure, laying 7
10.5-20 1.5-3.0
chickens)
Kotoran ayam broiler segar (fresh manure, broiler 15-16
20-32.5 1.3-2.0
chickens)
Jerami gandum atau oat kering (wheat or oat straw, 96
48 0.5
dry)
Potongan rumput (grass clippings, fresh) 10-15 1-2 8-10
Rontokan daun (fallen leaves) 20-35 0.4-1.0 35-50
Kertas Koran/ kardus kering (newspaper or 400
40 0.1
cardboard, dry)
Serpihan kayu atau serbuk gergaji (wood chips or 250-
25-50 0.1
sawdust) 500
Tepung kopi (coffee grounds) 25 1.0 25
Sisa daun sayuran segar (vegetable wastes, fresh, 10
10 1.0
leafy)
Sisa daun sayuran berpati (vegetable wastes, starchy) 15 1.0 15
Limbah dapur (kitchen scraps) 10-20 1-2 10
Sisa buah-buahan (fruit wastes) 8 0.5 16
Rumput laut segar (seaweed, fresh) 10 1.0 10
Daun gulma (weeds, fresh) 10-20 1-4 5-10
pupuk organik adalah ang memiliki nilai C/N ratio antara 25 sampai dengan 35.
Cara menghitung nilai C/N ratio bahan organik mentah hasil pencampuran dapat
dilakukan sebagai berikut.
Contoh:
Perhitungan nilai C/N ratio campuran bahan baku berupa 50 kg pakan dari daun
bukan kacangan, 10 kg limbah dapur, dan 2 kg serbuk kopi adalah sebagai
berikut:
Meskipun C/N ratio untuk kotoran sapi sudah di bawah 20, namun bahan
tersebut tetap perlu dikomposkan jika ingin diaplikasikan pada tanaman
semusim atau pada bibit tanaman tahunan termasuk tanaman perkebunan dan
kehutanan. Beberapa alasan kenapa kotoran ternak harus dikomposkan dapat
dikemukakan sebagai berikut:
• Meskipun sudah melewati perut ternak dan berubah bentuk, nutrisi yang
terkandung di dalam kotoran ternak belum siap untuk diserap oleh
tanaman karena masih terikat di dalam molekul yang kompleks. Proses
pengomposan akan memperecepat ketersediaan nutrisi bagi tanaman.
• Tumpukan kotoran ayam yang tidak dikomposkan sering menjadi sarang
belatung dan lalat yang dapat menyebarkan penyakit pada manusia.
Kompos yang sudah jadi tidak lagi menjadi sumber belatung dan lalat.
• Kotoran ternak diketahui berpotensi mengandung bakteri Salmonela sp.
dan E. coli yang berbahaya terhadap kesehatan manusia. Kedua jenis
bakteri berbahaya tersebut mati ketika kotoran ternak dikomposkan.
• Biji gulma sering tidak mati setelah melewati perut ternak. Oleh karena
itu, kotoran ternak yang tidak dikomposkan berpotensi besar sebagai
Gambar 7. Produksi kompos dan atau mulsa dengan bantuan mikroba terseleksi
Daftar pustaka
Alimoeso, S. 2007. Kebijakan Departemen Pertanian dalm Pemanfaatan dan
Pengembangan Pupuk Organik. Seminar Teknologi Pengolahan
Sampah. Puspitek Serpong: 11 Desember 2007.
Jungwook Yang, Joseph W. Kloepper and Choong-Min Ryu. 2009. Rhizosphere
bacteria help plants tolerate abiotic stress. Trends in Plant Science
14(1):1-4.
Naeth, M.A. and Bailey, A.W. and Chanasyk, D.S. and Pluth, D.J. 1991. Water
holding capacity of litter and soil organic matter in mixed prairie and
fescue grassland ecosystems of Alberta. Journal of Range Management,
44:13-17
Shimon Mayak, Tsipora Tirosh and Bernard R. Glick. 2002. Plant growth-
promoting bacteria that confer resistance to water stress in tomatoes and
peppers. Plant Science, 166(2): 525-530.