You are on page 1of 9

Meluruskan Cara Pandang Terhadap Jihad

Penulis: Al Ustadz Abu Ubaidah Safruddin


Syariah, Kajian Utama, 02 - Maret - 2005, 05:10:36

“Pokok pangkal dari urusan ini adalah Islam, tiangnya adalah shalat dan puncaknya yang
tertinggi adalah jihad.” 1
Banyak manusia memandang amalan jihad tanpa dilandasi ilmu hingga menyebabkan banyak
kekeliruan dan menambah peliknya persoalan. Yang paling parah adalah munculnya
penyimpangan yang demikian jauh dari pengertian sebagaimana yang telah dijelaskan oleh
para ulama.
Karena itu, banyak kita saksikan belakangan ini berbagai tindakan dan aksi tertentu yang
langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan kerusakan di tengah masyarakat, namun
oleh para pelakunya diklaim sebagai jihad. Padahal, Islam sama sekali tidak memerintahkan
amalan tersebut. Sebagai contoh kecil, sikap suka mengkritisi atau mendiskreditkan
pemerintah di depan umum. Bagi para demonstran dari kalangan hizbiyyin, sikap kritis
terhadap pemerintah merupakan “menu wajib” yang harus dimiliki. Jadilah demonstrasi yang
di dalamnya menjadi ajang untuk mencaci maki pemerintah sebagai bagian dari perjuangan
mereka yang tidak terlewatkan. Mereka akan menganggap orang-orang yang memiliki sikap
berseberangan dengan mereka sebagai penjilat ataupun kaki tangan pemerintah. Bahkan tak
jarang mereka menganggap orang yang suka mendoakan kebaikan untuk pemerintah sebagai
budak pemerintah.
Begitupun dengan amalan lain, seperti melakukan pengeboman terhadap tempat-tempat
ibadah orang kafir, membunuh orang-orang kafir dengan bom bunuh diri ataupun merusak
fasilitas-fasilitas orang asing yang ada (tanpa melihat hukum syar’i). Semua tindak
kedzaliman ini mereka anggap sebagai jihad, yang tidak akan muncul sikap demikian bila
mereka memahami makna jihad secara benar.

Definisi Jihad
Kata Al-Jihad (ُ‫ )ا َِْد‬dengan dikasrah huruf jim asalnya secara bahasa bermakna (ُ ََْ ‫ )ا‬yang
bermakna kesulitan, kesukaran, kepayahan.
Sedangkan secara syar’i bermakna: “Mencurahkan segala kemampuan dalam memerangi
orang-orang kafir atau musuh.” (Lihat Fathul Bari, 6/5; Nailul Authar, 7/208; Asy-Syarhul
Mumti’, 8/7)
Berikut beberapa ucapan Ulama Salaf dalam memaknai Al-Jihad.
- Ibnu Abbas radhiallahu 'anhuma berkata: “(Jihad adalah) mencurahkan kemampuan
padanya dan tidak takut karena Allah terhadap celaan orang yang suka mencela.”
- Muqatil rahimahullah berkata: “Beramallah kalian karena Allah dengan amalan yang
sebenar-benarnya dan beribadahlah kepada-Nya dengan ibadah yang sebenar-benarnya.”
- Abdullah ibnul Mubarak rahimahullah berkata:“(Jihad adalah) melawan diri sendiri dan
hawa nafsu.” (Zaadul Ma’ad, 3/8)
Dalam tinjauan syariat Islam (pengertian secara umum), jihad juga diistilahkan kepada
mujahadatun nafs (jihad melawan diri sendiri), mujahadatusy syaithan (jihad melawan
syaithan), mujahadatul kufar (jihad melawan orang-orang kafir) dan mujahadatul munafikin
(jihad melawan kaum munafik).

Disyariatkannya Jihad dan hukumnya


Dalam permasalahan jihad, pada dasarnya manusia terbagi dalam dua keadaan:
1. Keadaan mereka pada masa kenabian
2. Keadaan mereka setelah kenabian

Masa Kenabian
Para ulama sepakat bahwa disyariatkannya jihad pertama kali ialah setelah hijrah Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam dari Makkah ke Madinah. Setelah itu muncul perselisihan di
antara mereka tentang hukumnya, fardhu ‘ain atau fardhu kifayah?
Di dalam Fathul Bari, Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah berkata: “Ada dua pendapat yang
masyhur di kalangan para ulama. (Pertama adalah pendapat dari) Al-Mawardi, dia berkata:
“(Hukumnya) fardhu ‘ain bagi orang-orang Muhajirin saja, bukan selain mereka.” Pendapat
ini dikuatkan dengan perkara tentang wajibnya hijrah atas setiap muslim ke Madinah dalam
rangka menolong Islam. (Kemudian) As-Suhaili, dia berkata: “Fardhu ‘ain atas orang-orang
Anshar saja, bukan selain mereka.” Pendapat ini dikuatkan dengan baiat para shahabat
kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pada malam Al-Aqabah untuk melindungi dan
menolong Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dari dua pendapat di atas diperoleh
kesimpulan bahwa jihad menjadi fardhu ‘ain atas dua thaifah (kelompok, red. Yakni
Muhajirin dan Anshar) dan fardhu kifayah atas selain mereka.
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah dan kalangan Asy-Syafi’iyyah sepaham dengannya lebih
menguatkan pendapat yang menyatakan fardhu kifayah (bagi kalangan Muhajirin maupun
Anshar-ed). Beliau berhujjah bahwa dalam peperangan yang terjadi pada zaman Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam, ada para shahabat yang ikut dan ada pula yang tidak.
Kemudian, walaupun jihad menjadi kewajiban atas orang-orang Muhajirin dan Anshar,
namun kewajiban ini tidak secara mutlak.
Sebagian berpendapat, jihad (hukumnya) wajib ‘ain dalam peperangan yang di dalamnya ada
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan bukan (wajib ‘ain) pada selainnya. Yang benar
dalam hal ini ialah, jihad menjadi fardhu ‘ain bagi orang yang dipilih (ditunjuk) oleh Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam, walaupun ia tidak keluar ke medan tempur.

Masa setelah Kenabian


Pendapat yang masyhur di kalangan ahlul ilmi adalah fardhu kifayah, kecuali jika ada
keadaan mendesak, seperti ada musuh yang datang dengan tiba-tiba. Ada pula yang berkata,
fardhu ‘ain bagi yang ditunjuk oleh imam (penguasa). Sebagian juga berpendapat wajib
selama memungkinkan, dan pendapat ini cukup kuat. Namun yang nampak dalam masalah
ini adalah jihad terus-menerus berlangsung pada jaman kenabian beliau Shallallahu 'alaihi wa
sallam sampai sempurnanya perluasan (ekspansi) ke beberapa negara besar dan Islam
menyebar di muka bumi, kemudian setelah itu hukumnya seperti yang telah dijelaskan di
atas.
Kesimpulan dari masalah ini adalah, jihad melawan orang kafir menjadi kewajiban atas
setiap muslim baik dengan tangan (kekuatan), lisan, harta atau dengan hatinya, wallahu
a’lam.” (Fathul Bari, 6/47; Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, 13/12)
Berikut beberapa ayat dan hadits yang menjelaskan tentang disyariatkannya jihad.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:


ِ ‫ا‬
ِ َِْ ِْ ُُِْْ‫ُوا "َِ!ﻡَْا ُِْ َوَأ‬#ِ‫' وَﺝَه‬
ً َ ِ(‫اِْ*ُوا )ًَِ َو‬

“Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan atau berat. Dan berjihadlah dengan
harta dan dirimu di jalan Allah.” (At-Taubah: 41)

َِْْ+َ, ْ-ُ+ْ.‫ وَا‬/


َ ِْ َِ0ُْ ‫ ا ُْ  َر وَا‬#ِ ِ‫ ﺝَه‬
2 ِ 0 ‫َ ا‬2‫َأی‬4‫ی‬

“Hai Nabi, berjihadlah melawan orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu, dan
bersikap keraslah terhadap mereka.” (At-Taubah: 73)

5ِ ‫ ﺝَِ ِد‬6
َ7 
ِ ‫ُوا ِ ا‬#ِ‫وَﺝَه‬

“Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya.” (Al-Hajj: 78)

‫ِ ﺝَِدًا آَِْ*ًا‬9ِ" ُْ‫ْه‬#ِ‫ وَﺝَه‬/


َ ْ‫ ا َِْ ِ*ی‬:ِ ِ;ُ< =
َ َ

“Maka janganlah kamu mengikuti orang-orang kafir dan berjihadlah terhadap mereka dengan
Al-Qur’an dengan jihad yang besar.” (Al-Furqan: 52)

َِْْ+َ, ْ-ُ+ْ.‫ وَا‬/


َ ِْ َِ0ُْ ‫ ا ُْ  َر وَا‬#ِ ِ‫ ﺝَه‬
2 ِ 0 ‫َ ا‬2‫َأی‬4‫ی‬

“Hai Nabi, perangilah orang-orang kafir dan orang-orang munafik dan bersikap keraslah
terhadap mereka.” (At-Tahrim: 9)
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiallahu 'anhuma, Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata pada Yaumul Fath (Fathu Makkah): “Tidak ada hijrah
setelah Fathu Makkah, akan tetapi yang ada ialah jihad dan niat. Dan apabila kalian diminta
untuk pergi atau berangkat berperang maka pergilah.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Al-Hafidz rahimahullah berkata: “Pada hadits ini terdapat berita gembira bahwa kota Mekkah
akan tetap menjadi negeri Islam selamanya. Di dalamnya juga terdapat dalil tentang fardhu
‘ainnya keluar dalam perang (jihad) bagi orang yang dipilih oleh imam.” (Fathul Bari, 6/49)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata: “Apabila imam (penguasa) memerintahkan
kepada kalian untuk berjihad, maka keluarlah. Hal ini menunjukkan bahwa jihad bukanlah
fardhu ‘ain, akan tetapi fardhu kifayah. Apabila sebagian telah menunaikannya, gugurlah
kewajiban yang lain. Dan jika tidak ada yang melakukannya sama sekali, berdosalah mereka.
Dari kalangan Asy-Syafi’iyyah berpendapat tentang jihad di masa sekarang hukumnya fardhu
kifayah, kecuali jika orang-orang kafir menyerang negeri kaum muslimin, maka jihad
menjadi fardhu ‘ain atas mereka. Dan jika mereka tidak memiliki kemampuan yang cukup,
wajib bagi negeri yang bersebelahan untuk membantunya.” (Al-Minhaj Syarh Shahih
Muslim, 12/11-12)
Setelah diketahui bahwa pendapat yang masyhur di kalangan ahlul ilmi tentang hukum jihad
pada masa setelah kenabian adalah fardhu kifayah, berikut adalah beberapa keadaan yang
menjadikan hukum tersebut berubah menjadi fardhu ‘ain, di mana sebagiannya telah disebut
di atas:
1. Apabila bertemu dengan musuh yang sedang menyerang. Allah Subhanahu wa Ta'ala
berfirman:

ٍ َGِ Hَ ‫ًا ِإ‬IJَKَAُ‫ل َأوْ ﻡ‬ ٍ َAِ ِ ًJ*َKَAُ‫ ِإ' ﻡ‬5ُ *َ ُ"‫ِ ٍ@ ُد‬Gَ‫ِْ یَْﻡ‬J َ ٌ‫ْ ی‬/َ‫ َوﻡ‬.‫>دْ"َ َر‬
َ ْ‫ْهُ ُ ا‬2 َ ُ< =
َ َ ًْ7‫ آََ*ُوا َز‬/
َ ْ‫ُ ُ ا @ِی‬Aِْ َ ‫ُا إِذَا‬0َ‫ﻡ‬D /
َ ْ‫َ ا ِ@ی‬2‫َأی‬4‫ی‬
*ُ ِْNَْ ‫ ا‬O َ ْGِ"‫ ُ َو‬0ََ‫ ﺝ‬5ُ ‫ َوﻡَ!ْوَا‬ ِ ‫ا‬/ َ J‫ٍ ﻡ‬PَQَRِ" ‫ َء‬4" ْ#َ َ

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bertemu dengan orang-orang kafir yang
sedang menyerangmu, maka janganlah kamu membelakangi mereka (mundur). Barangsiapa
yang membelakangi mereka (mundur) di waktu itu, kecuali berbelok untuk (siasat) perang
atau hendak menggabungkan diri dengan pasukan yang lain, maka sesungguhnya orang itu
kembali dengan membawa kemurkaan dari Allah dan tempatnya ialah neraka jahannam. Dan
amat buruklah tempat kembalinya.” (Al-Anfal: 15-16)
Ayat ini menjelaskan tentang tidak bolehnya seseorang mundur atau berpaling dari
menghadapi musuh. Karena yang demikian termasuk perkara terlarang dan tergolong dalam
perkara yang membawa kepada kehancuran/ kebinasaan sehingga wajib untuk dijauhi.
Sebagaimana yang disebut dalam sebuah sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dari
shahabat Abu Hurairah radhiallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
“Jauhilah tujuh perkara yang membawa kepada kehancuran atau kebinasaan.” Para shahabat
bertanya: “Apakah ketujuh perkara itu, ya Rasulullah?” Beliau menjawab: “Syirik kepada
Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan sebab yang dibenarkan
agama, memakan riba, memakan harta anak yatim, membelot/ berpaling (desersi) dalam
peperangan dan melontarkan tuduhan zina kepada wanita yang terjaga dari perbuatan dosa,
tidak tahu-menahu dengannya (yakni dengan perbuatan zina tersebut-ed) dan (ia adalah
wanita yang-ed) beriman kepada Allah.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Dua hal yang diperbolehkan bagi seseorang untuk berpaling (mundur) ketika bertemu dengan
musuh:
a. Berpaling dalam rangka mendatangkan kekuatan yang lebih besar atau siasat perang.
b. Berpaling dalam rangka menggabungkan diri dengan pasukan lain untuk menghimpun
kekuatan.

2. Apabila negerinya dikepung oleh musuh. (Dalam keadaan ini) wajib atas penduduk negeri
tersebut untuk mempertahankan negerinya. Keadaan ini serupa dengan orang yang berada di
barisan peperangan. Sebab apabila musuh telah mengepung suatu negeri, tidak ada jalan lain
bagi penduduknya kecuali untuk membela dan mempertahankannya. Dalam hal ini musuh
juga akan menahan penduduk negeri tersebut untuk keluar dan mencegah masuknya bantuan
baik berupa personil, makanan dan yang lainnya. Karena itu wajib atas penduduk negeri
untuk berperang melawan musuh sebagai bentuk pembelaan terhadap negerinya.
3. Apabila diperintah oleh imam. Apabila seseorang diperintah oleh imam untuk berjihad,
hendaknya ia mentaatinya. Imam dalam hal ini ialah pemimpin tertinggi negara dan tidak
disyaratkan ia sebagai imam secara umum bagi kaum muslimin semuanya.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

‫ََ ِة‬Kْ ‫ع ا‬ ُ َAَ‫)ِ َ* ِة ََ ﻡ‬Vْ‫ ا‬/


َ ِ‫َْ ﻡ‬#2 ‫ََ ِة ا‬Kْ ِ" ُْAِْ‫ض َأ َرﺽ‬
ِ ْ‫>ر‬ َ ْ‫ ا‬Hَ ‫ُْ ِإ‬Aْ+َY (‫ ا‬ِ ‫ا‬ ِ َِْ ِ ‫ َُ ُ اِْ*ُوا‬ َ ِْY ‫ُا ﻡَ َُْ إِذَا‬0َ‫ﻡ‬D /
َ ْ‫َ ا ِ@ی‬2‫َأی‬4‫ی‬
ٌ*ْ‫ی‬#ِ َY ‫ ﺵَْ ٍء‬ J ُ‫ آ‬Hَ+َ,  ُ ‫ً وَا‬Gَْ‫ ﺵ‬5ُ ْ‫*و‬2 ُQَ< ' َ ‫َْ َ*آُْ َو‬. ً‫َْﻡ‬Y ْ‫ل‬#ِ َْAَْ‫َ@َا"ً َأ ًِْ َوی‬, ُْْ"@J َ[ُ‫ِْ*ُوا ی‬0َ< '
‫ ِإ‬.ٌِْ+َY ' ‫)ِ َ* ِة ِإ‬Vْ‫َْ ِ ا‬#2 ‫ا‬

“Hai orang-orang yang beriman, apakah sebabnya apabila dikatakan kepada kamu:
‘Berangkatlah (untuk berperang) pada jalan Allah’, kamu merasa berat dan ingin tinggal di
tempatmu? Apakah kamu puas dengan kehidupan di dunia sebagai ganti kehidupan di
akhirat? Padahal kenikmatan hidup di dunia ini di bandingkan dengan kehidupan akhirat
hanyalah sedikit. Jika kamu tidak berangkat untuk berperang, niscaya Allah akan menyiksa
kamu dengan siksa yang pedih dan diganti-Nya kamu dengan kaum yang lain, dan kamu
tidak akan dapat memberi kemudharatan kepada-Nya sedikitpun. Allah Maha Kuasa atas
segala sesuatu.” (At-Taubah: 38-39)
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari ‘Aisyah radhiallahu 'anha dan dari Ibnu Abbas
radhiallahu 'anhuma, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Apabila kalian diminta
untuk berangkat berperang, maka berangkatlah.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
4. Apabila diperlukan atau dibutuhkan.
Misal dalam hal ini, kaum muslimin memiliki senjata berat seperti artileri, pesawat, atau
teknologi tempur lainnya, namun tidak ada yang mampu mengoperasikannya kecuali
seseorang. Maka menjadi fardhu ‘ain atas orang tersebut dengan sebab ia dibutuhkan.
Kesimpulan dari penjelasan di atas, jihad menjadi fardhu ‘ain pada empat perkara:
1. Apabila bertemu dengan musuh
2. Apabila negerinya dikepung musuh
3. Apabila diperintah oleh imam
4. Apabila diperlukan atau dibutuhkan

Pembagian Jihad
Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah membagi jihad menjadi tiga:
1. Jihadun Nafs, yaitu menundukkan jiwa dan menentangnya dalam bermaksiat kepada
Allah. Berusaha menundukkan jiwa untuk selalu berada di atas ketaatan kepada Allah dan
melawan seruan untuk bermaksiat kepada Allah. Jihad yang seperti ini tentunya akan terasa
sangat berat bagi manusia, lebih-lebih saat mereka tinggal di lingkungan yang tidak baik.
Karena lingkungan yang tidak baik akan melemahkan jiwa dan mengakibatkan manusia jatuh
ke dalam perbuatan yang diharamkan Allah, juga meninggalkan apa-apa yang
diperintahkan-Nya.
2. Jihadul Munafiqin, yaitu melawan orang-orang munafiq dengan ilmu dan bukan dengan
senjata. Karena orang-orang munafiq tidak diperangi dengan senjata. Para shahabat pernah
meminta izin kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk membunuh orang-orang
munafik yang telah diketahui kemunafikannya, kemudian beliau bersabda: “Jangan, supaya
tidak terjadi pembicaraan oleh orang, bahwa Muhammad membunuh sahabatnya.” (HR.
Muslim, dari shahabat Jabir radhiallahu 'anhu)
Jihad melawan mereka adalah dengan ilmu. Oleh karena itu wajib atas kita semua untuk
mempersenjatai diri dengan ilmu di hadapan orang-orang munafiq yang senantiasa
mendatangkan syubhat terhadap agama Allah untuk menjauhkan manusia dari jalan Allah.
Jika pada diri manusia tidak ada ilmu, maka syubhat, syahwat, dan perkara bid’ah yang
datang terus-menerus (akan bisa merusak dirinya), sementara ia tidak mampu menolak dan
membantahnya.
3. Jihadul Kuffar, yaitu memerangi orang-orang kafir yang menentang, yang memerangi
kaum muslimin, dan yang terang-terangan menyatakan kekafirannya, (dan jihad ini
dilakukan) dengan senjata. (Asy-Syarhul Mumti’, 8/7-8)
Ibnul Qayyim rahimahullah membagi jihad menjadi empat bagian:
1. Jihadun Nafs (Jihad melawan diri sendiri)
2. Jihadusy Syaithan (Jihad melawan syaithan)
3. Jihadul Kuffar (Jihad melawan kaum kuffar)
4. Jihadul Munafiqin (Jihad menghadapi kaum munafiqin)
Setiap bagian di atas, masing-masing memiliki tingkatan-tingkatan. Jihadun Nafs memiliki
empat tingkatan:
a. Berjihad melawan diri sendiri dengan cara mempelajari kebenaran dan agama yang hak, di
mana tidak ada kebahagiaan dan kemenangan dunia dan akhirat kecuali dengannya, dan bila
terluputkan darinya akan mengakibatkan sengsara.
b. Berjihad melawan diri sendiri dengan mengamalkan ilmu yang dipelajari. Karena jika
hanya sekedar ilmu tanpa amal, akan memberi mudharat kepada jiwa atau tidak akan ada
manfaat baginya.
c. Berjihad melawan diri sendiri dengan mendakwahkan ilmu yang telah dipelajari dan
diamalkannya, mengajarkan kepada orang yang belum mengetahui. Jika tidak demikian, ia
akan tergolong ke dalam orang-orang yang menyembunyikan petunjuk dan penjelasan yang
telah Allah turunkan. Dan ilmunya tidaklah bermanfaat serta tidak menyelamatkannya dari
adzab Allah Subhanahu wa Ta'ala.
d. Berjihad melawan diri sendiri dengan bersikap sabar ketika mendapatkan ujian dan
cobaan, baik saat belajar agama, beramal dan berdakwah. Barangsiapa telah
menyempurnakan empat tingkatan ini, ia akan tegolong orang-orang yang Rabbani
(pendidik). Karena para ulama Salaf sepakat bahwa seorang alim tidak berhak diberi gelar
sebagai ulama yang Rabbani, sampai ia mengetahui Al-Haq, mengamalkan serta
mengajarkannya. Barangsiapa yang berilmu, mengamalkan dan mengajarkannya, ia akan
diagungkan di hadapan para malaikat yang berada di langit.
Dalil yang menjelaskan tentang jihadun nafs ini adalah sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam dalam hadits Fudhalah bin ‘Ubaid, beliau bersabda bersabda:
“Yang disebut mujahid adalah orang yang berjihad melawan (menundukkan) dirinya sendiri
di jalan Allah.” (HR. Ahmad dan yang lain, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Muqbil
rahimahullah dalam kitab Ash-Shahihul Musnad (2/156) dan kitab Al-Jami’ Ash-Shahih
(3/184).
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Ketika jihad melawan musuh-musuh Allah Subhanahu
wa Ta'ala yang berada di luar diri sendiri (syaithan, kaum kuffar, dan munafikin) merupakan
cabang dari jihad seorang hamba untuk menundukkan dirinya dalam ketaatan kepada Allah
Subhanahu wa Ta'ala, maka jihadun nafs lebih diutamakan daripada jihad lainnya. Karena
barangsiapa yang tidak mengawali dalam berjihad melawan diri sendiri dengan melakukan
apa yang diperintahkan Allah dan menjauhi apa yang dilarang-Nya, serta memerangi diri
sendiri di jalan Allah, tidak mungkin baginya untuk dapat berjihad melawan musuh yang
datang dari luar. Bagaimana dia mampu berjihad melawan musuh dari luar, sementara musuh
yang datang dari dirinya sendiri dapat menguasai dan mengalahkannya?”
Jihadusy Syaithan, ada dua tingkatan:
a. Berjihad untuk menghalau segala sesuatu yang dilontarkan oleh syaithan kepada manusia
berupa syubhat dan keraguan yang dapat membahayakan perkara iman.
b. Berjihad untuk menghalau segala apa yang dilemparkan syaithan berupa kehendak buruk
dan syahwat. Dari dua tingkatan ini, untuk tingkatan pertama barangsiapa yang mampu
mengerjakannya akan membuahkan keyakinan. Dan tingkatan yang kedua akan membuahkan
kesabaran.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

‫ن‬
َ ُْ0ِYُْ‫َ ی‬0ِ<َ‫ی‬4ِ" ‫ن "َِ!ﻡْ*ِ َ َ  ﺹََ*ُوا َوآَُا‬
َ ْ‫و‬#ُ َْ‫ُْْ َأﺉِ ً ی‬0ِ‫َ ﻡ‬0ْ+َ[َ‫َوﺝ‬

“Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimipin-pemimpin yang memberi petunjuk
dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan mereka meyakini ayat-ayat kami.”
(As-Sajdah: 24)
Pada ayat ini Allah Subhanahu wa Ta'ala memberitakan bahwa kepemimpinan dalam agama
hanya akan diperoleh dengan kesabaran dan keyakinan. Sabar akan menolak syahwat dan
kehendak buruk, adapun keyakinan akan menolak keraguan dan syubhat.
Dalil yang menjelaskan tentang jihadusy syaithan, firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

*ِ ِْ[  ‫ب ا‬
ِ َKْ‫ْ َأﺹ‬/ِ‫ُ َُُِْا ﻡ‬9َ"ْIِ7 ُ,ْ#َ‫ُ̀وا ِإ َ ی‬#َ, 5ُ ْ‫ِ ُ@و‬a <َ ‫و‬b #ُ َ, َُْ ‫ن‬
َ َ;ْ  ‫ن ا‬
‫ِإ‬

“Sesungguhnya syaithan itu adalah musuh bagimu, maka jadikanlah ia sebagai musuh,
karena sesungguhnya syaithan itu hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi
penghuni neraka yang menyala-nyala.” (Fathir: 6)
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Perintah Allah dalam ayat ini agar menjadikan syaithan
sebagai musuh, menjadi peringatan akan adanya keharusan mencurahkan segala kemampuan
dalam memerangi syaithan, berjihad melawannya. Karena syaithan itu bagaikan musuh yang
tidak mengenal putus asa, lesu, dan lemah dalam memerangi dan menggoda seorang hamba
dalam selang beberapa nafas.” (Zaadul Ma’ad, 3/6)
Jihadul Kuffar wal Munafiqin ada empat tingkatan:
a. Berjihad dengan hati
b. Berjihad dengan lisan
c. Berjihad dengan harta
d. Berjihad dengan jiwa
Dalil yang menjelaskan tentang bagian ketiga dan keempat ini adalah firman Allah
Subhanahu wa Ta'ala:

َِْْ+َ, ْ-ُ+ْ.‫ وَا‬/


َ ِْ َِ0ُْ ‫ ا ُْ  َر وَا‬#ِ ِ‫ ﺝَه‬
2 ِ 0 ‫َ ا‬2‫َأی‬4‫ی‬

“Hai Nabi, berjihadlah melawan orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu dan bersikap
keraslah terhadap mereka.” (At-Taubah: 73)
Jihad melawan kaum kuffar lebih dikhususkan dengan tangan (kekuatan), sedangkan
melawan kaum munafiq lebih dikhususkan dengan lisan.
Bagian berikutnya, adalah jihad melawan kedzaliman, bid’ah, dan kemungkaran. Terdapat
tiga tingkatan:
a. Berjihad dengan tangan apabila mampu, jika tidak maka berpindah kepada yang
berikutnya
b. Berjihad dengan lisan, jika tidak mampu berpindah kepada yang berikutnya
c. Berjihad dengan hati
Dalil yang menjelaskan tentang bagian akhir ini adalah hadits Abu Sa’id Al-Khudri
radhiallahu 'anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa
melihat kemungkaran hendaknya ia ubah dengan tangannya. Jika tidak mampu maka dengan
lisannya dan jika tidak mampu maka dengan hati. Yang demikian itu adalah selemah-lemah
iman.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Dari semua tingkatan dalam jihad yang tersebut di atas, terkumpullah tiga belas tingkatan.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengingatkan dalam sebuah hadits yang bersumber
dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu:
“Barangsiapa yang meninggal dan belum berperang serta tidak pernah terbersit (cita-cita
untuk berperang) dalam dirinya, (maka ia) meninggal di atas satu bagian dari nifaq.” (HR.
Muslim)
Kemudian Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan, tidak sempurna jihad seseorang kecuali
dengan hijrah. Dan tidak akan ada hijrah dan jihad kecuali dengan iman. Orang-orang yang
mengharap rahmat Allah Subhanahu wa Ta'ala, mereka adalah yang mampu menegakkan tiga
hal tersebut, yaitu iman, hijrah, dan jihad.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

ٌِْ7‫َُْرٌ َر‬. 
ُ ‫ وَا‬
ِ ‫َْ َ ا‬7‫ن َر‬
َ ُْ‫ یَ*ْﺝ‬c
َ ِGَ ‫ أُو‬
ِ ‫ا‬
ِ َِْ ِ ‫ُوا‬#َ‫ هَﺝَ*ُوا َوﺝَه‬/
َ ْ‫ُا وَا ِ@ی‬0َ‫ﻡ‬D /
َ ْ‫ن ا ِ@ی‬
‫ِإ‬

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan
Allah, mereka itu mengharap rahmat Allah dan Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.” (Al-Baqarah: 218)
Sebagaimana iman merupakan kewajiban atas setiap orang, maka wajib atasnya pula untuk
melakukan dua hijrah pada setiap waktunya, yaitu hijrah kepada Allah dengan (amalan)
tauhid, ikhlas, inabah, tawakkal, khauf, raja’, mahabbah dan hijrah kepada Rasul-Nya dengan
(amalan) mutaba’ah, menjalankan perintahnya, membenarkan segala berita yang datang
darinya, dan mengedepankan perkara dan berita yang datang dari beliau atas selainnya.
Manusia yang paling sempurna di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala ialah yang
menyempurnakan seluruh tingkatan jihad di atas. Mereka berbeda-beda tingkatannya di sisi
Allah Subhanahu wa Ta'ala, sesuai dengan penempatan diri mereka terhadap tingkatan jihad
tersebut. Oleh karena itu, manusia yang paling sempurna dan mulia di sisi Allah Subhanahu
wa Ta'ala adalah penutup para Nabi dan Rasul, yaitu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam. Karena beliau telah menyempurnakan seluruh tingkatan jihad yang ada dan beliau
telah berjihad dengan jihad yang sebenar-benarnya. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam telah
melakukan jihad sejak awal diutus hingga wafatnya, baik dengan tangan, lisan dan hati serta
hartanya. (Zaadul Ma’ad, 3/9-11)
Wallahu a’lam.

1 Isyarat kepada hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dari shahabat Mu’adz bin
Jabal radhiallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Maukah aku
beritahukan kepadamu tentang pokok pangkal dari semua urusan, tiangnya dan puncaknya
yang tertinggi?” Aku berkata: “Ya, wahai Rasulullah.” Beliau bersabda: “Pokok pangkal dari
urusan ini adalah Islam, tiangnya adalah shalat, dan puncaknya yang tertinggi adalah jihad.”
(HR. At-Tirmidzi dan beliau mengatakan: “Hadits hasan shahih.”)

Silahkan mengcopy dan memperbanyak artikel ini


dengan mencantumkan sumbernya yaitu : www.asysyariah.com

You might also like