You are on page 1of 13

MEMBANGUN INTEGRASI ILMU AGAMA DAN UMUM

(Mencari Basis Ontologis, Epistemologis dan Aksiologis)


Oleh: A Khudori Soleh

A. Pendahuluan
Perubahan status STAIN dan IAIN menjadi UIN, seperti STAIN
Malang menjadi UIN tahun 2004 lalu, yang kemudian meniscayakan
adanya pembukaan fakultas dan jurusan-jurusan yang
dikategorikan sebagai jurusan umum, telah menambah nuansa dan
pemikiran baru di kalangan civitas akademika UIN. Pandangan-
pandangan tentang fenomena alam dan pemikiran tentangnya yang
selama ini tidak banyak dikenal dalam tradisi ilmu-ilmu keagamaan
mulai sering disampaikan oleh dosen-dosen eksakta (fakultas
umum), baik dalam diskusi maupun perkuliahan.
Akan tetapi, pembukaan jurusan umum di UIN yang kemudian
diikuti dengan program rekrutmen terhadap dosen-dosennya yang
kebanyakan juga diambilkan dari para sarjana lulusan PTN umum,
seperti Unibraw, UNM, ITS, Unaer, dan lainnya ternyata bukan
tanpa masalah. Secara metodologis dan keilmuan, mereka berbeda
dengan pola dan sistem berpikir dalam ilmu-ilmu keagamaan yang
telah dikembangkan di UIN. Hal ini dapat menimbulkan gap atau
pertentangan antara dosen agama dan umum. Paling tidak, dapat
menyebabkan kebingungan di antara mahasiswa. Dapat
dibayangkan, jika seorang dosen menyatakan bahwa sumber ilmu
adalah indera dan metodenya adalah observasi, sementara yang
lain menyatakan sumber ilmu adalah intuisi dan metodenya adalah
pembersihan hati (kasyf). Atau seorang dosen menyatakan bahwa
disiplin ilmunya murni bersifat empirik tanpa berkaitan dengan
dogma agama, sementara dosen yang lain menyatakan bahwa
tidak ada satupun disiplin ilmu yang lepas dari pantauan teks suci.
Kenyataannya, apa yang terjadi di lingkungan fakultas umum kita,
seperti di Psikologi, benar-benar menunjukkan persoalan itu.1
Untuk mengatasi persoalan tersebut, pihak pimpinan
sebenarnya telah melakukan langkah-langkah penyelesaian lewat
apa yang dikenal dengan program integrasi ilmu pengetahuan.
Dalam konsep integrasi ini, posisi ilmu agama dan umum di
gambarkan dalam apa yang disebut sebagai “pohon ilmu”. Dalam
pohon ilmu ini, al-Qur’an dan al-Hadits juga hasil eksperimen dan

Dipresentasikan dalam acara temu riset keagamaan tingkat nasional IV di Palembang, tgl
26-29 Juni 2006
1
Hal yang sama juga terjadi di fakultas-fakultas umum di UIN Jakarta, seperti yang di
sinyalir Mulyadhi Kartanegera. Lihat, Mulyadhi, “Membangun Kerangka Ilmu Perspektif Filosofis”
dalam Komaruddin Hidayat & Hendro Prasetyo (ed), Problem dan Prospek IAIN, (Jakarta, Depag,
2000), 251
2
penalaran logis, sama-sama dijadikan sebagai sumber inspirasi
keilmuan, sehingga tidak ada perbedaan antara ilmu agama dan
umum karena masing-masing berpijak pada sumber yang sama.2
Gagasan “pohon ilmu” tersebut, sepintas, tampak telah
menyelesaikan persoalan dikhotomi ilmu agama dan umum. Akan
tetapi, secara metodologis, gagasan itu sebenarnya masih hanya
berbicara pada tataran luar keilmuan, belum pada aspek
substansial, masalah ontologis dan epistemologis, sehingga belum
benar-benar menyelesaikan persoalan-persoalan tersebut.
Kenyataannya, “pohon ilmu” belum berbicara tentang bagaimana
mempertemukan antara metode empiric-eksperimen yang di ambil
dari tradisi Barat dengan metode pembacaan teks yang bernuansa
spitual dari Islam. Jika masalah ini tidak diselesaikan, maka yang
terjadi sebenarnya bukan integrasi melainkan hanya labelisasi,
tepatnya labelisasi al-Qur’an atas ilmu-ilmu Barat sekuler. Dan
inilah yang terjadi dalam pemikiran sebagian dosen dan karya-karya
penelitian mahasiswa, skripsi.
Berdasarkan kenyataan tersebut, maka di sini sangat penting
dilakukan penelitian tentang persoalan-persoalan epistemologis
sebagai basis utama program integrasi keilmuan di UIN Malang.
Meski demikian, kajian epistemologis belaka ternyata tidak cukup.
Di sini masih butuh kajian ontologis. Sebab, seperti di tulis Naquib
al-Attas, tidak ada gunanya epistemologis Islam jika basis
ontologisnya tidak di integrasikan dalam Islam. Sebab, ia akan tetap
sekuler dan menolak kebenaran agama sebagaimana yang terjadi di
Barat.3 Selain itu, perlu juga kajian aksiologis, sebagai bekal etika
dalam aplikasi keilmuan, sehingga para civitas akademika dan para
calon sarjana UIN Malang dapat bergerak dan bekerja sesuai
dengan etika Islam.
Ketiga basis keilmuan tersebut: ontologis, epistemologis dan
aksiologis, tidak dapat diabaikan dalam program integrasi keilmuan.
Sebab, suatu ilmu akan tetap sekuler dan “liar” jika tidak
didasarkan atas pandangan ontologis atau pandangan dunia (world
view) yang utuh atau tauhid. Begitu juga, sebuah epistemologi
keilmuan akan tetap bersifat eksploitatif dan menindas jika tidak
didasarkan atas basis ontologi Islam. Meski demikian, bangunan
keilmuan yang telah terintegrasikan tersebut tidak akan banyak
berarti jika dipegang orang atau sarjana yang tidak bermoral baik.
Karena itu, perlu dibenahi aspek aksiologisnya.4

2
Imam Suprayogo, Rekonstruksi Paradigma Keilmuan Perguruan Tinggi Islam, Sebuah
Tawaran Baru dari Pengalaman UIN Malang, (Makalah tidak di terbitkan).
3
Naquib al-Attas, Islam the Concept of Religion and the Foundations of the Ethics and
Morality, (Kuala Lumpur, ABIM, 1971), 50-1
4
A Khudori Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2003), 247
3
B. Pokok Masalah
Masalah pokok yang akan di kaji dalam penelitian ini terdiri
atas tiga hal.
1. Bangunan ontologis Islam. Bagaimana pandangan Islam tentang
hakekat realitas, hubungan antara alam fisik dan non-fisik dan
seterusnya?
2. Bangunan epistemologis. Bagaimana pandangan Islam tentang
sumber pengetahuan dan bagaimana cara memperolehnya?
3. Bangunan aksiologis Islam. Bagaimana pandangan Islam tentang
aplikasi sebuah pengetahuan, apa dan bagaimana tugas seorang
ilmuan?
4. Bagaimana kemungkinan bangunan atau model integrasi ilmu
agama dan umum yang mesti berlaku di lingkungan UIN atau
perguruan tinggi agama yang membuka fakultas umum?

C. Tujuan dan Signifikansi Penelitian.


Tujuan utama penelitian ini adalah:
1. Melakukan ekplorasi atas persoalan-persoalan ontologis,
epistemologis dan aksiologis keilmuan dalam perspektif Islam.
2. Menemukan bangunan ontologis, epistemologis dan aksiologis
Islam.
3. Menemukan rumusan pola integrasi ilmu agama (Islam) dan
umum, khususnya di lingkungan UIN Malang berdasarkan
bangunan ontologis, epistemologis dan aksiologis Islam.
Berdasarkan persoalan dan tujuan diatas, penelitian ini
diharapkan mempunyai signifikansi dan manfaat secara teoritis
maupun praktis:
1. Sebagai masukan bagi Universitas Islam Negeri (UIN) Malang,
juga pihak-pihak lain yang konsen dalam persoalan keilmuan,
dalam rangka membangun integrasi keilmuan (antara ilmu
agama dan umum) secara baik dan mapan
2. Memperkaya khazanah kajian keislaman, terutama masalah
ontologis, yaitu persoalan-persoalan yang berkaitan realitas,
yang empiric maupun ghaib. Ini dapat dijadikan bahan renungan
untuk dilakukannya sharing keilmuan di antara para sarjana
agama dan orang-orang eksakta.
3. Memperkaya khazanah kajian metodologis, khususnya tentang
metode-metode yang telah dikenal dalam Islam, seperti Bayan,
Burhan dan Irfan. Ini sesuatu yang sangat penting dalam upaya
pengembangan ilmu-ilmu humaniora di UIN dan juga ilmu-ilmu
keislaman yang memang banyak berkaitan dengan teks-teks suci
dan teks-teks klasik.
4. Memperkaya khazanah kajian aksiologis, terutama masalah
etika. Ini berguna untuk mengarahkan para civitas akademika
kampus, terutama para calon sarjana kita, tentang bagaimana
4
mereka harus bertindak dan bersikap dalam kaitannya dengan
disiplin keilmuan yang dikuasai.

D. Metode Penelitian
Penelitian ini bersifat library research, yaitu penelitian yang
didasarkan atas data dan infomasi dari literatur-literatur, baik
berupa buku, jurnal, catatan, dokumen maupun yang lain.
Karena itu, sesuai dengan objeknya yang berupa teks,
pendekatan yang digunakan adalah hermeneutik. Pendekatan ini
digunakan untuk mengungkap dan menjelaskan rahasia-rahasia
“makna” dibalik teks, dalam jangkauan yang lebih radik dan
obyektif.5 Seperti dikatakan Emilio Betti, tugas interpretator adalah
menjernihkan persoalan pemahaman, yaitu dengan cara
menyelidiki setiap detail proses interpretasi.6 Penelitian ini
mengungkap gagasan-gagasan dari para pemikir muslim dalam
kaitannya dengan masalah ontologis, epistemologis dan aksiologis
keilmuan.
Data-data yang digunakan terdiri atas data primer dan data
sekunder. Data primer penelitian ini adalah semua gagasan yang
ditulis oleh tokohnya sendiri yang berkaitan dengan masalah yang
dikaji, sementara data sekundernya adalah segala informasi dari
berbagai karya yang ditulis orang lain yang berkaitan dengan tema
penelitian ini, baik berupa buku maupun artikel-artikel.
Data-data tersebut kemudian dikemukakan dan di analisis
dengan prosedur deskripsi, interpretasi, dan refleksi.7 Segala
sesuatu yang berkaitan dengan tema penelitian ini dijelaskan
secara deskriptif, sementara interpretasi digunakan untuk
memahami konsep-konsep yang ditawarkan para tokoh pemikir
muslim, dan selanjutnya refleksi kritis disampaikan sebagai analisis
terhadap segala konsekuensi dan kemungkinan aplikasinya dalam
pola-pola integrasi keilmuan di lingkungan UIN Malang.

5
Hermeneutik merupakan suatu teori filsafat tentang interpretasi makna dan juga sebagai
salah satu model spesifik analisa yakni sebagai pendekatan filosofis terhadap pemahaman manusia.
Josef Bleicher (ed) Contemporary Hermeneutics (London: Routledge and Kegan Paul, 1980), 1. Fokus
analisa hermeneutik adalah perosalan “makna” teks atau yang dianalogikan sebagai teks (text or text-
analogue), pertanyaan yang sangat mendasar dari analisa hermeneutic adalah apa makna dari sebuah
teks ? Michael D. Myers, “Qualitative Research in Information System”, dalam Journal MIS Quarterly
(12: 2), Juni 1997, 241-242, MISQ Discovery, Archival Version, Juni, 1997, diambil dari situs
http://www.misq.org/misqd961/iswolrd, Desember 2001.
6
Komarudin Hidayat, “Hermeneutical Problems of Religious Language”, dalam Jurnal al-
Jâmi'âh, VI, 2000, 1-2. Penjelasan yang lebih komprehensif mengenai dimensi teoritik hermeneutic,
lihat Richard E Palmer, Hermeneutics, (Evanston: Northwestern University Press, 1969), Hans-Georg
Gadamer, Truth and Method (turn), (New York: The Seabury Press, 1975) dan Anthony C. Thiselton,
New Horizon In Hermeneutics, (Michigan: Zondervan Publishing House Academy and Professional
Books Grand Rapids, 1992)
7
Winarno Surachmad, Dasar dan Teknik Research, (Bandung: Tarsito, 1978), 132
5
E. Lingkup Bahasan
Kajian tentang masalah ontologis, epistemologis dan
aksiologis ini tidak akan dibatasi pada pandangan seorang tokoh
pemikir muslim, seperti al-Farabi, al-Ghazali, Ibn Rusyd atau yang
lain, melainkan mencakup banyak pandangan tokoh. Juga tidak
dibatasi pada era atau abad tertentu, misalnya abad pertengahan
atau modern, melainkan membentang dari abad awal Islam sampai
kontemporer. Dari banyak pandangan terhadap satu bahasan
tertentu tersebut kemudian akan disimpulkan bagaimana konsep
atau bangunan ontologis, epistemologis dan aksiologis dalam Islam.
Artinya, kesimpulan yang dihasilkan dari masing-masing
pokok kajian penelitian ini: ontologis, epistemologis dan aksiologis,
bukan hanya berdasarkan pandangan seorang tokoh muslim
melainkan dari berbagai pandangan muslim, sehingga hasilnya
menjadi lebih valid, komprehenship dan dapat di pertanggung
jawabkan.

F. Temuan Penelitian
Berdasarkan kajian-kajian yang dilakukan atas berbagai
literatur keislaman yang membahas tentang masalah ontologi,
epistemologi dan aksiologi, ditemukan hasil sebagai berikut.
1. Bangunan Ontologis
Ontologi berarti kajian tentang hakekat yang ada, tentang
hakekat wujud.8 Dalam tradisi Barat, masalah ini melahirkan dua
kelompok pemikiran: materialisme dan idealisme. Materialisme
adalah kelompok pemikiran yang menyakini bahwa realitas yang
ada ini hanya terdiri atas kuantitas-kuantitas fisik yang dapat diukur
secara matematis. Dalam bidang psikologi, misalnya, otak dan
kesadaran dijelaskan hanya sebagai tindakan-tindakan otot, urat
syaraf dan kelenjar-kelenjar. Proses-proses tersebut dijelaskan
secara fisika dan kimia, sehingga apa yang dianggap sebagai nilai
dan ideal hanya menjadi cap subjektif bagi situasi dan hubungan-
hubungan fisik.9 Sementara itu, idealisme adalah kelompok
pemikiran yang berpendirian bahwa realitas semesta ini tidak hanya
bersifat material tetapi justru terdiri atas, atau berkaitan erat
dengan ide, pikiran atau jiwa. Dunia mempunyai arti yang berbeda
dengan apa yang tampak di permukaan. Karena itu, ia harus
dipahami dan ditafsirkan bukan oleh metode objektif-empirik seperti
yang dilakukan kaum materialisme melainkan oleh penyelidikan
tenang hukum-hukum pikiran dan kesadaran. Bagi mereka, jiwa

8
Loren Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta, Gramedia, 1996), 746
9
Louis Kattsoff, Element of Philosophy (Pengantar Filsafat ), (Yogya, Kanisius, 1995), 296
6
(self) bukan satuan yang asing atau tidak riil tetapi justru bagian
yang sebenarnya dari proses semesta.10
Islam berbeda dengan konsep Barat. Menurut al-Farabi (870-
950 M), realitas yang ada ini terdiri atas dua bentuk sekaligus:
wujud-wujud spiritual (al-maujûdât al-rûhiyah) dan wujud-wujud
material (al-maujûdât al-mâdiyah).11 Wujud-wujud spiritual sendiri
yang merupakan realitas non-materi, terdiri atas enam tingkatan:
(a) di mulai dari Allah SWT sebagai Sebab Pertama, (b) intelek-
intelek terpisah (al-`uqûl al-mufâriqah) yang terdiri atas sembilan
intelek, (c) intelek aktif (al-`aql al-fa`âl) yang bertindak sebagai
penghubung antara alam atas dan alam bawah, antara realitas
spiritual dengan realitas material, (d) jiwa manusia (al-nafs al-
insâniyah), (e) bentuk (shûrah) dan (f) “materi” (hayûlâ).12 Hayûlâ
adalah materi pembentuk benda dan bersifat non-fisik, sedang
shûrah adalah bentuk kongkrit dari hayûlâ.13 Sementara itu, wujud
material (al-maujûdât al-mâdiyah) juga terdiri atas enam tingkat:
(a) benda-benda langit (al-ajrâm al-samâwiyah), (b) jasad manusia
(ajsâm al-adamiyyîn), (c) binatang (ajsâm al-hayawânât), (d)
tumbuhan (ajsâm al-nabâtât), (e) mineral (ajsâm al-ma`âdan), (f)
unsur-unsur pembentuk (al-istiqsât al-arba`ah) yang terdiri atas
empat unsur: udara, api, air dan tanah.14
Pemikiran serupa diberikan oleh al-Ghazali (1058-1111 M). Al-
Ghazali membagi realitas wujud dalam dua bagian; alam kasat
mata atau ‘alam indera’ (`alam al-syahâdah) dan alam tidak kasat
mata atau alam supernatural (`alam al-malakût atau `alam al-
ghaib).15 Kedua realitas ini tidak sama dari segi “kualitasnya”.
Perbandingan antara dua alam ini adalah seperti kulit dengan
isinya, bentuk luar sesuatu dengan ruhnya, kegelapan dengan
cahaya, atau kerendahan dengan ketinggian. Alam malakut disebut
alam atas, alam ruhani dan alam nurani, sementara alam syahadah
adalah alam bawah, alam jasmani dan alam gelap.16
Sementara itu, dengan istilah yang berbeda Ibn Arabi (1165-
1240 M) menyatakan, apa yang wujud ini yang berarti punya
eksistensi, terbagi dalam dua bagian; wujud mutlak dan wujud nisbi.
Wujud mutlak adalah suatu sesuatu yang eksis dengan dirinya

10
Ibid, 316
11
Athif Iraqi, Tsaurah al-`Aql fî al-Falsafah al-`Arabiyah, (Kairo, Dar al-Ma`arif, 1984), 110;
Ali Abd Wahid Wafa, Al-Madînah al-Fâdlilah li al-Fârâbî, (Kairo, Alam al-Kutub, 1973), 23
12
Al-Farabi, Mabâdi’ Ara Ahli al-Madinah, (Clarendon Press, 1981), 102-4
13
Ibid, 108
14
Ibid, 106
15
Al-Ghazali, “Misykât al-Anwâr”, dalam Majmû`ah Rasâil, (Bairut, Dar al-Fikr, 1996), 273:
al-Ghazali, Misykat Cahaya-Cahaya, (Bandung, Mizan, 1989), 28.
16
Al-Ghazali, Misykât al-Anwâr, 274; al-Ghazali, Misykat Cahaya-Cahaya, 30. Namun, apa
yang dimaksud alam tinggi ini bukan langit, meski langit terletak pada posisi yang tinggi dan “diatas”
dalam pemahaman sebagian penghuni alam jasmani.
7
sendiri dan untuk dirinya sendiri, dan itu adalah Tuhan. Wujud nisbi
adalah sesuatu yang eksistensinya terjadi oleh dan untuk wujud lain
(wujûd bi al-ghair). Wujud nisbi ini terbagi dalam dua bagian; wujud
bebas dan wujud ‘bergantung’, yang disebut kedua ini berupa
atribut-atribut, kejadian-kejadian dan hubungan-hubungan yang
bersifat spesial dan temporal. Sementara itu, wujud nisbi bebas
berupa substansi-substansi, dan ia terbagi dalam dua bagian;
material dan spiritual.17
Selanjutnya, kaitan antara alam fisik dan metafisis di atas,
Islam menyatakan bahwa keduanya merupakan satu kesatuan dan
bersifat hirarkhis. Sebagaimana disampaikan kaum sufi, alam
materi yang disebut juga alam kasar, diliputi dan di dominasi
wilayah psikhis, yang disebut juga alam halus, yang berada di
atasnya. Keduanya secara bersama-sama membentuk wilayah
“alam” yang semua bentuk hukumnya diatur oleh alam jabarût.
Selanjutnya, herarkhi realitas yang lebih tinggi adalah “asma
sifatiyah”, alam sifat-sifat Ilahiyah. Misalnya sifat-sifat yang merujuk
kepada-Nya sebagai Sang Maha Pencipta dan Sang Pemberi wahyu.
Herarkhi keempat ini, yang juga disebut lahût, dapat dipersamakan
dengan --meminjam istilah Osman Bakar-- Prinsip Kreatif, yaitu
prinsip ontologis dari keseluruhan kosmos. Karena itu, ia merupakan
Yang Absolut terhadap seluruh ciptaan. Puncak segala realitas
adalah essensi Ilahi (Dzat Ilahiyah). “Keadaan” tertinggi yang juga
diistilahkan sebagai hahût (berasal dari kata Huwa yang berarti Dia)
ini adalah Diri, Wujud atau Realitas Tertinggi yang tidak terbatas.
Realitas Tidak Tergapai. Dia adalah Prinsip “tak dapat disifati” dan
“tidak dapat ditentukan”. Absolut Murni.18
Dengan demikian, dalam Islam tidak dikenal pemikiran yang
melulu materialistik maupun idealistik. Islam juga tidak
membedakan antara kedua realitas tersebut secara dikhotomis
melainkan menyatukannya dalam kesatuan utuh yang bersifat
hirarkhis. Ini jelas berbeda dengan perspektif Barat.

2. Bangunan Epistemologis
Epistemologi biasa dipahami sebagai “teori ilmu
pengetahuan” (theory of knowledge).19 Secara garis besar,
epistemologi berkaitan dengan dua pertanyaan pokok: (a) “Apa
yang dapat diketahui?” (What can be known?) dan (b) “Bagaimana
17
Ibid, 21-24.
18
Pembahasan mendalam tentang masalah “ketuhanan”; tentang hakekat waktu, hakekat sifat,
hakekat nama dan sejenisnya diuraikan secara baik dan sitematis oleh Ibrahim al-Jilly, tokoh sufi
penganut madzhab Ibn Arabi, yang gagasannya kemudian mengilhami Hamzah Fansuri (w. 1016 H)
menelorkan konsep “martabat tujuh”, yang turun di Jawa menjelma menjadi ajaran kebatinan, antara
lain wahyu Hidayat Jati dan lain-lain. Untuk Ibrahim al-Jilly, lihat al-Insân Al-Kâmil, (Bairut, Dar Al-
Fikr, tt), terutama pada jilid pertama
19
Lexicon Universal Encyclopedia, (New York, Lexicon Publications, 1990), 221
8
hal itu dapat diketahui?” (How can it be known?). Pertanyaan
pertama berkaitan dengan sumber pengetahuan, sedang
pertanyaan kedua berhubungan dengan masalah metodologi, cara
memperoleh pengetahuan.20 Dalam perspektif Barat, dikenal ada
tifa sumber pengatahuan: (1) perspesi indera, yaitu bahwa
pengetahuan kita berasal dari apa yang kita lihat, dengar, cium dan
cicipi, yang kemudian melahirkan empirisme, suatu aliran pemikiran
yang menyakini bahwa pengetahuan kita bersumber pada
pengamatan indera yang diperoleh dari data-data empirik.21 (2)
Rasio, keyakinan rasio sebagai sumber pengetahuan yang
kemudian melahirkan aliran rasionalisme.22 (3) intuisi, yaitu
pengetahuan langsung yang tidak merupakan hasil dari pemikiran
secara sadar atau persepsi indera. Namun, dalam kajian filsafat
Barat, intuisi ini agaknya belum sepenuhnya diterima sebagai
sumber pengetahuan tetapi baru pada tahap “mungkin”.23
Berbeda dengan Barat, dalam Islam kenal ada tiga model
epistemologi: bayâni (analisis teks), burhâni (rasionalisme) dan
irfâni (intuisisme). Bayani adalah bentuk epistemologi Islam yang
menyatakan bahwa sumber pokok pengetahuan adalah nash (al-
Qur`an dan al-sunnah).24 Menurut Syafi`I, sumber pengetahuan
adalah teks suci (wahyu) dan tidak ada sumber lain yang bisa
menunjukkan pada kebenaran kecuali al-Qur`an. Rasio, meski
disatu sisi mampu menemukan kebenaran, bisa menentukan baik
dan buruk, tidak bisa dijadikan sumber pengetahuan karena
mengandung banyak kelemahan.25 Untuk mendapatkan
pengetahuan, metode bayani menempuh dua cara: (a) berpegang
pada redaksi (lafat) teks dengan menggunakan kaidah bahasa Arab,
seperti nahw dan sharâf sebagai alat analisa, dan (b) menggunakan
metode qiyâs (analogi) dan inilah prinsip utama epistemologi
bayani.26 Dalam kajian ushûl al-fiqh, qiyâs diartikan sebagai
memberikan keputusan hukum suatu masalah berdasarkan masalah
lain yang telah ada kepastian hukumnya dalam teks, karena adanya
20
Lihat O’Connor and Carr, Introductions to the Theory of Knowledge, (Brighton, Harvester
Press, 1982), 1-2; Ian Richard Netton, Al-Farabi and His School, (London, Routledge, 1992), 36
21
Harold Titus et al, Living Issues in Philosophy (Persoalan-Persoalan Filsafat), terj. Rasjidi,
(Jakarta, Bulan Bintang, 1984), 199
22
Harold Titus, Living Issues in Philosophy, 201-2
23
Harold Titus, Living Issues in Philosophy, 204
24
Ibid, 112-35. Al-Jabiri sengaja hanya memberikan dua sumber ini, karena untuk ijmâ` dan
qiyâs yang sering juga dijadikan sumber hukum, menurutnya, masih menjadi perdebatan, dari segi
ruang lingkup maupun fungsi-fungsinya. Perdebatan lain tentang ijma dan qiyas, lihat Muslehuddin,
Philosophy of Islamic Law and the Orientalists, (New Delhi, Markaz Maktabah Islami, 1985), 143-46;
Abdur Rahim, The Principles of Islamic Jurisprudence According to the Hanafi, Maliki, Shafi`I and
Hambali Schools, (New Delhi, Kitab Bhavan, 1994), 130
25
Al-Syafi`I, Al-Risâlah, ed. A. Syakir, (Kairo, Babi Halabi, 1940), 20; Muslehuddin, ibid,
119
26
Ibid, 530
9
kesamaan illah. Ada beberapa hal yang harus dipenuhi dalam
melakukan qiyas: (1) adanya al-ashl, yakni nas suci yang
memberikan hukum dan dipakai sebagai ukuran, (2) al-far`u,
sesuatu yang tidak ada hukumnya dalam nas, (3) hukm al-ashl,
ketetapan hukum yang diberikan oleh ashl, (4) illah, keadaan
tertentu yang dipakai sebagai dasar penetapan hukum ashl.27
Burhani adalah bentuk epistemologi Islam yang menyatakan
bahwa sumber pengetahuan adalah rasio.28 Untuk mendapatkan
pengetahuan, metode burhani mendasarkan diri pada olah rasio
atau tepatnya dengan cara silogisme: suatu bentuk argumen di
mana dua proposisi yang disebut premis, dirujukkan bersama
sedemikian rupa, sehingga sebuah keputusan (konklusi) pasti
menyertai.29
Sementara itu, irfan (gnosis) adalah salah satu bentuk
epistemologi Islam yang menyatakan bahwa pengetahuan yang
benar hanya dapat diperoleh lewat penyinaran hakekat oleh Tuhan
kepada hamba-Nya (kasyf) setelah adanya olah ruhani (riyâdlah)
yang dilakukan atas dasar cinta (love).30 Sasaran bidik irfan,
kebalikan dari epistemologi bayani, adalah apa yang ada dibalik
teks atau apa yang ada dibalik realitas empirik.
Ketiga model epistemologi Islam di atas jelas berbeda dengan
apa yang ada di Barat. Epistemologi bayan dan irfan sama sekali
tidak dikenal dalam perspektif keilmuan Barat. Sebaliknya, Barat
justru menyingkirkan teks suci (wahyu) dan intuisi, yang dalam
Islam dianggap sebagai sumber dan sesuatu yang sentral.

Prinsip Dasar Epistemologi Islam


Bayani Burhani Irfani
1 Sumber - Teks Suci
- Realitas Empirik Rasio Kasyf
2 Metode - Berpegang pada
redaksi teks Silogisme - Laku Sufistik
- Qiyâs (analogi) - Qiyas Irfan
3 Tema Sentral - Lafat-Makna - Bahasa- - Zahir-Batin
- Ushûl-Furû` Logika - Nubuwah-
- Eksistensi- Walayah
Esensi
4 Validitas Korespondensi Konsistensi “Korespondensi”
Kebenaran
27
Abd Wahab Khalaf, Ilm Ushûl al-Fiqh, 60
28
Al-Jabiri, Bunyah, 391
29
Al-Jabiri, Bunyat, 385 dan seterusnya. Di sini dijelaskan sejarah panjang silogisme
demonstratif, mulai dari Aristoteles sampai al-Farabi, dan hubungan burhani dengan persoalan bahasa.
30
Mehdi Hairi Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic Philosophy, Knowledge by
Presence (Ilmu Hudhuri), terj. Ahsin M, (Bandung, Mizan, 1994), 47-8 dan 241; Thabathabai,
‘Pengantar’, dalam Muthahhari, Light within Me (Menapak Jalan Spiritual), terj. Nasrullah, (Bandung,
Pustaka Hidayah, 1995), 10
10
5 Pendukung Fuqaha, Teolog Filosof Kaum Sufi

3. Bangunan Aksiologis
Aksiologi berkaitan dengan kajian tentang tujuan-tujuan dari
pengembagan keilmuan dan aplikasinya dalam diri dan masyarakat.
Di Barat, persoalan ini telah melahirkan dua kelompok pemikiran:
pertama, kelompok yang menyatakan bahwa ilmu pengetahuan
adalah bebas nilai, lepas dari apa yang disebut baik dan buruk.
Tugas sarjana atau ilmuwan hanyalah mengkaji, meneliti dan
menemukan teori, tanpa harus berpikir dan terpengaruh akan
adanya kenyataan bahwa ilmu yang ditemukan akan digunakan
untuk kerusakan atau kejahatan. Kedua, kelompok yang
menyatakan bahwa ilmu pengetahuan tidak bebas nilai. Apa yang
dianggap bebas nilai –kalau itu ada— hanya pada dataran
metafisika keilmuan (ontology) bukan pada aspek epistemology
apalagi aksiologinya. 31
Islam tampak lebih dekat dengan kelompok kedua. Namun,
berbeda dengan Barat, ketidakbebasan nilai ilmu bukan karena
pertimbangan sosial melainkan ada tujuan-tujuan yang lebih tinggi.
Paling tidak ada tiga tujuan yang hendak dicapai dari sebuah
pengembangan keilmuan Islam. (a) sebagai sarana menuju Tuhan,
sebagaimana yang isyaratkan oleh Ibn Rusyd. (b) sebagai upaya
pengembangan potensi tertinggi manusia. Menurut al-Farabi, tujuan
puncak dari eksistensi manusia adalah mencapai kebahagiaan
tertinggi (al-sa`âdat al-quswâ) yang oleh al-Farabi disamakan
dengan kebaikan mutlak (al-khair `alâ al-ithlâq), yakni Tuhan,
karena Dia adalah tujuan akhir yang tidak ada tujuan akhir yang
bisa dicari selain Dia. Kebahagiaan, karena itu, adalah suatu
kesempurnaan jiwa dimana eksistensinya tidak lagi membutuhkan
materi; yaitu saat seseorang bersama dan berada --dan juga
berlaku-- seperti Tuhan.32 (c) tercapainya tata kehidupan yang lebih
baik di dunia dan akherat, seperti yang disampaikan al-Ghazali.
Menurut al-Ghazali, tujuan dan aplikasi dari sebuah keilmuan harus
mengacu pada kemanfaatannya di dunia dan akherat. Kepentingan
kebahagiaan akherat dan kehidupan dunia inilah yang menjadi
parameter dan tujuan dari sebuah aplikasi keilmuan. Orang yang
mencari, meneliti, mengembangkan dan mengaplikasikan ilmu
pengetahuan harus mengacu pada kepentingan-kepentingan
tersebut. Karena itulah, misalnya, al-Ghazali kemudian membagi
ilmu dalam kategori fardlu dan fardlu kifayah.

31
Franz Magnis Suseno, 13 Tokoh Etika, (Yogya, Kanisius, 1997)
32
Al-Farabi, op cit, 204; al-Farabi, “Fî mâ Yanbaghî ‘An Yuqaddam Qabl Ta`allum al-
Falsafah”, dalam Al-Tsamarât al-Mardliyah, (Leiden, Brill, 1890), 53. Disitu dikatakan bahwa
mengetahui dan menyempurnakan diri seperti Tuhan adalah termasuk juga tujuan dari filsafat.
11

4. Kemungkinan Bangunan Integrasi Ilmu Agama-Umum


Integrasi keilmuan antara agama (Islam) dan umum (Barat)
bukan sesuatu yang tidak dapat dilakukan. Namun, mengingat
bahwa semua keilmuan lahir dari basis ontologism, epistemologis
dan aksiologis, dan ternyata basis keilmuan Islam dan umum
(Barat) berbeda, maka diperlukan parameter-parameter tertentu
sehingga tercapai tujuan-tujuan tersebut. Untuk mencapai hal
tersebut tidak cukup dengan memberikan justifikasi ayat al-Qur’an
pada setiap penemuan dan keilmuan, memberikan label arab atau
Islam pada istilah-istilah keilmuan dan sejenisnya, tetapi perlu ada
perubahan paradigma pada basis-basis keilmuan Barat, agar sesuai
dengan basis-basis dan khazanah keilmuan Islam yang berkaitan
dengan realitas metafisik, religius dan teks suci. Ini penting, sebab
sebuah ilmu akan tetap bernafaskan sekuler, jika tidak didasarkan
pada basis ontologis atau pandangan dunia (world view) yang utuh
dan ‘tunggal’ atau tauhid dalam istilah Naquib Attas. Begitu pula,
sebuah epistemologi akan tetap bersifat ‘eksploitatif’ dan
‘merusak’ jika tidak didasarkan atas ontologi yang Islami. Namun
demikian, bangunan ilmu yang telah terintegrasi tidak banyak
berarti jika dipegang orang yang tidak bermoral rusak dan tidak
bertanggungjawab. Karena itu, perlu dibenahi pada aspek
aksiologinya.
Masalah ini dapat dilihat kasus keilmuan psikologi. Pada
basis ontologis, konsep jiwa biasanya diidentikan dengan sebagai
pikiran (mind) atau bahkan direduksi menjadi kesadaran, atau
bahkan sekedar sebagai fungsi-fungsi nourologis otak yang bersifat
fisik, harus dirubah menjadi sesuatu yang substansial-immaterial
yang mempunyai eksistensi tersendiri, sehingga mach dengan
keyakinan Islam tentang adanya ukhrawi dan kekekalan jiwa. Pada
basis epstemologis, tidak hanya digunakan analisis empirik. Ketika
jiwa dipahami sebagai suatu entitas tersendiri yang bersifat
immaterial dan berkaitan dengan keyakinan hari akhir, maka ia
harus di kaji berdasarkan informasi wahyu dan pengalaman ruhani
(experience), di samping pengamatan empirik. Pada basis
aksiologis. Ketika konsep psikologi dipahami seperti ityu, maka ia
mempunyai banyak kemanfaatan, baik dalam kaitannya dengan
psikoterapi, pendidikan dan kepribadian. Secara psikoterapis,
psikologi Islam sangat berguna untuk memelihara dan menjaga
kesehatan mental, dan sebagai psikoterapi ketika menderita
penyakit mental. Di sini, psikologi Islam memberikan masukan
tentang bagaimana menyeimbangkan daya-daya tersebut,
sehingga lahir jiwa manusia yang seimbang dan sehat. Sebab, apa
yang di maksud sehat dalam perspektif Islam adalah jiwa yang
seimbang di antara unsur-unsurnya. Dari bidang pendidikan,
12
psikologi tidak hanya bersifat kognitif dan psikomotor tetapi juga
berarti pembinaan watak, moral, kesadaran keberagamaan dan
seterusnya yang tidak dikenal dalam tradisi pendidikan Barat yang
henya mengenal tiga ranah pendidikan: afektif, kognitif dan
psikomor. Sementara itu, pada aspek kepribadian, psikologi tidak
hanya digunakan untuk mengetahui unsur-unsur dan kekuatan
daya-daya jiwa dalam upaya untuk psikoterapi, tetapi juga
digunakan sebagai landasan bagi pembentukan kepribadian.
Misalnya, bagaimana membentuk kepribadian yang baik, disiplin,
dan seterusnya.
Selain tiga hal tersebut, kajian-kajian psikologi Islam juga
bermanfaat untuk pengetahuan keagamaan yang lain. Misalnya,
teologi. Kepastian kajian psikologi Islam tentang jiwa dan sifat
keabadiannya, juga eksistensinya setelah kematian raga,
memberikan dukungan kuat pada masalah teologi dan keagamaan.

G. Kesimpulan
Berdasarkan kajian-kajian yang dilakukan, dapat disimpulkan
sebagai berikut:
1. Bangunan ontologis Islam ternyata berbeda dengan apa yang
dipahami dalam tradisi Barat yang hanya mengakui realitas
fisik atau menganggap bahwa realitas ini hanya bersifat
mental. Ontologis Islam menyatakan bahwa realitas tidak
hanya bersifat fisik tetapi juga metafisik. Lebih dari itu, alam
fisik bukan realitas yang sesungguhnya melainkan hanya
bayangan dari realitas metafisik.
Strukturnya dimulai dari Tuhan sebagai sumber segala realitas
kemudian menurun menjadi realitas metafisik sampai yang
terakhir sampai realitas fisik.
2. Bangunan epistemologis Islam juga berbeda dengan
epistemologi Barat. Epistemologi Islam tidak hanya
mendasarkan diri pada sumber atas observasi dan rasio,
tetapi terlebih adalah teks suci (al-Qur’an). Inilah perbedaan
dan yang khas pada epistemologi Islam, di samping intusi
(kasyf), yang tidak dikenal dalam epistemologi lain. Caranya
adalah lewat analisis bahasa yang dikenal dengan istilah
istinbat.
3. Bangunan aksiologis Islam berkaitan tidak hanya dengan nilai-
nilai yang bersifat kemanusiaan, tetapi juga nilai-nilai
spiritual, religius dan bahkan teologis. Ini jelas berbeda
dengan bangunan aksiologi Barat yang hanya mengkaitkan
diri dengan nilai-nilai kemanusiaan dan lokal.
4. Bangunan integrasi antara ilmu agama dan umum harus
mempertimbangan basis-basis ini. Secara ontologis harus
mempertimbangkan adanya realitas laindisamping realitas
13
empirik, secara epistemologis harus memperhatikan posisi
wahyu dan intuisi serta hubungan keduanya dengan rasio,
dan secara aksiologis harus mengarah pada tujuan-tujuan
tertentu yang tidak sekedar duniawi.

Berdasarkan uraian dan kesimpulan di atas dapat diberikan


saran-saran sebagai berikut: Integrasi ilmu agama dan umum
hendaknya mempertimbangkan basis-basis keilmuan di atas:
ontologis, epistemologis dan aksiologis. Tidak hanya memberikan
justifikasi ayat atau hadis. Sebab, semua itu hanya bersifat semu
bukan yang sesungguhnya, sehingga hanya berupa labelisasi ayat
dan bukan integrasi keilmuan.

You might also like