You are on page 1of 12

MAKARA, SOSIAL HUMANIORA, VOL. 10, NO.

1, JUNI 2006: 15-26

BUDAYA SENSOR-DIRI DALAM KEBEBASAN PERS DI JEPANG


Ilya Revianti Sudjono Sunarwinadi
Departemen Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,
Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia

E-mail: ilya_rs@hotmail.com

Abstract
Kebebasan pers dan kebebasan menyatakan pendapat secara formal dijamin dalam Konstitusi Jepang, sehingga
diharapkan bahwa pers dan masyarakat secara umum memiliki kebebasan dalam hubungannya dengan pemerintah.
Praktisi media Jepang merasa bahwa kebebasan itu dalam kenyataannya telah dipraktekkan, dan pasal khusus yang
menyangkut masalah kebebasan pers dalam konstitusi dipandang sebagai norma yang harus diikuti oleh pers Jepang.
Namun muncul pendapat-pendapat bahwa kebebasan pers di Jepang sesungguhnya sampai batas tertentu telah
mendapatkan pengontrolan oleh penguasa. Anggapan ini berhubungan dengan praktek “sensor-diri” yang biasanya
dikaitkan dengan pihak media Jepang. Praktek tersebut dalam kajian ini dilihat erat kaitannya dengan falsafah budaya
tradisional Jepang. Kalangan media Jepang menganggap sebagai suatu kewajiban bagi mereka untuk secara sukarela
memandang semua hal yang berhubungan dengan keluarga kerajaan Jepang merupakan hal yang sangat sensitif dan
tidak boleh disinggung. Terdapat beberapa pembatasan yang tidak dapat atau tidak patut untuk dilanggar. Pelanggaran
terhadap larangan atau pembatasan tersebut akan menyebabkan mereka dikenakan sanksi penyingkiran oleh rekan-
rekan anggota “klub kisha” atau sanksi sosial oleh publik. Kadang-kadang sensor-diri dilakukan oleh kalangan media
lebih karena kekhawatirannya terhadap pihak sayap kanan atau partai yang berkuasa.

Abstract
Freedom of the press and freedom of expression are formally guaranteed on the Constitution of Japan, therefore to be
expected that the press and people in general have their independency vis a vis the state. The Japanese media people
feel that those freedoms have been practiced, and the particular article of the constitution has been regarded as a norm
by the media. But some opinions have also emerged that freedom of the press in Japan is in fact controlled in some
ways by those in power. This notion is perhaps related to the practice of “self-censorship” that has been commonly
thought of the Japanese media. This practice is seen in this work as closely linked to Japan’s traditional cultural
philosophy. The Japan media make it as an “obligation” for themselves to voluntarily regard things related to the
imperial family as something very sensitive to be touched upon. There are limitations that cannot be breached.
Violations will mean that they will be sanctioned by other fellow members of the’ kisha kurabbu’ or socially punished
by the public. Sometimes self-censorship is implemented by the media out of their fear of right wingers or the ruling
party.

Keywords: freedom of the press, freedom of expression, press control, self-censorship, Japan press club

Pendahuluan Di Jepang, secara resmi sensor dilarang dalam


konstitusi, dan kebebasan pers sudah merupakan hal
Jepang secara umum dianggap sebagai salah satu negara yang tidak perlu dipertanyakan lagi. Campur tangan
yang memiliki pers paling liberal di Asia (Yin, 2003). terbuka pemerintah dalam media sangat jarang, dan jika
Sistem politik Jepang, yaitu demokrasi parlementer dan sampai terjadi akan mendapat protes keras masyarakat
konstitusional kerajaan, dikatakan sebagai salah satu luas maupun media. Persetujuan kabinet PM Koizumi
sistem yang paling demokratis, bahkan mungkin pada tahun 2002 terhadap RUU yang melarang
terdemokratis, di Asia. Sistem multi-partai dan oposisi “kegiatan pelaporan yang berlebihan” dan “pelanggaran
terhadap pemerintah dijalankan secara nyata, tidak privasi” oleh pers telah menimbulkan protes keras dari
sebagaimana di negara-negara Asia lainnya yang kalangan suratkabar dan lembaga penyiaran. Bahkan
mungkin hanya sekedar kosmetik belaka (Yin, 2003). Jepang dilihat sebagai bukti hidup bahwa demokrasi ala
Barat yang dibawa oleh Amerika Serikat, dapat berjalan

15
16 MAKARA, SOSIAL HUMANIORA, VOL. 10, NO. 1, JUNI 2006: 15-26

baik di Asia. Pers Jepang dikatakan sebagai yang paling kemapanan”. Kartel-kartel informasi menjamin tidak
“hidup” di Asia Timur (Yin, 2003). Mungkin anggapan adanya persaingan di antara media dalam perolehan
itu tidak salah jika dilihat dalam lingkup Asia yang informasi. Jepang, sebagaimana beberapa negara Asia
lebih luas. Secara formal legal, kebebasan pers dan lain, bukan berpegang pada motto Darwin tentang
menyatakan pendapat di Jepang dijamin di dalam ”survival of the fittest”, melainkan pada moto “survival
konstitusinya. Dalam Konstitusi negara Jepang yang of all”. Hal ini mungkin yang menyebabkan bahwa di
diberlakukan sejak 3 November 1946, khususnya dalam banyak negara Asia, iklan-iklan yang bersifat
pasal 21 disebutkan bahwa: “freedom of assembly and komparatif dilarang (Yin, 2003).
association as well as speech, press and all other forms
of expression are guaranteed. No censorship shall be Di Jepang, skandal politik high-profile yang
maintained, nor shall the secrecy of any means of bermunculan umumnya tidak dimuat dalam suratkabar
communication be violated”. harian umum, melainkan dalam mingguan non-stream.
Hal itu menyebabkan bahwa pers Jepang dikatakan
Pemahaman tentang sifat hakekat sistem pers Jepang tidak dapat bertindak sebagai “penjaga” (watchdog)
tidak dapat dilepaskan dari tinjauan tentang sistem terhadap pemerintah, melainkan lebih sebagai
ekonominya. Sekalipun sistem politik Jepang dikatakan “peliharaan” (lapdog) dari pemerintah (Kingston, dalam
bersifat demokratis, tetapi hal itu tidak serta merta Yin, 2003) . Pers dituduh gagal untuk memberikan
seiring jalan dengan pilihan mereka untuk sistem informasi kepada publik tentang kejanggalan-
ekonominya. Kapitalisme bebas dalam pengertian kejanggalan dalam industri keuangan dan korupsi dalam
sebebas-bebasnya tidak dapat diterima, sekalipun secara pemerintah. Akibatnya publik kaget pada saat
teoritis Jepang melaksanakan kapitalisme pasar bebas. menghadapi krisis keuangan dan dampak luar biasanya
Ekonomi Jepang telah sempat berkembang luar biasa, yang menerpa Asia pada tahun 1997.
bahkan menjadi kekuatan paling dominan dalam
ekonomi dunia, di bawah kapitalisme “terpimpin oleh Bagaimana keadaan tersebut setelah kurang lebih satu
negara” (state -guided capitalism). Alih-alih meregulasi dekade berselang? Jepang masa kini mempunyai
industri, pemerintah sebaliknya membantu industri masyarakat yang dikatakan jauh lebih dinamik daripada
untuk tumbuh dan bersaing dalam pasar global. sebelumnya. Dalam abad 21 Jepang, isu-isu nasional
Pemerintah dan perusahaan-perusahaan besar di Jepang yang dianggap tabu tidak lagi secara rutin dan otomatis
merupakan mitra dalam pembangunan bangsa. ”disembunyikan di bawah karpet tatami”, tetapi
Kebebasan dan hak politik tidak dapat begitu saja sebaliknya bisa menjadi topik bagi diskusi publik.
diterjemahkan ke dalam praktek liberalisme ekonomi di Pemegang kekuasaan semakin menemui kenyataan
Jepang, hal mana erat kaitannya dengan budaya Jepang bahwa mereka tidak bisa lagi imun terhadap
sendiri. pengawasan publik, dan sampai batas tertentu, dituntut
untuk memperlihatkan standar kerja yang tinggi. Orang
Dalam masyarakat budaya Timur, seperti halnya mulai menganggap privasi secara sangat serius, serta
Jepang, yang dipengaruhi oleh falsafah hidup menolak untuk menerima begitu saja apa yang
Konfusius, kekuatan negara dianggap lebih penting dikatakan pemerintah dan sebaliknya menekankan pada
daripada keuntungan perusahaan, dan kesejahteraan hak-hak sipilnya (Kingston, 2004: 309).
keluarga lebih penting daripada hak dan kemerdekaan
individu. Bagi negara seperti Jepang, yang memiliki Dinamika demokrasi di Jepang terbukti dalam hal
luas tanah dan sumber daya alam terbatas, daya tahan pemilihan gubernur independen, pelaksanaan
dan kemakmuran bangsa merupakan prioritas dalam referendum lokal untuk menentang keputusan
kehidupan nasionalnya. Pemerintah dan keluarga pemerintah, partisipasi yang lebih besar dalam NPOs,
kerajaan merupakan simbol bangsa yang harus dihargai kampanye akar-rumput bagi terciptanya pemerintahan
dan dihormati. terbuka, dan ketidak-patuhan sipil (Kingston, 2004).
Semua gerakan itu membentuk basis untuk optimisme
Tradisi budaya demikian berlawanan dengan konsep bahwa masyarakat Jepang tidaklah se-apatis atau tidak-
Barat tentang peran media sebagai ”penjaga” peduli sebagaimana yang sering digambarkan dalam
(watchdog). Di Jepang, media memelihara hubungan pers.
baik dan nyaman dengan pemerintah dan perusahaan-
perusahaan besar melalui sistem ”kisha kurabbu” (press Dalam perkembangan itu, media Jepang diharapkan
club) atau ”kartel informasi”, yang terdiri dari klub pers, menjadi pendukung bagi keterbukaan informasi,
asosiasi industri dan konglomerasi media. Klub-klub mendorong tindakan masyarakat, mengungkapkan
pers menyalurkan informasi dari lembaga-lembaga adanya penyalah-gunaan, dan memberikan fasilitasi
pemerintah kepada organisasi-organisasi media. Sistem bagi pemantauan terhadap penguasa. Semenjak
ini dapat menghambat pelaporan bebas dan kegigihan keterbukaan informasi menjadi suatu realita, pers telah
kerja jurnalisme, dan selanjutnya mengakibatkan menjalankan peranannya yang vital dan positif. Suatu
”keseragaman isi” dan ”gaya jurnalisme pro- hal yang mengejutkan adalah bahwa peradilan juga
MAKARA, SOSIAL HUMANIORA, VOL. 10, NO. 1, JUNI 2006: 15-26 17

telah mendukung gerakan keterbukaan informasi Freeman mengatakan bahwa ada tiga institusi kunci
tersebut. Selain itu, beberapa politisi berhasil yang berperan dalam proses kolaboratif manajemen-
memenangkan pemilihan dengan cara mendukung berita di Jepang, yaitu: klub-klub kisha (pers), industri
pemerintahan yang terbuka (Kingston, 2004 : 309). suratkabar kyokai (asosiasi dagang), dan keiretsu media
(kelompok-kelompok bisnis). Yang paling penting
Mitos dan tabu yang berlaku di Jepang telah mengalami dalam proses kartelisasi itu adalah klub-klub pers.
perubahan dalam beberapa tahun belakangan. Isu-isu Mereka yang menentukan hubungan dasar yang terjalin
yang tak pernah terungkap sebelumnya, dalam antara para jurnalis dan sumber beritanya, yaitu para
perkembangan terakhir telah menjadi obyek bagi birokrat, politisi, pemimpin bisnis, polisi.
peliputan media dan debat publik yang hangat. Misalnya
diskursus dalam media tentang Jugun Ianfu (wanita Salah satu faktor yang membuat klub-klub kisha itu
penghibur) pada PD II, juga tentang koneksi antara sangat berpengaruh adalah kekuatannya yang sangat
yakuza, politisi dan birokrat, telah secara tetap dan besar untuk menembus atau mencakup hampir semua
sering diberitakan. Pandangan tentang keluarga yang bisnis besar, organisasi politik lokal maupun nasional
stabil dan harmonis telah mulai tersingkirkan oleh di seluruh Jepang. Sebagai anggota dari klub-klub pers,
pemberitaan yang meluas tentang kekerasan dalam para jurnalis dari media ‘arus atas’ yang kuat
rumah tangga, angka rata-rata tentang perceraian atau mengembangkan ikatan-ikatan erat dengan sumber-
bunuh diri yang semakin meningkat, pelacuran remaja, sumber berita. Dari sumber-sumber berita tersebut
tantangan yang semakin meningkat terhadap bias mereka mendapatkan bahan untuk berita dan secara
patriarkal dalam perlakuan terhadap peranan jender. kolektif mengambil keputusan tentang bagaimana
Korporasi Jepang juga tidak lagi bisa menikmati informasi itu akan dipresentasikan. Dalam keadaan itu,
kepercayaan dan loyalitas masyarakat sebagaimana institusi media nasional yang besar dan kuat membatasi
sebelumnya. kemungkinan diperhatikannya kegiatan dan
pengambilan kebijakan yang terjadi pada tingkat
Krisis legitimasi pemerintah sebagai akibat dari periferi.
berbagai kejadian skandal telah menjadi semacam
katalisator bagi terjadinya reformasi. Kemunduran Ketiga institusi kunci tersebut - yaitu kisha, kyokai,
ekonomi, keputus-asaan sosial, korupsi sistemik, dan keiretsu - saling memperkuat satu sama lain, yang pada
masyarakat yang menua (aging society) seringkali akhirnya sangat mempengaruhi pembentukan sifat
dituduh sebagai bukti yang menunjang bagi pelaporan berita dan peranan media dalam proses
kemerosotan Jepang. Kesemua hal yang terjadi itu, yang politik. Sistem kartel yang ketat telah membuat media
menciptakan suasana krisis, penting artinya atau ‘arus atas’ di Jepang mengurangi, bukannya
menyumbang bagi transformasi ”tenang” yang sedang meningkatkan, komunikasi publik.
berjalan di Jepang. (Kingston, 2004 : 310-311).
Graber, sebagaimana dikutip oleh Freeman (2003),
Masalah Penelitian menyebutkan ada lima fungsi dasar dari media yang
Walaupun Jepang dipandang secara umum sebagai demokratik, yaitu sebagai: (1) tempat bagi pasar
negara yang mengedepankan demokrasi dengan sedikit gagasan, (2) sumber bagi informasi politik, (3) ‘suara’
saja pembatasan formal terhadap kebebasan menyatakan bagi opini publik, (4) penjaga hak-hak minoritas, dan
pendapat, ternyata sebagaimana telah dibahas (5) pengawas bagi politisi yang berbuat keliru.
sebelumnya, telah lama berkembang di dalamnya suatu
sistem media dimana akses kepada sumber-sumber Bagaimana fungsi dasar pers demokratik itu jika
berita dan informasi resmi hanya terbatas pada sejumlah diterapkan pada kondisi institusi media di Jepang?
kecil media, yaitu surat kabar dan stasiun penyiaran Freeman (2003) mendeskripsikan karakteristik
nasional yang memiliki hubungan-hubungan semacam pelaporan oleh media di Jepang sebagai berikut: (1)
“kartel informasi” di antara mereka sendiri. Yang ketergantungan yang sangat pada fakta atau informasi
dimaksud dengan “kartel” ini adalah aturan-aturan dan dari sumber-sumber resmi, (2) tidak adanya fungsi audit
hubungan-hubungan terlembaga yang menjadi pedoman politik, (3) peranan ‘penetapan agenda’ (agenda setting)
bagi perilaku pers terhadap sumber dan terhadap sesama yang terbatas, (4) marginalisasi sumber informasi
mereka, serta menjadi pembatas terhadap macam berita alternatif, dan (5) homogenisasi berita dan karenanya
yang dapat dilaporkan, jumlah dan siapa yang bisa opini publik secara menyeluruh. Selanjutnya analisisnya
menjadi reporter (Freeman, 2003). Dengan adanya mengungkapkan bagaimana informasi (dan akibatnya
”kartel informasi” ini, terjadi semacam ”monopoli” pilihan-pilihan politik) telah secara sangat ketat
dalam hal pemberian informasi kepada masyarakat, dikontrol di Jepang untuk waktu yang cukup lama.
yaitu bahwa hanya informasi yang sudah mendapat Publik tidak selalu memperoleh “semua berita yang
”restu” dari lembaga-lembaga besar yang tergabung memang layak untuk dicetak”. Sekalipun berita dan
dalam ”kisha kurabbu” itulah yang ”sah” untuk informasi politik disampaikan kepada publik, tetapi
disampaikan kepada masyarakat. penyampaiannya itu dilakukan secara sangat dibatasi,
18 MAKARA, SOSIAL HUMANIORA, VOL. 10, NO. 1, JUNI 2006: 15-26

sehingga mempersempit kemungkinan penyelidikan politik secara filsafati umum, namun tidak
masyarakat ke dalam proses politik. memperbolehkan kritik langsung terhadap pemimpin-
pemimpin politik yang sedang berkuasa, maupun
Masalahnya tidak sekedar sejauhmana media, melalui kebijaksanaan dan proyek pemerintahan yang
fungsi agenda-setting-nya, merumuskan ‘agenda’ dilaksanakannya, apalagi upaya-upaya terbuka untuk
masyarakat secara keseluruhan. Suatu hal yang sangat menggulingkan kekekuasaan. Konsep pers Otoriter
penting untuk dicatat, khususnya dalam kasus Jepang, didasarkan pada sejarah dan falsafah abad 16 dan 17 di
adalah lebih pada bagaimana negara dapat secara Inggris tentang kekuasaan absolut kerajaan.
eksplisit atau implisit merumuskan dan menetapkan
agenda media dan selanjutnya di dalam prosesnya Sebaliknya, teori Libertarian berpandangan bahwa
membatasi, bahkan mengarahkan, medan perwacanaan orang adalah makhluk yang rasional dan memiliki
dari masyarakat sipil. Penentuan agenda politik dan tujuan hidupnya sendiri. Kebahagiaan dan kesejahteraan
sosial berada di tangan unsur pokok atau sentral dari individu merupakan tujuan dari masyarakat. Masa
sistem politik, bukan pada pinggir batas lingkaran pencerahan di Eropa telah memberi dorongan pada
sistem tersebut (periphery). Dengan kata lain, publik pencetusan konsep libertarian, dengan tuntutannya
menggantungkan diri semata-mata pada media “arus untuk membebaskan manusia dari segala pembatasan di
atas” (mainstream) untuk mendapatkan informasi, luar dirinya untuk pencapaian tujuannya sendiri (Siebert
analisis, dan interpretasi tentang dunia politik dan et al, 1954). John Milton, John Stuart Mill dan Thomas
sosial. Jefferson merupakan pemikir-pemikir besar di belakang
konsep ini. Fungsi dari media libertarian adalah untuk
Pendapat tentang pers atau media Jepang masa kini memberi informasi dan hiburan, serta bertindak sebagai
yang dalam kenyataannya kebebasannya terbatas, penjaga (watchdog) terhadap pemerintah. Media
namun di lain pihak pada saat yang bersamaan dalam libertarian kebanyakan milik swasta. Kontrol terhadap
masyarakat juga sedang berlangsung transformasi sosial media Libertarian kebanyakan dilakukan melalui proses
politik ke arah keterbukaan yang lebih besar, membawa “pembenaran-sendiri” (self-righting process) dan
pada pertanyaan pokok dari studi ini, yaitu : bagaimana pengadilan, sekalipun perizinan, sensor atau
kalangan pelaku media Jepang menyikapi kedua perampasan materi penghinaan dan penghentian
keadaan tersebut dalam menjalankan fungsi dan publikasi suratkabar juga kadang-kadang digunakan.
peranannya dalam masyarakat? Bagaimana pula Sensor sukarela juga kadang-kadang dipraktekkan,
keadaan tersebut dilihat dari segi kacamata pengamat sementara hak untuk mendapat akses kepada sumber-
masalah media Jepang sendiri? sumber pemerintahan pun dituntut secara aktif.

Landasan Pemikiran Teoritik Teori Tanggung Jawab Sosial merupakan


Suatu karya klasik dalam bidang teori pers selama ini, perkembangan lebih lanjut dari teori Libertarian dan
yaitu Four Theories of the Press, karangan Siebert, pertama kali dicetuskan pada abad 20 di Amerika
Peterson dan Schramm (1956) telah menciptakan Serikat oleh Komisi Kebebasan Pers, yang menekankan
paradigma dominan dalam menganalisis sistem-sistem pada tanggung jawab sosial pers di samping kebebasan
media di dunia, khususnya dalam menilai tingkat yang dimilikinya. Di samping fungsinya untuk
kebebasan pers di berbagai negara dan wilayah dunia. memberikan informasi, menghibur dan menjual, pers
Sekalipun kemudian muncul teori-teori pers berkewajiban juga untuk “mengangkat konflik ke ranah
sesudahnya, seperti jurnalisme pembangunan, media diskusi” (Severin dan Tankard, 2001). Kontrol terhadap
revolusioner dan media demokratik-partisipan, tetapi pers kebanyakan dalam bentuk pendapat publik,
teori-teori itu hanya merupakan pelengkap dari empat tindakan konsumen dan etika profesi. Perbedaan pokok
teori dasar yang sudah mapan sebelumnya (McQuail, antara teori Libertarian dan teori Tanggung Jawab
2000). Sosial adalah bahwa teori Tanggung Jawab Sosial
menyarankan perlunya media dijaga oleh suatu lembaga
Sistem otoriter mengatur media untuk mendukung dan agar bekerja secara bertanggung jawab, apabila mereka
memajukan kebijakan pemerintah demi pencapaian tidak melaksanakannya secara sukarela.
tujuannya (Siebert, et al, 1956). Masalah yang paling
utama dalam sistem ini adalah membuat serta Teori Komunis (Soviet) berlandaskan pada ideologi
melaksanakan pengawasan efektif terhadap media, Marxis dan menilai tinggi kesatuan, yaitu kesatuan kelas
terutama yang dimiliki swasta. Mekanisme kontrol yang pekerja dan kesatuan partai. Demi kesatuan, hanya ada
dijalankan antara lain sistem perizinan, sensor oleh satu posisi yang benar dan hanya satu kebenaran, yakni
pemerintah, pajak khusus, undang-undang dan kebenaran absolut. Peranan dari pers adalah untuk
peraturan, yang tujuannya untuk mempertahankan menginterpretasikan doktrin dan untuk melaksanakan
bangsa dan negara dari pengkhianatan dan makar. kebijakan-kebijakan partai. Media dalam masyarakat
Menurut Siebert et al, penganut sistem otoriter tidak komunis dimiliki negara dan harus menjadi
mempersoalkan atau menolak diskusi tentang sistem “propagandis kolektif, pengobar semangat kolektif---
MAKARA, SOSIAL HUMANIORA, VOL. 10, NO. 1, JUNI 2006: 15-26 19

dan penata kolektif. Motif keuntungan dihilangkan dari posisi informan sendiri, khususnya tentang klasifikasi
kegiatan penerbitan dan penyiaran. Pemerintah memiliki atau kategorisasi yang mereka gunakan. Penggunaan
suatu divisi khusus untuk penyensoran pers. Cara klasifikasi oleh informan itu diasumsikan terkondisikan
pengontrolan lain adalah penunjukan editor, arahan- secara budaya, sehingga penemuan tentang pola pikiran
arahan yang banyak tentang isi media, tajuk dan kritik informan memberikan suatu kunci penting ke arah
media. pemahaman budaya, subbudaya atau kelompoknya.

Keempat teori pers tradisional tersebut kiranya masih Sekalipun tidak digunakan daftar pertanyaan secara
dapat digunakan sebagai pisau analisis bagi kajian ketat yang dipersiapkan sebelumnya dalam wawancara
tentang pers suatu negara, seperti Jepang dalam studi tidak terstruktur (Berger, 2000), topik penelitian tetap
ini. Dalam perjalanannya, pembagian keempat teori itu menjadi fokus acuan agar tidak terjadi penyimpangan
mendapatkan kritikan, bahkan ada yang menyarankan dari masalah. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan
pendapat bahwa teori-teori dominan itu tidak dapat pada umumnya berkisar mengenai persepsi dan
secara memuaskan mendeskripsikan realitas media di pendapat informan mengenai: kebebasan pers, regulasi
berbagai negara. Studi ini juga dilakukan dengan media, tanggung jawab sosial media, sensor-diri, sistem
memperhatikan dasar pemikiran demikian. klub pers Kisha dan akuntabilitas media.

Metode Penelitian Jumlah informan tidak ditentukan sebelum penelitian


lapangan dimulai, karena tujuan penelitian adalah untuk
Penelitian pertama-tama dilakukan melalui studi memperoleh informasi sebanyak-banyaknya sepanjang
literatur, terutama yang berkenaan dengan masalah belum saturated, atau tidak ada perubahan maupun
demokrasi, media (massa), kebebasan berekspresi dan variasi lagi terhadap jawaban-jawaban dari informan.
informasi serta kebebasan pers, tanggung jawab dan Jawaban-jawaban tersebut sejauh mungkin
akuntabilitas media, dan sensor-diri (self-censorship), dikategorisasikan ke dalam pembagian besar: pendapat
baik secara umum di negara-negara penganut paham pelaku media dan pendapat pengamat media..
demokrasi, maupun secara khusus di Jepang. Semua itu
merupakan data sekunder bagi penelitian, yakni bahan- Hasil dan Pembahasan
bahan yang diperoleh melalui rujukan pustaka, baik
yang dilakukan di Tokyo (Jepang) maupun di Jakarta. Kebebasan Pers dan Menyatakan Pendapat
Anggapan umum yang dimiliki para pelaku media -
Hasil wawancara mendalam dengan berbagai paling tidak oleh pers mainstream - adalah bahwa hak
narasumber, yaitu akademisi atau peminat masalah kebebasan pers, dan dengan sendirinya
media di Jepang, serta pekerja di bidang industri media, independensinya, telah dipraktekkan di Jepang selama
kemudian diperlakukan sebagai data primer bagi ini, bahkan telah dianggap sebagai norma yang harus
penelitian ini. Wawancara dilakukan di tempat dijalankan. Yang termasuk dalam pers mainstream di
pekerjaan masing-masing narasumber di Tokyo dan Jepang antara lain adalah: 10 (sepuluh) suratkabar
Osaka (Jepang), sehingga peneliti dapat lebih harian puncak berdasarkan total tirasnya, sebagaimana
memahami isi perkataan dan pandangan masing-masing terlihat dalam Tabel 1.
narasumber di dalam konteks lingkungannya secara
langsung.
Tabel 1. Top Ten Daily Newspapers (2000)
Kegiatan penelitian secara keseluruhan dilakukan sejak
awal 2005 di Jakarta, namun wawancara mendalam baru Sirkulasi
dilakukan di Tokyo, ketika peneliti mendapat Yomiuri Shimbun 14.407.000
kesempatan untuk berkunjung ke Jepang sebagai
Asahi Shimbun 12.393.000
peneliti tamu pada Institute of Social Science (Shaken),
University of Tokyo, dengan dana dari JICA (Japan MainichiShimbun 5.665.000
International Cooperation Agency). Nihon Keizai Shimbun 4.703.000
Chunichi Shimbun 4.635.000
Kegiatan wawancara dilakukan secara tidak terstruktur Sankai Shimbun 2.905.000
(Berger, 2000). Berger membagi jenis wawancara ke Hokkaido Shimbun 1.969.000
dalam: wawancara tidak formal, wawancara tidak Shizuoka Shimbun 1.456.000
terstruktur, wawancara semi terstruktur dan wawancara
Nishi-Nippon Shimbun 1.029.000
terstruktur. Dalam wawancara tidak terstruktur, peneliti
tetap terfokus dan berupaya mendapatkan informasi, Kyoto Shimbun 824.000
tetapi secara relatif tidak atau sedikit saja melakukan Sumber: Japan Press, Media, TV,Radio, Newspaper forum
kontrol terhadap jawaban-jawaban informan. Jawaban- dalam http://www.pressreference.com/Gu-Ku/
Japan.html
jawaban sepenuhnya diserahkan atau diletakkan pada
20 MAKARA, SOSIAL HUMANIORA, VOL. 10, NO. 1, JUNI 2006: 15-26

Sebaliknya, akademisi atau pengamat media Jepang Ketergantungan NHK itu terutama karena anggarannya
berpendapat bahwa sekalipun telah ada jaminan akan ditentukan sepenuhnya oleh Parlemen.
kebebasan pers dan kebebasan berekspresi, media di
Jepang pada dasarnya bersifat “konservatif”, yakni Kasus lainnya yang berkaitan dengan kebebasan pers di
berperan di dalam kondisi adanya pengontrolan oleh Jepang adalah peristiwa yang baru saja terjadi, ketika
pemerintah. Kementerian Pertahanan melakukan investigasi
terhadap seorang pejabat pemerintah yang memberikan
Dalam bahasan tentang kebebasan pers tersebut informasi kepada seorang wartawan. Isu menjadi
selanjutnya ternyata dari hasil penelitian mengemuka headline di media. Masalahnya dalam Self-defence Law,
adanya kenyataan yang harus dihadapi pers Jepang dinyatakan bahwa jurnalis bisa juga dihukum, tidak saja
sehari-hari bahwa kebebasan itu tidak dapat sepenuhnya pejabat yang membocorkan. Hal tersebut dapat dilihat
direalisasikan, karena ada saja upaya-upaya dari pihak sebagai pelanggaran terhadap kebebasan pers.
yang memiliki kekuasaan untuk membatasinya, baik
yang bersifat politis, sosial maupun kebudayaan. Salah Setelah Perang Dunia II muncul UU Penyiaran pada
satu perwujudannya pada akhirnya berupa konvensi tahun 1950 di Jepang, yang pada dasarnya digunakan
yang termanifestasi dalam bentuk sensor-diri (self- untuk tetap mempertahankan pengontrolan atas
censorship). frekuensi untuk penyiaran di dalam kekuasan birokrasi
pemerintah. Adanya kenyataan dalam sejarah bahwa
Menurut pelaku media Jepang, telah terjadi beberapa terdapat pengontrolan oleh MPT (Ministry of Posts and
kasus di mana menteri dari kabinet tertentu atau partai Telecommunications) dalam sistem lisensi atau
yang sedang berkuasa melakukan upaya untuk perizinan, serta keinginan dari para birokrat untuk
mempengaruhi atau turut campur menentukan isi membangun hubungan kolusif dengan para eksekutif
(content) media demi kepentingannya sendiri, bukan NHK dan jaringan komersial melalui bermacam-macam
kepentingan publik. Suatu kasus yang belum lama cara, telah mencerminkan anggapan tentang “negara
terjadi adalah kasus pemberitaan penculikan orang tersentralisasi yang kuat” yang mencirikan Jepang
Jepang oleh Korea Utara. Seorang menteri dari sampai akhir-akhir ini.
pemerintahan PM Shinzo Abe sekarang ini telah dengan
sangat berkeras meminta kepada NHK sebagai lembaga Tentang isu sentralisasi di Jepang ini, telah banyak
penyiaran publik (hal tersebut tidak dapat dilakukan sekali referensi yang menunjukkan bahwa sekalipun
terhadap lembaga penyiaran swasta) untuk Jepang secara formal tidak menganut sistem sentralisasi,
mengutamakan pemberitaan mengenai kasus itu, dengan melainkan desentralisasi - khususnya dalam konteks
maksud untuk membentuk opini publik yang pemerintahan daerah - namun dalam kenyataannya
mendukung kebijakan Abe tentang masalah tersebut. langkah-langkah kebijakan yang diambil tidak sedikit
NHK pada akhirnya memang memberitakan masalah yang mengarah pada sentralisasi. Hal ini terjadi tidak
tersebut, tetapi bukan karena adanya permintaan khusus saja dalam bidang politik, tetapi juga dalam bidang-
dari menteri (“tidak mau kalau diperintah”), melainkan bidang lain di Jepang, seperti sektor nonprofit
karena keinginan sendiri. NHK sebisanya berusaha (Salamon dan Anheier, 1994), industri pertambangan
untuk tetap independen, tetapi kadang-kadang campur (Tsutsumi, 2000), pemerintahan urban-lokal (Katayama,
tangan datang dari pemerintah, yang tidak memiliki 2002 dalam http://www.japantoday.com/jp/kuchikomi/199),
saluran komunikasi lainnya, berhubung swasta tidak intellegensi dan keamanan (http://www.answers.com/
akan mau menuruti perintah. topic/japan-intelligence-and-security).

Walaupun NHK sebagai lembaga penyiaran publik Dalam bidang pendidikan, dikatakan bahwa Jepang
(public service broadcasting) terkemuka dikatakan telah menggunakan dua strategi, yaitu sentralisasi dan
bersifat independen, tetapi masih dirasakan dan diakui desentralisasi untuk memajukan tujuan-tujuan
juga oleh pelaku media adanya upaya-upaya untuk nasionalnya. Pada akhir abad 19 Jepang melakukan
mempengaruhi kebebasannya. Memang dana semacam sentralisasi pada institusi-institusinya, termasuk edukasi,
subsidi yang berasal dari pemerintah bagi NHK sangat agar dapat mengejar kemajuan negara-negara industri
kecil dan hanya ditujukan bagi pembiayaan program- Barat. Akan tetapi, baru sejak akhir abad 20, untuk
program internasional saja (NHK World). Itupun hanya mempertahankan posisi kompetitifnya sebagai
sebagian kecilnya saja dari keseluruhan biaya untuk pemimpin dunia alam proses globalisasi ekonomi,
program internasional. Akan tetapi, mau dikatakan kepemimpinan nasional mulai melembagakan
independen sepenuhnya sulit, karena pada kenyataannya serangkaian perubahan untuk menjalankan deregulasi
NHK tergantung pada Diet (Parlemen) dan tentunya dan desentralisasi sistem pendidikannya (Hanson, 1999)
partai yang paling dominan di dalamnya. Seperti
diketahui, saat ini LDP yang masih memegang tampuk Dari segi regulasi penyiaran, dalam tahun 1980 an,
kekuasaan sebagai partai terbesar di Parlemen. teknologi penyiaran yang baru waktu itu, seperti kabel
dan satelit, memutus macam perlindungan yang
MAKARA, SOSIAL HUMANIORA, VOL. 10, NO. 1, JUNI 2006: 15-26 21

sebelumnya diberikan oleh para birokrat MPT dan keberadaan dewan tersebut di masa lalu tidak disadari
regulasi yang berlaku kepada stasiun siaran terrestrial. oleh kalangan media penyiaran hingga saat ini. Saat ini
MPT untuk pertama kalinya terpaksa mengalihkan arah Somusho sedang memikirkan tentang perubahan
dari kebijakannya, yaitu dari tujuan administratif terhadap Undang-undang Penyiaran, khususnya tentang
menjadi orientasi pada industri. Namun langkah kerangka hukum bagi stasiun-stasiun TV untuk meralat
liberalisasi tersebut dapat dikatakan tidak menyumbang penyiarannya. Adanya peraturan pemerintah tentang
apapun kepada usaha untuk mengurangi pengontrolan media, sementara pers sendiri tidak mengetahui atau
dan campur tangan tidak langsung dari birokrasi menyadari akan keberadaannya, pada satu segi dapat
terhadap isi siaran. Sebaliknya, revisi tersebut dengan diartikan bahwa media Jepang menjalankan peranan dan
jelas menunjukkan keberhasilan menteri untuk fungsinya berdasarkan keyakinannya sendiri yang sudah
meregulasi kembali isi siaran. terinternalisasikan, tanpa ”bimbingan” dari pihak lain
(pemerintah). Kesan yang dapat ditarik dari kalangan
Sekalipun demikian, telah terjadi perubahan-perubahan pers atau media Jepang adalah mereka yakin bahwa apa
pada program berita dan “liputan masa kini” pada tahun yang dilakukannya adalah sesuai dengan ekspektasi
1980 an itu yang menandakan suatu perkembangan norma-norma masyarakat tentang apa yang boleh atau
positif. Program-program itu tidak sebagaimana tidak boleh dijadikan isi media.
lazimnya melewati sistem klub pers (reporters’ clubs),
melainkan sebaliknya melakukan dorongan untuk Contoh yang dikemukakan salah seorang pelaku media
partisipasi publik langsung dalam perdebatan politik dan yang diwawancarai, adalah bahwa di dunia Barat
sosial. sekarang ini masalah homoseksualitas sudah merupakan
topik yang lazim dibahas dalam media, sementara orang
Perkembangan selanjutnya dari teknologi penyiaran Jepang tidak bisa menerima hal tersebut, atau menolak
dalam tahun 1990-an pada akhirnya memaksa MPT untuk mendengar hal semacam itu dibicarakan dalam
untuk menyusun suatu Undang-undang Penyiaran yang media. Pers Jepang memahami hal tersebut.
baru. Namun, rekomendasi-rekomendasi yang
dimasukkan dalam rancangan undang-undang tersebut Contoh lainnya adalah mengenai pemberitaan orang-
menegaskan tujuan kebijakan ekonomi dan industri orang Jepang yang diculik oleh Korea Utara pada masa
yang sejalan dengan strategi korporat, yang lebih peduli perang dulu, dan sampai sekarang masih belum
tentang masalah imaji dan pengemasan informasi dikembalikan ke Jepang. Orang Jepang dapat menerima
daripada pluralisme dan diversitas. pemberitaan tersebut sebagai bagian dari agenda berita,
karena mereka memang bersimpati kepada keluarga
Jika undang-undang tentang penyiaran di Jepang tidak yang diculik. Padahal pemberitaan tentang masalah
atau belum dapat memberikan suatu kerangka hukum Korea Utara itu sendiri sesungguhnya merupakan upaya
yang memberikan jaminan akan terciptanya suatu sistem campur tangan pemerintah dalam menentukan isi media,
di mana semua pihak tanpa terkecuali memiliki akses agar kebijakannya mendapatkan tempat di hati
yang sama terhadap frekuensi dan fungsi independensi masyarakat.
media sebagai suatu ranah publik, maka dapat dikatakan
bahwa dominasi pemerintah (MPT) terhadap kebijakan Pengamat media di Jepang yang menjadi informan
penyiaran dan kontrolnya terhadap isi siaran akan penelitian ini menyatakan bahwa masyarakat sipil
menyebabkan sumbangan media terhadap penguatan Jepang ”lemah” dibandingkan di Barat, karena nilai
masyarakat sipil Jepang tetap sedikit atau tidak berarti. individualitas tidak kuat. Orang Jepang, menurut
pendapatnya, pada dasarnya tidak bisa atau tidak mau
Tentang keberadaan undang-undang itupun tidak terlalu menerima pendapat minoritas. Contoh yang
disadari oleh pelaku media sendiri. Namun pelaku dikemukakannya, pemimpin agama Aum Shinrikyo,
media memperkirakan bahwa undang-undang itu masih yang sudah diadili dan dikenai hukuman mati, serta
belum mencakup perkembangan media saat ini, oleh merta dianggap oleh pendapat umum sebagai orang
karena itu perlu diubah atau disesuaikan. Misalnya yang jahat. Ketidak-senangan orang terhadap penjahat itu
perlu dimasukkan adalah pengaturan tentang internet, juga diberlakukan kepada keluarganya, yang dianggap
program penyiaran ke luar negeri, dan biaya untuk sama saja jahatnya. Contoh itu menunjukkan, dikatakan
siaran melalui handheld technology, yang merupakan oleh informan itu selanjutnya, bahwa orang Jepang
konvergensi antara penyiaran tradisional dan biasanya membagi atau membuat klasifikasi atau
telekomunikasi. kategorisasi hal-hal di dunia antara ”hitam dan putih”
saja, tidak ada yang ditengah-tengah di antara keduanya.
Di Jepang, peran sebagai regulator saat ini adalah Semua akan secara kolektif menganggap sesuatu
Somusho (Kementerian Dalam Negeri dan Informasi). sebagai ”hitam” (jahat) atau sebaliknya ”putih” (baik).
Dahulu pernah dibentuk Radio Regulatory Council
(Commission), tetapi pada tahun 1980-an dibubarkan Cara penilaian demikian juga dilakukan oleh media.
dan fungsinya diambil alih oleh pemerintah. Karenanya Seorang bekas penganut Aum, Mori Tatsuya, membuat
22 MAKARA, SOSIAL HUMANIORA, VOL. 10, NO. 1, JUNI 2006: 15-26

suatu film dokumenter, namun semua lembaga Sekali lagi dalam media saat itu, demikian kata
penyiaran televisi di Jepang tidak ada yang mau informan pengamat media, isinya adalah antara ”hitam
menyiarkan, karena dia dianggap sebagai manusia jahat. dan putih”, yaitu antara ”swastanisasi atau
Demikian juga semua simpatisannya dituduh sebagai nonswastanisasi”. Partai-partai lain menjadi
orang jahat. tersingkirkan dari pemberitaan media, khususnya
televisi. Sesungguhnya ada masalah-masalah lain yang
Pengamat media Jepang yang diwawancarai sendiri lebih penting daripada swastanisasi kantor pos, tetapi
berpendapat bahwa sebaiknya orang Jepang mau semua orang melihat masalah itulah yang paling penting
menerima perbedaan pendapat dari kelompok minoritas. saat itu. Kasus ”Teater Koizumi” menjadi hal yang
Demikian juga seharusnya media. Namun dalam sangat menarik untuk diteliti, dan referensi dalam
kenyataannya, baik masyarakat maupun media bahasa Jepang sudah banyak mengenai hal tersebut.
mengikuti mayoritas. Misalnya, dalam hal pemberitaan Karena kepiawaian Koizumi menggunakan media, maka
isu keluarga kaisar, Korea Utara, atau Perang Dunia II. menurut pengamat media, media yang seharusnya netral
Dalam hal yang terakhir, masih ada orang Jepang pada saat itu menjadi terbawa untuk menjalankan apa
sekarang ini yang membenarkan penjajahan Jepang di yang biasanya disebut dalam studi media sebagai
negara-negara lain, karena misi militer Jepang pada ”agenda setting”.
hakekatnya untuk kepentingan masyarakat Asia.
Internet, menurut seorang pengamat media, sebenarnya
Diskusi atau diskursus memang dapat dilaksanakan bisa menjadi ranah interaksi secara bebas dan hal itu
dalam media dan macam-macam idea dipertukarkan bukannya tidak pernah dicoba oleh sebagian orang
dalam program-progam diskusi dalam televisi. Akan Jepang. Namun yang terjadi kemudian adalah, pendapat
tetapi, semua sudah dibatasi. Banyak pendapat yang berbeda dari mayoritas yang dicoba untuk disampaikan
dapat dilontarkan, termasuk dari kelompok politik ”kiri” melalui ”media baru” internet ternyata mendapat
dan ”kanan”, bahkan dari partai Komunis, tetapi untuk serangan bertubi-tubi dari pelbagai penjuru masyarakat
membahas masalah sistem kekaisaran, batasan tetap yang berjumlah sampai ribuan secara bersama-sama,
harus diikuti. Gambaran yang ada pada pengamat media sehingga orang-orang bersangkutan merasa tidak tahan
dalam penelitian ini adalah kalau seseorang mau dan kebiasaan itu menjadi tidak bisa hidup subur. Hal
dikatakan bagus dan kemudian terkenal, maka ia mau tersebut terjadi, menurut analisis pengamat media tadi,
tidak mau harus mengikuti batasan-batasan itu. karena sebagian orang Jepang tidak menginginkan
Sebaliknya, menurut kata-kata pengamat media tersebut kebebasan, dan sebaliknya secara kultural lebih
selanjutnya, orang-orang yang mau mempunyai idea mengidamkan atau menghargai hubungan yang
tentang kebebasan, tidak mungkin muncul di televisi. harmonis. Dalam hal ini masyarakat Jepang lebih
bersifat kolektif. Masyarakat Jepang secara relatif masih
Contoh yang dapat dikemukakan adalah ketika dapat dikatakan homogen, sekalipun dalam kenyataan
pemilihan umum di Jepang diadakan pada tahun 2005. terdiri dari banyak etnik di dalamnya, seperti Ainu dan
Saat itu, yaitu ketika kekuasaan berada di bawah keturunan Korea.
pimpinan Perdana Menteri Koizumi, suatu topik hangat
yang diluncurkan di media adalah mengenai Di samping itu, serangan yang banyak bertubi-tubi
swastanisasi kantor pos, yang tadinya milik negara tersebut dilontarkan dengan kata-kata yang kadang-
(Morse, 2005). Topik itu menjadi suatu isu yang besar kadang tidak baik dan kasar. Misalnya dalam masalah
karena semua media ikut serta dalam pewacanaannya Yasukuni Jinja, banyak pendapat yang pro dan kontra.
dan pada akhirnya Koizumi mengalami kemenangan Banyak kata-kata makian yang tidak layak didengar,
besar. Analisis pengamat media Jepang yang muncul yang ditujukan untuk menghina orang Korea. Di
dari kasus tersebut adalah bahwa melalui media, orang televisi, memang ada larangan mengeluarkan kata-kata
Jepang yang ”relatif satu” mudah untuk diarahkan. penghinaan, tetapi larangan tersebut tidak ada untuk
Sekalipun banyak stasiun-stasiun lokal di Jepang, tetapi internet. Akibatnya, orang yang awalnya ingin
kebanyakan isi programnya berasal dari Tokyo, menggunakan kebebasannya berpendapat melalui
ditambah lagi dengan kenyataan bahwa NHK dan empat internet, dan pendapatnya itu mungkin tidak sejalan
jaringan besar televisi masuk ke semua daerah di dengan pendapat umum, terpaksa mengurungkan
Jepang. Maka isu yang diberitakan atau disiarkan secara niatnya karena takut atau segan akan menerima berbagai
besar-besaran oleh berbagai media besar dari Tokyo, makian.
mengakibatkan orang sampai di pelosok-pelosok pun
turut menganggapnya sebagai berita yang penting. Sistem Press Club (Kisha Kurabbu)
Dalam hal ini mantan PM Koizumi dianggap pandai Sementara itu, kisha (press club) yang sering disebutkan
menggunakan media. Koizumi menjadi suatu ”teater” di sebagai lembaga yang membatasi kebebasan pers di
mana semua media turut serta dalam memainkannya. Jepang, justru dirasakan oleh kalangan pelaku media
sebagai lembaga yang memiliki peran positif bagi
jurnalis, di samping diakui juga ada segi negatifnya.
MAKARA, SOSIAL HUMANIORA, VOL. 10, NO. 1, JUNI 2006: 15-26 23

Tapi tentunya pendapat ini dilontarkan oleh kalangan massa Jepang memperbodoh masyarakat”. Sistem kisha
media dari perusahaan-perusahaan media besar, yang juga dikatakan menghambat kebebasan pers, melakukan
acap dianggap memiliki hak istimewa untuk mendapat homogenisasi, antara lain dengan mendorong praktek
akses ke dalam kisha, dan dengan sendirinya mendapat sensor-diri. Mengenai homogenisasi ini, pelaku media
jaminan untuk memperoleh informasi secara first hand mengatakan bahwa dimungkinkan bagi pers untuk
dari lembaga-lembaga berwenang dan berpengaruh di melakukan investigative reporting sebagai tambahan
Jepang. berita, seperti yang dilakukannya terhadap masalah
amakudari.
Sebaliknya, pers luar negeri dan pers non-mainstream
atau kecil tidak diperbolehkan menjadi anggota kisha, Di Jepang, amakudari merupakan praktek seseorang
dan tidak diperbolehkan menghadiri press briefings yang pensiun dari jabatan tinggi pemerintah dan
yang diadakan lembaga-lembaga formal pemerintah selanjutnya masuk ke perusahaan besar atau korporasi
baik pusat maupun daerah, sehingga dengan sendirinya yang masih berkaitan dengan kementerian atau lembaga
tidak mendapatkan hak untuk memperoleh informasi asalnya tadi. Istilah itu secara harafiah berarti ”turun
secara sama. Para wartawan yang merasa sangat dari surga”. Penggunaan asli istilah itu menggambarkan
dirugikan dengan sistem kisha itu, telah lama berusaha turunnya dewa-dewa Shinto dari surga ke bumi. Di sini
memeranginya dan menginginkannya untuk dihapuskan ”surga” mengacu pada makna pemerintah. Mantan
sama sekali. Namun perkembangan yang terakhir adalah pejabat itu dapat menjamin bahwa korporasi akan
bahwa atas dukungan dan usaha dari EU, pers luar mendapatkan persetujuan dari pemerintah yang
negeri mulai diperbolehkan masuk ke dalam press seringkali ditunda atau ditolak oleh birokrasi. Pada Juli
briefings yang dilakukan pemerintah, terutama yang 2002, Perdana Menteri Junichiro Koizumi
diselenggarakan oleh Kementerian Luar Negeri. mengeluarkan perintah bahwa praktek amakudari
sepenuhnya dihentikan di Jepang, karena hal itu
Dari segi positifnya, menurut narasumber dari kalangan dipandang secara luas - kemungkinan sebagai hasil
media mainstream, seperti NHK dan Asahi Shimbun, penyebaran oleh media - sebagai suatu sumber korupsi
kisha memberikan semacam fasilitas kepada mereka antara bisnis dan politik.
untuk mendapatkan berita atau informasi, khususnya
yang berasal dari lembaga formal pemerintah. Kisha Kalangan dalam kisha kurabbu sendiri menerapkan
bahkan bisa dilihat ”mengamankan” pekerjaan kalangan semacam sanksi terhadap anggotanya. Maka anggota
media, karena dengan sistem itu tidak muncul kisha melakukan sensor-diri, karena kalau tidak mereka
persaingan di antara mereka. Selain itu, dengan adanya akan rugi sendiri berhubung akan disingkirkan dari
sistem kisha, mereka merasa ”tidak ketinggalan” dalam lingkungannya. Kalau mereka melakukan kesalahan,
memperoleh berita. Sistem kisha juga dirasakan dapat akan keluar teguran dari pihak istana, partai berkuasa
menciptakan suatu lingkungan kerja yang stabil dan (LDP) dan sayap kanan. Mereka tidak akan
nyaman, selain ekonomis dan efisien bagi pers dalam mendapatkan berita lagi, atau dengan kata lain mereka
melakukan pekerjaannya. Pengamat media berpendapat akan masuk dalam ”daftar hitam”. Kenyataan ini
bahwa kisha dilihat secara positif oleh pelaku media menjelaskan kondisi kebebasan pers di Jepang,
karena dapat memberikan macam-macam fasilitas bagi sekalipun secara formal telah dijamin dalam konstitusi
media anggota. dan menjadi semacam ”pegangan hidup” yang diyakini
dan dipegang kalangan pelaku media.
Contoh yang dikemukakan pelaku media sebagai segi
positif dari sistem kisha, adalah kebiasaan yang Seorang pengamat media Jepang yang diwawancarai
dirasakan baik dari Perdana Menteri Koizumi, yaitu melihat kisha club sebagai kelompok yang menghargai
menyediakan waktu selama dua kali sehari, walaupun keadaan harmonis antara jurnalis, atau antara anggota
masing-masing hanya lima menit, untuk bertemu kisha dengan lembaga resmi pemerintah (misalnya
dengan para wartawan yang tergabung dalam klub polisi). Hal ini berkaitan dengan sistem nilai budaya
kisha. Wawancara secara door-stepping tidak masyarakat Jepang yang secara umum lebih bersifat
diperbolehkan. Mulanya Perdana Menteri Abe tidak kolektif, sehingga jurnalis secara sukarela menahan diri
mengikuti jejak pendahulunya itu, akan tetapi karena untuk tidak menyebarkan atau menyiarkan berita
adanya tekanan dari wartawan yang tergabung dalam tertentu. Jikalau ia tidak patuh, maka ia akan
kisha, akhirnya mau melakukan hal yang sama. Maka disingkirkan (mura hachibu) dari lingkungan rekan-
dalam hal ini, segi positif yang dillihat pelaku media rekannya. Singkatnya, dalam kisha ada semacam
dari sistem kisha adalah kemampuannya sebagai kekuatan yang tidak terlihat atau nyata, yang ”perintah”
counter power terhadap penguasa. atau ”ketentuan”nya tidak dapat diabaikan. Lama
kelamaan jurnalis akan merasakannya sebagai sesuatu
Dari segi negatifnya, sistem kisha disadari oleh pelaku yang sudah seharusnya demikian, dan tidak perlu
media sendiri telah menyebabkan semua berita seragam, dinyatakan lagi.
bahkan ada yang mengatakan sendiri bahwa ”media
24 MAKARA, SOSIAL HUMANIORA, VOL. 10, NO. 1, JUNI 2006: 15-26

Di Jepang sampai saat ini terdapat pembagian antara menganggap foto itu menarik, pihak rumah tangga
media yang bersifat ”paling kiri” seperti Asahi Shimbun istana yang ultrakonservatif merasakan hal itu sebagai
dengan yang bersifat ”paling kanan” seperti Sankei dan pelanggaran terhadap protokol istana. Mereka menuduh
Yomiuri Shimbun. Dalam penentuan isi media, karena foto tersebut tidak sopan atau tidak menghargai istana
perbedaan garis politik, maka antara media tentunya dan pada akhirnya mereka berhasil mengeluarkan
terdapat perbedaan dalam hal menangani suatu masalah. Nakayama dari klub kisha. Dari pihak Kyodo sendiri
Akan tetapi di dalam kisha, kedua partai yang berbeda tidak ada pembelaan, sehingga Nakayama
itu harus mengikuti kriteria yang sama, karena kalau mengundurkan diri. Pengunduran diri Nakayama ini
tidak, keduanya bisa sama-sama disingkirkan. mungkin dipengaruhi oleh kenyataan bahwa jurnalis
Jepang sendiri tidak mengembangkan rasa loyalitas
Sensor- Diri (Self-censorship) kepada profesi, hal mana untuk sebagian merupakan
Di Jepang, betul secara konstitusional pers memiliki akibat dari sistem pelatihan bagi karir jurnalistik
kebebasan, artinya tidak secara eksplisit dinyatakan (Cooper-Chen, 1997).
adanya larangan, namun banyak orang Jepang yang
lebih memikirkan atau memperhatikan tentang Untuk menunjang sistem tanggung jawab pers di
hubungan antar manusia, yang diharapkan berjalan Jepang, The Canon of Journalism merupakan semacam
harmonis. Dari sudut pandangan demikian, maka lebih “kode etik” bagi bidang jurnalisme, yang dikeluarkan
mudah untuk dipahami jika masalah-masalah yang oleh Nihon Shimbun Kyokai (NSK) atau The Japan
berkaitan dengan keluarga kerajaan kemudian dijadikan Newspaper Publishers and Editors Association dan
sebagai hal yang tabu oleh orang-orang media Jepang diberlakukan mulai 21 Juni 2000. Isi pasal dan ayatnya
sendiri. Inilah yang disebut sebagai langkah ”sensor- berkaitan antara lain dengan: kebebasan dan tanggung
diri” yang bersifat ”sukarela” dari media Jepang, baik jawab, akurasi dan kewajaran, independensi dan
swasta maupun publik. Namun di balik kesuka-relaan toleransi, penghargaan atas hak-hak manusia, serta tidak
itu, sesungguhnya yang dapat ditangkap juga pada merugikan kepentingan publik dan tanggung jawab
akhirnya adalah rasa takut dikecam masyarakat luas media.
sebagai ”orang yang tidak baik”. Dengan kata lain,
terdapat suatu pengakuan bahwa sebagian orang Jepang Tentang kebebasan dan tanggung jawab, isi pasal The
sendiri lebih menghargai hubungan yang harmonis Canon of Journalism antara lain menyatakan bahwa
dibandingkan kebebasan itu sendiri. kebebasan menyatakan pendapat merupakan hak azasi
manusia, dan suratkabar memiliki kebebasan tersebut
Sekalipun kebebasan untuk menyatakan pendapat secara mutlak dalam liputan berita dan komentar
dijamin secara konstitusional dan media massa di editorialnya. Dalam melaksanakan kebebasan tersebut,
Jepang diperbolehkan untuk beroperasi secara bebas suratkabar harus memperhatikan tanggungjawabnya
dari pengontrolan langsung pemerintah, namun terdapat yang besar dan selalu menjaga agar tidak merugikan
bukti bahwa pemerintah melakukan pengawasan tidak kepentingan publik.
langsung dan mempengaruhi peliputan media. Dalam
perkembangan sejarahnya, media Jepang telah Tentang independensi dan toleransi, ditetapkan oleh The
menunjukkan keterikatan eratnya dengan rezim politik Canon of Journalism bahwa suratkabar harus
dan keterikatan ini di bawah sistem klub kisha telah menjunjung kebebasannya bagi kepentingan
memegang peranan penting dalam kehidupan media. penyampaian pendapat secara adil dan merdeka.
Penggunaan regulasi-diri oleh media Jepang dalam Suratkabar harus menolak campur tangan kekuatan
peliputan informasi yang bersifat privat, sensitif atau pihak luar dan waspada terhadap pihak-pihak yang
memalukan mengenai pejabat pemerintah dan keluarga bermaksud menggunakan suratkabar bagi tujuan mereka
kerajaan, merupakan hal yang lazim dilakukan. sendiri. Sebaliknya suratkabar harus rela memberikan
ruang bagi pendapat yang berbeda dengan pendapatnya,
Contoh suatu bentuk sensor-diri yang ekstrim terjadi sepanjang pendapat itu akurat, adil dan bertanggung
pada tahun 1992 ketika pihak istana menekan media jawab.
untuk melakukan news blackout pada saat mereka
melakukan usaha pencaharian calon mempelai bagi Selanjutnya tentang penghargaan terhadap hak-hak
Pangeran Mahkota Naruhito. Demikian juga media manusia, suratkabar harus memberi penghargaan
tidak mau memaparkan secara spesifik keadaan setinggi-tingginya terhadap martabat manusia, menilai
penyakit Kaisar Hirohito selama beberapa bulan tinggi harga diri individu dan memperhatikan secara
sebelum wafatnya pada tahun 1989. Kejadian lainnya serius hak-hak pribadinya. Suratkabar juga harus mau
adalah ketika Pangeran Akishino menikah pada tahun mengakui kesalahan dan segera meralatnya, dan dalam
1990, seorang juru foto dari kantor berita Kyodo, hal individu atau suatu kelompok telah mendapat
Toshiaki Nakayama, mengambil foto dari mempelai perlakuan tidak adil, langkah-langkah memadai harus
wanita membetulkan rambut sang pengeran yang diambil untuk memperbaiki situasi, termasuk kewajiban
menutupi matanya. Walaupun banyak orang yang untuk memberi kesempatan menjawab:
MAKARA, SOSIAL HUMANIORA, VOL. 10, NO. 1, JUNI 2006: 15-26 25

Dalam pasal itu juga dikemukakan tentang hak privasi Demikian juga media cetak seperti Asahi Shimbun
dari individu yang harus diperhatikan oleh media. menggunakan ”kode etik”-nya sendiri yang berlaku
Namun mengenai hal ini, pelaku media mengemukakan secara internal. Bahkan pelaku media sendiri tidak
”keluhan” bahwa privasi kadang digunakan oleh pejabat menyadari akan adanya The Canon of Journalism yang
negara atau menteri untuk tidak membuka informasi telah diberlakukan oleh NSK. Mereka mengaku lebih
mengenai penyalah-gunaan uang negara bagi diarahkan oleh opini publik dalam melaksanakan
pembiayaan kepentingan pribadinya. pekerjaannya. Pelaku media sendiri berpendapat bahwa
sistem akuntabilitas media harus didukung oleh
Berkaitan dengan isi media yang bertanggung jawab, kemampuan literasi media khalayak pengguna media.
pelaku media mengaku bahwa mereka sekedar Kecenderungan menurun dari minat kelompok muda
berpegang pada ketentuan umum yang mereka ketahui, dalam menggunakan ”media tradisional”, telah
yaitu semacam konvensi, antara lain tentang mayat yang mendorong fokus yang lebih besar pada pemanfaatan
tidak boleh diperlihatkan. Contoh lainnya, NHK tidak internet dan tabloid gratis di Jepang. Keadaan ini
mau ikut dalam trend yang sekarang marak di lembaga disadari oleh pelaku media.
penyiaran swasta, misalnya penggunaan bahasa
percakapan ”kelaki-lakian” oleh semua, termasuk oleh Hasil penelitian secara keseluruhan, bila dimasukkan ke
perempuan. dalam bentuk matriks, akan terlihat sebagaimana tertera
dalam Tabel 2.

Tabel 2. Pendapat Pelaku Media dan Pengamat Media di Jepang

Masalah Pelaku Media Pengamat Media


Kebebasan Pers Telah dipraktekkan di Jepang selama ini; Telah ada jaminan secara formal dalam
merupakan norma yang harus dijalankan; konstitusi; namun pada dasarnya pers bersifat
adanya upaya-upaya pemerintah untuk ”konservatif” yaitu ditekan oleh kontrol
mempengaruhi isi media dan karenanya pemerintah
membatasi kebebasan
Sensor-Diri Terutama dilakukan bila menyangkut Sensor-diri merupakan langkah sukarela dari
keluarga kerajaan; dilakukan sukarela atas media; media mengikuti norma masyarakat
dasar keyakinan sendiri tanpa ”bimbingan” yang mementingkan keharmonisan hubungan
pemerintah karena sesuai dengan ekspektasi antar manusia; media takut dikecam atau
norma-norma masyarakat; kalau tidak, akan mendapat makian masyarakat sebagai ”orang
disingkirkan dari lingkungan atau masuk yang tidak baik”
”daftar hitam” kisha kurabbu
Nilai-nilai Budaya Hal-hal yang ”menyimpang” dari moral Masyarakat sipil Jepang: lemah dalam hal
masyarakat umum (misalnya homoseksuali- nilai individualitas; tidak mau menerima
tas) tidak akan dipertimbangkan menjadi isi pendapat minoritas; polarisasi tajam antara
media yang ”hitam” (jahat, buruk) dan yang ”putih”
(baik); relatif masih homogen dan bersifat
kolektif
Sistem Kisha Kurabbu • Merupakan kelembagaan yang memiliki Kelembagaan yang menjamin keadaan
peran positif bagi jurnalis, dengan harmonis antar jurnalis, atau antara anggota
memberikan fasilitas perolehan informasi dengan lembaga resmi pemerintah; media
secara ”first hand”; menjaga tidak ada merasa nyaman dan terbiasa akan adanya
kompetisi antar media; memberi suasana fasilitas yang mempermudah pekerjaan
kerja yang stabil, nyaman, ekonomis,
efisien.
• Negatif: berita menjadi seragam
(homogen); media memperbodoh
masyarakat
Tanggung Jawab • Tidak menyadari akan adanya peraturan Mengetahui adanya peraturan yang dibuat
Sosial dan formal organisasi Nihon Shimbun Kyokai oleh Nihon Shimbun Kyokai (NSK) berupa
Akuntabilitas Media (NSK) berupa The Canon of Journalism The Canon of Journalism, yang mengatur
• Sekedar berpegang pada konvensi yang tentang kebebasan, tanggung jawab, akurasi
berlaku atau ”kode etik” internal dan kewajaran, independensi, toleransi, hak-
perusahaan/industri medianya sendiri hak manusia, kepentingan publik
26 MAKARA, SOSIAL HUMANIORA, VOL. 10, NO. 1, JUNI 2006: 15-26

Kesimpulan Quantitative Approaches. Thousand Oaks, London,


New Delhi: Sage Publications.
Suatu analisis lebih mendalam tentang pers Jepang akan
dapat mengungkapkan bahwa gagasan-gagasan dalam Can Tokyo tolerate further centralization? dalam
“pasar gagasan” (marketplace of ideas) jumlahnya <http://www.japantoday.com/jp/kuchikomi/199
terbatas di Jepang. Persaingan bebas yang merupakan (http://www.answers.com/topic/japan-intelligence-and-
inti dari teori pers libertarian dihambat dalam sistem security)>.
kisha kurabbu. Kontrol pemerintah terhadap pers
Jepang mungkin tidak jelas terbuka sebagaimana pada Cooper-Chen, Anne dan Miiko Kodama. 1997. Mass
negara-negara lainnya, namun kontrol oleh asosiasi- Communication in Japan. Ames, Iowa: Iowa State
asosiasi profesional dan organisasi-organisasi media University Press.
sendiri sangat efektif dan menghasilkan keadaan yang
sama sebagaimana pada situasi publik yang tidak Freeman, Laurie Ann. 2000. Closing The Shop:
mendapatkan informasi cukup tentang pelaksanaan Information Cartels and Japan’s Mass Media.
pemerintahan. Bahwa pers Jepang acapkali dikatakan Princeton, NJ: Princeton University Press.
atau dianggap bebas, bahkan mungkin salah satu
terbebas di Asia, adalah karena pemerintah Jepang Hanson, E. Mark. 1999. Educational Decentralization
jarang mengambil tindakan pembatasan langsung secara Around the Pacific Rim. Makalah disiapkan untuk
terbuka kepada pers. Konperensi Internasional oleh University of California’s
Pacific Rim Program dan Comparative Education
Di Jepang, tindakan pembatasan langsung atau sensor Research Centre of the University of Hongkong.
terhadap pers oleh pemerintah atau kelompok berkuasa
lain mungkin tidak perlu dilakukan, karena pers atau “Japan Press, Media, TV, Radio, Newspapers” –
kalangan media Jepang sendiri telah dengan cermat, <http://www.pressreference.com/Gu-Ku/Japan.html>
rajin dan hati-hati melakukan pengawasan terhadap
dirinya sendiri. Sensor-diri telah menjadi semacam hal Kingston, Jeffrey. 2004. Japan’s Quiet Transformation:
yang terinternalisasi dan dengan penuh kesadaran dan Social Change and Civil Society in the Twenty- First
sukarela mereka lakukan, karena tidak mau Century. London and New York: Routledge Curzon.
mengganggu harmoni yang sudah terjalin antara media,
pemerintah dan korporasi. McQuail, Denis. 2000. McQuail’s Mass Communication
Theory. Fourth Edition. London, Thousand Oaks, New
Dalam masa transformasi sosial di Jepang saat ini, Delhi: Sage Publications.
media turut memainkan peranannya sebagai sarana bagi
informasi, edukasi dan entertainmen. Namun keadaan Morse, Ronald. 2005. “The Meaning behind Koizumi’s
budaya masyarakat Jepang yang lebih mementingkan Moves” dalam The Japan Times Online –
hubungan harmonis daripada kebebasan pers dan <http://www.jpri.org/members/morse_JT_08-31-
kebebasan menyatakan pendapat, sistem politiknya serta 05.html>
perkembangan sejarahnya, menjadikan lebih
diutamakannya praktek ’sensor-diri’ pada media Jepang. Severin, W.J. dan Tankard, Jr, J.W. 2001.
Terlebih bagi media mainstream, ’sensor-diri’ ini Communication Theories: Origins, Methods, and Uses
dituntut darinya seakan sebagai imbalan dari ”fasilitas” in the Mass Media. New York: Longman.
yang diterima dalam keanggotaan klub kisha.
Siebert, F.S., Theodore Peterson, dan Wilbur Schramm.
Keunikan keadaan pers yang terkait dengan nilai budaya 1956. Four Theories of the Press. Urbana, IL:
di Jepang ini - dan mungkin juga hal yang sama terdapat University of Illinois Press.
di negara-negara Asia lain dengan kekhasan konteks
budayanya masing-masing menjadikan teori-teori pers Yin. 2003 dalam <http:www.inma.org/subscribers/
dasar tidak dapat sepenuhnya diterapkan di Jepang. papers/2003-Yin.doc.>

Daftar Acuan
Berger, Arthur Asa. 2000. Media and Communication
Research Methods: An Introduction to Qualitative and

You might also like