Professional Documents
Culture Documents
Definisi
Luka bakar (combustio/burn) adalah cedera (injuri) sebagai akibat kontak langsung atau
terpapar dengan sumber-sumber panas (thermal), listrik (electrict), zat kimia (chemycal),
atau radiasi (radiation) .
Insiden
Perawatan luka bakar mengalami perbaikan/kemajuan dalam dekade terakhir ini, yang
mengakibatkan menurunnya angka kematian akibat luka bakar. Pusat-pusat perawatan
luka bakar telah tersedia cukup baik, dengan anggota team yang menangani luka bakar
terdiri dari berbagai disiplin yang saling bekerja sama untuk melakukan perawatan pada
klien dan keluarganya.
Luka bakar merupakan penyebab kematian ketiga akibat kecelakaan pada semua
kelompok umur. Laki-laki cenderung lebih sering mengalami luka bakar dari pada
wanita, terutama pada orang tua atau lanjut usia ( diatas 70 th).
Etiologi
Luka bakar thermal (panas) disebabkan oleh karena terpapar atau kontak dengan api,
cairan panas atau objek-objek panas lainnya.
Luka bakar chemical (kimia) disebabkan oleh kontaknya jaringan kulit dengan asam atau
basa kuat. Konsentrasi zat kimia, lamanya kontak dan banyaknya jaringan yang terpapar
menentukan luasnya injuri karena zat kimia ini. Luka bakar kimia dapat terjadi misalnya
karena kontak dengan zat-zat pembersih yang sering dipergunakan untuk keperluan
rumah tangga dan berbagai zat kimia yang digunakan dalam bidang industri, pertanian
dan militer. Lebih dari 25.000 produk zat kimia diketahui dapat menyebabkan luka bakar
kimia.
Luka bakar radiasi disebabkan oleh terpapar dengan sumber radioaktif. Tipe injuri ini
seringkali berhubungan dengan penggunaan radiasi ion pada industri atau dari sumber
radiasi untuk keperluan terapeutik pada dunia kedokteran. Terbakar oleh sinar matahari
akibat terpapar yang terlalu lama juga merupakan salah satu tipe luka bakar radiasi.
Faktor Resiko
Data yang berhasil dikumpulkan oleh Natinal Burn Information Exchange menyatakan
75 % semua kasus injuri luka bakar, terjadi didalam lingkungan rumah. Klien dengan
usia lebih dari 70 tahun beresiko tinggi untuk terjadinya luka bakar.
1. Pada Kulit
Perubahan patofisiologik yang terjadi pada kulit segera setelah luka bakar tergantung
pada luas dan ukuran luka bakar. Untuk luka bakar yang kecil (smaller burns), respon
tubuh bersifat lokal yaitu terbatas pada area yang mengalami injuri. Sedangkan pada luka
bakar yang lebih luas misalnya 25 % dari total permukaan tubuh (TBSA : total body
surface area) atau lebih besar, maka respon tubuh terhadap injuri dapat bersifat sistemik
dan sesuai dengan luasnya injuri. Injuri luka bakar yang luas dapat mempengaruhi semua
sistem utama dari tubuh, seperti :
2. Sistem kardiovaskuler
Segera setelah injuri luka bakar, dilepaskan substansi vasoaktif (catecholamine, histamin,
serotonin, leukotrienes, dan prostaglandin) dari jaringan yang mengalmi injuri.
Substansi-substansi ini menyebabkan meningkatnya permeabilitas kapiler sehingga
plasma merembes (to seep) kedalam sekitar jaringan. Injuri panas yang secara langsung
mengenai pembuluh akan lebih meningkatkan permeabilitas kapiler. Injuri yang langsung
mengenai memberan sel menyebabkan sodium masuk dan potassium keluar dari sel.
Secara keseluruhan akan menimbulkan tingginya tekanan osmotik yang menyebabkan
meningkatnya cairan intracellular dan interstitial dan yang dalam keadaan lebih lanjut
menyebabkan kekurangan volume cairan intravaskuler. Luka bakar yang luas
menyebabkan edema tubuh general baik pada area yang mengalami luka maupun
jaringan yang tidak mengalami luka bakar dan terjadi penurunan sirkulasi volume darah
intravaskuler. Denyut jantung meningkat sebagai respon terhadap pelepasan
catecholamine dan terjadinya hipovolemia relatif, yang mengawali turunnya kardiac
output. Kadar hematokrit meningkat yang menunjukan hemokonsentrasi dari pengeluaran
cairan intravaskuler. Disamping itu pengeluaran cairan secara evaporasi melalui luka
terjadi 4-20 kali lebih besar dari normal. Sedangkan pengeluaran cairan yang normal
pada orang dewasa dengan suhu tubuh normal perhari adalah 350 ml. (lihat tabel 1)
• · Paru 350
• · Kulit
100
Keringat
100
Feces
Total : 2300
Sumber : Adapted form A.C. Guyton, Textbook of medical physiology, 7th ed.
(Philadelphia: WB. Saunder Co., 1986) p. 383
Keadaan ini dapat mengakibatkan penurunan pada perfusi organ. Jika ruang intravaskuler
tidak diisi kembali dengan cairan intravena maka shock hipovolemik dan ancaman
kematian bagi penderita luka bakar yang luas dapat terjadi.
Kurang lebih 18-36 jam setelah luka bakar, permeabilitas kapiler menurun, tetapi tidak
mencapai keadaan normal sampai 2 atau 3 minggu setelah injuri. Kardiac outuput
kembali normal dan kemudian meningkat untuk memenuhi kebutuhan hipermetabolik
tubuh kira-kira 24 jam setelah luka bakar. Perubahan pada kardiak output ini terjadi
sebelum kadar volume sirkulasi intravena kembali menjadi normal. Pada awalnya terjadi
kenaikan hematokrit yang kemudian menurun sampai di bawah normal dalam 3-4 hari
setelah luka bakar karena kehilangan sel darah merah dan kerusakan yang terjadi pada
waktu injuri. Tubuh kemudian mereabsorbsi cairan edema dan diuresis cairan dalam 2-3
minggu berikutnya.
Respon tubuh pada mulanya adalah berkurangnya darah ke ginjal dan menurunnya GFR
(glomerular filtration rate), yang menyebabkan oliguri. Aliran darah menuju usus juga
berkurang, yang pada akhirnya dapat terjadi ileus intestinal dan disfungsi gastrointestia
pada klien dengan luka bakar yang lebih dari 25 %.
4. Sistem Imun
Fungsi sistem immune mengalami depresi. Depresi pada aktivitas lymphocyte, suatu
penurunan dalam produksi immunoglobulin, supresi aktivitas complement dan
perubahan/gangguan pada fungsi neutropil dan macrophage dapat terjadi pada klien yang
mengalami luka bakar yang luas. Perubahan-perubahan ini meningkatkan resiko
terjadinya infeksi dan sepsis yang mengancam kelangsungan hidup klien.
5. Sistem Respiratori
1. Smoke Inhalation.
Manifestasi klinik yang dapat diduga dari injuri inhalasi meliputi adanya LB yang
mengenai wajah, kemerahan dan pembengkakan pada oropharynx atau nasopharynx,
rambut hidung yang gosong, agitasi atau kecemasan, tachipnoe, kemerahan pada selaput
hidung, stridor, wheezing, dyspnea, suara serak, terdapat carbon dalam sputum, dan
batuk. Bronchoscopy dan Scaning paru dapat mengkonfirmasikan diagnosis.
Patofisiologi pulmoner yang dapat terjadi pada injuri inhalasi berkaitan dengan berat dan
tipe asap atau gas yang dihirup.
CO merupakan produk yang sering dihasilkan bila suatu substansi organik terbakar. Ia
merupakan gas yang tidak berwarna, tidak berbau, tidak berasa, yang dapat mengikat
hemoglobin 200 kali lebih besar dari oksigen. Dengan terhirupnya CO, maka molekul
oksigen digantikan dan CO secara reversibel berikatan dengan hemoglobin sehingga
membentuk carboxyhemoglobin (COHb). Hipoksia jaringan dapat terjadi akibat
penurunan secara menyeluruh pada kemampuan pengantaran oksigen dalam darah. Kadar
COHb dapat dengan mudah dimonitor melalui kadar serum darah. Manifestasi dari
keracunan CO adalah sbb (lihat tabel 2) :
11 – 20 Nyeri kepala
Diambil dari Cioffi W.G., Rue L.W. (1991). Diagnosis and treatment of inhalation
injuries. Critical Care Clinics of North America, 3(2), 195.
Beberapa faktor yang mempengaruhi berat-ringannya injuri luka bakar antara lain
kedalaman luka bakar, luas luka bakar, lokasi luka bakar, kesehatan umum, mekanisme
injuri dan usia
Kedalaman luka bakar dapat dibagi ke dalam 4 kategori (lihat tabel 3) yang didasarkan
pada elemen kulit yang rusak.
• · Mengenai semua lapisan kulit, lemak subcutan dan dapat juga mengenai
permukaan otot, dan persarafan dan pembuluh darah.
• · Luka tampak bervariasi dari berwarna putih, merah sampai dengan coklat atau
hitam.
• · Tanpa ada blister.
• · Permukaan luka kering dengan tektur kasar/keras.
• · Edema.
• · Sedikit nyeri atau bahkan tidak ada rasa nyeri.
• · Tidak mungkin terjadi penyembuhan luka secara spontan.
• · Memerlukan skin graft.
• · Dapat terjadi scar hipertropik dan kontraktur jika tidak dilakukan tindakan
preventif.
Terdapat beberapa metode untuk menentukan luas luka bakar meliputi (1) rule of nine,
(2) Lund and Browder, dan (3) hand palm. Ukuran luka bakar dapat ditentukan dengan
menggunakan salah satu dari metode tersebut. Ukuran luka bakar ditentukan dengan
prosentase dari permukaan tubuh yang terkena luka bakar. Akurasi dari perhitungan
bervariasi menurut metode yang digunakan dan pengalaman seseorang dalam
menentukan luas luka bakar.
Metode rule of nine mulai diperkenalkan sejak tahun 1940-an sebagai suatu alat
pengkajian yang cepat untuk menentukan perkiraan ukuran / luas luka bakar. Dasar dari
metode ini adalah bahwa tubuh di bagi kedalam bagian-bagian anatomic, dimana setiap
bagian mewakili 9 % kecuali daerah genitalia 1 % (lihat gambar 1).
Pada metode Lund and Browder merupakan modifikasi dari persentasi bagian-bagian
tubuh menurut usia, yang dapat memberikan perhitungan yang lebih akurat tentang luas
luka bakar (lihat gambar 2 atau tabel 2).
Selain dari kedua metode tersebut di atas, dapat juga digunakan cara lainnya yaitu
mengunakan metode hand palm. Metode ini adalah cara menentukan luas atau persentasi
luka bakar dengan menggunakan telapak tangan. Satu telapak tangan mewakili 1 % dari
permukaan tubuh yang mengalami luka bakar.
Berat ringannya luka bakar dipengaruhi pula oleh lokasi luka bakar. Luka bakar yang
mengenai kepala, leher dan dada seringkali berkaitan dengan komplikasi pulmoner. Luka
bakar yang menganai wajah seringkali menyebabkan abrasi kornea. Luka bakar yang
mengenai lengan dan persendian seringkali membutuhkan terapi fisik dan occupasi dan
dapat menimbulkan implikasi terhadap kehilangan waktu bekerja dan atau
ketidakmampuan untuk bekerja secara permanen. Luka bakar yang mengenai daerah
perineal dapat terkontaminasi oleh urine atau feces. Sedangkan luka bakar yang mengenai
daerah torak dapat menyebabkan tidak adekwatnya ekspansi dinding dada dan terjadinya
insufisiensi pulmoner.
d. Kesehatan umum
Angka kematian pada klien yang memiliki penyakit jantung adalah 3,5 – 4 kali lebih
tinggi dibandingkan klien luka bakar yang tidak menderita penyakit jantung. Demikian
pula klien luka bakar yang juga alkolism 3 kali lebih tinggi angka kematiannya
dibandingkan klien luka bakar yang nonalkoholism. Disamping itu juga klien alkoholism
yang terkena luka bakar masa hidupnya akan lebih lama berada di rumah sakit, artinya
penderita luka bakar yang juga alkoholism akan lebih lama hari rawatnya di rumah sakit.
e. Mekanisme injuri
Mekanisme injury merupakan faktor lain yang digunakan untuk menentukan berat
ringannya luka bakar. Secra umum luka bakar yang juga mengalami injuri inhalasi
memerlukan perhatian khusus.
Pada luka bakar elektrik, panas yang dihantarkan melalui tubuh, mengakibatkan
kerusakan jaringan internal. Injury pada kulit mungkin tidak begitu berarti akan tetapi
kerusakan otot dan jaringan lunak lainnya dapat terjad lebih luas, khususnya bila injury
elektrik dengan voltage tinggi. Oleh karena itu voltage, tipe arus (direct atau alternating),
tempat kontak, dan lamanya kontak adalah sangat penting untuk diketahui dan
diperhatikan karena dapat mempengaruhi morbiditi.
Alternating current (AC) lebih berbahaya dari pada direct current (DC). Ini seringkali
berhubungan dengan terjadinya kardiac arrest (henti jantung), fibrilasi ventrikel,
kontraksi otot tetani, dan fraktur kompresi tulang-tulang panjang atau vertebra.
Pada luka bakar karena zat kimia keracunan sistemik akibat absorbsi oleh kulit dapat
terjadi.
f. Usia
Usia klien mempengaruhi berat ringannya luka bakar. Angka kematiannya (Mortality
rate) cukup tinggi pada anak yang berusia kurang dari 4 tahun, terutama pada kelompok
usia 0-1 tahun dan klien yang berusia di atas 65 th.
Tingginya statistik mortalitas dan morbiditas pada orang tua yang terkena luka bakar
merupakan akibat kombinasi dari berbagai gangguan fungsional (seperti lambatnya
bereaksi, gangguan dalam menilai, dan menurunnya kemampuan mobilitas), hidup
sendiri, dan bahaya-bahaya lingkungan lainnya. Disamping itu juga mereka lebih rentan
terhadap injury luka bakar karena kulitnya menjadi lebih tipis, dan terjadi athropi pada
bagian-bagian kulit lain. Sehingga situasi seperti ketika mandi dan memasak dapat
menyebabkan terjadinya luka bakar.
• · <>
• · <>< 10 th
• · <>> 40 th
• · Tidak ada resiko gangguan kosmetik atau fungsional atau disabiliti.
Dari American Burn Association. (1984). Guidelines for service standars and severity
classification in the treatment of burn injury. Bulletin of the American College of
Surgeons, 69(10), 24-28.
Management
Berbagai macam respon sistem organ yang terjadi setelah mengalami luka bakar
menuntut perlunya pendekatan antar disiplin. Perawat bertanggung jawab untuk
mengembangkan rencana perawatan yang didasarkan pada pengkajian data yang
merefleksikan kebutuhan fisik dan psikososial klien dan keluarga atau orang lain yang
dianggap penting.
Diagnosa keperawatan, tujuan dan intervensinya dapat dilihat pada rencana perawatan di
halaman lainnya. Secara klinis klien luka bakar dapat dibagi kedalam 3 fase, yaitu : 1)
Fase emergent dan resusitasi 2) Fase acut dan 3) Fase Rehabilitasi. Berikut ini akan
diuraikan sekilas tentang fase tsb.:
Fase emergensi dimulai pada saat terjadinya injury dan diakhiri dengan membaiknya
permeabilitas kapiler, yang biasanya terjadi pada 48-72 jam setelah injury. Tujuan utama
pemulihan selama fase ini adalah untuk mencegah shock hipovolemik dan memelihara
fungsi dari organ vital. Yang termasuk ke dalam fase emergensi adalah (a) perawatan
sebelum di rumah sakit, (b) penanganan di bagian emergensi dan (c) periode
resusitasi. Hal tersebut akan dibahas berikut ini :
Perawatan sebelum klien dibawa ke rumah sakit dimulai pada tempat kejadian luka bakar
dan berakhir ketika sampai di institusi pelayanan emergensi. Pre-hospital care dimulai
dengan memindahkan/menghindarkan klien dari sumber penyebab LB dan atau
menghilangkan sumber panas (lihat tabel).
Tabel 5 : Petunjuk perawatan klien luka bakar sebelum
di rumah sakit
1. Jauhkan penderita dari sumber LB
Diambil dari Trunkey, D.D. (1983). Transporting the critically burned patient. In T.L.
Wachtel, et al. (Eds): Current Topics In Burn Care, Rockville, MD: Aspen Publications.
Perawatan di bagian emergensi merupakan kelanjutan dari tindakan yang telah diberikan
pada waktu kejadian. Jika pengkajian dan atau penanganan yang dilakukan tidak adekuat,
maka pre hospital care di berikan di bagian emergensi. Penanganan luka (debridemen dan
pembalutan) tidaklah diutamakan bila ada masalah-masalah lain yang mengancam
kehidupan klien, maka masalah inilah yang harus diutamakan
Perawatan klien dengan LB ringan seringkali diberikan dengan pasien rawat jalan. Dalam
membuat keputusan apakah klien dapat dipulangkan atau tidak adalah dengan
memperhatiakn antara lain 1) kemampuan klien untuk dapat menjalankan atau mengikuti
intruksi-instruksi dan kemampuan dalam melakukan perawatan secara mandiri (self
care), 2) lingkungan rumah. Apabila klien mampu mengikuti instruksi dan perawatan diri
serta lingkungan di rumah mendukung terjadinya pemulihan maka klien dapat
dipulangkan.
Perawatan di bagian emergensi terhadap luka bakar minor meliputi : menagemen nyeri,
profilaksis tetanus, perawatan luka tahap awal dan pendidikan kesehatan.
a) Managemen nyeri
Managemen nyeri seringkali dilakukan dengan pemberian dosis ringan morphine atau
meperidine dibagian emergensi. Sedangkan analgetik oral diberikan untuk digunakan
oleh pasien rawat jalan.
b) Profilaksis tetanus
Petunjuk untuk pemberian profilaksis tetanus adalah sama pada penderita LB baik yang
ringan maupun tipe injuri lainnya. Pada klien yang pernah mendapat imunisasi tetanus
tetapi tidak dalam waktu 5 tahun terakhir dapat diberikan boster tetanus toxoid. Untuk
klien yang tidak diimunisasi dengan tetanus human immune globulin dan karenanya
harus diberikan tetanus toxoid yang pertama dari serangkaian pemberian imunisasi aktif
dengan tetanus toxoid.
Perawatan luka untuk LB ringan terdiri dari membersihkan luka (cleansing) yaitu
debridemen jaringan yang mati; membuang zat-zat yang merusak (zat kimia, tar, dll); dan
pemberian/penggunaan krim atau salep antimikroba topikal dan balutan secara steril.
Selain itu juga perawat bertanggung jawab memberikan pendidikan tentang perawatan
luka di rumah dan manifestasi klinis dari infeksi agar klien dapat segera mencari
pertolongan. Pendidikan lain yang diperlukan adalah tentang pentingnya melakukan
latihan ROM (range of motion) secara aktif untuk mempertahankan fungsi sendi agar
tetap normal dan untuk menurunkan pembentukan edema dan kemungkinan terbentuknya
scar. Dan perlunya evaluasi atau penanganan follow up juga harus dibicarakan dengan
klien pada waktu itu.
Untuk klien dengan luka yang luas, maka penanganan pada bagian emergensi akan
meliputi reevaluasi ABC (jalan nafas, kondisi pernafasan, sirkulasi ) dan trauma lain yang
mungkin terjadi; resusitasi cairan (penggantian cairan yang hilang); pemasangan kateter
urine; pemasangan nasogastric tube (NGT); pemeriksaan vital signs dan laboratorium;
management nyeri; propilaksis tetanus; pengumpulan data; dan perawatan luka.
Berikut adalah penjelasan dari tiap-tiap penanganan tersebut, yakni sebagai berikut.
a) Reevaluasi jalan nafas, kondisi pernafasan, sirkulasi dan trauma lain yang mungkin
terjadi.
Menilai kembali keadaan jalan nafas, kondisi pernafasan, dan sirkulasi unutk lebih
memastikan ada tidaknya kegawatan dan untuk memastikan penanganan secara dini.
Selain itu melakukan pengkajian ada tidaknya trauma lain yang menyertai cedera luka
bakar seperti patah tulang, adanya perdarahan dan lain-lain perlu dilakukan agar dapat
dengan segera diketahui dan ditangani.
Bagi klien dewasa dengan luka bakar lebih dari 15 %, maka resusitasi cairan intravena
umumnya diperlukan. Pemberian intravena perifer dapat diberikan melaui kulit yang
tidak terbakar pada bagian proximal dari ekstremitas yang terbakar. Sedangkan untuk
klien yang mengalami luka bakar yang cukup luas atau pada klien dimana tempat-tempat
untuk pemberian intravena perifer terbatas, maka dengan pemasangan kanul
(cannulation) pada vena central (seperti subclavian, jugular internal atau eksternal, atau
femoral) oleh dokter mungkin diperlukan.
Luas atau persentasi luka bakar harus ditentukan dan kemudian dilanjutkan dengan
resusitasi cairan. Resusitasi cairan dapat menggunakan berbagai formula yang telah
dikembangkan seperti pada tabel 6 tentang formula resusitasi cairan berikut.
1 ml/kg/%
Brooke RL 0,5 ml/kg/ 2000 ml 0,5-0,75 0,5-0,75 2000 ml
% kebutuh-an 24 kebutuh-
1,5 ml/kg/% jam I
an 24 jam I
Modifi- RL 0,3-0,5 ml/kg/
kasi %
Brooke 2 ml/kg/%
ParklandRL 0,3-0,5 ml/kg/ 2000 ml
%
4 ml/kg/%
Diambil dari Rue, L.W. & Cioffi, W.G. (1991). Resuscitation of thermally injured
patients. Critical Care Nursing Clinics of North America, 3(2),185; and Wachtel &
Fortune (1983), Fluid resuscitation for burn shock. In T.L. Wachtel et al (Eds.), Current
topic in burn care (p. 44). Rockville,MD: Aspen Publisher, Inc.
Periode resuscitasi dimulai dengan tindakan resusitasi cairan dan diakhiri bila integritas
kapiler kembali mendekati keadaan normal dan perpindahan cairan yang banyak
mengalami penurunan.
Resusitasi cairan dimulai untuk meminimalkan efek yang merusak dari perpindahan
cairan. Tujuan resuscitasi cairan adalah untuk mempertahankan ferfusi organ vital serta
menghindari komlikasi terapi yang tidak adekuat atau berlebihan. Terdapat beberapa
formula yang digunakan untuk menghitung kebutuhan cairan seperti tampak dalam tabel
diatas.
Banyaknya/jumlah cairan yang pasti didasarkan pada berat badan klien dan luasnya
injury luka bakar. Faktor lain yang menjadi pertimbangan meliputi adalah adanya inhalasi
injuri, keterlambatan resusitasi awal, atau kerusakan jaringan yang lebih dalam. Faktor-
faktor ini cenderung meningkatkan jumlah/banyaknya cairan intravena yang dibutuhkan
untuk resusitasi adekuat di atas jumlah yang telah dihitung. Dengan pengecualian pada
formula Evan dan Brooke, cairan yang mengandung colloid tidak diberikan selama
periode ini karena perubahan-perubahan pada permeabilitas kapiler yang menyebabkan
kebocoran cairan yang banyak mengandung protein kedalam ruang interstitial, sehingga
meningkatkan pembentukan edema. Selama 24 jam kedua setelah luka bakar, larutan
yang mengandung colloid dapat diberikan, dengan dextrose 5% dan air dalam jumlah
yang bervariasi.
Sangat penting untuk diingat bahwa senmua formula resusitasi yang ada hanyalah
sebagai alat bantu dan harus disesuaikan dengan respon fisiologis klien. Keberhasilan
atau keadekuatan resusitasi cairan pada orang dewasa ditandai dengan stabilnya vital
signs, adekuatnya output urine, dan nadi perifer yang dapat diraba.
Pemasangan kateter harus dilakukan untuk mengukur produksi urine setiap jam. Output
urine merupakan indikator yang reliable untuk menentukan keadekuatan dari resusitasi
cairan.
Pemasangan NGT bagi klien LB 20 % -25 % atau lebih perlu dilakukan untuk mencegah
emesis dan mengurangi resiko terjadinya aspirasi. Disfungsi ganstrointestinal akibat dari
ileus dapat terjadi umumnya pada klien tahap dini setelah luka bakar. Oleh karena itu
semua pemberian cairan melalui oral harus dibatasi pada waktu itu.
Pemeriksaan laboratorium dasar akan meliputi pemeriksaan gula darah, BUN (blood ures
nitrogen), creatini, elektrolit serum, dan kadar hematokrit. Kadar gas darah arteri (analisa
gas darah), COHb juga harus diperiksa, khususnya jika terdapat injuri inhalasi. Tes-tes
laboratorium lainnya adalah pemeriksaan x-ray untuk mengetahui adanya fraktur atau
trauma lainnya mungkin perlu dilakukan jika dibutuhkan. Monitoring EKG terus menerus
haruslah dilakukan pada semua klien dengan LB berat, khususnya jika disebabkan oleh
karena listrik dengan voltase tinggi, atau pada klien yang mempunyai riwayat iskemia
jantung atau dysrhythmia.
f) Management nyeri
Penanganan nyeri dapat dicapai melalui pemberian obat narcotik intravena, seperti
morphine. Pemberian melalui intramuskuler atai subcutan tidak dianjurkan karena
absorbsi dari jaringan lunak tidak cukup baik selama periode ini bila hipovolemia dan
perpindhan cairan yang banyak masih terjadi. Demikian juga pemberian obat-obatan
untuk mengatasi secara oral tidak dianjurkan karena adanya disfungsi gastrointestial.
g) Propilaksis tetanus
Propilaksis tetanus pada klien LB adalah sama, baik pada luka bakar berat maupun luka
bakar yang ringan.
h) Pengumpulan data
Pengumpulan data merupakan tanggung jawab yang sangat penting bagi team yang
berada di ruang emergensi. Kepada klien atau yang lainnya perlu ditanyakan tentang
kejadian kecelakaan LB tersebut. Informasi yang diperlukan meliputi waktu injuri,
tingkat kesadaran pada waktu kejadian, apakah ketika injuri terjadi klien berada di ruang
tertutup atau terbuka, adakah truma lainya, dan bagaimana mekanisme injurinya. Jika
klien terbakar karena zat kimia, tanyak tentang zat kimia apa yang menjadi penyebabnya,
konsentrasinya, lamanya terpapar dan apakah dilakuak irigari segera setelah injuri.
Sedangkan jika klien menderita LB karena elektrik, maka perlu ditanyakan tentang
sumbernya, tipe arus dan voltagenya yang dapat digunakan untuk menentukan luasnya
injuri. Informasi lain yang diperlukan adalah tentang riwayat kesehatan klien masa lalu
seperti kesehatan umum klien. Informasi yang lebih khusus adalah berkaitan dengan
penyakit-penyakit jantung, pulmoner, endokrin dan penyakit ginjal karena itu semua
mempunyai implikasi terhadap treatment. Disamping itu perlu pula diketahui tentang
riwayat alergi klien, baik terhadap obat maupun yang lainnya.
i) Perawatan luka
Luka yang mengenai sekeliling ekstremitas dan torak dapat mengganggu sirkulasi dan
respirasi, oleh karena itu harus mendapat perhatian. Komplikasi ini lebih mudah terjadi
selama resusitasi, bila cairan berpindah ke dalam jaringan interstitial berada pada
puncaknya. Pada LB yang mengenai sekeliling ekstremitas, maka meninggikan bagian
ekstremitas diatas jantung akan membantu menurunkan edema dependen; walaupun
demikian gangguan sirkulasi masih dapat terjadi. Oleh karena pengkajian yang sering
terhadap perfusi ekstremitas bagian distal sangatlah penting untuk dilakukan.
Escharotomy merupakan tindakan yang tepat untuk masalah gangguan sirkulasi karena
LB yang melingkari bagian tubuh. Seorang dokter melaukan insisi terhadap eschar yang
akan mengurangi/menghilangkan konstriksi sirkulasi. Umumnya dilakukan ditempat tidur
klien dan tanpa menggunakan anaetesi karena eschar tidak berdarah dan tidak nyeri.
Namun jaringan yang masih hidup dibawah luka dapat berdarah. Jika perfusi jaringan
adekuat tidak berhasil, maka dapat dilakukan fasciotomy. Prosedur ini adalah menginsisi
fascia, yang dilakukan di ruang operasi dengan menggunakan anestesi.
Demikian juga, escharotomy dapat dilakukan pada luka bakar yang mengenai torak untuk
memperbaiki ventilasi. Setelah dilakukan tindakan escharotomy, maka perawat perlu
melakukan monitoring terhadap perbaikan ventilasi.
Perawatan luka dibagian emergensi terdiri-dari penutupan luka dengan sprei kering,
bersih dan baju hangat untuk memelihara panas tubuh. Klien dengan luka bakar yang
mengenai kepala dan wajah diletakan pada posisi kepala elevasi dan semua ekstremitas
yang terbakar dengan menggunakan bantal sampai diatas permukaan jantung. Tindakan
ini dapat membantu menurunkan pembentukan edema dependent. Untuk LB ringan
kompres dingin dan steril dapat mengatasi nyeri. Kemudian dibawa menuju fasilitas
kesehatan.
2. Fase Akut
Fase akut dimulai ketika pasien secara hemodinamik telah stabil, permeabilitas kapiler
membaik dan diuresis telah mulai. Fase ini umumnya dianggap terjadi pada 48-72 jam
setelah injuri.
Fokus management bagi klien pada fase akut adalah sebagai berikut : mengatasi infeksi,
perawatan luka, penutupan luka, nutrisi, managemen nyeri, dan terapi fisik.
a. Mengatasi infeksi
Sumber-sumber infeksi pada klien dengan luka bakar meliputi autocontaminasi dari:
• · Oropharynx
• · Fecal flora
• · Kulit yg tidak terbakar dan
• · Kontaminasi silang dari staf
• · Kontaminasi silang dari pengunjung
• · Kontaminasi silang dari udara
Kegiatan khusus untuk mengatasi infeksi dan tehnik isolasi harus dilakukan pada semua
pusat-pusat perawatan LB. Kegiatan ini berbeda dan meliputi penggunaan sarung tangan,
tutp kepala, masker, penutup kaki, dan pakaian plastik. Membersihkan tangan yang baik
harus ditekankan untuk menurunkan insiden kontaminasi silang diantara klien. Staf dan
pengunjung umumnya dicegah kontak dengan klien jika ia menderita infeksi baik pada
kulit, gastrointestinal atau infeksi saluran nafas.
b. Perawatan luka
1) Hidroterapi
Membersihkan luka dapat dilakukan dengan cara hidroterapi. Hidroterapi ini terdiri dari
merendam (immersion) dan dengan shower (spray). Tindakan ini dilakukan selama 30
menit atau kurang untuk klien dengan LB acut. Jika terlalu lama dapat meningkatkan
pengeluaran sodium (karena air adalah hipotonik) melalui luka, pengeluaran panas, nyeri
dan stress. Selama hidroterapi, luka dibersihkan secara perlahan dan atau hati-hati dengan
menggunakan berbagai macam larutan seperti sodium hipochloride, providon iodine dan
chlorohexidine. Perawatan haruslah mempertahankan agar seminimal mungkin terjadinya
pendarahan dan untuk mempertahankan temperatur selama prosedur ini dilakukan. Klien
yang tidak dianjurkan untuk dilakukan hidroterapi umumnya adalah mereka yang secara
hemodinamik tidak stabil dan yang baru dilakukan skin graft. Jika hidroterapi tidak
dilakukan, maka luka dapat dibersihkan dan dibilas di atas tempat tidur klien dan
ditambahkan dengan penggunaan zat antimikroba.
2) Debridemen
a) Debridemen mekanik
Debridemen mekanik yaitu dilakukan secara hati-hati dengan menggunakan gunting dan
forcep untuk memotong dan mengangkat eschar. Penggantian balutan merupakan cara
lain yang juga efektif dari tindakan debridemen mekanik. Tindakan ini dapat dilakukan
dengan cara menggunakan balutan basah ke kering (wet-to-dry) dan pembalutan kering
kepada balutan kering (wet-to-wet). Debridemen mekanik pada LB dapat menimbulkan
rasa nyeri yang hebat, oleh karena itu perlu terlebih dahulu dilakukan tindakan untuk
mengatasi nyeri yang lebih efektif.
b) Debridemen enzymatic
Debridemen enzymatik merupakan debridemen dengan menggunakan preparat enzym
topical proteolitik dan fibrinolitik. Produk-produk ini secara selektif mencerna jaringan
yang necrotik, dan mempermudah pengangkatan eschar. Produk-prduk ini memerlukan
lingkungan yang basah agar menjadi lebih efektif dan digunakan secara langsung
terhadap luka. Nyeri dan perdarahan merupakan masalah utama dengan penanganan ini
dan harus dikaji secara terus-menerus selama treatment dilakukan.
c) Debridemen pembedahan
Debridemen pembedahan luka meliputi eksisi jaringan devitalis (mati). Terdapat 2 tehnik
yang dapat digunakan : Tangential Excision dan Fascial Excision. Pada tangential
exccision adalah dengan mencukur atau menyayat lapisan eschar yang sangat tipis
sampai terlihat jaringan yang masih hidup. sedangkan fascial excision adlaah mengangkat
jaringan luka dan lemak sampai fascia. Tehnik ini seringkali digunakan untuk LB yang
sangat dalam.
3) Balutan
Luka bakar yang dalam atau full thickness pada awalnya dilakukan dengan menggunakan
zat/obat antimikroba topikal. Obat ini digunakan 1 – 2 kali setelah pembersihan,
debridemen dan inspeksi luka. Perawat perlu melakukan kajian terhadap adanya eschar,
granulasi jaringan atau adanya reepitelisasi dan adanya tanda-tanda infeksi. Umumnya
obat-obat antimikroba yang sering digunakan tampak pada tabel dibawah. Tidak ada satu
obat yang digunakan secara umum, oleh karena itu dibeberapa pusat pelayanan luka
bakar ada yang memilih krim silfer sulfadiazine sebagai pengobatan topikal awal untuk
luka bakar.
Tabel Obat-Obatan Antimokroba Topical Yang Digunakan Pada Luka Bakar (Luckmann,
Sorensen, 1993:2004)
c. Penutupan luka
Untuk meningkatkan
penyembuhan luka
bersih dan luka
superficial-partial
thickness
Lanjutan
2) Pencangkokan kulit
Pencangkokan kulit yang berasal dari bagian kulit yang utuh dari penderita itu sendiri
(autografting) adalah pembedahan dengan mengangkat lapisan kulit tipis yang masih utuh
dan kemudian digunakan pada luka bakar yang telah dieksisi. Prosedur ini dilakukan di
ruang operasi dengan pemberian anaetesi.
Perawatan post operasi autograft meliputi: mengkaji perdarahan dari tempat donor;
memperbaiki posisi dan immobilisasi tempat donor; perawatan tempat donor; perawatan
khusus autograft (seperti : cultur epitel autograft)
a) Menkaji Perdarahan
Autograft harus immobilisasi setelah pembedahan, umumnya selama 3-7 hari. Periode
waktu immobilisasi tersebut memungkinakan waktu autogratt menempel dan tertanam
pada dasar luka. Immobilisasi dapat dilakukan dengan berbagai cama. Mengatur posisi
yang tepat, traksi, splint, dapat digunakan untuk mencegah pergerakan yang tidak
diinginkan dan lepasnya graft. Perawat juga harus melakukan berbagai macam tindakan
untuk mengurangi bahaya immobilisasi.
Meskipun terdapat perbedaan dalam tindakan perawatan , namun luka pada tempat donor
memerlukan tindakannya memerlukan ketelitian yang sama untuk penyembuhan dan
mencegah infeksi. Jika tempat donor mengalami infeksi, maka balutan harus diangkat
secara hati-hati dan dibersihkan. Kemudian luka harus selalu dibersihkan dan digunakan
obat antibakteri. Bila tempat donor membai/sembuh maka losion lubrikasi dapat
digunakan untuk melunakan dan menghilangkan rasa gatal. Tempat donor tersebut dapat
digunakan kembali bila telah terjadi penyembuhan secara lengkap.
d. Nutrisi
Mempertahankan intake nutrisi yang adekuat selama fase akut sangatlah penting untuk
meningkatkan penyembuhan luka dan pencegahan infeksi. BMR (basal metabolik rate)
mungkin 40-100% lebih tinggi dari keadaan normal, tergantung pada luasnya luka bakar.
Respon ini diperkirakan berakibat pada hypotatamus dan adrenal yang menyebebkan
peningkatan produksi panas. Metabolik rate menurun bila luka telah ditutup. Selain itu
metabolisme glukosa berubah setelah mengalami luka bakar, mengakibatkan
hiperglikemia . Rendahnya kadar insulin selama fase emergent menghambat aktifitas
insulin dengan meningkatkan sirkuasi catecholamine, dan meningkatkan glukoneogenesis
selama fase akut yang semuanya mempunyai implikasi terhadap terjadinya hiperglikemia
pada klien luka bakar.
Dukungan nutrisi yang agresif diperlukan untuk memenuhi kebutuhan energi yang
meningkat guna meningkatkan penyembuhan dan mencegah efek katabolisme yang tidak
diharapkan.
Formula yang digunakan untuk menghitung kebutuhan energi, dipengaruhi oleh beberapa
hal yaitu berat badan, jenis kelamin, usia, luasnya luka bakar dan aktifitas atau injuri.
Formulasinya adalah sebagai berikut:
(25 kcal x berat badan (kg) + (40 kcal x % luka bakar) = kcal/hari.
Dukungan nutrisi yang agresif umumnya diindikasikan untuk klien luka bakar dengan 30
% atau lebih, secara klinis memerlukan tindakan operasi multiple, perlunya penggunaan
ventilator mekanik, status mental dan status nutrisi yang buruk pada saat belum
mengalami luka bakar.
Adapun metode pemberian nutrisi dapat meliputi diet melalui oral, enteral tube feeding,
periperal parenteral nutrition, total parenteral nutrisi, atau kombinasi.
e. Managemen nyeri
Faktor fisiologis yang yang dapat mempengaruhi nyeri meliputi kedalaman injuri,
luasnya dan tahapan penyembuhan luka. Untuk tipe luka bakar partial thickness dan pada
tempat donor akan terasa sangat nyeri akibat stimulasi pada ujung-ujung saraf.
Berlawanan halnya dengan luka bakar full thickness yang tidak mengalami rasa nyeri
karena ujung-ujung superficial telah rusak. namun demikian ujung-ujung saraf pada yang
terletak pada bagian tepi dari luka akan sangat sensitif. Faktor-faktor psikologis yang
dapat mempengaruhi persepsi seseorang terhadap nyeri adalah kecemasan, ketakutan dan
kemampuan klien untuk menggunakan kopingnya. Sedangkan faktor-faktor sosial
meliputi pengalaman masa lalu tentang nyeri, kepribadian, latar belakang keluarga, dan
perpisahan dengan keluarga dan rumah. Dan perlu diingat bahwa persepsi nyeri dan
respon terhadap stimuli nyeri bersifat individual oleh karena itu maka rencana
penanganan perawatan dilakukan secara individual juga.
Pendekatan yang lebih sering digunakan untuk mengatasi rasa nyeri adalah dengan
menggunakan zat-zat farmakologik. Morphine, codein, meperidine adalah nanalgetik
narkotik yang sering digunakan untuk mengatasi nyeri yang berkaitan dengan LB dan
treatmennya. Obat-obat farmakologik lainnya yang dapat digunakan meliputi analgesik
inhalasi seperti nitrous oxide, dll. Obat antiinflamasi nonsteroid juga dianjurkan untuk
mengatasi nyeri ringan sampai sedang.
Sedangkan tindakan Nonfarmakologik yang digunakan untuk mengatasi rasa nyeri yang
berkaitan dengan luka bakar meliputi hipnotis, guided imagery, terapi bermain, tehnik
relaksasi, distraksi, dan terapi musik. Tindakan ini efektif untuk menurunkan kecemasan
dan menurunkan persepsi terhadap rasa nyeri dan seringali digunakan bersamaan dengan
penggunaan obat-obat farmakologik.
f. Terapi fisik
Mempertahankan fungsi fisik yang optimal pada klien dengan injuri LB merupakan
tantangan bagi team yang melakukan perawatan LB. Perawat harus bekerja secara teliti
dengan fisioterapist dan occupational terapist untuk mengidentifikasi kebutuhan-
kebutuhan rehabilitasi klien LB. Program-program exercise, ambulasi, aktifitas sehari-
hari harus diimplementasikan secara dini pada pemulihan fase acutsampai perbaikan
fungsi secara maksimal dan perbaikan kosmetik.
Kontraktur luka dan pembentukan scar (parut) merupakan dua masalah utama pada klien
LB. Kontraktur akibat luka dapat terjadi pada luka yang luas. Lokasi yang lebih mudah
terjadinya kontraktur adalah tangan, kepala, leher, dan axila.
1) Posisi Terapeutik
Tabael dibawah ini merupakan daftar tehnik-tehnik posisi koreksi dan terapeutik untuk
klien dengan LB yang mengenai bagian tubuh tertentu selama periode tidak ada aktifitas
(inactivity periode) atau immobilisasi. Tehnik-tehnik posisi tersebut mempengaruhi
bagian tubuh tertentu dengan tepat untuk mengantisipasi terjadinya kontraktur atau
deformitas.
pergelangan tangan MCP pleksi 90 derajat hand splint dengan abduksi ibu jari
Paha
Lutut
Pergelangan kaki
2) Exercise
Latihan ROM aktif dianjurkan segera dalam pemulihan pada fase akut untuk mengurangi
edema dan mempertahankan kekuatan dan fungsi sendi. Disamping itu melakukan
kegiatan/aktivitas sehari-hari (ADL) sangat efektif dalam mempertahankan fungsi dan
ROM. Ambulasi dapat juga mempertahankan kekuatan dan ROM pada ekstremitas
bawah dan harus dimulai bila secara fisiologis klien telah stabil. ROM pasif termasuk
bagian dari rencana tindakan pada klien yang tidak mampu melakukan latihan ROM
aktif.
3) Pembidaian (Splinting)
Splint digunakan untuk mempertahankan posisi sendi dan mencegah atau memperbaiki
kontraktur. Terdapat dua tipe splint yang seringkali digunakan, yaitu statis dan dinamis.
Statis splint merupakan immobilisasi sendi. Dilakukan pada saat immobilisasi, selama
tidur, dan pada klien yang tidak kooperatif yang tidak dapat mempertahankan posisi
dengan baik. Berlainan halnya dengan dinamic splint. Dinamic splint dapat melatih
persendian yang terkena.
4) Pendidikan
Pendidikan pada klien dan keluarga tentang posisi yang benar dan perlunya melakukan
latihan secara kontinue. Petunjuk tertulis tentang berbagai posisi yang benar, tentang
splinting/pembidaian dan latihan rutin dapat mempermudah proses belajar klien dan
dapat menjadi lebih kooperatif.
g. Mengatasi Scar
Hipertropi scar sebagai akibat dari deposit kolagen pada luka bakar yang menyembuh.
Beratnya hipertropi scar tergantung pada beberapa faktor antara lain kedalaman LB, ras,
usia, dan tipe autograft. Metode nonoperasi untuk meminimalkan hipertropi scar adalah
dengan terapi tekanan (pressure therapy). Yaitu dengan menggunakan pembungkus dan
perban/pembalut elastik (elastic wraps and bandages).
Sedangkan tindakan pembedahan untuk mengatasi kontraktur dan hipertropi scar meliputi
:
2) Skin flaps
3) Z-plasties
4) Tissue expansion.
3. Fase Rehabilitasi
Fase rehabilitasi adalah fase pemulihan dan merupakan fase terakhir dari perawatan luka
bakar. Penekanan dari program rehabilitasi penderita luka bakar adalah untuk
peningkatan kemandirian melalui pencapaian perbaikan fungsi yang maksimal.
Tindakan-tindakan untuk meningkatkan penyembuhan luka, pencegahan atau
meminimalkan deformitas dan hipertropi scar, meningkatkan kekuatan dan fungsi dan
memberikan support emosional serta pendidikan merupakan bagian dari proses
rehabilitasi.
Fokus perawatan adalah pada upaya memaksimalkan pemulihan psikososial klien melalui
intervensi yang tepat. (lihat Rencana Perawatan).
Terdapat 4 tahap respon psikososial akibat trauma LB yang ditandai oleh Lee sebagai
berikut: impact; retreat or withdrawal (kemunduran atau menarik diri);
acknowledgement (menerima) dan reconstructive (membangun kembali).
a. Impact.
Periode impact terjadi segera setelah injuri yang ditandai oleh shock, tidak percaya
(disbelieve), perasaan overwhelmed. Klien dan keluarga mungkin menyadari apa yang
terjadi tetapi kopingnya pada waktu itu buruk. Pada penelitian yang telah dilakukan
mengindikasikan bahwa keluarga dengan klien yang sakit kritis mempunyai kebutuhan
untuk kepastian (assurance), kebutuhan untuk dekat dengan anggota keluarga yang lain
dan kebutuhan akan informasi. Lebih spesifik lagi keluarga ingin mengetahui kapan
anggota keluarganya dapat ditangani, apa yang akan dilakukan terhadap klien/anggota
keluarganya, fakta-fakta tentang perkembangan/kemajuan klien, dan mengapa
tindakan/prosedur dilakukan terhadap klien.
c. Acknowledgement (menerima)
Fase ketiga adalah menerima, dimulai bila klien menerima injuri dan perubahan
gambaran tubuh (body image). Selama fase ini klien dapat mengambil manfaat dari
pertemuanya dengan klien luka bakar lainnya, baik dalam kontak perorangan maupun
dengan kelompok.
d. Reconstructive (membangun kembali)
Fase terakhir adalah fase rekonstruksi, dimulai bila klien dan keluarga menerima
keterbatasan yang ada akibat injuri dan mulai membuat perencanaan masa datang.
A. Pengkajian
Pengkajian merupakan langkah awal dari proses keperawatan yang bertujuan untuk
mengumpulkan data baik data subyektif maupun data obyektif. Data subyektif diperoleh
berdasarkan hasil wawancara baik dengan klien ataupun orang lain, sedangkan data
obyektif diperoleh berdasarkan hasil observasi dan pemeriksaan fisik.
1. Data biografi
Langkah awal adalah melakukan pengkajian terhadap data biografi klien yang meliputi
nama, usia, jenis kelamin, pekerjaan, ras, dan lain-lain. Setelah pengkajian data biografi
selanjutnya dilakukan pengkajian antara lain pada :
Untuk menentukan luas luka bakar dapat digunakan salah satu metode yang ada, yaitu
metode “rule of nine” atau metode “Lund dan Browder”, seperti telah diuraikan dimuka.
Kedalaman luka bakar dapat dikelompokan menjadi 4 macam, yaitu luka bakar derajat I,
derajat II, derajat III dan IV, dengan ciri-ciri seperti telah diuraikan dimuka.
4. Lokasi/area luka
Luka bakar yang mengenai tempat-tempat tertentu memerlukan perhatian khusus, oleh
karena akibatnya yang dapat menimbulkan berbagai masalah. Seperti, jika luka bakar
mengenai derah wajah, leher dan dada dapat mengganggu jalan nafas dan ekspansi dada
yang diantaranya disebabkan karena edema pada laring . Sedangkan jika mengenai
ekstremitas maka dapat menyebabkan penurunan sirkulasi ke daerah ekstremitas karena
terbentuknya edema dan jaringan scar. Oleh karena itu pengkajian terhadap jalan nafas
(airway) dan pernafasan (breathing) serta sirkulasi (circulation) sangat diperlukan. Luka
bakar yang mengenai mata dapat menyebabkan terjadinya laserasi kornea, kerusakan
retina dan menurunnya tajam penglihatan.
Lebih lanjut data yang akan diperoleh akan sangat tergantung pada tipe luka bakar,
beratnya luka dan permukaan atau bagian tubuh yang terkena luka bakar. Data tersebut
melipuri antara lain pada aktivitas dan istirahat mungkin terjadi penurunan kekuatan otot,
kekakuan, keterbatasan rentang gerak sendi (range of motion / ROM) yang terkena luka
bakar, kerusakan massa otot. Sedangkan pada sirkulasi kemungkinan akan terjadi shok
karena hipotensi (shok hipovolemia) atau shock neurogenik, denyut nadai perifer pada
bagian distal dari ekstremitas yang terkena luka akan menurun dan kulit disekitarnya
akan terasa dingin. Dapat pula ditemukan tachikardia bila klien mengalami kecemasan
atau nyeri yang hebat. Gangguan irama jantung dapat terjadi pada luka bakar akibat arus
listrik. Selain itu terbentuk edema hampir pada semua luka bakar. Oleh karena itu
pemantauan terhadap tanda-tanda vital (suhu, denyut nadi, pernafasan dan tekanan darah)
penting dilakukan.
Data yang berkaitan dengan respirasi kemungkinan akan ditemukan tanda dan gejala
yang menunjukan adanya cidera inhalasi, seperti suara serak, batuk, terdapat partikel
karbon dalam sputum, dan kemerahan serta edema pada oropharing, lring dan dapat
terjadi sianosis. Jika luka mengenai daerah dada maka pengembangan torak akan
terganggu. Bunyi nafas tambahan lainnya yang dapat didengar melalui auskultasi adalah
cracles (pada edema pulmoner), stridor (pada edema laring) dan ronhi karena akumulasi
sekret di jalan nafas.
Data lain yang perlu dikaji adalah output urin. Output urin dapat menurun atau bahkan
tidak ada urin selama fase emergen. Warna urine mungkin tampak merah kehitaman jika
terdapat mioglobin yang menandakan adanya kerusakan otot yang lebih dalam.
sedangkan pada usus akan ditemukan bunyi usus yang menurun atau bahkan tidak ada
bunyi usus, terutama jika luka lebih dari 20 %. Oleh karena itu maka dapat pula
ditemukan keluhan tidak selera makan (anoreksia), mual dan muntah.
Adanya masalah kesehatan yang lain yang dialami oleh klien perlu dikaji. Masalah
kesehatan tersebut mungkin masalah yang dialami oleh klien sebelum terjadi luka bakar
seperti diabetes melitus, atau penyakit pembuluh perifer dan lainnya yang akan
memperlambat penyembuhan luka. Disamping itu perlu pula diwaspadai adanya injuri
lain yang terjadi pada saat peristiwa luka bakar terjadi seperti fraktur atau trauma lainnya.
Riwayat alergi perlu diketahui baik alergi terhadap makanan, obat-obatan ataupun yang
lainnya, serta riwayat pemberian imunisasi tetanus yang lalu.
6. Data Penunjang
1. Sel darah merah (RBC): dapat terjadi penurunan sel darah merah (Red Blood
Cell) karena kerusakan sel darah merah pada saat injuri dan juga disebabkan oleh
menurunnya produksi sel darah merah karena depresi sumsum tulang.
2. Sel darah putih (WBC): dapat terjadi leukositosis (peningkatan sel darah
putih/White Blood Cell) sebagai respon inflamasi terhadap injuri.
3. Gas darah arteri (ABG): hal yang penting pula diketahui adalah nilai gas darah
arteri terutama jika terjadi injuri inhalasi. Penurunan PaO2 atau peningkatan
PaCO2.
4. Karboksihemoglobin (COHbg) :kadar COHbg (karboksihemoglobin) dapat
meningkat lebih dari 15 % yang mengindikasikan keracunan karbon monoksida.
5. Serum elektrolit :
1) Potasium pada permulaan akan meningkat karena injuri jaringan atau kerusakan sel
darah merah dan menurunnya fungsi renal; hipokalemiadapat terjadi ketika diuresis
dimulai; magnesium mungkin mengalami penurunan.
2) Sodium pada tahap permulaan menurun seiring dengan kehilangan air dari tubuh;
selanjutnya dapat terjadi hipernatremia.
o ·
Hiperk
alemia
dan
pening
katan
hemat
okrit
merup
akan
hal
yang
sering
terjadi.
Lanjutan
o ·
Mem
berik
an
infor
masi
tenta
ng
resik
o
gagal
ginja
l.
Lanjutan
o ·
Intub
asi
mun
gkin
diper
lukan
untu
k
mem
eliha
ra
oksi-
gena
si
Lanjutan
Diagnosa/masalah Tujuan & kriteria hasil Intervensi Rasionalisasi
kolaborasi
(E, A) Bersihan jalan nafas klien
akan efektif, yang ditandai
5. Bersihan jalan nafas oleh:
tidak efektif b.d. edema
trahea, menurunnya • · Suara nafas bersih
fungsi ciliar paru akibat • · Sekresi pulmoner
injuri inhalasi bersih sampai putih
• · Monbilisasi
(E, A) sekreai pulmoner
efektif
6. Perubahan perfusi • · Respirasi tanpa
jaringan perifer b.d. upa-ya
konstriksi akibat luka • · Respirasi rate:16-
bakar. 24 kali/mnt
• · Tidak ada ronchi,
whezing, stridor
• · Tidak ada dispnea
• · Tidak ada
sianosis.
• · Denyut nadai
dapat diraba
melalui palpa-
si/Dopler
• · Capilari refill pada
kulit yang tidak ter-
bakar <>
• · Tidak ada kebal
• · Tidak terjadi
pening-katan rasa
nyeri pada waktu
melakukan latihan
ROM
• · Ajarkan klien un-
tuk batuk dan ber-
nafas dalam setiap
1-2 jam selama 24
jam, kemudian se-
tiap 2-4 jam, saat
terjaga.
• · Letakan peralatan
suction oral dalam
jangkaun klien un-
tuk digunakan sen-
diri oleh klien.
• · Lakukan endotra-
cheal suction jika
diperlukan, dan
monitor serta doku-
mentasikan karak-
teristik sputumnya.
• · Lepaskan semua
perhiasan & pakai-
an yg kencang/
sempit
• · Batasi
penggunaan cuff
tekanan darah yang
dapat menye-
babkan konstriksi
pada ekstremitas.
• · Monitor denyut
arteri melalui pal-
pasi atau dengan
Dopler setiap jam
selama 27 jam.
• · Kaji Capilary
refill pada kulit
yang tak terbakar
pada bagi-an
ekstremitas yg
terkena.
o ·
Mempermu
dah dalam
member-
sihkan
saluran
nafas bagian
atas.
o ·
mendorong
klien untuk
member-
sihkan
sendiri
sekresi oral
dan sputum.
o ·
Menghilang
kan sekresi
dari sa-luran
nafas bagi-
an atas.
Warna,
konsistensi,
bau dan
banyaknya
dapat
mengindi-
kasikan
adanya
infeksi.
o · Dapat
membaha-
yakan
sirkulasi
sebagai
akibat
terjadinya
edema.
o · Dapat
menurun-
kan aliran
arteri dan
venous
return.
o ·
Menurnkan/
menghilang
kan hipok-
semia
o · Capilary
refil
menjadi
meman-jang
& gangguan
sirkulasi.
Lanjutan
Diagnosa/masalah Tujuan & kriteria Intervensi Rasionalisasi
kolaborasi hasil
(E, A) Klien akan • · Kaji
memperta-hankan tingkatan
7. Hypotermia b.d. kehi- suhu tubuh yang nye-ri
langan jaringan epitel dan normal, yang ditandai dengan
fluktuasi suhu udara. oleh core body latihan
temperature antara ROM aktif
99,6 – 101,0 derajat • · Tinggikan
F. ekstre-mitas
yang terkena
di atas
permukaan
jantung.
• · Dorong
klien untuk
melakukan
latihan
ROM aktif
• · Antisipasi
& siap-kan
klien untuk
escharotomy
• · Perawatan
Post
Escharotom
y:
Kaji keadekuatan
sirkulasi :
Ø Cek nadi
Ø Catat warna,
pergerakan &
sensasi ekstre-mitas
yang terkena.
• · Atasi
perdarahan
post operasi
escharotomy
dgn
penekanan,
elek-
trocautery,
menja-hit
pembuluh
yang
mengalami
perda-rahan.
• · Monitor
suhu rec-tal
sesuai
indikasi
(setiap jam
selama fase
emergensi
dan setelah
dilakukan
pembedahan
• · Iskemia
jaringan
menyebabka
n timbulnya
rasa nyeri.
• ·
Menurunkan
pembentuka
n edema
dependen.
• ·
Meningkatk
an venous
return dan
menurunkan
atropi otot.
• ·
Escharotomi
dila-kukan
untuk
memperbaik
i sirkulasi
dan jaringan.
• · Data-data
tsb
mengindikas
ikan perfusi
yg adek-wat.
• · Jaringan
yang masih
hidup di-
bawahnya
akan
berdarah.
o ·
Hipo
termi
a
dapat
terja
di
setel
ah
kehil
anga
n
kulit
karen
a
rusak
nya
regul
ator
pana
s.
Lanjutan
o ·
Untu
k
mela
kuka
n
kajia
n
nutri
si.
Lanjutan
• · Klien
anoreksia
meyakini
bahwa
makan
tidaklah
bermanfaat
Lanjutan
• · Rambut
dapat
terkontaminas
i&
menganggu
me-
nempelnya
krim
Lanjutan
Diagnosa/masalah Tujuan & kriteria Intervensi Rasionalisasi
kolaborasi hasil
(E, Rehabilitasi/R) Klien akan lebih - 45 menit sebe-
nyaman ditandai lumnya jika me-
11. Nyeri b.d. injury luka oleh: lalui mulut.
bakar, stimulasi ujung-
ujung saraf, treatmen dan • · Menyatakan - 30 menit
kecemasan. rasa nyeri/tak sebelumnya jika
nyaman melalui intra
berkurang. muskular
• · Klien dapat
menge-nali - 5-10 menit
faktor-faktor sebelumnya jika
yg melalui intravena
mempengaruh
i nyeri Jangan diberikan
• · Kaji respon melalui intramus-
klien terhadap kular pada klien
nyeri saat dengan luka bakar
perawatan berat fase emergent
luka dan saat
istirahat. • · Ajarkan
tehnik re-
• · Berikan obat laksasi ,
penghilang terapi mu-
nyeri: sik, guided
image-ry,
distraksi dan
hypnosis
• · Jelaskan
semua pro
sedur pada
klien &
sediakan
waktu utk
persiapan.
• · Bicaralah
dengan klien
ketika mela-
kukan
perawatan
dan
melakukan
prosedur.
• · Kaji
kemungkina
n kebutuhan
untuk
pemberian
anxioli-tik
• · Catat
respon klien
terhadap
medikasi
dan
pengobatan
nonfarmakol
ogik
• · Sebagai
data dasar
• · Waktu
yang
adekuat bagi
onset
analgetik.
• · Injeksi i.m.
tidak
dianjurkan
kare-na
keterba-
tasan
sirkulasi
meng-
ganggu
absorpsi
• · Merupakan
anal-getik
nonfarma-
kologik
• · Untuk
menurun-
kan
kecemasan
• ·
Meningkatk
an rasa
percaya
klien
• · Kecemasan
menurunkan
ambang
nyeri.
• · Menilai
efekti-vitas
intervensi.
Lanjutan
• ·
Meningkatk
an
kepatuhan.
Lanjutan
• ·
Perkembanga
n klien
bervariasi
tergantung
pada tingkatan
injuri,
persepsi
terhadap
injuri, sistem
pe-nyokong &
gaya koping
sebelum-nya.
Lanjutan
Lanjutan
• · Para
profesional
tersebut dapat
membantu
memperbaiki
strategi koping
klien
Kesimpulan
Perawatan LB merupakan hal yang komplek dan menantang. Trauma fisik dan psikologis
yang dialami setelah injuri dapat menimbulkan penderitaan baik bagi penderita sendiri
maupn keluarga dan orang lain yang dianggap penting. Anggota yang menjadi kunci dari
tim perawatan luka bakar adalah perawat yang bertanggung jawab untuk membuat
perencanaan perawatan yang bersifat individual yang merefleksikan kondisi klien secara
keseluruhan.
DAFTAR PUSTAKA
Doenges, M.E., et al. (1995). Nursing care plans guidelines for planning patient care.
(2nd ed.). Philadelphia: F.A. Davis Co.
Nettina, S. (1996). The Lippincott manual of nursing practice. (6th ed.). Lippincott:
Lippincott-Raven Publisher.