Professional Documents
Culture Documents
Redaksi:
Penasehat:
dan Tenaga Kependidikan (PMPTK). Pemikiran
yang mendasari berdirinya AGSI adalah
keinginan pemerintah khususnya Departemen
Pendidikan Nasional ketika itu, yang meng-
Prof. Dr. S. Hamid Hasan, Prof. Susanto Zuhdi harapkan adanya wadah komunikasi
bagi para guru mata pelajaran di seluruh
Pemimpin Redaksi:
Indonesia untuk dapat mengembangkan
Suparman
profesionalismenya.
Tim Redaksi:
Ratna Hapsari, Nani Asri Setyani, Warsono, Bekerjasama dengan:
Ade Munajat, Taat Ujianto, Grace Leksana
Daftar isi:
4 Pengantar Redaksi
Mengkaji Ulang Pendidikan Sejarah SMA
Sajian Utama:
6 Pendidikan Sejarah: Kemana dan Bagaimana? (Prof. Dr. S. Hamid Hasan)
11 Peran Guru Dalam Penentuan Kebijakan Pendidikan dan Inovasi
Pembelajaran (Suparman)
RubrikKegiatan AGSI:
19 Selayang Pandang Tentang Asosiasi Guru Sejarah Indonesia
(Ratna Hapsari)
Rubrik Liputan:
26 Seminar Pembelajaran Sejarah Melalui Media Museum Sebagai Upaya
Membangun Karakter Bangsa (Suparman)
Resensi Buku:
29 Antara Kita, Nyai, dan Pergundikan di Hindia Belanda
(Taat Ujianto, S.Pd.)
Dengan diberlakukannya UU ini, maka pemerintah Indonesia saat itu telah menyadari dan
meletakkan pelajaran sejarah sebagai ujung tombak pembentukan karakter kebangsaan.
Sayangnya, setelah 56 tahun penyelenggaraan pendidikan sejarah dianggap penting untuk
mendidik karakter bangsa dalam sistem pendidikan nasional kita, ternyata peranannya masih
jauh dari yang diharapkan. Para generasi tua mengeluh tentang anak-anak masa kini yang tidak
peduli dengan sejarah bangsa, para generasi muda juga mengeluh tentang pelajaran sejarah yang
membosankan dan tidak ada esensinya. Lalu apa yang sebenarnya terjadi dalam kurun waktu 56
tahun tersebut? Apa yang membuat harapan dan kenyataan terpisah begitu jauh?
Sementara itu, di tengah jauhnya harapan dan kenyataan dalam pendidikan sejarah, Suparman
dalam tulisannya “Peran Guru Dalam Penentuan Kebijakan Pendidikan dan Inovasi Pembelajaran”
mencoba menawarkan dan mengajak pada para pendidik sejarah untuk segera keluar dari
belenggu. Lagi pula, walaupun terdapat banyak persoalan dalam pendidikan sejarah, sebetulnya
masih ada sejumlah pendidik sejarah yang cukup berani melakukan inovasi pembelajaran. Salah
satunya di Sukabumi, ada Ade Munajat. Ia melakukan kegiatan pembelajaran yang berbeda dari
biasanya. Ade Munajat menjadikan pengalaman anak dan pemahaman anak terhadap buku yang
dibacanya menjadi sangat penting dalam kegiatan belajar sejarah. Dengan melakukan eksplorasi
pembelajaran sejarah inovatif menjadi pokok yang dipikirkan dan bagian yang dipraktikkan,
inspirasi pembelajaran inovatif dapat lahir karena belajar dari pengalaman, diskusi, atau hasil
pemahaman atas membaca buku.
Dalam edisi perdana ini JPS-AGSI dibidani oleh gabungan semangat kaum tua, setengah tua dan
kaum muda. Ibu Ratna Hapsari (Ketua Umum AGSI) yang sudah sangat senior sebagai pendidik
sejarah, saya sendiri yang harus mengaku sudah setengah tua bergelut dengan pendidikan
sejarah, dan generasi muda dari ISSI, yaitu Grace Leksana dan Taat Ujianto yang ikut memeriahkan
media perdana ini melalui rubrik tinjauan buku “Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda”.
Kami mencoba menampilkan yang terbaik tetapi kami juga sangat berharap kritik dan saran
dari pembaca budiman dan para pendidik sejarah agar JPS-AGSI ini menjadi permulaan untuk
membangun komunikasi antar pendidik sejarah dan masyarakat sehingga pendidikan sejarah kita
ke depan menjadi lebih baik.
Salam Jasmerah!
Drs. Suparman
Berpikir kronologis
Pemahaman peristiwa sejarah
Ketrampilan sejarah
Kausalitas
Penafsiran
Cerita sejarah
Berkomunikasi
Evaluasi cerita
Jujur
Kerja keras
Kreatif
Kepahlawanan
Cinta bangsa & tanah air
Belajar dari sejarah
Senang membaca
Rasa ingin tahu
Disiplin
Teliti
Keterangan Tabel: arah dimana guru menjadi sumber informasi. Buku teks
SEM = Semester digunakan baru sebagai pengganti guru sebagai sumber
PB = Pokok Bahasan 1, 2, 3 dan seterusnya informasi. Sumber informasi lain yang memerlukan
Tabel di atas menggambarkan bahwa setiap materi kemampuan belajar mencari sumber, menentukan
kemampuan dikembangkan melalui proses belajar yang informasi yang relevan, dan mengumpulkannya belum
dilakukan peserta didik ketika mereka melakukan kajian menjadi suatu kenyataan umum di kelas sejarah. Guru
terhadap setiap pokok bahasan. Organisasi konten mata pelajaran sejarah masih harus bekerja keras untuk
demikian bersifat mendasar dan merupakan organisasi merealisasikan kegiatan pencarian informasi ini. Pada saat
yang sesuai dengan karakter konten kemampuan. sekarang dengan kurikulum sejarah berbasis kompetensi
maka kegiatan mencari informasi yang dilakukan peserta
Realisasi Silabus dalam Proses Pembelajaran Sejarah didik harus mendapat tempat yang lebih dari apa yang
terjadi pada saat sekarang. Metode pemberian tugas
Setiap proses pembelajaran yang berkenaan dengan masih merupakan metoda yang menonjol dalam kegiatan
kompetensi terdiri atas kegiatan belajar sebagai berikut: ini dan hal ini akan berlanjut sampai peserta didik memiliki
1. Pencarian informasi; kemandirian dan inisiatif dalam kegiatan pencarian
2. Pemahaman informasi; informasi. Artinya, proses awal suatu pembelajaran
3. Penggunaan informasi; dimulai dari mengembangkan kemampuan belajar
4. Pemanfaatan informasi. mencari informasi dari sumber seperti buku teks sampai
Keempat kegiatan pembelajaran ini perlu kepada sumber sejarah yang lebih asli dan autentik.
digalakkan karena pada saat sekarang kebanyakan Kegiatan pemahaman informasi berkenaan
proses pembelajaran sejarah yang terjadi berfokus pada dengan upaya memahami isi yang terkandung dari
pemahaman informasi. Kegiatan pencarian informasi, suatu informasi. Sumber informasi yang tertulis atau
kegiatan penggunaan, dan pemanfaatan informasi terekam dengan teknologi elektronik memang memiliki
merupakan kegiatan pembelajaran yang sangat langka berbagai keunggulan dibandingkan dengan sumber
terjadi di kelas-kelas pembelajaran IPS/sejarah. informasi lisan. Diantara keunggulannya adalah sumber
Kegiatan pencarian informasi yang sering terjadi di tersebut dapat dibaca ulang. Kegiatan belajar dalam
kelas pada saat sekarang kebanyakan hanya bersifat satu implementasi kurikulum sejarah berbasis kompetensi
Pasca proklamasi 1945, banyak ‘pekerjaan rumah’ dibayangkan 56 tahun silam. Sementara para generasi
bagi sebuah bangsa yang baru merdeka. Memang tidak tua mengeluh tentang anak-anak masa kini yang tidak
mudah untuk merumuskan visi besar yang akan melandasi peduli dengan sejarah bangsa, para generasi muda juga
perkembangan bangsa, sekaligus memikirkan kebutuhan mengeluh tentang pelajaran sejarah yang membosankan
mendesak rakyat Indonesia yang harus dipenuhi saat dan tidak ada esensinya. Lalu apa yang sebenarnya terjadi
itu juga. Pendidikan nasional merupakan salah satu dalam kurun waktu 56 tahun tersebut? Apa yang membuat
‘pekerjaan rumah’ yang mengalami masa-masa sulit pasca harapan dan kenyataan terpisah begitu jauh? Melalui
kemerdekaan. Situasi politik yang belum stabil, agresi analisis terhadap serangkaian kebijakan nasional (Undang-
militer dan perang menyebabkan proses perumusan undang, kurikulum, rencana pembangunan), artikel ini
kebijakan pendidikan nasional tersendat. Baru pada mencoba melacak kembali perjalanan pelajaran sejarah
1950, S. Mangoensarkoro selaku Menteri Pendidikan, Indonesia dari masa ke masa.
Pengadjaran dan Kebudajaan mengesahkan Undang-
Merumuskan Pijakan Dasar
undang no. 4 tahun 1950 tentang Dasar-dasar Pendidikan
dan Pengadjaran di Sekolah. UU ini diberlakukan lagi Perumusan konsep pendidikan nasional mulai
pada 1954, melalui Undang-undang no. 12 tahun 1954. dilaksanakan pada masa pendudukan Jepang, melalui Sub
UU ini terdiri dari 17 bab yang mengatur tujuan, dasar Panitia Pendidikan dan Pengajaran yang dipimpin oleh Ki
dan jenis pendidikan dan pengajaran; bahasa; pendidikan Hadjar Dewantara dan berada di bawah Panitia Persiapan
jasmani; kewajiban belajar; penyelenggaraan dan Kemerdekaan. Sub panitia ini hanya berhasil merumuskan
pendirian sekolah-sekolah; sekolah partikelir; guru; murid; rencana pengajaran saja, sehingga pasca proklamasi,
pengajaran agama di sekolah negeri; pendidikan campuran belum ada konsep pendidikan nasional yang utuh. Ini
dan terpisah; uang sekolah dan alat pelajaran; liburan merupakan pekerjaan yang sulit bagi sebuah Negara yang
sekolah; serta pengawasan dan pemeliharaan pendidikan baru merdeka. Satu-satunya pijakan adalah pemikiran
dan pengajaran. bahwa sistem pendidikan nasional yang baru teramat
penting untuk menciptakan masyarakat yang mampu
Bagi saya, hal yang menarik dari UU no. 12 tahun 1954 mewujudkan cita-cita kemerdekaan. Sistem pendidikan
justru terletak pada bagian penjelasan umum. Di dalamnya yang lama, yang pada dasarnya bersifat kolonialistik dan
dikatakan bahwa UU ini penting sekali karena pendidikan feodalistik dipandang tidak akan dapat mengembangkan
dan pengajaran akan mempengaruhi “di kemudian hari pada diri generasi muda sifat-sifat pribadi serta watak
sifat-sifat rakyat umumnya, dan pemimpin-pemimpin bangsa yang dibutuhkan oleh suatu Negara dan bangsa
yang akan timbul dari rakyat khususnya”. Juga ditekankan merdeka (Buchori, 2007:53). Serangkaian usaha terus
bahwa dasar-dasar pendidikan harus berlainan dengan dilakukan untuk mencapai suatu rumusan pendidikan
jaman Belanda, karena pendidikan pada jaman tersebut nasional. Misalnya, pada 1946, Menteri Pendidikan,
”tidak berakar pada masyarakat Indonesia”. Tawaran yang Pengajaran dan Kebudayaan (PPK) membentuk ‘Panitia
diberikan UU ini adalah pendidikan yang bersifat nasional Penyelidik Pendidikan Pengajaran’ yang bertugas meninjau
dan demokratis, artinya berdasarkan kebudayaan kita kembali dasar-dasar, isi, susunan dan seluruh usaha
sendiri. Dari konsep inilah kemudian muncul pernyataan pendidikan dan pengajaran. Kemudian dilanjutkan dengan
tentang pelajaran sejarah: Pertemuan Badan Himpunan Pendidikan di Surakarta
“Dalam pendidikan yang demikian pengajaran sejarah akan pada 4-7 April 1947, dan Kongres Pendidikan Antar-
menjadi pengajaran yang penting sekali. Bermacam-macam Indonesia di Yogyakarta pada Oktober 1949. Pembicaraan
peristiwa yang terjadi dalam sejarah kita harus ditinjau dalam kedua pertemuan besar ini difokuskan pada
kembali, dengan mempelajari sumber-sumber kita sendiri konsep-konsep makro pendidikan nasional, di antaranya:
[penekanan dari penulis], sehingga dapat disusun kitab- landasan ideologis dan cultural pembaharuan pendidikan,
kitab sejarah Indonesia yang bersifat lain daripada jika dilihat pemerataan kesempatan, serta pendidikan khusus
dengan kaca mata bangsa asing. Peristiwa-peristiwa yang (pendidikan teknik, kewanitaan, TNI, asing). Usaha lainnya
dapat dibanggakan dan menunjukkan kejayaan bangsa kita adalah pembentukan ‘Panitia Pembentukan Rencana UU
harus ditegaskan dengan sejelasnya, sehingga menimbulkan Pendidikan dan Pengajaran’ pada 1948 oleh Menteri PPK.
rasa kepercayaan atas diri sendiri pemuda-pemuda kita.” Dalam instruksinya, ditegaskan agar panitia menggunakan
Dengan diberlakukannya UU ini, maka pemerintah bahan-bahan yang pernah dibahas dalam kongres-kongres
Indonesia saat itu telah menyadari dan meletakkan pendidikan nasional sebelumnya (Sjamsudin, Sastradinata
pelajaran sejarah sebagai ujung tombak pembentukan & Hasan, 1993: 46). Karena situasi politik saat itu, UU
karakter kebangsaan. tersebut baru bisa diselesaikan pada 1950.
Sudah 56 tahun berlalu sejak UU tersebut disahkan, Rencana Pelajaran yang pertama disusun pada 1947
dan saat ini kita berada di bawah regulasi UU Sistem dan kemudian diperbaharui menjadi Rencana Pelajaran
Pendidikan Nasional yang berbeda. Namun tampaknya Terurai pada 1952 (Jasin, 1987: 80). Rencana Pelajaran ini
pelajaran sejarah belum memainkan peran seperti yang seharusnya menjadi pedoman bagi guru yang digunakan
Daftar Pustaka
Buchori, Mochtar. Evolusi Pendidikan di Indonesia: Dari Kweekschool Rentjana Pembangunan Lima Tahun III (1979/80 – 1983/84): Buku I dan II.
Sampai ke IKIP 1852-1998. 2007. Yogyakarta: Insist Press. 1979. Jakarta: Bappenas.
Jasin, Anwar. Pembaharuan Kurikulum Sekolah Dasar Sejak Proklamasi Rentjana Pembangunan Lima Tahun IV (1984/85 – 1988/89): Buku I dan II.
Kemerdekaan. 1987. Jakarta: Balai Pustaka 1984. Jakarta: Bappenas.
Kurikulum Sekolah Menengah Atas (SMA) 1975 – Buku I: Ketentuan- Rentjana Pembangunan Lima Tahun V (1989/90 – 1993/94): Buku I dan II.
ketentuan Pokok. 1979. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1989. Jakarta: Bappenas.
Kurikulum Sekolah Menengah Atas (SMA) 1975 – Buku IIC: Ilmu Rentjana Pendidikan dan Peladjaran SMA. 1969. Jakarta: Direktorat
Pengetahuan Sosial. 1979. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Pendidikan Umum, Kedjuruan dan Kursus-kursus Dinas SMA.
Kebudayaan.
Rentjana Peladjaran dan Pendidikan SMA Gaja Baru. 1964. Jakarta: Urusan
Rentjana Pembangunan Lima Tahun I (1969/70 – 1973/74): Buku I dan II. Pendidikan SMA Djawatan Pendidikan Umum Dep. P. D dan K.
1968. Jakarta: Bappenas.
Sjamsuddin, Helius; Sastradinata, Kosoh & Hasan, Said Hamid. Sejarah
Penyempurnaan/ Penyesuaian Kurikulum 1994 (Suplemen GBPP) SMU/ Pendidikan di Indonesia Zaman Kemerdekaan (1945-1966). 1993. Jakarta:
MA. 1999. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional.
Rentjana Pembangunan Lima Tahun II (1974/75 – 1978/79): Buku I dan II. Vickers, Adrian. A History of Modern Indonesia. 2005. New York: Cambridge
1974. Jakarta: Bappenas. University Press.
Asosiasi Guru Sejarah Indonesia (AGSI) didirikan Tema di atas mengajak para guru sejarah untuk
di Jakarta pada tahun 2007 atas prakarsa dan didanai melakukan introspeksi terhadap apa yang selama ini telah
oleh Dirjen Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga mereka lakukan dalam proses pembelajaran sejarah?
Kependidikan (PMPTK). Pemikiran yang mendasari Mengapa siswa jarang yang menyukai pelajaran sejarah?
berdirinya AGSI adalah keinginan pemerintah khususnya Apakah kreativitas guru sejarah telah mati karena sikap
Departemen Pendidikan Nasional ketika itu, yang apriori yang ditunjukkan siswa di kelas ketika pelajaran
mengharapkan adanya wadah komunikasi bagi para ini berlangsung? Memang banyak persoalan yang terkait
guru mata pelajaran di seluruh Indonesia untuk dapat dengan pelajaran sejarah di sekolah, yang perlu dirembug
mengembangkan profesionalismenya. bersama dalam sebuah wadah yang dinamis dan sebaiknya
secara berkesinambungan.
Asosiasi mempunyai posisi yang strategis di dalam
menghimpun guru dari mata pelajaran sejenis dalam Pendirian Asosiasi Guru didukung oleh undang-
sebuah kegiatan yang positif, yaitu untuk dapat saling undang no 14 tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen,
berbagi pengalaman, menimba ilmu dari guru yang lain, mengamanatkan bahwa guru dalam menjalankan
menyebarkan informasi dan kreativitas yang semuanya tugasnya berhak memiliki kebebasan untuk berserikat
akan memperkaya khasanah proses pembelajaran yang dalam organisasi profesi yang bersifat independen.
dilaksanakan guru di sekolah masing-masing. Inisiatif Organisasi profesi tersebut adalah perkumpulan yang
Dirjen PMPTK ini tentu saja memberikan angin segar berbadan hukum yang didirikan dan diurus oleh guru untuk
bagi masyarakat guru sejarah, terutama yang berdomisili mengembangkan profesionalitas guru. Undang-undang
di Jakarta, yang diberi tugas untuk menyelenggarakan ini juga mengamanatkan kewajiban guru untuk memiliki
pembentukan Asosiasi Guru Sejarah ini. Melalui sebuah kualifikasi akademik, kompetensi dan sertifikat pendidik,
kongres yang berhasil menghimpun perwakilan guru adanya hak-hak dan kewajiban guru, serta hak guru untuk
sejarah dari 23 provinsi ketika itu, terbentuklah Asosiasi memperoleh penghargaaan dan perlindungan.
Guru Sejarah Indonesia, dengan mengangkat tema Sejalan dengan berlakunya Undang-Undang Guru
“ Implementasi KTSP dalam Pembelajaran Sejarah di dan Dosen maka guru Sejarah sebagai bagian dari profesi
Sekolah “ pendidik mempunyai peran penting dalam membangun
Mengapa tema ini yang dipilih oleh panitia karakter bangsa, membangun kecerdasan, kesadaran akan
penyelenggara ketika itu tentulah bukan tanpa alasan. keberagaman dalam semangat ke-Indonesiaan, dan tetap
Sudah bukan merupakan rahasia lagi jika pelajaran sejarah membangun persatuan dan kesatuan bangsa, mempunyai
bukan merupakan pelajaran yang disukai siswa. Arah kepentingan untuk membangun kapasitas organisasi
pendidikan di Indonesia yang selama ini lebih berkesan profesinya sesuai dengan perubahan dan perkembangan
science oriented merupakan persoalan tersendiri bagi yang ada dengan tetap mengasah sikap kritis dan tetap
eksistensi pembelajaran sejarah di sekolah. Seakan-akan membangun tradisi yang mendorong demokratisasi
pelajaran yang dalam karekteristik pembelajarannya pendidikan, menjunjung Hak Asasi Manusia, membangun
sarat dengan pendidikan afektif ini terpinggirkan secara profesionalisme dan melakukan perubahan.
sistematis dalam kedudukannya yang juga sebagai ilmu Dalam tindak lanjutnya AGSI telah berhasil
pengetahuan. Dalam tujuan pembelajarannya telah diberi melaksanakan Kongresnya yang ke dua di Bandung, pada
rambu-rambu sebagai pelajaran yang memiliki kemampuan tahun 2008 dengan mengangkat tema “Pembelajaran
untuk menanamkan nasionalisme, menumbuhkan jiwa Sejarah Berbasis Multikulturalisme“ yang dihadiri oleh
patriotisme, menumbuhkan dorongan untuk bela negara, perwakilan guru sejarah dari 26 provinsi. Dan menghadirkan
dan banyak pendidikan afektif lainnya hanya menjadi sejumlah pembicara yang terdiri dari para guru besar
slogan-slogan yang seakan tanpa makna. Ditambah yang kompeten di bidangnya Masalah kesadaran
dalam proses pembelajarannya guru sering terjebak multikultur bangsa ini mulai mengkhawatirkan, konflik
pada pemaparan fakta sejarah yang kering tanpa makna, etnis, dominasi golongan mayoritas terhadap minoritas,
semakin membuat pelajaran sejarah seolah hanya sebagai tersisihnya masyarakat adat karena kebijakan yang sarat
pelengkap di dalam struktur kurikulum. dengan kepentingan kelompok tertentu, berkembangnya
Cibadak,_______________________2010
Siswa, Guru Mata Pelajaran Sejarah
Banyak laki-laki muda datang ke Nederlandsh Indie dengan harapan dapat membina masa
depan yang lebih baik. Mereka semua bujangan yang masuk dinas tentara, pemerintahan, atau
onderneming. Namun, selama beberapa tahun mereka tidak boleh membawa istri. Maka, banyak
di antara mereka itu berkumpul kebo dengan seorang nyai. Hubungan seperti ini seringkali tidak
tahan lama karena alasan berbeda-beda. Kadang anak laki-laki keturunan mereka dikirim ke
Belanda untuk belajar, kadang ditinggalkan saja oleh ayahnya dan ibu sendiri kurang mampu.
Banyak anak dari hubungan seperti ini tak bersekolah, kurang mengenal agama, tidak mempunyai
keahlian. Karena alasan serupa kaum putri sukar mendapat suami yang baik (Di Sini Matahariku
Terbit, 150 Tahun Perhimpunan Vincentius Jakarta, 2005, hal 21).
diperintahkan
pergi (sebutan
waktu itu
”dikirim kembali
ke kampung”) guna
memberi tempat
ua t tah un 19 09 kepada perempuan
ganya. Foto dib
i) bersama keluar Eropa yang akan menjadi
Srie (kedua dari kir
istri resmi. Kenyataan
seperti itu menjadi
pengalaman traumatis
bagi ibu maupun anak,
terbukti dari sikap ayah
Reggie Baay yang mencoba
menutup rapat-rapat sejarah ibunya.
Beruntung sekali ketika terbit buku Nyai & Kenyataannya, ia sebenarnya mempunyai salinan akta
Pergundikan di Hindia Belanda karya Reggie Baay. Buku yang coba ia ”sembunyikan” dan baru diketahui anaknya
ini seolah menjadi solusi dari kekurangan itu. Bahkan, setelah ia meninggal (hal xvi-xvii).
Reggie Baay sesungguhnya tidak hanya berjasa bagi saya
tetapi juga bagi bangsa Indonesia. Besar kemungkinan, Dalam buku Baay, secara garis besar praktek
masih banyak generasi Indonesia saat ini yang sebenarnya pergundikan banyak terjadi di dalam dunia sipil, tangsi
mempunyai pertalian darah dengan sejarah Nyai dan (tentara Hindia Belanda), dan perkebunan-perkebunan
Pergundikan. terutama di Deli Sumatera. Semua praktek pergundikan
harus
ikut sang Nyai setelah
diusir. Tidak banyak anak
Indo yang kemudian berhasil. Satu di antaranya
yang mampu bangkit dari perlakuan diskriminasi adalah
E.F.E. Douwes Dekker yang menjadi tokoh penting di
era Kebangkitan Nasional melalui Indische Partij yang ia
dirikan (hal 189). Namun banyak anak indo yang masuk
lubang kemiskinan seiring pengusiran sang Nyai. Saat
kembali di kampung, Nyai dan anak tersebut tersisih dari
masyarakat. Secara fisik keturunan Eropa, tetapi hidup
bersama pribumi, bahkan tanpa peninggalan nama Eropa
sebagai tanda untuk mengetahui siapa ayahnya. Anak-
anak inilah yang besar kemungkinan banyak ditampung
oleh Panti Asuhan Vincentius di abad IX. Sama halnya
seperti diceritakan dalam buku ini tentang Van der Steur,
seorang penyebar agama Kristen di daerah Magelang
Jawa Tengah. Karena prihatin dengan begitu banyaknya
anak-anak hasil pergundikan para tentara Hindia Belanda
(tangsi), ia mendirikan panti asuhan ”Pa” van der Steur
untuk menampung dan mendidik mereka (hlm. 117-118).
Penulis