You are on page 1of 3

MENCAPAI TARGET MDGS BIDANG PENDIDIKAN

Oleh : Berry Devanda


(Guru SMAN 1 Koto XI Tarusan Pesisir Selatan)

Pada tahun 2005, 189 negara yang sebagian besar diwakili oleh Kepala Pemerintahan
mengikuti Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Milenium Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Agenda utama pertemuan tersebut adalah membahas persoalan kemiskinan yang sangat parah
yang masih membebani di banyak negara. KTT tersebut menghasilkan Deklarasi Milenium yang
kemudian dikenal dengan Tujuan Pembangunan Milenium atau Millennium Development Goals
(MDGs). MDGs dirumuskan dengan tujuan pemenuhan hak-hak setiap umat manusia dengan
pendekatan yang bersifat inklusif. Oleh karena itu, MDGs dapat diterima oleh negara-negara
anggota PBB dan bertanggung jawab untuk memenuhi setiap tujuan tersebut.

MDGs memiliki delapan tujuan dan masing-masing tujuan terdiri dari target-target yang
memiliki batas pencapaian minimum yang harus dicapai Indonesia pada 2015. Hal ini bertujuan
untuk mempermudah proses evaluasi masing-masing target oleh setiap negara. Delapan tujuan
MDGs tersebut adalah Pengentasan kemiskinan ekstrim dan kelaparan, Pemerataan pendidikan
dasar, Mendukung adanya persamaan jender dan pemberdayaan perempuan, Mengurangi tingkat
kematian anak, Meningkatkan kesehatan ibu, Perlawanan terhadap HIV/AIDS, malaria, dan
penyakit lainnya, Menjamin daya dukung lingkungan hidup, Mengembangkan kemitraan global
untuk pembangunan.

MDGs menjadi acuan pembangunan negara-negara anggota PBB termasuk Indonesia.


MDGs dijadikan referensi dalam pembangunan Indonesia mulai dari tahap perencanaan sampai
tahap pelaksanaan. Menurut penulis, dari delapan tujuan MDGs tersebut, tanpa melemahkan arti
tujuan yang lain, tujuan kedua pemerataan pendidikan dasar merupakan hal yang sangat penting.
Karena tercapainya tujuan kedua tentang pemerataan pendidikan dasar tersebut akan
mengakselerasi pencapaian tujuh tujuan lainnya. Karena pendidikan akan membentuk pola pikir
masyarakat menjadi lebih baik, meningkatkan pengetahuan wanita tentang pentingnya kesehatan
ibu hamil, meningkatkan pengetahuan manusia tentang HIV/AIDS, meningkatkan pengetahuan
tentang pentingnya arti lingkungan yang sehat dan membuat kaum perempuan menjadi terpelajar
dan berkeinginan untuk ikut berperan serta dalam tatanan kehidupan.

Disamping itu, pendidikan akan membuat manusia sadar membutuhkan kerja sama
dengan manusia (negara) lain. Pendidikan juga akan meningkatkan harkat dan martabat manusia
sehingga terlepas dari kemiskinan dan kelaparan. Oleh karena itu, tulisan ini hanya fokus pada
tujuan kedua MDGs yaitu pemerataan pendidikan dasar.

Tujuan kedua MDGS tentang pemerataan pendidikan dasar menargetkan pada tahun 2015
semua anak Indonesia, baik laki-laki maupun prempuan, akan dapat menyelesaikan pendidikan
dasar, tidak ada lagi yang putus sekolah. Untuk mencapai tujuan tersebut, pemerintah harus
bekerja sama dengan seluruh masyarakat Indonesia berusaha agar tahun 2015 tidak ada lagi
anak-anak Indonesia yang tidak mendapatkan pendidikan dasar.
Pemerintah Indonesia sebenarnya sudah lama mencanangkan program pemerataan
pendidikan. Program Wajib Belajar (Wajar) 9 tahun adalah salah satu bentuk usaha pemerintah
Indonesia dalam mewujudkan pemerataan pendidikan bagi seluruh warga negara sebagai mana
yang diamanatkan oleh UUD 1945. Program wajib belajar 9 tahun pada awalnya merupakan
lanjutan dari program wajib belajar pendidikan dasar 6 tahun (SD) pada tahun 1984. Kemudian
pada tahun 1994, direvisi lagi menjadi program wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun (SD dan
SLTP). Hal ini berarti, anak-anak usia 7 sampai 15 tahun diwajibkan untuk mengikuti dan
mendapatkan pendidikan dasar SD dan SLTP. Program Wajar 9 Tahun tersebut menjadi
kekuatan bangsa Indonesia untuk mewujudkan tujuan MDGs diatas.

Namun, angka anak putus sekolah setiap tahun mengalami peningkatan cukup signifikan.
Berdasarkan data BKKBN, dari 1,7 juta jiwa pada 1996 menjadi 11,7 juta jiwa pada 2009 lalu.
Angka tersebut didominasi anak-anak usia 7-15 tahun, yang rata-rata tidak dapat memenuhi
kewajibannya melanjutkan pendidikan dasar sembilan tahun (Kompas.com).

Data tersebut menunjukan terdapat jalan terjal untuk memenuhi target MDGs tentang
pemerataan pendidikan dasar. Dengan sisa waktu 5 tahun lagi (saat ini tahun 2010), pekerjaan ini
akan menjadi berat jika tidak disikapi oleh segenap stake holder yang berkaitan dengan
pencapaian program ini. Untuk itu, perlu disusun upaya-upaya yang dapat dilakukan agar target
pencapaian tersebut dapat terlaksana tepat waktu.

Upaya-upaya tersebut dapat diurai dari apa saja penyebab yang membuat angka anak
putus sekolah semakin tinggi. Salah satu penyebab tingginya angka putus sekolah adalah tempat
tinggal yang jauh dari fasilitas pendidikan. Anak-anak miskin dari pedesaan umumnya memiliki
kesulitan untuk mendapat pendidikan dasar terutama anak-anak yang berusia 13-15 tahun.
Setelah menamatkan Sekolah Dasar (SD) mereka dihadapkan pada pilihan berhenti sekolah
karena jarak yang jauh atau membantu orang tua mencari nafkah. Menurut data yang dikeluarkan
oleh Kementerian Pendidikan Nasional, pada tahun 2009 sedikitnya terdapat 483 ribu anak usia
SD tidak lagi meneruskan pendidikan. Diantara angka tersebut ada yang berhenti sebelum kelas
6 dan tidak melanjutkan ke tingkat SMP.

Salah satu cara untuk meredam tingginya angka putus sekolah dari tahun ke tahun adalah
dengan pembangunan SLTP satu atap. Sebuah sekolah dimana SD dan SLTP memakai satu
gedung sekolah. Cara ini akan menghemat biaya operasional dan dapat menjangkau daerah-
daerah terpencil. Sekolah seperti ini sudah berjalan beberapa tahun terakhir. Namun, perlu
ditingkatkan jumlah dan kualitas SDM pengelolanya.

Anak-anak yang sudah terlanjur putus sekolah harus segera diatasi dengan program paket
A. Hanya saja, jumlah anak yang bisa ditampung pada program paket A hanya 200 ribu orang
anak. Dari 200 ribu daya tampung tersebut, hanya mampu diisi oleh 100 ribu orang anak saja.
Hal ini disebabkan oleh banyak faktor, diantaranya adalah medan yang ditempuh oleh guru
pendamping atau Tutor Paket A cukup berat. Pekerjaan menyisir anak-anak putus sekolah
sampai ke pedalaman merupakan pekerjaan yang tidak mudah. Belum lagi membujuk mereka
agar mau mengikuti program penyetaraan pendidikan tersebut.

Untuk itu, perlu kerjasama pemerintah daerah agar pencapaian pemerataan pendidikan ini
dapat terlaksana dengan baik. Pemerintah daerah harus menyisir sampai ke daerah pelosok,
mendata dan mengajak anak-anak putus sekolah untuk kembali mengenyam pendidikan melalui
program penyetaraan. Demikian juga dengan program penyetaraan pendidikan untuk tingkat
SLTP, Paket B.

Pemanfaatan kearifan lokal juga sangat diperlukan untuk membantu pencapaian target
ini. Perlu dirangsang kembali semangat gotong royong masyarakat untuk membangun
pendidikan, khususnya gedung sekolah dan sarana pendukung lainnya.

Disamping itu, laju pertumbuhan penduduk yang sangat cepat harus disikapi dengan
pembangunan infrastruktur pendidikan yang seimbang. Seluruh elemen bangsa harus ikut
membantu pekerjaan berat tersebut, termasuk pihak swasta. Diantaranya meningkatkan peran
serta swasta untuk membantu pembangunan pendidikan terutama di daerah terpencil. Setiap
perusahaan diwajibkan menyisihkan laba usahanya dalam bentuk Corporate Social
Responsibility (CSR). Salah satu bentuk program yang dapat dilakukan adalah membantu
terselenggaranya pendidikan terutama di daerah terpencil. Misalnya dengan memberikan insentif
tambahan untuk guru-guru yang mengajar di daerah terpencil. Disamping itu, pemberian
beasiswa untuk anak-anak kurang mampu juga akan sangat membantu pencapaian target MDGs
tentang pemerataan pendidikan dasar.

Jika pekerjaan ini sudah dipikul bersama oleh semua anak bangsa, program pencapaian
pemerataan pendidikan yang menjadi target MDGs pada tahun 2015 akan terasa lebih ringan.
Dengan harapan, rasa tanggung jawab bersama ini akan mempercepat pemenuhan target tersebut.
Untuk Indonesia yang lebih baik.

You might also like